Anda di halaman 1dari 11

Persekutuan Perdata

Hukum Organisasi Perusahaan


Kelas B
Oleh
Bella Nathania (1306450102)
Efraim Jordi Kastanya (1306450071)
Mohammad Rizki Cahyadi (1306450260)
Sofia Ardiani (1306450273)
Syariful Alam (1306450140)

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
2015
0

PENDIRIAN PERSEKUTUAN PERDATA

Persekutuan Perdata (Maatschap) adalah suatu persetujuan (perjanjian) antara dua orang
atau lebih, yang berjanji untuk memasukkan sesuatu ke dalam persekutuan itu (inbreng atau
contribution) dengan maksud supaya keuntungan (manfaat) yang diperoleh dari perseroan itu
dibagi di antara mereka.1 Dari pengertian tersebut maka dapat ditariklah tiga unsur penting 2 dari
persekutuan perdata yaitu :
1. Persekutuan Perdata adalah perjanjian (kontrak)
2. Prestasi masing-masing pihak adalah memasukkan sesuatu atau memberikan kontribusi
modal ke dalam persekutuan
3. Tujuannya adalah membagi keuntungan ( advantage atau profit)
Unsur pertama dari persekutuan perdata adalah perjanjian atau kontrak. Hal ini berarti
bahwa terhadap suatu persekutuan berlaku ketentuan yang sama tentang kontrak atau perjanjian
sebagaimana dijelaskan dalam KUH Perdata. Unsur kedua adalah adanya kontribusi yang mana
tidak akan ada suatu persekutuan jika ada sekutu yang tidak memberikan kontribusi apapun ke
dalam persekutuan. Unsur ketiga dan terakhir adalah adanya pembagian keuntungan dimana
tidak boleh ada persekutuan yang mana keuntungan hanya dibagai kepada salah satu sekutu.
Keuntungan haruslah dibagi kepada tiap-tiap sekutu walaupun pembagiannya berbeda porsinya.
Mengenai pendirian persekutuan perdata, pada Pasal 1624 KUH Perdata menyatakan
bahwa :
Persekutuan perdata mulai berjalan pada saat persetujuan diadakan, kecuali jika
ditentukan waktu lain dalam persetujuan itu.
Berdasarkan hal ini Prof. Soekardono berpendapat bahwa untuk mendirikan persekutuan perdata
cukup dilakukan secara lisan hingga tercapainya persetujuan kehendak karena undang-undang
1

Pasal 1618 KUH Perdata


Agus Sardjono, et.al, Pengantar Hukum Dagang, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2014),
hal. 29.
2

tidak mengharuskan syarat tertulis.3 Artinya persekutuan perdata bisa didirikan cukup secara
konsensual atau persetujuan belaka. Namun demikian, perjanjian atau persetujuan untuk
mendirikan persekutuan perdata haruslah memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian sebagaimana
ditentukan dalam Buku Ketiga bab Kedua KUH Perdata yaitu pasal 1320-1341.
Meskipun menurut doktrin hukum dimungkinkan pendirian persekutuan perdata secara
lisan, namun dalam kaitannya dengan kebutuhan hukum lainnya, khususnya dalam kaitannya
dengan kegiatan-kegiatan persekutuan lainnya tetap diperlukan dokumen-dokumen tertulis.
Disimpulkan dari hal-hal diatas bahwa secara teoritis memang diperbolehkan atau dimungkinkan
tidak adanya akta pendirian secara tertulis namun secara praktis dibutuhkan dalam kegiatan
Persekutuan Perdata itu sendiri kedepannya. Disamping hal diatas, akta pendirian berguna untuk
hal-hal penting lainnya yang mengurangi resiko silap atau kesalahan dalam menjalankan
perjanjian di kemudian hari.

BENTUK PERSEKUTUAN PERDATA

Terdapat berbagai macam definisi badan hukum menurut para ahli, antara lain menurut
Maijers, badan hukum adalah meliputi sesuatu yang menjadi pendukung hak dan kewajiban. 4
Menurut Logeman, badan hukum adalah suatu personifikasi, yaitu suatu perwujudan hakkewajiban. Hukum organisasi menentukan struktur intern dari personifikasi itu.5 Kemudian
Utrecht berpendapat bahwa badan hukum adalah badan yang berwenang menjadi pendukung hak
yang tidak berjiwa atau lebih tepatnya yang bukan manusia. 6 Lalu, menurut Soebekti, badan
hukum pada pokoknya adalah suatu badan atau perkumpulan yang dapat memiliki hak-hak dan
melakukan perbuatan seperti seorang manusia, serta memiliki kekayaan sendiri, dapat digugat
atau menggugat didepan hakim.7

Ibid, hal. 33
Chidir Ali, Badan Hukum, (Bandung: Alumni, 1987), hal. 17.
5
Ibid.
6
Ibid.
7
Ibid, hlm. 19.
4

Dari berbagai definisi para ahli diatas mengenai badan hukum, dapat disimpulkan bahwa
badan hukum merupakan salah satu subjek hukum atau pribadi hukum yang memiliki hak dan
kewajiban yang sama dengan manusia sebagai subjek hukum pribadi kodrati. Apabila dikaitkan
dengan Persekutuan Perdata atau Maatshcap yang memiliki definisi sebagaimana diatur dalam
Pasal 1618 KUHPerdata yaitu sebagai suatu perjanjian dengan mana dua orang atau lebih
mengikatkan diri untuk memasukkan sesuatu, dengan maksud untuk membagi keuntungan yang
diperoleh maka tidak terlihat bahwa persekutuan perdata memenuhi unsur-unsur sebagai sebuah
badan hukum.
Mengenai ketentuan umum di dalam persekutuan perdata yang dibahas dalam Pasal 1618
sampai dengan Pasal 1623 KUHPerdata juga tidak ada ketentuan yang menjelaskan bahwa
persekutuan perdata merupakan sebuah badan hukum. Ditegaskan dalam Pasal 1644
KUHPerdata bahwa dalam suatu persekutuan perdata suatu perjanjian yang dibuat dengan pihak
ketiga hanya mengikat sekutu yang membuat perjanjian tersebut, dan tidak mengikat sekutu
lainnya, kecuali jika sekutu lain telah memberikan kuasa kepadanya untuk itu atau telah
meberikan manfaat bagi persekutuan tersebut. Jika persekutuan perdata adalah badan hukum
maka perbuatan yang dilakukan atas nama persekutuan seharusnya menjadi tanggungan dari
persekutuan yang bersangkutan, bukan tanggungan sekutu yang melakukan perbuatan itu. 8 Lalu
mengenai ketentuan Pasal 1645 KUHPerdata yang seolah-olah mencerminkan bahwa
persekutuan perdata adalah badan hukum, menurut Purwosutjipto isi pasal tersebut tidak dapat
disimpulkan bahwa persekutuan perdata adalah badan hukum, kaena perbuatan para sekutu
persekutuan menggugat langsung kepada pihak ketiga tersebut adalah didasarkan pada prinsip
kebersamaan dalam manfaat. Perbuatan salah seorang sekutu adalah untuk kepentingan bersama
tiap-tiap sekutu, dan bukan disifatkan sebagai perbuatan suatau badan hukum, hal itu didasarkan
pada pada prinsip bahwa karena masing-masing sekutu mempunyai bagian dalam harta kekayaan
persekutuan maka setiap sekutu berhak menagih bagiannya dalam persekutuan.9
Dengan demikian, persekutuan perdata lebih tepat dikatakan sebagai sebuah badan usaha
dikarenakan persekutuan perdata bertujuan utama untuk mencari keuntungan dan bukan sebagai
8

Agus Sardjono, et.al. op.cit, hal. 41.


Purwosutjipto, Hukum Dagang Indonesia, jilid 1, bagi. 2, cet. 5, (Jakarta: Rajawali Pers,
1983), hal. 36
9

badan hukum karena tidak dapat mengemban hak dan kewajiban untuk melakukan suatu
perbuatan hukum atas nama persekutuan itu sendiri serta tidak sesuai dengan definisi badan
hukum menurut doktrin maupun menurut peraturan perundang-undangan.

ANALISIS AKTA PENDIRIAN PERSEKUTUAN PERDATA


Pasal 1 Akta Pendirian Persekutuan Perdata (PP) mengatur mengenai nama dan
kedudukan PP. Pengaturan mengenai nama dan kedudukan tidak terdapat dalam KUHPerdata,
tetapi dalam RUU tentang Persekutuan Perdata, Persekutuan Firma, dan Persekutuan Komanditer
mengatur mengenai dua hal tersebut. Dalam Pasal 4 RUU dinyatakan bahwa
Setiap Persekutuan Perdata harus mempunyai nama dan tempat kedudukan dalam
wilayah Negara Republik Indonesia
Kemudian Pasal 5 RUU mengatur mengenai ketentuan nama Persekutuan Perdata
sebagaimana berikut:
Persekutuan Perdata dilarang memakai nama yang:
a. Sama atau mirip dengan nama Persekutuan Perdata yang telah di daftarkan terlebih
dahulu;
b. Bertentangan dengan ketertiban umum dan/atau kesusilaanPasal 2 Akta Pendirian
Persekutuan Perdata (PP) mengatur mengenai bentuk persekutuan dan tujuan
Apabila melihat Pasal 1 Akta Pendirian (PP) terdapat pengaturan mengenai dalam hal
anggota persekutuan mengundurkan diri sebagai Konsultan Pajak atau meninggal dunia,
sedangkan nama anggota persekutuan yang bersangkutan digunakan sebagai nama Kantor
Konsultan Pajak, nama yang bersangkutan dapat dipertahankan sepanjang mendapatkan
persetujuan tertulis dari anggota persekutuan yang mengudurkan diri tersebut atau ahli waris
bagi Konsultan Pajak yang meninggal dunia tidak bertentangan dengan KUHPerdata
dikarenakan tidak ada pengaturan tentang nama Persekutuan Perdata dan dikarenakan pada
dasarnya apabila melihat pada definisi persekutuan dalam pasal 1618 yang menyatakan
Persekutuan adalah suatu perjanjian dengan mana dua orang atau lebih mengikatkan
diri untuk memasukkan sesuatu dalam persekutuan, dengan maksud untuk membagi
keuntungan yang terjadi karenanya
Maka persekutuan pada dasarnya adalah perjanjian sehinga hal tersebut diperbolehkan
selama kedua belah pihak menyetujuinya dan tentunya memenuhi syarat perjanjian sebagaimana
Pasal 1320 KUHPerdata

Pasal 2 Akta Pendirian Persekutuan Perdata (PP) mengatur mengenai Bentuk Persekutuan
dan Tujuan . Pengaturan mengenai tujuan Persekutuan Perdata (PP) memang tidak diatur secara
jelas dalam KUHPerdata. Namun apabila melihat definisi Persekutuan sebagaimana Pasal 1618.
Dapat dilihat bahwa maksud dan tujuan dari dibentukan Persekutuan Perdata adalah untuk
mencari keuntungan dan membagi keuntungan kepada rekan-rekan atas kegiatan usaha yang
dijalankan Persekutuan Perdata. Dalam Pasal 2 Akta Pendirian Persekutuan Perdata (PP)
disebutkan bahwa tujuan persekutuan adalah berusaha dalam bidang jasa berupa Jasa Konsultasi
dan Bantuan Hukum, Jasa Konsultan dan Konsultasi Pajak, Jasa Konsultasi bidang keuangan,
Jasa Konsultasi Umum lainnya, Jasa Konsultasi Bisnis dan Manajemen, dan Jasa Penyelenggara
acara, dimana tujuan dari dilakukan usaha dalam bidang jasa sebagaimana telah disebutkan
adalah semata-mata untuk menghasilkan keuntungan jadi telah sesuai dengan tujuan umum yang
dilihat dari definisi Persekutuan Perdata sendiri.
Pengaturan mengenai bentuk Persekutuan Perdata tidak diatur dalam KUHPerdata tetapi
KUHperdata mengatur mengenai Jenis Persekutuan Perdata sebagaimana Pasal 1620
KUHPerdata yaitu terdapat Persekutuan Penuh dan Persekutuan Khusus. Dimana Persekutuan
Perdata Umum, yang dalam jenis ini diperjanjikan suatu pemasukan yang terdiri dari seluruh
harta kekayaan masing-masing sekutu atau bagian tertentu dari harta kekayaan secara umum
yang artinya tanpa perincian. Persekutuan Perdata macam ini dilarang oleh Pasal 1621
KUHPerdata. Rasio dari larangan itu ialah bahwa dengan adanya pemasukan seluruh atau
sebagian harta kekayaan tanpa perincian itu, orang tidak akan dapat membagi keuntungan secara
adil seperti ditetapkan dalam Pasal 1633 KUHPerdata yang menentukan bila bagian keuntungan
dari masing-masing sekutu tidak ditentukan dalam perjanjian pendirian persekutuan masingmasing sekutu tidak ditentukan dalam perjanjian pendirian persekutuan perdata, maka
pembagian keuntungan harus didasarkan atas keseimbangan pemasukan dari masingmasing
sekutu. Persekutuan perdata jenis ini diperkenalkan juga asal diperjanjikan bahwa masingmasing sekutu akan mencurahkan seluruh kekuatan kerjanya untuk mendapatkan laba yang dapat
dibagi-bagi antara para sekutu. Persekutuan perdata jenis ini oleh Pasal 1622 KUHPerdata
dinamakan persekutuan perdata keuntungan (algehele maatschap van winst).10

10

H.M.N Purwosutjipto,S.H. Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, Jilid I (Jakarta,


Djambatan, 1981),,hlm 23

Sementara Persekutuan Perdata Khusus adalah persekutuan perdata jenis khusus ini para
sekutu masing-masing menjanjikan pemasukan benda-benda tertentu atau sebagian dari pada
tenaga kerjanya sebagaimana Pasal 1623 KUHPerdata.
Pengaturan mengenai Bentuk Persekutuan Perdata tidak diatur dalam KUHPerdata. Namun
berdasarkan bentuk hukum Persekutuan Perdata yang dikenal dalam praktik terdapat beberapa
bentuk sebagai berikut:
1. Persekutuan perdata dapat terjadi antara pribadi-pribadi yang melakukan suatu pekerjaan
bebas (profesi) seperti pengacara, dokter, arsitek, dan akuntan. Asosiasinya tidak
menjalankan perusahaan, tetapi lebih mengutamakan orang-orang yang menjadi
pesertanya dan juga tidak menjadikan elemen modal organisatorisnya (ciri-ciri
menjalankan perusahaan) sebagai unsur utamanya. Mereka tidaklah menjalankan
perusahaan di bawah nama bersama11
2. Adakalanya pula persekutuan bertindak ke luar kepada pihak ketiga secara terangterangan dan terus-menerus untuk mencari laba, maka persekutuan perdata tersebut
dikatakan menjalankan perusahaan12 Persekutuan perdata yang demikian dapat terjadi,
misalnya A seorang pedagang yang tinggal di Jakarta, kemudian B juga seorang
pedagang yang tinggal di Jakarta; kedua orang ini bersepakat untuk membentuk
persekutuan perdata yang bergerak dalam bidang perbengkelan dengan nama Bengkel X.
Persekutuan perdata ini memang bermaksud untuk menjalankan perusahaan.
3. Suatu perjanjian kerjasama dari suatu transaksi sekali segera setempat. Misalnya
kerjasama untuk membeli barang secara bersama-sama dan kemudian dijual dengan
mendapat keuntungan. Dalam hal unsur kerjasama secara terus menerus sesuai dengan
suatu pekerjaan atau menjalankan perusahaan tidak terdapat di dalamnya, apalagi dalam
kasus semacam ini memang pada umumnya tidak menjalankan perusahaan di bawah
nama bersama13
Melihat berbagai bentuk persekutuan perdata diatas, bentuk Persekutuan Perdata dalam
Akta Pendirian Persekutuan Perdata adalah Persekutuan perdata dapat terjadi antara pribadipribadi yang melakukan suatu pekerjaan bebas (profesi), dikarenaka berdasarkan Pasal 2 butir 1
terlihat bahwa Persekutuan Perdata melakukan suatu pekerjaan bebas atau profesi sebagai
Penyedia Jasa Konsultan dan Konsultasi.
11

M. Natzir Said, Hukum Perusahaan di Indonesia, Jilid I (Perorangan) (Bandung: Alumni,


1987, hlm 58.
12
H.M.N. Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, Jilid I (Jakarta,
Djambatan, 1981), hlm 18
13
M. Natzir Said, loc.cit.

Pasal 3 Akta Pendirian Persekutuan Perdata (PP) mengatur mengenai hak dan kewajiban
dari rekan-rekan PP. Pasal 3 terdiri dari beberapa ayat sebenarnya dapat dikelompokan pada dua
garis besar hak dan kewajiban yaitu hak dan kewajiban rekan pada sesama rekan serta hak dan
kewajiban rekan dengan pihak ketiga yang terdiri atas klien maupun pemerintah.
Ayat-ayat di dalam Pasal 3 yang mengatur mengenai hak dan kewajiban yang bersifat
internal terdapat di dalam ayat (2), (6), dan (7). Ayat (2) menegaskan bahwa rekan-rekan PP
harus bersikap profesional dengan tidak melakukan rangkap jabatan kecuali menjadi dosen di
perguruan tinggi, komisaris, atau . Pada dasarnya pengaturan mengenai profesionalitas tidak
diatur di dalam KUHPerdata, namun profesionalitas semata-mata merupakan prinsip etika yang
ingin ditekankan oleh para pihak di dalam akta PP tersebut. Sementara ayat (6) berhubungan
dengan pengaturan mengenai hubungan eksternal PP di dalam Pasal 1639 angka 1 KUHPerdata
yang menegaskan bahwa jika tidak terdapat janji-janji khusus sebelumnya maka semua rekan
memiliki hak untuk melakukan perjanjian dengan pihak ketiga. Berdasarkan ayat (6) seorang
rekan memiliki kewajiban untuk
menginformasikan serta mendiskusikan dengan Rekan lainnya pertimbanganpertimbangan yang digunakan dalam pengambilan keputusan untuk menerima atau
-menolak suatu penugasan.
Rumusan Pasal 3 ayat (6) ini menjadi relevan untuk dikaitkan dengan Pasal 4 ayat (1)
yang memberi kuasa pimpinan rekan untuk melakukan perjanjian dengan pihak ketiga.
Sebenarnya dengan memberikan kuasa pada pimpinan rekan, pimpinan rekan dapat melakukan
perjanjian dengan pihak ketiga tanpa seizin rekan-rekan lainnya dan perjanjian tersebut tetap
mengikat rekan-rekan lainnya asal dilakukan dengan itikad baik (Pasal 1636 KUHPerdata).
Namun dapat dikatakan bahwa batas-batas tindakan yang disebut itikad baik sangatlah relatif,
suatu tindakan yang dipandang oleh pimpinan rekan sebagai tindakan yang beritikad baik dapat
dipandang oleh rekan lain sebagai tindakan yang tidak beritikad baik, sehingga akan lebih baik
bagi kelangsungan PP apabila pimpinan rekan mendiskusikan terlebih dahulu tawaran yang
diberikan oleh klien.
Keberadaan ayat (7) yang menjelaskan mengenai pembagian keuntungan di dalam PP
telah mengesampingkan pengaturan mengenai pembagian keutungan di dalam Pasal 1633
7

KUHPerdata, karena Pasal 1633 KUHPerdata hanya berlaku apabila tidak diatur di dalam
perjanjian mengenai pembagian keuntungan.
Sementara pengaturan mengenai hubungan eksternal dengan klien yang tercantum di
dalam Pasal 3 ayat (1), (3), (4), dan (5) tidak diatur di dalam KUHPerdata. Pada dasarnya
pengaturan tersebut berkaitan dengan profesionalitas yang dibangun antara rekan dan kliennya.
Begitupula mengenai pembayaran pajak pun (Pasal 3 ayat (8)) tidak diatur di dalam
KUHPerdata. Sementara ayat (9) yang mengatur mengenai hutang rekan sesuai dengan Pasal
1642 KUHPerdata, di mana rekan lain tidak bertanggung jawab atas hutang yang dimiliki oleh
rekan lain tanpa kuasa dari rekan-rekan lainnya. Di dalam perjanjian kuasa tersebut diperjelas
dengan menyebutkan ...tidak digunakan untuk kepentingan Persekutuan dan atau tanpa
persetujuan tertulis...
Pada Pasal 5 Akta Pendirian Persekutuan Perdata ini mengatur mengenai pengunduran
dari seorang sekutu dalam persekutuan perdata. Dalam Pasal 5 ayat (1) tersebut menyebutkan
bahwa:
Masing-masing Rekan berhak untuk sewaktu-waktu keluar dari Persekutuan, asal saja
kehendaknya itu paling sedikit 3 (tiga) bulan sebelumnya diberitahukan dengan surat
kepada Para Rekan lainya, dengan ketentuan bahwa Rekan yang -bersangkutan harus
terlebih dahulu menyelesaikan pekerjaannya yang menjadi kewajiban dalam
jabatannya.
Hal ini merupakan aspek hubungan internal dalam persekutuan perdata karena mengatur
antar sekutu saja, tidak mengatur ketentuan dengan pihak ketiga. Pada asasnya maatschap terikat
pada kapasitas kepribadian dari masing-masing anggota, dan cara masuk/keluarnya ke dalam
maatschap ditentukan secara statutair (tidak bebas), sesuai perjanjian yang telah disepakati dari
masing-masing sekutu. Maka dari itu, dalam akta pendirian ini mengatur mengenai syarat-syarat
apabila masing-masing sekutu sewaktu-waktu keluar dari persekutuan, yaitu dengan memberikan
pemberitahuan dengan surat atas kehendaknya itu kepada sekutu lainnya minimal 3 bulan
sebelumnya dan sekutu yang ingin keluar itu harus terlebih dahulu menyelesaikan segala
pekerjaanya yang menjadi kewajiban dalam jabatannya.
8

Dengan keluarnya salah seorang sekutu tidak serta-merta membubarkan persekutuan


perdata tersebut. Berdasarkan Pasal 5 ayat (2) Akta Pendirian Persekutuan Perdata tersebut
menyatakan bahwa sekutu yang tidak keluar berhak sepenuhnya untuk melanjutkan Persekutuan
dengan tetap memakai nama Persekutuan. Berdasarkan Pasal 1646 KUHPerdata persekutuan
berakhir dikarenakan lewatnya waktu untuk mana persekutuan telah diadakan, musnahnya
barang atau diselesaikannya perbuatan yang menjadi pokok persekutuan, atas kehendak sematamata dari beberapa atau seorang sekutu, atau jika salah seorang sekutu meninggal atau ditaruh
dibawah pengampuan atau pailit. Memang dalam Pasal 1649 dan 1650 KUHPerdata membuka
kemungkinan pembubaran persekutuan atas dasar kehendak seorang atau beberapa orang sekutu,
asalkan

memenuhi syarat tertentu, yaitu sekutu yang ingin berhenti dari persekutuan

memberitahukan terlebih dahulu niatnya itu dalam waktu yang cukup dan dilakukan atas dasar
itikad baik. Hal ini didasarkan pada prinsip kehendak bebas (freedom of choice) yang menjadi
asas utama dalam suatu perjanjian, seorang yang sudah tidak ingin bergabung dalam suatu
persekutuan tidak dapat dipaksa untuk tetap bergabung dalam suatu persekutuan, hanya saja
kehendak bebas itu tidak boleh dilaksanakan dengan niat merugikan orang lain. 14 Dengan
demikian, karena sudah disepakati oleh masing-masing sekutu dalam akta pendirian Persekutuan
Perdata tersebut bahwa para sekutu yang tidak keluar berhak sepenuhnya untuk melanjutkan
Persekutuan dengan tetap memakai nama Persekutuan, maka dengan keluarnya salah seorang
atau beberapa sekutu tidak serta-merta dapat membubarkan Persekutuan Perdata ini.
Lalu, pada pasal 6 Akta Pendirian Persekutuan Perdata ini mengatur mengenai
penyelesaian perselisihan dalam pelaksanaan kegiatan persekutuan perdata. Hal ini juga
merupakan aspek hubungan internal pada persekutuan perdata yang mana mengatur urusan antar
sekutu saja. Dalam Pasal 6 ayat (1) ini menyatakan bahwa apabila terjadi perselisihan dalam
penafsiran atau pelaksanaan ketentuan dari akta ini, para sekutu terlebih dahulu melakukan
penyelesaiannya dengan cara musyawarah. Kemudian Pasal 6 ayat (2) menyatakan bahwa
apabila penyelesaian secara musyawarah tidak menghasilkan kata sepakat untuk penyelesaian
perselisihan maka perselisihan ini diselesaikan oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI).
Hal ini merupakan kesepakatan para sekutu mengenai cara penyelesaian sengketa yang terjadi
14

Agus Sardjono, et.al, op.cit, hal. 44.

pada Persekutuan perdata tersebut. Berdasarkan Pasal 1618 KUHPerdata yang menyatakan
persekutuan adalah suatu perjanjian maka terhadap suatu persekutuan berlaku semua asas dan
aturan hukum kontrak.15 Dengan demikian, dikarenakan telah terjadi kesepakatan antar sekutu
mengenai cara penyeselesaian perselisihan pada Persekutuan Perdata tersebut maka cara
penyelesaian ini harus dilakukan oleh masing-masing sekutu apabila terjadi suatu perselisihan.
Pada Pasal 7 Akta Pendirian Persekutuan Perdata tersebut menyatakan bahwa hal-hal
yang tidak atau kurang diatur dalam akta ini maka akan diatur dan ditetapkan oleh para sekutu
dalam suatu perjanjian tersendiri. Dengan demikian, akta ini hanya mengatur hal-hal secara
umum saja, untuk pengaturan lebih lanjut mengenai Persekutuan Perdata tersebut akan diatur
dalam perjanjian disepakati oleh masing-masing sekutu. Kemudian mengenai syarat formil suatu
akta pendirian Persekutuan Perdata maka harus dihadiri oleh saksi-saksi serta tanda tangan
notaris yang dibubuhkan materai.

15

Ibid, hal. 29

10

Anda mungkin juga menyukai