Anda di halaman 1dari 7

Analisis Kasus Lumpur Lapindo dengan Asas-Asas dalam Pembangunan Berkelanjutan

INTERNASIONAL

1. Prinsip Keadilan Antar-Generasi


Setiap generasi mempunyai hak untuk hidup secara baik dan layak dalam situasi yang
kondusif tidak ada gangguan secara jasmani dan rohani. Setiap genarasi tidak boleh dibebani
oleh masalah yang dihasilkan oleh generasi sebelumnya. Dalam kasus lumpur lapindo,
masyarakat yang tinggal di daerah Sumur Banjarpanji 1, Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, tidak
dapat hidup secara baik dan layak akibat kegiatan pengeboran eksplorasi gas Blok Brantas.
Yang berakibat pada menurunnya tingkat kesejahteraan petani tambak bandeng,
berkurangnya lapangan pekerjaan, terjadinya mobilitas penduduk, menimbulkan konflik pada
hubungan petani dan keluarganya.

2. Prinsip Keadilan dalam satu generasi


Prinsip keadilan dalam Satu Generasi adalah prinsip tentang keadilan di dalam sebuah
generasi umat manusia, dimana beban dari permasalahan lingkungan harus dipikul bersama
oleh masyarakat dalam satu generasi. Dalam kasus lumpur lampindo. negara dalam hal ini
harus melestarikan dan menggunakan lingkungan serta sumber daya alam bagi kemanfaatan
generasi sekarang dan mendatang.

3. Prinsip Pencegahan Dini


Bahwa apabila ada masalah yang berhubungan dengan lingkungan kemudian tidak solusi
yang dapat ditemukan maka tidak ada alasan untuk menundanunda pencegahannya. Seperti
dalam kasus lumpur lapindo walaupun sampai sekarang belum ada solusi dalam
mengatasinya, tetapi upaya-upaya untuk menanganinya terus dilakukan, sampai memperoleh
solusi dalam menanganinya.

4. Prinsip Perlindungan Keragaman Hayati


Prinsip ini adalah perlindungan terkait dengan pencehagan, sebab mencegah kepunahan jenis
dari keragaman hayati diperlukan demi pencegahan dini. Prinsip ini adalah penegahan
terhadap keragaman hayati baik flora maupun fauna. Cara ini dilakukan dengan
pembudidayaan atau penangkaran terhadap keragaman hayati yang hampir punah.

5. Prinsip Internalisasi Biaya Lingkungan


Kerusakan lingkungan sebagai akibat pembangunan yang diderita oleh pihak yang tidak
terlibat dalam kegiatan ekonomi. Kerusakan lingkungan yang merupakan externalcost harus
ditanggung oleh pelaku ekonomi. Hal ini dpat dijelaskan bahwa segala kerusakan yang
ditimbulkan oleh keguiatan usaha dibidang ekonomi biaya perawatan atau pemulihannya
ditanggung oleh pelaku ekonomi. Karena kerusakan lingkungan yang merasakan orang lain.

NASIONAL
1. Tanggung Jawab Negara
Dalam kasus lumpur lapindo menyatakan bahwa menurut putusan Mahkamah Konstitusi
(MK), negara harus bertanggung jawab melunasi ganti rugi korban lumpur di dalam peta area
terdampak (PAT) senilai Rp781,6 milyar yang belur dibayar lunas oleh Lapindo. persoalan
ganti rugi ini adalah persoalan sosial kemanusiaan yang seharusnya secepatnya ditangani
oleh pemerintah mengingat sudah hampir sembilan tahun ini nasib korban lumpur lapindo
terkatung-katung.

2. Hak Dasar atas LH (Right To Environment)


Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan salah satu bentuk hak asasi
sebagaimana diatur dalam UUD 1945. Dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 juga
diatur bahwa setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Sedangkan
dalam kasus lumpur lapindo masyarakat tersebut tidak mendapatkan hak ats lingkungan
hidup yang baik dan sehat.

3. Hak Berperan Serta (Popular Participition)


Setiap orang berhak untuk berperan dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

4. Aksesibilitas Pada Informasi


Keterbukaan informasi merupakan salah satu sarana dalam mengoptimalkan pengawasan 
publik terhadap penyelenggaraan negara. Hak memperoleh informasi adalah hak asasi
manusia, yang dijamin oleh UUD 1945. Keterbukaan informasi akan melahirkan negara yang
demokratis, dimana peran serta masyarakat dalam pembangunan diakomodir melalui
keterbukaan informasi, baik yang dikelola oleh pemerintah maupun oleh badan publik
lainnya.

5. Tanggung Jawab Mutlak


Ada beberapa warga yang memang belum menerima skema bantuan karena mereka
mengatakan asetnya adalah rumah (tanahkering), sementara data (termasuk data satelit
Lapindo) menunjukkan asset mereka sawah, yang kompensasinya berbeda dengan rumah.
Sementara jika datanya memang bangunan, Lapindo memberikan bantuan yang sesuai.
Bahkan banyak tanah dan bangunan yang tanpa surat juga dibayar. Warga yang tidak
bersurat tadi cukup diambil sumpah difasilitasi Bupati Sidoarjo dan Emah Ainun Najib (Cak
Nun). Sampai saat ini sudah sekitar Rp9 Triliun telah dikeluarkan untuk membantu korban.
Memang masih ada sekitar 500 miliar Rupiah sisa pembayaran yang belum diselesaikan.
Semoga dalam waktu dekat akan diselesaikan.

6. Keadilan Inter Dan Antar Generasi


Setiap generasi mempunyai hak untuk hidup secara baik dan layak dalam situasi yang
kondusif tidak ada gangguan secara jasmani dan rohani. Setiap genarasi tidak boleh dibebani
oleh masalah yang dihasilkan oleh generasi sebelumnya. Dalam kasus lumpur lapindo,
masyarakat yang tinggal di daerah Sumur Banjarpanji 1, Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, tidak
dapat hidup secara baik dan layak akibat kegiatan pengeboran eksplorasi gas Blok Brantas.
Yang berakibat pada menurunnya tingkat kesejahteraan petani tambak bandeng,
berkurangnya lapangan pekerjaan, terjadinya mobilitas penduduk, menimbulkan konflik pada
hubungan petani dan keluarganya.

7. Kewajiban Bersama
Kewajiban bersama dalam menanggulangi kasus lumpur lapindo ini, Sementara itu, untuk
menghentikan semburan lumpur panas di lokasi pengeboran, pihak Lapindo Brantas hingga
kini masih melakukan pengurukan. Sedangkan PT Jasa Marga sebagai salah satu pihak yang
dirugikan sedang menghitung kerugian atas rusaknya jalan Tol Surabaya-Gempol.

8. Aksesibilitas Pada Teknologi Lingkungan


Aksesibilitas (atau keteraksesan, ketercapaian) adalah derajat kemudahan dicapai oleh orang,
terhadap suatu objek, pelayanan ataupun lingkungan. Dalam pengertian yang lain
bahwa aksesibilitas merupakan ukuran kemudahan lokasi untuk dijangkau dari lokasi lainnya
melalui sistem transportasi.
KASUS LUMPUR LAPINDO

Sudah 13 tahun berlalu sejak pertama kali Lumpur Lapindo dari tanah wilayah Timur Jawa
menyembur. Tepatnya pada 29 Mei 2006. Semburan itu berasal dari Sumur Banjarpanji 1,
Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, bagian dari kegiatan pengeboran eksplorasi gas Blok Brantas.
Hingga saat ini, penyebab semburan masih menjadi pro dan kontra. Ada yang menyebut
karena kesalahan pengeboran, ada pula yang menuding karena faktor kondisi alam.

Kala itu, Blok Brantas dioperatori oleh Lapindo Brantas Inc yang 100 persen kepemilikannya
dikempit oleh PT Energi Mega Persada Tbk, perusahaan yang terafiliasi dengan Group
Bakrie.

Pada saat semburan lumpur terjadi, porsi kepemilikan Lapindo Brantas Inc adalah 50 persen,
Medco EP Brantas 32 persen, dan Santos Brantas 18 persen. Namun pada 2009, seluruh
kepemilikan Blok Brantas dikuasai oleh Lapindo.
Semburan lumpur panas disertai gas terus membesar dan meluas selama beberapa bulan
hingga menenggelamkan area pemukiman, pertanian, dan industri di tiga kecamatan yaitu
Kecamatan Porong, Kecamatan Tanggulangin, dan Kecamatan Jabon. Sebanyak empat desa
di lahan seluas 400 hektare (ha) terdampak langsung dari semburan lumpur panas itu.

Rinciannya, tiga desa di Kecamatan Tanggulangin yaitu Desa Siring, Desa Renokenongi,
Desa Kedung Bendo, dan satu desa di Kecamatan Porong yaitu Desa Jatirejo. Belum lagi,
belasan desa lain yang juga ikut tergenang di lahan seluas 300 ha.

Total korban disinyalir mencapai 45 ribu jiwa yang harus kehilangan pemukiman dan
akhirnya memilih mengungsi ke wilayah lain. Belum lagi aktivitas masyarakat lain terganggu
karena ditutupnya ruas jalan tol Surabaya-Gempol dan kerusakan lingkungan.

Pada 18 April 2007, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono menerbitkan Peraturan Presiden
Nomor 14 Tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), setelah
membentuk Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur Sidoarjo.
Badan ini bertugas untuk menangani upaya penanggulangan semburan dan luapan lumpur
serta masalah sosial dan infrastruktur akibat bencana yang dipicu perbuatan manusia itu.
Lapindo juga mendatangkan snubbing unit untuk menghentikan semburan.

Pada 2008, lumpur masih menyembur hingga 100 ribu meter kubik per hari. Bahkan, pada
2010, empat tahun berselang sejak kejadian pertama semburan meluas sampai ke Jalan Raya
Porong.

Atas tragedi itu, Lapindo dan Pemerintah harus mengucurkan anggaran untuk mengganti
rugi. Berdasarkan data Pusat Pengendalian Lapindo Sidoarjo (PPLS), nilai ganti rugi atas
tanah basah sebesar Rp120 ribu per meter persegi. Sedangkan nilai ganti rugi atas tanah
keringmencapaiRp1jutapermeterpersegi.

Lapindo kemudian menunjuk PT Minarak Lapindo Jaya (Minarak) untuk mengurusi


persoalan ganti rugi. Secara keseluruhan, total kerugian akibat bencana genangan lumpur
Lapindo mencapai Rp3,8 triliun. Namun, Minarak hanya mampu membayar ganti rugi
langsung sekitar Rp3,03 triliun.

Alhasil pada Juli 2015, pemerintah menggelontorkan pinjaman melalui Perjanjian Pemberian
Pinjaman Dana Antisipasi untuk Melunasi Pembelian Tanah dan Bangunan Warga Korban
Luapan Lumpur Sidoarjo dalam Peta Area Terdampak pada 22 Maret 2007 sebesar Rp773,38
miliar.

Dalam perjanjian tersebut, Grup Bakrie wajib mengembalikan dana talangan selambat-
lambatnya 4 tahun atau Juli 2019, dengan bunga sebesar 4,8 persen per tahun dari jumlah
pinjaman. Jika gagal melunasi pinjaman, negara berhak mengambil alih jaminan berupa aset
berupa tanah dan bangunan senilai Rp2,8 triliun.

Piutang itu senilai US$138,24 juta atau setara dengan Rp1,9 triliun yang berasal dari dana
talangan kepada pemerintah atas penanggulangan luapan lumpur Lapindo di Sidoarjo yang
dilakukan kedua perusahaan selama 29 Mei 2006 hingga 31 Juli 2007.
DAFTAR PUSTAKA

Arief Hidayat dan FX. Adji Samekto, 2008, Kajian Kritis Hukum Lingkungan di Era
Otonomi Daerah, Semarang, Badan Penerbitan Universitas Diponegoro.

FX. Adji Samekto, 2008, Kapitalisme, Modernisme dan Kerusakan Lingkungan, Genta Press,
Yogyakarta,

Otto Soemarwoto, 2001, Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Djambatan, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai