Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Manusia adalah makhluk sosial yang berarti saling membutuhkan satu sama
lain, saling tergantung. Disamping itu manusia adalah juga makhluk yang
dianugerahi akal dan pikiran, insting serta nafsu. Insting dan nafsu di anugerahi
bukan hanya untuk manusia tapi juga makhluk lain seperti hewan. Dengan
kelebihannya berupa akal dan pikiran tentu manusia akan menjalani hidupnya
dengan lebih beradab dan penuh keteraturan. Oleh karena itu dibutuhkan suatu
sistem yang mengatur hidup dan kehidupan manusia agar tidak berjalan sendiri-
sendiri sekehendak masing-masing. Dalam sistem kehidupan manusia dibutuhkan
satu pihak yang berperan sebagai pembimbing, pengatur dan mengarahkan pihak
lain. Pihak ini dapat disebut sebagai pemimpin (leader), sedangkan sistemnya
adalah kepemimpinan (leadership).

Pada kenyataannya manusia memiliki berbagai aspek kehidupan yang masing-


masing dibutuhkan pemimpin dan kepemimpinan. Mulai dari aspek pribadi,
keluarga, kantor, negara, dunia dan aspek-aspek lainnya. Tipe dan gaya
kepemimpinan di setiap aspek tersebut tentulah tidak sama. Masing-masing
memiliki karakter yang berbeda sesuai dengan kondisi yang ada sehingga
tumbuhlah teori-teori tentang pemimpin dan kepemimpinan. Ada teori yang
membahas bagaimana menjadi pemimpin bagi diri sendiri, bagaimana membina
rumah tangga dengan baik, bagaimana memimpin bawahan dan lain sebagainya.

Belakangan ini sering ditemukan peristiwa-peristiwa yang mencerminkan


kegagalan pemimpin maupun kepemimpinan. Hal ini disebabkan oleh belum
adanya komitmen dan tekad dari pemimpin yang sebenarnya. Karena komitmen
dan tekad itulah yang akan mempertebal rasa percaya masyarakat kepada
pemimpinnya. Untuk itu kami akan mencoba membahas terkait teori dalam
kepemimpinan spiritual.

Page | 1
1.2 .Rumusan Masalah
1. Apa Definisi Kepemimpinan?
2. Apa Definisi spiritual?
3. Bagaimana Konsep Kepemimpinan Spiritual?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui Definisi Kepemimpinan
2. Untuk mengetahui Definisi Spiritual
3. Untuk mengetahui Konsep Kepemimpinan Spiritual

Page | 2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Kepemimpinan


Sebelum membahas lebih jauh tentang kepemimpinan spiritual, perlu kiranya
dibahas mengenai Teori Kepemimpinan secara umum. Kepemimpinan menurut
Stoner (Handoko:1984) adalah sebagai suatu proses pengarahan dan pemberian
pengaruh kepada kegiatan-kegiatan sekelompok anggota yang saling berhubungan
tugasnya. Ada tiga implikasi penting dari definisi tersebut, yaitu:
1. Kepemimpinan menyangkut orang lain seperti bawahan atau pengikut.
Seorang pemimpin yang tidak dapat memberikan pengaruh kepada mereka
maka pemimpin tersebut diragukan kualitasnya dalam menjalankan
kepemimpinan di lingkungannya.
2. Ada pembagian kekuasaan antara pemimpin dan anggota yang dipimpinnya.
Pemimpin memiliki kewenangan mengarahkan bawahannya, namun tidak
demikian dengan bawahan terhadap pemimpinnya secara langsung melainkan
dengan cara-cara tertentu.
3. Pemimpin menggunakan pengaruhnya. Dalam hal ini pemimpin tidak hanya
memberikan perintah kepada bawahannya, tapi juga memberikan pengaruh
kepada bawahan dalam melaksanakan perintahnya.
Selain pengertian di atas, terdapat pengertian seperti dikutip oleh Yukl G. (2001),
antara lain:
1. Kepemimpinan adalah perilaku individu yang mengarahkan aktivitas
kelompok untuk mencapai sasaran bersama
2. Kepemimpinan adalah pengaruh tambahan yang melebihi dan berada di atas
kebutuhan mekanis dalam mengarahkan organisasi secara rutin
3. Kepemimpinan adalah proses mempengaruhi aktivitas kelompok yang
terorganisir untuk mencapai sasaran
4. Kepemimpinan adalah proses memberikan tujuan (arahan yang berarti) ke
usaha kolektif yang menyebabkan adanya usaha yang dikeluarkan untuk
mencapai tujuan

Page | 3
5. Kepemimpinan adalah cara mengartikulasi visi, mewujudkan nilai, dan
menciptakan lingkungan guna mencapai sesuatu
6. Kepemimpinan adalah kemampuan individu untuk mempengaruhi motivasi
dan membuat orang lain mampu memberikan kontribusinya demi efektivitas
dan keberhasilan organisasi
Dari pengertian-pengertian di atas dapat dikatakan bahwa kepemimpinan adalah
suatu teknik atau cara memberikan pengaruh dan arahan kepada orang-orang di
lingkungannya untuk beraktifitas dalam rangka mencapai tujuan dari lingkungan
atau organisasi tersebut.

2.2 Definisi Spiritual


Spiritual adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan Yang Maha Kuasa dan
Maha Pencipta, tergantung dengan kepercayaan yang dianut masing-masing
individu. Menurut Burkhardt, spiritualitas meliputi aspek-aspek:
1. Berhubungan dengan sesuatu yang tidak diketahui atau ketidakpastian dalam
kehidupan
2. Menemukan arti dan tujuan hidup
3. Menyadari kemampuan untuk menggunakan sumber dan kekuatan dalam diri
sendiri
4. Mempunyai perasaan keterikatan dengan diri sendiri dan dengan Yang Maha
Tinggi
Definisi spiritual setiap individu dipengaruhi oleh budaya, perkembangan,
pengalaman hidup, kepercayaan dan ide-ide tentang kehidupan. Spiritualitas juga
memberikan suatu perasaan yang berhubungan dengan intrapersonal (hubungan
antara diri sendiri), interpersonal (hubungan antara orang lain dengan lingkungan)
dan transpersonal (hubungan yang tidak dapat dilihat yaitu suatu hubungan
dengan ketuhanan yang merupakan kekuatan tertinggi). Adapun unsur-unsur
spiritualitas meliputi kesehatan spiritual, kebutuhan spiritual, dan kesadaran
spiritual. Dimensi spiritual merupakan suatu penggabungan yang menjadi satu
kesatuan antara unsur psikologikal, fisiologikal, atau fisik, sosiologikal dan
spiritual.

Page | 4
Spiritual juga diartikan sebagai inti dari manusia yang memasuki dan
mempengaruhi kehidupannya dan dimanifestasikan dalam pemikiran dan perilaku
serta dalam hubungannya dengan diri sendiri, orang lain, alam ,dan Tuhan
(Dossey & Guazetta, 2000). Terkait dengan kemampuan pribadi seseorang sering
kita mendengar istilah IQ (Intelligence Quotient), EQ (Emotional Quotient) dan
SQ (Spiritual Quotient).
1. IQ adalah kemampuan atau kecerdasan yang didapat dari hasil pengerjaan
soal-soal atau kemampuan untuk memecahkan sebuah pertanyaan dan selalu
dikaitkan dengan hal akademik seseorang.
2. EQ atau kecerdasan emosi adalah kemampuan untuk mengelola emosi atau
perasaan.
3. SQ atau kecerdasan spiritual adalah kemampuan untuk mengenal siapa
dirinya secara lahir dan bathin dan mengenal bahwa ada kekuasaan yang
melebihi dari apa pun di dunia ini yaitu Sang Pencipta. SQ dapat dikatakan
juga sebagai gabungan dari IQ dan EQ.

2.3 Kepemimpinan Spiritual


Berbicara kepemimpinan spiritual saat ini sepertinya tidak dapat
dilepaskan dengan konsep ESQ (Emotional Spiritual Quotient). Konsep ESQ ini
di Indonesia setidaknya ada dua orang yang berjasa besar dalam mengembangkan
dan mempopulerkan kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual yaitu K.H.
Abdullah Gymnastiar atau dikenal AA Gym, dan Ary Ginanjar, pengusaha muda
yang banyak bergerak dalam bidang pengembangan Sumber Daya Manusia
dengan Emotional Spritual Quotient (ESQ)-nya. Dari pemikiran Ary Ginanjar
Agustian melahirkan satu model pelatihan ESQ yang telah memiliki hak patent
tersendiri. Konsep pelatihan ESQ ala Ary Ginanjar Agustian menekankan tentang:
1. Zero Mind Process, yakni suatu usaha untuk menjernihkan kembali pemikiran
menuju God Spot (fitrah), kembali kepada hati dan fikiran yang bersifat
merdeka dan bebas dari belenggu

Page | 5
2. Mental Building, yaitu usaha untuk menciptakan format berfikir dan emosi
berdasarkan kesadaran diri (self awareness), serta sesuai dengan hati nurani
dengan merujuk pada Rukun Iman
3. Mission Statement, Character Building, dan Self Controlling, yaitu usaha
untuk menghasilkan ketangguhan pribadi (personal strength) dengan merujuk
pada Rukun Islam
4. Strategic Collaboration, usaha untuk melakukan aliansi atau sinergi dengan
orang lain atau dengan lingkungan sosialnya untuk mewujudkan tanggung
jawab sosial individu, dan
5. Total Action, yaitu suatu usaha untuk membangun ketangguhan sosial (Ari
Ginanjar, 2001).

Menurut Tobroni Gaya kepemimpinan spiritual adalah gaya


kepemimpinan etis, yaitu kepemimpinan dengan mengedepankan perilaku etis
dalam mempengaruhi orang-orang yang dipimpinnya. Perilaku etis yang
dikembangkan dalam memimpin menurut mereka “terilhami oleh perilaku etis
Tuhan terhadapa hamba-Nya”. Kepemimpinan spiritual adalah kepemimpinan
yang membawa dimensi keduniawian kepada dimensi spiritual (keilahian). Tuhan
adalah pemimpin sejati yang mengilhami, mempengaruhi, melayani dan
menggerakkan hati nurani hamba-Nya dengan cara yang sangat bijaksana melalui
pendekatan etis dan keteladanan. Karena itu kepemimpinan spiritual disebut juga
sebagai kepemimpinan yang berdasarkan etika religius. Kepemimpinan yang
mampu mengilhami, membangkitkan, mempengaruhi dan menggerakkan melalui
keteladanan, pelayanan, kasih sayang dan implementasi nilai dan sifat-sifat
ketuhanan lainnya dalam tujuan, proses, budaya dan perilaku kepemimpinan.
Dalam perspektif sejarah, kepemimpinan spiritual telah dicontohkan
dengan sangat sempurna oleh Muhammad SAW. Dengan integritasnya yang luar
biasa dan mendapatkan gelar sebagai al-amin (terpercaya), Muhammad SAW
mampu mengembangkan kepemimpinan yang paling ideal dan paling sukses
dalam sejarah peradaban umat manusia. Sifat-sifatnya yang utama yaitu siddiq
(integrity), amanah (trust), fathanah (smart) dan tabligh (openly) mampu

Page | 6
mempengaruhi orang lain dengan cara mengilhami tanpa mengindoktrinasi,
menyadarkan tanpa menyakiti, membangkitkan tanpa memaksa dan mengajak
tanpa memerintah.
Dalam perspektif sejarah Islam, spiritualitas telah terbukti menjadi
kekuatan yang luar biasa untuk menciptakan individu-individu yang suci,
memiliki integritas dan akhlakul karimah yang keberadaannya bermanfaat
(membawa kegembiraan) kepada yang lain. Secara sosial, spiritualitas mampu
membangun masyarakat Islam mencapai puncak peradaban, mampu mencapai
predikat khaira ummat dan keberadaannya membawa kebahagiaan untuk semua
(rahmatan lil’alamin). Sebagai kepemimpinan yang berbasis pada etika religius,
kepemimpinan spiritual memiliki pokok-pokok karakteristik sebagai berikut:
1. Kejujuran sejati. Rahasia sukses para pemimpin besar dalam mengemban
misinya adalah memegang teguh kejujuran. Tugas yang berat tidak mungkin
diserahkan dan diemban oleh orang yang tidak jujur, tidak amanah.
Kepemimpinan tidak akan berjalan baik atau bahkan hancur jika dilandasi
dengan kebohongan dan kepura-puraan.
2. Keadilan. Bagi pemimpin spiritual bukan sekedar kewajiban moral religius
dan tujuan akhir dari sebuah tatanan sosial yang adil, melainkan juga
merupakan proses dan prosedurnya atau strategi keberhasilan
kepemimpinannya. Seorang pemimpin yang ketahuan bahwa dia tidak
berlaku adil terhadap orang lain terutama yang dipimpinnya, maka akan sia-
sialah perkataan, peraturan dan kebijakan-kebijakan yang telah dibuatnya:
tidak akan ditaati dan dihormati secara tulus/sukarela. Percy dalam hal ini
mengatakan “tanpa kepemimpinan tidak akan ada pengikut dan tiada pengikut
(follower) tanpa kejujuran dan inspirasi” (no leadership without follower and
no follower without honest and inspiration.
3. Semangat Amal Sholeh. Pemimpin Spiritual bekerja untuk memberikan
konstribusi, dhrama atau amal saleh bagi lembaga dan orang-orang yang
dipimpinnya. Seorang spiritualis rela bersusah payah, bekerja tak kenal waktu
dan lelah untuk bisa memberikan kontribusi terbaiknya, mumpung masih
punya kesempatan dan kemampuan untuk berdedikasi kepada Tuhan dan

Page | 7
sesama. Orientasi hidup seorang spiritualis bukan untuk “memiliki” sesuatu
(to have) apakah berupa kekayaan, jabatan, dan simbol-simbol kebanggaan
duniawi lainnya, melainkan untuk “menjadi” sesuatu (to be)
4. Membenci formalitas dan organize religion. Bagi pemimpin spiritual
formalitas tanpa isi itu ibarat pepesan kosong. Pemimpin spiritual lebih
mengedepankan tindakan yang substantif (esoteric). Kepuasan dan
kemenangan bukan ketika mendapatkan pujian, piala dan sejenisnya,
melainkan ketika memberdayakan (empowerment), memampukan (enable)
mencerahkan (enlighten) dan membebaskan (liberation) orang dan lembaga
yang dipimpinnya. Ia puas ketika dapat memberikan sesuatu dan bukan ketika
menerima sesuatu. Pujian dan sanjungan manusia apabila tidak disikapi
secara arif justru dapat membahayakan dan mengancam kemurnian dan
kualitas karya dan kepribadiannya. Karena itu pujian yang ia harapkan adalah
pujian dan keridloan Tuhan semata.
5. Sedikit bicara banyak kerja dan santai. Banyak bicara banyak salahnya,
banyak musuhnya, banyak dosanya serta sedikit kontemplasinya dan sedikit
karyanya. Seorang pemimpin spiritual adalah pemimpin yang sedikit bicara
banyak kerja. Walaupun seorang pemimpin spiritual sangat efektif dan efisien
dalam bekerja dan pekerjaan yang diselesaikan sambung-menyambung
seakan tidak ada habisnya, namun dia tidak merasa sibuk, tidak merasa
menjadi orang penting, tidak menjadi pelit untuk melayani orang lain.
Sebaliknya ia tetap santai, ramah dan biasa-biasa saja.
6. Membangkitkan yang terbaik bagi diri sendiri dan orang lain. Pemimpin
spiritual berupaya mengenali jati dirinya dengan sebaik-baiknya. Dengan
mengenali jati diri ia dapat membangkitkan segala potensinya dan dapat
bersikap secara arif dan bijaksana dalam berbagai situasi. Dengan mengenali
jati diri ia dapat membangkitkan dengan cara yang memikat, “memukul”
tanpa menyakiti, mengevaluasi tanpa menyinggung harga diri. Dengan
mengenali jati diri ia dapat berperilaku, menghormati dan memperlakukan
diri sendiri dan orang lain “apa adanya”. Ketika menghadapi orang-orang
yang menyulitkan, seorang trouble maker, dan menjadi source of problem

Page | 8
sekalipun ia tetap dengan cara yang arif dan bijaksana dan tetap menghargai
jati dirinya.
7. Keterbukaan menerima perubahan. Pemimpin spiritual berbeda dengan
pemimpin pada umumnya. Ia tidak alergi dengan perubahan dan juga bukan
penikmat kemapanan. Pemimpin spiritual memiliki rasa hormat bahkan rasa
senang dengan perubahan yang menyentuh diri mereka yang paling dalam
sekalipun. Ia sadar bahwa kehadirannya sebagai pemimpin memang untuk
membawa perubahan. Ia sadar bahwa perubahan adalah hukum alam
(sunnatullah). Pemimpin spiritual berkeyakinan bahwa lembaga yang ia
pimpin bukan untuk diirinya, bukan symbol prestasi dan prestise dirinya dan
juga bukan untuk keluarga dan kroni-kroninya, melainkan sebaliknya dirinya
adalah untuk lembaga bahkan kalau perlu rela hancur asalkan lembaga yang
dipimpinnya berjaya.
8. Pemimpin yang dicintai. Bagi pemimpin spiritual, kasih sayang sesama justru
merupakan ruh sebuah organisasi. Cinta kasih kata Percy tidak sama dengan
belas kasihan ketika melihat ke bawah yang miskin, jiwa-jiwa terlantar
dibanding kita. Cinta kasih adalah sikap menginginkan yang lebih untuk
orang-orang lain dibandingkan untuk dirinya sendiri. Dengan cinta kasih ini
interaksi sosial tidak diliputi dengan suasana ketegangan dan serba formal,
melainkan hubungan yang cair dan bahkan suasana canda. Hendricks dan
Ludeman bahkan mengatakan: “satu-satunya cara terbaik untuk menilai
kesehatan sebuah tim atau sebuah perusahaan adalah dengan mengetahui
seberapa sering mereka bercanda”
9. Think Globally and Act Locally. Statemen ini merupakan visi seorang
pemimpin spiritual. Memiliki visi jauh ke depan dengan fokus perhatian
kekinian dan kedisinian. Dalam hal yang paling abstrak (spirit, soul, ruh) saja
ia dapat meyakini, memahami dan menghayati, maka dalam kehidupan nyata
ia tentu lebih dapat memahami dan menjelaskan lagi walaupun kenyataan itu
merupakan cita-cita masa depan.
10. Disiplin tetapi fleksibel dan tetap cerdas dan penuh gairah. Kedisiplinan
pemimpin spiritual tidak didasarkan pada sistem kerja otoritarian yang

Page | 9
menimbulkan kekakuan dan ketakutan, melainkan didasarkan pada komitmen
dan kesadaran yaitu kesadaran spiritual yang oleh Percy dianggap sebagai
bentuk komitmen yang paling tinggi setelah komitmen politik, komitmen
intelektual dan komitmen emosional. Kebiasaan mendisiplinkan diri ini
menjadikan pemimpin spiritual sebagai orang yang teguh memegang prinsip,
memiliki disiplin yang tinggi tetapi tetap fleksibel, cerdas, bergairah dan
mampu melahirkan energi yang seakan tiada habisnya.
11. Kerendahan hati. Seorang pemimpin spiritual menyadari sepenuhnya bahwa
semua kedudukan, prestasi, sanjungan dan kehormatan itu bukan karena dia
dan bukan untuk dia, melainkan karena dan untuk Dzat Yang Maha Terpuji,
subhânallah. Sikap rendah hati menurut Parcy adalah pengakuan bahwa anda
tidak mempunyai karunia untuk memimpin, namun karunia itu yang memiliki
anda, sementara al-Shadr mengatakan bahwa kerendahan hati adalah
“memperhatikan kedudukan orang lain dan menghindari perilaku arogan
terhadap mereka”. Pemimpin spiritual menyadari bahwa pemujaan terhadap
diri sendiri sangat melelahkan jiwa, sikap bodoh dan awal dari kebangkrutan.
Dirinya hanyalah sekedar saluran, media. Allahlah sesungguhnya yang
memberi kekuatan, petunjuk, pertolongan.

Karakteristik-karakteristik tersebut merupakan rangkuman dari tipe ideal


dari sejumlah pemimpin spiritual berdasarkan hasil penelitian. Memang tidak
semua pemimpin spiritual yang memiliki setiap karakter tersebut dengan
sempurna. Bagaimanapun pemimpin tersebut adalah manusia dan manusia itu
tempatnya salah dan lupa (al-insanu mahallu khata’ wa al-niyan).

Page | 10
2.4 Model Kepemimpinan Spiritual
Kepemimpinan spiritual dapat dikategorikan dalam dua kategori yaitu
kepemimpinan spiritual substantive dan kepemimpinan spiritual instrumental.
(Tobroni: 2010)
1. Kepemimpinan Spiritual Substantif
Kepemimpinan spiritual subtantif yaitu kepemimpinan spiritual yang lahir
dari penghayatan spiritual sang pemimpin dan kedekatan pemimpin dengan
realitas ilahi dan dunia ruh. Model kepemimpinan spiritualnya muncul
dengan sendirinya dan menyatu dalam kepribadian dan perilaku
kesehariaannya dank arena itu bersifat tetap.
2. Kepemimpinan Spiritual Instrumental
Kepemimpinan spiritual instrumental yaitu kepemimpinan spiritual yang
dipelajari dan kemudian dijadikan gaya atau model kepemimpinannya. Gaya
spiritual dalam kepemimpinannya muncul karena tuntutan eksternal dan
menjadi alat atau media untuk mengefektifkan perilaku kepemimpinannya.
Kepemimpinan spiritual instrumental bersifat tidak abadi dan sekiranya
konteks kepemimpinannya berubah maka model kepemimpinannya bisa jadi
berubah pula.

2.5 Unsur Pembentuk Kepemimpinan Spiritual


Spiritual Leadership, sebagai gaya kepemimpinan yang memberikan jalan
keluar ditengah krisis kepercayaan terhadap pemimpin dewasa ini dan juga
sebagai penentu keberhasilan bagi organisasi , seperti hasil penelitian dari (Percy,
2003), menyimpulkan bahwa para direktur dan Chief of Excutive Officer (CEO)
yang efektif dalam hidup dan kepemimpinannya memiliki spiritualitas yang tinggi
dan menerapkan gaya kepemimpinan spiritual. Jadi bisa disimpulkan
kepemimpinan spiritual bisa diperoleh apabila individu tadi memiliki kecerdasan
spiritual.
Spiritual Quotient (SQ) merupakan kecerdasan untuk menghadapi dan
memecahkan persoalan makna dan nilai hidup, menempatkan perilaku dalam
konteks makna secara lebih luas. Menurut Zohar (dalam Abd. Wahab:2011) SQ

Page | 11
merupakan syarat mutlak berfungsinya IQ dan EQ secara efektif. SQ telah ada
dalam diri manusia sejak lahir. Hal ini ditujukan untuk membantu manusia dalam
membangun dirinya secara utuh. Dalam perjalanan kehidupan manusia, tidak
hanya berdasarkan pada rasio saja, melainkan juga menggunakan hati nurani
sebagai pusat SQ. Karena kebenaran sejati sebenarnya lebih terletak pada hati
nurani bahkan menurut N. Dyakarya secara ekstrim berpendapat bahwa suara
nurani merupakan suara Tuhan. Spiritual Quotient atau SQ diyakini merupakan
tingkatan tertinggi dari kecerdasan,yang digunakan untuk menghasilkan arti
(meaning) dan nilai (value). Dua jenis,yaitu IQ dan EQ, merupakan bagian yang
terintegrasi dari SQ.
Adapun langkah-langkah dalam pemberdayaan yang dilakukan para
pemimpin spiritual adalah sebagai berikut:
1. Senantiasa berbagi informasi secara akurat kepada setiap orang
2. Menciptakan otonomi-otonomi dalam batas-batas wewenang kerja
3. Memberikan peran.

2.6 Tanda-tanda Individu Memiliki Kecerdaan Spiritual


1. Fleksibel
Orang yang memiliki kecerdasan spiritual tinggi di tandai dengan sikap
hidupnya yang fleksibel atau luwes. Orang ini dapat membawa diri dan mudah
menyesuaikan diri dengan berbagai situasi yang dihadapi, tidak kaku.
2. Kemampuan Refleksi Tinggi
Orang yang memiliki kecerdasan spiritual tinggi, memiliki kemampuan refleksi
yang tinggi. Dia cenderung bertanya ‘mengapa” atau “bagaimana seandainya”
sebagai kelanjutan “apa” dan “bagaimana”.
3. Kesadaran diri dan lingkungan tinggi
Kesadaran diri tinggi berarti telah mengenal dirinya dengan sebaik-baiknya.
Dia telah mampu mengendalikan dirinya, misalnya mengendalikan emosi dan
dorongan-dorongan lainnya.

Page | 12
4. Kemampuan Kontemplasi Tinggi
Orang memilki kecerdasan spiritual tinggi di tandai dengan kemampuan
kontemplasi yang tinggi, yaitu kemampuan mendapat inspirasi dari berbagai
hal, kemampuan menyampaikan nilai dan makna kepada orang lain (memberi
inspirasi), mengamati berbagai hal untuk menarik hikmahnya atau mendapat
inspirasi, memiliki kreatititas tinggi dan kemampuan inovasi yang berasal dari
inspirasi yang di dapatnya.
5. Berpikir Secara Holistik
Berpikir secara holistic berarti berpikir secara menyeluruh, mengkaitkan
berbagai hal yang berbeda-beda.
6. Berani Menghadapi dan Memanfaatkan
Penderitaan Segala kesulitan hidup merupakan tempaan atau ujian untuk
meningkatkan kesadaran diri seseorang.
7. Berani Melawan Arus dan Tradisi.
Tidak selalu mengikuti arus namun di sini kita di tantang untuk melawan arus
jika dibutuhkan.
8. Sedikit Mungkin Menimbulkan
Kerusakan Selalu berusaha bermanfaat bagi lingkungan sekitar.
Menurut Jalaludin Rakhmat, kecerdasan spiritual bisa dilatih dengan selalu
berusaha ikhlas, mendekatkan pada Tuhan dan selalu bersyukur akan segala
nikmat yang telah diberikan pada kita.

2.7 Kepemimpinan Spiritual dalam Islam


Dalam Al Qur’an surat Al Mudatsir ayat 1-7 dijelaskan:

)5( ‫الر ْج َز فَ ْاه ُج ْر‬ َ َ‫) َوثِياب‬3( ‫ك فَ َكِّب ْر‬


ُّ ‫) َو‬4( ‫ك فَطَ ِّه ْر‬ َ َّ‫) َو َرب‬2( ‫) قُ ْم فََأنْ ِذ ْر‬1( ‫َّث ُر‬
ِّ ‫يا َُّأي َها ال ُْمد‬
)7( ‫اصبِ ْر‬ ْ َ‫ك ف‬ َ ِّ‫) َولَِرب‬6( ‫َوال تَ ْمنُ ْن تَ ْستَ ْكثِ ُر‬
Yang artinya: “1)Hai orang yang berkemul (berselimut), 2)Bangunlah, lalu
berilah peringatan 3)Dan Tuhanmu agungkanlah! 4)Dan pakaianmu
bersihkanlah, 5)Dan perbuatan dosa tinggalkanlah, 6)Dan janganlah kamu

Page | 13
memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak. 7)Dan untuk
(memenuhi perintah) Tuhanmu, bersabarlah.” (QS.Al-Mudatsir-1-7)
Dengan tersingkapnya “selimut-selimut” langkahnya yaitu membangkitkan
(Qiyam), yaitu menggerakkan berbagai sumber daya; sumber daya manusia,
sumber daya material, sumber daya financial, sumber daya organisasi, sumber
daya teknologi, sumber daya cultural, sumber daya moral, dan sumber daya
spiritual. Pemimpin spiritual adalah pemimpin pemberdaya. Kepemimpinannya
tidak mengandalkan perintah, hukuman ganjaran yang melekat dalam dirinya dan
kedudukannya sebagai pemimpin, melainkan lebih mengutamakan pemberdayaan.
Ia tidak memerintah tetapi memberikan pemahaman dan inspirasi, tidak
menghukum tapi menyadarkan, tidak memberi ganjaran tetapi memfasilitasi dan
tidak merekayasa tapi membangkitkan. Pemimpin spiritual lebih banyak
memerankan diri sendiri yaitu melibatkan diri dengan orang-orang dan
permasalahan yang dipimpinnya. Ia tidak semata-mata mengawasi, mengelola dan
memperhatikan orang-orang , jabatan dan fasilitas organisasi, melainkan lebih
banyak mengelola hati orang-orang yang dipimpinnya.

Page | 14
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

kepemimpinan spiritual adalah kepemimpinan yang berdasarkan


pada taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, kepemimpinan dengan
semangat berjuang bersama (jihad). Kepemimpinan spiritual jauh
mengesampingkan kepentingan pribadi sang pemimpin namun lebih
mengutamakan kepentingan organisasi yang dipimpinnya. Kepemimpinan
spiritual merupakan kepemimpinan yang berdasarkan etika religius atau
mengacu pada kehendak Tuhan.

Spiritual Quotient (SQ) merupakan kecerdasan untuk menghadapi dan


memecahkan persoalan makna dan nilai hidup, menempatkan perilaku dalam
konteks makna secara lebih luas. Kepemimpinan adalah suatu kesiapan
kemampuan yang dimiliki oleh seseorang dalam proses mempengaruhi,
mendorong, membimbing, mengarahkan dan menggerakkan orang lain agar
segenap kegiatan dapat berjalan secara efektif dan efesien, yang pada giliriannya
dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Kepemimpinan Spiritual adalah
kepemimpinan yang membawa dimensi keduniawian kepada dimensi keilahian.
Adapun karakteristik pemimpin spiritual yakni Kejujuran Sejati Fairness,
Semangat amal Shaleh, Membenci formalitas dan organized religion, Sedikit
bicara banyak kerja dan santai, Membangkitkan yang terbaik bagi diri sendiri dan
orang lain, Keterbukaan menerima perubahan, Pemimpin yang dicintai,Think
Globally and act locally, Kerendahan hati dan sebagainya.

Page | 15
3.2 Saran dan Kritik
Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi
pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan
kelemahannya, kerena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau
referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini.
Penulis banyak berharap para pembaca dapat memberikan kritik dan saran
yang membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan dan
penulisan makalah di kesempatan – kesempatan berikutnya.

Page | 16
DAFTAR PUSTAKA

Abd. Wahab dan Umiarso, 2011, Kepemimpinan Pendidikan dan Kecerdasan


Spiritual, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, hal.51
Ary Ginanjar, 2001. Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan
Spiritual (ESQ), Jilid Pertama, Arga Wijaya Persada, Jakarta.
Dossey, B. M, Keegan, L., & Guzzetta, C. E. 2000. Holistic nursing:A handbook
for practice. Fourth Edition. Sudbury, MA: Jones & Bartlett.
Percy Ian, 1997.Going Deep, Exploring Spirituality in Life and leadership, (terj.
Rudi Ronald), Jakarta: BIP.
Sopiah, 2008. Perilaku Organisasi. Edisi Pertama. Penerbit Andi: Yogyakarta.
Siagian, Sondang P. 2004. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Bumi
Aksara.
Tobroni. 2010. The Spiritual Leadership. Malang: UMM Press
Winarno Darmoyuwono, 2010. Delapan Tanda Kecerdasan Spiritual.
Categorized as Holistik, InfoKesehatan Spirit,13 Januari 2010
Yukl, Gary. 2001. Leadership in Organization. New Jersey:Prentice-Hall, In.

Page | 17

Anda mungkin juga menyukai