Anda di halaman 1dari 19

UNIVERSITAS INDONESIA

MAKALAH SEMINAR PAJAK

Hari/Tanggal
Dosen
Materi

:
:
:

Rabu, 3 Desember 2014


Drs. Edi Sumantri
Pajak Daerah

Kelompok 5
Esti Hajarwati
Rr. Mayang Ayu PS
Saras Asih
Nico Dimas Purba
Sandhi Indraswara

1106001675
1106060135
1106060116
1106060122
1106021885

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK


PROGRAM SARJANA ILMU ADMINISTRASI FISKAL
DEPOK
DESEMBER, 2014

BAB 1
GAMBARAN KASUS
Terdapat beberapa jenis Pajak Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota sebagai
berikut:
1.
2.
3.
4.

Pajak Kendaraan Bermotor (PKB)


Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBB-KB)
Pajak Air Tanah (PAT)
Pajak Reklame

Sebagaimana diketahui, fungsi pemungutan pajak adalah fungsi budgetair dan


regulerend. Keempat jenis pajak daerah tersebut masing-masing memiliki
perannya sendiri dalam memenuhi fungsi budgetair, yakni sebagai sumber
pendapatan daerah dan fungsi regulerend, yakni sebagai alat yang dipergunakan
pemerintah untuk mencapai tujuan tertentu.

BAB 2
PERMASALAHAN KASUS
Sebagaimana diketahui, fungsi pemungutan pajak adalah fungsi budgetair dan
fungsi regulerend. Saudara diminta menjelaskan:
1. Kebijakan yang telah dilakukan oleh Pemerintah Daerah untuk
menyeimbangkan kedua fungsi tersebut.
2. Kebijakan apa lagi yang perlu dilakukan agar tujuan kedua fungsi tersebut
dapat tercapai secara maksimal.

BAB 3
PERATURAN-PERATURAN TERKAIT
Dalam menjawab permasalahan-permasalahan terkait dengan kasus yang
telah dipaparkan sebelumnya, terdapat beberapa peraturan yang dipergunakan
sebagai dasar hukum dalam menganalisis. Peraturan-peraturan tersebut adalah
sebagai berikut:
1. UU No 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
a. Pasal 3 sampai dengan Pasal 8 tentang Pajak Kendaraan Bermotor
b. Pasal 16 sampai dengan Pasal 20 tentang Pajak Bahan Bakar
Kendaraan Bermotor
c. Pasal 67 sampai dengan Pasal 71tentang Pajak Air Tanah
d. Pasal 47 sampai dengan Pasal 51tentang Pajak Reklame
2. Beberapa Perda yang berlaku di daerah tertentu.

BAB 4
PEMBAHASAN KASUS
1. Pajak Kendaraan Bermotor (PKB)
Pajak Kendaraan Bermotor adalah salah satu jenis Pajak Provinsi.
Objek PKB adalah kepemilikan dan/ atau penguasaan kendaraan bermotor.
Terdapat kendaraan bermotor yang dikecualikan dari objek PKB, yaitu
kereta api, kendaraan pertahanan dan kemanan, dan kendaraan kedutaan
dan lain-lain dengan asas resiprositas dan lembaga-lembaga internasional
yang memperoleh pembebasan pajak. Subjek PKB adalah orang pribadi
atau badan yang memiliki dan/ atau menguasai kendaraan bermotor. Dasar
pengenaan PKB di Indonesia adalah Nilai Jual Kendaraan Bermotor; dan
bobot yang mencerminkan secara relatif tingkat kerusakan jalan dan/ atau
pencemaran lingkungan akibat penggunaan kendaraan bermotor. DPP
ditetapkan secara terpusat oleh Menteri Dalam Negeri dan ditinjau kembali
setiap tahun.
PKB pada dasarnya merupakan pajak yang dipungut dengan
mempertimbangkan dampak penggunaan kendaraan bermotor, baik dalam
hal kerusakan jalan maupun pencemaran lingkungan yang ditiumbulkan.
Dengan demikian, sangat tepat apabila sebagian penerimaan PKB
dialokasikan (earmarked tax) untuk kedua hal tersebut. Dalam UU PDRD
Tahun 2009, terdapat pengaturan terhadap pengalokasian penerimaan
PKB, yaitu: Hasil penerimaan PKB paling sedikit 10%, termasuk yang
dibagihasilkan kepada Kabupaten/ Kota, dialokasikan untuk pembangunan
dan/atau pemeliharaan jalan serta peningkatan moda dan sarana
transportasi umum.
Dalam memenuhi dan menyeimbangkan

fungsi budgetair dan

regulerend, terdapat beberapa upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah


daerah, yakni:
a. Mengatur tariff progresif untuk kepemilikan mobil kedua, ketiga, dan
seterusnya. Kepemilikan atau penguasaan dilihat dari nama dan

alamat, jika sama maka dapat dikenakan tariff pajak progresif atas
kepemilikan lebih dari satu kendaraan, Ini adalah upaya pemerintah
untuk mengurangi upaya Wajib Pajak yang kerap mengakali
pengenaan tariff progresif ini dengan cara mengatasnamakan
kendaraan bermotor miliknya pada orang lain. Namun, pada
kenyataannya

kebijakan

ini

masih

belum

berhasil

dalam

menyeimbangkan fungsi budgetair dan regulerend karena masih dapat


dihindari oleh Wajib Pajak dengan berbagai cara.
b. Menaikkan tarif progresif PKB.
Upaya pemaksimalan fungsi bugetair dan regulerend dalam
pemungutan Pajak Kendaraan Bermotor masih dapat dilakukan di
antaranya dengan mengupayakan dilakukannya kebijakan sebagai berikut:
a. Pemberlakuan tariff pajak progresif berdasarkan nilai jual kendaraan
bermotor. Misalnya, persentase tariff PKB bagi kendaraan bermotor
dengan nilai jual Rp100 juta Rp200 juta akan berbeda dengan
kendaraan bermotor yang memiliki nilai jual Rp200 juta Rp300 juta.
Kebijakan ini akan mendorong maksimalisasi fungsi budgetair PKB
karena besaran tariff pajak akan terus meningkat sesuai dengan nilai
jual kendaraan bermotor. Kebijakan ini juga akan menciptakan
keadilan bagi Wajib Pajak karena mereka akan dikenakan pajak sesuai
dengan nilai jual kendaraan mereka, apakah tinggi ataukah rendah.
Akan tetapi, kebijakan ini masih urung dilakukan karena meskipun
dengan kebijakan ini fungsi budgetair dari PKB akan terdongkrak, di
sisi lain fungsi regulerend dari PKB tidak akan berjalan dengan baik.
Penyebabnya adalah munculnya potensi kecenderungan Wajib Pajak
untuk membeli kendaraan motor dengan nilai jual yang lebih rendah,
tapi dengan jumlah yang lebih banyak, sehingga tujuan penerapan
PKB sebagai alat pengatur dan pembatasan penggunaan kendaraan
bermotor tidak dapat terpenuhi dengan maksimal.

b. Pengenaan tariff pajak progresif berdasarkan cc kendaraan bermotor,


semakin besar cc nya maka semakin tinggi persentase PKB yang harus
dibayarkan.
c. Pembatasan usia kendaraan bermotor. Kebijakan ini dapat dilakukan
untuk

mendukung

pencapaian

fungsi

regulerend

PKB

yaitu

pembatasan pemakaian kendaraan bermotor. Dengan membuat regulasi


mengenai pembatasan usia kendaraan bermotor, misalnya pelarangan
penggunaan kendaraan yang berusia lebih atau sama dengan 20 tahun,
secara otomatis jumlah kendaraan bermotor yang digunakan akan
menurun dan emisi yang mencemari lingkungan pun akan berkurang.
Namun kendala yang mungkin muncul apabila kebijakan ini dibuat
adalah penolakan dari masyarakat karena merasa kebijakan pemerintah
tidak pro terhadap masyarakat kecil.
2. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor
PBBKB adalah pajak atas penggunaan bahan bakar kendaraan
bermotor, yaitu semua jenis bahan bakar cair atau gas yang digunakan
untuk kendaraan bermotor. Pemungutan PBBKB diatur dalam UU Nomor
34 Tahun 2000 yang telah direvisi menjadi UU Nomor 28 Tahun 2009
Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD). Berdasarkan UU
Nomor 34 Tahun 2000, besarnya PBBKB yang dikenakan pada setiap liter
bahan bakar yang dikonsumsi oleh masyarakat adalah sebesar 5 persen
dari nilai jual sebelum pajaknya. Ini berarti dari setiap liter BBM yang
dibeli oleh masyarakat, pemerintah daerah mendapatkan 5 persen
penerimaan PBBKB.
Sementara itu, besaran tarif PBBKB berdasarkan UU Nomor 28
Tahun 2009 paling tinggi sebesar 10 persen. Pengaturan lebih lanjut
dilakukan terhadap kendaraan umum dengan tarif paling sedikit 50 persen
lebih rendah dari tarif PBBKB untuk kendaraan pribadi. Dengan demikian,
dalam UU PDRD yang baru, pengenaan PBBKB dapat dilakukan secara
diskriminatif baik antar daerah maupun antar jenis (peruntukan)

kendaraan. Peluang pemberlakuan diskriminasi tarif tersebut sebenarnya


bertujuan untuk meningkatkan daya saing daerah, karena harga jual per
liter BBM dapat berbeda antar daerah. Selain itu, diskriminasi harga
tersebut juga secara tidak langsung juga ditujukan agar masyarakan dapat
mengurangi konsumsi BBM sedemikian rupa sehingga besaran subsidi
dalam APBN dapat dikurangi. Namun, pada 4 Juli lalu, Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 36/2011
tentang Perubahan atas Tarif PBBKB. Beleid tersebut menyebutkan dalam
rangka stabilisasi harga bahan bakar kendaraan bermotor, tarif PBBKB
yang sudah ditetapkan oleh daerah dalam perdanya diubah menjadi lima
persen.
Realisasi penerimaan PBBKB cenderung meningkat setiap
tahunnya. Dalam kurun waktu tahun 2002-2006 realisasi penerimaan
PBBKB daerah meningkat rata-rata 23-28 persen setiap tahunnya. Pada
tahun 2002, total PBBKB yang diterima oleh daerah adalah sebesar Rp1,5
triliun dan kemudian meningkat menjadi Rp1,9 triliun pada tahun 2003,
atau mengalami peningkatan sebesar 26 persen. Penerimaan PBBKB
mengalami peningkatan berturut-turut pada tahun 2004 dan 2005 masingmasing sebesar 23 persen dan 28 persen. Bahkan pada tahun 2006,
realisasi penerimaan PBBKB mengalami peningkatan sebesar 80 persen
dari tahun sebelumnya yang terjadi karena adanya kenaikan harga BBM di
dalam negeri karena pengaruh kenaikan harga minyak dunia. Adapun
penerima PBBKB tertinggi di Indonesia masih didominasi oleh provinsiprovinsi di pulau Jawa, yaitu Provinsi Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa
Timur, Jawa Tengah dan Banten.
Daerah-daerah di luar pulau Jawa yang memiliki realisasi
penerimaan PBBKB yang cukup tinggi adalah daerah-daerah yang stabil
secara keamanan, memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup
tinggi, serta merupakan daerah penghasil migas yaitu Provinsi Sumatera
Utara, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, dan Bali

dengan proporsi penerimaan PBBKB secara nasional berkisar antara 2-5%


setiap tahunnya.
Adanya penetapan tarif maksimal yang memungkinkan daerah
provinsi dapat menerapkan tarif PBBKB berbeda dengan daerah lainnya
akan berdampak terhadap penerimaan APBD masing-masing daerah.
Namun demikian, penerapan aturan ini masih menghadapi berbagai
kendala khususnya karena penetapan harga BBM saat ini masih ditetapkan
secara seragam oleh Pemerintah dan belum mencerminkan harga
keekonomian. Sebagian jenis BBM yang menjadi objek PBBKB, yaitu
jenis premium dan solar masih bersubsidi sehingga peningkatan tarif
PBBKB yang tidak diikuti oleh kenaikan jual per liter BBM, di satu pihak
memang dapat meningkatkan penerimaan PAD, tetapi di lain pihak justru
berdampak terhadap peningkatan subsidi BBM. Peningkatan tarif PBBKB
yang diharapkan dapat mengurangi subsidi BBM berpotensi menyebabkan
kenaikan harga BBM sehingga perlu dilakukan secara hati-hati mengingat
potensi dampak sosial yang akan ditimbulkannya cukup besar.
Kendala lain dari penerapan aturan PBBKB yang baru adalah
masih rendahnya kesadaran masyarakat untuk menghemat penggunaan
BBM. Adanya diskriminasi tarif antar daerah maupun antar jenis
kendaraan yang mungkin menyebabkan kenaikan harga jual BBM, tidak
menjamin turunnya konsumsi BBM. Akibatnya besaran subsidi pada
APBN tidak berkurang secara signifikan. Rendahnya dampak perubahan
tarif PBBKB terhadap konsumsi BBM tersebut ditengarai dengan masih
terbatasnya penyediaan sarana transportasi umum yang aman dan nyaman,
yang

menyebabkan

penggunaan

kendaraan

pribadi,

baik

yang

menggunakan premium maupun solar terus mengalami peningkatan,


sehingga volume konsumsi BBM sulit untuk dikurangi.
Kebijakan yang telah ataupun sebaiknya dilakukan dalam upaya
menanggulangi kendala-kendala yang dihadapi

dalam pelaksanaan

PBBKB ini sehingga diharapkan dapat berjalan efektif adalah:

a. Mengurangi subsidi bahan bakar minyak secara bertahap dengan tujuan


agar masyarakat tidak kagetdan terbebani.
b. Memberikan kesempatan kepada investor asing untuk berpartisipasi dalam
pengelolaan bahan bakar minyak, dengan tujuan agar terjadi alih
tekhnologi dan peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia.
c. Diversifikasi bahan bakar minyak dengan cara mendorong adanya
investasi swasta dengan tujuan agar mendapatkan dukungan dana dari
perusahaan swasta tersebut.
d. Perlu disiapkan sistem, mekanisme dan sarana & prasarana yang memadai
dalam pelaksanaan penjualan BBM serta pendataan terhadap jenis
kendaraan umum dan pribadi sebelum dilaksanakannya pemberlakuan
kebijakan diskriminasi tarif agar kebijakan tersebut dapat dioptimalkan
dalam mengurangi subsidi BBM.
e. Perlu dilakukan sosialisasi sebelum diberlakukannya penetapan tarif
PBBKB yang baru, baik yang bersifat seragam maupun apabila
dilaksanakan diskriminasi tarif guna mengantisipasi terjadinya gejolak
pada masyarakat. Selain itu pemberlakuan aturan baru dalam penerapan
PBBKB perlu dilaksanakan pada situasi dan kondisi yang tepat. Sosialisasi
perlu pula dilakukan sampai pada tingkat pengecer BBM (SPBU) agar
pelaksanaan diskriminasi tarif dapat dilakukan secara optimal.
f. Untuk mengurangi konsumsi BBM yang tidak terkendali, perlu dilakukan
perbaikan infrastruktur transportasi yang memadai sekaligus penyediaan
alternatif moda transportasi massal yang aman, nyaman, dan terjangkau
oleh masyarakat.

3. Pajak Air Tanah


Pajak Air Tanah adalah salah satu jenis pajak kabupaten atau kota.
Dasar pengenaan pajak ini adalah atas penggunaan air bawah tanah.
Pemungutan PAT lebih ditujukan pada pemenuhan fungsi regulerend
pajak, yaitu untuk membatasi penggunaan air tanah. Potensi Pajak Air
Tanah

sebenarnya

tinggi

terutama

di

kota-kota

besar

yang

pembangunannya pesat, namun pada realitanya penerimaan pajak daerah

10

jenis ini tidak terlalu besar bahkan kontribusinya terhadap PAD cenderung
paling rendah di antara jenis pajak daerah lain. Hal ini mungkin
disebabkan oleh beberapa faktor, seperti:
a. Rendahnya tingkat kepatuhan Wajib Pajak.
Sering ditemukan Wajib Pajak yang sudah melakukan penggunaan air
bawah tanah, namun ia belum terdaftar sebagai Wajib Pajak. Selain itu,
masih ditemukan pula Wajib Pajak yang sudah terdaftar, namun tidak
memenuhi kewajiban perpajakannya dengan patuh (tidak membayar
maupun menunggak).
b. Kecurangan terselubung yang dilakukan oleh fiskus.
Pada praktiknya, masih ada bentuk-bentuk kecurangan yang dilakukan
fiskus dalam pemungutan PAT ini di daerah. Bentuk dari kecurangan
ini, misalnya, terdapat mekanisme pengenaan tariff flat atas
penggunaan air tanah di beberapa daerah. Pada mekanisme ini, fiskus
melakukan survey di lokasi untuk menentukan jumlah besaran
pemakaian air rata-rata setiap bulannya sehingga PAT yang terutang
setiap bulan pun dipukul rata setiap bulan (besarannya sama). Dalam
mekanisme ini terdapat potensi kecurangan fiskus dengan Wajib Pajak
yang saling tawar menawar untuk menentukan besarnya PAT yang
terutang.
c. Harga Dasar Air yang rendah.
HDA adalah salah satu faktor penentu besarnya PAT terutang. Di
beberapa daerah, nilai HDA per meter kubiknya masih tergolong
rendah karena nilai HDA tersebut tidak dievaluasi berkala dengan
mempertimbangkan pembangunan yang terjadi di daerah tersebut. Hal
ini mengakibatkan potensi PAT belum dapat tergali dengan maksimal.
Untuk menyeimbangkan fungsi budgetair dan fungsi regulerend
dari Pajak Air Tanah, pemerintah daerah telah melakukan beberapa upaya,
baik yang sifatnya intensifikasi pajak maupun ekstensifikasi pajak. Upayaupaya tersebut antara lain sebagai berikut.
a. Kenaikan Harga Dasar Air Tanah

11

Menurut UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi


Daerah, besar tariff Pajak Air Tanah yang dapat ditetapkan oleh
Pemerintah Daerah setinggi-tingginya adalah 20%. Pemerintah daerah
tidak dapat menetapkan tarif yang lebih tinggi daripada itu. Oleh
karenanya, instrument yang dapat digunakan pemerintah daerah dalam
memaksimalkan fungsi budgetair PAT adalah pengaturan Harga Dasar
Air Tanah yang merupakan salah satu komponen penentu dalam
penghitungan PAT. Untuk menyeimbangkan fungsi budgetair dan
regulerend dari PAT, pemerintah daerah menaikkan HDA sehingga
otomatis besar PAT pun akan meningkat. PAT dibuat lebih tinggi
daripada harga air PDAM, tujuannya agar masyarakat membatasi
penggunaan air tanah dan beralih menggunakan PDAM.
b. Pemasangan water meter
Water meter ini sebenarnya adalah alat penting yang sudah seharusnya
terpasang ketika Wajib Pajak memanfaatkan air tanah, namun di
beberapa daerah masih ada saja Wajib Pajak yang belum menggunakan
water meter. Karenanya, pemerintah berupaya melakukan pemasangan
water meter secara merata di lokasi pengambilan air tanah untuk
mengetahui berapa volume air tanah yang dipergunakan oleh Wajib
Pajak dan menghitung pajak yang terutang secara akurat, sesuai
dengan penggunaan oleh Wajib Pajak.
c. Penjaringan Wajib Pajak Baru
Mendeteksi penggunaan air tanah pada sektor industri dan niaga
cenderung lebih mudah, apalagi jika skalanya besar. Berbeda halnya
dengan penggunaan air tanah pada sektor non niaga (untuk kolam
renang, misalnya) yang cenderung lebih sulit dideteksi apabila tidak
disurvei terlebih dahulu. Oleh karenanya, penjaringan Wajib Pajak
baru ditujukan tidak hanya pada sektor industri dan niaga saja, tapi
juga non niaga.
Untuk memaksimalkan fungsi budgetair dan regulerend dari PAT,
terdapat beberapa upaya yang dapat dilakukan oleh pemerintah daerah.
Upaya-upaya tersebut antara lain:

12

a. Penetapan tarif PAT progresif sesuai dengan volume air tanah yang
digunakan.
b. Pengawasan water meter secara lebih ketat untuk mengantisipasi
kecurangan Wajib Pajak. Sering ditemui water meter milik Wajib
Pajak mengalami kerusakan namun tidak dilaporkan sehingga
penghitungan volume air yang digunakan pun tidak akurat dan
merugikan pemerintah daerah.
c. Pengaturan Harga Dasar Air Tanah dengan mempertimbangkan lokasi
pengambilan yang berada dalam jangakauan PDAM atau tidak.
Prinsipnya, Harga Dasar Air Tanah di dalam jangkauan PDAM
ditetapkan lebih tinggi daripada HDA di luar jangkauan PDAM.
Tujuannya

adalah

mengarahkan

masyarakat

untuk

membatasi

penggunaan air tanah dan memilih menggunakan air PDAM dengan


harga lebih murah.
d. Sosialisasi kepada masyarakat apabila ada kebijakan baru yang telah
dibuat. Misalnya, kenaikan HDA. Kebijakan ini harus disosialisasikan
secara jelas dan menyeluruh agar masyarakat mengetahui dan
memahaminya secara utuh.
e. Evaluasi Nilai Perolehan Air Tanah secara berkala.
f. Penegasan penggunaan angka pada water meter sebagai indikator
penentu jumlah pajak air tanah yang terutang. Sebaiknya pemerintah
daerah meniadakan mekanisme penetapan tarif flat berdasarkan asumsi
rata-rata penggunaan air tanah perbulan karena kebijakan ini membuka
peluang terjadinya ketidakakuratan penghitungan pajak yang terutang
dan juga kongkalikong di antara fiskus dan Wajib Pajak.
4. Pajak Reklame
Berdasarkan Perda Prov. DKI Jakarta No. 12 Tahun 2011 Tentang
Pajak

Reklame,

yang

merupakan

objek

pajak

adalah

Reklame

papan/billboard/megatron, Rekl. kain, Rekl. melekat, Rekl. selembaran,


Rekl. Berjalan, Rekl. Apung, Rekl. Udara, Rekl. Suara, Rekl. Film/slide
dan Rekl. Peragaan. Adapun beberapa objek pajak yang dikecualikan,
antara lain:

13

1.
2.
3.
4.

Diselenggarakan melalui internet, media elektronik dan media cetak


Diselenggarakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah
Diselenggarakan yang memuat nama tempat ibadah dan panti asuhan
Diselenggarakan sesuai dengan ketentuan yang mengatur nama
pengenal usaha atau profesi tersebut yang luasnya, tidak melebihi 1 m2
(satu meter persegi), ketinggian maksimum 15 (lima belas) meter

dengan jumlah reklame terpasang tidak lebih dari 1 (satu) buah


5. Diselenggarakan untuk tanah tidak melebihi 1 m2 yang letaknya
ditanah tersebut
6. Diselenggarakan oleh Perwakilan Luar Negeri
7. label/merek produk yang melekat pada barang yang diperdagangkan,
yang berfungsi untuk membedakan dari produk sejenis lainnya.
Subjek pajak reklame adalah o0rang pribadi atau badan yang
menggunakan reklame. Sedangkan wajib pajak reklame yaitu :
1. orang pribadi atau badan yang menyelenggarakan reklame.
2. Diselenggarakan sendiri secara langsung oleh orang pribadi atau
badan.
3. Diselenggarakan melalui pihak ketiga.
Besarnya tarif pajak reklame yang ditetapkan maksimal sebesar
25% (dua puluh lima persen) pada setiap daerah. Dasar Pengenaan Pajak
(DPP) dihitung berdasarkan nilai sewa reklame, meliputi ; lebar, jenis,
jangka waktu dan ukuran. Masa pajak reklame yaitu jangka waktu 1 (satu)
bulan takwim. Pajak reklame terutang pada saat penyelenggaraan reklame
atau diterbitkannya SKPD. Sistem pemungutan dari pada pajak reklame ini
adalah Official Assessment , yaitupPengenaan pajak yang dibayar oleh
Wajib Pajak setelah terlebih dahulu ditetapkan oleh Gubernur atau pejabat
yang ditunjuk melalui SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan.
Kebijakan yang sudah dilakukan
1. Reklame Produk dan Non-Produk
Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No.
27 Tahun 2014 tentang Penetapan Nilai Sewa Reklame Sebagai Dasar
Pengenaan Pajak Reklame pada dasarnya mengatur mengenai Nilai Sewa
Reklame yang nantinya akan menjadi dasar perhitungan pajak reklame.

14

Nilai Sewa Reklame adalah dasar pengenaan pajak yang digunakan


sebagai salah satu faktor dalam penghitungan pajak reklame terutang
(Pasal 1 angka 27 Pergub 27/2014). Sedangkan Pajak Reklame adalah
pajak atas penyelenggaraan reklame (Pasal 1 angka 8 Pergub 27/2014).
Menurut Pasal 2 Pergub 27/2014, dasar pengenaan Pajak Reklame
meliputi NSR. NSR tersebut diatur sebagai berikut:
a. Dalam hal penyelenggaraan reklame diselenggarakan oleh pihak ketiga,
NSR ditetapkan berdasarkan Nilai Kontrak Reklame;
b. Dalam hal reklame diselenggarakan sendiri, NSR dihitung dengan
memperhatikan faktor-faktor:
jenis reklame;
bahan yang digunakan;
lokasi penempatan;
waktu;
jangka waktu penyelenggaraan reklame;
jumlah reklame; dan
ukuran luas reklame;

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Nilai Kontrak Reklame itu sendiri adalah nilai yang tercantum


dalamkontrak pembuatan reklame antara pihak ketiga dengan pemesan
reklame (Pasal 1 angka 28 Pergub 27/2014).
Akan tetapi, tentu akan ada kemungkinan Nilai Kontrak Reklame
tidak wajar jika dibandingkan dengan Nilai Kontrak Reklame yang ada
pada lokasi kelas jalan yang sama dan ukuran luas reklame yang sama
dalam penyelenggaraan reklame, yang mana dalam peraturan ini disebut
dengan NSR dianggap tidak wajar (Pasal 1 angka 29 Pergub 27/2014.
Untuk mengantisipasi NSR dianggap tidak wajar tersebut, yang
mana tentu dapat merugikan pendapatan negara dari pajak, maka
menurut Pasal 2 ayat (3) Pergub 27/2014, dalam hal NSR yang ditetapkan
berdasarkan Nilai Kontrak Reklame, tidak diketahui dan/atau dianggap
tidak wajar, maka NSR ditetapkan dengan menggunakan faktor-faktor
sebagaimana jika reklame diselenggarakan sendiri.
Mengenai NSR dalam hal reklame diselenggarakan sendiri, NSR
tersebut terdiri dari NSR untuk penyelenggaraan reklame non produk dan
produk (Pasal 6 ayat (2) Pergub 27/2014).

15

Yang dimaksud Reklame Non Produk adalah reklame yang


memuat semata-mata nama badan/perusahaan/usaha atau nama profesi,
termasuk logo/simbol atau identitas badan/perusahaan/usaha yang dapat
dilihat, dibaca oleh umum (Pasal 1 angka 10 Pergub 27/2014). Sedangkan
Reklame Produk adalah reklame yang memuat produk suatu barang atau
jasa sebagai sarana promosi (Pasal 1 angka 11 Pergub 27/2014).
Mengenai tarif reklame yang diselenggarakan sendiri, bergantung
pada jenis reklame yang digunakan, lokasi penempatan (lokasi peletakan
reklame menurut kelas jalan), ukuran luas bidang reklame, jangka waktu
penyelenggaraan, ketinggian reklame. Mengenai tarif dapat dilihat
dalamPasal 6, Pasal 7, dan Pasal 8 Pergub 27/2014.
Berikut merupakan tarif pajak reklame yang diselenggarakan
sendiri, dalam bentuk reklame papan/billboard dan kain, yaitu sebagai
berikut:
1. NILAI SEWA REKLAME NON PRODUK
Jangka Waktu

No

Lokasi

Ukuran Luas

Penempatan

Bidang Reklame

1
2
3
4
5

Protokol A
Protokol B
Protokol C
Ekonomi Kelas I
Ekonomi Kelas II
Ekonomi Kelas

1 M2
1 M2
1 M2
1 M2
1 M2

n
1 Hari
1 Hari
1 Hari
1 Hari
1 Hari

1 M2
1 M2

6
7

III
Lingkungan

Ketinggian

NSR

Reklame

(Rp)

s.d 15 M
s.d 15 M
s.d 15 M
s.d 15 M
s.d 15 M

25.000
20.000
15.000
10.000
5.000

1 Hari

s.d 15 M

3.000

1 Hari

s.d 15 M

2.000

Penyelenggaraa

2. NILAI SEWA REKLAME PRODUK


No
.
1
2
3

Lokasi
Penempatan
Protokol A
Protokol B
Protokol C

Ukuran Luas

Jangka Waktu

Bidang Reklame Penyelenggaraan


1 M2
1 Hari
2
1M
1 Hari
2
1M
1 Hari

Ketinggian
Reklame
s.d 15 M
s.d 15 M
s.d 15 M

16

NSR (Rp)
125.000
100.000
75.000

4
5
6
7

Ekonomi Kelas I
Ekonomi Kelas II
Ekonomi Kelas III
Lingkungan

1 M2
1 M2
1 M2
1 M2

1 Hari
1 Hari
1 Hari
1 Hari

s.d 15 M
s.d 15 M
s.d 15 M
s.d 15 M

Kenaikan Tarif Pajak Reklame Light Emmiting Diode (LED)


Nilai pajak reklame yang baru diatur Pemprov DKI Jakarta antara lain tarif
pajak untuk papan reklame layar Light Emmiting Diode (LED) berdasarkan
Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 27/2014 tentang penetapan nilai sewa
reklame sebagai dasar pengenaan pajak reklame yaitu pengenaan pajak dibagi
menjadi tujuh klasifikasi yang senilai Rp2.000 hingga Rp25.000 per meter per
segi per hari. Pengenanan pajak tersebut naik lima kali lipat menjadi Rp10.000
hingga Rp125.000 per meter per segi per harinya. Daftar pengenaan pajak tersebut
dikenakan sejak April 2014.
Dasar pengenaan pajak reklame diubah dalam Pergub tersebut, khususnya
untuk reklame LED. Sebelumnya, perhitungan pajak reklame LED berdasarkan
luasan layar, namun saat ini dihitung per durasi. Saat ini pajak reklame LED
dihitung berdasarkan durasinya. Perhitungan pajak reklame LED per hari selama
18 jam, dan tarifnya dihitung per 30 detik.

Di samping kebijakan-kebijakan yang telah dilakukan tersebut,


terdapat beberapa kebijakan yang dapat dilakukan pemerintah untuk
memaksimalkan fungsi bugetair dan regulerend dari pajak reklame.
Kebijakan tersebut antara lain:
a. Lelang titik reklame
Kebijakan ini dilakukan dengan memanfaatkan titik-titik strategis di
dalam suatu daerah. Titik-titik yang dilelang adalah lokasi di tengah
keramaian sehingga reklame yang dipasang di lokasi tersebut akan

17

50.000
25.000
15.000
10.000

berpotensi menarik perhatian massa dengan jumlah yang lebih besar.


Dengan melakukan pelelangan titik reklame, kedua fungsi pajak
terutama fungsi budgetair dapat dimaksimalkan.
b. Pemberian titik reklame di asset daerah
Pemberian titik reklame ini adalah sebagai kompensasi atas
pembangunan asset daerah yang telah dilakukan oleh pihak pemasang
reklame. Sistemnya, pemerintah daerah dan pihak pemasang reklame
mengadakan sebuah perjanjian dimana pihak pemasang reklame
membantu pembangunan asset daerah dan sebagai kompensasinya,
nantinya, pihak pemasang diizinkan memasang reklame pada asset
tersebut. Kompensasi ini hanya terbatas pada izin penggunaan asset
daerah sebagai lokasi pemasangan reklame, bukan pembebasan pajak
reklame. Kebijakan ini sangat menguntungkan baik dari sisi
pemerintah maupun dari sisi pihak pemasang reklame. Pihak
pemasang mendapat keuntungan karena memperoleh titik reklame
yang strategis, sedangkan pemerintah daerah mendapat bantuan dalam
membangun asset daerah sekaligus tetap memperoleh pendapatan dari
pajak reklame yang dibayarkan oleh Wajib Pajak.

DAFTAR REFERENSI
PUBLIKASI ELEKTRONIK

18

Riyanto, Inggar Ajeng Pradina, et al. Implementasi Proses Pemungutan Pajak Air
Tanah di Kota Malang (Studi pada Dinas Pendapatan Kota Malang).
Diakses pada 2 Desember 2014 pukul 21.19 WIB
Siswanto, Bambang. Evaluasi Kenaikan Pajak Air Tanah di Provinsi DKI Jakarta.
Diakses pada 2 Desember 2014 pukul 05.48 WIB
Widowati, Dyah Ayu, dan Irine Handika Ikasari, Peranan Pajak Pemanfaatan dan
Pengambilan Air Bawah Tanah terhadap Konservasi Air Tanah.
Dikases pada 2 Desember 2014 pukul 05.26 WIB
Masud, Siti Nurhaerati. Optimalisasi Penerimaan Pajak Air Tanah. Diakses pada
1 Desember 2014 pukul 19.48 WIB.
INTERNET
Ketiyasa, Martin Bagya. Batas Maksimal Penetapan Tarif Bahan Bakar Turun
5%.

Diakses

dari

http://economy.okezone.com/read/2011/08

04/20/488277/batas-maksimal-penetapan-tarif-bahan-bakar-turun-5
pada tanggal 2 Desember 2014
http://www.kemenkeu.go.id/en/node/42659, diakses pada 2 Desember 2014
PERATURAN
Republik Indonesia, Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah

19

Anda mungkin juga menyukai