Anda di halaman 1dari 27

TIPOLOGI AKSES DAN KONFLIK SOSIAL EKOLOGI MASYARAKAT

KAWASAN TANAH TIMBUL DI PULAU PASARAN

Jessica Vanelia Amanda

I3503222019

Dosen Pembimbing

Prof. Arya Hadi Dharmawan Ir. M.Sc, Agr

Dr. Soeryo Adiwibowo, Ir. M. Si

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI PEDESAAN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2023
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Proses sedimentasi merupakan salah satu perubahan lanskap yang
muncul akibat penumpukan material tanah di suatu lokasi perairan baik arus
sungai maupun laut yang didorong oleh intensitas material terlarut, dan kadar
tanah jenuh yang terkandung di dalam air sebagai medianya (Hidayat 2021).
Pembentukan tanah timbul merupakan hasil dari erosi di hulu sungai atau abrasi
pantai yang terjadi, kemudian sedimentasi terjadi di muara sungai atau di pesisir
pantai lambat laun endapan ini membentuk hamparan yang dikenal dengan tanah
timbul, pada lokasi yang mempunyai arus sungai dan gelombang air laut rendah
(Muhibbin 2015). Di sisi lain, pertambahan penduduk yang meningkat sementara
ketersedian tanah yang cenderung tetap mengakibatkan terjadinya permasalahan
terhadap keterbatasan lahan. Ketersediaan tanah garapan yang semakin terbatas
mendorong masyarakat memanfaatkan tanah timbul (Septianto et al. 2016;
Hidayat 2021).
Tanah timbul yang menurut Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 2004
berstatus milik Negara (state property)1. Semestinya hal ini menjadi sandaran atas
kepastian hukum namun di sisi bahwa adanya perspektif pluralisme hukum
mengakui juga adanya penguasaan agraria di luar hukum positif seperti hukum
adat atau ulayat (Liu et al. 2017; Christian et al. 2019). Karakteristik sumberdaya
dari tanah timbul merupakan sumber daya milik bersama (common pool
resources/CPRs)2. Common Pool Resources memiliki ciri yaitu bernilai ekonomi
dan sulit untuk mengeluarkan pengguna potensial untuk memperoleh manfaat dari
penggunaanya. Menurut Ostrom (2003) dalam (Suharti et al. 2016), penggunaan
CPRs yang digunakan oleh satu pengguna dapat mengurangi peluang dari
pengguna lain. Pengelolaan sumberdaya yang CPRs memerlukan tindakan
kolektif untuk pengelolaan yang lestari (Ostrom 1990 dalam Suharti et al 2016;
Moor 2015).
Fenomena sedimentasi yang membentuk tanah timbul mengakibatkan
ketidakjelasan sistem penguasaan dan pemilikan tanah timbul di masyarakat,
serta berimplikasi memicu terjadinya konflik penguasaan lahan (Christian et al.
2019). Keberadaan tanah timbul menjadi salah satu persoalan yang muncul terkait
dengan hak penguasaannya. Tanah timbul menjadi lokus konflik sosial yang
bersifat laten maupun manifes di tengah-tengah ketidakpastian pengetahuan
hukum yang ada mengenai siapa yang memiliki hak atas lahan tanah timbul
tersebut (Muhibbin 2015). Peraturan Menteri Agraria dan Tata Kelola
Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional RI No 11 Tahun 2016 tentang
Penyelesaian Kasus Pertanahan bersamaan dengan Peraturan Menteri Agraria
dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional RI No 17 Tahun 2016 tentang
Penataan Pertanahan Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil yang didalamnya terdapat
definisi tanah timbul merupakan daratan yang terbentuk secara alami karena
proses pengendapan di sungai, danau, pantai, dan pulau timbul yang dikuasai oleh
Negara (Muhibbin 2015; Christian et al. 2019). Hal ini menunjukkan bahwa tanah
timbul masuk dalam rezim properti negara yang penguasaannya dikuasai oleh

1
Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanahmenyatakan bahwa
tanah yang berasal dari tanah timbul dikuasai langsung oleh negara (pasal 12).
2
Common pool resources adalah sumber daya yang bermanfaat bagi sekelompok orang, tetapi
memberikan manfaat yang berkurang bagi sekelompok lain. Dimana setiap orang mengejar
kepentingannya sendiri.
negara, meskipun pada kenyataannya tidak serta merta menghilangkan akses
masyarakat terhadap sumberdaya tersebut (Septianto 2019).
Wilayah pesisir merupakan wilayah interaksi antara daratan dan lautan dan
pertemuan antara geosfer, hidrosfer, atmosfer, dan biosfer, serta sangat
dipengaruhi oleh aktivitas manusia (Setiamurti 2015). Dorongan akan kegiatan
ekonomi dan peningkatan populasi, urbanisasi berkembang pesat di zona pesisir,
dan serangkaian konflik sumber daya lahan dan lingkungan telah terjadi (Chen dan
Cai 2022). Pulau Pasaran terletak di pesisir Teluk Bandar Lampung tepatnya
berada di kelurahan Kota Karang Kecamatan Teluk Betung Timur, Kota Bandar
Lampung, Provinsi Lampung. Bersumber dari wawancara dengan tokoh
masyarakat, diketahui bahwa Pulau Pasaran pada awalnya merupakan sebuah
tanah yang timbul dengan luas awal sekitar 2 hektar. Dahulu Pulau Pasaran
merupakan tanah adat atau tanah warisan yang dimiliki oleh suatu kerajaan
Lampung Pesisir. Seiring dengan bertambahnya populasi, menyebabkan luas
Pulau Pasaran semakin bertambah dengan adanya penimbunan secara mandiri
atau reklamasi yang dilakukan oleh masyarakat untuk memperluas wilayah Pulau
Pasaran. Hal ini sejalan dengan penelitian Supriyani (2013), dimana pola interaksi
masyarakat dengan tanah timbul dibagi menjadi tiga, yaitu eksploitasi, konservasi
dan pemanfaatan serta proteksi penjagaan tanpa memanfaatkan. Selain itu, tanah
timbul juga terjadi akibat perbuatan manusia yang diantaranya adalah melakukan
pengurugan sampah, membuat tanggul penghalang atau menanami daerah
dengan tumbuhan yang akarnya mampu menahan lumpur sehingga tidak hanyut
kembali ke laut, reklamasi, dan pembukaan tanah baru secara liar (Elfa 2016).
Penelitian yang dilakukan oleh (Septianto 2019) mengenai Dinamika
Penguasaan Tanah Timbul di Daerah Asal Buruh Migran Indonesia menjelaskan
bahwa kepentingan buruh migran untuk mengontrol tanah timbul antara lain
karena harga tanah yang relatif murah, sebagai aset yang berharga, dan ikatan
emosional antara buruh migran dan tanah asal mereka. Kontrol buruh migran atas
tanah timbul dilakukan melalui jaringan migran dan pengiriman uang. Adapun aktor
lain yang terlibat dalam penguasaan tanah timbul yakni pemerintah lokal, LSM
lokal dan pedagang ikan. Penelitian yang sama dilakukan oleh (Nurfadilah 2016)
terkait dengan Analisis Ekonomi Pemanfaatan Tanah Timbul di Kota Cirebon,
Jawa Barat memaparkan bahwa tanah timbul yang memiliki nilai ekonomi dan
manfaat bagi masyarakat sekitar pesisir, karena sebagian besar pemanfaatannya
digunakan untuk pemukiman. Pemerintah setempat kurang tegas dalam
menegakan aturan pengelolaan dan pemanfaatan tanah timbul yang
mengakibatkan kerusakan lingkungan seperti penebangan mangrove dan
pengurungan sampah. Sejalan dengan itu kepemilikan dan status tanah timbul di
wilayah pesisir Bali yang dikaji oleh (Dewi 2012) adanya klaim kepemilikan dan
kepentingan antara masyarakat sekitar dengan perusahaan atau pemerintah.
Tanah timbul digunakan masyarakat adat sebagai tempat pelaksanaan upacara
keagamaan dan upacara adat karena dianggap sakral. Sementara perusahaan
dan pemerintah menjadikannya sebagai tempat proyek pembangunan.
Penelitian (Hidayat 2021) tentang Tinjauan Empiris Keragaan
Penatagunaan Tanah Timbul di Desa Singaraja Kabupaten Indramayu Provinsi
Jawa Barat bahwa penggunaan lahan timbul didaeah tersebut dimanfaatkan oleh
masyarakat pada bidang perikanan dan pertanian. Sejauh penelitian dilakukan
Pemerintah setempat belum mengidentifikasi keragaan penatagunaan tanah
timbul sebagaimana sebagaimana yang diamanatkan dalam Peraturan SE Menteri
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 410-1293 tentang Penertiban
Status Tanah Timbul dan Reklamasi. Berbeda halnya dengan penelitian yang
dilakukan (Napitu 2018) yang membahas Konflik Pemanfaatan, Kelembagaan
serta Pengaruhnya terhadap Keberlanjutan Pengelolaan Kawasan Hutan Produksi
pada KPHP Meranti Provinsi Sumatera Selatan, dijelaskan terdapat lima bentuk
mekanisme akses hak dan struktur serta relasi. Adanya ketidakjelasan hak
kepemilikan disebabkan oleh status dan posisi pengguna, klaim masyarakat lokal
masih kuat daripengaruh adat. Para pihak memiliki kepentingan dan pengaruh
yang berbeda.
Dominasi aktor serta ketimpangan relasi kuasa dalam pengelolaan
sumberdaya pesisir tidak terlepas dari paradigma dan kepentingan yang berbeda-
beda dari setiap aktor dalam memandang sumberdaya alam dan lingkungannya.
Semakin dalam perbedaan kepentingan dan paradigm antar aktor makin besar
dan kompleks ruang konflik, dan tentu memiliki implikasi terhadap status
pengelolaan sumberdaya dan lingkungannya (Mony 2015). Berangkat dari
pemaparan yang telah dijelaskan, perbedaan pada penelitian ini dengan penelitian
sebelumnya adalah penelitian ini mengkaji tentang tipologi akses dan konflik
sosial ekologi masyarakat kawasan tanah timbul di Pulau Pasaran. Sehingga
mengkaji lebih lanjut terkait dengan munculnya tanah timbul, proses akusisi dan
klaim tanah timbul, aktor-aktor yang mengakses, potensi terjadinya konflik serta
peran pemerintah melalui kebijakannya.
Rumusan Masalah
Hardin (1968) melalui karya The Tragedy of the Commons dalam (Moor
2015) menyatakan bahwa kepemilikan bersama dengan pertumbuhan populasi
yang tinggi akan menyebabkan degradasi ekologis dari sumberdaya yang dimiliki
bersama. Indonesia sebagai Negara yang kaya akan sumber daya, terlebih
sumber daya tanah dan hutan (Liu et al. 2017). Adanya aturan terkait dengan
penguasaan tanah dan hak-hak masyarakat lokal berada pada hukum tertulis,
hukum adat dan juga swasta. Adat mengatur hak guna tanah berbasis masyarakat.
Meskipun sistem adat bervariasi di antara masyarakat, biasanya mengadopsi
pendekatan komunal, di mana hak atas tanah dipegang oleh masyarakat dan
pelaksanaan hak individu tergantung pada persetujuan masyarakat (Xu et al.
2009; Moor 2015; Liu et al. 2017). Tanah timbul sebagai CPRs, menyebabkan
ketidak pastian akan status kepemilikannya. Sertifikasi tanah dalam menjadi
alternatif dari penguasaan atas tanah tersebut. Namun, proses administrasi yang
lambat dan memakan biaya serta waktu yang lama menyebabkan masyarakat
tidak mendaftarkannya (Liu et al. 2017).
Penelitian (Suzuki et al. 2017) memaparkan sumber daya lahan menjadi
hal penting bagi kelangsungan hidup manusia, sumber daya lahan selalu memiliki
berbagai atribut fungsional dan kesesuaian untuk digunakan dalam produksi
pertanian, konstruksi perkotaan, dan perlindungan ekologis. Lebih lanjut Jati
(2011) menjelaskan bahwa manajemen pengelolaan sumber daya alam
seharusnya berlangsung secara terdesentralisasi dari negara, masyarakat,
maupun stakeholder lainnya dalam kapasitasnya sebagai resource users. Pola
manajemen alternatif ini mereduksi peran pasar sebagai resource users yang
sebelumnya dominan dalam pola manajemen yang tersentralisasi. Adanya
penguatan masyarakat sebagai aktor dalam tata kelola sumber daya alam melalui
kearifan lokalnya memang perlu mendapat ruang konfirmasi tersendiri.
Berdasarkan hal tersebut, manusia telah melakukan serangkaian praktik
penggunaan lahan dengan tujuan penggunaan lahan yang berbeda (Ran et al.
2018). Fenomena kemunculan tanah timbul pada ekosistem hutan mangrove di
wilayah pesisir akibat adanya proses sedimentasi di sekitar hutan merupakan
fenomena yang secara luas terjadi hampir di seluruh pesisir di Indonesia
(Setiamurti 2015; Nurfadilah 2016), dalam penelitian ini juga terjadi di pesisir
Bandar Lampung. Tanah timbul yang muncul memberikan harapan baru bagi
masyarakat sekitar untuk dimanfaatkan (Muhibbin 2015; Hidayat 2021). Adanya
tanah timbul merupakan proses yang panjang, terkait dengan itu maka menarik
untuk diteliti lebih jauh mengenai bagaimana sejarah munculnya tanah timbul
dan terbentuknya Pulau Pasaran?
Tanah timbul menjadi lokasi konflik sosial yang bersifat laten di tengah
ketidakpastian pengetahuan hukum yang ada di tengah masyarakat mengenai
siapa yang memiliki hak atas tanah tersebut (Christian et al. 2019). Ironisnya lagi
belum ada data valid yang dapat merepresentasikan tanah timbul baik dari sisi
sebaran maupun luasan (Hidayat 2021). Ribot dan Peluso (2003) memberikan
pengkategorian dalam mekanisme akses yakni right-based access dan structural
and relational access mechanisms. Adapun kategori pertama adalah legal acces
dalam mekanisme akses berbasis hak, yang dapat diartikan sebagai mekanisme
akses yang ditegakkan dengan sanksi hukum, adat istiadat dan konvensi, tetapi
juga mencakup illegal acces dalam mekanisme akses yang diperoleh dengan
melanggar hak-hak tersebut seperti pencurian. Kategori kedua, yakni mekanisme
akses berbasis struktur dan relasional yang dapat diartikan sebagai kekuatan
struktural dan relasional yang menentukan bagaimana akses dapat diperoleh,
dikontrol, dan dipertahankan. Dalam penelitian (Shohibuddin, 2018) menyebut
faktor-faktor yang menjadi unsur dari kekuatan struktural dan relasional tersebut,
antara lain: teknologi, pasar, modal, tenaga kerja, pengetahuan, peluang kerja,
identitas sosial, relasi sosial dan otoritas sosial. Oleh karena itu, kontestasi akses
antar aktor ini akan semakin intens manakala aktor-aktor ini memiliki dan
mengakumulasi power dan otoritas masing-masing. Berdasarkan hal tersebut,
menarik untuk diteliti bagaimana kepentingan aktor-aktor terkait dengan akses
pemanfaatan tanah timbul di Pulau Pasaran?
Dinamika penguasaan terhadap sumberdaya dalam hal ini berupa tanah
timbul dapat menyebabkan persaiangan dalam memanfaatkannya. Masyarakat
Pulau Pasaran mengakses tanah timbul dengan melakukan penimbunan secara
mandiri. Konflik penggunaan lahan biasanya merupakan ketidakseimbangan
antara sumber daya lahan yang terbatas dan kebutuhan manusia yang
semakin beragam ( Yu et al. 2015). Akses dimaknai oleh Ribot dan Peluso
(2003), sebagai suatu kemampuan untuk mendapatkan manfaat dari suatu hal,
yang kenyataannya tidak ditentukan oleh hak semata, namun banyak bergantung
secara relasional pada konstelasi kekuatan yang lebih luas. Dimana setiap pihak
memiliki posisi yang berbeda terkait dengan sumber daya bergantung atas
sekumpulan kuasa (bundle of power) yang dimilikinya, sehingga yang
bersangkutan dapat menarik manfaat tanpa memiliki landasan hak apapun (baik
legal maupun illegal) terhadapnya (Shohibuddin, 2018). Pemerintah daerah yang
merupakan agensi yang berwenang dalam mengatur perihal pertanahan
khususnya tanah timbul ini seringkali menghadapi kendala karena seringkali juga
berada dalam arena dengan masyarakat pengguna dalam rangka memberi kuasa
efektif atas lahan yang muncul (Pulungan 2013; (Christian et al. 2019). Tanah
timbul tidak hanya diakses oleh satu pihak. Pertarungan akses terhadap tanah
timbul diekskalasi oleh power dan otoritas masing-masing aktor yang seringkali
berujung pada terjadinya konflik menurut Arminah et al 2009 dalam (Septianto et
al. 2016). Pertarungan klaim atas sumberdaya juga terjadi diantara aktor (Sita
2014; Septianto et al. 2016). Melalui mekanisme akses berbasis structural dan
relasional yang meliputi kongfigurasi teknologi, modal, pasar, pengetahuan,
otoritas, identitas sosial dan relasi sosial dalam perebutan akses sumberdaya
(Priyatma et al 2013). Tumpang tindih klaim pemilikan tanah antar aktor
memunculkan dikotomi yang menghasilkan ketidakadilan akses (Huggins 2010).
Lebih lanjut keragaan penatagunaan tanah timbul telah menjadi salah satu
persoalan pertanahan yang muncul di wilayah pesisir Indonesia menyangkut hak
kepemilikannya (Hidayat 2021). Berdasarkan hal tersebut, menarik untuk diteliti
bagaimana tipologi akses dan potensi terjadinya konflik sosial ekologi
masyarakat tanah timbul di Pulau Pasaran?

1.2 Tujuan Penelitian


Tujuan umum dari penelitian ini adalah membahas tipologi akses di
kawasan tanah timbul Pulau Pasaran dan potensi konflik sosial ekologi
masyarakat yang terjadi disana. Oleh karena itu, tujuan spesifik yang diharapkan
dari penelitian ini sebagai berikut:
1. Menganalisis proses pembentukan tanah timbul yang terjadi di Pulau
Pasaran
2. Memetakan aktor-aktor yang mengakses tanah timbul di Pulau Pasaran.
3. Memetakan tipologi akses dan potensi konflik di Pulau Pasaran

1.3 Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi berbagai
pihak, antara lain:
1. Bagi akademisi, hasil penelitian ini diharapkan bisa menambah khazanah
pengetahuan dan literatur tentang klasifikasi aktor dalam mengakses tanah
timbul.
2. Bagi pemerintah, hasil penelitian ini diharapkan menjadi sumber informasi
yang bermanfaat untuk memberikan pertimbangan dalam pengambilan
kebijakan lebih lanjut terkait dengan tanah timbul dan tata kelolanya.
3. Bagi masyarakat lokal, hasil penelitian ini diharapkan menjadi wahana
pengetahuan mengenai sejarah pembentukan tanah timbul, aktor-aktor
yang mengakses, tipologi akses dan potensi konflik yang terjadi.

1.4 Ruang Lingkup Penelitian


Penelitian ini secara umum bertujuan ingin mengkaji mengenai tipologi
akses berupa kemampuan para aktor mengakses sumber daya berupa tanah
timbul. Penguasaan akses sebagai kewenangan dalam keputusan atas
penggunaan dan hasil sumberdaya, baik sumberdaya fisik ataupun material serta
sumberdaya sosial-budaya. Batasan kajian dalam penelitian ini diantaranya:
1. Akses yang dimaksud adalah kesempatan atau kemampuan untuk
menggunakan sumberdaya ataupun hasilnya tanpa memiliki wewenang
untuk mengambil keputusan terhadap cara penggunaan dan hasil
sumberdaya tersebut. Sumber daya dalam hal ini berupa tanah timbul yang
dimanfaatkan oleh masyarakat setempat ataupun oleh pihak lain.
2. Konflik sosial ekologi adalah potensi konflik yang terjadi di masyarakat
Pulau Pasaran sendiri ataupun dengan pihak luar, ketika sedang atau
setelah mendapatkan akses atas tanah timbul.
II. TINJAUAN PUSTAKA

Penelitian ini hendak melihat bagaimana pemanfaatan sumberdaya berupa


tanah timbul. Tipologi akses dan konflik sosial ekologi masyarakat kawasan tanah
timbul di Pulau Pasaran dengan menggunakan kajian teori akses (Ribot dan
Peluso 2003). Penelitian terkait dengan konflik sosial ekologi dan akses
penguasaan tanah timbul telah banyak dilakukan oleh beberapa peneliti terdahulu.
Penelitian-penelitian terkini dengan topik penelitian diringkas dalam tabel 1 guna
memperkaya pengetahuan dan wawasan peneliti.
Tabel 1. Ringkasan penelitian terdahulu yang relevan dengan topik penelitian
Judul, Peneliti, Tahun Ringkasan Penelitian
Penguasaan Tanah Latar belakang dan motif rumah tangga buruh migran
Timbul oleh Rumah di Sugihwaras mengakses tanah timbul dikarenakan
Tangga Buruh Migran harganya murah, adanya ikatan emosional atau
Indonesia oleh sosial psikologis dengan keluarga dan sebagai asset
(Septianto 2019) ekonomi. Buruh migran menggunakan remitan
sebagai power untuk memperkecil ketidaksetaraan
kuasa dengan aktor lain terkait dengan akses
terhadap tanah timbul dan juga berguna untuk
memastikan perubahan status kehidupan pasca
buruh migran.
Iregularitas Agraria Penggunaan tanah timbul di Ujung Pangkah
“Tanah Timbul” berimplikasi pada dua hal, yakni perubahan lanskap
(Aansibbling) dan pantai termasuk hilangnya ekosistem mangrove
Perubahan Lanskap di untuk perluasan tambak dan potensi konflik
Wilayah Pesisir Ujung pertanahan maupun konsentrasi lahan. Pola
Pangkah, Gresik, Jawa penguasaan dan pemilikan atas tanah timbul oleh
Timur oleh (Christian et masyarakat didasarkan pada budaya masyarakat
al. 2019) yang memiliki mekanisme pengaturan lokal dalam
masyarakat yang berlaku dan berfungsi sebagai
sarana untuk mengatur perolehan penguasaan tanah
timbul di pesisir pantai.
Tanah Timbul dan Perubahan lanskap berupa tanah timbul berpengaruh
Perubahan Sistem terhadap tingkat penguasan modal nafkah
Penghidupan di Dua rumahtangga di Desa Klaces dan Desa Ujung Alang.
Desa, Kasus Desa Strategi nafkah yang dilakukan petani dan rumah
Klaces dan Desa Ujung tangga nelayan di kedua desa tersebut setelah
Alang, Kecamatan terbentuknya tanah timbul, yaitu strategi pola nafkah
Kampung Laut, Cilacap ganda, strategi rekayasa spasial atau migrasi,
oleh (Setiamurti 2018) strategi berhutang, strategi patronase, strategi
ekstensifikasi pertanian, strategi alokasi sumber daya
manusia dalam rumahtangga, dan strategi meniru
atau modeling.
Pola Penguasaan dan Pola penguasaan dan pemilikan atas tanah timbul
Pemilikan Tanah Timbul oleh masyarakat didasarkan pada budaya
(Aanlibbing) di Pesisir masyarakat setempat yang memiliki mekanisme-
Pantai Utara Laut Jawa mekanisme pengaturan lokal dalam masyarakat
oleh (Muhibbin 2015) (inner order mechanism/self regulation) yang secara
nyata berlaku dan berfungsi sebagai sarana untuk
mengatur perolehan penguasaan tanah timbul di
pesisir pantai, diawali dengan pembukaan atas tanah
yang belum dilekati hak (tanah kosong) yaitu
munculnya tanah di pesisir pantai sebagai proses
sedimentasi (tanah timbul) dengan mendapat izin dari
penguasa masyarakat (Kepala Desa) dan dituangkan
dalam surat keterangan menggarap (surat Segel di
Kabupaten Gresik) dan Surat Izin Muhibbin, Pola
Penguasaan dan Pemilikan Tanah Timbul
Pengelolaan Tambak Tanah Oloran (SIPTTO di
Kabupaten Pasuruan), dikerjakan dan dikelola secara
intensif dengan iktikad baik kemudian terjadilah
penguasaan tanah oleh masyarakat dengan hak
menggarap.
Rescaling of Access Para pemimpin adat Batin Sembilan di dalam Hutan
and Property Relations Hujan Harapan menggunakan kelonggaran ekstra
in a Frontier Landscape: untuk membangun kembali bekas tanah adat mereka
Insights from Jambi, sebagai skala makna dan regulasi yang relevan.
Indonesia oleh (Hein et Mereka meningkatkan status sosial Batin Sembilan
al. 2016) dan memberi para migran akses ke tanah dan sumber
daya alam. Alokasi lahan untuk pendatang dapat
dianggap sebagai strategi spasial aktif masyarakat
Batin Sembilan elit untuk mendapatkan kembali
otoritas atas lahan hutan dan untuk mempertahankan
klaim tanah adat mereka di dalam hutan negara.
Kepala pemerintahan formal desa dalam banyak
kasus Batin Sembilan, atau setidaknya individu yang
memiliki ikatan kekerabatan yang kuat dengan Batin
Sembilan mengesahkan transaksi tanah dengan
mengeluarkan sertifikat tanah tingkat desa. Dengan
menerbitkan sertifikat tanah desa di dalam hutan
negara, pemerintah desa memperluas
kompetensinya secara formal dan spasial.
Analisis Ekonomi Status pemanfaatan tanah timbul hingga saat ini
Pemanfaatan Tanah masih tidak jelas; tanah timbul di Kelurahan
Timbul di Kota Cirebon, Lemahwungkuk dan Panjunan dikuasai oleh
Jawa Barat oleh masyarakat dan dimanfaatkan untuk permukiman.
(Nurfadilah 2016) Belum adanya pemerintah dalam menegakkan
aturan pengelolaan dan pemanfaatan tanah timbul
tersebut, kerusakan lingkungan akibat dari aktivitas
pengurugan sampah dan penebangan pohon
mangrove yang berakibat pada populasi ikan
berkurang dan pendapatan nelayan yang berkurang
Tinjauan Empiris Tanah Timbul di Desa Singaraja berasal dari abrasi
Keragaan laut/pantai dan sedimentasi di muara sungai dengan
Penatagunaan Tanah luasan ± 22,00 Ha. Penggunaan tanah di lokasi
Timbul di Desa penelitian adalah perikanan dan pertanian.
Singaraja Kabupaten Pemerintah Indramayu belum mengidentifikasi
Indramayu Provinsi keragaan penatagunaan tanah timbul sebagaimana
Jawa Barat oleh yang diamanatkan dalam Peraturan SE Menteri
(Hidayat 2021) Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor
410-1293 tentang Penertiban Status Tanah Timbul
dan Reklamasi. Adapun pengaturan kepemilikannya
sesuai dengan Perda Nomor 10 Tahun 2013 selain
beritkad baik juga harus mendapatkan Surat
Ijin/Keterangan Menggarap/Mengolah dari Bupati
atau pejabat yang bertanggung jawab terhadap hal
tersebut dengan arahan fungsi zonanya diluar jalur
konservasi pantai.
Konflik Pemanfaatan, Terdapat beberapa mekanisme akses hak dan
Kelembagaan serta bentuk mekanisme akses struktur dan relasi.
Pengaruhnya Terhadap Ketidakjelasan hak kepemilikan disebabkan berbagai
Keberlanjutan status dan posisi pengguna, yaitu: a) adanya
Pengalolaan Kawasan pemukiman, kebun campuran, kebun Sawit dan
Hutan Produksi pada Karet; penyewa lahan untuk aktivitas tambang ilegal
KPHP Meranti Provinsi di areal kerja HTI, b) adanya izin pemilik kebun tidak
Sumatera Selatan oleh prosedural dengan skala usaha luasan cukup besar
(Napitu 2018) pada wilayah tertentu, dan c) adanya izin
pertambangan di areal kerja HTI. Berdasarkan
analisis prioritas penanganan konflik, wilayah izin HTI
PT WAM dan wilayah tertentu berkategori rawan atau
waspada, sedangkan open access bekas konsesi PT
Pakerin dalam kategori sangat prioritas. Berdasarkan
analisis tipologi konflik ada tiga tipologi potensi, yaitu:
pertama, konflik masyarakat dengan pemegang izin
usaha, HTI, RE, HTR, usaha pertambangan dan
IPPKH lainnya, serta di wilayah tertentu. Kedua,
konflik antar pemegang izin usaha, dan ketiga, konflik
antara KPHP Meranti dengan perkebunan tidak
procedural.
Pengelolaan Tanah Wewenang untuk mrnguasai tanah timbul yaitu tanah
Timbul (Aansilibbing) yang dimiliki oleh masyarakat adat setempat.
dalam Peningkatan Penyelesaian sengketa atas tanah timbul melalui
Kesejahteraan kesepakatan dengan pemerintah bersama dewan
Masyarakat Adat oleh adat dengan menerbitkan SK yang dikeluarkan oleh
(Dewi 2012) pemerintah setempat kalau tanah timbul tersebut
benar milik masyarakat adat, sehingga masyarakat
mengurus sertifikat tanah tersebut ke kantor Badan
Pertanahan Nasional untuk diterbitkan sertifikat hak
ulayat.
Dinamika Konflik Tanah Ketidakjelasan status kepemilikan dan batas wilayah
Timbul di Pulau Sarinah antara warga, sehingga masing-masing pihak merasa
Kabupaten Sidoarjo memiliki hak atas tanah tersebut yang menyebabkan
oleh (Hanum 2017) terjadinya konflik. Konflik perebutan lahan timbul
merupakan konflik horizontal antar masyarakat.
Terjadinya aksi pengeroyokan dalam memperolah
lahan tanah timbul.

Berdasarkan ringkasan beberapa penelitian sebelumnya, maka dapat


ditarik kesimpulan secara umum bahwa masyarakat mengakses tanah timbul
melalui mekanisme yang sudah ada pada budaya masyarakat setempat.
Masyarakat memanfaatkan tanah timbul sebagai tempat pemukiman, perikanan
bahkan pertanian. Belum adanya kejelasan mengenai klaim atas tanah timbul
membuat potensi konflik terjadi dalam proses untuk mangakses tanah timbul.
Maka dari itu, kepentingan aktor dalam memperoleh akses terhadap sumberdaya
berbeda satu sama lain.
2.1 Konsep Akses
Ribot dan Peluso (2003) mendefinisikan akses sebagai kemampuan untuk
mendapatkan keuntungan dan manfaat dari sesuatu atau sumberdaya, sedangkan
properti didefinisikan sebagai hak atas sesuatu yang dikuatkan dengan pengakuan
secara sosial dan dibenarkan oleh peraturan dan undang-undang. Analisis akses
dengan demikian merupakan suatu proses untuk mengidentifikasi dan memetakan
mekanisme perolehan, pemeliharaan dan pengendalian akses. Ribot dan Peluso
(2003) membagi kategori akses antara lain:
1. Akses legal, merupakan kemampuan mendapatkan keuntungan dari
sesuatu yang berasal dari kepemilikan yang diberikan oleh hukum, adat
istiadat, atau konvensi.
2. Sebuah ambiguitas yang terjadi antara hokum, adat istiadat dan konvensi.
Ambiguitas ini terjadi manakala ketiga perangkat legal tesebut sama-sama
melegitimasi suatu barang yang sama sehingga yang terjadi adalah saling
mengklaim.
3. Akses illegal, mengacu pada keuntungan dari sesuatu yang apapun caranya
tidak diberi sanksi oleh masyarakat atau Negara. Akses illegal dilakukan
melalui kekerasan, dan secara diam-diam, bentuk hubungan untuk
mendapatkan, mengontrol dan mengatur akses, mekanisme structural dan
relasi dari akses.
Kemampuan untuk memperoleh keuntungan dari sumberdaya ditengahi
dengan adanya pembatas-pembatas yang telah ditetapkan dalam konteks sosial
politik dan kerangka budaya saat pencarian akses berlangsung (Kuswijayanti
2007). Setidaknya ada beberapa power yang dapat mempengaruhi akses, dalam
(Ribot dan Peluso 2003) diantaranya yaitu:
1. Akses teknologi
Sumberdaya bisa diakses menggunakan teknologi, individu atau
kelompok yang memiliki akses terhadap teknologi yang lebih tinggi
lebih memungkinkan untuk memperoleh keuntungan dibandingkan
dengan yang tidak memiliki.
2. Akses kapital atau modal
Akses terhadap kekayaan dalam bentuk keuangan dan peralatan (juga
termasuk teknologi) yang bisa digunakan dalam proses untuk
pengambilan keuntungan dari sesuatu atau orang lain. Akses kapital
atau modal digunakan juga untuk mengendalikan serta memelihara
akses terhadap sumberdaya
3. Akses pasar
Akses pasar diartikan sebagai kemampuan individu atau kelompok
untu memperoleh, mengendalikan atau memelihara suatu hubungan
pertukaran. Pasar dapat mempertajam akeses pada keuntungan dari
sesuatu atau sumberdaya. Akses pasar merupakan control melalui
proses dan sejumlah besar stuktur (Yunindyawati 2015). Semakin luas
dan besar kekuatan pasar untuk memasok, mengajukan permintaan,
dan mempengaruhi harga yang akan menghasilkan keuntungan.
4. Akses tenaga kerja
Adanya tenaga kerja mampu mempengaruhi hubungan dalam
pencarian keuntungan sumberdaya yang bisa dinikmati oleh siapa saja
yang mampu mengendalikan buruh atau tenaga kerja. Individu atau
kelompok yang mampu mengendalikan tenaga kerja dapat
mempertahankan akses terhadap peluang-peluang tersebut.
5. Akses pengetahuan
Pengetahuan didefinisikan sebagai informasi yang telah diproses dan
diorganisasikan untuk memeroleh pemahaman, pembelajaran, dan
pengalaman yang terakumulasi sehingga bisa diaplikasikan ke dalam
kegiatan rutin kehidupan sehari-hari (Yunindyawati 2015). Kemampuan
untuk mempertajam terminology mempengaruhi keseluruhan kerangka
kerja akses terhadap sumberdaya. Dengan akses pengetahuan
berguna untuk pengendalian ideology, kepercayaan dan lainnya.
6. Akses otoritas
Individu atau lembaga yang memiliki akses dengan kewenangan untuk
membuat dan melaksanakan hukum akan sangat mempengaruhi
terhadap siapa yang dapat memperoleh keuntungan dari sumberdaya.
Akses otoritas menjadi hal yang penting dalam jarring kekuasaan yang
membuat seseorang mampu mengambil keuntungan dari sesuatu.
7. Akses identitas sosial
Akses sering juga ditengahi dalam identitas sosial atau keanggotaan
dalam komunitas, termasuk diantaranya pengelompokan berdasarkan
usia, gender, suku, agama, status, profesi, pendidikan ataupun atribut-
atribut lain yang menunjukan identitas sosial (Kuswijayanti 2007).
Selain itu, mekanisme akses melalui identitas sosial juga dapat
dipengaruhi oleh pasar dan tenaga kerja. Mereka yang memiliki
identitas yang membuat mereka memiliki akses terhadap pasar yang
berbeda pula.
8. Akses relasi sosial
Akses melalui relasi sosial seperti pertemanan, saling percaya, timbal
balik, ketergantungan dan obligasi merupakan poin-poin kritikal dalam
jejaring akses. Para aktor akan berusaha untuk mengembangkan relasi
sosial untuk memperoleh, mempertahankan ataupun mengendalikan
akses sumberdaya (Kuswijayanti 2007).
Properti sangat erat kaitannya dengan otoritas, dalam arti kekuasaan yang
sah (atau lebih tepatnya berhasil dilegitimasi). Dengan kata lain, otoritas mengacu
pada bentuk kekuasaan yang menyebabkan adanya kepatuhan secara sukarela
oleh pihak lain, sehingga memungkinkan bahwa sebuah perintah akan dipatuhi
oleh sekelompok orang tertentu. Upaya menguatkan klaim atas penguasaan
sumberdaya dilakukan melalui politik teritorialisasi dan kekerasan berupa property
relation dan authority relation, karena tidak semua akses atas sumberdaya alam
dijamin oleh adanya pengakuan hak sehingga diperlukan kepastian properti
sebagai jaminan akses atas sumberdaya. Perebutan akses terhadap tanah timbul
dieskalasi oleh power dan otoritas masing-masing aktor. Legitimasi atas properti
dan akses terhadap tanah timbul juga dilakukan dengan klaim yang berbeda.
Potensi konflik akan semakin intens apabila pihak yang berkepentingan atas tanah
mempunyai kedudukan sosial yang tinggi di masyarakat (Septianto 2019).
Akses berbasis hak, akses relasional dan struktural sebagaimana telah
dijelaskan oleh Ribot dan Peluso (2003) membentuk bundles (kumpulan) dan
webs (jaringan) kekuasaan yang memungkinkan orang / institusi mendapatkan
manfaat dari sumber daya dan memungkinkan hilangnya hak masyarakat dari
sumber daya yang dimilikinya. Mengacu pada Derek Hall dan Tania li (2011)
tentang empat faktor kuasa yang dapat mengekslusi (power of exclusion)
masyarakat dari tanah yang bisa juga diaplikasikan pada sumber daya lain.
Menurutnya faktor – faktor tersebut adalah: (1) peraturan (regulation, pasar
(market), legitimasi (legitimation), dan paksaan (force).
Peraturan (regulation) menjadi salah satu faktor yang dapat menyebabkan
orang tersingkir dari kepemilikan atau keuntungan untuk mendapat manfaat atas
tanah. Peraturan yang dimaksud baik berupa peraturan formal maupun peraturan
informal. Peraturan formal adalah peraturan apapun yang dibuat oleh lembaga
formal yang merepresentasikan negara. Sedangkan peraturan informal adalah
peraturan yang dibuat atau dikembangkan oleh otoritas di luar negara, misalkan
hukum adat ataupun kebiasaan yang diterapkan masyarakat dalam mengatur
pembagian dan penggunaan sumber daya alam (Firti 2014).
Dijelaskan juga (Firti 2014; Yunindyawati 2015) Pasar (market) yang
bekerja sebagai pengontrol kegiatan ekonomi yang dilakukan terhadap tanah dan
manusia. Campur tangan pasar tidak hanya terbatas pada distribusi produk,
melainkan juga pada kemampuannya untuk ikut menentukan bagaimana dan
dimana produksi kebutuhan pasar akan dilakukan. Tekanan inilah yang
menentukan siapa yang akan tersingkir dalam pengelolaan sumber daya alam.
Legitimasi (legitimation) berkaitan dengan justifikasi atas nilai-nilai moral
yang menjadi dasar tentang apa yang baik atau buruk, benar atau salah. Legitimasi
dalam praktiknya hadir dalam wujud penyingkiran atas nama pembangunan
(developmentalism), peradaban (civilization), modernisasi (modernity) dan juga
paham lingkungan (environmentalism). Sedangkan paksaan (force), paksaan atau
kekuatan terhadap petani akan membuat mereka tersingkir dari sumber daya alam
(air) yang selama ini menjadi bagian penting dalam kehidupannya.
2.2 Konflik Sosial Ekologi
Dahrendorf dalam Poloma (1979) melihat hubungan kekuasaan dalam
memicu terjadinya pertentangan kelas. Dalam setiap asosiasi yang ditandai oleh
pertentangan terdapat ketegangan diantara mereka yang ikut dalam struktur
kekuasaan. Pertentangan kelompok dapat dianalisis dengan melihat sebagai
pertentangan mengenai legitimasi hubungan-hubungan kekuasaan. Dalam setiap
asosiasi, kepentingan kelompok penguasan merupakan nilai-nilai yang
merupakan idiologi keabsahan kekuasaannya, sementara kepentingan-
kepentingan kelompok bawah melahirkan ancaman bagi idiologi serta hubungan-
hubungan sosial yang terkandung di dalamnya (Dahrendorf dikutip Poloma 1979).
Dapat disimpulkan bahwa konflik sosial dalam pandangan Dahrendorf
adalah persoalan dinamika masyarakat yang mengaitkan kekuasaan, kepentingan
dan kelompok sosial. Kepentingan yang dimaksudkan Dahrendorf bersifat manifes
(disadari) dan laten (kepentingan potensial). Kepentingan laten adalah tingkah
laku potensial (undercurrent behavior) yang telah ditentukan bagi seseorang
karena dia telah karena dia menduduki peranan tertentu, tetapi masih belum
disadari. Kepentingan-kepentingan yang tidak disadari atau laten kemudian tampil
ke permukaan dalam bentuk tujuan-tujuan yang disadari dalam bentuk tuntutan-
tuntutan yang kemudian menjelma menjadi kelompok-kelompok manifest. Menurut
Dahrendorf dalam Ritzer (2016), konsep kepentingan laten dan manifest,
kelompok sepu, kelompok kepentingan dan kelompok konflik adalah dasar bagi
penjelasan konflik sosial.
Menurut (Fisher et al 2000), terdapat beberapa teori yang menerangkan
pemicu terjadinya konflik yaitu: (1) teori kebutuhan manusia yang berasumsi
bahwa konflik disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia yaitu fisik, mental, sosial
yang tidak terpenuhi atau dihalangi. Kebutuhan yang paling sering menjadi pemicu
konflik adalah keamanan, identitas, pengakuan, partisipasi dan otonomi; (2) teori
ketidakadilan dan ketidaksetaraan yang muncul sebagai masalah-masalah sosial,
budaya dan ekonomi. Faktor struktural merupakan salah satu akar utama konflik
atas sumberdaya alam di Indonesia (Kuswijayanti 2007). Konflik yang terjadi
karena masalah struktural karena adanya ketimpangan atas akses dan kontrol
terhadap sumber daya (Firti 2014; Flower et al. 2023). Secara garis besar ada
beberapa teori yang menyebabkan terjadinya konflik sosial yaitu (Fisher 2000) :
(1) Teori hubungan masyarakat (community relation theory). Teori ini
beranggapan bahwa konflik terjadi karena polarisasi,
ketidakpercayaan dan permusuhan diantara kelompok yang berbeda
di dalam masyarakat.
(2) Teori negosiasi prinsip (principled negotiation theory), teori ini
beranggapan bahwa konflik disebabkan oleh karena posisi yang tidak
seimbang/tidak selaras dan pandangan zero sum yang diambil oleh
pihak-pihak yang berkonflik.
(3) Teori kebutuhan manusia (human needs theory), teori ini berasumsi
bahwa konflik yang berakar dalam masyarakat disebabkan oleh tidak
terpenuhinya kebutuhan dasar manusia (fisik, psikologi dan sosial).
Keamanan, identitas, pengakuan dan otonomi adalah beberapa poin
yang sering disebutkan.
(4) Teori identitas (identity theory), konflik disebabkan oleh perasaan
adanya ancaman terhadap identitas, yang berakar pada hilangnya
sesuatu atau penderitaan dimasa lalu yang tidak terselesaikan.
(5) Teori kesalah pahaman antar budaya (intercultural miscommunication
theory, konflik disebabkan oleh ketidak cocokkan dalam cara-cara
komunikasi antara budaya yang berbeda.
Ritzer (2003) menjelaskan ada tiga ide pokok yang mendasari terjadinya
konflik. Pertama bahwa masyarakat selalu berada dalam proses perubahan yang
ditandai dengan adanya pertentangan terus menerus diantara unsur-unsurnya.
Kedua, setiap elemen akan memberikan sumbangan pada disintegrasi sosial.
Ketiga keteraturan yang terdapat dalam masyarakat disebabkan oleh adanya
tekanan atau pemaksaan kekuasaan dari atas oleh golongan yang berkuasa.
Marx dalam Turner (1998) dalam Syaf (2010) mengatakan bahwa mereka
yang tersubordinasi akan menjadi peduli terhadap kepentingan kolektif mereka
atas dominasi kelompok ordinat dengan mempertanyakan pola distribusi 16
sumberdaya alam yang tidak merata tersebut. Akibatnya adalah rusaknya relasi
(hubungan) antara kelompok ordinat dengan kelompok subordinat disebabkan
disposisi aleanatif yang diciptakan oleh kelompok ordinat terhadap kelompok
subordinat. Dalam kondisi seperti ini, kelompok subordinat membangun kesatuan
ideologi untuk mempertanyakan sistem yang berlangsung dan melakukan
”perlawanan” melalui kepemimpinan kolektif terhadap kelompok ordinat. Hal inilah
yang kemudian menyebabkan polarisasi antara kelompok ordinat dengan
kelompok subordinat yang berkepanjangan.
Mac.Neil et.al (1991) dalam Kinseng (2007) bahwa konflik yang
disebabkan oleh perubahan iklim, pencemaran lingkungan, kelangkaan sumber
daya air dan sumber daya lainnya akan menjadi ancaman terhadap masa depan
dunia. Masalah konflik penggunaan lahan dapat mempengaruhi pembangunan
berkelanjutan wilayah. Adanya konflik penggunaan lahan penting untuk
mengoordinasikan tujuan pembangunan regional, menerapkan pengendalian
konflik penggunaan lahan secara efektif, dan menentukan orientasi pembangunan
ruang teritorial. Namun, konflik penggunaan lahan bukan hanya masalah sosial
tetapi juga masalah geografis (Bao et al. 2021). Pola penataan ruang wilayah
berbasis mediasi potensi konflik dalam pemanfaatan lahan merupakan upaya
yang dilakukan untuk mencapai pembangunan yang berkualitas dan kondusif
bagi peningkatan kualitas ruang wilayah dan efisiensi pemanfaatan. Namun,
dengan pesatnya perkembangan urbanisasi dan industrialisasi, permintaan lahan
konstruksi secara bertahap meningkat, lahan produksi pertanian dirambah dan
dihancurkan, dan hilangnya lahan ekologis, yang memicu konflik penggunaan
lahan, pembangunan berkelanjutan tata ruang lahan menghadapi tantangan
(Schulze et al. 2021). Dengan studi mendalam tentang konflik penggunaan
lahan, para peneliti secara bertahap menyadari bahwa konflik penggunaan
lahan adalah hal tidak dapat dihindari dari pembangunan sosial dan tidak
dapat diselesaikan dengan satu pendekatan tetapi harus dilaksanakan dengan
perencanaan tata ruang dan wilayah yang terukur (Chen dan Cai 2022).
2.3 Konsep Tanah Timbul
Proses terbentuknya tanah timbul dari hasil erosi di hulu sungai atau akibat
terjadinya abrasi pantai yang kemudian adanya sedimentasi pada muara sungai
ataupun pesisir pantai, lambat laun endapan tersebut membentuk sebuah
hamparan yang pada lokasi yang mempunyai arus sungai dan gelombang air laut
yang rendah (Hidayat 2021). Fenomena kemunculan tanah timbul pada ekosistem
hutan mangrove di wilayah pesisir akibat adanya proses sedimentasi di sekitar
hutan merupakan fenomena yang secara luas terjadi hampir di seluruh pesisir di
Indonesia (Setiamurti 2015; Nurfadilah 2016). Perubahan sifat fisik lahan dengan
munculnya fenomena tanah timbul mengakibatkan adanya perubahan kepemilikan
lahan dan kebijakan dalam pengelolaannya (Dewi 2012; Septianto 2019). Tanah
timbul yang muncul memberikan harapan baru bagi masyarakat (Muhibbin 2015;
Christian et al. 2019; Hidayat 2021). Selanjutnya Turisno dan Sudaryatni (2004)
mengemukakan bahwa munculnya tanah timbul di wilayah pesisir adalah karena
adanya erosi tanah di hulu sungai sehingga menyebabkan sedimentasi di muara
sungai atau pun di tepi pantai. Tanah timbul tersebut mempunyai nilai ekonomis
yang sangat tinggi bagi masyarakat (Nurfadilah 2016; Christian et al. 2019).
Namun, bagi pemilik lahan pada lahan yang semula belum muncul tanah timbul,
kemudian terabrasi dan hilang, dan setelah dilakukan rehabilitasi hutan mangrove
muncul kembali maka mereka tidak mempunyai hak kepemilikan lagi seperti
semula (Dewi 2012).
Tanah timbul berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat 3
dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1 Undang-Undang Pokok Agraria
Nomor 5 Tahun 1960, bumi air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai
organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Hak mengatur dan menguasai oleh Negara
ini memberi wewenang untuk: a). mengatur dan menyelenggarakan peruntukan,
penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa, hal ini
termasuk pengaturan penatagunaan tanah timbul; b). menentukan dan mengatur
hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang-
angkasa, dalam hal ini termasuk tanah timbul; c). menentukan dan mengatur
hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum
yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa, dalam hal ini termasuk tanah timbul.
Atas dasar hak menguasai dari Negara ditentukan adanya macam-macam hak
atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan
dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-
orang lain serta badan-badan hukum, baik swasta maupun pemerintah (Hidayat
2021).
Berdasarkan penjelasan di atas, peran negara sangat besar dalam
pengaturan tanah timbul walaupun kenyataannya di lapangan sudah banyak
dikuasai oleh masyarakat maupun badan hukum sebagaimana pendapat tanah-
tanah yang dikuasai oleh negara dengan hubungan hukum yang bersifat publik
(Muhibbin 2015; Septianto 2019; Hidayat 2021). Sesuai dengan ketentuan yang
telah disebutkan, penggunaan istilah tanah timbul oleh Sembiring (2016)
merupakan tanah negara yang secara definisi atau pengertian merupakan tanah
yang belum dilekati oleh suatu hak dan karena suatu peristiwa menjadi tanah
negara. Lebih lanjut keragaan penatagunaan tanah timbul telah menjadi salah satu
persoalan pertanahan yang muncul di wilayah pesisir Indonesia menyangkut hak
kepemilikannya. Tanah timbul menjadi lokasi konflik sosial yang bersifat laten di
tengah ketidakpastian pengetahuan hukum yang ada di tengah masyarakat
mengenai siapa yang memiliki hak atas tanah tersebut (Xu et al. 2009; Christian
et al. 2019; Kangas et al. 2022). Ironisnya lagi belum ada data valid yang dapat
merepresentasikan tanah timbul baik dari sisi sebaran maupun luasan (Muhibbin
2015). Selain itu, siklus konflik sangat penting untuk memahami pola, durasi waktu,
fokus dan lokasi yang tepat untuk penerapan strategi penyelesaian konflik
pertanahan/agraria.

2.4 Konsep Aktor Kepemilikan


Dorongan di antara yang berkuasa, dan mereka yang menginginkan
kekuasaan, untuk menggunakan hukum dan formalitas yang ada (Foucault 1991,
Hall et al. 2011, Roberts 2005, Sikor dan Lund 2009). Dengan kekuasaan sebagai
otoritas yang sah dan dengan mengambil kepemilikan tanah sebagai properti
melalui instrumen hukum dan kebijakan pemerintah, para pemilik tanah yang
paling kaya menganggap mereka membangun posisi hegemonik penguasaan
tanah yang tidak dapat diubah. Ketika penutupan dan penggusuran disetujui oleh
undang-undang dan rencana pembangunan, dan ketika (kembali) kepemilikan
tanah disetujui oleh sertifikat, konsesi, dan instrumen lainnya, hubungan properti
diharapkan akan stabil (Peluso dan Lund 2011).
Ketika tanah menjadi hak milik, atau ketika kebijakan perdagangan karbon
membuat komoditas internasional keluar dari hutan desa, ruang baru ini
didominasi oleh klaim sebagai barang pasar 'global' atau 'nasional': mereka adalah
wilayah yang menghasilkan komoditas. Label baru merupakan strategi diskursif
baru untuk membangun akal sehat jenis baru, menormalkan logika komoditas atau
konservasi, dan apa yang disebut McAfee (1999) 'menjual alam untuk
menyelamatkannya'. Mereka segera atau pada akhirnya mengambil hak dan
kekuatan pengambilan keputusan dari pengguna sebelumnya. Oleh karena itu,
ketika badan-badan pembangunan internasional dan LSM berharap untuk
mempengaruhi hukum dan kebijakan 'dari jarak jauh', ini bukanlah operasi yang
terpisah. Upaya untuk memformalkan, melegalkan, dan melegitimasi semuanya
dapat membantu membuat keputusan dan kekuasaan melekat. Namun,
'kelekatan' jangka panjang tidak hanya bergantung pada hukum. Seperti yang kita
ketahui, hegemoni bukanlah sesuatu yang statis atau tidak tertandingi; itu tentatif,
sementara, dan tidak lengkap (Gramsci 1971).
Sebelumnya, Ostrom dan Schlager (1996) dalam Satria (2009); Ostrom
dan Hess (2007) membedakan tipe-tipe hak kepemilikan berdasarkan status
kepemilikan sumberdaya sebagai berikut:
a) Hak Akses (Acces right) : Hak untuk masuk ke wilayah sumberdaya yang
memiliki batas-batas yang jelas dan untuk menikmati manfaat non-
ekstraktif;
b) Hak Pemanfaatan (Withdrawal right): Hak untuk memanfaatkan
sumberdaya atau hak untuk berproduksi;
c) Hak Pengelolaan (Management right): Hak untuk menentukan aturan
operasional pemanfaatan sumberdaya;
d) Hak eksklusi (Exclusion right): Hak untuk menentukan siapa yang boleh
memiliki hak akses dan bagaimana hak akses tersebut dialihkan kepada
pihak lain;
e) Hak pengalihan (Alienation right) : Hak untuk menjual atau menyewakan
sebagian atau seluruh hak-hak kolektif tersebut di atas.
Authorized entrant merupakan pihak yang hanya memiliki hak akses.
Sementara pihak yang memiliki hak akses dan hak pemanfaatan disebut sebagai
authorized user. Status claimant merujuk pada pihak yang memiliki hak akses, hak
pemanfaatan dan hak pengelolaan. Pihak yang memiliki hak akses, hak
pemanfaatan, hak pengelolaan hingga hak eksklusi dikategorikan sebagai
proprietor. Adapun pihak yang memiliki seluruh hak termasuk hak pengalihan
disebut sebagai owner.

Tabel 2. Status Kepemilikan Sumber Daya Alam


Tipe Hak Owner Propietor Claimant Authorized Authorized
Used Entrat
Akses     
Pemanfaatan    
Pengelolaan   
Eksklusi  
Pengalihan 
Sumber: Ostrom and Schlager (1996) dalam Satria (2009)
Berdasarkan hak kepemilikan maka sumber daya dapat dibagi menjadi
empat tipe kepemilikan (Bromley 1992) yaitu : (1) Akses terbuka (open access):
tidak ada hak penguasaan/pemilikan atas sumber daya. Sumber daya terbuka dan
bebas diakses oleh siapapun, tidak ada regulasi yang mengatur tentang kapan,
dimana dan siapa saja yang berhak, terjadi persaingan bebas (free of all), hak-hak
kepemilikan (property right) tidak didefinisikan dengan jelas; (2) Milik negara (state
property) : hak pemanfaatan sumber daya alam secara ekslusif dimiliki oleh
pemerintah. Pemerintah memutuskan tentang akses dan tingkat eksploitasi
sumber daya alam. Rezim negara berada di tingkat daerah hingga pusat. Hak
kepemilikan ini berlaku pada sumber daya yang menjadi hajat hidup orang banyak.
Intervensi pemerintah adalah dalam mengatur pengelolaan sumber daya yang
bertujuan untuk alokasi, keadilan dan stabilisasi yang bersifat formal.
Kontrol tanah menjadi praktik-praktik yang memperbaiki atau
menggabungkan bentuk-bentuk akses, klaim, dan pengecualian untuk beberapa
waktu. Proses penutupan, teritorialisasi, dan legalisasi, serta pemaksaan dan
kekerasan (atau ancamannya), semuanya berfungsi untuk menguasai tanah.
Mekanisme kontrol lahan tidak harus selalu sejajar, atau berjalan dalam satu arah,
linier. Mereka mungkin digunakan dalam konser atau kompetisi satu sama lain
(Peluso dan Lund 2011). Mengacu pada Derek Hall dan Tania li (2011) tentang
empat faktor kuasa yang dapat mengekslusi (power of exclusion) masyarakat dari
tanah yang bisa juga diaplikasikan pada sumber daya lain. Menurutnya faktor –
faktor tersebut adalah: (1) peraturan (regulation, pasar (market), legitimasi
(legitimation), dan paksaan (force).
Aktor dalam suatu situasi bisa dianggap sebagai individu tunggal atau
sebagai kelompok yang berfungsi sebagai aktor korporat (Ostrom 2011). Masing-
masing aktor di dalam masyarakat memiliki kepentingan dan sumber daya yang
berbeda sehingga dalam interaksinya ditentukan oleh besarnya kekuatan yang
dimiliki dan jaringan yang dibangun di dalam masyarakat. Jaringan aktor
memperjuangkan tujuannya melalui aksi bersama sesuai dengan permasalahan
yang dihadapi bersama (Canadas et al 2016). Selanjutnya, jenis modal yang dapat
menentukan posisi aktor, yaitu modal ekonomi, modal sosial, modal budaya dan
modal simbolik (Bourdieu dan Wacquant dalam Alamsyah 2010).
Relasi kuasa dalam ekologi politik terbentuk dari kekuasaan (power)
sebagai kontrol salah satu pihak terhadap sumber daya alam atas pihak lainnya
(Adams dalam Bunker dalam Bryant 1997). Lebih jauh Bryant menjelaskan bahwa
kekuasaan memainkan peranan dalam interaksi antara manusia dengan
lingkungannya. Dari pengertian-pengertian diatas terlihat bahwa pendekatan aktor
merupakan pusat kajian dari ekologi politik, untuk menjelaskan perubahan
lingkungan yang terjadi yang dilatarbelakangi oleh berbagai kepentingan.
Ada banyak cara yang dilakukan oleh aktor untuk mengontrol lingkungan
aktor lain yaitu : (1) Salah satu aktor dapat mengontrol akses aktor lain terhadap
sumber daya seperti tanah, hutan, air, kehidupan laut atau darat, dan mineral yang
bertujuan untuk memonopoli nilai manfaat dari sumber daya tersebut, (2)
Mengontrol lingkungan aktor lain melalui proyek-proyek sosial dan lingkungan,
aktor dapat mempengaruhi pengelolaan lingkungan yang menjadi prioritas negara,
(3) Salah satu aktor dapat mengontrol lingkungan aktor pihak lain melalui caracara
tidak langsung melalui wacana (diskursus), kekuasaan tidak hanya mengontrol
materi tapi juga merupakan usaha untuk mengatur ide (Bryant 1997). Bryant dan
Bailey (1997) melihat ada beberapa aktor yang terkait dengan perubahan
lingkungan yaitu negara (the State), lembaga multilateral (multilateral institutions),
pengusaha (business), NGO lingkungan (environmental nongovernmental
organisations), dan aktor lokal (grassroots actors). Kelima aktor tersebut di atas
memainkan peran dan memiliki kepentingan yang berbeda dan mengusung
wacana atau diskursus yang berbeda dalam mempengaruhi lingkungan dan
sumber daya alam (Firti 2014)
Untuk mengonseptualisasikan hubungan akses, properti, dan otoritas,
mengacu Ribot dan Peluso (2003) dalam A Theory of Access, akses mengacu
pada kemampuan aktor yang berbeda untuk mendapatkan keuntungan dari
hal-hal termasuk objek material, orang, institusi, dan simbol (Ribot dan Peluso
2003). Properti adalah akses berbasis hak (Ribot dan Peluso 2003), diakui
oleh aktor dan ditegakkan oleh otoritas politik yang memiliki legitimasi untuk
melakukannya (Lund 2008). Menurut Sikor dan Lund (2009), otoritas dapat
dianggap sah jika interpretasi mereka terhadap norma sosial diperhatikan
oleh aktor sosial lainnya.
Sementara itu, Peluso dan Lund (2011) menyatakan bahwa penguasaan
lahan adalah praktek-praktek yang merekonstruksi ulang atau
mengkonsolidasikan kembali bentuk akses, klaim, dan eksklusi selama beberapa
waktu tertentu. Mekanisme penguasaan lahan dapat dilakukan melalui beberapa
cara antara lain; enclosure, teritorialisasi, legalisasi, serta kekerasan (ancaman).
Semua hal tersebut berfungsi sebagai alat untuk mengontrol lahan. Mekanisme
kontrol lahan tidak perlu selalu saling menyelaraskan, atau dalam bentuk tunggal,
arah linear. Mereka bisa terdapat dalam satu persaingan atau kontestasi diantara
satu sama lain. kekuasaan memainkan peranan dalam interaksi antara manusia
dengan lingkungannya (Bryant 1997).
Dipaparkan juga oleh Reed et al. (2009) menjelaskan rangkaian analisis
peran untuk mengetahui kekuatan dan kepentingan. Berdasarkan kepentingan
atau ketertarikan dan pengaruh kelompok, maka perumusan kelembagaan
pengelolaan hutan dipahami dengan mengetahui: siapa aktor kunci, interaksi aktor
dan kekuatan aktor. Hal ini dibangun untuk mengetahui permasalahan dan solusi
permasalahan. Dolsak dan Ostrom (2003) menjelaskan bahwa salah satu faktor
yang mempengaruhi kelembagaan adalah karakteristik pengguna.
Berbagai otoritas politik dengan berbagai kapasitas, rentang legitimasi,
atau otoritas yang sudah ada sebelumnya dan yang lebih baru bersaing
satu sama lain (Peluso dan Lund 2011). Mereka berusaha untuk membentuk
hak yang berbeda dan seringkali bersaing sebagai properti (Sikor dan Lund
2009). Aktor yang terlibat dengan pihak berwenang, seperti pemerintah
setempat atau badan pertanahan nasional, secara aktif menciptakan kembali
skala regulasi. Aktor mungkin memiliki kemampuan untuk menghindari otoritas
politik yang tidak bertindak sesuai dengan tujuan mereka. Untuk melegitimasi
klaim tanah sebagai properti, mereka mungkin perlu menggunakan skala
regulasi yang lebih tinggi atau lebih rendah atau, dalam Smith (2008), mereka
mungkin perlu “melompati skala” untuk mengakses otoritas politik yang
mendukung kepentingan mereka (Zulu 2009).

2.5 Konsep Relasi Kuasa


Otoritas yang melekat pada posisi merupakan unsur kunci dalam analisis
Dahrendorf. Dalam Ritzer (2016), Dahrendorf memusatkan perhatiannya pada
struktur sosial yang lebih besar. Otoritas tidak terdapat pada diri individu, namun
pada posisi. Otoritas selalu berarti subordinat dan superordinat. Mereka yang
menduduki posisi otoritas atau superordinat akan mengendalikan subordinat, jadi
mereka mendominasi karena harapan dari mereka yang mengelilinginya, bukan
karena karakteristik psikologisnya. Seperti halnya otoritas, harapan-harapan ini
melekat pada posisi, bukan orang. Otoritas bukanlah fenomena sosial yang dapat
digeneralisasikan; mereka yang dikendalikan, maupun ranah control yang
diizinkan, ditentuka ditengah-tengah masyarakat.
Menurut Dahrendorf dalam Ritzer (2016), otoritas bukan merupakan
sesuatu yang bersifat konstan. Sehingga, seseorang yang memegang otoritas
pada satu setting tidak berarti menduduki posisi sebagai pemegang otoritas pada
setting lain. Senada dengan itu, seseorang yang berada pada posisi subordinat
dakan suatu kelompok bisa jadi berada pada posisi superordinat dalam kelompok
lain.
Berbeda dengan para pemikir lain yang telah menguraikan konsep-konsep
kekuasaan, Foucault menampilkan suatu perspektif kekuasaan secara baru.
Menurut Foucault, kekuasaan bukanlah sesuatu yang hanya dikuasai oleh negara,
sesuatu yang dapat diukur. Kuasa ada di mana-mana dan muncul dari relasi-relasi
antara pelbagai kekuatan, terjadi secara mutlak dan tidak tergantung dari
kesadaran manusia. Kekuasaan hanyalah sebuah strategi. Strategi ini
berlangsung di mana-mana dan disana terdapat sistem, aturan, susunan dan
regulasi. Kekuasaan ini tidak datang dari luar, melainkan kekuasaan menentukan
susunan, aturan dan hubungan-hubungan dari dalam dan memungkinkan
semuanya terjadi (Affandi 2011).
Foucault (2000) menilai bahwa filsafat politik tradisional selalu berorientasi
pada soal legitimasi. Kekuasaan adalah sesuatu yang dilegitimasikan secara
metafisis kepada negara yang memungkinkan negara dapat mewajibkan semua
orang untuk mematuhinya. Namun menurut Foucault, kekuasaan adalah satu
dimensi dari relasi. Di mana ada relasi, disana ada kekuasaan (Foucault 2000). Di
sinilah letak kekhasan Foucault, tidak menguraikan apa itu kuasa, tetapi
bagaimana kuasa itu berfungsi pada bidang tertentu. Kekuasaan merupakan
dimensi kehidupan sosial yang fundamental yang tidak dapat dihindari, dan
kekuasaan mengalami transformasi sejalan dengan sejarah, mengalami
perubahan dari waktu ke waktu dalam bentuk yang berbeda (Yunindyawati 2015).
Adanya pengakuan struktur-struktur yang menjalankan fungsi tertentu dan
dalam struktur itulah kekuasaan mengasalkan dirinya. Dari gagasan kekuasaan
sebagai suatu strategi dan mekanisme, Affandi (2011) memaparkan beberapa
metedologis kekuasaan yang menjadi fokus perhatian Foucault. Pertama; peran
hukum dan aturan-aturan. Foucault mengatakan kuasa tidak selalu bekerja melalui
represif dan intimidasi melainkan pertama-tama bekerja melalui aturanaturan dan
normalisasi‖. Segala aturan dan hukum pertama tidak dilihat sebagai hasil dari
ketentuan pemimpin atau institusi tertentu tetapi sebagai sintesis dari kekuasaan
setiap orang yang lahir karena perjanjian. Segala aturan yang lahir karena
konsensus bersama memiliki kekuatan yang lebih dalam hidup bersama. Kedua,
tujuan kekuasaaan. Tujuan dari adanya mekanisme kekuasaan ialah membentuk
setiap individu untuk memiliki dedikasi dan disiplin diri agar menjadi pribadi yang
produktif. Setiap orang diberi ruang untuk berpikir, berkembang dan dengan bebas
menyampaikan aspirasinya demi kemajuan bersama.
Kekuaaan itu tidak dilokalisasi tetapi terdapat dimana-mana. Kesadaran
akan kekuatan dari suatu negara dan masyarakat tidak dibatasi hanya dari para
pemimpin tetapi atas kerjasama setiap pribadi dan lembaga yang memiliki
orientasi produktif. Misalnya, dengan adanya ruang komunikasi antara pemimpin
dan warganya, kesatuan tercipta dalam suasana dialogis dan mengarah kepada
cita-cita bersama. Keempat, kekuasaan yang mengarah ke atas. Dalam arti ini,
kekuasaan setiap orang dan lembaga dikomunikasikan sedemikian rupa sehingga
membentuk konsensus bersama. Dengan kata lain hasil dari proses komunikasi
kekuasaan bersama akan menghasilkan kekuasaan bersama. Kelima, kombinasi
antara kekuasaan dan ideologi. Setiap anggota dalam masyarakat kurang lebih
memiliki impian yang sama yaitu adanya pengakuan, hal setiap orang yang terarah
pada kesejahteraan bersama. Harapan ini harus berjalan bersama dengan
kekuasaan bersama. Segala hukum dan aturan diarahkan untuk mencapai tujuan
tersebut.
Dalam konteks penelitian ini, eksisnya berbagai hak dalam pengelolaan
sumber daya pesisir seperti state property right, private property right, communal
property right, yang dijalankan oleh berbagai individu/kelompok menunjukan pola
hubungan relasional yang mengarah pada kekuasaan distributif (pola kekuasaan
yang menyebar). Masing-masing pihak memiliki entitas aturan, hukum, otoritas
dan legitimasi dalam menjalankan kekuasaan atas klaim hak kepemilikan yang
dimiliki. Relasi kuasa antar kekuatan-kekuatan di atas berlangsung dalam arena
yang sama maupun berbeda. Dalam arena yang sama, relasi kuasa antar pihak
bisa berlangsung dalam kondisi yang asosiatif, kompromistis, kompetisi, atau
bahkan berkembang dalam wilayah konflik untuk menegaskan kekuasaannya
masing-masing. Dalam arena pengelolaan wilayah pesisir, negara, swasta,
masyarakat, LSM, maupun pihak lainnya memiliki relasi kuasa yang dinamis
tergantung dari kesadaran, strategi, ideologi, maupun tujuan yang hendak dicapai.
Beberapa ahli yang fokus pada penelitian hubungan kekuasaan dengan
lingkungan merumuskan pendekatan-pendekatan baru dalam mengembangkan
analisis atas hubungan kekuasaan, ekologi, ekonomi, dan politik untuk mengurai
lebih jauh dan dalam dinamika pengelolaan sumberdaya alam. Dalam hal ini,
Ostrom (1990) meletakan dasar analisis kekuasaan atas akses sumber daya
dengan pendekatan hak kepemilikan (property right). Kekuasaan atas pengelolaan
sumber daya ditekankan pada atribut hak (boundle of right) yang dimiliki pada
seseorang/sekelompok orang. Berbeda dengan Ostrom, arena analisis Ribbot dan
Pelusso (2003) mencoba menelaah lebih dalam tentang kekuasaan atas
kepemilikan sumber daya yang tidak hanya bisa dijelaskan secara kaku atas dasar
klaim kepemilikan hak (boundle of right) sebagaimana dijelaskan oleh Ostrom.
Bahwa kekuasaan atas sumber daya sangat bisa ditentukan oleh akses (boudle of
power). Kekuasaan yang melekat pada aktor dapat dimanfaatkan untuk
mempengaruhi kemampuan seseorang dalam mengambil manfaat (akses) atas
sumber daya. Akses bisa saja didapatkan secara legal, ilegal, maupun hasil dari
hubungan paralelitas antara yang legal dan yang ilegal. Paralelitas ini pada
akhirnya menentukan bagaimana keuntungan diperoleh, dikontrol dan dipelihara.
Akses paralel ini merupakan kesatuan dari power (bundle of power) yang bisa saja
berupa teknologi, modal, pasar, pekerja, pengetahuan, otoritas, identitas, dan
hubungan sosial.
Bryant (1998) dalam tulisannya Power, Knowledge, and Political Ecology
in the third world: a Review. menegaskan perspektif yang lebih luas lagi dengan
melibatkan hubungan-hubungan kekuasaan yang tidak setara. Hubungan tersebut
merupakan dampak dari politisasi lingkungan (politicized environment) dan
merupakan tema sentral dalam kajian ekologi politik. Konflik atas akses sumber
daya lingkungan terkait dengan kontrol atas sistem politik dan ekonomi yang
dikonstruksi melalui persepsi dan wacana spesifik atas masalah lingkungan dan
intervensi yang juga dieksplorasi melalui perdebatan tentang pengetahuan lokal
(indigebous knowledge) dan pengetahuan sains barat (western scientific
knowledge). Relasi kuasa yang terjadi pada berbagai kasus pertanahan pada
dasarnya terbentuk dari dinamika kontestasi akses dan properti yang dilegitimasi
oleh institusi politik formal. Setiap aktor berupaya agar klaim atas aksesnya
terhadap sumberdaya dapat diakui sebagai property.

2.6 Kerangka Pemikiran


Tanah timbul yang berada Pulau Pasaran, termasuk dalam state property
regime dikuasai oleh Negara. Sesuai dengan UUPA 1960, masyarakat dapat
memiliki hak kuasa atas tanah timbul dengan sepengetahuan dan izin dari Negara.
Masyarakat Pulau Pasaran melakukan perluasan secara kolektif melalui
penimbunan mandiri untuk dapat memanfaatkan tanah timbul sebagai lahan
pemukiman. Masyarakat menimbun sampah dan membuat patok-patok di laut
yang nantinya menjadi lahan penimbunan. Masyarakat telah melakukan
pengembangan lahan informal di tanah timbul tersebut. Melalui pendekatan “Teori
Akses” yang dikembangkan oleh Ribot dan Peluso (2003) mengemukakan akses
sebagai kemampuan untuk mendapatkan keuntungan dari sesuatu, termasuk
objek material, sebagaimana kemampuan untuk mendapatkan kuntungan dari
sesuatu; termasuk objek material, individu, institusi dan simbol-simbol. Akses
dapat memberikan ruang yang lebih luas yang dapat membuat individu atau
kelompok mendapatkan keuntungan sumber daya. Ada beberapa power yang
dapat mempengaruhi akses, diantaranya adalah teknologi, kapital, pasar, tenaga
kerja, pengetahuan, otoritas, identitas sosial dan relasi sosial. Konsep akses
ditujukan untuk memfasilitasi analisis grounded mengenai siapa yang
sesungguhnya mendapatkan keuntungan dari sesuatu dan melalui proses apa
serta bagaimana ia melakukannya.
Tanah Timbul

Aktor Pola Akses

 Reklamasi by people
 Reklamasi by nature
Peta Aktor Tipologi Akses

Analisis Teori
Ribbot &
Peluso

Dinamika Hubungan Sosial


Ekologi

Keterangan
Komponen yang Dianalisis
Pengaruh
Hubungan

2.7 Definisi Operasional


Definisi operasional dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Tanah timbul adalah kondisi geografis yang menyebabkan perubahan
pada lanskap di Pulau Pasaran.
2. Aktor-aktor adalah pihak-pihak yang ingin mendapatkan penguasaan
terhadap sumberdaya berupa tanah rimbul.
3. Akses tanah timbul adalah upaya yang dilakukan dalam mendapatkan atau
memanfaatkan tanah timbul.
4. Konflik penguasaan tanah timbul adalah konflik mengenai siapa yang
memiliki hak atas tanah timbul tersebut.
III. METODE

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilakukan di Pulau Pasaran, Kelurahan Kota Karang,
Kecamatan Teluk Betung Timur, Kota Bandar Lampung. Penelitian ini dilakukan
pada bulan Agustus 2023 hingga Oktober 2023. Pemilihan lokasi penelitian
dilakukan secara sengaja dengan pertimbangan bahwa lokasi merupakan daerah
tanah timbul yang dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai pemukiman. Selain itu
secara geografis berada di wilayah pesisir dan sebagian sumber pendapatan
masyarat berasal dari sektor perikanan. Untuk lebih jelasnya lokasi penelitian
dapat dilihat pada gambar 1.
Gambar 1. Peta Pulau Pasaran

Sumber : Gemilau, 2021

Rencana penelitian ini dimulai pada bulan Mei 2023 berupa studi literature
dari berbagai referensi. Kemudian pada bulan Juni 2023 melaksanakan kolokium.
Dari bulan Juli hingga Sepetember 2023 melakukan pengambilan data setelah
kolokium. Setelah data yang dikumpulkan dirasa cukup, maka peneliti memulai
untuk menganalisanya, khawatir jika ada data yang perlu dibenahi maka peneliti
mengcross check ulang data tersebut di bulan Oktober. Jika data sudah sesuai
maka peneliti memulai untuk menganisanya dibulan Novermber. Kemudian
setelah data didapat dilakukan pengolahan data dan penulisan tesis pada bulan
Desember. Sehingga pada bulan Januari 2024, peneliti bisa melakukan seminar
hasil penelitian.Berikut rencana waktu penelitian yang disajikan dalam tabel 3.
Tabel 3. Rencana waktu penelitian
N Kegiatan Mei Juni Juli- Okto- Des Januari Februar
o Sept Nov i

1 Studi
literatur
2 Penyusun
an
proposal
penelitian
3 Kolokium
4 Survei
lokasi
5 Pengambil
an data
6 Analisis
data
7 Penyusun
an tesis
8 Seminar
Hasil
9 Sidang

3.2 Metode Penelitian


Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yakni dengan pendekatan
yang bertujuan untuk menganalisis lebih lanjut bagaimana proses terbentuknya
tanah timbul, aktor-aktor yang dapat mengaksesnya dan bagaimana potensi
konflik yang terjadi. Selain itu penelitian ini juga didukung oleh metode kuantitatif.
Metode yang digunakan dalam memperoleh data kualitatif dengan melakukan
wawancara mendalam (in-depth interview) antara peneliti dan informan dalam
rangka memahami pandangan mengenai kondisi sosial yang sedang terjadi
tentunya dibantu dengan panduan wawancara kepada informan, didukung juga
dengan pengolahan data sekunder dan observasi. Selanjutnya data kualitatif
disajikan secara deskriptif. Metode kuantitatif dilakukan melalui survei
pengumpulan data dengan alat penelitian berupa kuesioner. Dengan metode yang
digunakan diharapkan penelitian dapat diaplikasikan saat peneliti memiliki
pertanyaan yang perlu diuji dari segi outcomes dan prosesnya. Creswell (2016)
mendefinisikan mix method sebagai desain penelitian yang memberikan panduan
saat mengumpulkan dan menganalisis data dan pencampuran antara pendekatan
keduanya dilakukan pada saat proses penelitian.
3.3 Penentuan Informan
Informan yang dimintai keterangannya diharapkan menguasai, memahami
data, keterangan atau fakta yang ada. Menurut (Sugiyono 2012), berikut kriteria
yang cocok dijadikan informan, yaitu:
a. Orang yang menguasai atau memahami sesuatu melalui proses
pengkodean, sehingga sesuatu itu tidak hanya diketahui, tetapi juga
diinternalisasi,
b. Orang yang tergolong, terlibat atau berpartisipasi dalam kegiatan
yang sedang diteliti,
c. Orang yang memiliki cukup waktu untuk dimintai memberikan
informasi,
d. Orang yang tidak cenderung menyapaikan informasi semaunya
sendiri.

3.4 Metode Analisis Data


Proses analisis daya kualitatif dimulai dengan menelaah seluruh data yang
tersedia dari berbagai sumber. Setelah dibaca, ditelaah dan dipahami maka
selanjutnya mengadakan reduksi data dengan cara membuat abstraksi3.
Selanjutnya membuat koding yang sudah dikategorisasikan, kemudian melakukan
keabsahan data yang diikuti dengan penafsiran data (Moleong 2007).
Analisis data pada penelitian ini merujuk pada analisis yang disampaikan
Moleong (2007); yakni pertama, peneliti akan mencatat semua hasil yang
diperoleh dari wawancara dan observasi di lapangan, kemudian memberi kode
demi menelusuri data-data yang dianggap perlu untuk lebih didalami dan
dipaparkan. Kedua, sebab data yang diperoleh dari lapangan memungkinkan
jumlahnya besar dan banyak serta bervariasi, maka peneliti mengumpulkan
semua data, kemudian mentranskrip, setelahnya memilah data lapangan agar
peneliti dapat membuat klasifikasi mana data yang masih perlu utuk diklarifikasi
dan mana data yang sudah cukup sehingga tidak perlu diklarifikasi lagi. Ketiga,
peneliti mencari tema dan pola untuk melakukan penyajian data yang dibuat dalam
uraian singkat, bagan, atau sejenisnya. Selanjutnya dilakukan penarikan
kesimpulan awal hasil dari analisis yang bersifat sementara. Proses analisis
dilakukan hingga pada tahap dimana data telah dilakukan pembenahan yang
berulang-ulang sehingga semua data yang dikumpulkan sudah jenuh.

3
Abstraksi merupakan kegiatan membuat rangkuman inti dari proses berupa pernyataan-
pernyataan yang perlu dipertahankan.
Daftar Pustaka
Andersson, K. 2017. Understanding decentralized forest governance: An
application of the institutional analysis and development framework.
Sustainability: Science, Practice and Policy, 2(1), 25–35.
https://doi.org/10.1080/15487733.2006.11907975.
Bryant Corolie dan Louise. G. White. 1998. Manajemen Pembangunan (Alih
Bahasa Riyanto. L), Jakarta: LP3ES
Bryant. 1997. Beyond The Impasse : The Power of Political Ecology in Third World
Environment Research. Area (1997) 29.1, 5-19.
Banan AF. 2014. Sustainability evaluation and analysis of NGO methodological
approach of development projects in West Bank/Global Communities NGO,
West Bank. World SB 14.
Chen L, Cai H. 2022. Study on land use conflict identification and territorial spatial
zoning control in Rao River Basin, Jiangxi Province, China. Ecol. Indic.
145(August):109594.doi:10.1016/j.ecolind.2022.109594.
Christian Y, Budiman Ma, Fahrudin A, Santoso N. 2019. Coastal Of Ujung Pangkah
, Gresik , East Java. 5(2):230–243.Doi:10.31292/Jb.V5i2.374
Creswell JW. 2016. Research design (pendekatan metode kualitatif, kuantitatif,
dan campuran). Yogyakarta: Penata Aksara.
Dewi IGAGS. 2012. Konflik status hukum tanah timbul di Wilayah Pesisir Provinsi
Bali. Masal. Huk. 41(4):614–621.
Firti NE. 2014. Kontestasi aktor dan kepentingan terhadap sumber daya air di
sukabumi. IPB University.
Flower BCR, Ganepola P, Popuri S, Turkstra J. 2023. Land Use Policy Securing
tenure for conflict-affected populations : A case study of land titling and fit-for-
purpose land administration in post-conflict Sri Lanka. Land use policy.
125(March 2021):106438.doi:10.1016/j.landusepol.2022.106438.
Foucault, M.2000. Seks dan Kekuasaan. Terj. S. H. Rahayu.PT. Gramedia.Jakarta
Hall D, Hirsch P, Li TM. 2011. Power Of exclusion : Land Dilemas in Southeast
Asia. Singapura [LN]: Nuss Press Singapore.
Hanum ER. 2017. Dinamika Konflik Tanah Timbul Di Pulau Sarinah Kabupaten
Sidoarjo. J. Polit. Indones. 2(1):135–142.
Hein J, Adiwibowo S, Dittrich C, Hein J, Adiwibowo S, Dittrich C, Hein J. 2016.
Rescaling of Access and Property Relations in a Frontier Landscape : Insights
from Jambi , Indonesia. 0124.doi:10.1080/00330124.2015.1089105.
Hidayat, A. T. 2021. Tinjauan Empiris Keragaan Penatagunaan Tanah Timbul di
Desa Singaraja Kabupaten Indramayu Provinsi Jawa Barat. In Seminar
Nasional Hari Air Sedunia; 3,(1): 150-155.
Huggins. 2010. “Land Power and Identity” roots of violent conflict in eastern DRC.
The European Union: International alert.
J. Sembiring. 2016. Pengertian, Pengaturan dan Permasalahan Tanah Negara.
Jakarta: Prenadamedia Group.
Kangas K, Brown G, Kivinen M, Tolvanen A, Tuulentie S, Karhu J, Markovaara-
koivisto M, Eilu P, Tarvainen O, Simil J, et al. 2022. Land use synergies and
conflicts identification in the framework of compatibility analyses and spatial
assessment of ecological , socio-cultural and economic values.
316(May).doi:10.1016/j.jenvman.2022.115174.
Kinseng RA. 2007. Konflik-konflik sumber daya alam dikalangan nelayan di
Indonesia. Jurnal Solidality No 1 Vol 1. Bogor: IPB.
Kleinschmit, D., Bocher, M., & Giessen, L. (2016). Forest policy analysis:
Advancing the analytical approach. Forest Policy and Economics, 68, 1–6.
http://dx.doi. org/10.1016/j.forpol.2016.05.001
Kuswijayanti ER. 2007. Konservasi Sumberdaya Alam Di Taman Nasional Gunung
Merapi : Analisis Ekologp Polltlk. Institut Pertanian Bogor.
Lekatompessy HS, Nessa MN, Arief AA. 2013. Strategi adaptasi nelayan
pulaupulau kecil terhadap perubahan ekologis. Jurnal Pasca Sarjana
Universitas Hasanudin; 2013:15.
http://pasca.unhas.ac.id/jurnal/files/b8e41a786da110597359750867c6c4c7
Li, S., Zhu, C., Lin, Y., Dong, B., Chen, B., Si, B., Li, Y., Deng, X., Gan, M., Zhang,
J., Wang, K., 2021. Conflicts between agricultural and ecological functions and
their driving mechanisms in agroforestry ecotone areas from the perspective of
land use functions. J. Clean. Prod. 317, 128453 https://doi.org/10.1016/j.
jclepro.2021.128453
Liu J, Faure M, Mascini P. 2017. Environmental governance and common pool
resources: A comparison of fishery and forestry.
Lund, C. 2008. Local politics and the dynamics of property in Africa. Cambridge,
UK: Cambridge University Press.
Mony A. 2015. Ekologi Politik Pengelolaan Sumberdaya Pesisir. Studi Kasus
Relasi Kuasa Pengelolaan Sasi Laut di Pulau Haruku. Institut Pertanian Bogor.
Muhibbin M. 2015. Pola Penguasaan Dan Pemilikan Tanah Timbul (Aanslibbing)
Di Pesisir Pantai Utara Laut Jawa. 1(1):42–51.
Moleong, L. J,. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Moor T De. 2015. The Dilemma of the Commoners. Cambridge University Press.
Napitu JP. 2018. Konflik Pemanfaatan, Kelembagaan Serta Pengaruhnya
Terhadap Keberlanjutan Pengelolaan Kawasan Hutan Produksi Pada Kphp
Meranti Provinsi Sumatera Selatan. Institut Pertanian Bogor.
Nurfadilah E. 2016. Analisis Ekonomi Pemanfaatan Tanah Timbul Di Kota Cirebon,
Jawa Barat. Institut Pertanian Bogor.
Ostrom, E., 2011. Background on the institutional analysis and development
framework.
Peluso, N. L., and C. Lund. 2011. New frontiers of land control: Introduction.
Journal of Peasant Studies 38 (4): 667–81.
Pratiwi S, Juerges N. 2022. Digital advocacy at the science-policy interface:
Resolving land-use conflicts in conservation forests. Land use policy.
121(June):106310.doi:10.1016/j.landusepol.2022.106310.
Priyatna. 2013. Akses dan Strategi Aktor-aktor Dalam Pemanfaatan Sumber Daya
Waduk Djuanda. Jurnal Sosek KP. 8(1).
Ran, N., Jin, X., Fan, Y., Xiang, X., Liu, J., Zhou, Y., Shen, C., 2018. “Three Lines”
delineation based on land use conflict identification and coordination in Jintan
District, Changzhou. Resources Science 40, 284–298. doi:10.18402/
resci.2018.02.06.
Ribot JC, Peluso NL. 2003. A theory of access. Rural Sociol. 68(2):153–
181.doi:10.1111/j.1549-0831.2003.tb00133.x.
Ritzer George, Goodman. D. 2003. Teori Sosiologi Modern. Terjemahan Ali
Mandan. Jakarta [ID] : Kencana Prenada Media Group.
Ritzer George, Goodman. D. 2016. Teori Sosiologi “Dari Teori Sosiologi Klasik
Sampai Perkembangan Mukhtahir Teori Sosial Postmodern”. Bantul: Kreasi
Wacana.
Roengtam S, Agustiyara A. 2022. Collaborative governance for forest land use
policy implementation and development Cogent Soc. Sci.
8(1).doi:10.1080/23311886.2022.2073670.
Satria, A. 2009. Ekologi Politik Nelayan. LKIS. Yogyakarta.
Schulze, K., Malek, ˇZ., Verburg, P.H., 2021. How will land degradation neutrality
change future land system patterns? A scenario simulation study. Environ. Sci.
Policy 124, 254–266. https://doi.org/10.1016/j.envsci.2021.06.024.
Septianto M. 2019. Dinamika Penguasaan Tanah Timbul Di Daerah Asal Buruh
Migran Indonesia The Dynamics Of Aanslibbing Tenure In The Origin Area Of
Indonesian Migrant Workers. Volume ke-6.
Septianto M, Kolopaking LM, Adiwibowo S. 2016. Penguasaan Tanah Timbul oleh
Rumah Tangga Buruh Migran Indonesia Control over Coastal Sedimentation
Land by the Indonesian Household Migrant Workers. (17).
Sedarmayanti. (2014). Sumber Daya Manusia dan Produktivitas Kerja. Jakarta:
Mandar Maju
Setiamurti A. 2015. Tanah Timbul Dan Perubahan Sistem Penghidupan Di Dua
Desa (Studi Kasus Desa Klaces Dan Desa Ujung Alang, Kecamatan Kampung
Laut, Cilacap). IPB University
Shohibuddin, M. 2018. Perspektif Agraria Kritis ‘Teori, Kebijakan, dan Kajian
Empiris’. Yogyakarta dan Bogor : STPN Press dan Sajogyo Institute.
Sikor, T., and C. Lund. 2009. Access and property: A question of power and
authority. Development and Change 40 (1): 1–22.
Sita, R. 2014. Pertarungan Kuasa dan Legitimasi Klaim atas Sumberdaya Hutan:
Kasus Hutan Sekitar Restorasi di Kabupaten Batang Hari Provinsi Jambi,
Bogor: IPB.
Smith, N. 2008. Uneven development: Nature, capital, and the production of space.
Athens: University of Georgia Press.
Suzuki T, Achiari H, Higa H, Wiyono A, Soeharno H. 2017. A Study on Coastal
Erosion and Deposition Processes in Subang, Indonesia. (October
2018).doi:10.1142/9789813233812.
Xu X, Peng H, Xu Q, Xiao H, Benoit G. 2009. Land changes and conflicts
coordination in coastal urbanization: A case study of the shandong peninsula in
china. Coast. Manag. 37(1):54–69.doi:10.1080/08920750802612788.
Yunindyawati. 2015. Kuasa Pengetahuan Perempuan dalam Pemenuhan Pangan
Keluarga Petani Padi Sawah Lebak di Kabupaten Ogan Ilir Sumatera Selatan.
IPB - Disertasi.:1–160.
Yu, A.T.W., Wu, Y., Shen, J., Zhang, X., Shen, L., Shan, L., 2015. The key causes
of urban-rural conflict in China. Habitat Int. 49, 65–73. https://doi.org/10.1016/j.
habitatint.2015.05.009.
Zulu, L. C. 2009. Politics of scale and community-based forest management in
southernMalawi. Geoforum 40 (4): 686–99.

Anda mungkin juga menyukai