I3503222019
Dosen Pembimbing
SEKOLAH PASCASARJANA
2023
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Proses sedimentasi merupakan salah satu perubahan lanskap yang
muncul akibat penumpukan material tanah di suatu lokasi perairan baik arus
sungai maupun laut yang didorong oleh intensitas material terlarut, dan kadar
tanah jenuh yang terkandung di dalam air sebagai medianya (Hidayat 2021).
Pembentukan tanah timbul merupakan hasil dari erosi di hulu sungai atau abrasi
pantai yang terjadi, kemudian sedimentasi terjadi di muara sungai atau di pesisir
pantai lambat laun endapan ini membentuk hamparan yang dikenal dengan tanah
timbul, pada lokasi yang mempunyai arus sungai dan gelombang air laut rendah
(Muhibbin 2015). Di sisi lain, pertambahan penduduk yang meningkat sementara
ketersedian tanah yang cenderung tetap mengakibatkan terjadinya permasalahan
terhadap keterbatasan lahan. Ketersediaan tanah garapan yang semakin terbatas
mendorong masyarakat memanfaatkan tanah timbul (Septianto et al. 2016;
Hidayat 2021).
Tanah timbul yang menurut Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 2004
berstatus milik Negara (state property)1. Semestinya hal ini menjadi sandaran atas
kepastian hukum namun di sisi bahwa adanya perspektif pluralisme hukum
mengakui juga adanya penguasaan agraria di luar hukum positif seperti hukum
adat atau ulayat (Liu et al. 2017; Christian et al. 2019). Karakteristik sumberdaya
dari tanah timbul merupakan sumber daya milik bersama (common pool
resources/CPRs)2. Common Pool Resources memiliki ciri yaitu bernilai ekonomi
dan sulit untuk mengeluarkan pengguna potensial untuk memperoleh manfaat dari
penggunaanya. Menurut Ostrom (2003) dalam (Suharti et al. 2016), penggunaan
CPRs yang digunakan oleh satu pengguna dapat mengurangi peluang dari
pengguna lain. Pengelolaan sumberdaya yang CPRs memerlukan tindakan
kolektif untuk pengelolaan yang lestari (Ostrom 1990 dalam Suharti et al 2016;
Moor 2015).
Fenomena sedimentasi yang membentuk tanah timbul mengakibatkan
ketidakjelasan sistem penguasaan dan pemilikan tanah timbul di masyarakat,
serta berimplikasi memicu terjadinya konflik penguasaan lahan (Christian et al.
2019). Keberadaan tanah timbul menjadi salah satu persoalan yang muncul terkait
dengan hak penguasaannya. Tanah timbul menjadi lokus konflik sosial yang
bersifat laten maupun manifes di tengah-tengah ketidakpastian pengetahuan
hukum yang ada mengenai siapa yang memiliki hak atas lahan tanah timbul
tersebut (Muhibbin 2015). Peraturan Menteri Agraria dan Tata Kelola
Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional RI No 11 Tahun 2016 tentang
Penyelesaian Kasus Pertanahan bersamaan dengan Peraturan Menteri Agraria
dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional RI No 17 Tahun 2016 tentang
Penataan Pertanahan Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil yang didalamnya terdapat
definisi tanah timbul merupakan daratan yang terbentuk secara alami karena
proses pengendapan di sungai, danau, pantai, dan pulau timbul yang dikuasai oleh
Negara (Muhibbin 2015; Christian et al. 2019). Hal ini menunjukkan bahwa tanah
timbul masuk dalam rezim properti negara yang penguasaannya dikuasai oleh
1
Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanahmenyatakan bahwa
tanah yang berasal dari tanah timbul dikuasai langsung oleh negara (pasal 12).
2
Common pool resources adalah sumber daya yang bermanfaat bagi sekelompok orang, tetapi
memberikan manfaat yang berkurang bagi sekelompok lain. Dimana setiap orang mengejar
kepentingannya sendiri.
negara, meskipun pada kenyataannya tidak serta merta menghilangkan akses
masyarakat terhadap sumberdaya tersebut (Septianto 2019).
Wilayah pesisir merupakan wilayah interaksi antara daratan dan lautan dan
pertemuan antara geosfer, hidrosfer, atmosfer, dan biosfer, serta sangat
dipengaruhi oleh aktivitas manusia (Setiamurti 2015). Dorongan akan kegiatan
ekonomi dan peningkatan populasi, urbanisasi berkembang pesat di zona pesisir,
dan serangkaian konflik sumber daya lahan dan lingkungan telah terjadi (Chen dan
Cai 2022). Pulau Pasaran terletak di pesisir Teluk Bandar Lampung tepatnya
berada di kelurahan Kota Karang Kecamatan Teluk Betung Timur, Kota Bandar
Lampung, Provinsi Lampung. Bersumber dari wawancara dengan tokoh
masyarakat, diketahui bahwa Pulau Pasaran pada awalnya merupakan sebuah
tanah yang timbul dengan luas awal sekitar 2 hektar. Dahulu Pulau Pasaran
merupakan tanah adat atau tanah warisan yang dimiliki oleh suatu kerajaan
Lampung Pesisir. Seiring dengan bertambahnya populasi, menyebabkan luas
Pulau Pasaran semakin bertambah dengan adanya penimbunan secara mandiri
atau reklamasi yang dilakukan oleh masyarakat untuk memperluas wilayah Pulau
Pasaran. Hal ini sejalan dengan penelitian Supriyani (2013), dimana pola interaksi
masyarakat dengan tanah timbul dibagi menjadi tiga, yaitu eksploitasi, konservasi
dan pemanfaatan serta proteksi penjagaan tanpa memanfaatkan. Selain itu, tanah
timbul juga terjadi akibat perbuatan manusia yang diantaranya adalah melakukan
pengurugan sampah, membuat tanggul penghalang atau menanami daerah
dengan tumbuhan yang akarnya mampu menahan lumpur sehingga tidak hanyut
kembali ke laut, reklamasi, dan pembukaan tanah baru secara liar (Elfa 2016).
Penelitian yang dilakukan oleh (Septianto 2019) mengenai Dinamika
Penguasaan Tanah Timbul di Daerah Asal Buruh Migran Indonesia menjelaskan
bahwa kepentingan buruh migran untuk mengontrol tanah timbul antara lain
karena harga tanah yang relatif murah, sebagai aset yang berharga, dan ikatan
emosional antara buruh migran dan tanah asal mereka. Kontrol buruh migran atas
tanah timbul dilakukan melalui jaringan migran dan pengiriman uang. Adapun aktor
lain yang terlibat dalam penguasaan tanah timbul yakni pemerintah lokal, LSM
lokal dan pedagang ikan. Penelitian yang sama dilakukan oleh (Nurfadilah 2016)
terkait dengan Analisis Ekonomi Pemanfaatan Tanah Timbul di Kota Cirebon,
Jawa Barat memaparkan bahwa tanah timbul yang memiliki nilai ekonomi dan
manfaat bagi masyarakat sekitar pesisir, karena sebagian besar pemanfaatannya
digunakan untuk pemukiman. Pemerintah setempat kurang tegas dalam
menegakan aturan pengelolaan dan pemanfaatan tanah timbul yang
mengakibatkan kerusakan lingkungan seperti penebangan mangrove dan
pengurungan sampah. Sejalan dengan itu kepemilikan dan status tanah timbul di
wilayah pesisir Bali yang dikaji oleh (Dewi 2012) adanya klaim kepemilikan dan
kepentingan antara masyarakat sekitar dengan perusahaan atau pemerintah.
Tanah timbul digunakan masyarakat adat sebagai tempat pelaksanaan upacara
keagamaan dan upacara adat karena dianggap sakral. Sementara perusahaan
dan pemerintah menjadikannya sebagai tempat proyek pembangunan.
Penelitian (Hidayat 2021) tentang Tinjauan Empiris Keragaan
Penatagunaan Tanah Timbul di Desa Singaraja Kabupaten Indramayu Provinsi
Jawa Barat bahwa penggunaan lahan timbul didaeah tersebut dimanfaatkan oleh
masyarakat pada bidang perikanan dan pertanian. Sejauh penelitian dilakukan
Pemerintah setempat belum mengidentifikasi keragaan penatagunaan tanah
timbul sebagaimana sebagaimana yang diamanatkan dalam Peraturan SE Menteri
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 410-1293 tentang Penertiban
Status Tanah Timbul dan Reklamasi. Berbeda halnya dengan penelitian yang
dilakukan (Napitu 2018) yang membahas Konflik Pemanfaatan, Kelembagaan
serta Pengaruhnya terhadap Keberlanjutan Pengelolaan Kawasan Hutan Produksi
pada KPHP Meranti Provinsi Sumatera Selatan, dijelaskan terdapat lima bentuk
mekanisme akses hak dan struktur serta relasi. Adanya ketidakjelasan hak
kepemilikan disebabkan oleh status dan posisi pengguna, klaim masyarakat lokal
masih kuat daripengaruh adat. Para pihak memiliki kepentingan dan pengaruh
yang berbeda.
Dominasi aktor serta ketimpangan relasi kuasa dalam pengelolaan
sumberdaya pesisir tidak terlepas dari paradigma dan kepentingan yang berbeda-
beda dari setiap aktor dalam memandang sumberdaya alam dan lingkungannya.
Semakin dalam perbedaan kepentingan dan paradigm antar aktor makin besar
dan kompleks ruang konflik, dan tentu memiliki implikasi terhadap status
pengelolaan sumberdaya dan lingkungannya (Mony 2015). Berangkat dari
pemaparan yang telah dijelaskan, perbedaan pada penelitian ini dengan penelitian
sebelumnya adalah penelitian ini mengkaji tentang tipologi akses dan konflik
sosial ekologi masyarakat kawasan tanah timbul di Pulau Pasaran. Sehingga
mengkaji lebih lanjut terkait dengan munculnya tanah timbul, proses akusisi dan
klaim tanah timbul, aktor-aktor yang mengakses, potensi terjadinya konflik serta
peran pemerintah melalui kebijakannya.
Rumusan Masalah
Hardin (1968) melalui karya The Tragedy of the Commons dalam (Moor
2015) menyatakan bahwa kepemilikan bersama dengan pertumbuhan populasi
yang tinggi akan menyebabkan degradasi ekologis dari sumberdaya yang dimiliki
bersama. Indonesia sebagai Negara yang kaya akan sumber daya, terlebih
sumber daya tanah dan hutan (Liu et al. 2017). Adanya aturan terkait dengan
penguasaan tanah dan hak-hak masyarakat lokal berada pada hukum tertulis,
hukum adat dan juga swasta. Adat mengatur hak guna tanah berbasis masyarakat.
Meskipun sistem adat bervariasi di antara masyarakat, biasanya mengadopsi
pendekatan komunal, di mana hak atas tanah dipegang oleh masyarakat dan
pelaksanaan hak individu tergantung pada persetujuan masyarakat (Xu et al.
2009; Moor 2015; Liu et al. 2017). Tanah timbul sebagai CPRs, menyebabkan
ketidak pastian akan status kepemilikannya. Sertifikasi tanah dalam menjadi
alternatif dari penguasaan atas tanah tersebut. Namun, proses administrasi yang
lambat dan memakan biaya serta waktu yang lama menyebabkan masyarakat
tidak mendaftarkannya (Liu et al. 2017).
Penelitian (Suzuki et al. 2017) memaparkan sumber daya lahan menjadi
hal penting bagi kelangsungan hidup manusia, sumber daya lahan selalu memiliki
berbagai atribut fungsional dan kesesuaian untuk digunakan dalam produksi
pertanian, konstruksi perkotaan, dan perlindungan ekologis. Lebih lanjut Jati
(2011) menjelaskan bahwa manajemen pengelolaan sumber daya alam
seharusnya berlangsung secara terdesentralisasi dari negara, masyarakat,
maupun stakeholder lainnya dalam kapasitasnya sebagai resource users. Pola
manajemen alternatif ini mereduksi peran pasar sebagai resource users yang
sebelumnya dominan dalam pola manajemen yang tersentralisasi. Adanya
penguatan masyarakat sebagai aktor dalam tata kelola sumber daya alam melalui
kearifan lokalnya memang perlu mendapat ruang konfirmasi tersendiri.
Berdasarkan hal tersebut, manusia telah melakukan serangkaian praktik
penggunaan lahan dengan tujuan penggunaan lahan yang berbeda (Ran et al.
2018). Fenomena kemunculan tanah timbul pada ekosistem hutan mangrove di
wilayah pesisir akibat adanya proses sedimentasi di sekitar hutan merupakan
fenomena yang secara luas terjadi hampir di seluruh pesisir di Indonesia
(Setiamurti 2015; Nurfadilah 2016), dalam penelitian ini juga terjadi di pesisir
Bandar Lampung. Tanah timbul yang muncul memberikan harapan baru bagi
masyarakat sekitar untuk dimanfaatkan (Muhibbin 2015; Hidayat 2021). Adanya
tanah timbul merupakan proses yang panjang, terkait dengan itu maka menarik
untuk diteliti lebih jauh mengenai bagaimana sejarah munculnya tanah timbul
dan terbentuknya Pulau Pasaran?
Tanah timbul menjadi lokasi konflik sosial yang bersifat laten di tengah
ketidakpastian pengetahuan hukum yang ada di tengah masyarakat mengenai
siapa yang memiliki hak atas tanah tersebut (Christian et al. 2019). Ironisnya lagi
belum ada data valid yang dapat merepresentasikan tanah timbul baik dari sisi
sebaran maupun luasan (Hidayat 2021). Ribot dan Peluso (2003) memberikan
pengkategorian dalam mekanisme akses yakni right-based access dan structural
and relational access mechanisms. Adapun kategori pertama adalah legal acces
dalam mekanisme akses berbasis hak, yang dapat diartikan sebagai mekanisme
akses yang ditegakkan dengan sanksi hukum, adat istiadat dan konvensi, tetapi
juga mencakup illegal acces dalam mekanisme akses yang diperoleh dengan
melanggar hak-hak tersebut seperti pencurian. Kategori kedua, yakni mekanisme
akses berbasis struktur dan relasional yang dapat diartikan sebagai kekuatan
struktural dan relasional yang menentukan bagaimana akses dapat diperoleh,
dikontrol, dan dipertahankan. Dalam penelitian (Shohibuddin, 2018) menyebut
faktor-faktor yang menjadi unsur dari kekuatan struktural dan relasional tersebut,
antara lain: teknologi, pasar, modal, tenaga kerja, pengetahuan, peluang kerja,
identitas sosial, relasi sosial dan otoritas sosial. Oleh karena itu, kontestasi akses
antar aktor ini akan semakin intens manakala aktor-aktor ini memiliki dan
mengakumulasi power dan otoritas masing-masing. Berdasarkan hal tersebut,
menarik untuk diteliti bagaimana kepentingan aktor-aktor terkait dengan akses
pemanfaatan tanah timbul di Pulau Pasaran?
Dinamika penguasaan terhadap sumberdaya dalam hal ini berupa tanah
timbul dapat menyebabkan persaiangan dalam memanfaatkannya. Masyarakat
Pulau Pasaran mengakses tanah timbul dengan melakukan penimbunan secara
mandiri. Konflik penggunaan lahan biasanya merupakan ketidakseimbangan
antara sumber daya lahan yang terbatas dan kebutuhan manusia yang
semakin beragam ( Yu et al. 2015). Akses dimaknai oleh Ribot dan Peluso
(2003), sebagai suatu kemampuan untuk mendapatkan manfaat dari suatu hal,
yang kenyataannya tidak ditentukan oleh hak semata, namun banyak bergantung
secara relasional pada konstelasi kekuatan yang lebih luas. Dimana setiap pihak
memiliki posisi yang berbeda terkait dengan sumber daya bergantung atas
sekumpulan kuasa (bundle of power) yang dimilikinya, sehingga yang
bersangkutan dapat menarik manfaat tanpa memiliki landasan hak apapun (baik
legal maupun illegal) terhadapnya (Shohibuddin, 2018). Pemerintah daerah yang
merupakan agensi yang berwenang dalam mengatur perihal pertanahan
khususnya tanah timbul ini seringkali menghadapi kendala karena seringkali juga
berada dalam arena dengan masyarakat pengguna dalam rangka memberi kuasa
efektif atas lahan yang muncul (Pulungan 2013; (Christian et al. 2019). Tanah
timbul tidak hanya diakses oleh satu pihak. Pertarungan akses terhadap tanah
timbul diekskalasi oleh power dan otoritas masing-masing aktor yang seringkali
berujung pada terjadinya konflik menurut Arminah et al 2009 dalam (Septianto et
al. 2016). Pertarungan klaim atas sumberdaya juga terjadi diantara aktor (Sita
2014; Septianto et al. 2016). Melalui mekanisme akses berbasis structural dan
relasional yang meliputi kongfigurasi teknologi, modal, pasar, pengetahuan,
otoritas, identitas sosial dan relasi sosial dalam perebutan akses sumberdaya
(Priyatma et al 2013). Tumpang tindih klaim pemilikan tanah antar aktor
memunculkan dikotomi yang menghasilkan ketidakadilan akses (Huggins 2010).
Lebih lanjut keragaan penatagunaan tanah timbul telah menjadi salah satu
persoalan pertanahan yang muncul di wilayah pesisir Indonesia menyangkut hak
kepemilikannya (Hidayat 2021). Berdasarkan hal tersebut, menarik untuk diteliti
bagaimana tipologi akses dan potensi terjadinya konflik sosial ekologi
masyarakat tanah timbul di Pulau Pasaran?
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi berbagai
pihak, antara lain:
1. Bagi akademisi, hasil penelitian ini diharapkan bisa menambah khazanah
pengetahuan dan literatur tentang klasifikasi aktor dalam mengakses tanah
timbul.
2. Bagi pemerintah, hasil penelitian ini diharapkan menjadi sumber informasi
yang bermanfaat untuk memberikan pertimbangan dalam pengambilan
kebijakan lebih lanjut terkait dengan tanah timbul dan tata kelolanya.
3. Bagi masyarakat lokal, hasil penelitian ini diharapkan menjadi wahana
pengetahuan mengenai sejarah pembentukan tanah timbul, aktor-aktor
yang mengakses, tipologi akses dan potensi konflik yang terjadi.
Reklamasi by people
Reklamasi by nature
Peta Aktor Tipologi Akses
Analisis Teori
Ribbot &
Peluso
Keterangan
Komponen yang Dianalisis
Pengaruh
Hubungan
Rencana penelitian ini dimulai pada bulan Mei 2023 berupa studi literature
dari berbagai referensi. Kemudian pada bulan Juni 2023 melaksanakan kolokium.
Dari bulan Juli hingga Sepetember 2023 melakukan pengambilan data setelah
kolokium. Setelah data yang dikumpulkan dirasa cukup, maka peneliti memulai
untuk menganalisanya, khawatir jika ada data yang perlu dibenahi maka peneliti
mengcross check ulang data tersebut di bulan Oktober. Jika data sudah sesuai
maka peneliti memulai untuk menganisanya dibulan Novermber. Kemudian
setelah data didapat dilakukan pengolahan data dan penulisan tesis pada bulan
Desember. Sehingga pada bulan Januari 2024, peneliti bisa melakukan seminar
hasil penelitian.Berikut rencana waktu penelitian yang disajikan dalam tabel 3.
Tabel 3. Rencana waktu penelitian
N Kegiatan Mei Juni Juli- Okto- Des Januari Februar
o Sept Nov i
1 Studi
literatur
2 Penyusun
an
proposal
penelitian
3 Kolokium
4 Survei
lokasi
5 Pengambil
an data
6 Analisis
data
7 Penyusun
an tesis
8 Seminar
Hasil
9 Sidang
3
Abstraksi merupakan kegiatan membuat rangkuman inti dari proses berupa pernyataan-
pernyataan yang perlu dipertahankan.
Daftar Pustaka
Andersson, K. 2017. Understanding decentralized forest governance: An
application of the institutional analysis and development framework.
Sustainability: Science, Practice and Policy, 2(1), 25–35.
https://doi.org/10.1080/15487733.2006.11907975.
Bryant Corolie dan Louise. G. White. 1998. Manajemen Pembangunan (Alih
Bahasa Riyanto. L), Jakarta: LP3ES
Bryant. 1997. Beyond The Impasse : The Power of Political Ecology in Third World
Environment Research. Area (1997) 29.1, 5-19.
Banan AF. 2014. Sustainability evaluation and analysis of NGO methodological
approach of development projects in West Bank/Global Communities NGO,
West Bank. World SB 14.
Chen L, Cai H. 2022. Study on land use conflict identification and territorial spatial
zoning control in Rao River Basin, Jiangxi Province, China. Ecol. Indic.
145(August):109594.doi:10.1016/j.ecolind.2022.109594.
Christian Y, Budiman Ma, Fahrudin A, Santoso N. 2019. Coastal Of Ujung Pangkah
, Gresik , East Java. 5(2):230–243.Doi:10.31292/Jb.V5i2.374
Creswell JW. 2016. Research design (pendekatan metode kualitatif, kuantitatif,
dan campuran). Yogyakarta: Penata Aksara.
Dewi IGAGS. 2012. Konflik status hukum tanah timbul di Wilayah Pesisir Provinsi
Bali. Masal. Huk. 41(4):614–621.
Firti NE. 2014. Kontestasi aktor dan kepentingan terhadap sumber daya air di
sukabumi. IPB University.
Flower BCR, Ganepola P, Popuri S, Turkstra J. 2023. Land Use Policy Securing
tenure for conflict-affected populations : A case study of land titling and fit-for-
purpose land administration in post-conflict Sri Lanka. Land use policy.
125(March 2021):106438.doi:10.1016/j.landusepol.2022.106438.
Foucault, M.2000. Seks dan Kekuasaan. Terj. S. H. Rahayu.PT. Gramedia.Jakarta
Hall D, Hirsch P, Li TM. 2011. Power Of exclusion : Land Dilemas in Southeast
Asia. Singapura [LN]: Nuss Press Singapore.
Hanum ER. 2017. Dinamika Konflik Tanah Timbul Di Pulau Sarinah Kabupaten
Sidoarjo. J. Polit. Indones. 2(1):135–142.
Hein J, Adiwibowo S, Dittrich C, Hein J, Adiwibowo S, Dittrich C, Hein J. 2016.
Rescaling of Access and Property Relations in a Frontier Landscape : Insights
from Jambi , Indonesia. 0124.doi:10.1080/00330124.2015.1089105.
Hidayat, A. T. 2021. Tinjauan Empiris Keragaan Penatagunaan Tanah Timbul di
Desa Singaraja Kabupaten Indramayu Provinsi Jawa Barat. In Seminar
Nasional Hari Air Sedunia; 3,(1): 150-155.
Huggins. 2010. “Land Power and Identity” roots of violent conflict in eastern DRC.
The European Union: International alert.
J. Sembiring. 2016. Pengertian, Pengaturan dan Permasalahan Tanah Negara.
Jakarta: Prenadamedia Group.
Kangas K, Brown G, Kivinen M, Tolvanen A, Tuulentie S, Karhu J, Markovaara-
koivisto M, Eilu P, Tarvainen O, Simil J, et al. 2022. Land use synergies and
conflicts identification in the framework of compatibility analyses and spatial
assessment of ecological , socio-cultural and economic values.
316(May).doi:10.1016/j.jenvman.2022.115174.
Kinseng RA. 2007. Konflik-konflik sumber daya alam dikalangan nelayan di
Indonesia. Jurnal Solidality No 1 Vol 1. Bogor: IPB.
Kleinschmit, D., Bocher, M., & Giessen, L. (2016). Forest policy analysis:
Advancing the analytical approach. Forest Policy and Economics, 68, 1–6.
http://dx.doi. org/10.1016/j.forpol.2016.05.001
Kuswijayanti ER. 2007. Konservasi Sumberdaya Alam Di Taman Nasional Gunung
Merapi : Analisis Ekologp Polltlk. Institut Pertanian Bogor.
Lekatompessy HS, Nessa MN, Arief AA. 2013. Strategi adaptasi nelayan
pulaupulau kecil terhadap perubahan ekologis. Jurnal Pasca Sarjana
Universitas Hasanudin; 2013:15.
http://pasca.unhas.ac.id/jurnal/files/b8e41a786da110597359750867c6c4c7
Li, S., Zhu, C., Lin, Y., Dong, B., Chen, B., Si, B., Li, Y., Deng, X., Gan, M., Zhang,
J., Wang, K., 2021. Conflicts between agricultural and ecological functions and
their driving mechanisms in agroforestry ecotone areas from the perspective of
land use functions. J. Clean. Prod. 317, 128453 https://doi.org/10.1016/j.
jclepro.2021.128453
Liu J, Faure M, Mascini P. 2017. Environmental governance and common pool
resources: A comparison of fishery and forestry.
Lund, C. 2008. Local politics and the dynamics of property in Africa. Cambridge,
UK: Cambridge University Press.
Mony A. 2015. Ekologi Politik Pengelolaan Sumberdaya Pesisir. Studi Kasus
Relasi Kuasa Pengelolaan Sasi Laut di Pulau Haruku. Institut Pertanian Bogor.
Muhibbin M. 2015. Pola Penguasaan Dan Pemilikan Tanah Timbul (Aanslibbing)
Di Pesisir Pantai Utara Laut Jawa. 1(1):42–51.
Moleong, L. J,. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Moor T De. 2015. The Dilemma of the Commoners. Cambridge University Press.
Napitu JP. 2018. Konflik Pemanfaatan, Kelembagaan Serta Pengaruhnya
Terhadap Keberlanjutan Pengelolaan Kawasan Hutan Produksi Pada Kphp
Meranti Provinsi Sumatera Selatan. Institut Pertanian Bogor.
Nurfadilah E. 2016. Analisis Ekonomi Pemanfaatan Tanah Timbul Di Kota Cirebon,
Jawa Barat. Institut Pertanian Bogor.
Ostrom, E., 2011. Background on the institutional analysis and development
framework.
Peluso, N. L., and C. Lund. 2011. New frontiers of land control: Introduction.
Journal of Peasant Studies 38 (4): 667–81.
Pratiwi S, Juerges N. 2022. Digital advocacy at the science-policy interface:
Resolving land-use conflicts in conservation forests. Land use policy.
121(June):106310.doi:10.1016/j.landusepol.2022.106310.
Priyatna. 2013. Akses dan Strategi Aktor-aktor Dalam Pemanfaatan Sumber Daya
Waduk Djuanda. Jurnal Sosek KP. 8(1).
Ran, N., Jin, X., Fan, Y., Xiang, X., Liu, J., Zhou, Y., Shen, C., 2018. “Three Lines”
delineation based on land use conflict identification and coordination in Jintan
District, Changzhou. Resources Science 40, 284–298. doi:10.18402/
resci.2018.02.06.
Ribot JC, Peluso NL. 2003. A theory of access. Rural Sociol. 68(2):153–
181.doi:10.1111/j.1549-0831.2003.tb00133.x.
Ritzer George, Goodman. D. 2003. Teori Sosiologi Modern. Terjemahan Ali
Mandan. Jakarta [ID] : Kencana Prenada Media Group.
Ritzer George, Goodman. D. 2016. Teori Sosiologi “Dari Teori Sosiologi Klasik
Sampai Perkembangan Mukhtahir Teori Sosial Postmodern”. Bantul: Kreasi
Wacana.
Roengtam S, Agustiyara A. 2022. Collaborative governance for forest land use
policy implementation and development Cogent Soc. Sci.
8(1).doi:10.1080/23311886.2022.2073670.
Satria, A. 2009. Ekologi Politik Nelayan. LKIS. Yogyakarta.
Schulze, K., Malek, ˇZ., Verburg, P.H., 2021. How will land degradation neutrality
change future land system patterns? A scenario simulation study. Environ. Sci.
Policy 124, 254–266. https://doi.org/10.1016/j.envsci.2021.06.024.
Septianto M. 2019. Dinamika Penguasaan Tanah Timbul Di Daerah Asal Buruh
Migran Indonesia The Dynamics Of Aanslibbing Tenure In The Origin Area Of
Indonesian Migrant Workers. Volume ke-6.
Septianto M, Kolopaking LM, Adiwibowo S. 2016. Penguasaan Tanah Timbul oleh
Rumah Tangga Buruh Migran Indonesia Control over Coastal Sedimentation
Land by the Indonesian Household Migrant Workers. (17).
Sedarmayanti. (2014). Sumber Daya Manusia dan Produktivitas Kerja. Jakarta:
Mandar Maju
Setiamurti A. 2015. Tanah Timbul Dan Perubahan Sistem Penghidupan Di Dua
Desa (Studi Kasus Desa Klaces Dan Desa Ujung Alang, Kecamatan Kampung
Laut, Cilacap). IPB University
Shohibuddin, M. 2018. Perspektif Agraria Kritis ‘Teori, Kebijakan, dan Kajian
Empiris’. Yogyakarta dan Bogor : STPN Press dan Sajogyo Institute.
Sikor, T., and C. Lund. 2009. Access and property: A question of power and
authority. Development and Change 40 (1): 1–22.
Sita, R. 2014. Pertarungan Kuasa dan Legitimasi Klaim atas Sumberdaya Hutan:
Kasus Hutan Sekitar Restorasi di Kabupaten Batang Hari Provinsi Jambi,
Bogor: IPB.
Smith, N. 2008. Uneven development: Nature, capital, and the production of space.
Athens: University of Georgia Press.
Suzuki T, Achiari H, Higa H, Wiyono A, Soeharno H. 2017. A Study on Coastal
Erosion and Deposition Processes in Subang, Indonesia. (October
2018).doi:10.1142/9789813233812.
Xu X, Peng H, Xu Q, Xiao H, Benoit G. 2009. Land changes and conflicts
coordination in coastal urbanization: A case study of the shandong peninsula in
china. Coast. Manag. 37(1):54–69.doi:10.1080/08920750802612788.
Yunindyawati. 2015. Kuasa Pengetahuan Perempuan dalam Pemenuhan Pangan
Keluarga Petani Padi Sawah Lebak di Kabupaten Ogan Ilir Sumatera Selatan.
IPB - Disertasi.:1–160.
Yu, A.T.W., Wu, Y., Shen, J., Zhang, X., Shen, L., Shan, L., 2015. The key causes
of urban-rural conflict in China. Habitat Int. 49, 65–73. https://doi.org/10.1016/j.
habitatint.2015.05.009.
Zulu, L. C. 2009. Politics of scale and community-based forest management in
southernMalawi. Geoforum 40 (4): 686–99.