Anda di halaman 1dari 17

SENGKETA KONFLIK PERTANAHAN

PENGUASAAN ATAS TANAH TIMBUL (AANSLIBBING) OLEH MASYARAKAT


DALAM PERSPEKTIF HUKUM AGRARIA NASIONAL

KELOMPOK 7:

NO NAMA NIT

1 GADING CANDRA PERMATASARI 21303783

2 GERALDO DA ROSARIO SEMI 21303784

3 ILHAM FADLI IBRAHIM 21303786

4 JEREMY ARDYAN SOEPRAPTO 21303789

5 EFRAIM WIRANATA RERUNG 21303933

6 ROY MARTHEN HOWAMIMU 21303935

DOSEN PENGAMPU:

ANTONIUS IMBIRI, S.H., M.T.

NIP. 19650124 198603 1 003

KEMENTERIAN AGRARIA DAN TATA RUANG/


BADAN PERTANAHAN NASIONAL
SEKOLAH TINGGI PERTANAHAN NASIONAL YOGYAKARTA
PROGRAM STUDI DIPLOMA IV PERTANAHAN
2023
PENGUASAAN ATAS TANAH TIMBUL (AANSLIBBING) OLEH
MASYARAKAT DALAM PERSPEKTIF HUKUM AGRARIA
NASIONAL

I. PENDAHULUAN.
Tanah terbentuk oleh fenomena alam, tanah Timbul (aanslibbing) adalah
tanah yang mempunyai potensi dan nilai gunakan secukupnya, baik untuk
pertanian, kolam, dan danau tempat untuk membangun sebuah gedung.Namun,
hingga saat ini hal tersebut belum diterapkan dalam hukum pertanahan Indonesia.
Menemukan ketentuan yang secara jelas mengatur pengendaliannya, Inilah
sebabnya sebagai fenomena hukum, studi tentang sistetimbul penguasaan tanah,
serta perjanjian-perjanjian yang berkaitan dengan tanah hukum serta Langkah-
langkah yang perlu diambil untuk mencapai tujuan tersebut.memperoleh hak
guna tanah yang terkait dengan penguasaannya.1
Kepemilikan tanah timbul (aanslibbing) oleh manusia sejak itu Sejak
dahulu kala, konsep kepemilikan tanah telah lahir Hukum adat mengenai tanah
dan kepemilikan tanah dengan demikian mewakili nuansa adat istiadat
masyarakat setempat yang terus diterapkan secara turun-temurun hingga
terbentuk peraturan daerah (self-regulatory). Kehidupan disebut tanah menurut
adat.
Tanah timbul yang merupakan tanah adat yang tidak tunduk pada peraturan
apapun.Konsep keberadaannya diakui dan dihormati oleh negara, yang tercermin
dalam asas-asas yang mengatur pemanfaatan tanah bagi masyarakat dalam bentuk
undang-undang dan peraturan lainnya yang menjadi pedoman.masyarakat dalam
memanfaatkan fungsi dan prinsip bumi. “Hukum pertanian yang berlaku atas
tanah, air, dan ruang angkasa adalah hukum adat, asalkan tidak bertentangan
dengan kepentingan nasional Negara, berdasarkan dasar tersebut kesatuan
bangsa, dengan sosialisme Indonesia dan dengan peraturan perundang-undangan
lainnya, dengan tetap memperhatikan unsur-unsur berdasarkan hukum agama.

II. PENGERTIAN TANAH TIMBUL


a. Menurut Peraturan perundangan
Tanah timbul merupakan salah satu tanah Negara yang mana dijelaskan
dalam Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penataan Pertanahan Di Wiayah Pesisir
Pantai dan Pulau-Pulau Kecil, yang mana dalam ketentuan Pasal 1 ayat (8)
Peraturan Menteri tersebut pengertian daripada tanah timbul sendiri adalah:
“Tanah secara alami terbentuk dari proses sedimentasi sungai, Timbulnya danau,
pantai, dan/atau pulau serta penguasaan tanahnya oleh Negara. “Pengaturan
tambahan terkait lahan baru telah dijelaskan pada Pasal 15 Peraturan Menteri
Pertanian dan Perencanaan Pertanahan/Kepala Badan Pertanahan Nasional.Pada
tanggal 17 Januari 2016, artikel tersebut mempunyai isi sebagai berikut:
1. Tanah adalah tanah yang dikelola langsung oleh negara
2. Tanah yang timbul sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi tanah yang
timbul di pantai, sungai, danau dan pulau-pulau
3. Lahan yang dihasilkan mempunyai luas paling banyak 100m2 (seratus meter
persegi) adalah hak milik pemilik tanah yang bersebelahan dengan bidang
tanah tersebut timbul pertanyaan
4. Untuk lahan yang baru dikembangkan dengan luas lebih dari 100 m2 (seratus
meter persegi) Hak guna tanah dapat diberikan dengan syarat sebagai
berikut:
1. Penguasaan dan kepemilikan tanah harus didorong Kementerian
Pertanian dan Perencanaan Daerah/Direktur Administrasi Pertanahan
Nasional
2. Penggunaan dan penggunaannya tunduk pada instruksi yang diberikan
di dalamnya Perencanaan tata guna lahan atau perencanaan zonasi
provinsi/kabupaten/kota.2
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Pemanfaatan lahan secara mandiri
harus konsisten dengan rencana tata ruang wilayah provinsi, kabupaten, kota atau
pesisir dan perencanaan pulau-pulau kecil. Penataan ruang merupakan suatu
bentuk struktur pemanfaatan ruang dan bentuk pemanfaatan ruang, baik
terencana maupun tidak terencana, menunjukkan adanya hierarki dan saling
ketergantungan dalam perencanaan pemanfaatan ruang. Tujuan penataan ruang
diatur dalam Pasal 3 UU Nomor 26 Tahun 2007 terkait penataan ruang yang
bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, efektif
dan berkelanjutan berdasarkan kearifan nusantara dan ketahanan nasional.

b. Menurut Ilmu Pengetahun di bidang Geografi, Ilmu Tanah dll.


1. Menurut ilmu Geografi
Tanah timbul adalah istilah yang digunakan dalam geografi untuk
menggambarkan daratan yang terbentuk di atas air atau daratan di atas air.Jenis
tanah ini biasanya terbentuk dari endapan lumpur, pasir, dan kerikil yang terbawa
oleh air sungai atau gelombang laut kemudian diendapkan di suatu tempat. Tanah
urugan dapat ditemukan di daerah pesisir, delta sungai, dan rawa. 3
2. Menurut Ilmu Tanah
Tanah timbul atau aanslibbing merupakan jenis tanah yang terbentuk dari
erosi berton-ton tanah yang tersapu oleh air hujan hingga mengalir ke sungai-
sungai besar, dimana tanah yang dihasilkan akan terendapkan sebagian di
sepanjang sungai dan sebagian lagi langsung di muara sungai. Lahan pertanian
merupakan sumber daya alam baru yang memiliki potensi ekonomi untuk
pertanian, budidaya tambak bahkan untuk kegiatan industri yang dapat
mengarah pada penguasaan dan kepemilikan lahan pertanian.
3. Menurut Soedarsono. dan Tominaga
Tanah Timbul berasal dari sungai yang membawa air beserta sedimen yang
terkandung di dalam air. Di bagian hulu kandungan sedimennya tinggi, namun
ketika sampai di bagian hilir terjadi sedimentasi sehingga membentuk
sedimen aluvial atau aluvial. Dengan adanya proses sedimentasi, terbentuklah
lahan aluvial yang luas dan datar dan berkembang menjadi tempat
berlangsungnya berbagai aktivitas masyarakat.
4. Menurut G. Kartasapoetro
Tanah timbul atau aanslibbing adalah jenis tanah yang terbentuk dari erosi
berton-ton tanah yang terbawa air hujan menuju ke sungai-sungai besar,
dimana tanah yang dihasilkan akan diendapkan sebagian di sepanjang sungai
dan sebagian lagi langsung ke muara sungai. Akibat berkali-kali terjadi erosi
maka terjadilah aanslibbing atau tanah timbul.
5. Menurut Boedi Harsono
Tanah Timbul atau aanslibbing adalah jenis tanah yang terbentuk dari erosi
berton-ton tanah yang terbawa air hujan menuju ke sungai-sungai besar,
dimana tanah yang dihasilkan akan diendapkan sebagian di sepanjang sungai
dan sebagian lagi langsung ke muara sungai.

III. PROSES TERJADINYA TANAH TIMBUL


Proses terjadinya tanah timbul adalah tanah tersebut sebelumnya tidak ada
kemudian karena suatu faktor, terbentuklah tanah yang baru yang terbentuk
dari pengendapan material/partikel tanah pada perairan laut. Dan ini belum
memiliki suatu hak atas tanah tersebut sehingga secara otomatis dikuasai
langsung oleh negara atau disebut tanah negara. Hal ini dapat dijelaskan pada
penjelasan umum UU No. 5 Tahun 1960 butir (2) tentang peraturan Dasar
Pokok Agraria, tanah negara adalah tanah yang tidak dimiliki dengan suatu
hak oleh seseorang ataupun pihak lainnya. Proses pembentukan tanah timbul
ini biasanya terjadi di muara sungai dan pesisir pantai, pembentukan tanah
timbul ini secara alamiah terjadi dalam kurun waktu yang panjang, puluhan
tahun bahkan sampai ratusan tahun, sampai mencapai titik kestabilan.
Peningkatan aktifitas manusia di sepanjang pesisir pantai ataupun di bantaran
sungai akan mempercepat proses terbentuknya tanah timbul tersebut. Pemilik
tanah di tepi sungai maupun di tepi laut mempunyai hak penguasaan atas tanah
pembawaan pasir atau lumpur pada pesisir laut atau sungai. Hak penguasaan
atas tanah timbul baru dapat diakui sah apabila ada perbuatan yang khusus
yang mana tanah tersebut dikelola/dikerjakan sendiri dan memberikan tanda
batas yang jelas. Proses terjadinya Tanah Timbul (aanslibbing) dapat terjadi
karena 2 hal yaitu:
a. Faktor Alam
1) Muatan sungai terlalu besar, karena meluapnya air sungai (banjir).
Tenaga air mampu megangkat seluruh muatan maka tidak terjadi
pengendapan bahkan mungkin terjadi pengikisan yang lama-kelamaan
menimbulkan aliran sungai yang berganti arah (berbelok) dan
menimbulkan tanah tumbuh.
2) Terhentinya aliran sungai, terhentinya aliran sungai maka tenaga
pengangkut tidak ada, karena berat jenis muatan lebih berat dari pada
berat jenis air, terjadilah pengendapan dan lama kelamaan muncul tanah
timbul.
3) Aliran sungai terhalang, danya material mengendap pada aliran sungai
dapat menggangu aliran sungai dan dapat menyebabkan terjadinya
pengendapan sehingga lama kelamaan muncul tanah timbul.
4) Sungai yang semakin melebar, Jika sungai semakin melebar, maka
aliran sungai menjadi tersebar yang mengakibatkan tenaga pengangkut
yang berasal dari aliran sungai berkurang dan terjadilah pengendapan
yang lama kelamaan muncul tanah timbul. Pada awalnya tanah timbul
bisa terjadi karena proses alam, tetapi tindakan manusia bisa
mempercepat terjadinya atau penambahan bentuk, jumlah dan luas
tanah timbul.
b. Faktor Manusia
Pada awalnya tanah timbul bisa terjadi karena proses alam, tetapi tindakan
manusia bisa mempercepat terjadinya atau penambahan bentuk, jumlah, dan
luas tanah timbul. Tanah yang timbul akibat dari perbuatan manusia, baik
disengaja maupun tidak disengaja misalnya:
1. Vegetasi tanaman di daerah sekitar danau toba berkurang, karna
adanya penebangan/Pengundulan Hutan secara ilegal.
mengakibatkan fungsi hutan sebagai penyanggah air mulai
berkurang dan ini akan berdampak pada volume air di daerah danau
toba menyusut, sehingga timbulnya permukaan daratan yang baru.
2. Reklamasi, merupakan usaha memperluas tanah pertanian dengan
memanfaatkan daerah-daerah yang semula tidak berguna, contoh
daerah rawa. Penggunaan lahan dengan cara reklamasi ini adalah
dengan menimbun daerah sawah tersebut.
Selain rawa, daerah yang sering ditemukannya tanah timbul sedikit banyak
akibat perbuatan manusia adalah daerah pesisir pantai. Masyarakat yang
tanahnya bersinggungan langsung dengan areal tanah timbul yang ada dalam
kawasan sempadan pantai sering dijadikan objek penguasaan tanah secara
secara langsung menurut kebiasaan masyarakat setempat dengan cara
memasang karung-karung berisi tanah disekitar tanah tersebut yang dimana
fungsinya sebagai penghalang arus ombok sehingga mempercepat terjadinya
endapan lumpur menjadi sendimen yang memiliki tekstur kuat.

IV. STATUS HUKUM TANAH TIMBUL


Mengenai kedudukan/status hukum dari tanah timbul itu sebagai tanah baru yang
terjadi secara alami merupakan tanah negara. Menurut Pasal 1 Peraturan
Pemerintah Nomor 8 Tahun 1953 tentang Penguasaan Tanah-tanah Negara
bahwa: Tanah timbul adalah yang dikuasai penuh oleh negara.

a. Penguasaan Tanah Timbul oleh masyarakat


Penguasaan atas tanah timbul (aanslibbing) oleh masyarakat dalam perspektif
hukum agraria nasional di Indonesia masih menjadi topik yang belum
sepenuhnya diatur oleh UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria. Tanah timbul adalah daratan yang terbentuk secara alami maupun
buatan karena proses pengendapan di sungai, danau, pantai dan atau pulau timbul,
serta penguasaan tanahnya dikuasai negara.

Penelitian tentang penguasaan tanah timbul (aanslibbing) oleh masyarakat dalam


perspektif hukum agraria ini bertujuan untuk:

1. Mengkaji secara mendalam terhadap hakikat tanah timbul.

2. Mendeskripsi, menganalisis dan mengkaji pola penguasaan dan


pemilikan atas tanah timbul yang tumbuh di pesisir pantai utara laut
Jawa.

3. Mendeskripsi sekaligus menganalisis status hak atas tanah timbul oleh


masyarakat dalam hukum agraria nasional.

4. Menemukan dan membangun konsep pengakuan dan perlindungan


terhadap penguasaan atas tanah timbul oleh masyarakat dalam
perspektif hukum agraria nasional.

Dalam penelitian ini, terdapat 4 (empat) teori yang menjadi alat untuk
menganalisis bagaimana hubungan hukum antara subyek hukum penguasaan atas
tanah timbul oleh masyarakat dalam perspektif hukum agraria nasional tersebut,
yaitu: teori hukum Alam (lex naturalis), teori Utilitarian, konsep pluralisme
hukum (legal Pluralism), dan teori hukum sebagai suatu sistem (the legal system).
Berdasarkan teori hukum Alam, penguasaan tanah oleh masyarakat dapat
dilakukan pada wilayah yang tidak bertuan (tanah kosong), sedangkan menurut
teori Utilitarian, manusia akan bertindak untuk mendapatkan kebahagiaan yang
sebesar-besarnya dan mengurangi penderitaannya, atau terhadap peraturan yang
dibuat harus dapat memberikan kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi
sejumlah individu dalam masyarakat (the greatest happiness for the greatest
number).

Sumber daya alam baru seperti pulau lumpur (Mud Island) yang disebut sebagai
tanah timbul, merupakan sumber daya alam baru yang secara ekonomis potensial
untuk pertanian dan usaha pertanian tambak bahkan kegiatan industri yang dapat
menimbulkan penguasaan dan pemilikan atas tanah timbul tersebut.

b. Proses Penguasaan Tanah Timbul oleh Masyarakat.

Tanah timbul adalah tanah yang muncul di perairan, seperti sungai, danau, atau
laut. Tanah ini dapat muncul akibat sedimentasi atau pengendapan material
seperti pasir, lumpur, atau kerikil. Dalam konteks hukum, tanah timbul dapat
memiliki beberapa dampak yang perlu diperhatikan.

c. Dampak Hukum yang dib timbulkan.

Tanah timbul dapat memiliki beberapa dampak hukum yang perlu diperhatikan.
Berikut adalah beberapa jenis dampak hukum yang mungkin terjadi:

1. **Penguasaan Tanah**: Tanah timbul dapat menjadi objek penguasaan


dan kepemilikan oleh negara atau pihak lain sesuai dengan peraturan
perundangan yang berlaku.

2. **Perlindungan Hukum**: Tanah timbul diatur oleh hukum pertanahan


dan dapat dilindungi oleh undang-undang yang mengatur hak-hak atas
tanah.

3. **Penggunaan Tanah**: Penggunaan tanah timbul harus sesuai dengan


peraturan perundangan yang berlaku dan dapat dikenakan pembatasan
tertentu.

4. **Kepemilikan Hak Ulayat**: Dalam beberapa kasus, tanah timbul


mungkin terkait dengan hak ulayat atau hak adat masyarakat tertentu.
Dampak hukum yang terjadi pada tanah timbul dapat bervariasi tergantung pada
konteks dan peraturan hukum yang berlaku di suatu wilayah.

d. Bagaimana Pemberian Hak atas Tanah pada tanah timbul

Hak atas tanah timbul dapat diselesaikan dengan kesepakatan dengan pemerintah
bersama dewan adat untuk diterbitkan SK yang dikeluarkan oleh pemerintah
setempat. Jika tanah adat tersebut benar milik masyarakat adat, maka masyarakat
adat harus mengurus sertifikat tanah tersebut ke kantor Badan Pertanahan
Nasional untuk diterbitkan setifikat hak ulayat.Hak atas tanah:

 Hak milik

 Hak Guna Usaha (“HGU”)

 Hak Guna Bangunan (“HGB”)

 Hak Pakai

 Hak Sewa Untuk Bangunan

 Hak Membuka Tanah

 Hak Memungut Hasil Hutan

 Hak lainnya

e. Dasar Hukum Pemberian Hak atas tanah timbul.

Berdasarkan hukum positif Indonesia, pemberian hak atas tanah timbul


(Aanslibbing) tunduk kepada Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala
Badan Pertanahan Nasional Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penataan Pertanahan
Di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

V. PERMASALAHAN YANG TERJADI PADA TANAH TIMBUL


1. Konflik antara masyarakat adat dan pengusaha mengenai kepemilikan tanah
timbul menunjukkan bekerianya hukum pertanahan di Bali tidak berjalan dengan
baik. Bagi masyarakat

Dadat di Bali status hukum tanah timbul di berbagai pesisir pantai adalah
merupakan tanah komunal (hak ulayat) yang dikuasai oleh masyarakat adat
setempat. Secara historis faktual masyarakat setempat telah menguasai dari jaman
dahulu untuk berbagai kepentingan adat dan keagamaan mereka.

2. Pola penelesaian sengketa mengenai tanah ulayat khususnya mengenai tanah


timbul di wilayah pesisir di Bali dilakukan, antara lain:

Pertama, penelesaian masalah harus menventuh materi kasusnya, dan netralitas


sangat dipertaruhkan untuk menghindari adanya kesan yang bersifat memihak
berkaitan dengan adanya conflict of interest.

Kedua, pemerintah daerah sekarang harus menadikan masalah tanah timbul dan
kekayaan agraria sebagai salah satu is strategis yang diprioritaskan penataannya.

Ketiga, dalam perspektif pluralisme hukum, yaitu dengan adanya lebih dari satu
tertib hukum yang berlaku di Indonesia, dengan legal pluralism (kemajemukan
hukum) dan strong legal pluralism (hukum yang lebih dominan) dapat mencegah
kompetisi antara sistem hukum negara dan sistem hukum adat.

Keempat, sifat dinamis masyarakat hukum adat dapat berintegrasi dan


beradaptasi dengan lingkungannya yang makin mengglobal, sehingga semua
aktor yang terkait harus mampu memilah

memilah hak-hak tradisional yang dapat direlokasi dan dimodifikasi sesuai


konsep penguasaan tanah timbul yang sudah melekat pada masyarakat adat.

a. Inventarisasi Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan, dan Pemanfaatan


Tanah yang selanjutnya disebut IP4T adalah kegiatan pendataan
penguasaaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah, yang diolah
dengan sistem informasi geografis, sehingga menghasilkan peta dan informasi
mengenai penguasaan tanah oleh pemohon.

b. Tanah Timbul (aanslibbing) merupakan sumber daya alam baru yang secara
ekonomis potensial untuk pertanian dan usaha pertanian tambak bahkan kegiatan
industri yang dapat menimbulkan penguasaan dan pemilikan atas Tanah Timbul.
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) sebagai peraturan dasar, hanya
mengatur asas-asas atau masalah-masalah pokok dalam garis besarnya. Tujuan
dari penulisan ini untuk mengetahui pengakuan, perlindungan dan kepastian
hukum terhadap penguasaan atas Tanah Timbul oleh masyarakat adat dalam
perspektif hukum agraria nasional. Hasil Penelitian tesis ini adalah yang
berwenang untuk menguasai tanah timbul (aanslibbing) yaitu tanah tersebut
dimiliki oleh masyaratak adat setempat. Dan bentuk penyelesaian sengketa atas
tanah timbul (aanslibbing) adalah Kesepakatan dengan Pemerintah bersama
dewan adat untuk diterbitkan SK yang dikeluarkan oleh Pemerintah setempat
kalau tanah adat tersebut benar milik masyarakat adat maka masyarakat adat
harus mengurus Sertifikat tanah tersebut ke kantor Badan Pertanahan Nasional
untuk diterbitkan setifikat hak ulayat.

c. Dalam kenyataannya beberapa kasus sengketa tanah timbul yang ada dan terus
terjadi di Bali sampai sat ini justru menunjukkan adanya kompetisi antara UPA
sebagai hukum negara (state law) di satu sisi dan hukum adat sebagai hukum
rakyat (folks law) di sisi lain, yaitu adanya marginalisasi terhadap pengakuan dan
perlindungan hak ulayat sebagai hak adat di dalam penguasaan tanah timbul di
wilayah pesisir pantai.

Tetapi, sampai sekarang belum tampak ada benang merahnya untuk adanya
peraturan yang mengatur tentang penguasaan tanah timbul.
Konsep penvelesaian sengketa dengan pendekatan hukum yang bersifat normatif,
dengan teori hukum normatif dari Roscoe Pound yang menyatakan bahwa hukum
dapat digunakan sebagai alat rekayasa sosial (social engineering).

Teori ini muncul berdasarkan atas asumsi bahwa hubungan-hubungan sosial


antara orang perseorangan atau kelompok yang terjadi dalam masyarakat sangat
peka akan datangnya kontrol. manusia. Sudah tentu yang dimaksud manusia ini
adalah orang yang menggunakan perangkat hukum formal sebagai alat untuk
mengontrol.

Berbeda dengan pendekatan sosiologis, misalnya teori dari Cochrane bahwa


wang mengontrol hubungan-hubungan sosial dimaksud adalah masyarakat
sendiri. Artinya, bahwa pada dasarnya masyarakat it sendiri aktif menemukan,
memilih, dan menentukan hukum sendiri.

Pandangan yang disebut terakhir ini menjadi penting ketika ada perselisihan
keluarga, tanah, lingkungan

sumber daya alam seenis diselesaikan lewat pendekatan sosiologi-induktif.

e. Peran Pemerintah Daerah dalam Penyelesaian Konflik Agraria Antara PT. PP.
London Sumatra dengan Masyarakat di Kabupaten Bulukumba Dalam konteks
Pemerintahan Daerah, selain Bupati dan Wakil Bupati yang memiliki tanggung
jawab secara keseluruhan terkait segala permasalahan yang ada di daerah,
terdapat pula Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang telah dibentuk dan
memiliki peran serta tanggung jawab secara langsung untuk menyelenggarakan
urusan pemerintahan daerah di bidang tertentu. Termasuk urusan agraria atau
pertanahan yang dalam konteks Kabupaten Bulukumba menjadi tugas dan fungsi
Pemerintah Daerah Kabupaten Bulukumba khususnya Dinas Perumahan,
Pemukiman dan Pertanahan Kabupaten Bulukumba. Sesuai dengan Peraturan
Bupati Kabupaten Bulukumba Nomor 77 Tahun 2016 tentang Kedudukan, Tugas
dan Fungsi Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas Perumahan, Pemukiman
dan Pertanahan Kabupaten Bulukumba yang menyebutkan salah satu tugas dan
fungsi di bidang pertanahan untuk menyelesaikan sengketa atau permasalahan
tanah aset daerah dan tanah Garapan.

f. Penyerahan tanah tersebut didasarkan pada hubungan keluarga antara istri


bapak Demianus Tanawani bernama Yuliana Mundoni, sebagai kakak kandung
Helena Mundoni sebagai istri penggugat. Penggugat dan keluarga mengelola,
merawat, dan memelihara sebidang tanah tersebut, dengan berkebun, menanam
tanaman jangka panjang, dan membangun 1 rumah permanen

Tanggal 11 April 1986, bapak Demianus Tanawani mendatangi penggugat untuk


menyaksikan penunjukan batas tanah, dan disaksikan oleh tergugat II dan III.
Kemudian pada tahun 1989 terdapat salah satu program Camat Yapen Selatan,
yakni penertiban administrasi kepemilikan tanah, sehingga pada 1 Agustus 1989
dibuat Surat Pelepasan Tanah yang melegitimasi pelepasan lisan oleh bapak
Demianus Tanawani kepada penggugat.

Pada April 2009, para tergugat melakukan pekerjaan pembangunan rumah tinggal
di atas tanah penggugat. Tindakan para tergugat menyebabkan pembongkaran
1unit rumah semi permanen milik penggugat yang menyebabkan kerugian
penggugat sebesar Rp25 juta.

Tindakan para tergugat menyebabkan ancaman yang mengarah pada bentrokan


fisik dan mengganggu ketenangan keluarga dan ketertiban umum. Tindakan para
tergugat juga dapat menyebabkan penggugat menderita kerugian hilangnya
sebagian tanah yang didirikan bangunan dan kehilangan pendapatan dari harga
sewa rumah setiap bulan, sebesar Rp500 ribu x 6 bulan = Rp3 juta.

Berdasarkan fakta hukum tersebut, Penggugat memilih untuk menyelesaikan


sengketa tanah ini melalui proses hukum.
Pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung berpendapat bahwa objek sengketa adalah
tanah adat milik orang tua pemohon kasasi/para tergugat, yang diberikan kepada
termohon kasasi/penggugat, sebagai hibah tanpa ada satu upacara adat

Berdasarkan bukti termohon kasasi/penggugat berupa Keputusan Damai


Peradilan Adat 9 Desember 2009, Peradilan Adat memutuskan tanah adat dibagi
menjadi 2 yaitu sebelah selatan diserahkan kepada Thonce Bonay Upuya, dan
sebelah utara diserahkan kepada Darius Tanawani (tergugat II)

Selain itu, tanah hanya pinjam pakai dan surat tanah dinyatakan direkayasa, sebab
berdasarkan bukti, surat keterangan pelepasan hak atas tanah tertanggal 1 Agustus
1989 yang diajukan termohon kasasi/penggugat keliru. Isi dari surat pelepasan
adat tersebut cacat hukum karena tanda tangan pemohon kasasi II dipalsukan oleh
termohon kasasi/penggugat. Pelepasan hak harus dibatalkan karena hak mutlak
keluarga Tanawani

VI. KESIMPULAN

Permasalahan yang terjadi timbul karena adanya konflik antara masyarakat dan
pengusaha mengenai kepemilikan tanah timbul sehingga, membuat hukum
pertanahan berkurang dan tidak berjalan dengan baik di Bali.

Sengketa kepemilikan penguasaan tanah ulayat yang terjadi di pesisir bali pun
juga terjadi karena tidak ada kepastian hukum terkait kepemilikan hak atas tanah
timbul tersebut.

Dengan demikian, pola penyelesaian masalahnya dapat di jelaskan dengan


beberapa point yang akan kami jabarkan, antara lain:

1. Penyelesaian masalahnya harus menyentuh materi kasusnya, dan netralitas


dipertaruhkan untuk menghindari kesan yang bersifat memihak.
2. Kesepakatan pemerintah bersama dewan adat untuk diterbitkan SK yang
dikeluarkan oleh Pemerintah setempat kalau tanah adat tersebut benar milik
masyarakat adat maka masyarakat adat harus mengurus sertifikat tanah
tersebut ke kantor Badan Pertanahan Nasional untuk diterbitkan setifikat hak
ulayat.
3. Adanya pendekatan hukum bersifat normatif sudah tentu yang dimaksud
manusia ini adalah orang yang menggunakan perangkat hukum formal
sebagai alat untuk mengontrol, dan juga pendekatan sosiologis artinya, bahwa
pada dasarnya masyarakat itusendiri aktif menemukan, memilih, dan
menentukan hukum sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
1. Pulungan, R. Status Penguasaan Tanah Tumbuh (Aanslibbing) di
Kecamatan Rengat Kabupaten Indragiri Hulu Vol. 1, No. 2. Hukum 20
(2012).

2. Kesejahteraan, P. & Adat, M. Jatiswara.V33I2.166. 1–15.

3. Sugiharyanto & Khotimah, N. Diktat Mata Kuliah Geografi Tanah. Diktat


Mata Kuliah Geogr. Tanah 33 (2009).

4. Purnomo E. Tinjauan Hukum Penguasaan dan Pemilikan Tanah Timbul di Kabupaten


Barru Provinsi Sulawesi Selatan. Published online 2017:82.
Tanah Timbul - KETENTUAN UMUM TENTANG PENGUASAAN HAK ATAS TANAH.

Anda mungkin juga menyukai