Anda di halaman 1dari 81

I.

LATAR BELAKANG
Sejak berdirinya DKP/KKP pada September 1999, sektor KP
(Kelautan dan Perikanan) berada di persimpangan jalan (at
the cross-road).
Di satu sisi, publik (rakyat) Indonesia mengharapkan sektor
KP mampu meningkatkan kontribusinya secara signifikan bagi
pertumbuhan ekonomi nasional (nilai ekspor, PDB, dan
lapangan kerja); dan mensejahterakan nelayan, pembudidaya
ikan serta masyarakat pesisir  Berarti harus meningkatkan
pendayagunaan SDK (Sumberdaya Kelautan dan Perikanan).
Di sisi lain, banyak stok ikan di berbagai wilayah
perairan laut telah mengalami overfishing; ekosistem
pesisir (mangrove, terumbu karang, padang lamun, dan
estuari) di berbagai daerah telah rusak; dan perairan
laut pesisir, terutama di kota-kota besar atau daerah
dengan intensitas pembangunan yang tinggi, telah
tercemar  Berarti harus mengurangi laju (rate)
pemanfaatan SDK, merehibiltasi ekosistem pesisir yang
rusak, dan memulihkan lingkungan perairan laut pesisir
dari kondisi tercemar.
Ironisnya dan yang lebih menyesakkan dada, mayoritas nelayan dan
masyarakat pesisir yang bermukim dan hidup di daerah-daerah
pesisir yang telah mengalami deplesi SDK dan pencemaran itu masih
berkubang kemiskinan. Lebih dari itu, sejak 2007 Indonesia pun
mengimpor ikan dengan volume dan nilai yang terus meningkat,
termasuk jenis-jenis ikan yang ada di perairan Indonesia.
Padahal, fakta empiris di berbagai belahan dunia membuktikan
bahwa kerusakan lingkungan dan SDK bukan hanya disebabkan oleh
orang-orang kaya yang serakah dan industrialisasi, tetapi juga oleh
kemiskinan absolut (Konphalindo, 2001; Adams, 2009; UNEP, 2012).
Ingat: “people with an empty belly are difficult to think of
conservation, let alone doing conservation” (IUCN, 1983). “Kefakiran
mendekatkan seseorang kepada kekafiran” (HR. Ahmad).
Oleh sebab itu, jika paradigma dan pola pembangunan sektor
kelautan dan perikanan (KP) yang bersifat ‘growth mania’
(menjadikan Indonesia produsen perikanan terbesar di dunia pada
2015), tanpa mempertimbangkan daya dukung (carrying capacity)
lingkungan pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil, serta distribusi
kesejahteraan (wealth) kepada seluruh stakeholders KP secara adil
tidak dikoreksi; maka dikhawatirkan pembangunan KP tidak akan
berkelanjutan (sustainable).
“Blue economy” sebuah paradigma (konsep)
pembangunan ekonomi yang baru berkembang sejak
satu dekade terakhir, diyakini merupakan konsep yang
tepat untuk dapat menghasilkan pertumbuhan ekonomi
dari sektor KP yang mampu menciptakan lapangan kerja
dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara
adil, dan secara simultan memelihara daya dukung dan
kualitas lingkungan pesisir dan lautan. Dengan begitu,
maka pembangunan sektor KP diharapkan dapat
berlangsung secara berkelanjutan.
2.1 PERIKANAN GLOBAL
 Dalam dekade terakhir, total produksi perikanan
tangkap berfluktuasi pada angka sekitar 90 juta
ton/tahun, atau kondisinya sudah ‘leveling off’ (jenuh).
Total ikan hasil tangkap dunia tertinggi 100 juta ton
terjadi pada 1995.

 Overfishing di kebanyakan wilayah perairan laut dunia


telah mengakibatkan produksi perikanan tangkap laut
dunia dan CPUE menurun. Sekitar 70% perikanan laut
dunia telah overfishing dan crashed
(lihat Gambar UNEP).

 Underexploited or moderately exploited marine fish


stocks declined from 40% in the mid-1970s to 15% in
2008.
 In 2008, 53% of marine fish stocks were fully-exploited,
28% overexploited (overfishing), 3% depleted, dan 1%
recovering from depletion. (FAO, 2010).

 Dengan demikian, manajemen perikanan tangkap


konvensional telah gagal.

 Pada 2006, perikanan tangkap & perikanan budidaya


(aquaculture) dunia menghasilkan 110 juta ton ikan
konsumsi, yang 47% nya dari aquaculture (FAO, 2010).

 Sementara produksi perikanan tangkap stagnan atau


cenderung menurun, total produksi aquaculture dunia
meningkat secara signifikan dari tahun ke tahun.
 In 2008, Per capita supply of food fish was 16.7 kg (live
weight equivalent), which is among the highest among
record.

 The share of fish protein in total world animal protein


supplies grew from 14.9% in 1992 to a peak of 16% in
1996, and declining to 15.3% in 2005.

 Seiiring dengan pertambahan jumlah penduduk dunia


dan kesadaran akan nilai gizi ikan (seafood) yang lebih
baik dari pada ‘red meat’  demand terhadap ikan dan
produk perikanan bakal terus meningkat.

 Karena status perikanan tangkap yang telah fully


exploited atau overfishing, sedangkan demand ikan
terus meningkat  aquaculture menjadi tumpuan
supply produk perikanan di masa mendatang.
2.2. PERIKANAN INDONESIA
 Pada 2010 Indonesia merupakan produsen
perikanan terbesar (10,5 juta ton) di dunia; dan di
peringkat-12 sebagai eksportir perikanan dunia.

 Pada 2010 total produksi perikanan tangkap di


laut = 5,06 juta ton (77,8% MSY). Catatan: TAC
(Total Allowable Catch) = 80% MSY.

 Banyak stok SDI (sumberdaya perikanan) yang


fully exploited atau overfishing di sebagian besar
fishing grounds (WPP, Wilayah Pengelolaan
Perikanan).

 Tingkat pemanfaatan aquaculture masih rendah.


INDONESIA FISHERIES RANK’s
IN THE WORLD

WORLD ASIA

Capture fisheries 3 2
Aquaculture 4 3
Value of aquaculture product 7 5
Export (Volume) 11 4
Export (Value) 12 4
WORLD MAIN EXPORTER OF FISHERIES
(US$ Billion)
2008 2009 2010
China 10.10 10.24 13.36
Norway 6.63 7.08 9.68
Thailand 6.50 6.17 China 6.98
Vietnam 4.51 4.20
Thailand 4.94
USA 4.26 4.00 4.49
Denmark 4.00 na na
Canada 3.68 3.18 4.01
Indonesia 2.70 2.47 2.89
India 1.90 2.13 2.86
Tabel Potensi Produksi Lestari dan Tingkat
Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Indonesia

Produksi
Luas Potensi Tingkat
Tahun
Jenis Kegiatan Perikanan Perairan Produksi (jt Peman-
2010
(juta ha) ton/th) faatan (%)
(jt ton/th)
A. Perikanan Tangkap      
1. Laut 580,0 6,5 5,06 77,8
2. Perairan Umum 54,0 0,9 0,45 50,0

B. Perikanan budidaya
     
1. Laut 24,0 47,0 3,39 7,2
2.Tambak (payau) 1,2 5,0 0,99 19,8
3. Perairan Umum dan
tawar 13,7 5,7 0,50 7,5
TOTAL 672,9 65,0 10,19 15,68
Tabel. Estimasi Potensi Sumberdaya Ikan Pada Masing-masing
Wilayah Pengelolaan Perikanan Tahun 2010

SELAT LAUT
TELUK
SELAT SAMUDERA LAUT CINA LAUT MAKASAR - LAUT LAUT SAMUDERA ARAFURA‑
MALAKA TOMINI-
KELOMPOK HINDIA SELATAN JAWA LAUT BANDA SULAWESI PASIFIK LAUT TIMOR
LAUT SERAM
SUMBER DAYA FLORES TOTAL
IKAN
WPP WPP WPP WPP WPP WPP WPP WPP WPP WPP
WPP 571
572 573 711 712 713 714 715 716 717 718

Ikan Pelagis
27,7 164,8 201,4 66,1 55,0 193,6 104,1 106,5 70,1 105,2 50,9 1.145,4
Besar

Ikan Pelagis
147,3 315,9 210,6 621,5 380,0 605,5 132,0 379,4 230,9 153,9 468,7 3.645,7
Kecil

Ikan Demersal 82,4 68,9 66,2 334,8 375,2 87,2 9,3 88,8 24,7 30,2 284,7 1.452,5

Udang Penaeid 11,4 4,8 5,9 11,9 11,4 4,8 - 0,9 1,1 1,4 44,7 98.3

Ikan Karang
5,0 8,4 4,5 21,6 9.5 34,1 32,1 12,5 6,5 8,0 3,1 145,3
Konsumsi

Lobster 0,4 0,6 1,0 0,4 0,5 0,7 0,4 0,3 0,2 0,2 0,1 4,8

Cumi-cumi 1,9 1,7 2,1 2,7 5,0 3,9 0,1 7,1 0,3 0,3 3,4 28,3

Total Potensi 6.520,


276,0 565,2 491,7 1.059,0 836,6 929,7 278,0 595,6 333,6 299,1 855,5
(1000/tahun) 1

Sumber : Komnas Kajiskan dan Balitbang Kelautan dan Perikanan, KKP 2010
Status Pemanfataan SDI di 11 WPP

Sumber : Komnas Kajiskan dan Balitbang Kelautan dan Perikanan, KKP 2010
III. DOMAIN DAN POTENSI
EKONOMI KELAUTAN
Ekonomi kelautan adalah kegiatan
ekonomi yang berlangsung di wilayah
pesisir dan lautan, dan/atau yang
menggunakan SDA dan jasa-jasa
lingkungan kelautan untuk menghasilkan
barang dan jasa (goods and services) yang
dibutuhkan umat manusia (Dahuri, 2003;
Kildow, 2005).
Sumberdaya Kelautan
1. Sumberdaya yang dapat diperbaharui
- Perikanan
- Hutan Mangrove - Pulau-Pulau Kecil.
- Terumbu Karang - Industri Bioteknologi Kelautan
2 Sumberdaya yang tak dapat diperbaharui:
- Minyak Bumi dan Gas
- Harta Karun (DKP)
- Bahan Tambang dan Mineral lainnya
3. Energi Kelautan:
- Pasang Surut - Gelombang
- Angin - Ocean Thermal Energy Conversion
4. Jasa-Jasa Lingkungan
- Pariwisata
- Perhubungan dan Kepelabuhanan.
- Penampung (Penetralisir) Limbah
- Climate regulator, dll
Sektor Ekonomi Kelautan
(Blue Economy)
1. Perikanan Tangkap (KKP)
2. Perikanan Budidaya (KKP)
3. Industri Pengolahan Hasil Perikanan (KKP)
4. Industri Bioteknologi (KKP)
5. Pertambangan dan Energi
6. Pariwisata Bahari
7. Perhubungan Laut
8. Industri dan Jasa Maritim
9. Sumberdaya Wilayah Pulau Kecil (KKP)
10.Coastal forestry (Hutan Mangrove)
11.Non-conventional resources (KKP)
Tabel. Luas Potensi Lahan Tambak Indonesia
Luas Lahan (ha)
Tingkat
No Provinsi Total Pemanfaatan
Eksis Potensial
Potensi (%)

1 NAD 42,995 77,314 120,39 35.74


2 Sumatera Utara 6,638 38,200 44,568 14.29
3 Sumatera Barat 425 32,564 32,989 1.29
4 Riau 262 22,733 22,995 1.14
5 Jambi 1,671 20,000 21,671 7.71
6 Sumatera Selatan 7,946 20,728 28,674 27.71
7 Bangka Belitung 1,825 53,259 55,084 3.31
8 Bengkulu 572 2,000 2,572 22.24
9 Lampung 42,056 57,640 99,696 42.18
10 DKI Jakarta 250 - 250 100.00
11 Banten 14,511 5,000 19,511 74.37
12 Jawa Barat 47,439 4,630 52,069 91.11
13 Jawa Tengah 31,028 1,000 32,028 96.88
14 D.I. Yogyakarta 25 650 675 3.70
15 Jawa Timur 57,974 4,233 62,027 93.20
Lanjutan…..
Luas Lahan (ha)
Tingkat
No Provinsi Total Pemanfaatan
Eksis Potensial
Potensi (%)

18 Nusa Tenggara Timur 1,431 9,893 11,324 12.64


19 Kalimantan Barat 3,646 36,232 39,876 9.14
20 Kalimantan Tengah 4,772 84,400 89,172 5.35
21 Kalimantan Selatan 2,364 36,402 38,766 6.10
22 Kalimantan Timur 23,279 95,837 119,116 19.54
23 Sulawesi Utara 319 319 638 50.00
24 Gorontalo 1,000 10,675 11,675 8.57
25 Sulawesi Tengah 3,812 38,282 42,094 9.06
26 Sulawesi Barat 6,100 4,150 10,250 59.51
27 Sulawesi Selatan 103,446 38,809 142,225 72.72
28 Sulawesi Tenggara 15,618 36,309 51,927 30.08
29 Maluku 4,000 19,200 23,200 17.24
30 Maluku Utara 747 - 747 100.00
31 Papua 1,181 4,800 5,981 19,75
Jumlah 450,332 773,743 1,224,075 36,79

Sumber : KKP (2010)


Potensi Ekonomi Tambak Udang Vaname

• Total luas areal potensial : 1,2 juta ha.


• Udang Vaname: 300.000 ha ( 25%)
• Udang Windu : 300.000 ha (25%)
• Produksi Vaname : 300.000 ha x 20 ton/ha/th
= 6.000.000 ton/th
= 6.000.000.000 kg/th.
• Pendapatan negara (DEVISA): 6.000.000.000
kg/th x US$ 5/kg = US$ 30 Milyar/th
= Rp 270 Trilyun/th = 20% APBN 2011
• Pendapatan individu = Rp 7 juta/ha/bulan
• Tenaga Kerja Langsung: 1,2 JUTA orang.
Potensi Ekonomi Tambak Udang Windu

• Produksi Windu : 300.000 ha x 2


ton/ha/th = 600.000 ton/th.
• DEVISA: 600.000.000 kg/th x US$
10/kg = US$ 6 Milyar/th
• Pendapatan individu = Rp 4 juta/ha/bulan

• Tenaga kerja langsung: 1,2 juta orang.


POTENSI EKONOMI INDUSTRI
RUMPUT LAUT Gracilaria sp

• Luas : 200.000 ha
• Produksi :200.000 ha x 20 ton kering/ha/th
= 4.000.000 ton/th
= 4 milyar kg/th
• Pendapatan (devisa):
4 milyar kg/th x US$ 1 /kg
= US$ 4 milyar/th= Rp. 36 Trilyun/Tahun
• Pendapatan individu = Rp 3,5 juta/ha/bulan
• Tenaga Kerja = 1 juta orang
POTENSI EKONOMI INDUSTRI
RUMPUT LAUT Eucheuma sp
• Luas : 1 juta ha (4% luas laut potensial)
• Produksi :1000.000 ha x 20 ton
kering/ha/th = 20.000.000 ton/th
= 20
milyar kg/th
• Pendapatan (devisa): 20 milyar kg/th x
US$ 1 /kg = US$ 20 milyar/th
= Rp. 180 Trilyun/Tahun.
• Pendapatan individu =
Rp 12 juta/ha/bulan
BUDIDAYA KERAPU BEBEK

KJA 3 m x 3 m 8 lubang 10 unit


Penjualan
Bibit yang ditebar 400 ekor X 8 lubang x 10 unit 32.000 ekor
Mortality rate 10 % 28.800 ekor
Dalam 11 bulan per ekor menjadi 0,65 kg
Harga jual Rp 400.000/kg 18.720 kg
Total penjualan Rp7.488.000.000

Biaya-biaya
Harga bibit 32.000 ekor Rp 10.500 Rp336.000.000
Pakan 41.600 kg
a. Pelet 2 mm 18.000 kg x Rp 30.000/kg Rp540.000.000
b. Pelet 5 mm 23.500 kg x Rp 17.500/kg Rp411.250.000
Rp951.250.000

Tenaga kerja
8 orang x 13 bulan x upah Rp 2.500.000 Rp260.000.000
2 orang x 13 bulan x upah Rp 5.000.000 Rp130.000.000
Rp390.000.000
KJA Rp2.370.000.000

Total biaya-biaya Rp4.047.250.000

Keuntungan
Penjualan dikurangi dengan biaya-biaya
Penjualan Rp7.488.000.000
Biaya-biaya Rp4.047.250.000
Total keuntungan Rp3.440.750.000
BUDIDAYA KERAPU MACAN
KJA 4m x 4 m 6 lubang 10 unit
Penjualan
Bibit yang ditebar 750 ekor x 6 lubang x 10 unit 45.000 ekor
Mortality rate 8 % 41.400 ekor
Dalam 11 bulan per ekor menjadi 1 kg
Harga jual Rp 150.000/kg 41.400 kg
Total penjualan Rp 6.210.000.000

Biaya-biaya
Harga bibit 45.000 ekor Rp 3.500 Rp 157.500.000
Pakan FCR 1,8 x 41.400 kg = 74.520 kg
a. Pelet 2 mm 30.000 kg x Rp 25.000/kg Rp 750.000.000
b. Pelet 5 mm 44.520 kg x Rp 15.000/kg Rp 667.800.000
Rp 1.417.800.000

Tenaga kerja
8 orang x 13 bulan x upah Rp 2.500.000 Rp 260.000.000
2 orang x 13 bulan x upah Rp 5.000.000 Rp 130.000.000
Rp 390.000.000
KJA Rp1.736.000.000

Total biaya-biaya Rp3.543.800.000

Keuntungan
Penjualan dikurangi dengan biaya-biaya
Penjualan Rp 6.210.000.000
Biaya-biaya Rp 3.543.800.000
Total keuntungan Rp 2.666.200.000
BUDIDAYA BAWAL BINTANG
KJA OKTAGONAL dameter 7,5 m 6 lubang 10 unit
Penjualan
Bibit yang ditebar 6.000 ekor x 6 lubang x 8 unit 28.800 ekor
Mortality rate 6 % 270.720 ekor
Dalam 11 bulan per ekor menjadi 1,2 kg
Harga jual Rp 70.000/kg 324.864 kg
Total penjualan Rp 22.740.480.000

Biaya-biaya
Harga bibit 288.000 ekor Rp 1.500 Rp 432.000.000
Pakan FCR 1,8 x 324.864 kg = 584.756,2 kg
a. Pelet 2 mm 250.000 kg x Rp 17.500/kg Rp 4.375.000.000
b. Pelet 5 mm 334.755,2 kg x Rp 5.800/kg Rp 1.941.580.160
Rp 6.316.580.160

Tenaga kerja
8 orang x 13 bulan x upah Rp 2.500.000 Rp 260.000.000
2 orang x 13 bulan x upah Rp 5.000.000 Rp 130.000.000
Rp 390.000.000
KJA Rp5.940.000.000

Total biaya-biaya Rp 12.646.580.160

Keuntungan
Penjualan dikurangi dengan biaya-biaya
Penjualan Rp 22.740.480.000
Biaya-biaya Rp 12.646.580.160
Total keuntungan Rp 10.093.899.840
Total Potensi Ekonomi Kelautan: US$
1.200 miliar/tahun (Rp 11.000
triliun/tahun) atau lebih dari 10 kali
lipat APBN 2010 atau 2,5 PDB
Nasional saat ini
(PKSPL-IPB, 2011)
IV. TANTANGAN DAN
PERMASALAHAN PEMBANGUNAN
KELAUTAN DAN PERIKANAN
1. Dari status tingkat pemanfaatan SDI laut diatas (Bab II)
jelas, bahwa baik di tataran global maupun di
Indonesia, perikanan tangkap di laut telah fully
exploited atau overfishing  Artinya: tidak boleh
meningkatkan laju penangkapan ikan (menambah
fishing effort). Bahkan, harusnya kita mengurangi
fishing effort (jumlah kapal ikan dan jumlah nelayan).

2. Indikator overfishing di Indonesia: (1) CPUE menurun,


(2) rata-rata ukuran ikan yang tertangkap menurun,
(3) fishing grounds semakin jauh dari pantai atau
semakin dalam, dan (4) effort (waktu) yang
dibutuhkan untuk menangkap volume ikan yang sama
semakin lama (Potier and Nurhakim, 1995; Pigoselpi
Anas, 2012).
We are http://see-the-sea.org/topics/commerce/OVERFISHINGfromPEW.gif

taking fish
from the
oceans
faster than
they can
reproduce.

31
PS-PSL KELAS KHUSUS
 Penyebab overfishing:
(1) sifat SDI sebagai ‘common-property resource’ 
‘open access’ (harusnya controlled fisheries)

(2) IUU fishing, terutama oleh nelayan asing

(3) pencemaran perairan

(4) perusakan ekosistem pesisir (mangroves, coral reefs,


seagrass beds, dan estuaries)

(5) global climate change.


3. Sementara itu, demand terhadap ikan dan
produk perikanan semakin meningkat 
aquaculture diharapkan sebagai solusi untuk
memenuhi demand ikan dan produk perikanan
Indonesia dan dunia.
 Namun, aquaculture menghadapi kendala: (1) pakan,
(2) perebutan lahan dengan sektor-sektor lain, (3)
pencemaran, (4) penebangan mangroves, (5)
kelangkaan BBM, dan (6) global warming.
4. Mayoritas usaha perikanan tangkap, perikanan
budidaya, dan industri pengolahan hasil
perikanan belum menerapkan prinsip-prinsip
Blue Economy: (1) economy of scale; (2)
integrated supply chain management; (3) IPTEK
untuk meningkatkan efisiensi dan nilai tambah
produk, serta mengurangi emisi CO2 dan
polutan; (4) konservasi biodiversity; dan (5)
adaptasi dan mitigasi global climate change dan
bencana alam lain.
5. Prasarana, sarana, dan sistem logistik perikanan
masih buruk.
6. Fungsi intermediasi perbankan untuk sektor
perikanan sangat lemah. Perbankan umumnya
enggan mengucurkan kredit untuk sektor KP, atau
bunga sangat tinggi dan persyaratan sangat
menyulitkan.
7. Kebijakan impor produk perikanan melumpuhkan
kapasitas produksi perikanan Indonesia.
8. Kebijakan politik-ekonomi belum kondusif bagi
sektor KP.
9. Market, policy, and institutional failures.
V. LANDASAN TEORI DAN
IMPLEMENTASI
BLUE ECONOMY
5.1. Evolusi Konsep Blue Economy
 Bahwa SDI itu bersifat terbatas baru disadari oleh manusia pada
1932 (Russel, 1932). Sebelumnya, karena SDI adalah renewable
resource, maka dianggap bersifat tidak terbatas (unlimited),
boleh ditangkap berapa saja, kapan saja, dan dimana saja !.
 Sementara itu, kesadaran global bahwa bumi (termasuk laut
dan ekosistem perairan lain) itu memiliki daya dukung yang
terbatas di dalam menyediakan (memproduksi) SDA (termasuk
ikan) dan jasa-jasa lingkungan (environmental services) baru
muncul sejak awal 1970-an: Buku Limit to Growth (Meadows
and Meadows, 1971) dan UN Conference on Environment di
Stockholm 1972.
 Kesadaran lingkungan global tersebut, akhirnya melahirkan
paradigma ekonomi baru, yakni pembangunan berkelnjutan
(sustainable development) yang pertama kali diperkenalkan
dalam dokumen ‘World Conservation Strategy’ pada tahun 1980
oleh IUCN.
 Sejak terbitnya buku ‘Our Common Future’ oleh (WCED, 1987),
konsep pembangunan berkelanjutan akhirnya dijadikan
kebijakan pembangunan oleh hampir semua negara di dunia.
 Sustainable development is development that meets the needs
of the present without compromising the ability of future
generations to meet their own needs (WCED, 1987) .
Ada 2 kelompok mahzab pembangunan berkelanjutan
(Carley and Christie, 1993).
 Pertama advocates continuing economic growth, make
much more environmentally sensitive development
activities in order to raise living standards globally and
break the links between poverty and environmental
degradations (Weak Sustainability).
 Kedua calls for radical changes in economic
organizations, producing much lower rates of growth,
or even zero or negative growth (strong sustainability).
 Sebagian besar bangsa-bangsa di dunia,
memilih setuju dengan kelompok pertama.
 Tetapi, kedua mahzab PB setuju, bahwa one
critical aspect of any sustainable path seems to
be adaptation of human activities to the carrying
capacity of the earth planet.
 Carrying capacity is defined as the maximum rate
of natural resource utilization (consumption) and
waste discharge that can be sustained
indefinitely in a region without impairing
ecological productivity and integrity
(Postel and Ryan, 1991).
 Namun, ternyata konsep pembangunan
berkelanjutan umumnya hanya tercantum dalam
dokumen resmi negara dan konsep pidato para
pemimpin negara.
 Pada kenyataannya, sedikit sekali pemerintah,
korporasi maupun kelompok masyarakat
mengimplementasikan paradigma pembangunan
berkelanjutan.
 Itulah penyebab utama, mengapa the last three
decades have seen increasing degradation of coastal
and ocean ecosystems as a result of overfishing,
pollution, and global climate change (UNEP, 2012).
 In 2005, over 60% of the world’s major ecosystem
goods and services were degraded or used
unsustainably
(Millennium Ecosystem Assessment, 2005).
 Sejak 1989 mulai diperkenalkan konsep ‘green
economy’ (ekonomi hijau) sebagai cara untuk
mewujudkan pembangunan berkelanjutan
(Pearce et al., 1989).
 A green economy is one that results in improved
human well-being and social equity, while
significantly reducing environmental risks and
ecological scarcities (UNEP, 2011).
 Dalam pengertian yang lebih praktis, ekonomi hijau
adalah ekonomi yang dibangun atau digerakkan oleh
aktivitas yang mengemisikan sedikit CO2 (low carbon),
menggunakan SDA secara efisien (resource efficient),
dan secara sosial hasilnya dapat dinikmati oleh seluruh
rakyat dengan adil (socially inclusive).
 Dengan kata lain, dalam ekonomi hijau: growth in
income and employment are driven by public and
private investments that reduce carbon emissions and
pollution, enhance energy and resource efficiency, and
prevent the loss of biodiversity and ecosystem services.
 Selanjutnya, sejak 2009 berkembanglah konsep
‘blue economy’.
 Pada dasarnya, Blue Economy adalah aplikasi Green
Economy di bidang kelautan (in a Blue World)
(UNEP, 2012).
 Penurunan kualitas lingkungan, kesehatan ekologis,
dan produktivitas ekonomi dari wilayah pesisir dan
lautan, baik di Indonesia maupun pada tataran global
(Bab II) dapat diluruskan kembali (reversed) dengan
menerapkan konsep (paradigma) Ekonomi Biru
(Blue Economy).
5.2. Implementasi Blue Economy
 Beranjak dari pemahaman, bahwa Blue Economy
adalah penerapan Green Economy di bidang
kelautan, maka berarti prinsip-prinsip Green
Economy harus menjadi ruh (jiwa) dari setiap visi,
kebijakan, dan program dari kesebelas ekonomi
kelautan (Bab III).
 Prinsip-prinsip Blue Economy untuk mewujudkan
pembangunan kelautan berkelanjutan mencakup:
1. Laju pemanfaatan SDA dan JASLING (jasa-jasa lingkungan)
serta pembuangan limbah ke suatu wilayah pesisir dan
lautan tidak boleh melampaui daya dukung lingkungan
wilayah tersebut (Gambar).
2. Penataan ruang setiap unit wilayah pembangunan pesisir
dan lautan menjadi minimal 30% untuk kawasan lindung
(preservasi dan konservasi), dan 70% untuk kawasan
pembangunan (pemanfaatan).
3. Laju pemanfaatan SDA terbarukan (SDI, hutan mangroves,
dll) tidak melebihi kemampuan pulihnya dalam kurun
waktu tertentu.
 Permintaan (laju pemanfaatan SDA dan
JASLING) = f (jumlah penduduk, kebutuhan
ruang/kapita, konsumsi SDA/kapita, produksi
limbah/kapita, dan ekspor).
 Daya dukung = f (luas wilayah, potensi SDA
terbarukan, SDA tak terbarukan, kapsitas
asimilasi limbah, life-supporting functions,
teknologi, and impor).
Socio- Cultural Population Living Global
Spatial Bioecological economic Standard Dynamic
Area Characteristics Characteri
Characteri stics
stics
Local &
National Export

Carrying Demand
Capacity (Market)

ASSESMENT
•Potential
•Problems & Issues

PLANNING

CONTROLLING ORGANIZING

Monitoring & Evaluation


ACTUATING
(MONEV)

SUSTAINABLE COASTAL AND Ocean


DEVELOPMENT

Figure 2. Planning Process for Sustainable Coastal and Ocean Development


4. Pemanfaatan SDA tak terbarukan (migas, mineral, dan
bahan tambang) harus dilakukan secara ramah lingkungan,
sebagian keuntungan harus diinvestasikan untuk
mengembangkan bahan substitusi dan pengembangan
kegiatan-kegiatan ekonomi berkelanjutan (sustainable
economic activities) untuk meningkatkan kapasitas dan
kesejahteraan masyarakat lokal.
5. Semua kegiatan manusia dan sektor ekonomi kelautan
harus menekan semaksimal mungkin emisi GRK (CO2) dan
buangan limbah.
6. Pengendalian pencemaran.
7. Rehabilitasi ekosistem pesisir dan laut yang telah rusak.
8. Konservasi keanekaragaman hayati (biodiversity), baik
pada tingkatan genetik, spesies, maupun ekosistem.
9. Kegiatan modifikasi bentang alam, desain, dan konstruksi
di wilayah pesisir dan lautan (coasts and oceans) haruslah
menyesuaikan dengan struktur, karakteristik, dan
dinamika alam.
10. Melakukan adaptasi dan mitigasi terhadap global climate
change, tsunami, dan bencana alam lainnya.
11. Semua pemanfaatan SDA dan JASLING di wilayah pesisir
dan lautan haruslah efisien, menghasilkan nilai tambah,
berdaya saing, menciptakan lapangan kerja, dan inklusif.
 Contoh teknologi untuk peningkatan efisiensi
pemanfaatan dan nilai tambah SDK: (1) handling,
processing, and packaging technology; (2)
biotechnology; (3) kapal ikan tenaga surya; (4)
biofuel and other renewable energy; (5) tambak
udang biocrete; dan (6) zero-waste processsing
(manufacturing) technology.
 Empat Prasyarat Utama agar Prinsip-Prinsip Blue
Economy dapat diimplementasikan:
1. Improvements in environemental (natural
resources) valuation and policy analysis to ensure
that markets and policies incorporate the full
costs and benefits of environmental impacts.
Environmental valuation and accounting for
natural capital depriciation must be fully
integrated into economic development policy and
startegy.
2. Implementing effective and appropriate information system,
incentives, institutions, investments, and infrastructures. Ini
semua diperlukan agar lembaga pemerintah dapat
mengendalikan degradasi lingkungan dan SDA, dan pada saat
bersamaan mampu mendayagunakan SDA dan JASLING secara
efisien, bernilai tambah, dan berkelanjutan.
3. Strengthen and develop collaboration between environmental
scientists, economists, sociologists, and other relevant
scientists to predict, assess, and monitor the impacts of
economic development and global climate change.
4. Buat Key Performance Indicators (KPI) untuk pembangunan
berkelanjutan sektor KP sebagai landasan evaluasi kinerja Blue
Economy.
PERIKANAN
EXISTING PROSES DAN KOMPONEN
PEMBANGUNAN PT PRODUK PERIKANAN
1. Economy of Scale PERIKANAN BERDAYA SAING,
KOMPETITIF ADIL, DAN
2. Integrated
BERKELANJUTAN
EKOSISTEM Management of Supply • Kualitas Bagus
Chain System (SCS) (top quality) • Mensejahterakan
PERAIRAN seluruh pelaku
3. Handling, Processing, • Added value
DAN usaha secara adil
and Packaging • Harga relatif
SUMBER • Pertumbuhan
4. Sistem logistik dan murah
DAYA IKAN ekonomi tinggi
distribusi • Volume berkelanjutan
5. Aplikasi Teknologi pada pasokan
• Kedaulatan
setiap Mata Rantai SCS teratur dan
produk perikanan
KOMPETITOR memenuhi
6. Aplikasi Pembangunan •
ASING DAN kebutuhan Kelestarian SDI
Berkelanjutan dan
DOMESTIK pasar dan ekosistem
Ramah Lingkungan
perairan
• Sustainability

Gambar. Pendekatan Sistem dalam Pembangunan Industrialisasi Perikanan


VI. BLUE ECONOMY UNTUK
PERIKANAN TANGKAP
VI. BLUE ECONOMY UNTUK PERIKANAN TANGKAP

1. Optimalisasi tingkat pemanfaatan sumberdaya


ikan agar mencapai 80% MSY (Maximum
Sustainable Yield = Potensi Produksi Lestari) di
setiap wilayah perairan (dari garis pantai sampai
4 mil ke arah laut lepas, 12 mil, laut nasional,
dan ZEEI).
2. Secara bertahap dilakukan modernisasi armada
kapal ikan tradisional sesuai dengan butir-1.
Jumlah kapal di setiap wilayah perairan = 80%
MSY : Catchability (fishing power) kapal ikan.
3.
3.Pengoperasian
Pengoperasianset setnet
netdi
diwilayah
wilayahperairan
perairan
di
dibawah
bawah12 12mil
milyang
yangtelah
telahoverfishing
overfishingdan
dan
teluk
teluk(semi-enclosed
(semi-enclosedseas).
seas). Set
Setnet
netlebih
lebih
ramah
ramahlingkungan
lingkungandandanmenjamin
menjamin
kelestarian
kelestarianSDI,
SDI,karena
karenaiaiamerupakan
merupakan
pasive
pasivefishing
fishinggears
gears(Arimoto,
(Arimoto,2009).
2009). Harus
Harus
dibuat
dibuatzonasi
zonasidan
danspacing
spacing(jarak),
(jarak),sehingga
sehingga
tidak
tidakmengganggu
mengganggutransportasi
transportasidan
dan
keindahan
keindahanlingkungan
lingkunganlaut.
laut.
4.
4. Peningkatan
Peningkatanefisiensi
efisiensiarmada
armadaperikanan
perikanan
tradisional/rakyat
tradisional/rakyat(≤(≤30
30GT)
GT)secara
secararamah
ramah
lingkungan
lingkungandilengkapi
dilengkapidengan
denganpalkah
palkahpendingin
pendingin
atau
ataucool-box
cool-boxagar
agardapat
dapatterapkan
terapkanBest
BestHandling
Handling
Practices
Practicesselama
selamaikan
ikandidikapal
kapalhingga
hinggapelabuhan
pelabuhan
perikanan
perikananpola
polakemitraan
kemitraannelayan
nelayan(pemilik
(pemilikdan
dan
yang
yangoperasikan
operasikankapal)
kapal)dengan
denganBUMN
BUMNatau
atau
perusahaan
perusahaanswasta
swastayang
yangbertanggung
bertanggungjawab
jawabdalam
dalam
pengolahan
pengolahan(processing
(processingindustry)
industry)dan
danpemasaran
pemasaran
hasil
hasilperikanan.
perikanan.
5.5. Pastikan
Pastikanseluruh
seluruhkapal
kapalikan
ikandapat
dapatmendaratkan
mendaratkandidipelabuhan
pelabuhan
perikanan
perikanan(tempat
(tempatpendaratan
pendaratanikan)
ikan)yang
yangbersih
bersihdan
danhigienis,
higienis,
dilengkapi
dilengkapidengan
denganindustri
industrihulu
huludan
danhilir
hilirdan
dansarana
sarana
penunjangnya,
penunjangnya,dan
danpembeli
pembelibonafide,
bonafide,sehingga
sehingganelayan
nelayandapat
dapat
menjual
menjualikan
ikandengan
denganharga
hargayang
yangmenguntungkan.
menguntungkan. Bangun
Banguncold
cold
storage
storagedidisetiap
setiapsentra
sentraproduksi
produksiperikanan.
perikanan.Jadikan
Jadikanikan
ikansebagai
sebagai
komoditas strategis
komoditasstrategis BULOG
BULOGPERIKANAN
PERIKANANsebagai
sebagaibuffer
bufferstocks
stocks
and
andprices.
prices.
6.
6. Setiap
Setiappelabuhan
pelabuhanperikanan
perikananharus
harus
dilengkapi
dilengkapidengan
denganarmada
armadaangkutan
angkutan
berpendingin
berpendingin(cool-box
(cool-boxtruck)
truck)untuk
untuk
mengangkut
mengangkutkomdoditas
komdoditasperikanan
perikananyang
yang
bernilai
bernilaiekonomi
ekonomitinggi
tinggi(seperti
(sepertiudang,
udang,
kakap,
kakap,bawal,
bawal,dan
dantenggiri)
tenggiri)agar
agartetap
tetapsegar
segar
atau
ataufrozen,
frozen,dari
daripelabuhan
pelabuhanperikanan
perikanan
sampai
sampaike kekonsumen
konsumen(pembeli)
(pembeli)terakhir.
terakhir.
Perbaikan
Perbaikansistem
sistemlogistik
logistikdan
dandistribusi
distribusi
produk
produkdandansarana
saranaproduksi
produksiperikanan.
perikanan.
7. Pastikan setiap unit industri pengolahan hasil perikanan
mempunyai pemasok bahan baku sesuai kapasitasnya.
8. Memperbaiki dan Membangun kawasan industri perikanan
modern secara terpadu berbasis perikanan tangkap,
budidaya laut, dan budidaya tambak di wilayah
terdepan/perbatasan NKRI (outer fishing ports): Sabang,
Bungus, Pelabuhan Ratu, Cilacap, Perigi, Sendang Biru,
Benoa, Mataram, Lombok Timur, Kupang, Alor Tual, Buru,
Ambon, Ternate, Bacan, Sorong, Biak, Bitung, Talaud,
Kwandan, Tarakan, Nunukan, Pemangkat, Natuna,
Anambas, dan Dumai. Dengan armada Kapal Ikan modern
(≥ 30 GT inboard motor).
9.9.Penyediaan
Penyediaansarana
saranaproduksi
produksiperikanan
perikanantangkap
tangkap(alat
(alat
tangkap,
tangkap,BBM,
BBM,beras,
beras,dan
dankebutuhan
kebutuhanmelaut
melautlainnya)
lainnya)
untuk
untukseluruh
seluruhkapal
kapalikan
ikandengan
denganjumlah
jumlahmencukupi
mencukupi
dan
danharga
hargarelatif
relatifmurah.
murah. Agar
Agarsubsidi
subsidiBBM
BBMtepat
tepat
sasaran,
sasaran,maka
makaharus
harusberdasarkan
berdasarkanjumlah
jumlahikan
ikanyang
yang
didaratkan
didaratkandi
dipelabuhan
pelabuhanperikanan
perikananIndonesia:
Indonesia: 11
liter
literBBM
BBM==22kg
kgikan.
ikan.
10.
10. Penyediaan
Penyediaanpinjaman
pinjamankredit
kreditperbankan
perbankanmaupun
maupun
lembaga
lembaganon-bank
non-bankdengan
denganjumlah
jumlahmencukupi,
mencukupi,bunga
bunga
relatif
relatifrendah,
rendah,dan
danpersyaratan
persyaratanpinjam
pinjamrelatif
relatiflunak.
lunak.
11.
11. Pemberantasan
PemberantasanIUU IUUfishing
fishingsecara
secaratuntas:
tuntas:(1)
(1)
penyempurnaan
penyempurnaanperizinan,
perizinan,(2)
(2)penguatan
penguatanpengawasan
pengawasan
di
dilaut,
laut,(3)
(3)penyempurnaan
penyempurnaansistem
sistemperadilan,
peradilan,dan
dan(4)
(4)
menjadikan
menjadikannelayan
nelayansebagai
sebagaituan
tuanrumah
rumahdi dilautnya
lautnya
sendiri.
sendiri.
12.
12. Pengendalian
Pengendalianpencemaran,
pencemaran,perbaikan
perbaikaneksosistem
eksosistem
pesisir
pesisiryang
yangrusak,
rusak,dan
dankonservasi
konservasibiodiversity.
biodiversity.
13.
13. Restocking
Restockingdan
danstock
stockenhacement
enhacementsecara
secaratepat
tepatdan
dan
benar.
benar.
14.
14. Perbaikan
Perbaikandan
danpembangunan
pembangunaninfrastruktur
infrastrukturdan
dansarana
sarana
pembangunan
pembangunandidikawasan
kawasanindustri
industriperikanan
perikanandan
dan
pemukiman
pemukimannelayan.
nelayan.
15.
15. Penciptaan
Penciptaaniklim
ikliminvestasi
investasidan
dankebijakan
kebijakanpolitik-
politik-
ekonomi
ekonomi(fiskal,
(fiskal,moneter,
moneter,ekspor-impor,
ekspor-impor,IPTEK,
IPTEK,dll)
dll)
yang
yangkondusif
kondusifbagi
bagikinerja
kinerjasubsektor
subsektorperikanan
perikanan
tangkap.
tangkap.
16.
16. Penyempurnaan
Penyempurnaanbasis
basisdata
datadan
dansistem
sisteminformasi
informasi
perikanan
perikanantangkap.
tangkap.
17.
17. Penguatan
Penguatandandanpengembangan
pengembangankapasitas
kapasitasdan
danetos
etos
kerja
kerjanelayan,
nelayan,birokrasi,
birokrasi,swasta,
swasta,peneliti,
peneliti,dan
danLSM
LSM
yang
yangterkait
terkaitdengan
denganperikanan
perikanantangkap.
tangkap.
VII. ROAD MAP IMPLEMENTASI BLUE ECONOMY
UNTUK PEMBANGUNAN KELAUTAN DAN
PERIKANAN DI TELUK TOMINI
7.1. Data dan Fakta Teluk Tomini
 T. Tomini memiliki luas sekitar 59.500 km2
(6 juta ha), yang merupakan teluk paling
besar di daerah khatulistiwa.
 Perairan laut T. Tomini meliputi (shared by)
3 provinsi (Sulteng, Gorontalo, dan Sulut)
(lihat Peta).
 Ada 15 Kabupaten/Kota yang berhubungan
langsung dengan T. Tomini.
 Atas dasar DAS yang bermuara ke T.
Tomini, maka ada 20 Kabupaten/Kota.
 Batas wilayah pengelolaan T. Tomini:
 Daerah lahan atas (up-land areas),
hulu sungai 23 DAS yang bermuara ke
T. Tomini.
 Daerah hilir (low-land areas)
mencakup wilayah pesisir dan seluruh
perairan laut T. Tomini (lihat Peta).
Tabel Panjang Garis Pantai dan Wilayah Kab/Kota Pesisir
dan non-Pesisir
No Provinsi Panjang Kab/Kota Pesisir Kab/Kota non-
Garis Pantai Pesisir
(km)
1 Sulawesi 1179 1.Banggai 1.Morowali
Tengah 2.Tojo Una-una 2.Donggala
3.Poso 3.Toli-toli
4.Parigi Moutong 4.Buol
2 Gorontalo 436,52 1.Kota Gorontalo
2.Gorontalo
3.Bone Bolango
4.Boalemo
5.Pohuwato
3 Sulawesi 784,94 1.Kota Bitung 1.Minahasa
Utara 2.Minahasa Utara Selatan
3.Minahasa
4.Minahasa Tenggara
5.Bolaang Mongondow
Timur
6.Bolaang Mongondow
Selatan
7.2. Isu dan Permasalahan

1. Shared-stock management ikan pelagis yang beruaya


lintas propinsi ( seperti tuna, cakalang, malalogis).
2. Kuota penangkapan ikan di wilayah laut nasional.
3. Pengendalian pencemaran, erosi, dan sedimentasi dari
hulu (upland areas) DAS.
4. Paket pariwisata bahari terpadu antar Kab/Kota, dan
antar provinsi.
5. Membangun sinergi sektor ekonomi sejenis antar
Kabupaten/Kota, dan antar provinsi.
7.3. Kebijakan dan Program Blue Economy

1. Penataan ruang darat-pesisir-dan laut


secara terpadu.
2. Penguatan dan pengembangan sektor-
sektor ekonomi kelautan untuk
menciptakan pertumbuhan ekonomi tinggi
(>7%/tahun), berkualitas (menyerap
banyak tenaga kerja), dan berkelanjutan.
3. Shared-stock management jenis-jenis ikan
yang beruaya lintas wilayah
kabupaten/kota dan provinsi:
 Tentukan daerah pemijahan (spawning
grounds) dan daerah pembesaran (rearing
grounds).
 Hitung MSY (Maximum Sustaianable Yield =
potensi produksi lestari) stok ikan di daerah
pembesaran.
 Kabupaten/Kota atau provinsi yang menjadi
spawning grounds tidak boleh menangkap
ikan, tetapi mendapat kuota penangkapan di
Kab/Kota atau propinsi yang menjadi daerah
pembesaran.
Gambar 3. Sebaran Densitas Juvenile Ikan (Panjang Dugaan 4-11 cm) di
Teluk Tomini pada Musim Timur 2003 pada lapisan 0-25 m
(BRKP,2005)
 Proporsi kuota penangkapan kab/kota atau
provinsi yang punya spawning grounds dan
rearing areas: 40% : 60% (FAO, 1998).
 Total kuota penangkapan di rearing areas:
80% MSY.
4. Manajemen penangkapan ikan di wilayah
laut nasional:
 Hitung MSY stok ikan di wilayah laut
nasional.
 Bila panjang garis pantai provinsi Sulteng,
Sulut, dan Gorontalo = X, Y, Z; maka kuota
penangkapan Sulteng = X/X+Y+Z x (80%
MSY); Sulut = Y/X+Y+Z x (80% MSY); dan
Gorontalo = Z/X+Y+Z x (80% MSY).
5. Pengembangan paket pariwisata bahari
terpadu antar Kab/Kota dan antar provinsi:
 Identifikasi dan petakan (mapping out) obyek-
obyek wisata bahari di setiap Kabupaten/Kota
pesisir, dan di 3 provinsi (lihat potensi jenis-jenis
kegiatan wisata bahari).
 Usahakan setiap kab/kota dan propinsi memilih
satu atau beberapa jenis wisata unggulan, sehingga
idealnya setiap kab/kota atau provinsi memiliki
jenis wisata bahari unggulan.
 Kembangkan paket-paket wisata bahari agar
tourists (wisatawan) tertarik untuk mengunjungi
dan menginap di setiap kab/kota dan provinsi.
6. Rehabilitasi ekosistem pesisir dan hutan di
hulu (upland areas) DAS.
7. Pengendalian pencemaran baik yang berasal
dari aktivitas di darat (land-based sources)
maupun di laut (marine-based sources).
 Di sepanjang DAS dari hulu sampai dataran
rendah (lowland areas), sedikitnya 30% total luas
DAS harus dipertahankan sebagai kawasan
lindung.
 Terapkan Best Agricultural Practices yang dapat
meminimalisir erosi, turunnya water table,
buangan limbah pupuk dan obat-obatan, dll.
 Setiap industri (manufaktur, pengolahan) harus
menerapkan teknologi 3 R (Reduce, Reuse, and
Recycle) atau zero-waste technology.
 Setiap kegiatan sektor pertambangan
dan energi (ESDM) harus tidak
menimbulkan dampak negatip
terhadap lingkungan yang sifatnya
irreversible dan melampaui kapasitas
asimilasi lingkungan untuk
mentralisir limbah.
 Sampah rumah tangga dan perkotaan,
organik yang biodegradable harus
dijadikan pupuk (kompos) dan
lainnya; yang non-biodegradable
dimanfaatkan lagi (reuse) atau daur
ulang (recycle).
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai