Anda di halaman 1dari 4

Bab 1 pendahuluan

Dalam bab ini membahas tentang pengelolaan sumber daya alam yang rentan menimbulkan
konflik seperti ekspoitasi bahan tambang misalnya. Dalam hal ini biasanya pihak-pihak yang
terlibat yaitu melibatkan beberapa oknum seperti masyarakat, pemerintah daerah, organisasi
nonpemerintah atau ornop lingkungan, dan perusahaan yang akan melakukan penambangan
tentunya. Dalam hal ini tentunya untuk mendapatkan keuntungan dan pemerintah daerah
mendukung penambangan demi peningkatan pendapatan daerah. Namun dalam hal ini tidak
sejalan dengan masyarakat dan ornop lingkungan yang menolak penambangan dengan alasan
terganggunya kesejahteraan ekonomi warga dari mata pencaharian semula dan kerusakan
ekologis akibat kegiatan penambangan tersebut. Konflik ini sudah sering terjadi di Indonesia
tepatnya sejak tahun 1999 yang menyebar di berbagai daerah, mulai dari Sumatra, Jawa,
Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, hingga Papua. Penambangan emas di Papua oleh 2
Konflik Agraria di Urutsewu: Pendekatan Ekologi Politik PT Freeport Indonesia, misalnya,
menjadi salah satu penyebab konlik berkepanjangan. Pemicu konlik ini bukan hanya mengenai
kesejahteraan masyarakat lokal yang diabaikan oleh pemerintah dan PT Freeport indonesia.
Lebih dalam lagi, konlik juga berakar dari kerusakan lingkungan akibat pengerukan kandungan
emas Gunung Ersberg. Salah satu kegiatan penambangan yang kian marak di Indonesia adalah
penambangan pasir besi. Pasir besi merupakan komoditas ekspor yang cukup menjanjikan
sebagai bahan baku industri baja. Terlebih lagi, pasir besi merupakan kekayaan alam yang
terbentang di pesisir barat Sumatra, pesisir selatan Jawa, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara
Barat, dan Sulawesi. Pengusaha mengambil kesempatan ini untuk mendapatkan keuntungan.
Namun, rencana penambangan pasir besi sering kali mendapati perlawanan dari masyarakat.
Konlik pun timbul dengan berbagai latar belakang, mulai dari dampak kerusakan lingkungan
akibat penambangan, perizinan yang bermasalah, hingga tidak dilibatkannya masyarakat dalam
proses perumusan kebijakan penambangan. Penambangan pasir besi juga menjadi agenda
pemerintah kabupaten Kebumen di pesisir selatan Urutsewu, tepatnya di Desa Mirit Petikusan,
Mirit, Tlogodepok, Tlogopragoto, Lembupurwo, dan Wiromartan. Keenam desa tersebut berada
di Kecamatan Mirit. Izin eksplorasi sudah diberikan kepada PT Mitra Niagatama Cemerlang
(MNC) sejak 2008. Setelah melalui tahap eksplorasi, kemudian diadakan sidang komisi
AMDAL. Para pamong desa yang hadir dalam sidang tersebut menolak kehadiran penambang.
Hanya Desa Winomartan, melalui kepala desanya, yang mendukung rencana penambangan,
sepanjang kegiatan tersebut menguntungkan masyarakat setempat.2 Penolakan kelima desa
tersebut sejalan dengan penolakan tambang pasir besi oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD) Kabupaten Kebumen. Beberapa anggota DPRD Kebumen beralasan bahwa
penambangan akan menyebabkan rusaknya pantai selatan dan budi daya pertanian berupa
tanaman semangka dan melon yang tengah dikembangkan warga. Penolakan juga berdasarkan
alasan bahwa pesisir selatan menjadi lebih baik jika menjadi lokasi penghijauan.3 Pada 21
Januari 2011, dengan pertimbangan untuk meningkatkan pembangunan di Kebumen, pemerintah
memberikan IUP Operasi Produksi kepada PT MNC selama sepuluh tahun. Pemberian izin ini
sontak mengejutkan warga karena sebelumnya belum ada sosialisasi. Alasan lain penolakan
masyarakat adalah menyangkut status tanah yang akan ditambang. Dalam surat izin produksi
tertera, luas lahan yang akan ditambang mencapai 591,07 hektare. Dari luasan itu, tercatat 317,48
hektare tanah adalah milik Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD).4 Jauh sebelum
ada rencana penambangan pasir besi, pengakuan tanah di Urutsewu sebagai milik TNI AD telah
ditolak oleh masyarakat. Masuknya tambang di satu sisi dan klaim kepemilikan tanah di
Urutsewu oleh TNI AD di sisi lain adalah dua persoalan yang saling berkait dan memancing
perlawanan masyarakat Urutsewu. Turun nya IUP Operasi Produksi pada Januari 2011 memicu
kemarahan warga karena merasa aspirasinya tidak diacuhkan. Pada 2 Maret 2011, warga yang
diwadahi FMMS mengadakan audiensi dengan DPRD Kebumen. Namun, karena hasil audiensi
tidak menunjukkan kejelasan, masyarakat Urutsewu menggelar aksi Pasowanan Agung
(silaturahmi besar) pada 23 Maret 2011. Menariknya, aksi ini tidak dihadiri oleh warga
Kecamatan Mirit. Dugaan kuat mengapa hal itu terjadi mengarah pada lobi politik pada saat
audiensi FMMS dengan DPRD Kebumen, dua hari sebelum aksi. Aksi demonstrasi masyarakat
Urutsewu dalam menyampaikan aspirasinya ditanggapi oleh Bupati Kebumen dan jajarannya
dengan mengadakan Forum Pimpinan Daerah (Forpimda) pada 30 Maret 2011. Sikap pemerintah
yang bersikukuh melanjutkan penambangan pasir besi atas nama pembangunan berkebalikan
dengan masyarakat yang menolak penambangan dan klaim kepemilikan tanah oleh TNI. Sikap
ini semakin memperpanjang konflik. Karena konflik inilah yang mendorong penulis untuk
mengangkat permasalahan dalam penelitiannya.
Adapun dalam kajian Pustaka penulis mengungkapkan bahwa Teori konflik menekankan bahwa
masyarakat terdiri atas kelompok-kelompok yang terlibat dalam persaingan sengit mengenai
sumber daya yang langka. Aliansi atau kerja sama di antara kelompok masyarakat dapat
berlangsung di permukaan, tetapi di bawah permukaan tersebut terjadi pertarungan
memperebutkan kekuasaan (Henslin 2007: 18). Perebutan sumber daya alam menjadi
pertarungan di antara berbagai pihak yang memiliki kepentingan. Hal ini terjadi karena
lingkungan memiliki ciri-ciri yang berpotensi memicu konlik (Hadi 2006: 4–9). Pertama,
lingkungan memiliki fungsi intangibility, yaitu lingkungan tidak mudah dikuantiikasi dalam
bentuk moneter. Kedua, lingkungan merupakan barang publik (common property). Ketiga,
eksternalitas negatif, yaitu bahwa dampak kerusakan lingkungan akan menimpa orang lain dan
bukan pemrakarsa kegiatan yang menimbulkan dampak tersebut. Keempat, dampak kerusakan
lingkungan terjadi dalam jangka panjang. Ada empat tingkatan konflik menurut Alao 2007: 20.
Pertama yaitu societal atau konflik antarkelompok, kedua komunal atau konflik yang
mengatasnamakan isu agama dan etnis, ketiga, konlik antarnegara dan terakhir yaitu konlik
antarpersonal. Alao mengatakan konflik sumber daya alam berada di dalam keempat tingkatan
konflik tersebut. Kemudian menurut Neoliberal bertambahnya jumlah konlik sumber daya alam
di dunia merupakan pengaruh dari globalisasi. Menurut Alao tahun 2007 ada tiga cara untuk
menghubungkan sumber daya alam dengan konflik, yaitu sebagai penyebab konflik, sebagai
faktor yang memperpanjang konlik, dan sebagai sarana untuk mengatasi konflik. Alao juga
menjelaskan bahwa sumber daya alam dapat dikaitkan dengan perluasan konflik dengan melihat
kasus di Afrika. Sebagai sarana penyelesaian konflik, sumber daya alam memainkan peran yang
sangat penting. Menurut Alao salah satu sumber daya yang sangat penting adalah tanah. Tanah
sering dilihat sebagai sumber daya alam yang harus dipertahankan untuk generasi mendatang
sehingga tidak mengherankan jika terjadi konlik untuk memperebutkan sumber daya ini. Tanah
yang merupakan salah satu sebuah asset itu sering kali mengalami sebuah kelangkaan.
Kelangkaan ini juga salah satu faktor terjadinya konflik. Berkurangnya akses atas tanah
merupakan hubungan sebab-akibat dari penguasaan tanah yang dilakukan oleh
seseorang/kelompok. Dalam struktur penguasaan tanah, ada ketimpangan relasi kuasa yang
melibatkan aspek kekuasaan (politik), kesejahteraan (ekonomi), dan hierarki (sosial). Menurut
Alao tanah yang di dalamnya terkandung sumber daya mineral sering kali diperebutkan oleh
pihak-pihak yang berkepentingan sehingga terwujud konlik. Di )ndonesia, konlik sumber daya
alam dapat dibedakan menjadi dua kategori waktu . Pertama, konlik warisan Orde Baru dan
kedua konflik di era reformasi. Dalam Teori konflik sumber daya alam ini dipakai untuk
menjelaskan hubungan sumber daya alam dan konflik yang muncul di wilayah Urutsewu.
Konflik ini yang terjadi karena adanya perebutan pengelolaan sumber daya antara TNI AD dan
masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai