INTERNASIONAL
NASIONAL
1. Tanggung Jawab Negara
Dalam kasus lumpur lapindo menyatakan bahwa menurut putusan Mahkamah Konstitusi
(MK), negara harus bertanggung jawab melunasi ganti rugi korban lumpur di dalam peta area
terdampak (PAT) senilai Rp781,6 milyar yang belur dibayar lunas oleh Lapindo. persoalan
ganti rugi ini adalah persoalan sosial kemanusiaan yang seharusnya secepatnya ditangani
oleh pemerintah mengingat sudah hampir sembilan tahun ini nasib korban lumpur lapindo
terkatung-katung.
7. Kewajiban Bersama
Kewajiban bersama dalam menanggulangi kasus lumpur lapindo ini, Sementara itu, untuk
menghentikan semburan lumpur panas di lokasi pengeboran, pihak Lapindo Brantas hingga
kini masih melakukan pengurukan. Sedangkan PT Jasa Marga sebagai salah satu pihak yang
dirugikan sedang menghitung kerugian atas rusaknya jalan Tol Surabaya-Gempol.
Sudah 13 tahun berlalu sejak pertama kali Lumpur Lapindo dari tanah wilayah Timur Jawa
menyembur. Tepatnya pada 29 Mei 2006. Semburan itu berasal dari Sumur Banjarpanji 1,
Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, bagian dari kegiatan pengeboran eksplorasi gas Blok Brantas.
Hingga saat ini, penyebab semburan masih menjadi pro dan kontra. Ada yang menyebut
karena kesalahan pengeboran, ada pula yang menuding karena faktor kondisi alam.
Kala itu, Blok Brantas dioperatori oleh Lapindo Brantas Inc yang 100 persen kepemilikannya
dikempit oleh PT Energi Mega Persada Tbk, perusahaan yang terafiliasi dengan Group
Bakrie.
Pada saat semburan lumpur terjadi, porsi kepemilikan Lapindo Brantas Inc adalah 50 persen,
Medco EP Brantas 32 persen, dan Santos Brantas 18 persen. Namun pada 2009, seluruh
kepemilikan Blok Brantas dikuasai oleh Lapindo.
Semburan lumpur panas disertai gas terus membesar dan meluas selama beberapa bulan
hingga menenggelamkan area pemukiman, pertanian, dan industri di tiga kecamatan yaitu
Kecamatan Porong, Kecamatan Tanggulangin, dan Kecamatan Jabon. Sebanyak empat desa
di lahan seluas 400 hektare (ha) terdampak langsung dari semburan lumpur panas itu.
Rinciannya, tiga desa di Kecamatan Tanggulangin yaitu Desa Siring, Desa Renokenongi,
Desa Kedung Bendo, dan satu desa di Kecamatan Porong yaitu Desa Jatirejo. Belum lagi,
belasan desa lain yang juga ikut tergenang di lahan seluas 300 ha.
Total korban disinyalir mencapai 45 ribu jiwa yang harus kehilangan pemukiman dan
akhirnya memilih mengungsi ke wilayah lain. Belum lagi aktivitas masyarakat lain terganggu
karena ditutupnya ruas jalan tol Surabaya-Gempol dan kerusakan lingkungan.
Pada 18 April 2007, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono menerbitkan Peraturan Presiden
Nomor 14 Tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), setelah
membentuk Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur Sidoarjo.
Badan ini bertugas untuk menangani upaya penanggulangan semburan dan luapan lumpur
serta masalah sosial dan infrastruktur akibat bencana yang dipicu perbuatan manusia itu.
Lapindo juga mendatangkan snubbing unit untuk menghentikan semburan.
Pada 2008, lumpur masih menyembur hingga 100 ribu meter kubik per hari. Bahkan, pada
2010, empat tahun berselang sejak kejadian pertama semburan meluas sampai ke Jalan Raya
Porong.
Atas tragedi itu, Lapindo dan Pemerintah harus mengucurkan anggaran untuk mengganti
rugi. Berdasarkan data Pusat Pengendalian Lapindo Sidoarjo (PPLS), nilai ganti rugi atas
tanah basah sebesar Rp120 ribu per meter persegi. Sedangkan nilai ganti rugi atas tanah
keringmencapaiRp1jutapermeterpersegi.
Alhasil pada Juli 2015, pemerintah menggelontorkan pinjaman melalui Perjanjian Pemberian
Pinjaman Dana Antisipasi untuk Melunasi Pembelian Tanah dan Bangunan Warga Korban
Luapan Lumpur Sidoarjo dalam Peta Area Terdampak pada 22 Maret 2007 sebesar Rp773,38
miliar.
Dalam perjanjian tersebut, Grup Bakrie wajib mengembalikan dana talangan selambat-
lambatnya 4 tahun atau Juli 2019, dengan bunga sebesar 4,8 persen per tahun dari jumlah
pinjaman. Jika gagal melunasi pinjaman, negara berhak mengambil alih jaminan berupa aset
berupa tanah dan bangunan senilai Rp2,8 triliun.
Piutang itu senilai US$138,24 juta atau setara dengan Rp1,9 triliun yang berasal dari dana
talangan kepada pemerintah atas penanggulangan luapan lumpur Lapindo di Sidoarjo yang
dilakukan kedua perusahaan selama 29 Mei 2006 hingga 31 Juli 2007.
DAFTAR PUSTAKA
Arief Hidayat dan FX. Adji Samekto, 2008, Kajian Kritis Hukum Lingkungan di Era
Otonomi Daerah, Semarang, Badan Penerbitan Universitas Diponegoro.
FX. Adji Samekto, 2008, Kapitalisme, Modernisme dan Kerusakan Lingkungan, Genta Press,
Yogyakarta,
Otto Soemarwoto, 2001, Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Djambatan, Jakarta.