Anda di halaman 1dari 14

MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI

TUGAS M1

Dosen Pengampu Mata Kuliah: Prof. Ir. Didik Suprayogo, M.Sc., Ph.D

Disusun oleh:

Brigitha Najiyah Rohmatuzzahroh (205040207111146)

JURUSAN TANAH
PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2023
BAB 1
Potensi dan Manfaat Sumberdaya Alam bagi Masyarakat dilokasi kajian
Sumberdaya alam mencakup semua kekayaan berupa benda mati maupun
benda hidup yang terdapat di bumi yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi
kebutuhan hidup manusia. Tekanan terhadap sumberdaya alam sangat besar
seiring dengan tuntutan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Upaya
upaya untuk memenuhi kebutuhan hidup ini akan terus menerus dilakukan seiring
dengan pertumbuhan manusia yang juga terus meningkat. Dalam proses
pembangunan manusia sangat berperan aktif dalam proses pemanfaatan
sumberdaya alam. Manusia sangat bergantung pada sumberdaya alam dan
kelestarian sumberdaya alam sangat dipengaruhi oleh aktivitas manusia (Zuriyani,
2016).
Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah daerah yang di batasi punggung
punggung gunung dimana air hujan yang jatuh pada daerah tersebut akan
ditampung oleh punggung gunung tersebut dan akan dialirkan melalui sungai
sungai kecil ke sungai utamaDAS termasuk suatu wilayah daratan yang
merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang
berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah
hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah
topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih
terpengaruh aktivitas daratan (Dinas Lingkungan Hidup, 2019). DAS merupakan
salahsatu sumberdaya alam yang begitu kompleks dan terdiri dari berbagai
komponen yang menyusunnya. Komponen tersebut terdiri dari sumberdaya
vegetasi (hutan), tanah, dan air (sungai beserta anak-anak sungai), serta manusia
yang terdapat pada kawasan tersebut sebagai pengguna ruang beserta
sumberdaya alam yan terdapat didalamnya. Yang mana ekosistem DAS bagian
hulu mempunyai keterkaitan yang sangat erat dengan ekosistem DAS pada bagian
hilir (Zuriyani, 2016).
Pembagian Daerah Aliran Sungai berdasarkan fungsi Hulu, Tengah dan
Hilir yaitu Bagian hulu didasarkan pada fungsi konservasi yang dikelola untuk
mempertahankan kondisi lingkungan DAS agar tidak terdegradasi, yang antara
lain dapat diindikasikan dari kondisi tutupan vegetasi lahan DAS, kualitas air,
kemampuan menyimpan air (debit), dan curah hujan. Bagian tengah didasarkan
pada fungsi pemanfaatan air sungai yang dikelola untuk dapat memberikan
manfaat bagi kepentingan sosial dan ekonomi, yang antara lain dapat
diindikasikan dari kuantitas air, kualitas air, kemampuan menyalurkan air, dan
ketinggian muka air tanah, serta terkait pada prasarana pengairan seperti
pengelolaan sungai, waduk, dan danau. Bagian hilir didasarkan pada fungsi
pemanfaatan air sungai yang dikelola untuk dapat memberikan manfaat bagi
kepentingan sosial dan ekonomi, yang diindikasikan melalui kuantitas dan kualitas
air, kemampuan menyalurkan air, ketinggian curah hujan, dan terkait untuk
kebutuhan pertanian, air bersih, serta pengelolaan air limbah (Dinas Lingkungan
Hidup, 2019).
Salah satu bentuk dari permasalahan air di Indonesia adalah ditandai
dengan kondisi lingkungan yang tidak kondusif sehingga makin mempercepat
kelangkaan air. Kerusakan lingkungan antara lain diakibatkan oleh terjadinya
degradasi daya dukung DAS hulu akibat kerusakan hutan yang tidak terkendali
sehingga luas lahan kritis di Indonesia sudah mencapai 18,5 juta hektar.
Peningkatan jumlah DAS kritis, dari 22 pada tahun 1984, hingga menjadi 59 pada
tahun 1998. Hal ini yang mengakibatkan turunnya kemampuan DAS untuk
menyimpan air di musim kemarau sehingga frekuensi dan besaran banjir semakin
meningkat serta sedimentasi yang semakin tinggi mengakibatkan pendangkalan
di waduk dan sungai sehingga menurunkan daya tampung dan pengalirannya
(Zuriyani, 2016).
BAB 2.
Permasalahan gangguan fungsi DAS
2.1. Fakta Lapangan Gangguan Ekosistem DAS
Air dalam berbagai bentuk di bumi mengalami daur/siklus yang dinamakan
siklus hidrologi. Siklus hidrologi inilah yang menjelaskan keberadaan air di bumi
akan selalu dalam jumlah yang tetap. Sebagai contohnya, apabila di suatu daerah
mengalami kekeringan yang sangat (ketersediaan air sedikit), di waktu yang sama,
di daerah bumi yang lain jumlah air akan melimpah. Contoh yang lain adalah
lapisan es yang mengalami pengikisan akan diimbangi dengan naiknya
permukaan air laut (Imansyah, 2012). Siklus hidrologi ini harus tetap berlangsung
normal agar tidak terjadi ketidakseimbangan jumlah air di bumi yang
mengakibatkan gangguan-gangguan bagi makhluk hidup. Kelestarian lingkungan
hidup seperti daerah konservasi alam, hutan, dsb merupakan salah satu kunci dari
siklus hidrologi ini. Apabila kelestarian tersebut terganggu, akan timbul dampak
yang sangat serius bagi manusia seperti banjir, longsor, dan kekeringan
(Imansyah, 2012).
Akan tetapi, pada kenyataannya, pesat- nya perkembangan manusia di
muka bumi tidak diimbangi dengan kelestarian lingkungan hidup. Perilaku manusia
yang hanya memikirkan dirinya sendiri dan keuntungan sesaat menjadikan pola
hidup manusia tidak mempedulikan kelestarian alam sekitarnya. Padahal, manusia
harus hidup bersama-sama dengan alam untuk tetap bertahan di muka bumi
(Imansyah, 2012). Bagian hulu sungai merupakan sumber aliran air yang mengalir
ke bagian sungai di bawahnya. Bagian tersebut terletak di bagian atas sungai, di
daerah yang lebih tinggi daripada bagian-bagian sungai yang lain. Aliran sungai,
sepenuhnya secara alami memanfaatkan energy gravitasi untuk mengalirkan
airnya. Oleh karena itu, air akan mengalir dari bagian hulu ke bagian tengah dan
hilir karena air di bagian hulu memiliki energi potensial yang lebih tinggi. Mengingat
fungsinya sebagai sumber aliran air sungai, bagian hulu merupakan bagian yang
perlu dijaga kelestarian alamnya. Bukan berarti bagian lain pada sungai tidak perlu
dijaga, tetapi bagian hulu sungai ini perlu diprioritaskan karena fungsinya yang
sangat penting (Imansyah, 2012). Salahsatu bentuk permasalahan air di Indonesia
adalah ditandai dengan kondisi lingkungan yang tidak kondusif sehingga makin
mempercepat kelangkaan air. Kerusakan lingkungan antara lain diakibatkan oleh
terjadinya degradasi daya dukung DAS hulu akibat kerusakan hutan yang tidak
terkendali sehingga luas lahan kritis di Indonesia sudah mencapai 18,5 juta hektar.
Peningkatan jumlah DAS kritis, dari 22 pada tahun 1984, hingga menjadi 59 pada
tahun 1998. Hal ini yang mengakibatkan turunnya kemampuan DAS untuk
menyimpan air di musim kemarau sehingga frekuensi dan besaran banjir semakin
meningkat serta sedimentasi yang semakin tinggi mengakibatkan pendangkalan
di waduk dan sungai sehingga menurunkan daya tampung dan pengalirannya
(Zuriyani, 2016). Selanjutnya pada tahun 1999, terdeteksi bahwa 470 DAS di
Indonesia, 62 diantaranya dalam kondisi kritis yang diprediksi dari perbandingan
aliran maksimum dan minimum sungai-sungai yang sudah melampaui batas
normalnya. Keadaan ini diperparah dengan degradasi dasar sungai akibat
penambangan bahan galian golongan C di berbagai sungai di Jawa, Bali, NTB,
dan Sumatera Barat yang telah mengakibatkan struktur dan fungsi prasarana dan
sarana di sepanjang sungai rusak (Zuriyani, 2016).
2.2. Dampak Masalah Terhadap Masyarakat Dan Petani Di Daerah Hulu

DAS Brantas terdiri dari 3 bagian yakni hulu, tengah dan hilir. Sub DAS
Brantas bagian hulu terletak di kota Batu-Tulungagung. Sub DAS Brantas bagian
tengah terletak di Kediri-Nganjuk sedangkan hilirnya terletak di
Jombang Surabaya. setiap bagian DAS memiliki fungsi dan karakteristik tertentu.
umumnya wilayah hulu terletak pada daerah pegunungan sebagai daerah
tangkapan dan resapan air hujan sedangkan wilayah hilir merupakan outlet
dimana aliran air dari hulu akan menuju satu muara yakni laut. Wilayah hulu
tentunya memiliki curah hujan yang lebih tinggi dibandingkan wilayah di bawahnya
serta memiliki tingkat kesuburan yang lebih tinggi dibandingkan wilayah di
bawahnya. Akibatnya, wilayah hulu yang berupa hutan kemudian dialihfungsikan
sebagai lahan pertanian yang ditanami secara intensif. Hal ini berpotensi
menyebabkan erosi terjadi diwilayah hulu yang berdampak pada kualitas air pada
aliran sungai. Erosi dapat terjadi ketika lapisan topsoil di daerah hulu terangkut
oleh limpasan permukaan akibat berkurangnya jumlah akar pohon sebagai
penahan pergerakan tanah. Jumlah tutupan pohon yang berkurang juga
mengakibatkan lapisan tanah yang terbawa limpasan permukaan tidak terfilter
dengan baik sehingga air mengalir membawa sedimen tanah yang berujung pada
peristiwa sedimentasi pada hilir. Ketika sedimen tanah telah tertumpuk, maka
badan sungai akan mengalami pendangkalan sehingga sungai tidak dapat
menampung air berlebihan dan meluap ke wilayah di sekitarnya (Waskitho, 2013).
2.3. Dampak Masalah Terhadap Masyarakat Daerah Hilir DAS.
Banyaknya pengalihan fungsi lahan pertanian menjadi lahan permukiman.
Pemukiman berkembang tanpa perencanaan yang baik. Degradasi prasarana
pengendali banjir dan prasarana jaringan irigasi. Bahkan ada beberapa titik yang
kekurangan prasarana pengendali banjir di muara, selain itu terjadinya abrasi
pantai di muara memperparah keadaan. Banjir disebabkan oleh curah hujan tinggi
yang berlangsung secara terus menerus. Menurut (BBWS Brantas, 2020), dalam
5 tahun terakhir seringkali terjadi banjir dalam jangka waktu yang dekat dan
wilayah yang terdampak banjir berada di hilir sungai, misalnya di Nganjuk,
Tulungagung, Blitar, dan lain-lain. Hal ini menjadi dampak dari tingginya tingkat
bahaya erosi dan sedimentasi di DAS Brantas bagian hulu dan tengah karena
kelerengan yang curam. Oleh karena itu, kawasan DAS Brantas menjadi salah
satu DAS prioritas di Indonesia karena menghadapi permasalahan erosi akibat alih
fungsi lahan (Pambudi et al., 2021).
2.4. Analisis Akar Masalah Secara Komperhensif, Dari Akar Masalah Dipositifkan
Menjadi Solusi Masalah
Analisis akar masalah dilakukan tidak hanya pada satu titik, melainkan banyak titik
yang dapat mewakili keseluruhan daerah aliran sungai brantas baik hulu, tengah
maupun hilir. Adapun bagian-bagian yang diamati dibagi menjadi tiga bagian yaitu
1. Brantas Hulu : Meliputi wilayah kota Batu-Tulungagung
2. Brantas Tengah: Meliputi wilayah Kediri-Nganjuk
3. Brantas Hilir: Meliputi wilayah Jombang-Surabaya
Zona daerah aliran sungai brantas hulu memiliki penyebab permasalahan seperti
berkurangnya fungsi kawasan lindung (hutan dan non hutan), berkembangnya
kawasan permukiman tanpa perencanaan yang baik, budidaya pertanian yang
tidak sesuai dengan kaidah konservasi. Tingkat pengambilan air tanah
diluarkendali (sebagian besar tidak ter-registrasi) mengakibatkan penurunan muka
tanah, kerusakan struktur bangunan gedung, dan memperbesar potensi daerah
rawan banjir. Hal-hal tersebut diatas menyebabkan : degradasi fungsi konservasi
sumber daya air, banyaknya lahan kritis, kadar erosi semakin tinggi, sedimentasi
di palung sungai, waduk, dan jaringan prasarana air. Sungai tercemar limbah
permukiman, industri, pertanian, dan peternakan diakibatkan perilaku masyarakat.
Kurangnya kesadaran dan pengetahuan masyarakat akan pentingnya kesehatan
lingkungan. Selain itu kurangnya ketersediaan infastruktur pengelolaan sampah
dan limbah, buruk, atau bahkan tidak ada sama sekali membuat masyarakat
mengambil jalan pintas membuang limbah ke sungai. Permasalahan tersebut
diatas menyebab- kan banjir selalu melanda Bandung setiap tahunnya, terutama
di musim hujan. Banjir akan selalu terjadi apabila tidak dilakukan penanganan
secara menyeluruh.
Permasalahan lahan kritis menjadi persoalan yang cukup penting bagi
kehidupan masyarakat desa, dikarenakan sektor pertanian merupakan salah satu
sumber perekonomian di desa. Pengetahuan masyarakat desa akan teknologi
yang terbatas, modal yang tidak mencukupi dan akses ke desa yang cukup sulit
membuat masyarakat desa sangat mengandalkan sektor pertanian sebagai mata
pencahariannya. Lahan Kritis bisa terjadi secara diduga dan tidak diduga, dan juga
bisa diakibatkan oleh faktor alam dan faktor manusia itu sendiri. Jika lahan
pertanian tidak subur dan rusak, aktivitas pertanian bisa terhenti, karena lahan
adalah faktor penting dari aktivitas produksi hasil pertanian. Lahan kritis terjadi
akibat perubahan penggunaan lahan di Indonesia dari kawasan lahan pertanian
maupun lahan hutan menjadi lahan non pertanian atau lahan terbangun sehingga
kawasan yang berfungsi sebagai serapan air semakin berkurang yang dapat
menyebabkan degradasi lahan, kekeringan atau kekurangan air bersih pada
musim kemarau, bencana tanah longsor dan bencana banjir pada musim
penghujan (Juniarti, 2020).
BAB 3
Tinjauan Pustaka
Potensi lahan di indonesia sangat besar dan melimpah, tetapi kerap kali
terjadi kerusakan lahan karena tidak menerapkan prinsip konservasi. Sari et al.
(2016) menjelaskan bahwa petani umumnya memprioritaskan pemenuhan
kebutuhan berjangka pendek daripada persoalan jangka panjang sehingga prinsip
konservasi tidak dijalankan. Padahal menurut FAO (2015), pembangunan lahan
pertanian, kehutanan dan perikanan harus mampu melindungi air, tanah, tanaman,
serta hewan, kemudian tidak merusak lingkungan dan tentunya dapat memenuhi
kebutuhan manusia secara berkelanjutan di masa mendatang. Prinsip konservasi
yang tidak dijalankan ini tentunya berpengaruh terhadap luas hutan di indonesia.
Luasan hutan di indonesia adalah yang ketiga terbesar di dunia, tetapi deforestasi
terus terjadi tiap tahunnya. Berkurangnya hutan sebagai paru-paru dunia tidak
hanya meningkatkan ancaman pemanasan global, tetapi juga mengancam siklus
hidrologi hutan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Talakua (2019) bahwa
deforestasi hutan selanjutnya berdampak pada siklus hidrologi dimana erosi akan
terjadi akibat pepohonan yang tersisa tidak dapat menahan air yang turun
sehingga limpasan permukaan akan lebih tinggi daripada infiltrasi yang berlanjut
pada pengikisan tanah.
Lahan yang terbuka dengan tutupan lahan yang kurang akan lebih mudah
mengalami erosi karena pukulan air hujan mengenai permukaan tanah secara
langsung sehingga erosi yang terjadi akan lebih besar. (Mahardhika, 2012) juga
menambahkan bahwa limpasan permukaan dapat meningkat ketika vegetasi pada
lahan jumlahnya sedikit sehingga tidak dapat menyerap air masuk ke dalam pori-
pori tanah dan aliran permukaan meningkat. Secara lebih lanjut, (Rauf, 2009)
menjelaskan bahwa jika terdapat vegetasi yang banyak pada suatu lahan maka
pertumbuhan akarnya dapat menghasilkan pori mikro sebagai tempat menyimpan
air sehingga laju infiltrasi meningkat dan volume aliran limpasan permukaan
menurun. Penelitian menunjukkan bahwa tanaman kopi yang ditanam secara
monokultur di sekitar lereng dapat mengakibatkan lapisan tanah mudah tergerus
limpasan permukaan karena tidak ada tutupan lahan di bawah kanopi.
Kemiringan lereng yang curam dengan vegetasi yang kurang dapat
memungkinkan limpasan permukaan atau run off turun menuju bawah dan
menggerus tanah sehingga terjadi erosi. lereng yang curam sendiri sebenarnya
tidak sesuai untuk ditanami tanaman semusim karena tidak sesuai dengan
kemampuan lahannya. (Osok, et al., 2018) menjelaskan bahwa lahan dengan nilai
kelas kemampuan lahan IV-VIII memiliki potensi pertanian yang terbatas karena
salah satu faktor penghambat terbesar adalah lereng yang curam sehingga nilai
erosi lebih besar. wilayah-wilayah tersebut akan lebih tepat jika digunakan untuk
agroforestri, padang rumput, hutan lindung dan sebagainya Lereng perbukitan
terlihat ditanami komoditas semusim karena tidak terlihat tajuk pohon. Tanaman
semusim ditanam memanjang searah dengan lereng sehingga erosi dapat terjadi.
(Kurnia, et al., 2004) menjelaskan bahwa teras yang dibuat searah lereng oleh
petani tanaman semusim umumnya bertujuan untuk memperbaiki drainase tanah,
namun fakta di lapang menunjukkan bahwa teras yang dibuat searah dengan
lereng memperbesar tingkat erosi. Tanah pada teras yang searah dengan lereng
akan mengalami pengikisan dan penghanyutan oleh limpasan permukaan saat
hujan sehingga lapisan tanah atas yang kaya akan unsur hara akan turun dan
luruh ke bawah dan terjadilah erosi tanah.
Menurut Pratama dan Diansari (2021) menyatakan bahwa DAS bagian
hulu seringkali menjadi fokus perencanaan pengolaan DAS karena selai fungsinya
yang sangat penting yaitu sebagai daerah tangkapan air (Water Catchment Area)
juga adanya berkaitan biofisik dengan daerah hilir. Sebagai bentuk kerusakan
yang terjadi di daerah hulu pada akhirnya tidak hanya akan membawa dampak
bagi daerah hulu saja namun akhirnya juga berdampak pada daerah tengah dan
terutama daerah hilir. Kerusakan di Daerah Airan Sungai (DAS) pada umumnya
disebabkan karena perubahan lahan yang tidak terkendali di bagian hulu DAS
sehingga mengakibatkan terjadinya perubahan siklus hidrologi di DAS tersebut.
Masalah-masalah yang terjadi yang menyebabkan kerusakan pada tanah
mungkin memiliki beberapa pilihan metode yang dapat diterapkan sehingga dapat
mengatasi kerusakan yang telah terjadi dan mengantisipasi di masa yang akan
datang. Menurut Suryani (2019), teknologi pengelolaan lahan yang dapat
mengurangi atau menghambat degradasi pada lahan pertanian miring adalah
teknologi yang dapat menghambat aliran permukaan dan erosi tanah. Selain itu,
pengelolaan lahan harus mampu menyediakan sumber bahan organik tanah.
Metode konservasi tanah dan air dibagi menjadi metode vegetatif dan mekanis.
Pencegahan degradasi lahan melalui cara vegetatif dan mekanis merupakan salah
satu aspek konservasi tanah yang dapat diterapkan pada lahan pertanian miring.
Teknik konservasi tanah di Indonesia diarahkan pada tiga prinsip utama, yaitu
perlindungan permukaan tanah dari tetesan air hujan, peningkatan kapasitas
infiltrasi tanah dengan menerapkan bahan organik atau meningkatkan
penyimpanan air, dan pengurangan limpasan permukaan untuk mencegah bahan
dan nutrisi tanah dari sedang hanyut. Konservasi vegetatif tanah dan air adalah
segala bentuk pemanfaatan tumbuhan atau sisa-sisa tumbuhan untuk mengurangi
kemungkinan terjadinya dan kerusakan akibat erosi. Teknik konservasi tanah
secara vegetatif adalah setiap penggunaan tumbuhan, vegetasi, atau sisa-sisa
tanaman sebagai sarana untuk melindungi tanah dari erosi, menghambat aliran
permukaan, meningkatkan kadar air tanah, dan memperbaiki sifat-sifat tanah, baik
fisik maupun kimia dan biologi. Menurut Subagyono dkk. (2003), tumbuhan atau
sisa tumbuhan berfungsi sebagai pelindung tanah terhadap dampak tetesan air
hujan dan daya dukung aliran permukaan (runoff), di samping meningkatkan
peresapan air ke dalam tanah. Tanaman kanopi berfungsi untuk membatasi laju
tetesan air hujan dan mengurangi energi kinetik tetesan air dan pelepasan partikel
tanah sehingga guncangan tetesan air dapat dikurangi. Air yang masuk di antara
tajuk (intersepsi) sebagian akan kembali ke atmosfer akibat penguapan. Fungsi
melindungi permukaan tanah dari tetesan air hujan sangat penting karena
sebagian besar erosi yang terjadi di Indonesia terutama disebabkan oleh hujan.
Semakin rapat penutupan, semakin rendah risiko agregat tanah hancur oleh
dampak tetesan air hujan. Ada berbagai teknik untuk konservasi tanah dan air
secara vegetatif. Beberapa contoh atau jenis konservasi vegetatif adalah
reboisasi, agroforestri, pola gang, mulsa, tanaman penutup tanah, pergiliran
tanaman atau tumpangsari. Keuntungan yang dapat diperoleh dari berbagai jenis
konservasi vegetatif adalah relatif mudah dilaksanakan, dapat membantu
melestarikan lingkungan, mencegah erosi dan menahan aliran permukaan, dapat
memperbaiki sifat-sifat tanah dengan mengembalikan bahan organik dari tanaman
dan meningkatkan nilai tambah bagi petani dari bercocok tanam. Produk dari
tanaman konservasi ini. Pengelolaan tanah secara vegetatif dapat menjamin
kelangsungan keberadaan tanah dan air karena memiliki beberapa sifat, seperti
menjaga stabilitas struktur tanah melalui sistem perakaran dengan meningkatkan
granulasi tanah, untuk penutup tanah oleh serasah dan tajuk mengurangi
penguapan.
BAB 4.
Rencana Aksi Manajemen DAS
Berdasarkan pemaparan sebelumnya, dapat diketahui bahwa kesehatan
DAS Brantas yang menurun diakibatkan oleh alih fungsi lahan pada bagian hulu.
Oleh karena itu, 3 tindakan berikut ini diharapkan mampu mengurangi erosi di
bagian hulu sehingga DAS Brantas tetap sehat dan lestari.
1. Teknologi Konservasi Vegetatif
Teknologi konservasi secara vegetatif merupakan teknik dengan
memanfaatkan sumber daya alam yang ada. Pengelolaan tanah secara
vegetatif dapat menjamin keberlangsungan keberadaan tanah dan air karena
memiliki beberapa sifat seperti Memelihara kestabilan struktur tanah melalui
sistem perakaran dengan memperbesar granulasi tanah, untuk penutupan
lahan oleh seresah dan tajuk mengurangi evaporasi, Meningkatkan aktifitas
mikroorganisme yang mengakibatkan peningkatan porositas tanah, sehingga
memperbesar jumlah infiltrasi dan mencegah terjadinya erosi dan memiliki
nilai ekonomi sehingga dapat menambah penghasilan petani.Teknik
konservasi tanah secara vegetatif dapat berupa: penghutanan kembali
(reforestation), wanatani (agroforestry) termasuk didalamnya adalah
pertanaman lorong (alley cropping), pertanaman menurut strip (strip
cropping), strip rumput (grass strip) barisan sisa tanaman, tanaman penutup
tanah (cover crop), penerapan pola tanam termasuk di dalamnya adalah
pergiliran tanaman (crop rotation), tumpang sari (intercropping), dan tumpang
gilir (relay cropping) (Subagyono, 2003).
a. Penghutanan kembali (Reforestation)
Penghutanan kembali biasanya dilakukan pada lahan kritis yang
diakibatkan oleh bencana alam seperti kebakaran, abrasi, tanah longsor, erosi
serta aktivitas manusia seperti adanya pertambangan, perladangan berpindah
dan penebangan hutan sembarangan. Jenis tanaman yang digunakan
sebaiknya berasal dari jenis yang mudah beradaptasi terhadap lingkungan
baru, cepat berkembang biak, mempunyai perakaran yang kuat, dan kanopi
yang rapat atau rindang (Hartono, 2016).
b. Wanatani (Agroforestry)
Agroforestri adalah suatu bentuk konservasi tanah yang menggabungkan
tanaman pohon atau tanaman semusim dengan tanaman lain, ditanam
bersama atau bergantian. Menurut Rendra dkk. (2016), agroforestri adalah
sistem tata guna lahan secara ekologis, sosial dan ekonomi yang dilakukan
oleh manusia melalui penerapan berbagai teknologi melalui pemanfaatan
tanaman semusim, semusim (semak, palm, bambu, dll). Dalam suatu
agroforestri terdapat interaksi yang cukup kuat antara komponen pohon dan
non pohon, dapat menggunakan dua jenis tanaman atau lebih (salah satunya
adalah tanaman berkayu), dapat menghasilkan dua atau lebih hasil dari
penggunaan sistem agroforestri, siklus lebih dari satu tahun dan dapat
digunakan di darat lereng yang curam, berbatu, berawa atau tanah tepi di
mana sistem penggunaan lahan lain tidak cocok.
Dalam agroforestri, kesuburan tanah dapat dipertahankan dan erosi tanah
dikendalikan melalui pemilihan tanaman dan pola tanam yang digunakan.
Menggunakan tanaman semusim dapat mengurangi erosi lebih baik daripada
tanaman pertanian, terutama tanaman semusim. Tumbuhan tahunan memiliki
luas tutupan daun yang relatif lebih besar untuk menahan energi kinetik air
hujan, sehingga air yang mencapai tanah dalam bentuk batang dan sungai
mengalir tidak menghasilkan efek erosif yang besar. Tajuk pohon dapat
menangkap dan menyimpan sebagian air hujan berupa lapisan tipis air di
permukaan daun dan batang, yang kemudian menguap sebelum jatuh ke
tanah. Menurut Widiyanto (2013), peran penebangan pohon dalam
mengurangi banjir pada saat curah hujan tinggi sangatlah penting. Intersepsi
hujan oleh vegetasi heterogen dan berlapis-lapis mengurangi energi kinetik
tetesan hujan. Sementara itu, tanaman semusim mampu memberikan
penutup tanah yang baik dan perlindungan dari tetesan air hujan yang memiliki
energi merusak. Menggabungkan keduanya diharapkan dapat memberikan
manfaat ganda dari tanaman tahunan dan tahunan.
Menerapkan agroforestri ke daerah dengan kemiringan yang curam atau
agak curam dapat mengurangi laju erosi dan peningkatan kualitas tanah
dibandingkan dengan lahan kosong atau lahan yang hanya ditanami tanaman
semusim. Semusim yang dipilih harus dari spesies yang dapat memberikan
nilai bagi petani dari buah dan produk kayu mereka. Agroforestri ini tidak
hanya mampu menghasilkan keuntungan yang lebih cepat dan lebih besar,
tetapi juga merupakan sistem pencegahan erosi tanah yang sangat baik.
c. Mulsa
Mulsa adalah bahan (potongan tanaman, bedding, atau bahan lain) yang
disebarkan atau digunakan sebagai penutup permukaan untuk melindungi
tanah dari kehilangan air melalui penguapan. Mulsa dapat digunakan untuk
melindungi permukaan tanah dari tetesan air hujan secara langsung, sehingga
mengurangi terjadinya erosi hujan rintik-rintik, selain itu mulsa juga dapat
mengurangi laju dan jumlah limpasan permukaan. Mulsa lapuk meningkatkan
bahan organik dan nutrisi tanah.
Mulsa mampu menjaga stabilitas suhu tanah di bawah kondisi yang baik
untuk aktivitas mikroba. Mulsa berupa sisa tanaman atau bahan tanaman
lainnya digunakan untuk teknologi perlindungan tanah dan air. Peran mulsa
dalam menekan laju erosi sangat ditentukan oleh bahan mulsa, persentase
penutup tanah, ketebalan lapisan mulsa, dan ketahanan mulsa terhadap
dekomposisi (Abdurachman dan Sutono, 2002). Dalam jangka panjang,
pengolahan tanah dan mulsa minimal dapat mengurangi erosi di bawah
ambang batas yang dapat diabaikan (kehilangan tanah yang dapat
ditoleransi). Di sisi lain, lebih banyak erosi terjadi pada tanah yang diolah
tanpa mulsa.
Mulsa juga dapat meningkatkan laju infiltrasi. Aplikasi mulsa sisa tanaman
hingga 4-6 t/ha dapat mempertahankan laju pelindian dan mengurangi laju
limpasan dan erosi ke tingkat yang masih dapat diabaikan. Mulsa jerami
bersama dengan mulsa sisa tanaman sangat efektif dalam mengurangi erosi
dan mengurangi konsentrasi sedimen dan unsur hara yang hilang akibat erosi
2. Teknologi Konservasi Mekanis (Sipil Teknis)
Teknis konservasi tanah dan air secara mekanis biasa dilakukan dengan
berbagai alternatif penanganan yang pemilihannya tergantung dari kondisi di
lahan. Menurut Khasanah et al. (2004), beberapa teknik konservasi yang
dapat dilakukan adalah antara lain pengolahan tanah menurut kontur,
pembuatan guludan, terasering, dan saluran air. Beberapa upaya konservasi
mekanik yang dapat dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Lumajang antara
lain:
a. Teras
Teras adalah bangunan konservasi tanah dan air yang dibangun dengan
cara menggali dan menimbun tanah, membentuk bangunan utama berupa
persawahan, guludan dan anak sungai yang mengikuti kontur serta dapat juga
dilengkapi dengan bangunan pelengkap seperti gorong-gorong. SPA) dan air
terjun tegak lurus kontur. Teras adalah suatu struktur mekanis untuk
konservasi tanah dan air yang dibuat untuk memperpendek panjang lereng
dan/atau mengurangi kemiringan lereng dengan menggali dan mengisi tanah
di sepanjang lereng. Tujuan terasering adalah untuk mengurangi limpasan
dan meningkatkan penyerapan air, sehingga mengurangi kehilangan tanah.
Medan yang paling cocok dan cocok untuk terasering adalah medan yang
landai. Tanah seperti ini umumnya ditemukan di daerah pegunungan. Bentuk
lahan atau kemiringan lahan akan memudahkan kita dalam membuat konsep
penataan, karena kita hanya perlu menyesuaikan derajat kemiringannya saja,
namun bukan berarti lahan datar tersebut tidak dapat digunakan untuk
membuat tegakan.
Beberapa tipe teras yang banyak dikembangkan di Indonesia adalah teras
bangku danteras gulud. Sedangkan bentuk teras yang lain diterapkan pada
tanah dengan jenis tanaman tahunan, khusunya perkebunan dan tanaman
buahbuahan (Dariah et al., 2004). Teras bangku dibuat dengan cara
memotong panjang lereng dan meratakan tanah di bagian bawahnya,
sehingga terjadi sebuah deretan sperti tangga. Pada usahatani lahan kering,
fungsi utama dari teras bangku adalah memperlambat aliran permukaan,
menampung dan menyalurkan aliran permukaan dengan kekuatan yang tidak
merusak, meningkatkan laju infiltrasi dan mempermudah pengolahan tanah.
b. Saluran Drainase
Pembuatan saluran drainase dapat dilakukan karena mempunyai fungsi
mengontrol kualitas air tanah dalam kaitannya dengan salinitas. Jadi, drainase
menyangkut tidak hanya air permukaan tapi juga air tanah (Suripin, 2004).
Saluran ini terutama berguna pada saat turun hujan lebat, dimana volume air
yang melimpah perlu disalurkan pada lokasi penampungan atau pembuangan
yang aman. Saluran drainase terdiri dari beberapa macam yaitu saluran
tumput, saluran dari batu, saluran karung, saluran tertutup, dan gorong-
gorong.
3. Teknologi Konservasi Kimiawi
Teknologi konservasi kimia adalah teknik atau metode dengan penggunaan
bahan-bahan kimia organik maupun anorganik. Aplikasi metode kimia
umumnya jarang digunakan, hanya di tempat-tempat tertentu seperti halnya
di kawasan lapangan golf yang disebabkan karena metode ini memerlukan
materi atau biaya yang sangat banyak. Teknologi konservasi kimiawi untuk
konservasi tanah di Indonesia belum populer diterapkan petani karena biaya
penerapannya cenderung mahal (Marwanto et al., 2013).
BAB 4
KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan pemaparan yang telah diberikan sebelumnya, dapat


disimpulkan bahwa DAS yang sehat dapat menyediakan air ketika kemarau dan
tidak kelebihan air saat hujan. Kondisi DAS Brantas belum sesuai dengan
pernyataan tersebut karena terjadi alih fungsi lahan di bagian hulu sehingga terjadi
erosi dan berdampak buruk pada bagian hilir. Oleh karena itu diperlukan peran
dari para stakeholder untuk mempertahankan tutupan lahan yang berada di hulu
sungai sebagai upaya mencegah kebocoran DAS. Upaya-upaya yang dapat
diberikan meliputi kegiatan konservasi dengan 3 teknik yakni secara vegetatif,
mekanis, dan kimiawi. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan diatas, maka
saran yang dapat diberikan yaitu perlu dilakukan analisis lebih lanjut terkait faktor
utama penyebab degradasi lahan pada hulu DAS Brantas. Kemudian diperlukan
pemahaman serta pengalaman dalam menerapkan teknologi konservasi agar
sesuai dan tepat sasaran sehingga konservasi yang diterapkan efisien
DAFTAR PUSTAKA

Arsyad, S., 2000. Pengawetan Tanah dan Air. Bogor: Departemen Ilmu-Ilmu
Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Arsyad, S. 2010. Konservasi Tanah dan Air. Institut Pertanian Bogor Press. Bogor.
Ariyanto, Kus Nugroho. 2004. Evaluasi Praktek Konservasi Tanah Cara Teras
Bangku di DAS Tinalah Kabupaten Kulonprogo. Skripsi. Yogyakarta:
Fakultas Geografi UGM.
Ariani, R., & Haryati, U. (2018). Sistem Alley Cropping : Analisis SWOT dan
Strategi Implementasinya di Lahan Kering DAS Hulu Alley Cropping :
SWOT Analysis and Implementation Strategy in Upland Watershed. Jurnal
Sumberdaya Lahan, 12(1), 13–31.
Astuti, H.P., 2017. Kajian Implementasi Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu
(PSDAT) pada Daerah Aliran Sungai Brantas Hulu. J. Kaji. Tek. Sipil 2, 96–
106. BBWS Brantas, 2020. POLA PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR
WILAYAH SUNGAI BRANTAS TAHUN 2020.
Badaruddin, Kadir, S., Khalid, S. & Ridwan, I., 2021. KAJIAN EROSI PADA
BERBAGAI UNIT LAHAN DI DAS KINTAP. Prosiding Seminar Nasional
Lingkungan Lahan Basah, 6(1), pp. 1-5. Groff, S. (2015). The past, present,
and future of the cover crop industry. Journal of Soil and Water
Conservation, 70(6), 130A-133A. https://doi.org/10.2489/jswc.70.6.130A.
Dariah, A., Achmad, R., dan Undang, K. 2004. Erosi dan Degradasi Lahan Kering
di Indonesia. Teknologi Konservasi Tanah pada Lahan Kering Berlereng.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Bogor.
Dariah, A., dan E. Suryani. 2012. Peningkatan Produktivitas Tanah Melalui Sistem
Agroforestri. Jurnal Sumberdaya Lahan. 6(2): 101-109.
Halimas, A. W., Rauf, A. & Mukhlis, 2015. Kajian Erosi Kualitatif Pada Budidaya
Tanaman Karet Rakyat Usia 15 Tahun di Desa Lau Damak Kecamatan
Bahorok, Kabupaten Langkat. Jurnal Agroekoteknologi, 3(4), pp. 1601-
1607.
Harjianto, M., Sinukaban, N., Tarigan, S. D. & Haridjaja, O., 2016. EVALUASI
KEMAMPUAN LAHAN UNTUK ARAHAN PENGGUNAAN LAHAN DI
DAERAH ALIRAN SUNGAI LAWO, SULAWESI SELATAN. Jurnal
Penelitian Kehutanan Wallacea, 5(1), pp. 1-11.
Hartono, R. 2016. Identifikasi Bentuk Erosi Tanah Melalui Interpretasi Citra Google
Earth di Wilayah Sumber Brantas Kota Batu. Jurnal Pendidikan Geografi.
21(1): 30-43.
Juarsah, I., 2016. Pemanfaatan zeolit dan dolomit sebagai pembenah untuk
meningkatkan efisiensi pemupukan pada lahan sawah. Jurnal Agro, 3(1),
pp.10-19.
Khasanah., Ni’matul., Betha, L., Farida., dan Meine, V. N. 2004. Simulasi
Limpasan Permukaan dan Kehilangan Tanah Pada Berbagai Umur Kebun
Kopi: Studi Kasus di Sumberjaya, Lampung Barat. Agrivita. 26(1): 81-89
Kurnia, U., Rachman, A. & Dariah, A., 2004. Teknologi Konservasi Tanah Pada
Lahan Kering Berlereng. Jakarta: Agroinovasi.
Karyati dan Sarminah, S. 2018. Teknologi Konservasi Tanah Dan Air. Mulawarman
University PRESS : Samarinda.
Lumbanraja, P., 2014. Peranan Konservasi Tanah dan Air dalam Perencanaan
Pembangunan. Thesis. Universitas Sumatera Utara, Medan.
Mahardhika, S. D., 2012. PENGARUH ARAH GULUDAN TERHADAP
PERTUMBUHAN DAN HASIL TANAMAN BROKOLI DI LAHAN MIRING,
Malang: Repository UB.
Marwanto., S. A. Jamil., dan Irawan. 2013. Diseminasi Teknologi Konservasi
Tanah Berbasis Web untuk Perencanaan Implementasi Sistem Usahatani
Konservasi di Lahan Kering Mendukung Pertanian Ramah Lingkungan.
Jurnal SumberdayaLahan. 7(2): 113- 122
Nurhayati, L., Nugraha, S. & Wijayanti, P., 2012. PENGARUH EROSI TERHADAP
PRODUKTIVITAS LAHAN DAS WALIKAN KABUPATEN KARANGANYAR
DAN WONOGIRI TAHUN 2012. Jurnal Pendidikan Geografi, Volume 1, pp.
1-14.
Osok, R. M., Talakua, S. M. & Supriadi, D., 2018. Penetapan Kelas Kemampuan
Lahan dan Arahan Rehabilitasi Lahan DAS Wai Batu Merah Kota Ambon
Provinsi Maluku. Agrologia, 7(1), pp. 32-4.
Pambudi, A.S., Moersidik, S.S., Karuniasa, M., 2021. Analisis Sebaran Limpasan
Permukaan pada Sub DAS Lesti Sebagai Pertimbangan Konservasi Hulu
DAS Brantas. J. Tek. Pengair. 12, 104–115.
Priyono. 2002. Konservasi Tanah dan Mekanisasi Pertanian. Dalam makalah
Teras : Bebas banjir, 2003
Subagyono, K., Setiari, M., dan Undang, K. 2003. Teknik Konservasi Tanah
Secara Vegetatif. Bogor: Balai Penelitian Tanah.
Sukartaatmadja. 2004. Konversi Tanah dan Air. Bogor: IPB Press. Subekti, 2019.
KEANEKARAGAMAN JENIS SERANGGA DI HUTAN TINJOMOYO KOTA
SEMARANG, JAWA TENGAH. Tengkawang J. Ilmu Kehutan. 2.
Suripin. 2004. Pelestarian Sumber Daya Tanah dan Air. Yogyakarta: Andi Offset.
Waskitho, N., 2013. Model Budaya Organisasi Dalam Pengelolaan Daerah Aliran
Sungai Brantas. J. Humanit. 8, 11418

Anda mungkin juga menyukai