Anda di halaman 1dari 14

PEMBOIKOTAN, KARTEL, DAN KARAKTERISTIKNYA

1. PEMBOIKOTAN
a. Pengertian Pemboikotan
Bila ditelusuri, kata pemboikotan berasal dari serapan Bahasa Inggris
“boycott” yang mulai digunakan sejak “War Land” di Irlandia pada sekitar 1880.
Kata pemboikotan berasal dari nama Captain Charles Boycott, seorang agen tanah
(estate agent) Inggris yang mengelola berbagai perkebunan di Irlandia untuk tuan
tanah Earl Erne. Sejarah menceritakan bahwa pada jaman dahulu petani memohon
kepada Charles Boycott agar menurunkan harga penggarapan lahan pertanian.
Namun permohonan para petani tersebut ditolak oleh Charles Boycott. Tidak lama
kemudian, sikap penolakan dari Charles Boycott dibalas dengan penolakan juga
oleh para petani. Para petani kemudian sepakat untuk tidak menggarap lahan
pertanian yang akhirnya membuat Boycott mengalah. Charles Boycott
bertanggung jawab terhadap gerakan mogok kerja yang dilakukan oleh para petani
sehingga kemudian ia mengundurkan diri dari jabatannya. Dari sinilah selanjutnya
berkembang makna pemboikotan sebagai suatu tindakan untuk tidak
menggunakan, membeli, atau berurusan dengan seseorang atau suatu organisasi
sebagai wujud protes atau sebagai suatu bentuk pemaksaan.
Menurut United Nations Conference on Trade and Development
(UNCTAD) Model Laws, pemboikotan adalah menolak secara kolektif untuk
membeli atau menjual, atau mengancam akan melakukannya, termasuk cara yang
paling sering dipakai untuk memaksa pihak yang tidak menjadi anggota kelompok
tertentu untuk mengikuti kegiatan yang ditentukan oleh kelompok itu.
Stephen F. Ross berpendapat bahwa istilah pemboikotan memiliki arti luas
yang mencakup berbagai tindakan kerjasama untuk menolak berhubungan bisnis
dengan pihak lain. Dalam St.Paul Fire & Marine Insurance Co. v. Barry (1978),
Pengadilan memberikan pengertian pemboikotan sebagai “suatu metode yang
digunakan untuk menekan suatu pihak yang dengannya salah satu pihak memiliki
suatu perselisihan, dengan cara menahan atau menekan orang lain untuk
memberikan dukungan atau jasa dengan target. Ini termasuk “tekanan pihak ketiga
dalam suatu perjanjian untuk tidak berdagang, yang dilakukan sebagai suatu
sarana untuk menekan secara memaksa kepada kelompok yang diboikot.”
Beberapa target pemboikotan pesaing dilakukan dalam upaya untuk mengusir
mereka keluar dari pasar, agar para pemboikot dapat menjaga bisnis hanya untuk
diri mereka sendiri. Pemboikotan tidak harus, bagaimanapun diarahkan untuk
salah satu pesaing dari para konspirator. Pemboikotan lain melibatkan
penolakannya untuk menjual kecuali pada persyaratan tertentu, sehingga
menargetkan pelanggan untuk tujuan eksploitasi dengan cara yang sama bahwa
penetapan harga adalah cara untuk mengeksploitasi mereka.

b. Jenis-Jenis Pemboikotan
Selanjutnya, boycott juda dapat dibagi ke dalam beberapa kategori, yaitu :
1) Consumer and group boycott.
Consumer boycott adalah boikot yang dilakukan oleh konsumen untuk
menunjukkan ketidaksukaan terhadap pabrikan (manufacturer), pedagang atau
pemasok terhadap produk-produk atau jasa-jasa yang diproduksi atau
diperdagangkan.
2) Primary dan secondary boycott.
Primary boycott adalah suatu pemboikotan oleh anggota serikat pekerja
(union) yang berhenti berhubungan dengan mantan majikannya. Selanjutnya,
secondary boycott adalah pemboikotan oleh para konsumen atau pemasok dari
suatu perusahaan sehingga mereka tidak akan menjadi pelanggan perusahaan itu
Arti lain dari pemboikotan primer adalah pemboikotan oleh serikat pekerja
dan anggotanya untuk menghentikan konsumen dari menggunakan, membeli, dan
mengatur majikan khususnya atau produk suatu perusahaan tertentu, baik berrupa
barang-barang atau jasa-jasa. Umumnya pemboikotan primer terjadi selama
negosiasi masalah ketenagakerjaan. Kebanyakan serikat pekerja menggunakan
pemboikotan primer sebagai metode untuk membawa manajemen mereka ke meja
perundingan dan menekan manajemen untuk memenuhi tuntutan mereka.
Pemogokan yang dilakukan oleh the United Farm Workers union terhadap
bisnis agro California dengan memboikot anggur, selada, dan anggur California
adalah contoh pemboikotan primer. Sama seperti pemboikotan sekunder,
pemboikotan primer tidak ada upaya yang dilakukan untuk melibatkan atau
membujuk mereka yang tidak terlibat langsung dalam sengketa.
Sebuah pemboikotan sekunder merupakan upaya untuk mempengaruhi
tindakan suatu bisnis dengan melakukan tekanan pada bisnis lain. Sebagai contoh,
suatu kelompok memiliki keluhan terhadap the Acme Company. The Widget
Company adalah pemasok utama untuk the Acme Company. Jika kelompok yang
mengeluh itu menginformasikan kepada the Widget Company yang akan
meyakinkan masyarakat untuk berhenti melakukan bisnis, kecuali berhenti
melakukan bisnis dengan the Acme Company. Pemboikotan seperti yang
dilakukan oleh the Widget Company adalah pemboikotan sekunder. Efek
pemboikotan itu akan mempengaruhi tindakan the Acme Company untuk
mengorganisasi melawan pemasok utama.

c. Karakteristik Pemboikotan
Bentuk perjanjian yang dilarang dibuat antar pelaku oleh Undang-Undang
Nomor 5 tahun 1999 adalah perjanjian pemboikotan (boikot) ini merupakan
bentuk perjanjian horizontal antara pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnya
untuk menolak untuk mengadakan hubungan dagang dengan pelaku usaha lainya.
Pemboikotan pada umumnya dianggap anti persaingan dan biasanya
mempunyai karakteristik dengan usaha yang sungguh-sungguh untuk merugikan
para pesaing baik secara langsung menolak atau memaksa supplier atau konsumen
untuk menghentikan hubungan dengan kompetitornya, Boikot itu juga bisa
dilakukan dengan menghentikan supply akan bahan pokok yang sangat diperlukan.
Namun dikatakan pula bahwa boikot dapat pula mempunyai dampak yang
pro kompetisi yaitu menimbulkan efisiensi. Misalnya, perjanjian pembelian
bersama yang dilakukan oleh pengusaha-pengusaha kecil, mungkin akan menjadi
efisiensi karena akan memenuhi skala ekonomi dan juga menghemat dari sisi
penyimpanan.
Dengan adanya perjanjian pemboikotan yang dilakukan oleh para pelaku
usaha yang ada di dalam pasar membuat jumlah pelaku usaha yang ada di pasar
tidak dapat berubah, apabila di dalam suatu pasar hanya terdapat pelaku usaha
yang menjalankan usahanya dapat berdampak terhadap berkurangnya pilihan
konsumen untuk memilih pelaku usaha yang kemungkinan dapat memberikan
kepuasaan terbesar kepada konsumen.
Pemboikotan biasanya dilakukan untuk memaksa pelaku usaha untuk
mengikuti perbuatan yang biasanya merupakan perbuatan yang anti persaingan
(predatory boycott) atau untuk menghukum pelaku nisnis lainya yang melanggar
perjanjian yang menghambat persaingan (defensive boycott).
Jadi karakteristik pemboikotan yaitu :
 Dilakukan oleh sekelompok orang.
 Dilakukan pada waktu yang bersamaan pada periode tertentu.
 Melakukan penolakan baik dengan cara membeli, menggunakan dan
berurusan.

d. Dasar Hukum
Adapun peraturan yang mengatur mengenai pemboikotan yaitu :
 Pasal 10 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
 Pasal 10 ayat (1), berbunyi: “pelaku usaha dilarang membuat perjanjian,
dengan pelaku usaha pesaingnya yang dapat menghalangi pelaku usaha
lain untuk malakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam
negeri maupun pasar luar negeri.”
 Pasal 10 ayat (2), berbunyi: “pelaku usaha dilarang membuat perjanjian
dengan pelaku usaha pesaingnya, untuk menolak menjual setiap barang
dan/atau jasa dari pelaku usaha lain sehingga perbuatan tersebut:
a. Merugikan atau dapat diduga akan merugikan pelaku usaha lain atau;
b. membatasi pelaku usaha lain dalam menjual atau membeli setiap
barang dan/atau jasa dari pasar bersangkutan.”
Karena besarnya kerugian yang dapat ditimbulkan oleh suatu perjanjian
pemboikotan, maka Pasal 10 ayat (1) dan (2) Undang-undang No. 5 Tahun 1999
yang mengatur mengenai perjanjian pemboikotan ini dirumuskan secara per se
illegal oleh pembuat undang-undang, sehingga ketika ada pelaku usaha yang
melakukan perbuatan perjanjian pemboikotan, maka tanpa memperhatikan akibat
yang muncul dari perbuatan tersebut, ataupun alasan-alasan dilakukannya
pemboikotan tersebut, pelaku usaha sudah dapat dijatuhi sanksi hukuman.
Semua pelanggaran terhadap UU No. 5 Tahun 1999 dapat dijatuhkan
sanksi tindakan administratif. Dalam hal ini tindakan larangan atau perjanjian
terlarang pemboikotan ini mendapat sanksi Pidana pokok : denda Rp 25 milyar
s.d. Rp 100 milyar atau kurungan pengganti denda selama 6 bulan. Dan juga
pidana tambahan :
 Pencabutan izin usaha;
 Larangan menduduki jabatan direksi/komisaris dari 2 tahun s.d. 5 tahun;
 Penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnya
kerugian pihak lain.
 Pasal 3 huruf e dan f UNCTAD Model Law
Pasal 3 huruf e dan f UNCTAD Model Law menegaskan bahwa “menolak secara
kolektif untuk membeli atau memasok, atau mengancam untuk melakukannya,
adalah termasuk cara yang paling sering dipakai untuk memaksa pihak yang
tidak menjadi anggota kelompok tertentu untuk mengikuti kegiatan yang
ditentukan kelompok tersebut.”

e. Kasus
Kasus I
Norhwest Wholesale Stationers, Inc. v Pacific Stationery & Printing Co.

Secara singkat duduk persoalan dalam kasus ini adalah sebagai berikut.
Pelapor dalam kasus ini adalah Northwest Wholsale Stationers adalah sebuah
koperasi agen pembelian yang terdiri dari kurang lebih retailer(pengecer) alat-alat
kantor di Pacific Northwest US. Koperasi bertindak sebagai retailer utama bagi
retail lainnya. Retailer yang bukan anggota dapat membeli alat-alat kantor
dengan harga yang sama dengan anggota. Namun pada setiap akhir tahun
koperasi membagikan keuntungan kepada anggotanya dalam bentuk
percentage rebate dalam pembelian. Sehingga sebenarnya anggota membeli
lebih rendah dari non anggota.
Sementara Terlapor Pacific Stationery Co. adalah menjual alat kantor
baik retail maupun wholesale. Pacific menjadi anggota Northwest sejak tahun
1958. Pada tahun 1978 Northwest merubah anggaran dasarnya dengan
melarang anggotanya menjual retail dan wholesale. Suatu klausula menjamin
hak Pacific untuk menjadi anggota. Pada tahun 1977 kepemilikan Pacific
berpindah tangan, namun pemilik baru ini tidak melakukan perubahan
kegiatannya, hal mana bertentangan dengan anggaran dasar Northwest. Pada
tahun 1978 sebagian besar anggota Northwest memutuskan untuk
mengeluarkan Pacific. Pacific kemudian membawa perkara ini ke pengadilan
berdasarkan group boycott yang membatasi kemampuan Pacific untuk
berkompetisi, karenanya Northwest harus dinyatakan melanggar hukum
persaingan secara per se illegal. Pengadilan Negeri menyatakan tidak terdapat
pelanggaran hukum persaingan secara per se illegal, karenanya harus diperiksa
secara rule of reason. Namun Pengadilan Banding menyatakan bahwa
Northwest melanggar Sherman Act secara per se illegal.

Kasus II
Pemboikotan Disney Tekan Ekspor Kertas
Bermula dari Pemboikotan produk kertas Indonesia yang dilakukan oleh
perusahaan penerbit dan animasi terbesar dunia asal Amerika Serikat, The Walt
Disney Company, dikhawatirkan memengaruhi kinerja ekspor komoditas tersebut.
walaupun Walt Disney tidak banyak mengonsumsi kertas dari Indonesia, tuduhan
bahwa produk kertas dari Indonesia tidak ramah lingkungan akan membuat harga
kertas dari Indonesia semakin tertekan dan pada akhirnya akan mengurangi
kinerja ekspor. Dampak pemboikotan produk kertas yang dilakukan Walt Disney
memang tidak besar. Namun, pandangan konsumen di luar negeri terhadap kertas
dari Indonesia akan semakin buruk. Ekspor produk bubur kertas (pulp) dan kertas
Indonesia mencapai US$ 5,8 miliar, yang terdiri atas kertas US$ 4,2 miliar dan
pulp US$ 1,6 miliar. Tahun 2012, ekspor komoditas tersebut diperkirakan tumbuh
5-8% menjadi US$ 6,09-6,26 miliar.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo)
Sofjan Wanandi sudah meminta APKI untuk menjelaskan prosedur produksi
kertas Indonesia yang sudah ramah lingkungan. "Karena, Disney itu tidak tahu
banyak apa yang dilakukan pabrik-pabrik kertas di Indonesia. Menurut dia,
seluruh bahan baku pabrik kertas di Indonesia tidak diambil dari hutan lindung,
melainkan dari hutan tanaman industri. Hal ini yang harus dijelaskan kepada
perusahaan-perusahaan asing yang menjadi konsumen kertas, seperti Walt Disney.
Bahwa kasus pemboikotan kertas Indonesia oleh Walt Disney merupakan
bagian dari persaingan tidak sehat dari produsen kertas negara-negara lain. "NGO
(LSM) luar negeri selalu mengkorek-korek itu. untuk menghalangi kita. Apindo
juga mendesak Kementerian Perdagangan agar membantu upaya lobi yang
dilakukan pengusaha kepada Walt Disney. Pemerintah harus tegas agar tidak
menjadi presiden yang buruk dan mencoreng bisnis dan industri Indonesia di mata
luar negeri.

2. KARTEL
a. Pengertian Kartel
Istilah kartel berasal dari basaha Latin, yaitu cartellus, yang kemudian
telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa seperti Inggris dan Perancis
menjadi cartel, Jerman menjadi kartell, dan Italia menjadi cartello.
Perjanjian kartel merupakan salah satu perjanjian yang kerap kali terjadi
dalam tindak monopoli. Secara sederhana, kartel adalah perjanjian satu pelaku
usaha dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menghilangkan persaingan di antara
keduanya. Dengan perkataan lain, kartel (cartel) adalah kerja sama dari produsen-
produsen produk tertentu yang bertujuan untuk mengawasi produksi, penjualan,
dan harga serta untuk melakukan monopoli terhadap komoditas atau industri
tertentu.
Seorang pakar hukum legal dan ekonom, Richard Postner dalam bukunya
“Economic Analysis of Law” (2007: 279) menuliskan pengertian kartel, “A
contract among competing seller to fix the price of product they sell (or, what is
the small thing, to limit their out put) is likely any other contract in the sense that
the parties would not sign it unless they expected it to make them all better off”.
Artinya, kartel menyatakan suatu kontrak atau kesepakatan persaingan di antara
para penjual untuk mengatur harga penjualan yang bisa diartikan sebagai
menaikkan harga ataupun membatasi produknya yang setidaknya mirip dengan
kontrak pada umumnya di mana anggota-anggotanya tidak menginginkannya,
kecuali mereka mengharapkan sesuatu yang lebih baik. Definisi kartel oleh
Postner lebih menekankan pada aspek moralitas di mana praktik kartel
sesungguhnya bukan sesuatu yang diinginkan oleh setiap anggotanya, kecuali
mereka hendak mengharapkan bisa mendapatkan sesuatu yang lebih dari
kesepakatan (kontrak) tersebut.
Kartel dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 pasal 11 disebutkan
bahwa “pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha
pesaingnya yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur
produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan
terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat “
Perumusan kartel secara rule of reason oleh pembentuk UU No. 5 Tahun
1999 dapat diartikan pelaku usaha dapat membuat perjanjian dengan pelaku usaha
pesaingnya yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur
produksi atau pemasaran suatu barang atau jasa asalkan tidak mengakibatkan
terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
Dalam hal ini dapat diartikan pembentuk UU No. 5 Tahun 1999 melihat
bahwa sebenarnya tidak semua perjanjian kartel dapat menyebabkan persaingan
usaha tidak sehat, seperti misalnya perjanjian kartel dalam bentuk mengisyaratkan
untuk produk-produk tertentu harus memenuhi syarat-syarat tertentu yang
bertujuan untuk melindungi konsumen dari produk yang tidak layak atau dapat
membahayakan keselamatan konsumen dan tujuannnya tidak menghambat
persaingan, pembuat UU No. 5 Tahun 1999 mentolerir perjanjian kartel seperti
itu.

b. Jenis-jenis Kartel
Berikut ini adalah beberapa jenis jenis dari kartel:
- Kartel Kondisi: kartel yang berfokus membentuk syarat-syarat kondisi
penjualan. Seperti apakah sebuah barang yang diberi kredit, diskon, dibeli
secara kredti atau kash, dimana barang diserahkan, dimana menjual barang.
- Kartel Syarat, dalam kartel ini disepakati syarat-syarat yang seragam dalam
hal penyerahan, pembayaran dan pembungkusan barang.
- Kartel Rayon, dalam, kartel ini disepakati daerah penjualan setiap kartel,
tujuan penerapan daerah pemasaran ini agar tidak terjadi persaingan antar
anggota rayon.
- Kartel Produksi, dalam kartel ini disepakati jumlah maksimum barang yang
boleh di produksi oleh setiap anggota. Tujuan pembatasan produski ini agar
tidak terjadi kelebihan produksi yang berakibat pada turunya harga.
- Sindikat Penjualan, dalam kartel ini disepakati bahwa anggota kartel harus
menyerahkan barang hasil produksinya untuk dijual dengan satu harga.
- Kartel Pool, sering disebut juga kartel pembagian keuntungan, dalam kartel ini
keuntungan yang diperoleh anggota kartel dikumpulkan (di-pool) dalam kas
bersama kemudian dibagi sesuai perjanjian yang telah disepakati.

c. Karakteristik
Dalam PERKOM No. 10/2010 disebutkan bahwa suatu kartel pada
umumnya mempunyai bebarapa karakteristik diantaranya adalah :
1. Terdapat konspirasi diantara beberapa pelaku usaha.
2. Melibatkan para senior eksekutif dari perusahaan yang terlibat.
3. Biasanya dengan menggunakan asosiasi untuk menutupi kegiatan mereka.
4. Melakukan price fixing atau penetapan harga. Agar penetapan harga berjalan
efektif, maka diikuti dengan alokasi konsumen atau pembagian wilayah atau
alokasi produksi.
5. Adanya ancaman sanksi bagi anggota yang melanggar perjanjian.
6. Adanya distribusi informasi kepada seluruh anggota kartel.
7. Adanya mekanisme kompensasi dari anggota kartel yang produksinya lebih
besar atau melebihi kuota terhadap mereka yang produksinya kecil atau
mereka yang diminta menghentikan kegiatan usahanya.

d. Dasar hukum
Kartel diatur dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999,
Mengacu pada pengertian kartel, Indonesia telah memilki satu undang-undang
yang melarang praktek kartel yaitu Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang
Larangan Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Meksipun terminologi
kartel hanya ditempatkan dalam Bagian Kelima yang berjudul kartel dan hanya
ada 1 pasal yaitu Pasal 11, namun jika dimaknai pengertian kartel yang
sebenarnya, maka beberapa pasal lainnya secara implisit mengatur soal kartel
yaitu Pasal 5, Pasal 7, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 22, Pasal 24.
Sementara itu sanksi pidana untuk pelaku kartel diatur dalam Pasal 48, Pasal 49.
Dan ada juga tindakan administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 47.

e. Kasus
Kasus I
Kasus Kargo Surabaya-Makasar
Salah satu contoh kasus mengenai kartel yang pernah diputus oleh KPPU
yaitu Putusan No. 03/KPPU-I/2003 mengenai Kargo Surabaya-Makasar. Adapun
duduk perkaranya adalah sebagai berikut: Tujuh perusahaan pelayaran yaitu PT
Meratus, PT Tempuran Emas, PT Djakarta Lloyd, PT Jayakusuma Perdana Lines,
PT Samudera Indonesia, PT Tanto Intim Line, dan PT Lumintu Sinar Perkasa pada
Rapat Pertemuan Bisnis di Ruang Rapat MPH I Hotel Elmi Surabaya pada hari
Senin tanggal 23 Desember 2002 yang dihadiri para Terlapor, Saksi I dan Saksi III
telah disepakati penetapan tarif dan kuota yang kemudian dituangkan dalam Berita
Acara Pertemuan Bisnis di Hotel Elmi Surabaya dan masing-masing pihak
mengakui dan membubuhkan tanda tangan atas dokumen kesepakatan tarif dan
kuota. Pelaksanaan kesepakatan tahap I mulai berlaku sejak 1 Januari 2003 sampai
dengan 31 Maret 2003.
Unsur Pasal 11 UU No. 5 Tahun 1999 pada intinya adalah adanya
kesepakatan antar perusahaan yang bersaing untuk mengatur produksi dan atau
pemasaran suatu barang atau jasa yang ditujukan untuk mempengaruhi harga dan
dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha yang tidak sehat.
Dengan ditetapkannya kuota bongkar muat tersebut, para Terlapor telah
mengatur produksi jasa pengangkutan laut khusus barang (kargo) dari para
Terlapor yang melayani jalur Surabaya – Makassar – Surabaya dan Makassar –
Jakarta – Makassar, yang bertujuan mencegah terjadinya perang harga. Disamping
itu dengan ditetapkannya kuota bongkar muat peti kemas tersebut para Terlapor
telah melakukan tindakan yang meniadakan persaingan usaha antara anggota
kartel. Dengan demikian para Terlapor telah melakukan praktik persaingan usaha
tidak sehat sehingga melanggar Pasal 11 UU No. 5 Tahun 1999.

Kasus II
Penetapan Harga Fuel Surcharge
dalam Industri Jasa Penerbangan Domestik
Analisis terhadap putusan KPPU terhadap perkara Nomor: 25/KPPU-
I/2009 tentang Dugaan Pelanggaran pasal 5 dan pasal 21 Undang-Undang Nomor
5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat. Dugaan pelanggaran tersebut terkait dengan Penetapan Harga Fuel
Surcharge dalam Industri Jasa Penerbangan Domestik. Perkara No. 25/KPPU-
I/2009 yang dilaporkan oleh pelaku usaha ke KPPU ini memerlukan Majelis
Komisi untuk menilai perilaku para Terlapor dalam hal apakah telah terjadi
kesepakatan menetapkan harga (kartel) untuk biaya tambahan bahan bakar (fuel
surcharge). Adapun identitas para Terlapor adalah sebagai berikut : 1. PT Garuda
Indonesia, 2. PT Sriwijaya Air, 3. PT Merpati Nusantara Airlines, 4. PT Mandala
Airlines, 5. PT Travel Express Aviation Service, 6. PT Lion Mentari Airlines, 7.
PT Wings Abadi Airlines, 8. PT Metro Batavia, 9. PT Kartika Airlines, 10. PT
Riau Airlines, 11. PT Linus Airways 12. PT Trigana Air Service 13. PT Indonesia
Air Asia
Kerugian bagi konsumen antara lain : a) Konsumen membayar harga suatu
barang atau jasa lebih mahal daripada harga pasar yang kompetitif b) Barang atau
jasa yang diproduksi dapat terbatas baik dari sisi jumlah dan atau mutu daripada
kalau terjadi persaingan yang sehat diantara pelaku usaha c) Terbatasnya pilihan
pelaku usaha.
Bahwa dengan demikian Unsur Penetapan Harga terpenuhi Untuk melihat
apakah terjadi pelanggaran terhada Pasal 21 UU No. 5/1999 yang menyatakan
bahwa “Pelaku usaha dilarang melakukan kecurangan dalam menetapkan biaya
produksi dan biaya lainnya yang menjadi bagian dari komponen harga barang dan
atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat”
maka Majelis Komisi mempertimbangkan unsur- unsur pasal sebagai berikut :
1. Unsur Penetapan Biaya Secara Curang
2. Bahwa yang dimaksud dengan biaya yang ditetapkan secara curang dalam
perkara a quo adalah fuel surcharge yang ditetapkan oleh para Terlapor.
Bahwa yang dimaksud dengan perjanjian dalam perkara a quo adalah perjanjian
tidak tertulis untuk menetapkan besaran fuel surcharge secara bersama-sama yang
dilakukan oleh para Terlapor yaitu Terlapor I, PT Garuda Indonesia (Persero);
Terlapor II, PT Sriwijaya Air; Terlapor III, PT Merpati Nusantara Airlines
(Persero), Terlapor IV, PT Mandala Airlines; Terlapor VI, PT Travel Express
Aviation Service; Terlapor VII, PT Lion Mentari Airlines; Terlapor VIII, PT
Wings Abadi Airlines; Terlapor IX, PT Metro Batavia; Terlapor X, PT Kartika
Airlines; pada Periode I (Mei 2006 s/d Maret 2008) untuk zona penerbangan
dengan waktu tempuh 0 s/d 1 jam, 1 s/d 2 jam dan 2 s/d 3 jam.
Bahwa fuel surcharge merupakan kompensasi dari kenaikan harga avtur (aviation
turbin) yang dimasukkan ke dalam komponen tarif tiket pesawat penerbangan
yang dibebankan kepada konsumen.
KPPU menghukum 9 maskapai penerbangan yaitu PT Sriwijaya, PT Metro
Batavia (Batavia Air), PT Lion Mentari Airlines (Lion Air), PT Wings Abadi
Airlines (Wings Air), PT Merpati Nusantara Airlines, PT Travel Express Aviation
Service dan PT Mandala Airlines bersalah telah melakukan kartel dengan
melakukan kesepakatan harga patokan avtur selama 2006-2009. Praktik tersebut
menyebabkan konsumen merugi hingga Rp 13,8 triliun. KPPU pun menghukum
sembilan maskapai dengan ganti rugi total sebesar Rp 586 miliar.
Akan tetapi, maskapai yang dikenai hukuman mengajukan keberatan ke
pengadilan dan berhasil memetik hasil maksimal. Ketika itu, pengadilan menilai
banyak faktor yang menentukan harga fuel surcharga yaitu harga internasional
dan nilai tukar rupiah tetapi mereka membeli ke satu produsen yaitu Pertamina.
Sehingga tidak dapat dipastikan sebagai kesepakatan yang memenuhi unsur
monopoli sesuai diatur dalam Pasal 5 UU No 5/1999.
DAFTAR PUSTAKA

Buku
Andi Fahmi Lubis et. al., 2009, Hukum Persaingan Usaha Antara Teks dan
Konteks, ROV Creative Media, Jakarta.

Andi Fahmi Lubis et. Al., 2017, Hukum Persaingan Usaha, Komisi Pengawas
Persaingan Usaha (KPPU), Jakarta

Binoto Nadapdap, Hukum Acara Persaingan Usaha, (Jakarta: Jala Permata


Aksara, 2009).

Dr. Abdul . Saliman, SH., M.M. 2015 , Hukum Bisnis Untuk Perusahaan ,
Kharisma Putra Utama.

Suyud Margono, Hukum Anti Monopoli, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2009).

Jurnal
Anisah, S. (2016). Pengaturan dan Penegakan Hukum Pemboikotan dalam
Antitrust Law Amerika Serikat. Media Hukum, 22(2), 17.

Antoni, V. HAMBATAN DAN SOLUSI PENEGAKKAN HUKUM ATAS


PERKARA KARTEL DI LUAR PERSEKONGKOLAN TENDER DI
INDONESIA. Mimbar Hukum-Fakultas Hukum Universitas Gadjah
Mada, 31(1), 95-111.

URL

Kementrian Perindustrian Republik Indonesia. Pemboikotan Disney Tekan Ekspor


Kerta. Diakses 19 September 2019 dari
http://www.kemenperin.go.id/artikel/4850/Pemboikotan-Disney-Tekan-
Ekspor-Kertas
Guru Pendidikan. (2019). Pengertian Kartel, Ciri, Jenis, Syarat, Keuntungan,
Kelemahan dan Contoh. Diakses 19 September 2019 dari
https://www.gurupendidikan.co.id/kartel/

Sarjana Ekonomi. (2019), Pengertian, Efektivitas, Sejarah dan Jenis Terlengkap,


diakses 20 September 2019 dari
https://sarjanaekonomi.co.id/boikot/#Jenis_Jenis_Boikot

Shidarta. Business Law. (2013). Catatan Seputar Hukum Persaingan Usaha.


Diakses 20 September 2019 dari https://business-
law.binus.ac.id/2013/01/20/catatan-seputar-hukum-persaingan-usaha/

Anda mungkin juga menyukai