Anda di halaman 1dari 8

LAPORAN PRAKTIKUM

“Ekologi Kepulauan”

Disusun Oleh : Kelompok 13

1.Muhammad Akmal Thahir (202067008)

2.Nur Dilla Silawane (202067002)

3.Jeinnever C.A. Nanuru (202067011)

4.Feronika Futunanembun (202067026)

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

UNIVERSITAS PATTIMURA AMBON

2021
KATA PENGANTAR
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Negara kepulauan ini merupakan daerah yang tumbuh dan berkembang terutama dari
pesisir pantai. Wilayah pesisir merupakan pusat utama pertumbuhan ekonomi, dan
pertumbuhan penduduk selalu mengalami percepatan. Perkembangan/pertumbuhan wilayah
pesisir akan berdampak positif atau bahkan negatif terhadap tata guna lahan. Di wilayah
pesisir, kapasitas lahan tidak lagi dapat mendukung pertumbuhan penduduk yang pesat, yang
akan mempengaruhi keseimbangan antara lahan dan alam. Kehancuran ini terutama
disebabkan oleh tanah dan sumber daya alam yang dikembangkan untuk memenuhi
kebutuhan banyak orang. Penggunaan tanah dan sumber daya alam yang berlebihan, jika
tidak mengikuti peruntukannya, juga akan merusak keseimbangan alam itu sendiri.

1.2. Tujuan dan Manfaat.

1. Mengidentifikasi bentuk-bentuk kerusakan habitat.


2. Mengidentifikasi dampak dari kerusakan habitat.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Habitat.

Habitat diartikan sebagai tempat hidup makhluk, yaitu habitat makhluk hidup
Melakukan berbagai aktivitas hidup, misalnya mencari makan, berinteraksi Jenis kelamin
yang sama (intraspesies) atau dengan spesies lain (antarspesies) dan berkembang. Ketika
organisme melakukan fungsinya di habitatnya ada kebiasaan tertentu dalam hidup. Kebiasaan
ini bisa menjadi kebiasaan pilih jenis makanan (kebiasaan diet) dan cara menemukan
kebiasaan makan (kebiasaan makan). Karena kebiasaan yang berbeda dalam memilih jenis
makanan, k kemudian berbagai makhluk dapat hidup berdampingan dalam satu habitat.
Berapa banyak jumlah spesies yang dapat ditampung oleh suatu habitat bergantung pada
kapasitas habitat menyediakan semua jenis makanan untuk memenuhi kebutuhan semua jenis
organisme.

B.Ketergantungan makhluk hidup pada habitat.

Habitat merupakan hasil interaksi komponen non hayati dan hayati ciptakan kondisi
yang memungkinkan organisme untuk tumbuh dan berkembang. Habitat dan komponennya
mengatur/menentukan pola iklim lokal dan global, pembentukan tanah, pemurnian air dan
sirkulasi nutrisi dan penyesuaian fungsi bermanfaat lainnya serta menjaga kelestarian bumi
itu sendiri. Oleh karena itu, habitat menyediakan berbagai kebutuhan kelangsungan hidup
bagi organisme di alam. Perubahan sebagian atau seluruh komponen yang membentuk habitat
akan mempengaruhi pola dan kebiasaan makhluk yang menghuninya. Jika berubah Secara
bertahap (evolusi) biasanya organisme akan dapat merespon dengan baik. Namun, jika
habitat berubah secara drastis, organisme kemungkinan besar tidak akan mampu
menghadapi/menyesuaikan diri dengan lingkungan baru. Untuk organisme yang tidak bisa
beradaptasi dengan perubahan ini, akan ada kematian massal atau relokasi / ubah lokasi untuk
menemukan habitat baru. Reaksi organisme terhadap perubahan beberapa atau semua
komponen habitat ini bervariasi menurut spesies, usia, dan tingkat nutrisi. Organisme sensitif
perubahan habitat dan dan makhluk yang menempati tingkat tropis yang tinggi, seperti
predator jika tidak, karnivora akan punah lebih cepat.
C. Kerusakan pesisir & Laut

Sebagai negara kepulauan, Indonesia mempunyai pesisir yg sangat panjang yaitu


lebih menurut 81.000 km. Wilayah bahari Indonesia juga sangat luas yaitu mencapai 5,8 Juta
km2 . Selain pesisirnya yg panjang & bahari yg luas, daerah pesisir bahari Indonesia juga
kaya akan keanekaragaman hayati (biodiversity). Pada daerah pesisirnya masih ada berbagai
jenis ekosistem misalnya terumbu karang, mangrove & padang lamun (Dahuri et al., 1996).
Indonesia juga mempunyai 30% hutan mangrove global & 18% terumbu karang global
terdapat pada Indonesia. World Resource Institute (WRI:2002) meperkirakan bahwa luas
terumbu karang pada Indonesia merupakan kurang lebih 51.000 km². Angka tadi belum
termasuk terumbu karang pada daerah terpencil yg belum dipetakan atau berada pada
perairan dekat daratan. Selain luas, jenis terumbu karang pada Indonesia jua sangat beragam.
Di Indonesia bagian timur saja ditemukan kurang lebih 1.650 jenis ikan karang. Sehingga
tidak mengherankan jika terumbu karang dikenal memiliki nilai ekologis dan ekonomis yang
sangat tinggi. Selain terumbu karang, hutan mangrove juga mengalami kerusakan yang cukup
parah. Berdasarkan tingkat kerusakannya, Tingginya tingkat kerusakan mangrove sebagian
besar disebabkan oleh alih fungsi kawasan mangrove menjadi lahan tambak, pertanian,
permukiman, pelabuhan dan reklamasi pantai untuk kawasan wisata. Selain itu, kerusakan
juga terjadi karena penebangan liar. Kerusakan mangrove dan terumbu karang menyebabkan
pantai tidak terlindung. Di beberapa wilayah, abrasi pantai mengancam keberadaan
permukiman penduduk, jalan dan kegiatan perikanan dan pertambakan. Kerusakan ini juga
dapat memperparah bencana tsunami di beberapa wilayah yang terlindungi oleh mangrove
dan terumbu karang.

Lamun merupakan sumber daya pesisir yang rentan terhadap perubahan lingkungan.
Penurunan luas vegetasi lamun di seluruh dunia merupakan akibat dari kombinasi berbagai
macam tekanan lingkungan yang bersifat alami dan hasil aktivitas manusia (Green & Short,
2003). Hasil sampingan dari aktivitas manusia dapat memperburuk kerusakan yang terjadi
secara alami pada padang lamun. Pertumbuhan populasi manusia sepanjang lingkungan
pesisir juga pelaksanaan managemen air yang buruk telah mengakibatkan kehilangan padang
lamun (Larkum et al., 2006). Tiga milyar penduduk dunia hidup dalam 200 km garis pantai
dan 14 dari 17 kota terbesar dunia terletak di sepanjang pesisir, sehingga mengakibatkan
potensi kerusakan wilayah pesisir semakin besar (Alpizar, 2006; Olsen dalam Eveleth, 2010).
Dengan demikian, faktor tekanan lingkungan yang berasal dari aktivitas manusia merupakan
faktor yang paling berperan dalam penurunan vegetasi lamun (Hemminga & Duarte, 2000;
Green & Short, 2003).

BAB III

METODE PRAKTIKUM

Praktikum identifikasi bentuk kerusakan habitat dan dampak kerusakan habitat


dilakukan pada 5 Januari 2022. Lokasi praktikum berada pada wilayah pesisir Tanjung tiram,
Kecamatan Teluk Ambon. Pada  praktikum ini data dikumpulkan dengan metode observasi.
Observasi adalah teknik pengumpulan data yang dilakukaan melalui suatu pengamatan,
dengan disertai pencatatan-pencatatan terhadap keadaan atau perilaku objek sasaran. Kondisi
kerusakan yang disurvei yaitu seluruh kerusakan dan dampak aktivitas manusia terhadap
ekosistem di wilayah pesisir yang dapat diamati dan diidentifikasi secara langsung
dilapangan. Kegiatan survei lapangan dimaksudkan untuk mengumpulkan semua data
kerusakan di wilayah pesisir yang selanjutnya akan diidentifikasi. Hasil yang diharapkan dari
identifikasi ini adalah bentuk kerusakan; sumber kerusakan; dan dampak kerusakan habitat.
Adapun alat yang digunakan berupa alat tulis dan kamera untuk mencatat serta dokumentasi.
Data yang sudah dikumpulkan kemudian dimasukkan dalam tabel dan didentifikasikan.

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dari hasil observasi yang di dapatkan, ada beberapa bentuk kerusakan yang terjadi di pantai
tersebut . Salah satunya adalah pencemaran pantai yang di hasilkan dari manusia yaitu
banyaknya sampah plastik,tumpahan minyak,dan limbah hasil produksi. Dari banyaknya
hasil-hasil kerusakan tersebut dapat mengakibatkan dampak kerusakan antara lain :

-Dapat membinasakan hewan-hewan laut seperti molusca,dan rumput laut serta ikan-ikan
kecil yang hidup pada daerah tersebut.

-Dapat juga menyebabkan penyakit kulit pada manusia.

Kerusakan yang terdapat dalam observasi tersebut yaitu kerusakan ekosistem mangrove.
Mangrove dijadikan sebagai tempat untuk tambatan perahu nelayan dan pembangunan rumah
penduduk.

Dari hasil tidak dijaganya ekosistem mangrove mengakibatkan dampak kerusakan antara
lain :

-Mengganggu keseimbangan ekosistem.

-wilayah pesisir lebih rentang terkena abrasi.


-Berkurangnya lahan hijau untuk daerah resapan air.

Kerusakan padang Lamun yang di hasilkan dari ulah manusia sendiri seperti

contohnya :

-Kegiatan pembangunan yang pesat dan perubahan peruntukan lahan.

-Menggunakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan.

-Dan juga sampah masyarakat yang di buang sembarangan tempat.

Dari hasil ulah manusia tersebut menimbulkan dampak pagi ekosistem tersebut seperti :

-Berkurangnya luas padang lamun.

-Berkurangnya ketersediaan makanan bagi biota yang hidup pada ekosistem lamun.

BAB V

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil bahasan di atas secara umum dapat disimpulkan bahwa menurunnya
lingkungan di wilayah pesisir adalah diakibatkan oleh aktivitas manusia yang tidak
bertanggung jawab, lemahnya penegakan hukum dan tidak adanya keterpaduan pembangunan
di wilayah pesisir. Oleh sebab itu untuk mengatasi permasalahan kerusakan lingkungan di
wilayah pesisir tersebut perlu dilakukan kebijakan yang lebih komprehensif, demokratis,
berkeadilan dan bertanggung jawab. Selain itu juga kebijakan pengelolaan sumber daya
pesisir dan laut dalam era otonomi daerah ini harus mencerminkan adanya keterpaduan antar
sektor dan memperhatikan keadilan masyarakat.

Pengelolaan sumber daya pesisir dan laut yang berkelanjutan dan bertanggung jawab saat ini
telah menjadi kebutuhan utama. Hal ini disebabkan oleh semakin meningkatnya laju
degradasi sumber daya di wilayah pesisir dan lautan. Oleh sebab itu saat ini diperlukan suatu
kerja sama yang sinergis antar stakeholders yangterkait dalam menyelamatkan sumber daya
pesisir dan laut sebagai warisan bagi generasi mendatang.

DAFTAR PUSTAKA
Kusumastuti, A. (2004). Kajian Faktor-Faktor Penyebab Kerusakan Terumbu Karang di
Perairan Bontang Kuala dan Alternatif Penanggulangannya (Doctoral dissertation, Program
Pasca Sarjana Universitas Diponegoro).

Mijani, R. (2016). Habitat Sebagai Penyangga Keberlangsungan Kehidupan.

Rahmawati, S. (2011). Ancaman terhadap komunitas padang lamun. Oseana, 36(2), 49-58.

Soraya, D., Djunaedi, O. S., & Taofiqurohman, A. (2012). Perubahan garis pantai akibat
kerusakan hutan mangrove di Kecamatan Blanakan dan Kecamatan Legonkulon, Kabupaten
Subang. Jurnal Perikanan Kelautan, 3(4).

Anda mungkin juga menyukai