PENDAHULUAN
Kecamatan dengan luas wilayah terbesar yaitu Kecamatan Sananwetan (12,15 km2)
sedangkan kecamatan dengan luas terkecil yaitu Kecamatan Sukorejo (9,92 km2). Lahan
terbangun di Kota Blitar seluas 1.416.834 Ha atau sekitar 47.28 % dari keseluruhan wilayah.
Proporsi terbesar penggunaan tanahnya adalah lahan permukiman, perumahan, kampung dan
lahan persawahan. Sawah irigasi teknis masih cukup dominan keberadaannya.
Gambar 2.5 Peta Administrasi Kota Blitar Provinsi Jawa Timur
Dengan melihat kondisi ketinggian dari tiap wilayah, baik bagian utara, tengah
maupun selatan memiliki perbedaan ketinggian antara 25 meter sampai 50 meter, maka
secara kes-eluruhan dapat dilihat bahwa kondisi topografi wilayah Kota Blitar merupakan
daerah dengan dataran rendah atau datar. Kedalaman tanah di Kota Blitar bervariasi mulai
dari 30 - 90 cm yang meliputi 71,5% dari luas wilayah. Urutan selanjutnya dengan kedalaman
60 - 90 cm meliputi 15,5% dan terkecil dengan kedalaman 30 - 60 cm meliputi 13% dari luas
Kota Blitar.
Pencemaran air sungai di kota Malang sangat tinggi karena begitu banyak aktivitas
pemanfaatan lahan, pertanian, pemukiman dan industri di sepanjang DAS (Daerah Aliran
Sungai) Brantas. Banyaknya aktivitas ini dapat mempengaruhi kualitas air sungai Brantas
oleh karena itu dilakukanlah penelitian tentang analisa kualitas air dan daya tampung
penemaran air sungai Brantas bagian hulu kota Malang.
Dari hasil penelitian di 18 stasiun dapat ditentukan status mutu air sungai di kawasan
DAS Brantas Hulu dengan menggunakan metode Indeks Pencemaran berdasarkan Keputusan
Menteri Lingkungan Hidup No.1156 Tahun 2003. Hasil penentuan status mutu air dri 18
stasiun terbagi menjadi 2, yaitu pertama mengacu pada baku mutu dari Keputusan Gubernur
Jatim No. 413 tahun 1987 (Tabel 2.3) dan kedua mengacu pada Peratutan Pemerintah No. 82
tahun 2001 (Tabel 2.4).
Tabel 2.3 Hasil Penentuan Status Mutu Air Sungai-Sungai di Kawasan DAS Brantas Hulu
Malang dengan Metode Indeks Pencemaran (Kepmen LH No. 115 tahun 2003) Berdasarkan
Kep. Gub. Jatim No. 413 Tahun 1987.
Tabel 2.4 Hasil Penentuan Status Mutu Air Sungai-Sungai di Kawasan DAS Brantas Hulu
Malang dengan Metode Indeks Pencemaran (Kepmen LH No. 115 tahun 2003) Berdasarkan
PP No. 82 Tahun 2001
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas sungai di kawasan DAS Brantas Hulu
Malang dipengaruhi oleh tata guna lahan yang ada di wilaysh tersebut. Berdasarkan Peta Tata
Guna Lahan DAS Brantas Hulu, kawasan pemukiman sebenarnya tidak terlalu mendominasi
tata guna lahan pada DAS tersebut. Namun karena letaknya sangat dekat dengan sungai maka
diduga hal ini yang menimbulkan pengaruh terhadap penurunan kualitas air. Kemudian
berdirinya pabrik-pabrik di sepanjang DAS turut memperburuk kondisi kualitas air secara
keseluruhan. Setidaknya tercatat ada 20 pabrik yang berdiri di sepanjang sungai-sungai di
kawasan DAS Brantas Hulu.
Tingginya nilai COD pada kawasan ini kemungkinan juga dipengaruhi oleh
banyaknya parik-pabrik yang menjadikan sungai sebagai tempat penampungan limbah.
Pabrik-pabrik tersebut merupakan produsen dengan jenis limbah yang sulit urai seperti pabrik
kulit, karet, kertas, dan tepung tapioka. Limbah-limbah organik sulit urai inilah yang
menyebabkan tingginya nilai COD hampir di semua lokasi penelitian. Di samping itu
terdapat pula RPH, pabrik agar-agar, rokok, dan peternakan babi.
2.2.2 Geologi
2.2.2.1 Kota Batu
Dilihat dari keadaan geografi-nya, Kota Batu dapat dibagi menjadi 4 jenis tanah.
Pertama jenis tanah Andosol, berupa lahan tanah yang paling subur meliputi Kecamatan Batu
seluas 1.831,04 ha, Kecamatan Junrejo seluas 1.526,19 ha dan Kecamatan Bumiaji seluas
2.873,89 ha. Kedua jenis Kambisol, berupa jenis tanah yang cukup subur meliputi Kecamatan
Batu seluas 889,31 ha, Kecamatan Junrejo 741,25 ha dan Kecamatan Bumiaji 1395,81 ha.
Ketiga tanah alluvial, berupa tanah yang kurang subur dan mengandung kapur meliputi
Kecamatan Batu seluas 239,86 ha, Kecamatan Junrejo 199,93 ha dan Kecamatan Bumiaji
376,48 ha. Dan yang terakhir jenis tanah Latosol meliputi Kecamatan Batu seluas 260,34 ha,
Kecamatan Junrejo 217,00 ha dan Kecamatan Bumiaji 408,61 ha. Tanahnya berupa tanah
mekanis yang banyak mengandung mineral yang berasal dari ledakan gunung berapi, sifat
tanah semacam ini mempunyai tingkat kesuburan yang tinggi.
Jenis tanah di Kabupaten Malang terdiri dari jenis tanah alluvial, regosol, brown
forest, andosol, latosol, mediteran dan litosol. Jenis tanah ini tidak seluruhnya tersebar di
Kecamatan-kecamatan yang ada di Kabupaten Malang. Luas daerah yang termasuk jenis
tanah latosol memiliki luas sebesar 86.260,36 Ha atau 25,77 % dari seluruh luas wilayah
Kabupaten Malang. Mediteran mempunyai luas sebesar 55.811,30 Ha atau 16,67 %, litosol
seluas 69.133,25 Ha atau 20,65 % dan alluvial 28.003,25 Ha atau 8,36 % dari seluruh luas
Kabupaten Malang. Brown forest memiliki luas 6.142,25 Ha atau 1,83 % dari seluruh luas
Kabupaten Malang. Sedangkan jenis tanah regosol memiliki luas 45.654,17 Ha atau 13,54 %
dari seluruh luas Kabupaten Malang dan andosol adalah 43.782,42 Ha atau 13,08 % dari luas
seluruh wilayah Kabupaten Malang. Lebih jelasnya tentang jenis tanah dan persebarannya,
dapat dilihat. dan Tabel 6.3. dibawah ini.
Tabel 2.6 Luas Kabupaten Malang Berdasarkan Jenis Tanah dan Sifat-Sifatya
PEMBAHASAN
2. Penggunaan Lahan
Penelitian dilakukan di Sub DAS Brantas Hulu yang merupakan salah satu Sub
DAS yang berada di DAS Kali Brantas Bagian Hulu. Outlet yang digunakan adalah
outlet yang berada SPAS Gadang di Kecamatan Kedungkandang, Kota Malang.
Gambar 1. Lokasi DAS Kali Brantas Bagian Hulu (Jasa Tirta, 2005) Sub DAS
Brantas Hulu yang secara administratif terletak di wilayah Kota Batu, sebagian
Kabupaten Malang dan Kotamadya Malang. Secara geografis Sub DAS terletak
pada koordinat 662726 mT hingga 681599 mT dan 9116207 mU hingga 9143409
mU, dengan luas wilayah sebesar ±185,64 km2 .
Gambar 1. Peta Administrasi Sub-DAS Brantas Hulu, Kota Batu Jawa Timur.
Hasil dari Peta Penggunaan Lahan menunjukkan bahwa Sub-DAS Brantas
Hulu yang sesuai dengan standart Badan Standarisasi Nasional (2010) memiliki
tujuh bentuk peggunaan lahan diantaranya adalah Hutan Lahan Kering,
perkebunan, pemukiman, padang rumput, sawah, semak dan belukar, ladang.
Perkembangan penggunaan lahan dianalisa dengan cara proses tumpangsusun
antara peta penggunaan lahan tahun 2003 dan tahun 2007, sehingga dihasilkan
perubahan penggunaan lahan baik luas dan jenis penggunaannya.
Tabel di atas menunjukkan bahwa secara menyeluruh terjadi perubahan
lahan yang diindikasikan dengan menurunnya luas sawah sebesar -6% dan ladang -
1%, serta adanya penurunan luas hutan lahan kering sebesar -6% yaitu dari 48,88
km2 menjadi 44,265 km2. Dominasi peningkatan luas pemukiman dalam kurun
waktu 4 tahun sebesar 9% dari 29,182 km2 menjadi 31,806 km2. Peningkatan luas
juga terjadi pada perkebunana sebesar 7% dari 13,805 km2 menjadi 14,817 km2.
Selain itu peningkatan luas penggunaan lahan dari yahun 2003 sampai 2007 terjadi
pada jenis penggunaan lahan semak dan blukar sebesar 7% dan padang rumput
sebesar 2%.
Jenis penggunaan lahan hutan lahan kering mengalami penurunan sebesar -6%
akibat adanya konversi lahan menjadi perkebunan, padang rumput, semak dan
belukar dan ladang. Pada tahun 2003 luas hutan sebesar 46,888 km2 menurun
akibat lahan seluas 1,05 km2 terkonversi menjadi perkebunan dan 0,3 km2 menjadi
ladang. Sedangkan perubahan hutan menjadi semak dan belukar sebesar 1,26 km2
dan padang rumput sebesar 0,01 km2.
Gambar 2. Peta Perubahan Penggunaan Lahan Tahun 2003-2007
Penurunan luas hutan pada tahun 2003-2007 adalah dari seluas 25,26%
menjadi 23,84% dari total seluruh luas DAS. Padahal dalam undang-undang nomor
41 tahun 1999 minimal luas hutan dalam satu DAS adalah 30% dari total
keseluruhan luas DAS. Padahal fungsi hutan dapat mengurangi erosi yang
menyebabkan pedangkalan di sungai atau saluran sehingga fungsi hutan ini lebih
menjaga saluran sungai agar lancar mengalirkan air. Pendapat tersebut juga
diperkuat oleh Asdak (2010) yang menyebutkan bahwa keberadaan hutan dapat
dipandang sebagai kegiatan pendukung dari usaha lain dalam menurunkan
terjadinya banjir. Selain itu hutan berfungsi menjaga kontinuitas aliran, karena
hutan dapat mengatur tata air yaitu menampung air pada musim penghujan dan
mengalirkannya pada musim kemarau.
Dari kondisi tersebut terlihat bahwa keberadaan hutan tidak lagi dijaga
malah semakin berkurang karena konversi fungsi lahan dari fungsi resepan menjadi
perkebunana dan ladang sehingga lama kelamaan hutan menjadi tidak mampu
mencegah banjir. Hutan dapat mengurangi banjir pada hanya curah hujan kecil
hingga sedang.
3. Sempadan Sungai
Sempadan Sungai di Kota Malang, secara geologis termasuk lahan dengan
susunan geologi kelompok batuan beku, batuan sedimen (batu pasir, breksi,
konglomerat dan batu gamping), batuan metamorf (marmer, gneiss) yang mulai
lapuk (Timbul, 1992). Lahan dengan susunan geologi tersebut mempunyai
kestabilan dengan nilai skor 4, yaitu termasuk agak tinggi kestabilannya (Timbul,
1992) Lahan selebar 15 meter sepanjang kanan kiri jalur Sungai diterapkan dalam
Tata Ruang Wilayah Kota Malang periode 1993/`1994-2003/2004 sebagai jalur
hijau. Kenyataan di lapangan, jlaur hijau yang direncanakan tersebut telah
dilanggar oleh pembangunan yang berlangsung. Jarak bangunan yang ada pada
kawasan artifisal sepanjang sempadan Sungai sangat bervariasi dan cenderung
meningkat kepadatannya di sempadan Sungai.
Perkembangan kawasan terutama dipengaruhi oleh dua node pemacu
pertumbuhan berupa pusat pendidikan dan terminal angkutan umum.
Bertambahnya fasilitas kos untuk sehari-hari merupakan fenomena utama yang
berkembang. Kawasan artifisal yang lebih rapat terdapat di kawasan pusat (central
business district= CBD). Pembangunan perumahan mendekati sungai, meskipun
tidak berada di sempadan sungai, meskipun tidak berada di sempadan sungai,
ternyata memicu berkembangnya kawasan artifisal menuju sempadan
Sungai.Keberadaan pabrik yang mengakibatkan tumbuhnya kawasan artifisal guna
hunian karyawan atau Pemasoknya juga menjadikan banyak bangunan yang
berjarak 0 meter dan sungai. Keberadaan lahan non artificial berselangseiling di
sempadan sungai antara sawah, tegalan / kebun, tebing alami, dan ilalang.Asosiasi
keruangan antara pola pengunaan lahan tersebut tidak teratur.
Sawah dijumpai secara luas di dekat perbatasan kota baik bagian laut maupun
selatan kota. Asosiasi kronologi dijumpai pada peralihan sawah menjadi lahan
artificial,yaitu pada masa pengerinagn lahan untuk membentuk kestabilan tanah
melalui bentuk kebun dan ilalang. Ilalang juga dijumpai diantara lahan artifisal
yang belum digunakan tetapi tidak pula diolah sebagai sawah / kebun. Tebing
alami meupakan peralihan kemiringan lahan secara drastic Perubahan sempadan
sungai dari lahan non artificial mengubah kualitas tata ruang. Mutu ruang sendiri
sebenarnya ditentukan pola oleh terwujudnya keserasian, kelarasan, dan
keseimbangan pemanfaatan ruang (Sugandhy,1999) perubahan di sungai
menjadikan terjadinya dramatisasi struktur ruang mengikuti bentang alam.
Dramatisasi struktur ruang merupakan fenomena pembangunan kawasan
artificial yang mengikuti struktur ruangan yanag ada tetapi selanjutnya justru
terjadi penajaman strutur.Misalnya pada potongan melintang sungai dan
sepadannya secara alami terdapat perbedaan tinggi muka bumi burupa puncak
tebing dari lembah dan dasar lembah. Akibat pembangunan yang berlangsung
maka puncak tebing yang kini telah berdiri bangunan artificial mempunyai beda
tinggi yang semakin besar dengan dasar lembah Dramatisasi ini terjadi pada
permukiman dengan kwalitas banguan yang baik, yang dipengaruhi oleh kondisi
ekonomi pemilik bangunan di sempadan sungai semakin meningkat kualitas
bangunan dengan menambah bangunan pada lahan yang masih kosong maupun
membuatnya bertingkat.
Hal ini mengakibatkan semakin tingginyab intensitas sturktur ruang yang
terjadi Pengunaan lahgan dari sempadan merupakan bagian yang memberikan
kontribusi masukan energy ke sungai. Inlet (masukan air) yang berada di pinggiur
sungai brantas berasal dari limbah domestic, limbah pertanian, limbah tanaman
rekreasi, limbah pasar, limbah hotel, limbah rumah sakit, dam limbah industry
Perilaku pembungan sampahdi sepanjang sepadan maupun di dalm sungai dapat
merugikan penduduk sekitar dan dikawasan lebih rendah.Meskipun sampah dapat
berubah menjadi tanah, terutama bagian atas tumpukan sampah tetapi memerlukan
waktu yang lama (Sayid et al, 1986). Sampah yang menumpuk menimbulkan bau
busuk akibat fermentasi, menjadi sarang kebakaran karena adanya gas metana di
tumpukan sampah, air yang mengenangi sampah akn mengandung besi, sulfat, dan
bahan organic yang tinggi ditambah air permukaan (Syaid et al, 1986).
Berdasarkan Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kota Malang, paragraf 2
Kebijakan dan Strategi Pola Ruang Wilayah Kota di bagi menjadi 2 yaitu :
Pasal 15
Kebijakan terkait pola ruang wilayah Kota Malang, meliputi :
a. Penetapan dan Pengembangan Kawasan Lindung;
b. Pengembangan dan Pengendalian Kawasan Budidaya
Adapun penjelasannya berdasarkan pasal sebagai berikut :
1. Kawasan Lindung
Pasal 16
(1) Kebijakan Penetapan dan pengembangan kawasan lindung diarahkan
pada kelestarian fungsi lingkungan hidup dan pengendalian pencemaran
dan kerusakan lingkungan hidup untuk mendukung pembangunan kota
yang berkelanjutan.
(2) Strategi Penetapan dan pengembangan kawasan lindung, meliputi :
a. memantapkan kawasan lindung dengan menjaga dan mengembalikan
fungsi kawasan;
b. membatasi kegiatan di kawasan lindung yang telah digunakan;
c. mengarahkan pemanfaatan kawasan lindung wilayah kota untuk
kegiatan jalur hijau dan RTH;
d. menyediakan RTH kota minimal 30% dari luas wilayah kota, dengan
upaya:
1. melakukan pengadaan lahan untuk dijadikan RTH kota;
2. tidak mengalihfungsikan RTH eksisting;
3. merevitalisasi dan memantapkan kualitas RTH eksisting;
4. mengarahkan pengembang untuk menyerahkan fasilitas RTH nya
menjadi RTH publik kota;
5. menata dan menyediakan RTH sesuai fungsinya : ekologis,
sosial-ekonomi, dan arsitektural;
6. menanam pohon dengan jenis yang disesuaikan dengan
karakteristik RTH;
7. menempatkan RTH sebagai pendukung identitas kawasan;
8. mengelompokkan RTH sesuai fungsi, hierarki, dan skala ruang
lingkungannya;
9. membangun hutan kota, lapangan olahraga terbuka, kebun bibit,
taman kota, dan taman lingkungan;
10. membangun RTH pada ruas jalan utama kota;
11. membangun RTH pada lokasi fasilitas umum kota;
12. membangun RTH pada sempadan sungai, sempadan rel Kereta
Api, sempadan jaringan Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTT);
13.menghijaukan halaman/kavling rumah, perkantoran, dan
perdagangan.
e. mengarahkan orientasi pembangunan sepanjang sungai dengan
menjadikan sungai sebagai bagian dari latar depan;
f. memantapkan kawasan resapan air dengan meningkatkan populasi
vegetasi di kawasan lindung sesuai dengan fungsi kawasan;
g. mengamankan kawasan lindung dari kegiatan yang cenderung
mengganggu penggunaan kawasan tersebut;
h. mendorong pemanfaatan kawasan lindung yang tidak mengganggu
sistem ekologi yang telah berjalan;
i. meningkatkan kerja sama antar intansi pemerintah yang berwenang
dalam penyelenggaraan kegiatan yang bertujuan kelestarian dan
keberlanjutan kawasan lindung;
j. meningkatkan kerja sama antar daerah otonom yang berbatasan,
khususnya terkait Daerah Aliran Sungai;
k. mendorong dan meningkatkan peran serta dan kepedulian
masyarakat terhadap kelestarian kawasan lindung.
l. menerapkan inovasi penyediaan RTH antara lain melalui peningkatan
jumlah tegakan, memperbanyak taman atap (roof garden) pada
bangunan tinggi, dinding hijau (green wall) pada kawasan padat
bangunan, dan taman mini pada setiap lahan terbuka.
2. Kawasan Budaya
Pasal 17
(1) Kebijakan pengembangan dan pengendalian kawasan budidaya
diarahkan pada alokasi ruang untuk kegiatan sosial, budaya, dan
ekonomi masyarakat kota serta pertahanan dan keamanan.
(2) Strategi pengembangan dan pengendalian kawasan budidaya,
meliputi :
a. tidak mengalihfungsikan RTH;
b. mengembangkan kawasan perumahan dengan menerapkan pola
pembangunan hunian berimbang berbasis pada konservasi air
yang berwawasan lingkungan;
c. mengembangkan kawasan perumahan formal dan informal
sebagai tempat hunian yang aman, nyaman dan produktif dengan
didukung sarana dan prasarana permukiman yang memadai;
d. mengembangkan perumahan secara vertikal;
e. mengembangkan kawasan perdagangan dan jasa secara merata
sesuai skala pelayanan;
f. mengembangkan kawasan perdagangan dan jasa secara vertikal
yang memperhatikan aspek ekologis;
g. mengembangkan komplek perkantoran pemerintah maupun
swasta secara vertikal;
h. mengarahkan komplek industri dan pergudangan pada
perbatasan kota;
i. mengendalikan intensitas kegiatan industri dan pergudangan
pada sub wilayah kota yang telah ada;
j. mengembangkan komplek industri dan pergudangan yang
mempertimbangkan aspek ekologis;
k. mengarahkan terbentuknya kawasan ruang terbuka non hijau
untuk menampung kegiatan sosial, budaya, dan ekonomi
masyarakat, secara merata pada sub wilayah kota;
l. mengarahkan dan menata kawasan bagi kegiatan sektor
informal, dengan upaya :
1. mengatur persebaran pedagang pada wilayah-wilayah
tertentu sesuai dengan jenisnya;
2. memberikan kemudahan dalam proses penyediaan modal
dan bantuan teknis untuk sektor informal;
3. mengadakan kerjasama dengan pihak-pihak lain agar sektor
informal lebih berkembang; dan
4. menetapkan regulasi bagi keberadaan sektor informal.
m. menetapkan kawasan ruang evakuasi bencana;
n. mengembangkan fasilitas umum dan sosial, meliputi pelayanan
umum pendidikan, kesehatan, dan peribadatan, dengan upaya :
1. mengarahkan pendistribusian pembangunan fasilitas umum
secara merata pada sub wilayah kota;
2. meningkatkan kualitas tiap fasilitas umum yang sudah ada;
3. membangun pusat pelayanan baru dengan memperhatikan
sistem pelayanan wilayah kota;
4. meningkatkan skala pelayanan fasilitas yang memenuhi
arahan untuk fasilitas dengan skala pelayanan regional, kota
serta lokal yang menciptakan fungsi kegiatan primer, sekunder,
dan tersier;
5. menciptakan efisiensi serta efektifitas pelayanan yang ada
sehingga mampu menjangkau seluruh penduduk di semua sub
wilayah kota yang ada dengan cara :
a) membatasi dan mengarahkan perkembangan fasilitas
yang berkelompok pada pusat pelayanan tertentu;
b) melakukan upaya pemerataan penyediaan fasilitas pada
sub wilayah kota yang memerlukan dengan pertimbangan
konsentrasi penduduk.
o. mendukung pemanfaatan kawasan militer;
p. membatasi pemanfaatan kawasan budidaya yang mengganggu
ekosistem yang ada.
3.2. Penataan Ruang Berdasarkan Aspek Administratif
Penataan ruang berdasarkan aspek administratif terdiri atas penataan ruang
wilayah nasional, penataan ruang wilayah provinsi, dan penataan ruang wilayah
kabupaten/kota.
jaringan sumber daya air lintas negara dan lintas provinsi untuk mendukung air
baku pertanian, terdiri atas jaringan primer lintas kabupaten, dan jaringan air
baku untuk kawasan pertanian yang bersifat strategis provinsi dan/atau
nasional jika ada dalam wilayah provinsi;
jaringan sumber daya air untuk kebutuhan air baku industri untuk mendukung
kawasan industri yang bersifat strategis provinsi dan/atau nasional jika ada
dalam wilayah provinsi;
jaringan air baku untuk kebutuhan air minum, terdiri atas jaringan air baku dari
lokasi pengambilan (intake) sampai ke lokasi pengolahan yang mendukung
kawasan perkotaan di wilayah provinsi; dan
sistem pengendalian banjir di wilayah provinsi dan/atau lintas wilayah
provinsi.kabupaten;
prasarana sumber daya air adalah prasarana pengembangan sumber daya air
untuk memenuhi berbagai kepentingan. Pengembangna prasarana sumber daya
air untuk air bersih diarahkan untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumber air
permukaan dan sumber air tanah.
Penetapan zona pengelolaan sumber daya air sesuai dengan keberadaan
wilayah sungai tersebut, pada zona kawasan lindung tidak diijinkan
pemanfaatan sumber daya air untuk fungsi budaya termasuk juga untuk unsur
penambangan.
Prasarana pengairan direncanakan sesuai dengan kebutuhan peningkatan sawah
irigasi teknis dan non teknis untuk irigasi air permukaan maupun air tanah
disusun berdasarkan wilayah sungai.
Pengembangan waduk, dam, dan embung serta pompanisasi terkait dengan
pengelolaan sumber daya air dilakukan dengan pertimbangan :
a. Daya dukung sumber daya air
b. Keikhlasan dan aspirasi daerah sertamasyarakat setempat
c. Kemampuan pembiayaan
d. Posisi Jawa Timur sebagai lumbung nasional
Area lahan beririgasi teknis harus dipertahankan agar tidak berubah fungsi
menjadi peruntukan yang lain, jika areal tersebut terpaksa harus berubah fungsi
maka disediakan lahan areal baru yang menggantikannya dengan luasan
minimal sama ditambah dengan biaya investasi yang telah ditanamkan di lokasi
tersebut.
Untuk masalah perizinan diatur dalam Peraturan Daerah Propinsi
Jawa Timur nomor 10 tahun 2007 yaitu setiap pemegang izin harus mengikuti
ketentuan-ketentuan :
a. membuat bangunan untuk pengambilan air serta memasang meter air atau
alat pengukur debit sesuai pemanfaatannya ;
b. pemegang izin harus sudah memasang meter air, 3 (tiga) bulan sejak izin
diterbitkan ;
c. mengalirkan kembali air yang telah dipakai ke lokasi pengambilan atau ke
tempat lain yang telah ditetapkan oleh Dinas dengan memenuhi baku mutu
air limbah ;
d. bersedia membongkar atau memindahkan prasarana dan sarana pengambilan
air serta mengadakan pemulihan keadaan dengan biaya sepenuhnya
ditanggung oleh pemegang Izin, apabila karena kepentingan umum atau
pertimbangan teknis diadakan penyempurnaan ;
e. tanpa mengurangi ketentuan pada huruf b, apabila sangat diperlukan untuk
kepentingan masyarakat atau lingkungan sekitarnya pemegang izin wajib
memberikan sebagian air yang diperolehnya tanpa menuntut imbalan jasa ;
f. apabila pemegang izin selama 3 (tiga) bulan sejak izin dikeluarkan tidak
melakukan kegiatan, maka izin tersebut batal demi hukum;
g. membayar Pajak kepada Pemerintah Provinsi ;
h. membayar biaya jasa kepada Perum Jasa Tirta I atas penggunaan air
permukaan dan Sumber Air pad a Wilayah Kerja Perum Jasa Tirta I ;
i. mengadakan perjanjian penggunaan air dengan Perum Jasa Tirta I untuk
penggunaan air di Wilayah Kerja Perum Jasa Tirta I.
j. tidak melakukan pengambilan dan pemanfaatan air permukaan melebihi dari
izin kecuali dengan pemberitahuan secara tertulis kepada Gubernur
sekurang-kurangnya 1 (satu) bulan sebelumnya.
3.2.3. Penataan Ruang Wilayah Kabupaten/Kota
A. Kabupaten Malang
Kondisi tata ruang di Kabupaten Malang saat ini terdapat beberapa bangunan
yang melanggar RTRW Kabupaten Malang. Keadaan penggunaan lahan di
Sempadan Sungai Seco Kecamatan Kepanjen yang rawan berpotensi bencana
yang mengakibatkan keadaan banjir jika turun hujan sedangkan sungai Seco
berada di sekitar jalan utama ibukota kabupaten Malang merupakan salah satu
contoh yang tidak sesuai dengan peraturan RTRW di Kabupaten Kepanjen ini.
B. Kota Malang
Rencana tata ruang wilayah di Kota Malang menurut Peraturan Daerah Kota
Malang nomor 4 tahun 2011 dijelaskan :
Fenomena bangunan yang berdiri di tepi atau bahkan di atas sungai atau saluran
irigasi masih kita jumpai di Kota Malang. Bangunan yang berdiri di tepian sungai
yang hanya memiliki jarak 1 hingga 3 meter pun dapat ditemukan dibeberapa
kampung yang ada di Kota Malang.
C. Kota Batu
Rencana tata ruang wilayah di Kota Batu menurut Peraturan Daerah Kota Batu
nomor 7 tahun 2011 dijelaskan :
Sistem jaringan prasarana sumber daya air meliputi :
a. Sistem jaringan sumber daya regional;
b. Wilayah sungai di wilayah Kota;
c. Sistem jaringan irigasi;
d. Sistem jaringan air baku untuk air bersih; dan
e. Pengendalian bajir di wilayah kota
Kondisi di daerah Kota Batu saat ini terdapat beberapa bangunan yang
melanggar RTRW Kota Batu. Sebagai contoh terdapat pembangunan hotel di
kawasan Bumiaji. Menurut anggota DPRD Kota Batu kawasan Bumiaji
merupakan kawasan yang sudah ditetapkan sebagai wilayah konservasi dan lokasi
pembangunan berada didekat sumber mata air dan berpotensi merusak sumber
mata air tersebut.
D. Kota Blitar
Rencana tata ruang wilayah menurut Peraturan Daerah Kota Blitar Nomor 12
tahun 2011, dijelaskan :
Rencana pengembangan sistem jaringan sumber daya air meliputi :
a. Peningkatan dan perlindungan jaringan irigasi
b. Pengelolaan air baku untuk minum
c. Sistem pengendalian banjir
E. Kabupaten Blitar
Rencana tata ruang wilayah untuk Kabupaten Blitar menurut Peraturan Daerah
Kabupaten Blitar nomor 5 tahun 2013 dijelaskan :
Daerah Irigasi sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi
Daerah Irigasi (DI) yang terdapat di Kabupaten Blitar yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari peraturan daerah ini.
Prasarana air baku untuk air bersih sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1)
huruf c yaitu pengembangan waduk, DAM dan embung serta pompanisasi
meliputi:
Sistem pengendalian banjir terdapat pada kawasan DAS Sungai Brantas yang
terdiri dari : Kecamatan Selorejo, Kecamatan Kesamben, Kecamatan
Binangun, Kecamatan Selopuro, Kecamatan Talun, Kecamatan
Panggungrejo, Kecamatan Sutojayan, Kecamatan Kanigoro, Kecamatan
Kademangan, Kecamatan Sanankulon, Kecamatan Srengat dan Kecamatan
Wonodadi meliputi pengembangan waduk/bendungan, DAM serta
pompanisasi.
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Pembahasan dalam makalah ini mengena penataan ruang sungai Branstas
bagian hulu. Sungai brantas bagian hulu terdiri dari : Kota malang, Kab. Malang,
Kota Batu, Kota Blitar, dan Kab. Blitar.
Kota Batu
Kondisi penggunaan lahan kota Batu yang merupakan lokasi DAS
Brantas menunjukkan adanya ketidaksesuaian penggunaan lahan
pertanian. Ketidaksesuaian penggunaan lahan pertanian merupakan usaha
intensifikasi terhadap sektor pertanian yang berpeluang meningkatkan
penggunaan pestisida dalam kegiatannya dan memiliki konsibusi terhadap
penuruan kualitas air sungai. Berdasarkan parameter pH, BOD, COD, DO,
TSS dan Total N menunjukkan bahwa DAS Brantas Hulu kota Batu
mengalami pencemaran dengan status baik sampai tercemar berat.
Pencemaran di DAS Brantas Hulu kota Batu juga dipengaruhi oleh
aktivitas pertanian yang ditunjukkan adanya kandungan Total N yang
melebihi batas ambang baku mutu.
Kota Malang
1. Sebagian besar sungai-sungai di kawasaan DAS Brantas Hulu Malang
tidak lagi memiliki kualitas air yang layak untuk peruntukan perikanan dan
pertanian, baik menurut Keputusan Gubernur Jatim No. 413 tahun 1987
maupun Peraturan Pemerintah No. 82 tahun 2001.
2. Kualitas air sungai di kawasan DAS Brantas Hulu Malang telah
mengalami penurunan terutama disebabkan oleh sampah organik.
3. Berdasarkan hasil penentuan status mutu air dapat diketahui bahwa
sebagian besar Sungai-sungai di kawasan DAS Brantas Hulu telah
mengalami pencemaran yang mengkhawatirkan dan menjadi indikasi
kualitas air yang lebih buruk di bagian hilirnya.
4. Faktor yang paling mempengaruhi penurunan kualitas air sungai di
kawasan DAS Brantas Hulu adalah banyaknya industri yang letaknya
dekat dengan sungai bahkan mejadikan sungai sebagai tempat
penampungan limbah
4.2. Saran
1. Pemanfaatan lahan disepanjang kanan kiri sungai belum mengindahkan
jarak aman terhadap dinamika sungai.
2. Perlu adanya riset lanjutan dalam menyusun model pengelolaan
sempadan sungai sehingga didapatkan pengelolaan sempadan yang
konservatif dan produktif dengan melibatkan masyarakat.
3. Perlu tindak lanjut untuk mengembangkan model pendidikan
lingkungan sungai.
DAFTAR PUSTAKA