Anda di halaman 1dari 15

INTERNALISASI KECERDASAN SPIRITUAL

KE DALAM BUDAYA KERJA


(Bacaan Pengayaan Untuk Materi Pengembangan Potensi Diri Kepala
Madrasah)

Oleh: Dr. H. Abdul Main, S.Ag., SS., M.Hum.


(Widyaiswara Madya BDK Surabaya)

ABSTRAK

Kecerdasan spiritual kini telah diakui sebagai kecerdasan yang paling berpengaruh
dalam kesuksesan seseorang. Banyak penelitian telah menunjukkan bahwa orang-
orang yang sukses dalam karirnya ternyata adalah orang-orang yang memiliki
kecerdasan spiritual yang tinggi. Begitu juga kepemimpinan, akan efektif jika
pemimpin memiliki kecerdasan spiritual yang tinggi. Implementasi kecerdasan
spiritual dimulai dari pembiasaan dan penegasan nilai-nilai positif dalam kehidupan
sehari-hari. Makalah ini akan menjelaskan konsep kecerdasan spiritual dan
internalisasinya dalam budaya kerja aparatur pemerintah. Proses internalisasi dimulai
dari pengenalan konsep diri, mengenali mental block, penjernihan suara hati nurani,
perubahan pola pikir, komitmen spiritual, dan meneladani tujuh nilai-nilai positif
berdasarkan Al-Fatihah.

Kata-kata kunci: kecerdasan spiritual, spiritualitas, budaya kerja, aparatur pemerintah.

ABSTRACT

Spiritual intelligence has now been recognized as the most influential


intelligence in a person's success. Many studies have shown that people who
are successful in his career turns out are the ones who have high spiritual
intelligence. So also the leadership, will be effective if the leader has a high
spiritual intelligence. Implementation of the spiritual intelligence starts from
repetition and affirmation of positive values in life that become habits. This
paper will describe the concept of spiritual intelligence and government
officials work culture, and the process of internalization of spiritual
intelligence into the work culture. Internalization process starts from the
introduction of the concept of self, recognizing mental-block, purification of
conscience, change mindset, spiritual commitment, and emulate the seven
positive value based on the Al-Fatihah.

Kata-kata kunci: kecerdasan spiritual, komitmen spiritual, budaya kerja, berpikir


positif, bersyukur, B5KB.

PENDAHULUAN
Dalam rangka melaksanan tugas-tugas pelayanan publik sebagaimana diamanatkan
oleh Undang-undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, birokrasi
pemerintah membutuhkan sumberdaya aparatur yang kompeten dan profesional.
Undang-undang tersebut mengamanatkan agar birokrasi penyelenggara pelayanan
publik bersikap profesional. Sikap profesional itu diperlukan untuk membangun
kepercayaan masyarakat atas pelayanan yang diberikannya. Untuk mewujudkan
pelayanan publik yang baik diperlukan sumberdaya aparatur, yaitu Pegawai Negeri
Sipil (PNS) yang profesional. Oleh karena itu pembinaan terhadap PNS perlu
diupayakan terus menerus, baik aspek pengetahuanya, ketrampilannya, lebih-lebih
aspek etika, mental dan spiritualnya.
Karena sebagaimana kita ketahui bahwa birokrasi di Indonesia saat ini tengah
dilanda ‘patalogi birokrasi’ yang sangat memprihatinkan. Menurut beberapa penelitian
para ahli, ditengarai adanya beberapa jenis penyakit birokrasi, antara lain: rigiditas
pelayanan; sikap instruktif aparat; inefisiensi; formalistis; pungutan liar; gratifikasi;
korupsi, kolusi dan nepotisme; makelar jabatan; makelar kasus; dsb. Oleh karena itu
semangat yang harus dibangun adalah bagaimana menginternalisasi kecerdasan
spiritual ke dalam budaya kerja aparatur pemerintah sehingga nilai-nilai ketuhanan
masuk ke dalam sistem birokrasi. Dengan demikian di dalam mekanisme kerja
birokrasi akan terdapat semacam ‘bio-panoptikon’, yaitu suatu model pengawasan
yang hidup, karena setiap diri merasa dalam pengawasan Tuhan (Lihat: konsep al-
Ihsan).
Tulisan ini akan menguraikan tentang konsep kecerdasan spiritual dan budaya
kerja aparatur pemerintah, serta proses internalisasi kecerdasan spiritual ke dalam
budaya kerja dimaksud. Dasar pemikirannya adalah, jika aparatur pemerintah cerdas
spiritualnya, maka akan mulia etika kerjanya. Jika etika kerjanya mulia, tentu saja
pikiran, sikap dan tindakannya selalu positif terhadap rekan kerja, tugas, dan
lingkungan kerjanya. Dengan demikian maka output yang dihasilkannya pun akan
optimal dan dilimpahi keberkahan. Dalam tulisan ini, penulis berpandangan bahwa
kecerdasan spiritual merupakan kemampuan seorang aparatur untuk
mengaktualisasikan sikap dan perilaku terbaiknya dalam hidup bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara, termasuk di lingkungan kerja. Sikap terbaik itu dijiwai oleh
nilai-nilai spiritual yang diyakini oleh yang bersangkutan sebagai sumber kekuatan
moral. Dan tulisan ini tidak mempersoalkan dari agama apa nilai-nilai spiritual itu
berasal.

KONSEP KECERDASAN SPIRITUAL


Kecerdasan spiritual (spiritual quotient/SQ) adalah kecerdasan jiwa yang
membantu seseorang untuk mengembangkan dirinya secara utuh melalui penciptaan
kemungkinan untuk menerapkan nilai-nilai positif. SQ merupakan fasilitas yang
membantu seseorang untuk mengatasi persoalan dan berdamai dengan persoalannya
itu. Ciri utama dari SQ ini ditunjukkan dengan kesadaran seseorang untuk
menggunakan pengalamannya sebagai bentuk penerapan nilai dan makna. Kecerdasan
spiritual yang berkembang dengan baik akan ditandai dengan kemampuan seseorang
untuk bersikap fleksibel dan mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan, memiliki
tingkat kesadaran yang tinggi, mampu menghadapi penderitaan dan rasa sakit, mampu
mengambil pelajaran yang berharga dari suatu kegagalan, mampu mewujudkan hidup
sesuai dengan visi dan misi, mampu melihat keterkaitan antara berbagai hal, mandiri,
serta pada akhirnya membuat seseorang mengerti akan makna hidupnya. (Wikipedia,
30 Oktober 2012).
2
Zohar dan Marshall (2001) mendefinisikan kecerdasan spiritual sebagai
kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai, yaitu
menempatkan perilaku dan hidup manusia dalam konteks makna yang lebih luas dan
kaya, serta menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna
dibandingkan dengan orang lain. Selanjutnya Zohar dan Marsyal memberikan delapan
dimensi untuk menguji sejauh mana kualitas kecerdasan spiritual seseorang.
Barometer kepribadian yang dipakai meliputi:
1. Kapasitas diri untuk bersikap fleksibel, seperti aktif dan adaptif secara spontan.
2. Memiliki tingkat kesadaran (self-awareness) yang tinggi.
3. Kemampuan untuk menghadapi dan memanfaatkan penderitaan (suffering).
4. Kualitas hidup yang diilhami oleh visi dan nilai-nilai.
5. Keengganan untuk menyebabkan kerugian yang tidak perlu (unnecessary harm).
6. Memiliki cara pandang yang holistik, dengan melihat kecenderungan untuk
melihat keterkaitan di antara segala sesuatu yang berbeda.
7. Memiliki kecenderungan nyata untuk bertanya: ”Mengapa” (why) atau
”Bagaimana jika” (what if?) dan cenderung untuk mencari jawaban-jawaban
yang fundamental (prinsip dan mendasar).
8. Menjadi apa yang disebut oleh para psikolog sebagai field-independent (bidang
mandiri), yaitu memiliki kemudahan untuk bekerja melawan konvensi.

Sementara Ary Ginanjar Agustian (2006) mendefinisikan kecerdasan spiritual


sebagai kemampuan memberi makna ibadah terhadap setiap perilaku dan kegiatan
melalui langkah-langkah dan pemikiran yang bersifat fitrah, menuju pribadi yang
seutuhnya dan memiliki pola pemikiran integralistik serta berprinsip hanya karena
Allah.
Berman (2005; dalam Trihandini, 2005) menjelaskan bahwa kecerdasan
spiritual dapat memfasilitasi dialog antara pikiran dan emosi, antara jiwa dan tubuh.
Kecerdasan spiritual juga dapat membantu seseorang untuk dapat melakukan
transedensi diri. Macormick (1994; dalam Trihandini, 2005) dalam penelitiannya
membedakan kecerdasan spiritual dengan religiusitas di dalam lingkungan kerja.
Religiusitas lebih ditujukan pada hubungannya dengan Tuhan sedangkan kecerdasan
spiritual lebih terfokus pada suatu hubungan yang dalam dan terikat antara manusia
dengan sekitarnya secara luas.
Harjani Hefni (2005) menyatakan makna kecerdasan spiritual adalah
kemampuan mendengarkan suara hati untuk cerdas berhubungan dengan Tuhan YME
dan sesama dalam memberikan yang terbaik dan bermanfaat. Dengan demikian
kecerdasan spiritual adalah kecerdasan jiwa dalam memaknai hidup yang dapat
membantu seseorang dapat membangun dirinya untuk tumbuh, berkembang dan
seimbang.
Berdasarkan uraian di atas penulis menyimpulkan bahwa kecerdasan spiritual
adalah kemampuan mental untuk mendengarkan suara hati nurani sehingga hatinya
selalu condong terhadap kebenaran. Karenanya maka tindakannya pun selalu
dikendalikan oleh hati nuraninya, sehingga ia selalu dalam kondisi terbimbing di jalan
kebenaran.

KEHEBATAN KECERDASAN SPIRITUAL


Telah banyak bukti ilmiah yang menunjukkan kehebatan kecerdasan spiritual dan
pengaruhnya terhadap kesuksesan seseorang di tempat kerja. Berbagai studi
3
menunjukan kesimpulan yang hampir sama, bahwa pengaruh kecerdasan spiritual
sangat dominan dalam menunjang kesuksesan seseorang. Berikut ini dikutip beberapa
dari sekian banyak hasil studi yang pernah dilakukan para ahli

1. Hasil riset (Zohar dan Marshall, 2000): “SQ: Spiritual Intelligence, the Ultimate
Intelligence”, menyimpulkan bahwa aspek spiritual, termasuk di dalamnya
kecerdasan spiritual (SQ), menjadi penyumbang terbesar (80%) dalam
keberhasilan dan kesuksesan karir seseorang.
2. Penelitian Percy, (2003) berjudul: “Going Deep: Exploring Spirituality in Life and
Leadership” menyimpulkan bahwa para direktur dan Chief of Excutive Officer
(CEO) yang efektif dalam hidup dan kepemimpinannya memiliki spiritualitas
yang tinggi dan menerapkan gaya kepemimpinan spiritual.
3. Penelitian Sovia Emmy (2012) berjudul “Makna Kecerdasan Emosional Dan
Spiritual Dalam Pemberdayaan SDM Organisasi”, yang mengambil sampel para
alumni pelatihan kecerdasan emosional dan spiritual di Pusdiklat Hukum dan
HAM, menyimpulkan bahwa:
• Kecerdasan emosional dan spiritual dalam pemberdayaan SDM (pada lokus)
dimaknai dengan adanya pengendalian emosi dan menjaga kejernihan hati,
adanya komitmen kerja , tumbuhnya kepedulian, keterbukaan dan berbagi serta
empati. Nilai-nilai spiritual tersebut telah membentuk sikap positip yang
terlihat pada perubahan perilaku yang terjadi pada komunikasi, kerja sama,
tanggung jawab, disiplin dan prestasi kerja.
• Pelatihan kecerdasan emosional dan spiritual telah dapat membuka hati untuk
melakukan introspeksi diri, menumbuhkan kesadaran diri akan hubungan
dengan Tuhan dan sesama manusia serta meluruskan kembali pemahaman akan
makna bekerja.
• Penjernihan hati (zero mind process) dan komitmen terhadap nilai-nilai baik
yang diperoleh dari pelatihan kecerdasan emosional dan spiritual, sangat
berkesan bagi alumni sebagai titik awal perubahan sikap positif dalam bekerja.
• Ternyata kesadaran terhadap kecerdasan emosional dan spiritual akan
berdampak besar apabila ditindaklanjuti dengan membangun komitmen di
tempat kerja
4. Kajian Harjani Hefni (2008) tentang “The Seven Daily Habits: Hidup Islami dan
Modern berbasis Al-Fatihah”, yang sekilas judulnya mirip dengan karya
spektakuler Stephen R. Covey, The Seven Habits of Highly Effective People” ini
mengungkap kedahsyatan kecerdasan spiritual yang dijiwai oleh tujuh kebiasaan
unggulan yang diderivasi dari surat Al-Fatihah. Tujuh kebiasaan unggulan yang
mampu mengggabungkan tiga kecerdasan dasar manusia, yaitu kecerdaskan
spiritual, intelektual dan emosional itu adalah B5KB (Bismillah, Bersyukur,
Berpikir positif, Berorientasi akhirat, Berdo’a, Konsisten dalam Komitmen dan
Bercermin).
5. Kajian Dr. Tobroni berjudul “The Spiritual Leadership,…” (2005), mengulas
tentang kepemimpinan spiritual (spiritual leadership), yaitu kepemimpinan yang
membawa dimensi keduniawian kepada dimensi keilahian. Tuhan adalah
pemimpin sejati yang mengilhami, mempengaruhi, melayani dan menggerakkan
hati nurani hamba-Nya dengan sangat bijaksana melalu pendekatan etis dan
keteladanan. Karena itu kepemimpinan spiritual disebut juga kepemimpinan yang

4
berdasarkan etika religius dan kecerdasan spiritual, mendasarkan pada iman dan
hati nurani. Tobroni mengklasifikasi ada dua model kepemimpinan spiritual yaitu
kepemimpinan spiritual substantif dan kepemimpinan spiritual instrumental. (1)
Kepemimpinan spiritual substantif lahir dari penghayatan spiritual sang pemimpin
dan kedekatan pemimpin dengan realitas Ilahi dan dunia Ruh. Model
kepemimpinan spiritualnya muncul dengan sendirinya dan menyatu dalam
kepribadian dan perilaku kesehariannya dan karena itu bersifat tetap. (2)
Kepemimpinan spiritual instrumental, yaitu kepemimpinan spiritual yang
dipelajari dan kemudian dijadikan gaya kepemimpinannya. Gaya kepemimpinan
spiritualnya muncul karena tuntutan eksternal dan menjadi alat atau media untuk
mengefekifkan perilaku kepemimpinannya. Gaya kepemimpinan spiritual
instrumental bersifat tidak abadi dan sekiranya konteks kepemimpinannya
berubah, maka gaya kepemimpinannya bisa jadi berubah pula. Gaya
kepemimpinan ini bisa juga muncul sebagai salah satu cara untuk mengatasi
permasalahan baik permasalahan internal sang pemimpin itu sendiri maupun
permasalahan eksternal.
Selanjutnya Tobroni mengatakan bahwa penerapan gaya kepemimpinan spiritual
dalam membangun budaya organisasi dapat dilakukan dengan empat langkah: (1)
niat yang suci, yaitu membangun kualitas batin yang prima dalam memimpin.
Dengan kualitas batin yang prima, komunitas organisasi akan memiliki perhatian
penuh dan istiqomah dalam berkhidmat pada tugas masing-masing. (2)
mengembangkan budaya kualitas dengan cara membangun keyakinan inti (core
believe) dan nilai inti (core values) kepada komunitas organisasi bahwa hidup dan
kerja hakekatnya adalah idadah kepada Allah, maka harus dilakukan dengan
sebaik-baiknya (ahsanu ‘amala). (3) mengembangkan persaudaraan (ukhhuwah)
sesama anggota komunitas, sehingga kerjasama, sinergi antar individu dan
kelompok/unit dalam organisasi dapat tercipta untuk memberdayakan potensi dan
kekuatan secara maksimal. (4) mengembangkan perilaku etis (akhlaqul karimah)
dalam bekerja melalui pembudayaan rasa syukur dan sabar dalam mengemban
amanah.
Maka seorang pemimpin yang memiliki kecerdasan spiritual tinggi akan dapat
mengefektifkan proses organisasi melalui pendekatan etis, dengan menjadi: (1)
murabbi (penggembala) dalam mengembangkan kepemimpinan dan tanggung
jawab; (2) penjernih dan pengilham dalam proses komunikasi dan inovasi; (3)
ta’mir (pemakmur) dalam mensejahterakan bawahannya; (4) enterpreneur dalam
kiat-kiatnya mengembangkan usaha; dan (5) pemberdaya dalam mengembangkan
kepemimpinan bagi bawahannya dan mengkader pemimpin baru yang lebih baik.
Dari beberapa kutipan di atas dapat dipahami bahwa kecerdasan spirtual dapat menjadi
landasan etis budaya kerja. Persoalannya adalah, budaya kerja yang demikian tidak
serta merta tumbuh jika tidak ada proses transformasi. Proses transformasi yang
demikian memerlukan peran kepemimpinan spiritual yang kuat.
Karena itu penulis berpandangan bahwa budaya kerja organisasi pemerintah
harus dibangun di atas landasan etika yang kuat. Persoalannya adalah, etika yang mana
yang harus dijadikan rujukan di dalam berpikir, bertindak dan berperilaku aparatur
pemerintah, khususnya aparatur Kementerian Agama? Sebab etika itu sangat luas,
Menurut hemat penulis, nilai-nilai luhur yang bisa membawa terciptanya harmoni
sosial dan kebaikan (dari mana saja sumbernya) bisa dijadikan frame of reference etika

5
organisasi pemerintah. Hal ini sejalan dengan isi Tap MPR Nomor VI/MPR/2001,
yang antara lain berbunyi:
”....... rumusan yang bersumber dari ajaran agama, khususnya yang bersifat
universal, dan nilai-nilai luhur budaya bangsa yang tercermin dalam Pancasila
sebagai acuan dasar dalam berpikir, bersikap dan bertingkah laku dalam
kehidupan berbangsa”.
Pokok-pokok etika dalam kehidupan berbangsa sebagaimana tertuang dalam Tap
MPR tersebut sangat sarat dengan muatan kecerdasan spiritual, karena lebih
mengedepankan kejujuran, amanah, keteladanan, sportifitas, disiplin, etos kerja,
kemandirian, sikap toleransi, rasa malu, tanggung jawab, menjaga kehormatan serta
martabat diri sebagai warga bangsa. Yang mana, nilai-nilai luhur semacam ini juga
terdapat dalam ajaran etika Barat (filsafat moral), etika Islam maupun budaya bangsa
Indonesia.
Dalam aplikasinya, etika organisasi pemerintah itu nantinya dijabarkan lagi
menjadi etika kerja yang bersifat aplikatif, yang menurut teori filsafat moral disebut
etika terapan. Etika terapan merupakan pengejawantahan dari filsafat moral dalam
pelaksanaan kehidupan sosial praktis. Dalam konteks organisasi Kementerian Agama,
etika profesi itu tertuang dalam Kode Etik Pegawai Kementerian Agama. Penerapan
kode etik (etika kerja) semacam itu akan bisa berjalan dengan baik jika dilandasi
kecerdasan spiritual seluruh aparaturnya, mulai dari pimpinan hingga bawahan.

PROSES INTERNALISASI KECERDASAN SIPRITUAL


Internalisasi adalah penghayatan terhadap suatu ajaran, doktrin/nilai sehingga
merupakan keyakinan dan kesadaran akan kebenaran yang diwujudkan dalam sikap
dan perilaku (KBBI, 2003:1321). Karena itu internalisasi berarti kesadaran dan
keyakinan yang sungguh-sungguh terhadap nilai-nilai yang akan nampak dalam sikap
dan tingkah lakunya sehari-hari dan akan tampak dalam pelaksanaan tugas kedinasan.
Menurut Hadipranata ada enam mekanisme internalisasi, yaitu: (a) Penyiangan;
(b) pembersihan beban batin; (c) Revitalisasi potensi diri baik minus dan plusnya; (d)
Intervensi nilai-nilai luhur via sensitivity training; (e) Dibangun kemandiriannya; (f)
Ditata etos kerjanya secara prima; (g) Dibiasakan memantau dan mengevaluasi
kemajuan dirinya.
Karena internalisasi menuntut pembuktian dalam perilaku, sedangkan untuk
mengubah perilaku seseorang terlebih dahulu kita harus mengubah sikapnya. Oleh
sebab itu pembahasan mengenai internalisasi nilai tidak terlepas dari bagaimana proses
terjadinya perubahan sikap yang biasanya hampir selalu dipusatkan pada cara-cara
manipulasi atau pengendalian situasi dan lingkungan untuk menghasilkan perubahan
sikap ke arah yang dikehendaki. Dasar-dasar manipulasi ini diperoleh dari pemahaman
mengenai organisasi sikap, faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan dan
perubahan sikap, terutama yang berkaiatan dengan pembentukan stimulus tertentu
untuk menghadirkan respons yang dikehendaki (Saifuddin 2003. hlm. 61).
Sikap merupakan produk dari proses sosialisasi dimana seseorang bereaksi
sesuai dengan rangsangan yang diterimanya. Sikap mengarah dan menyesuaikan diri
terhadap sesuatu obyek dan dipengaruhi oleh lingkungan sosial serta kesediaan
bereaksi dari seseorang tersebut kepada obyek (Mar’at 1981. hlm. 9). Krech et al
(1962. hlm. 117), mendefinisikan sikap : “An enduring system of positive or negative
evaluations emotional feelings, and pro or conaction tendencies with respect to social
object”. Orang yang bersikap tertentu cenderung menerima atau menolak suatu obyek
6
berdasarkan penilaian terhadap obyek itu sebagai hal yang berguna/berharga baginya
atau tidak. Penilaian spontan melalui perasaan, berperanan sebagai aspek afektif
dalam pembentukan sikap. Penilaian yang tanpa banyak refleksi ini dapat diperkuat,
dengan menemukan alasan-alasan rasional yang mendukung penilaian melalui perasaan.
Hasil refleksi ini menjadi aspek kognitif dalam pembentukan sikap dan membuat sikap
semakin tertanam dalam batin. (Winkel, 1999: 188).
Sikap positif dapat berubah menjadi negatif jika tidak mendapatkan pembinaan
dan sebaliknya sikap negatif dapat berubah menjadi positif jika mendapatkan
pembinaan yang baik. Karena sikap mempunyai valensi/tingkatan maka sikap positif
dapat juga ditingkatkan menjadi sangat positif. Di sinilah letak peranan pembinaan
dalam membentuk sikap seseorang. Menurut Milson (1972. hlm. 289-304), sikap
positif akan terbentuk atau timbul apabila rangsangan yang datang pada seseorang
memberi pengalaman yang menyenangkan, dan sikap negatif akan timbul bila
rangsangannya memberi pengalaman yang tidak menyenangkan.
Sikap mempunyai tiga komponen yaitu kognitif (berhubungan dengan
pengetahuan), afektif (berhubungan dengan perasaan), dan psikomotoris (berhubungan
kecenderungan untuk bertindak) (Sears 1988). Struktur kognisi merupakan pangkal
terbentuknya sikap seseorang. Struktur kognisi ini sangat ditentukan oleh pengetahuan
atau informasi yang berhubungan dengan sikap, yang diterima seseorang. Dengan
demikian, pengetahuan mengenai norma agama, norma susila, norma adat dan Norma
hukum yang berlaku diharapkan akan mampu menumbuhkembangkan sikap positif,
sehingga seorang PNS akan bertindak dan berkelakuan sesuai dengan norma-norma
tersebut.
Banyak cara yang dapat dilakukan untuk menginternalisasi kecerdasan
spiritual. Emmy (2009), menjelaskan beberapa langkah internalisasi SQ yang meliputi:
(1) penyadaran diri (mengenali konsep diri manusia, mengenali mental block,
penjernihan suara hati, merubah mindset dan membangun komitmen spiritual); (2)
pemahaman konsep nilai dan (3) pemantapan diri.

1. Mengenali konsep diri manusia

Point ini penulis jelaskan dengan meminjam pemikiran Hadipranata


(2006: 24-26). Menurutnya, konsep diri seseorang dipengaruhi oleh
kepribadiannya, sedang kepribadian itulah yang melandasi sikap mentalnya.
Adapun kepribadian itu adalah kesesuaian antara sikap mental dan nilai-nilai
moral dengan perbuatannya. Untuk membina sikap mental yang baik
diperlukan landasan kepribadian atau jatidiri yang utuh (integrited identity or
integrited personality) yang asas-asasnya ada lima hal, sebagai berikut:
a. Keseimbangan antara fikiran dengan perasaan, serta antara indera (panca
indra) dengan intuisinya.
b. Keserasian antara diri (ego) dengan orang lain (sosionik)
c. Keselarasan antara aku dan kamu dalam kisi-kisi kekurangan maupun
kelebihannya, dan perlu silang saling mengisi agar dapat memberi dan
menerima saran maupun kritik.
d. Kematangan, kemampuan menyesuaikan diri baik secara fisik, mental,
sosial, maupun spiritualnya. Tidak ada rasa over atau minder terhadap hal-

7
hal tersebut; tidak terlalu peduli sekali atau meremehkan sama sekali;
segalanya diperoleh secara objektif dan benar.
e. Kemantapan, kewajaran mengendalikan ”konsep diri” secara masak-
dewasa dan selalu berfikir komulatif maju, sesuai dengan tuntutan
perubahan peradaban suatu teknologi. Adapun konsep diri itu adalah
penghayalan seseorang terhadap diri pribadinya secara wajar, dengan
empat komponennya sebagai berikut:
1) Citra diri, bayangan kebanggaan seseorang terhadap bentuk atau
tampang tubuh dirinya, maupun keseluruhan pribadinya;
2) Diri ideal, cita harapan idealisme seseorang terhadap jangkauan hidup
dan kehidupannya;
3) Citra famili, bayangan kebanggaan seseorang terhadap citra ayah – ibu
serta sanak saudara (keluarga inti) ataupun mertuanya, bahkan sanak
saudara, dinasti dan marganya;
4) Citra kelompok (organisasi, instansi, atau sosialnya), bayangan
kebanggaan seseorang terhadap citra kelompoknya dalam hal mana
seseorang terkait (Commitment).
Asasnya adalah, setiap orang diharapkan mampu mengendalikan keempat
komponen konsep dirinya tanpa ada yang berlebihan ataupun kekurangan,
tidak ada yang “congkak” (over) ataupun yang ”jongkok” (minder).

Mengenali mental block


Mental block adalah hambatan mental yang membuat seseorang sulit untuk
berubah ke arah yang lebih baik. Menurut Emmy (2009), hambatan mental
yang berasal dari dalam diri yaitu: blok persepsi; blok emosi; blok
kultur/lingkungan; blok intelektual; dan blok ego. Sedangkan Faktor ekternal
meliputi: lingkungan, teman sejawat, anak buah, dan iklim kerja.

Penjernihan suara hati


Hati nurani seringkali tertutup oleh berbagai belenggu yang menyebabkan
orang menjadi buta hati, sehingga tidak mampu lagi mendengar informasi-
informasi penting yang berasal dari suara-suara hatinya sendiri. Hal ini akan
mengakibatkan seseorang tidak mampu membaca lingkungan di luar dirinya
atau membaca dirinya sendiri. Akibatnya, ia sering terperosok ke dalam
berbagai kegagalan dan tidak mampu memanfaatkan potensi dirinya atau
potensi lingkungannya.
Ari Ginanjar Agustian (2003) mengemukakan 7 belenggu yang
menutupi suara hati yaitu: prasangka negatif, prinsip hidup; pengaruh
kepentingan; pengaruh pengalaman; pengaruh sudut pandang; pengaruh
pembanding; pengaruh literatur. Sedangkan menurut Dr. Sayyid Muhammad
Nuh (2004), ada 7 penyakit hati yang menjangkiti hati manusia yaitu:
Membanggakan diri; Terpedaya oleh perasaan sendiri; sombong; pamer ( riya )
dan ingin didengar (sum’ah); Buruk sangka; Kikir; Dendam
Poniman, dkk (2005) sebagaimana dikutip Emmy (2009)
mengidentifikasi 12 penyakit hati dalam diri seseorang, sbb: dengki, sombong,
angan-angan, ingkar, malas, egois, cepat puas, putus asa, tamak, pelit,
merusak dan riya. Untuk mensucikan hati dengan 12 epos (enersi positip)
penawarnya yaitu: 1. Dengki diganti dengan penyayang. 2. Lawan sombong
8
dengan rendah hati, 3. Lawan angan dengan tawakal, 4. Lawan ingkar dengan
taat, 5. lawan malas dengan rajin, 6. Lawan Egois dengan berbagi, 7. Lawan
cepat puas dengan cita-cita, 8. Lawan Putus asa dengan ikhtiar, 9. Lawan
tamak dengan sahaja, 10. Lawan pelit dengan pemurah, 11. Lawan kebiasaan
merusak dengan memelihara, 12. Lawan riya dengan terbang rendah.
Penjernihan suara hati ini dilaksanakan melalui kontemplasi atau
perenungan untuk mengungkap kembali hal-hal positip dan negatif dari dalam
diri serta dapat mengenali kesalahan dan keburukan diri. Proses ini diiringi
dengan bertobat (tobat nasuha) untuk membersihkan hati.

Perubahan mindset
Gambar 6. Tujuh langkah perubahan

martabat
( destiny ) keyakinan
BELIEF

7
1

Nilai-nilai pikiran
6 2

5 3
4
kebiasaan
perkataan

perbuatan
( Mah atm a g an d h i31)

Membangun komitmen spiritual


Komitmen diartikan sebagai perjanjian (keterikatan) untuk melakukan
sesuatu (Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, 2005). Untuk melakukan
perubahan dan perbaikan perlu adanya suatu komitmen pada diri sendiri. Setiap
diri memiliki potensi baik. Menurut Murdoko (2006) pada hakekatnya manusia itu
memiliki potensi baik seperti kejujuran, kesetiaan, dapat bertanggung jawab,
pantang menyerah dsb. Dimensi hakekat diri merupakan kebenaran-kebenaran
alamiah dan dasariah yang mutlak. Namun mengapa seseorang tidak dapat
memunculkan dalam perilaku yang riil, karena ’kekayaan’ itu tidak diasah dan
tidak ada kemauan dan upaya untuk kewujudkannya. Komitmen spiritual
merupakan pernyataan kemauan atau tekad yang kuat untuk mengangkat potensi
baik yang ada dalam setiap diri. Cobalah temukan potensi baik yang ada dalam diri
anda. Komitmen pada potensi baik untuk maju dapat memberikan motivasi untuk
bangkit mewujudkannya. Pernyataan komitmen ini diucapkan dengan lisan, diakui
oleh hati dan diikuti oleh perbuatan. Komitmen adalah suatu janji yang diucapkan
dan bila disaksikan (orang lain) akan lebih mantap karena sekaligus sebagai alat
kontrol atau cermin diri.

9
Sementara Harjani Hefni (2008) menawarkan konsep yang sangat spektakuler,
yaitu penerapan surat Al-Fatihah dalam kehidupan sehari-hari (menjadi daily habits),
yang intisarinya dirangkum dalam akronim B5KB: (1) Bismillah setiap memulai
pekerjaan; (2) Bersyukur atas segala nikmat; (3) Berpikir positif terhadap Allah SWT;
(4) Berorientasi akhirat; (5) Bahagiakan hidup dengan ibadah dan berdoa; (6)
Konsisten dalam komitmen; (7) Bercermin terhadap para Nabi dan syuhada’ dan
orang-orang yang dicintai Allah SWT.
1. Dengan membaca Basmillah setiap memulai pekerjaan maka kita berada di
gelombang 99 Asma’ul Husna frekuensi qolbu (99 FQ). Menurut Hefni
(2009: 3-9), berdasarkan sumber-sumber naqli, Al-Qur;an dan Hadits, hati
memiliki gelombang yang bervariasi dan mudah berubah, tetapi ia juga bisa
tetap di gelombang yang sama jika hati dipelihara. Memulai kerja dengan
Basmillah berarti menyetel hati supaya berada di gelombang yang kondufif
untuk bekerja sesuai suara hati. Keunggulan memulai kerja dengan
Basmillah (1) memulai kerja dengan langkah yang benar yang berarti akan
mengawali sukses berikutnya; (2) suara hati akan tertangkap secara jernih
sehingga mudah menghadirkan suara kebenaran; (3) jika kita berniat
menyimpang, maka hati akan mengirimkan sinyal melarang dari hati
nurani, timbul rasa tidak enak di hati, sehingga kita ragu-ragu untuk
melakukan penyimpangan; (4) frekuensi qolbu menyediakan sarana
canggih yang disimpan dalam hati dan bekerja secara otomatis, berfungsi
mentransformasi berita yang kita terima agar berproses menjadi iradah dan
niat untuk hanya melakukan yang baik-baik saja.
2. Bersyukur atas segala nikmat dengan mengucap Alhamdulillah merupakan
ekspresi kekaguman hati melalui lisan. Dengan mengucap Alhamdulillah
berarti kita menginternalisasi nikmat-nikmat Allah ke dalam jiwa. Jika
nikmat sudah terinternalisasi maka seluruh anggota badan akan
mengembangkan nikmat-nikmat itu. Menurut Ibnu al-Qoyyim al-
Jauziyyah, nikmat itu ada tiga: (1) nikmat Islam yang dengannya manusia
menjadi sempurna hidupnya; (2) nikmat kesehatan yang dengannya
manusia bisa sentosa; (3) nikmat kekayaan yang dengannya manusia bisa
lengkap hidupnya. Klasifikasi nikmat menurut al-Jauziyyah tersebut
sepertinya terlalu disederhanakan, sebab kalau diuraikan sangatlah luas.
Karena memang nikmat Allah itu tidak bisa dihitung banyaknya (Q.S.
Ibrahim:34). Menurut Hefni (2009: 69-70), mensyukuri nikmat bisa
dilakukan dengan empat cara: (1) bergembira menerima nikmat (berbentuk
ekspresi hati); (2) mengungkapkan rasa syukur dengan lisan (berbentuk
apresiasi); (3) membangun komitmen (berbentuk internalisasi, dari lisan ke
hati); dan (4) menggunakan dan mengembangkan nikmat sesuai dengan
keinginan si Pemberi nikmat, yaitu Allah SWT (dilakukan oleh seluruh
anggota tubuh).
3. Berpikir positif terhadap Allah SWT dan berkasih sayang terhadap sesama.
Sikap berpikir positif ini dicontohkan oleh Rasulullah dalam kondisi sesulit
apa pun. Di saat masyarakat Thaif menolak kehadiran beliau dan
dakwahnya sehingga mereka melempari beliau dengan batu, beliau masih
mengedepankan pikiran positif nya terhadap mereka, dengan harapan kelak
akan hadir dari rahim-rahim masyarakat di situ yang akan menjadi
pemimpin Islam di masa yang akan datang. Melakukan aktivitas dengan
10
pikiran positif membuat Rasulullah mampu bertahan dengan prinsipnya
dan selalu merasa berada di bawah lindungan-Nya. Dalam konteks dunia
kerja, berpikir positif terhadap Allah membuat seseorang semakin
bersemangat meningkatkan kualitas dirinya karena dia yakin Allah tidak
akan menzhalimi hamba-Nya.
4. Berorientasi akhirat. Prinsip ini membuat kita sekali mendayung dua-tiga
pulau terlampaui. Artinya, energi yang kita keluarkan untuk dunia
sekaligus bernilai akhirat. Tidak akan terjadi tumpang-tindih dan tabrakan
antara kepentingan dunia dan akhirat. Mempraktikkan prinsip ini akan
menjadikan kita orang yang kaya kredit point-nya di sisi Allah dan
menjadikan kita selalu diingatkan tentang akhirat saat kita berniat
melakukan penyimpangan.
5. Beribadah dan berdoa. Allah berjanji akan mengabulkan harapan kita kalau
kita mendahulukan ibadah, ketundukan dan loyalitas kepada-Nya.
Mempraktikkan prinsip ini akan membuat hidup kita semakin optimis,
karena Allah tidak akan pernah mengigkari janji-Nya.
6. Konsisten dalam komitmen. Sesuai dengan karakter hati manusia yang
gampang “naik-turun”, maka banyak orang yang tidak mampu bertahan
dalam prinsipnya. Menjaga konsistensi diri dalam komitmen kebaikan
adalah pekerjaan sulit yang akan membuahkan hasil spektakuler.
7. Bercermin. Orang yang tidak mau bercermin atau belajar dari sekitarnya
ibarat orag yang berjalan dengan menutup mata, dia asyik dengan dirinya
dan tidak pernah tahu dunia luar. Padahal lingkungan sekitarnya adalah
kitab berharga yang banyak mengandung pelajaran.
Demikianlah Harjani Hefni merangkum ketujuh perilaku unggulan tersebut ke
dalam akronim B5KB yang berbasis pada tujuh ayat dalam surat Al-Fatihah. Kalau
Stephen R. Covey menulis The Seven Habits berangkat dari kenyataan empiris lalu
merumuskannya ke dalam tujuh kebiasaan, dan buku itu kemudian menjadi rujukan
masyarakat dunia, maka Hefni berangkat dari keyakinan akan kebenaran prinsip-
prinsip Al-Qur’an lalu mencoba menginternalisasi prinsip-prinsip tersebut ke dalam
jiwa-jiwa manusia. Kalau Covey yakin dengan prinsipnya karena ia berbasis realitas
empiris yang ia teliti, maka Hefni lebih yakin lagi bahwa tujuh prinsip yang digali dari
surat Al-Fatihah akan melampaui pengaruh Seven Habits-nya Covey dalam memasuki
relung-relung jiwa manusia, karena sumbernya dari Allah Dzat yang paling
mengetahui seluk-beluk jiwa manusia. Kalau ilmu yang diambil dari realitas empirik
manusia memiliki keterbatasan karena bergantung dari kualitas manusia yang meneliti
dan yang diteliti, maka ilmu yang bersumber dari Allah tidak terpengaruh ruang dan
waktu, akan selalu up to date sepanjang masa.

Sejalan dengan dua pemikiran yang dikutip di atas, Abu Fida’ Rafi (2004),
menawarkan cara untuk meningkatkan kecerdasan spiritual melalui tazkiyatun nafsi
(penyucian jiwa). Langkah-langkah tazkiyatun nafsi tersebut meliputi:
1. Memulai kehidupan dengan niat yang ikhlas.
Hakekat niat: Niat adalah dorongan hati untuk berbuat sesuatu atau tidak
berbuat sesuatu. barang siapa yang hatinya dipenuhi dengan urusan agama, ia
mendapatkan kemudahan dalam menghadirkan niat untuk berbuat baik.

11
 keutamaan niat: umar bin khatab berkata: amal yang paling utama adalah
melaksanakan kewajiban dari allah, bersikap wara’ terhadap yg diharamkan-
nya dan mekluruskan niat untuk mendapatkan pahala di sisi-nya.
2. Menyikapi kehidupan dunia berdasarkan ajaran ilahi. karakteristik dunia:
• Dunia itu indah dan menipu manusia.
• Dunia itu rendah nilainya dibandingkan dengan akhirat; rendah nilainya di
hadapan Allah.
• Kehidupannya tidak kekal.
• Segalanya dilaknat oleh Allah kecuali yang dijadikan sarana untuk
mendekatkan diri kepada-Nya.
• Dunia tidak bisa memuaskan nafsu shahwat manusia.
• Zuhud: zahada fiihi, zahada anhu zuhdan wa zahadan, artinya berpaling
darinya dan meninggalkannya karena menganggap hina/ menjauhinya
karena dosa.
3. Mengendalikan nafsu syahwat terhadap harta
• Hawa Nafsu (Al-Hawa) adalah kecenderungan diri kpd berbagai selera
yang menyenangkan, tanpa dilandasi motivasi agama.
• Al-Hawa adalah lawan dari Al-Ilmu dan Al-Huda.
• Setiap orang yg tidak mengikuti ilmu dan hidayah, maka ia pengekor hawa
nafsu.
4. Menjaga al-khatarat dan al-khutuwat
• Al-Khatarat adalah pikiran yang terlintas di benak, merupakan dimulainya
aktivitas yang baik ataupun yang buruk. Dari sinilah lahirnya keinginan
untuk melakukan sesuatu, akhirnya menjadi tekad yang kuat.
• Al-Khutuwat adalah langkah nyata untuk melakukan suatu perbuatan yang
melanggar larangan.
5. Tawakkal
Tawakkal adalah kesungguhan hati bersandar kpd Allah dalam rangka mencari
kebaikan dan menolak kemudharatan pada dirinya baik dalam urusan dunia
maupun urusan akhirat. Tawakkal merupakan obat untuk menyembuhkan
ketakutan jiwa yg bergejolak dalam diri manusia sehingga dia tidak merasa
gundah dan hanya bersandar kepada Allah. Barang siapa yang ingin kuat
agamanya maka hendaknya ia bertawakkal kepada Allah.
6. Mensyukuri nikmat harta yang ada padanya
• Syaihk Abdul Qodir Jailani menjelaskan, hakekat syukur adalah mengakui
nikmat Allah dengan penuh ketundukan.
• Hati mengakui segala nikmat berasal dari Allah dan anggota badannya
tunduk (patuh pada syari’at-Nya) kepada pemberi nikmat itu.
• Allah tidak akan mengazab hamba-Nya yang bersyukur dan beriman (AN-
Nisa’: 147);
• Allah menambahkan karunia-Nya kpd hamba-Nya yang bersyukur dan
mengazab hamba-Nya yang kufur.
7. Sabar menghadapi ujian (fitnah) harta
Sabar berarti melarang dan menahan: Menahan nafsu dari ketergesa-gesaan;
Menahan lisan dari keluhan; Menahan anggota badan dari memukul-mukul
pipi dan merobek-robek pakaian. Dzun Nun Al-Mishry berkata: sabar adalah
menjauhi hal-hal yang bertentangan dg agama; bersikap tenang ketika
12
menghadapi ujian; menampakkan kecukupan di kala kefakiran; berlapang dada
ketika ditimpa musibah dan tidak berkeluh kesah. Al-Junaid berkata: sabar
adalah menelan kepahitan tanpa mengerutkan muka.
8. Ridha terhadap ketetapan (qadha) dari Allah.
a. Ridha dapat menenteramkan jiwa dan faktor penyebab kebahagiaan.
b. Ridha menimbulkan rasa syukur.
c. Ridha menyebabkan seseorang tidak akan mencari kekayaan yg tidak
halal.
d. Ridha menunmbuhkan sifat qona’ah, yaitu merasa cukup dengan
pemberian Allah.
9. Menumbuhkan khauf (rasa takut) kepada allah
Abul Qosim Al-Hakim berkata: Siapa yang takut kpd sesuatu ia akan lari
darinya, tetapi siapa yang takut kpd Allah ia justru lari untuk mendekatinya.
Rasa khauf akan membakar syahwat yang diharamkan.
10. Membentuk sifat jujur dalam diri
Secara bahasa, jujur berarti menetapkan hukum sesuai dengan realitas.
Menurut Syaikh Abdul Qodir Jailani, mengatakan sebenarnya dalam kondisi
apapun, dalam kondisi yang tidak menyelamatkanmu kecuali dengan
berbohong. Macam-macam kejujuran: jujur dalam berbicara; jujur dalam
pergaulan sehari-hari; jujur dalam menepati janji; jujr dalam penampilan.
11. Menumbuhkan sifat malu
Malu merupakan akhlak dan jiwa yang luhur dan indah. Malu adalah pakaian
kesempurnaan dan hiasan kecantikan yang hanya dipakai oleh hamba-hamba
Allah yang dikehendaki-Nya. Malu merupakan landasan akhlak mulia dan
selalu bermuara pada kebaikan. Malu menumbuhkan sifat Iffah (menjaga diri
dari perbuatan tercela).
12. Muhasabah (introspeksi diri).
Umar bin Khattab berkata:
Hisablah dirimu sebelum kalian diisab; timbanglah dirimu sebelum kalian
ditimbang; sesungguhnya berintrospeksi pada hari ini lebih bagi kalian
daripada hisab di kemudiann hari, begitu juga pada hari ‘aradh (penampakan
amal). (Riwayat Imam Ahmad).
Manfaat muhasabah: mengetahui kekurangan diri; Mengetahui hak-hak Allah
terhadapnya (hak untuk ditaati dan tidak dimaksiati; diingat dan tidak
dilupakan; disyukuri nikmat-Nya dan tidak dikufuri.
13. Muraqqabatullah
Muraqqabah adalah merasakan keagungan Allah setiap waktu dan keadaan
serta merasakan kebersamaan-Nya di kala sepi maupun ramai, dikala sendiri
maupun berjama’ah. Muraqqabah mendorong lahirnya ihsan.
“Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau
melihat-Nya, jika engkau t idak melihatnya maka Dia melihat engkau”.
14. Menumbuhkan kecintaan (al-mahabbah) kepada allah.
Mencintai Allah merupakan tujuan akhir dan derajat tertinggi bagi orang-orang
yang ingin mensucikan jiwanya. Segala sesuatu yang dicintai selain Allah,
hendaknya dicintai dalam rangka cinta kepada-Nya.
15. Taubat
Taubat adalah kembali kepada Allah dengan menyesali segala dosa dan
melaksanakan setiap hak Allah. Para Sufi membagi taubat menjadi 2: Taubat
13
umum, yaitu tabat dari segala dosa; Taubat khusus, yaitu taubat dari kelalaian
(ghaflah). Ibnu Abbas berkata: taubat nasuha adalah penyesalan dalam hati,
permohonan ampun dengan lisan, meninggalkan dengan anggota badan dan
berniat tidak akan mengulanginya lagi.
Jika beberapa langkah internalisai kecerdasan spiritual yang ditawarkan di atas
dijalankan dengan baik, maka penulis berpendapat bahwa proses transformasi
piritual akan berlangsung secara dahsyat dan menjadikan pribadi yang bersangktan
tangguh di dalam menghadapi segala tantangan hidup. Dengan demikian pribadi
aparatur akan selalu konsisten, profesional dan bertanggng jawab di dalam
mengemban tugas.

KESIMPULAN
Dari beberapa kutipan hasil riset dan kajian di atas penulis menyimpulkan
bahwa kecerdasan spiritual itu muncul melalui pembiasaan (habits) atau amalan baik
secara kontinu bukan merupakan kekuatan yang tiba-tiba datang saat dibutuhkan.
Untuk menumbuhkan kecerdasan spiritual perlu pelatihan. Berbagai paket pelatihan
yang ditawarkan oleh lembaga maupun konsultan, seperti ESQ Training-nya Ary
Ginanjar Agustian, dan lain-lain termasuk program pelatihan “Spiritual Leadership”
yang diselenggarakan oleh Lembaga-lembaga Diklat Pemerintah, dapat dijadikan
sarana untuk melatih dan menumbuhkan potensi kecerdasan spiritual.
Pada akhirnya kecerdasan spiritual yang telah mengkristal dan terinternalisasi
dalam diri seseorang akan selalu mengilhami yang bersangkutan untuk bertindak
berdasarkan kesadaran spiritualnya. Kesadaran spritual akan selalu membimbingnya
kepada jalan yang benar, kepada pilihan yang lebih tepat, dan kepada keputusan yang
lebih bijaksana. Di mana pun dan sebagai apa pun seseorang bereksistensi, jika
kecerdasan spiritualnya dominan, maka mereka akan cenderung membawa kebaikan.
Dalam konteksnya dengan budaya kerja birokrasi, maka budaya kerja yang diwarnai
kecerdasan spritual aparaturnya, akan cenderung kepada budaya kerja yang baik.
Sebab kecerdasan spiritual itu mengusung nilai-nilai ilahiah ke tempat kerja,
menginternalisasikan nilai-nilai tersebut serta mengamalkannya dalam perilaku sehari-
hari di tempat kerja.

DAFTAR PUSTAKA

Amin, Ahmad. Etika (Ilmu akhlak). Jakarta: Bulan Bintang, Cet. Ke-7, 1993.
Agustian, Ary Ginanjar, ESQ Power: Sebuah Inner Journey Melalui Al-Ikhsan.
Jakarta: Arga, Cet. Ke-9, 2006.
Bertens, K. Etika, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1994.
Emmy, Sovia, Hj. “Makna Kecerdasan Emosional Dan Spiritual Dalam
Pemberdayaan SDM Organisasi”, http://pusdiklat.depnakertrans.go.id (diakses
tgl 3 Nop. 2012).
Harjani Hefni, 2008. The 7 Islamic Daily Habits: Hidup Islami dan Modern berbasis
Al-Fatihah, Jakarta: Pustaka IKADI, 2008.
Miskawaih, Ibnu, Tahzib al-akhlaq wa tathhir al-araq. Mesir: al-Mathba’ah al-
Misriyah, 1934.

14
Muthtahhari, Murtadha, Falsafah akhlak : kritik atas moralitas Barat; Penerjemah,
Faruq bi Dhiya’. Bandung : Pustaka Hidayah, 1995.
Magnis-Suseno, Frans, et.al. Etika sosial: Buku panduan mahasiswa. Jakarta:
Kerjasama APTIK dan Gramedia Pustaka Utama, Cet. Ke-3, 1996.
Rafi’, Abu Fida’, Terapi penyakit korupsi dengan tazkiyatun nafs (penyucian jiwa).
Jakarta: Republika, 2004.
Said, M., Etika masyarakat Indonesia, Jakarta: Pradnya Paramita, 1976.
Tobroni,. The Spiritual Leadership. Malang: UMM Press, 2005.
Ya’qub, Hamzah, Etika Islam. Bandung CV. Diponegoro, 1983.
Zohar, Danah. dan Marshall, Ian. SQ: Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual Dalam
Berfikir Integralistik Dan Holistik Untuk Memaknai Kehidupan. Bandung:
Mizan, 2001.[]

15

Anda mungkin juga menyukai