1
Disampaikan dalam rangka Seminar Nasional Bendungan Besar Tahun 2019, Pembangunan dan Pengelolaan Bendungan
2019, “Tantangan Penyelesaian Pembangunan dan Pengelolaan 65 Bendungan Serta Keberlanjutan Program di Masa
Mendatang”, Jakarta 3 – 5 Oktober 2019.
2
Special Expertise TK. I Direktorat Operasi dan Pengembangan, Perum Jasa Tirta II.
3
Asisten Manajer Perencanaan Teknik, Bidang Perencanaan Teknik dan Usaha, Unit Usaha PLTA, Perum Jasa Tirta II.
4 Special Expertise TK. IV Bidang Operasi Pengelolaan Sumber Daya Air dan Sumber Daya Listrik, Divisi Pengelola SDA
& SDL, Perum Jasa Tirta II.
1
1. Pendahuluan
Daerah Aliran Sungai merupakan suatu ekosistem yang disusun dan dibangun oleh
komponen fisik (tanah), biologi (vegetasi), klimatologi (hujan), dan pengelolaan (manusia).
Akibatnya, gangguan pada salah satu komponen akan menyebabkan gangguan (perubahan)
pada komponen yang lain. Dari keempat komponen utama tersebut, vegetasi atau hutan
merupakan komponen lingkungan yang paling rentan (fragile) terhadap perubahan dan
menimbulkan dampak yang sangat besar terhadap komponen yang lain (Purwanto dan Ruitjer
dalam Agus et al., 2004).
Degradasi DAS berupa lahan gundul tanah kritis, erosi pada lereng-lereng curam baik
yang digunakan untuk pertanian maupun untuk penggunaan lain seperti permukiman dan
pertambangan, sebenarnya telah memperoleh perhatian pemerintah Indonesia. Namun proses
degradasi tersebut terus berlanjut, karena tidak adanya keterpaduan tindak dan upaya yang
dilakukan dari sektor atau pihak-pihak yang berkepentingan dengan DAS.
Kegiatan antropogenik tersebut telah menimbulkan degradasi ekosistem di DAS
Citarum, terutama disebabkan oleh tingginya laju pertumbuhan penduduk dan perekonomian.
Keadaan ini pada akhirnya menyebabkan tingginya laju konversi lahan dan hutan menjadi
peruntukan lain, seperti : pemukiman, perdagangan, industri, sarana prasarana, dan lain
sebagainya. Perubahan tataguna lahan (landuse change) telah menimbulkan berbagai masalah,
seperti : meningkatnya lahan kritis, banjir pada musim hujan, kekeringan pada musim
kemarau, pencemaran oleh industri dan domestik, erosi dan sedimentasi, dan bahkan pada
skala makro telah mengakibatkan pemanasan global dan perubahan iklim (Landell-Mills and
Porras, 2002).
Untuk menjamin ketersediaan sumberdaya air dalam jumlah, mutu, dan waktu yang
tepat, pengelolaan DAS secara berkelanjutan (sustainable watershed management) diperlukan
untuk mencukupi berbagai kebutuhan atau penggunaan (Asdak,2004). Pendekatan
menyeluruh pengelolaan DAS secara terpadu menuntut suatu manajemen terbuka yang
menjamin keberlangsungan proses koordinasi antara lembaga terkait. Pendekatan terpadu juga
memandang pentingnya peranan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan DAS, mulai dari
perencanaan, perumusan kebijakan, pelaksanaan dan pemungutan manfaat.
2
Pentingnya posisi DAS sebagai unit perencanaan yang utuh merupakan konsekuensi
logis untuk menjaga kesinambungan pemanfaatan sumberdaya hutan, tanah dan air. Kurang
tepatnya perencanaan dapat menimbulkan adanya degradasi DAS yang mengakibatkan buruk
seperti yang dikemukakan di atas. Dalam upaya menciptakan pendekatan pengelolaan DAS
secara terpadu, diperlukan perencanaan secara terpadu, menyeluruh, berkelanjutan dan
berwawasan lingkungan dengan mempertimbangkan DAS sebagai suatu unit pengelolaan.
Dengan demikian bila ada bencana, apakah itu banjir maupun kekeringan, penanggulangannya
dapat dilakukan secara menyeluruh yang meliputi DAS mulai dari daerah hulu sampai hilir.
Guna optimalisasi pengelolaan DAS secara holistik dalam optimasi pengoperasin
waduk, konsepsi ini harus melibatkan semua pemangku kepentingan tidak hanya pihak
pengelola prasarana sumber daya air saja, melainkan juga melibatkan seluruh pihak
berkepentingan di wilayah sungai antara lain pengelola DAS Hulu, Pemerintah Daerah dan
juga masyarakat penghuni DAS tersebut.
3
Sungai Citarum dan sungai-sungai di sekitarnya, hasil pengembangan sumber daya air
berdasarkan pemikiran dari Blommestein (1949).
Aliran tahunan (annual runoff) sangat tergantung dari curah hujan dan evapotranspirasi.
Secara umum evapotranspirasi di daerah tangkapan hujan relatif kecil dibandingkan dengan
curah hujan yang ada, sehingga tidaklah mengherankan apabila curah hujan tahunan sangat
terkait erat dengan runoff (van der Weert, 1994). Komponen runoff dibagi dalam aliran dasar
(baseflow), aliran antara (interflow) dan aliran permukaan (surface runoff). Penentuan aliran
permukaan untuk daerah pertanian tanpa irigasi, kebun campuran, perumukiman, dan
perkebunan merupakan korelasi antara jenis tanah, kemiringan dan panjang lereng serta
praktek pengelolaan daerah aliran.
4
3.2 Masalah Kualitas Air serta Lingkungan Sungai
Pembangunan yang tidak taat asas, pelaksanaan yang kurang peduli rencana tata ruang,
berakibat adanya pembangunan yang tidak dapat diimbangi oleh daya dukung lingkungan,
terutama terjadi di cekungan Bandung yang merupakan bagian hulu sungai Citarum. Salah
satu dampak yang sangat mencemaskan adalah menurunnya kualitas air dan/atau sumber air.
Terdapat tiga sumber pencemar kualitas air sungai Citarum, yaitu permukiman, industri, dan
pertanian/peternakan/perikanan.
Limbah padat maupun cair dari permukiman merupakan pencemar utama. Karena
kesadaran masyarakat yang belum tinggi mereka memanfaatkan potensi WS Citarum sebagai
tempat membuang limbah rumah tangganya. Di kota-kota besar seperti Bandung yang
penduduknya sangat padat, banyak masyarakat yang bertempat tinggal di tepi sungai, bahkan
hampir semua bantaran sungai telah mnejadi permukiman yang sangat padat.
Demikian pula industri di Citarum Hulu yang sangat padat, yang belum semua pengusaha
mentaati standar limbah yang boleh dibuang ke badan air (effluent standard). Limbah
pertanian/peternakan/perikanan jumlahnya mulai terdeteksi dan merupakan ancaman pula di
masa depan.
Usaha penanggulangan antara lain perlu dibangun pusat-pusat pengolahan limbah
terpadu bagi industri maupun masyarakat, serta penyuluhan dan bimbingan kepada
masyarakat, serta pemberian fasilitas yang memadai bagi masyarakat dalam keikutsertaan
pemeliharaan lingkungan.
Dengan adanya dilematik ini, terdapat wacana pengelolaan SDA air dengan menggunakan
prinsip Multilevel Basin Management yang sedang dirancang oleh Kementerian PUPR.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan Wilayah Sungai Citarum ini adalah:
a. Wilayah Sungai Citarum ini bersifat strategis dan vital, dimana pengalirannya tidak hanya
untuk memenuhi keperluan air di Jawa Barat saja tetapi sampai ke wilayah DKI Jakarta,
sehingga dengan begitu Wilayah Sungai Citarum ini tidak bersifat satu propinsi saja tetapi
lintas propinsi.
b. Sesuai dengan sifat hidrologi dan telah dijadikan konsepsi oleh semua pihak bahwa
pengelolaan SDA ini bersifat one river, one plan, and one management, dan dengan
adanya pergeseran pola pengelolaan dari sentralisasi ke desentralisasi, maka diperlukan
5
adanya penekanan dalam pembagian tugas dan kewenangan dalam pengelolaan SDA yang
bersifat strategis dan vital.
c. Upaya pengelolaan SDA agar lebih mengedepankan kepentingan masyarakat dan
kesinambungan sumberdaya alam tersebut.
6
face
Height 99 m 125 m 105
Crest length 301 m 453.5 m 1220 m
Crest elevation 650.20 m 225.0 m 114.5 m
Note: *) Based on the existing layout of guiding canal in front of hollow jet gates. **) at El. 49
msl **) at El. 107 msl.
Operasi tahunan kaskade Citarum ini dibuat dengan memperkirakan kebutuhan air, data
statistik aliran masuk ke ketiga waduk dengan total energi yang dihasilkan oleh sistem tersebut
dioptimalkan dengan prioritas utama didasarkan pada pemenuhan kebutuhan air di hilir waduk
Jatiluhur. Kebutuhan air di hilir waduk Jatiluhur utamanya untuk pemenuhan pasok air baku
kebutuhan pokok sehari-hari (air baku DKI Jakarta dan kabupaten/kota), irigasi, industri dan
lainnya.
Kebutuhan air di hilir waduk Jatiluhur utamanya adalah untuk irigasi yang mencakup
hampir 87% dari total kebutuhan air. Oleh karena itu, untuk menentukan kebutuhan air
diperlukan penggolongan pemberian air irigasi untuk Daerah Irigasi Jatiluhur seluas 240.000
ha dengan mempertimbangkan data ketersediaan air dari sumber setempat, kapasitas saluran
dan rencana serta kondisi eksisting pola tanam. Data-data tersebut dirunut dari daerah irigasi
terjauh sampai diperoleh kebutuhan air di Bendung Curug sebagai bangunan bagi utama untuk
berbagai kebutuhan di hilir waduk Jatiluhur dengan mempertimbangkan pula kehilangan air di
saluran dan faktor keamanan.
Kebutuhan air di hilir waduk Jatiluhur menjadi salah satu masukan dalam penetapan
operasi waduk kaskade Citarum. Beberapa prinsip (batasan) dalam penetapan operasi waduk
kaskade Citarum adalah sebagai berikut:
Limpasan dihindari
Elevasi muka air di akhir tahun sama atau lebih daripada elevasi muka air di awal tahun
Prinsip operasi berimbang (equal-sharing), yaitu proporsi tampungan bersih untuk setiap
waduk terhadap total keseluruhan sistem ditetapkan konstan, yaitu 18,8% untuk Saguling,
24,4% untuk Cirata dan 56.8% untuk Jatiluhur
Data aliran masuk (inflow) untuk ketiga waduk ditentukan secara statistik dengan
menggunakan data dari mulai tahun 1988, tahun dimana sejak tahun tersebut sistem waduk
kaskade Citarum sudah mulai beroperasi penuh. Dari data input yang masuk, maka dilakukan
7
optimasi sehingga diperoleh produksi tenaga listrik yang maksimal dengan kebutuhan air yang
terpenuhi dengan proses optimasi dilakukan dengan program Solver. Dalam mengoperasikan
model, model operasi waduk dilakukan secara berurutan dan perlu secara berkelanjutan
diperbaharui dan dioperasikan kembali untuk mendapat data perkiraan yang paling sesuai
dengan kondisi nyata dan bagaimana keputusan pengoperasian ditetapkan untuk setiap
komponen operasi waduk tersebut. Dengan banyaknya pihak yang berkepentingan dalam
operasi waduk kaskade Citarum ini, maka operasi waduk kaskade Citarum selalu dievaluasi
dan diperbaharui setiap bulan melalui mekanisme rapat Tim Koordinasi Pengaturan
Bendungan Kaskade Citarum (TKPBKC). Instansi kunci dalam rapat koordinasi ini antara lain
BBWS Citarum, PJT-II, UBP Saguling, UBP Cirata, P2B PLN, Dinas PSDA Propinsi Jawa
Barat, dan BMKG.
8
akibat degradasi lahan di DAS, dan tampungan berlaku sebagai penyangga terhadap
perubahan tersebut.
Dengan penurunan skala (down-scaling), pada kasus sistem waduk kaskade Citarum
dimana tampungan terbesar berada di waduk Jatiluhur, dengan proporsi 56.8% terhadap daya
tampung keseluruhan, maka dengan kemampuan tampungan tersebut, kapasitas adaptasi
operasi waduk kaskade Citarum berada di Waduk Ir. H. Djuanda. Sehingga dalam operasi
waduk kaskade Citarum tersebut, Waduk Ir. H. Djuanda berlaku sebagai penyangga terhadap
dua waduk di atasnya. Hal ini kontradiktif dengan prinsip operasi waduk secara equal-sharing
yang mengharuskan adanya keseimbangan proporsi tampungan bersih untuk setiap waduk
yang ditetapkan konstan dan dihindarinya perubahan tinggi muka air di setiap waduk untuk
berubah secara drastis dari bulan ke bulan.
Perubahan prinsip operasi waduk kaskade Citarum tersebut akan berimplikasi terhadap
nilai potensi ekonomi yang ditimbulkan dari pembangkitan listrik. Oleh karena itu, sesuai
dengan idealisme dalam pengelolaan SDA di Wilayah Sungai Citarum untuk menuju
kemandirian, nilai ekonomi air harus diakomodasi dalam operasi Waduk Kaskade Citarum.
Pada tahap sekarang ini, maka adaptasi operasi waduk kaskade Citarum untuk
mengurangi dampak perubahan aliran sebagai akibat dari degradasi lahan di DAS Citarum
bagian hulu, dilakukan dengan mengoptimalkan kapasitas tampungan untuk menampung air di
musim hujan sebesar-besarnya untuk keperluan di musim kemarau namun dengan
memberikan ruang untuk pengendalian banjir.
Selain adaptasi dari sisi ketersediaan air, maka dilakukan pula adaptasi dari sisi
kebutuhan air melalui upaya penyaluran air sesuai dengan kebutuhan (on-demand irrigation
management) dan perbaikan kondisi daerah tangkapan hujan untuk meningkatkan kapasitas
retensi dan juga upaya untuk menampung air selama-lamanya di daerah hulu seperti
meningkatkan daya tampung melalui pembangunan tampungan air sampai panen hujan
(rainwater harvesting) dan penggunaan air kembali (water reuse).
5. Kesimpulan
Perencanaan DAS tidak dapat dilakukan melalui pendekatan sektoral saja, melainkan
perlu adanya keterkaitan antar sektor yang mewakili masing-masing sub DAS, dari sub-DAS
hulu hingga ke hilir yang menjadi fokus perhatian dengan berpegang pada prinsip ‘one river
9
one management’. Keterkaitan antar sektor meliputi perencanaan APBN, perencanaan
sektor/program/proyek hingga pada tingkat koordinasi semua instansi atau lembaga terkait
dalam pengelolaan DAS. Sungai sebagai bagian dari wilayah DAS merupakan sumberdaya
yang mengalir (flowing resources), dimana pemanfaatan di daerah hulu akan mengurangi
manfaat di hilirnya. Sebaliknya perbaikan di daerah hulu manfaatnya akan diterima di hilirnya.
Berdasarkan hal tersebut diperlukan suatu perencanaan terpadu dalam pengelolaan DAS
dengan melibatkan semua sektor terkait, seluruh stakeholder dan daerah yang ada dalam
lingkup wilayah DAS dari hulu hingga ke hilir.
Pendekatan dalam perencanaan DAS dapat pula dilakukan melalui pendekatan input
proses-output. Semua input di sub-DAS hulu akan diproses pada sub-DAS tersebut menjadi
output. Output dari sub-DAS hulu menjadi input bagi sub-DAS tengah, dan melalui proses
yang ada menjadi output dari sub-DAS ini. Selanjutnya output ini menjadi input bagi sub-DAS
hilir. Proses yang ada pada sub-DAS hilir menghasilkan output terakhir dari DAS. Pada masa
ke depan nanti bukan hal yang tidak mungkin jika output dari sub-DAS hilir menjadi input
bagi sub-DAS di hulunya. Hal ini dapat terwujud melalui mekanisme subsidi hilir-hulu dengan
penerapan ‘user pays principle’ maupun ‘polluter pays principle’.
Adaptasi terhadap adanya degradasi dan perubahan DAS berupa inisiatif dan perlakuan
yang ditujukan untuk mengurangi kerentanan alam dan manusia dalam menghadapi pengaruh
dari perubahan tersebut. Terdapat beberapa potensi penanganan yang dapat dilakukan, yaitu
yang berupa murni teknologi (a.l. infrastruktur, tampungan, pertahanan terhadap air laut, dll),
penanganan perilaku (a.l. penghematan air, produktifitas dan efisiensi air, perubahan pola
pangan dan pariwisata), aspek pengelolaan (pengelolaan SDA terpadu, praktek pertanian
alternatif) sampai dengan kebijakan (a.l. perencanaan peraturan). Pada sektor SDA, strategi
adaptasi ini dapat berupa adanya penambahan terhadap tampungan air sampai panen hujan
(rainwater harvesting), konservasi, penggunaan air kembali (water reuse), efisiensi air irigasi
sampai dengan desalinisasi.
Kesinambungan potensi sumberdaya air harus ditunjang pula oleh manajemen
lingkungan sungai seperti penataan garis sempadan sungai, menciptakan lingkungan sungai
yang bersih dan ramah. Dorongan ekonomi dari masyarakat yang kadangkala bertentangan
dengan kebijakan daerah untuk menciptakan lingkungan sungai yang bersih kadangkala
menimbulkan bentrokan-bentrokan. Hal ini harus diselesaikan melalui pemecahan bersama
10
yang melibatkan masyarakat. Diperlukan usaha dan kerja keras dari setiap instansi untuk
mewujudkan hal ini.
6. Referensi
Asdak, C. 1999. “DAS sebagai Satuan Monitoring dan Evaluasi Lingkungan: Air sebagai
Indikator Sentral”, Seminar Sehari PERSAKI DAS sebagai Satuan Perencanaan Terpadu
dalam Pengelolaan Sumber Daya Air, 21 Desember 1999. Jakarta.
Eddy A. Djajadiredja dan Reni Mayasari. 2013. “Dukungan Operasional Penyediaan Air
Irigasi untuk Memenuhi Target Produksi Beras Nasional dalam Iklim yang Berubah”.
Jakarta.
Edieffendi@Yahoo.Com Atau Kehutanan@Bappenas.Go.Id. “ Kajian Model Pengelolaan
Daerah Aliran Sungai (Das) Terpadu”, Direktorat Kehutanan Dan Konservasi
Sumberdaya Air. Jakarta.
van Blommestein, Prof. Dr. Ir. W.J. 1949. “Een federaal welvaartsplan. Voor het westelijk
gedeelte van Java. De Ingenieur in Indonesie”. 16 Jaargang Nummer 5. Jun 1949.
van der Weert, Rob. 1994. “Hydrological conditions in Indonesia”. Delft Hydraulics. 1994
11