Anda di halaman 1dari 4

Irjen Djoko Susilo sebagai Kaporlantas Polri ditetapkan sebagai tersangka korupsi pengadaan

simulator SIM untuk motor dan mobil tahun 2011. Kasus simulator SIM berawal dari
pemberitaan di Koran Tempo tanggal 29 April 2012 yang berjudul “SIMSALABIM
SIMULATOR SIM”. Koran ini berisi penuturan cerita dari Sukotjo S. Bambang selaku Direktur
Utama PT Inovasi Teknologi Indonesia (ITI). Pada awal tahun 2011, Budi Susanto (Direktur
Utama PT Citra Mandiri Metalindo Abadi) yang memenangi tender pengadaan simulator kemudi
sepeda motor dan mobil senilai Rp 196,87 miliar dari Korps Lalu Lintas Kepolisian Negara
Republik Indonesia, meminta bantuan pengerjaan proyek ini pada PT Inovasi Teknologi
Indonesia. Budi Santosa berhasil memperoleh tender pengadaan 700 simulator sepeda motor
senilai Rp 54,453 miliar dan 556 simulator mobil senilai Rp 142,415 miliar, padahal PT Citra
Mandiri Metalindo Abadi (CMMA) tidak pernah punya pengalaman menggarap simulator.
Tender ini diikuti oleh empat peserta lelang (PT Bentina Agung, PT Digo Mitra Slogan, PT
Dasma Pertiwi, dan PT Kolam Intan) dan sengaja menetapkan PT CMMA sebagai pemenang
Tender. Empat perusahaan tersebut hanya digunakan sebagai pendamping agar seolah-olah
tender tersebut dilakukan sesuai dengan prosedur. Sehingga sepakati harga simolator sepeda
motor adalah Rp. 77,79 juta/unit dan simulator mobil Rp. 256,142 juta/unit. Harga tersebut
tergolong sangat mahal karena dalam dokumen perjanjian pembelian barang dari PT CMMA
dengan PT ITI, harga per unit simulator sepeda motor hanya Rp. 42,8 juta/unit dan simulator
mobil 80 juta/unit.
Hubungan dagang Budi dan Sukotjo berakhir pada Juni 2011. Budi mengatakan Sukotjo gagal
memenuhi tenggat pengerjaan proyek. Padahal biaya pengerjaan driving simulator sepeda motor
dan mobil senilai Rp 98 miliar sudah diterima bekas koleganya itu.Dari komitmen pesanan 700
simulator sepeda motor, menurut Budi, Sukotjo baru menyerahkan 107 unit. Pesanan simulator
mobil belum selesai satu pun. Budi kemudian mengatakan telah menyelesaikan proyek dengan
mengambil produk dari perusahaan lain. Ia mengatakan terpaksa membayar denda Rp 2,7 miliar
karena terlambat dan Budi  sama sekali tidak memakai barang buatan Sukotjo.
Sukotjo dilaporkan ke Polres Bandung dengan tuduhan penipuan dan penggelapan, sehingga di
tahan di penjara Kebon Waru, Bandung. Sukojo diwawancarai oleh majalah tempo, sehingga
kasus korupsi simulator SIM terungkap ke publik. Kabareskrim kemudian memerintahkan
penyelidikan terhadap informasi yang dimuat dalam berita Majalah Tempo tersebut.
Penyelidikan Polri sesuai dengan Sprinlid/55/V/2012/Tipidkor tanggal 21 Mei 2012 telah
melakukan interogasi dan pengambilan keterangan terhadap 33 orang yang dinilai mengetahui
tentang pengadaan simulator peraga SIM kendaraan roda 2 maupun roda 4 tersebut. Dalam
interogasi dengan Sukotjo, Penyelidik memperoleh informasi bahwa ada sejumlah data dan
informasi yang telah diberikan ke KPK.Bareskrim menyurat kepada KPK dengan Nomor Surat :
B/3115/VII/2012/Tipidkor tanggal 17 Juli 2012 perihal Dukungan Penyelidikan, yang isinya
untuk meminta data dan informasi yang dimiliki KPK tentang hasil pengumpulan bahan
keterangan dalam perkara Simulator R2 dan R4 dimaksud.
KPK bekerja sama dengan BPK untuk menentukan besaran nilai kerugian Negara yang
ditimbulkan dari kasus ini. Berdasarkan hasil audit investigasi BPK terhadap kasus simulator
SIM ditemukan kerugian negara sebesar Rp 121 miliar.  PT CMMA memenangi proyek
simulator kemudi sepeda motor dan mobil itu senilai Rp 196,87 miliar. Masing-masing untuk
motor sebanyak 700 unit senilai Rp 54,453 miliar dan mobil 556 unit senilai Rp 142,415 miliar.
Sedangkan, PT CMMA membeli alat-alat itu ke PT ITI dengan harga total Rp 75 miliar. Dari
total nilai kontrak Rp 196 miliar terjadi mark up atau penggelembungan anggaran lebih dari Rp
100 miliar. Selain itu kerugian juga bersumber dari ketidak sesuaian spesifikasi barang dengan
perjanjian yang tertera dalam kontrak senilai Rp 21 miliar. Berdasar cek fisik simulator R 2 dan
R 4 di 272 titik yang tersebar di 33 provinsi ditemukan spesifikasi yang tidak sesuai dengan
kontrak, bahkan ada banyak alat yang tidak berfungsi. Dalam pengadaan driving simulator SIM
R2 dan R4 tahun anggaran 2011 di Korlantas Polri, Inspektur Jenderal Polisi Djoko Susilo
berperan sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA). Djoko bersama beberapa orang lainnya
telah melakukan tindak pidana korupsi untuk memperkaya diri sendiri dan orang lain. Djoko
diduga telah memperkaya dirinya sebesar Rp 32 miliar. Sejumlah pihak mendapatkan aliran dana
dari korupsi pengadaan simulator SIM di antaranya mantan wakakorlantas yang juga Pejabat
Pembuat Komitmen (PPK), Didik Purnomo, mendapat Rp 50 juta. Kemudian tim Inspektorat
Pengawasan Umum (Irwasum) Polri, Wahyu Indra P mendapat Rp 500 juta dan Gusti Ketut
Gunawa senilai Rp 50 juta. Primer Koperasi Polisi (Primkoppol) Ditlantas Polri juga disebut
mendapat aliran dana senilai Rp 15 miliar. Sementara Budi Susanto mendapat keuntungan dari
pengadaan senilai Rp 93,3 miliar dan Sukotjo senilai Rp 3,9 miliar.
Selain tersandung kasus korupsi, jaksa juga menyebut Djoko telah melakukan tindak pidana
pencucian uang. Terhitung sejak 2010-Maret 2012, Djoko mempunyai penghasilan total 235 juta
sebagai pejabat kepolisian. Selama periode itu, ia menjabat sebagai Dirlantas Babinkam Polri,
Kakorlantas, dan Gubernur AKPOL LEMDIKPOL. Berdasarkan Laporan Harta Kekayaan
Penyelenggara Negara (LHKPN), Djoko juga mempunyai penghasilan lain dengan total Rp 1,2
miliar. Namun selama periode itu, Djoko membeli aset seperti tanah, bangunan, SPBU, dan
kendaraan dengan total Rp 63,7 miliar.
Begitu pun pada periode 2003-Oktober 2010. Pada periode itu, Djoko sempat menjabat sebagai
Kapolres Bekasi, Kapolres Metro Jakarta Utara, Dirlantas Polda Metro Jaya, Wadirlantas
Babinkam Polri, Dirlantas Babinkam Polri, dan Kakorlantas. Sebagai pejabat polri ia mendapat
penghasilan total 407 juta dan penghasilan lainnya senilai Rp 1,2 miliar yang tidak sah.
Berdasarkan fakta persidangan, jaksa mengatakan selama 2003-2009, Djoko menerima uang dari
PT Pura Kudus dengan total senilai Rp 7 miliar terkait dengan pengadaan BPKB. Namun,
sepanjang periode 2003-Oktober 2010, Djoko mempunyai total aset yang dibeli senilai Rp 54,6
miliar dan 60 ribu US Dolar.
Jaksa melihat profil penghasilan Djoko tidak sesuai dengan harta kekayaannya. Jaksa KPK
menuding mantan Kepala Korps Lalu Lintas Markas Besar Kepolisian Inspektur Jenderal Djoko
Susilo melakukan pencucian uang. Djoko diduga berupaya menyembunyikan harta dari hasil
korupsinya dengan menggunakan sejumlah nama saat membeli aset. Aliran dana korupsi itu
ditemukan merujuk kepada beberapa nama kerabat Djoko Susilo yaitu:
1.      Dipta Anindita, istri ketiga Djoko.
Namanya dicatut saat Djoko membeli tanah seluas 750 meter persegi di perumahan Golf
Residance Semarang pada 13 maret 2013. Selain itu, namanya digunakan saat membeli tanah
1.180 meter persegi di Jalan Jenderal Urip Sumoharjo 126, Jebres, Kota Surakarta, Jawa Tengah.
2.      Mahdiana, istri kedua Djoko.
Namanya digunakan saat Djoko membeli sebidang tanah seluas 50 meter persegi di Jalan
Setapak RT 012 RW 002 Jagakarsa, Jakarta Selatan, pada 17 Februari 2011. Tanah itu dibeli
dengan harga Rp 46,5 juta. Namanya juga dicatut saat suaminya membeli tanah seluas 3.201
meter persegi di jalan Paso RT 005 RW 004, Jagakarsa,, Pasar Minggu, Jakarta Selatan , pada 21
Maret 2012.
3.      Joko Waskito, ayah kandung dari Dipta Anindita
Djoko disebut menggunakan namanya saat membeli sebidang tanah seluas 2.640 meter persegi,
berikut dengan fasilitas dan turutannya pada 27 Oktober 2010. Di atas tanah yang terletak di
Jalan Kapuk Raya Nomor 36, Kapuk Muara, Penjaringan, Jakarta Utara ini berdiri SPBU. Djoko
membelinya dengan harga Rp5,34 miliar, lebih rendah dari harga sebenarnya sebesar Rp 11,5
miliar. Untuk menyamarkannya, Djoko melakukan pembayaran melalui Erick Maliangkay. Hak
pengelolaan SPBU yang semula dimiliki Nurul Aini Soekirno -pemilik sebelumnya- dialihkan
atas nama Djoko Waskito.
4.      Mujiharjo, orang kepercayaan Djoko Susilo.
Djoko menggunakan namanya saat membeli 3 bidang tanah berikut rumah di Jalan Pateh Lor
Nomor 36 Rt 32 RW 08, Kelurahan Patehan, Kecamatan Keraton Kota Yogyakarta, Daerah
Istimewa Yogyakarta, pada 25 Mei 201i. Luas ketiga tanah itu: 518 meter persegi yang dibeli
dengan harga Rp 500 juta, 510 meter persegi dengan harga Rp 500 juta, dan 518 meter persegi
dengan harga Rp 500 juta.
Selain itu, Djoko juga menggunakan namanya saat membeli tanah seluas 511 meter persegi
beserta bangunan di atasnya pada 8 Februari 2012. Tanah yang beralamat di KP. Taman
Blok/kav. 365 RT 031 RW 08, Kelurahan Patehan, Kecamatan Keraton Kota Yogyakarta, DIY,
dengan harga Rp385,5 juta, namun harga yang dicantumkan di akte Rp 300 juta.
5.      Erick Maliangkay
Nama Erick dipakai Djoko waktu membeli tanah 246 meter persegi berikut rumah di atasnya, di
Jalan Cikajang 18 RT 006/06 Blok Q-2 Persil Nomor 160 Kelurahan Petogogan, Kebayoran
Baru, Jakarta Selatan. Tanah ini dibeli pada 6 Oktober 2011 dengan harga Rp 6,35 miliar.
6.      Sudiyono, supir pribadi Djoko Susilo.
Djoko memberikan uang padanya untuk membayarkan pembelian 1 unit bus Marcedes Benz
tahun 2005, 1 unit bus Isuzu Elf warna putih, 1 unit bus Isuzu Elf warna silver kombinasi tahun
2010 (atas nama karjono, ayah kandung Sudiyono), 1 unit minibus Toyota Rush tahun 2011.Di
tahun 2012, Sudiyono kembali diberi uang untuk membeli 1 unit bus Marcedes Benz tahun 2004.
Namun kali ini Djoko menggunakan nama Teuku Erry Rubihamsyah. Serta 1 unit bus Mitsubishi
colt Diesel yang diatasnamakan Agus Haryadi.
7.      Muhammad Zaenal Abidin
Djoko membeli 1 unit mobil Toyota Avanza tahun 2011 warna silver metalik atas nama Zaenal.

Anda mungkin juga menyukai