Anda di halaman 1dari 6

SALIWU PAHLAWAN ORANG PADOE

Dulu, wilayah Mori atau Tomata di daerah Kanta dan Kayaka didiami suatu suku yang kini
dikenal sebagai orang Padoe. Ketika itu kehidupan sangat keras dan sering terjadi perang. Karena itu,
orang-orang Kanta dan Kayaka merasa harus membuat sandaha kansai (tombak), dan kanta (perisai).
Namun kemudian hal itu didengar musuh yang berada di daerah Sulawesi Tengah, di sebelah barat
Kota Poso sekarang.

“Mokole, ada kabar bahwa orang-orang Kanta dan Kayaka punya peralatan
pembuat senjata. Peralatan itu mampu menghasilkan senjata perang yang baik,” seorang
penasihat penguasa musuh berkata.

“Benarkah?” tukas sang mokole.

“Ya.”

“Apa yang harus kita lakukan?”

“Hmm, bagaimana kalau kita kirim seorang mata-mata ke daerah Kanta dan
Kayaka untuk mengetahui kebenaran kabar itu? Jika kabar itu benar, maka kita rebut
peralatan membuat senjata itu.”

“Baiklah. Aku setuju.” Ucap sang mokole. Lalu perintahnya kepada Tetembu
Malengongga,

“Tetembu Malengongga, kau prajurit yang baik. Aku perintahkan kau pergi ke
Kanta dan Kayaka. Selidiki kebenaran kabar itu. Ingat, jangan sampai penyamaranmu
terbuka.”

Tetembu menjawab dengan penuh hormat, “Baik, Mokole. Hamba siap melaksanakan
perintah.”

Maka berangkatlah Tetembu ke daerah Kanta dan Kayaka. Ia lalu berusaha untuk mencari
tahu tempat pembuatan senjata orang-orang Kanta dan Kayaka. Setiap saat ia berusaha
menyelidikinya. Namun kemudian orang-orang Kanta dan Kayaka mencium gerak gerik aksinya,
orang-orang Kanta dan Kayak menangkapnya. Mereka lalu menanyainya.

“Aku bukan mata-mata. Aku seorang pengembara,” jawab Tetembu.

“Mengapa kau suka mengintip tempat pembuatan senjata kami?”

“Aku cuma kagum saja.”


“jika begitu, mengapa harus mengintip-intip?”

“A-a-aku….”

Melihat Tetembu gugup, seketika orang-orang Kanta dan Kayaka yakin kalau ia mata-mata
musuh. Penuh marah mereka membunuh Tetembu. Untuk menghilangkan jejak pembunuhan itu,
mereka lantas memindahkan tondoha di atas kuburan Tetembu Malengongga.

Sementara itu, di tempat mokole, karena Tetembu tak juga kembali untuk memberi kabar
hasil penyelidikannya, mereka amat mengkhawatirkan dia. Sang mokole kemudian mengutus
beberapa orang mata-mata lagi ke Kanta dan Kayaka untuk mengetahui nasib Tetembu.

Mata-mata itu menyamar sebagai para pedagang. Mereka lalu tiba di Kanta dan Kayaka.
Mereka singgah di sebuah warung makan. Ketika tengah asyik makan, tiba-tiba mereka mendengar
dalu-dalu (lagu) yang dinyanyikan anak-anak. Mereka memasang telinga tajam-tajam.

“O, hajo-o, hajo, Tetembu Malengongga Naruncu nono ri tongona! (Ayo, ayo,
Tetembu Malengongga sudah ditumbukkan ke tiang di tengah!)”

Lagu itu menggambarkan bagaimana Tetembu mati, yakni ditumbukkan ke sebatang tiang
kayu besar.

“Dengar itu, Teman-teman! Tetembu sudah mati,” ucap seorang mata-mata.

“Ya,” timpal seorang temannya.

“Kita harus segera memberitahukannya kepada Mokole,” ucap yang lain.

Para mata-mata itu cepat kembali ke daerah mereka dan melaporkan nasib buruk yang
menimpa Tetembu.

“Kurang ajar!” geram sang mokole mendengar laporan itu.

“Panglima, siapkan pasukan. Kita serang Kanta dan KAyaka. Kita


bumihanguskan daerah itu! Kita balas kematian Tetembu!”

“Baik, Mokole.”

Pasukan musuh berangkat menuju Kanta dan Kayaka. Mereka menyerang secara tiba-tiba.
Orang-orang Kanta dan Kayaka banyak yang mati. Yang selamat berlarian panic tak tentu arah.

Konon, sebagian besar orang Kanta yang selamat melarikan diri ke selatan. Mereka dipimpin
Saliwu. Setelah keadaan aman, orang-orang itu kembali ke Kanta. Merekalah yang menjadi penduduk
Mori Atas sampai sekarang. Mereka kemudian berkembang menjadi orang Molioa dan orang Kalae.
Kedua suku ini menyatu menjadi orang Mori Padoe.

Dalam pelarian ke selatan, Saliwu dan rombongannya tiba di daerah Tawi Baru. Mereka
bertemu penduduk daerah itu yang disebut To Lampu, yang artinya orang yang tinggal di hutan.

Mulanya rombongan Saliwu bergaul baik dengan To Lampu. Merekahidup dengan orang-
orang itu. Mereka ikut menanam sagu di sepanjang pesisir sungai Maliwungi. Namun kemudian
orang-orang saliwu kurang senang menjalankan aturan-aturan yang dibuat To Lampu. Timbullah
ketegangan di antara mereka. Saliwu dan rombongan memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke
pantai. Mereka tiba di Lakarai dan Angkona. Tak mau kejadia bersama To Lampu terulang, Saliwu
kemudian membuat sendiri aturan bagi rombongannya. Dengan cara begitu hidup mereka lebih aman
dan makmur.

“Teman-teman, Saliwu telah menyelamatkan kita. Ia juga telah membuat hidup


kita aman dan makmur. Bagaimana kalau kita memberinya gelar Mokole Ntii?” usul seorang
anggota rombongan Saliwu.

“Setujuuu!” sahut yang lain.

“Jangan. Aku tak pantas mendapat gelar itu. Itu gelar yang agung. Aku bukan
siapa-siapa. Yang kulakukan selama ini Cuma demi kebaikan bersama,” Saliwu menolak usul
itu.

“Tidak, Saliwu, kau pantas mendapat gelar itu.”

“Ya, Ya!”

“bBaiklah kalau begitu. Aku terima gelar itu. Aku berjanji akan menjadi
pemimpin yang baik,” ucap Saliwu akhirnya.

“Hidup Saliwu! hidup Mokole Ntii kita!”

Pemberian gelar itu didengar Datu Luwu di Palopo. Ia merasa tidak senang, karena Mokole
Ntii adalah gelar tertinggi yang berarti raja dari khayangan dan punya kekuasaan tak terbatas. Saliwu
pun dipanggil untuk mempertanggungjawabkan.

Saliwu dating menghadap.

“Saliwu, kudengar kau mendapat gelar Mokole Ntii,” ucap Datu.

“Ampun, Datu. Bukan hamba yang meminta gelar, tapi orang-orang hamba
yang memberikan,” sahut Saliwu.
“Kau tahu apa arti gelar itu?”

“Ya, Datu.”

“Jika begitu, kau tentu bias menimbang sendiri apakah kau pantas mendapat
gelar itu. Hanya orang-orang tertentu yang bias menyandang gelar itu.”

Datu terlihat sangat marah.

Saliwu menunduk diam.

“Karena kelancanganmu itu, kau harus dihukum mati, Saliwu!” ujar Datu
kemudian.

“Ampun, Datu. Hamba akan melepas gelar itu jika memang menurut Datu
hamba tidak pantas menyandangnya.”

“Nasi sudah menjadi bubur, Saliwu. Kau tetap harus dihukum mati.”

“Datu yang bijak. Jangan timpakan hukuman itu kepada hamba. Sungguh
hamba tidak meminta gelar itu.”

Melihat Saliwu yang sopan dan rendah hati, Datu pun iba.tapi sebagai seorang Datu kata-
katanya adalah hukum. Ucapnya

“Saliwu, kau orang yang jujur, namun hukuman tetap berlaku, ucapan seorang
Datu tidak bias ditarik kembali.”

“Sekali lagi, ampuni hamba, Datu.”

Datu Palopo kian iba kepada Saliwu.

“Baiklah, Saliwu,” katanya.

“Aku akan membebaskanmu tapi ada syaratnya.”

“Apa itu, Datu?”

“Kau harus dapat menebang ‘kare langkanae, pohon besar di halaman istana
raja, dengan sekali tebas. Jika gagal, kau tetap dihukum mati.”

Mendengar itu, Saliwu amat kaget.

“Berat sekali syarat itu, Datu,” ucapnya.

“Hanya itu syaratnya. Jika kau menolak, maka kau akan dihukum mati.”
“Hmm, baiklah, Datu. Tapi hamba minta waktu Sembilan hari untuk
melakukan persiapan.”

“Baik.”

Saliwu kemudian menggunakan waktu Sembilan hari itu untuk mengelilingi pohon itu.
Ditelitinya pohon itu. Dicari bagian mana dari pohon itu yang bias ditebang dengan sekali tebas. Di
hari kesembilan, Saliwu pun beraksi. Dengan kekuatan penuh diayunkannya parang ke batang pohon
itu.

Brak!

Pohon itu tumbang.

Saliwu berhasil menebang pohon itu dengan sekali tebas. Maka ia pun dibebaskan dari
hukuman.

Kono, Saliwu dapat melakukan itu karena ia punya kesaktian. Ia punya jin yang dapat
diperintah. Dikisahkan pula, setelah pohon kare langkanae ditebang, burung-burung menangis selama
tujuh hari tujuh malam dan tanah di halaman istana datu menjadi kuning karena pecahan telur burung
yang bersarang di pohon tersebut.

Saliwu kemudian diberi gelar Mokole Motaha Ngangano (Mokole Mulut Merah) oleh Datu
Luwu. Ia lalu pergi ke Masamba. Di sana ia bertemu orang-orang Rongkong. Mereka bersepakat
bahwa orang Rongkong dan orang Padoe harus bersatu. Kesepakatan itu ditandai dengan saling
berjabat tangan. Masing-masing mengenggam garam. Garam dalam genggaman itu kemudian berubah
menjadi batu. Konon, batu itu masih disimpan oleh orang Rongkong.

Tak lama setelah itu, Datu Luwu memerintahkan Saliwu pergi ke Cerekang untuk mengajak
penduduk di sana pergi ke daerah sebelah timur guna mencari tanah yang subur sebagai tempat
tinggal mereka yang baru. Saliwu membicarakan hal itu kepada para tetua dan tokoh masyarakat
daerah itu.

“Bagaimana, saudara-saudara,” ucap Saliwu,

Usai memberitahukan perintah Datu Luwu kepada orang-orang itu,

“apa kalian bersedia mencari daerah baru itu?”

Orang-orang itu berembuk.

Saliwu diam memperhatikan.


Tak lama, salah seorang tetua berkata,

“Ya, kami mau mencari daerah itu. Kami memang sudah lama ingin pindah
dari sini. Kami merasa hidup di sini sudah tidak baik buat kami. Tanah di sini sudah tidak
subur. Kami sering mengalami gagal panen. Ternak kami pun sudah tidak dapat lagi makan
dengan kenyang karena rumput-rumput sukar ditemukan.”

“Baik,” kata Saliwu. “Mari kita oergi mencari tempat itu. Mudah-mudahan kita
cepat menemukannya.”

Hari amat cerah. Awan putih menutupi marcapada, menghalangi sinar matahari siang yang
tengan bersinar terik. Hal itu membuat Saliwu dan orang-orang Cerekang yang tengah mencari daerah
baru tidak merasa kepanasan. Penuh harapan, mereka melangkah kea rah timur.

Mereka akhirnya tiba di Bangkano Kalende. Daerah ini berada setelah daerah Kawata.
Mereka lalu memutuskan untuk tinggal di situ.

Waktu berjalan.

Di daerah sekitar Bangkano Kalende dan Kawata, orang-oramg Padoe kemudian terbagi
menjadi tiga kelompok. Sebagian bermukim di Kawata, sebagian lagi di daerah Umodo yang
kemudian menghuni daerah Tabarano, dan sebagian lg tinggal di sekitar gunung Wawondula.

Saliwu sang pahlawan orang Padoe, ketika meninggal dikuburkan di Gua Andomo (Tasima
Andomo) di kampong Lioka. Di [\pekuburan leluhur orang Padoe, yang sekarang dikenal dengan goa
tengkorak.

Keterangan : Wawondula berasal dari kata wawo yang artinya atas dan mandala (nama
tanaman sejenis manggis hutan). Tanaman ini dulu banyak tumbuh diatas atau puncak gunung
yang ada di daerah ini (gunung verbek)

Anda mungkin juga menyukai