Anda di halaman 1dari 70

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pesatnya perkembangan yang terjadi di Indonesia menyebabkan peningkatan
kebutuhan lahan. Lahan merupakan salah satu faktor yang sangat penting bagi
berlangsungnya pembangunan di suatu wilayah, karena pada dasarnya semua pembangunan
memerlukan lahan sebagai prasarananya. Perkembangan wilayah ditandai dengan proses
restrukturisasi internal, baik secara sosial maupun fisik. Secara fisik proses restrukturisasi
ditandai dengan alih fungsi lahan baik di wilayah urban maupun rural. Salah satu ekosistem
yang akan mengalami alih fungsi lahan seiring dengan perkembangan tersebut adalah
ekosistem DAS. Daerah Aliran Sungai (menurut Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang
Sumberdaya Air) adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai
dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan yang
berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan
pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh
aktivitas daratan.
Pola produksi dan konsumsi yang agresif, eksploitatif, dan ekspansif terhadap
sumberdaya alam akan menurunkan daya dukung dan fungsi lingkungan daerah aliran sungai
(DAS). Kerusakan lingkungan DAS di Indonesia telah teridentifikasi seperti ditunjukkan
dengan sering terjadinya bencana banjir, erosi, sedimentasi, dan tanah longsor. DAS di
Indonesia menunjukkan masih lemahnya sistem manajemen/pengelolaan DAS saat ini.
Lemahnya manajemen/pengelolaan DAS dapat dilihat dari kurang terdeteksinya secara dini
dan periodik dinamika kondisi DAS, sehingga penanganannya sering kurang bertumpu pada
permasalahan utamanya.
Dalam suatu ekosistem DAS terutama DAS Bagian hulu merupakan bagian yang
penting karena mempunyai fungsi perlindungan terhadap keseluruhan bagian DAS.
Perlindungan ini antara lain dari segi fungsi tata air. Oleh karenanya, perencanaan DAS hulu
seringkali menjadi fokus mengingat bahwa dalam suatu DAS, daerah hulu dan hilir
mempunyai keterkaitan biogeofisik melalui daur hidrologi. Akitivitas alih fungsi lahan yang
dilaksanakan di daerah hulu dapat memberikan dampak di daerah hilir dalam bentuk
perubahan fluktuasi debit air dan transpor sedimen serta material terlarut lainnya. Salah satu
wilayah DAS yang rentan akan alih fungsi lahan adalah DAS Brantas Hulu.
Tata guna lahan di DAS Brantas Hulu dibagi menjadi dua kawasan, yaitu kawasan
lindung dan kawasan budidaya. Kawasan budidaya terdiri atas dua wilayah yaitu wilayah
perdesaan yang memiliki fungsi utama sebagai daerah pertanian, dan wilayah perkotaan
dengan fungsi utama untuk permukiman. Sedangkan kawasan lindung adalah hutan di hulu
DAS yang keberadaannya perlu dilindungi demi menjaga keberlanjutan ekosistem DAS.
Tiap-tiap wilayah memiliki permasalahan yang berbeda terkait dengan alih fungsi lahan. Pada
wilayah perkotaan alih fungsi lahan yang terjadi bersifat mikro, tidak terlalu tampak karena
sudah terlalu banyak permukiman. Sedangkan pada kawasan lindung dan perdesaan
wilayahnya lebih luas dibanding perkotaan. Disamping itu mayoritas penggunaan lahannya
adalah hutan dan budidaya pertanian, sehingga alih fungsi lahan yang terjadi tampak jelas
terutama konversi hutan menjadi lahan pertanian/permukiman, ataupun lahan pertanian
menjadi permukiman.
Alih fungsi lahan di DAS Brantas Hulu disebabkan oleh tidak konsistennya Rencana
Tata Ruang Wilayah (RTRW). Pemicu dari ketidakkonsistenan ini adalah adanya opini
stakeholders, bahwa Malang Raya (Kota Malang, Kabupaten Malang, dan Kota Batu)
berpotensi sebagai daerah wisata; adanya perubahan tingkat kebutuhan sarana pariwisata; dan
adanya kekuatan investasi pasar. Akibatnya terjadi konversi pada lahan yang semula tertutup
yaitu hutan, dibuka menjadi areal permukiman, villa, tempat wisata, dan lahan pertanian,
yang tidak mengindahkan kaidah-kaidah konservasi.
Perubahan ekosistem DAS oleh alih fungsi lahan akan menyebabkan kerusakan
lingkungan, antara lain meningkatnya erosi dan sedimentasi, meningkatnya limpasan
permukaan, berkurangnya daerah resapan, terjadinya banjir dan tanah longsor, dan penurunan
keanekaragaman hayati. Kerusakan lingkungan diatas, yang meliputi kerusakan komponen
lingkungan abiotik, biotik, dan kultural (sosial budaya), dapat memicu terjadinya degradasi
lingkungan akibat alih fungsi lahan yang tidak memperhatikan daya dukungnya. Pada
akhirnya dampak paling besar dirasakan oleh masyarakat, seperti kemiskinan dan bencana
alam yang terjadi dimana-mana. Untuk mengatasi hal tersebut perlu dilakukan pelestarian
lingkungan di DAS Brantas Hulu, yaitu mengembalikan fungsi kawasan sesuai dengan
peruntukannya.
BAB II
KAJIAN TEORI

2.1 Lokasi Sungai Brantas Bagian Hulu


Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas mempunyai luas 1.980.383 ha merupakan DAS
yang sangat penting dalam pembangunan Propinsi Jawa Timur. DAS Brantas Hulu
merupakan daerah tangkapan dan resepan air hujan yang sangat penting bagi daerah-daerah
di bawahnya. Wilayah ini mempunyai rataan curah hujan tahunan sebesar 1700-2700 mm,
sekitar 75 % terjadi pada musim hujan dan 25 % pada musim kemarau. DAS Brantas Hulu
merupakan salah satu pusat produksi tanaman hor-tikultura, terutama kentang, kubis, wortel,
bawang merah, bawang putih, kacang merah, apel, dan tanaman perkebunan seperti tebu
lahan kering. Kondisi agroekologi di wilayah ini sangat mendukung bagi pola usahatani
tanaman tersebut secara intensif. Namun demikian sebagian besar wilayah ini mempunyai
indeks bahaya erosi yang sangat tinggi. Keadaan seperti ini telah memaksa dilakukannya
berbagai upaya untuk melestarikan sumberdaya lahan, baik secara teknis, biologis, dan elati
ekonomis.
Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas dalam keadaan kritis sejak 1970 sampai
sekarang. Pengelolaan telah dilakukan namun belum membuahkan hasil yang memuaskan.
Pengelolaan DAS Brantas yang terpadu hulu, tengah, hilir, lintas sektor, interdisipliner dan
partisipatoris belum mampu diterapkan dengan baik (Suhartanto, 2007; Harini, 2012).

Gambar 2.1 Peta Batas Wilayah Sungai Brantas


2.1.1 Lokasi Administratif
2.1.1.1 Kota Batu
Wilayahnya, secara administratif terletak di wilayah propinsi Jawa Timur. Luas
wilayah kota Batu secara keseluruhan adalah sekitar 19908.75 Ha yang terdiri tiga kecamatan
yaitu Kecamatan Batu dengan luas 4545.81 Ha, Kecamatan Junrejo dengan luas 2565.02 Ha,
dan Kecamatan Bumiaji dengan luas 12797.92 Ha. Ketinggian lokasi berkisar antara 575 m
sampai dengan 3275 m dpl. Penggunaan lahan aktual kota Batu bervariatif dengan komposisi
luasan sebagai berikut hutan alam 6155.62 Ha (30.92%), hutan produksi 362.40 Ha (1.82%),
kebun campuran 951.11 Ha (4.78%), padang rumput 221.23 Ha (1.11%), pemukiman
1984.52 Ha (9.97%), sawah irigasi 2381.74 Ha (11.96%), sawah tadah hujan 881.92 Ha
(4.43%), semak belukar 2653.49 Ha (13.33%) dan tegalan 4316.72 Ha (21.68%).

Gambar 2.2 Peta Administrasi Kota Batu Provinsi Jawa Timur

2.1.1.2 Kota Malang


Kota Malang merupakan wilayah di Propinsi Jawa Timur dengan luas wilayah 110,06
km2 dan terdiri dari 5 (lima) wilayah kecamatan dan 57 desa. Perincian wilayah Kota Malang
sebagai berikut:
a. Kecamatan Klojen dengan luas 8,83 km2, terbagi menjadi 89 RW dan 674 RT
b. Kecamatan Kedungkandang dengan luas 39,89 km2, terbagi menjadi 110 RW dan
822 RT.
c. Kecamatan Blimbing dengan luas 17,77 km2, terbagi menjadi 123 RW dan 880 RT.
d. Kecamatan Sukun dengan luas 20,97 km2; terbagi menjadi 86 RW dan 820 RT.
e. Kecamatan Lowokwaru dengan luas 22,60 km2 terbagi menjadi 118 RW dan 739
RT.
Batasan wilayah administratif dari Kota Malang adalah di sebelah Utara berbatasan
dengan Kecamatan Singosari dan Kecamatan Karang Ploso Kabupaten Malang, sebelah
Timur berbatasan dengan Kecamatan Pakis dan Kecamatan Tumpang Kabupaten Malang,
sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Tajinan dan Kecamatan Pakisaji Kabupaten
Malang, dan Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Wagir dan Kecamatan Dau
Kabupaten Malang.

Gambar 2.3 Peta Administrasi Kota Malang Provinsi Jawa Timur

2.1.1.3 Kabupaten Malang


Unit administrasi pemerintahan dibawah kabupaten adalah kecamatan. Setiap
kecamatan membawahi beberapa kelurahan/desa dan setiap kelurahan/desa terbagi habis
dalam dusun/dukuh ataupun rukun warga (RW)/Rukun Tetangga (RT). Secara rinci wilayah
administrasi Pemerintah Kabupaten Malang terbagi menjadi 33 wilayah kecamatan yang
membawahi 12 kelurahan dan 378 desa, yang terbagi habis ke dalam 3.035 RW dan 13.906
RT dengan luas wilayah Kabupaten Malang sebesar 3.534,86 km2 (353.486 hektar).
Gambar 2.4 Peta Kabupaten Malang Provinsi Jawa Timur

2.1.1.4 Kota Blitar


Kota Blitar terdiri dari 3 kecamatan yaitu Kecamatan Sananwetan, Kepanjen Kidul,
dan Sukorejo seluas 32,57 km2 dengan jumlah penduduk keseluruhan sejumlah 123.787 jiwa.
Tabel 2.1 Tabel Luas Kecamatan di Kota Blitar

Kecamatan dengan luas wilayah terbesar yaitu Kecamatan Sananwetan (12,15 km2)
sedangkan kecamatan dengan luas terkecil yaitu Kecamatan Sukorejo (9,92 km2). Lahan
terbangun di Kota Blitar seluas 1.416.834 Ha atau sekitar 47.28 % dari keseluruhan wilayah.
Proporsi terbesar penggunaan tanahnya adalah lahan permukiman, perumahan, kampung dan
lahan persawahan. Sawah irigasi teknis masih cukup dominan keberadaannya.
Gambar 2.5 Peta Administrasi Kota Blitar Provinsi Jawa Timur

2.1.1.5 Kabupaten Blitar


Kabupaten Blitar memiliki luas wilayah 1.588.79 KM dengan tata guna tanah terinci
sebagai Sawah, Pekarangan, Perkebunan, Tambak, Tegal, Hutan, Kolam Ikan dan lain-lain.
Secara administrasi Pemerintah Kabupaten Blitar terbagi menjadi 22 kecamatan, 220 desa, 28
kelurahan, 759 dusun/Rukun Warga(RW) dan sebanyak 6.978 Rukun Tetangga (RT).
Gambar 2.6 Peta Administrasi Kabupaten Blitar Provinsi Jawa Timur

2.1.2 Lokasi Secara Geografis


2.1.2.1 Kota Batu
Kota Batu secara geografis terletak diantara 122° 17’ - 122° 57’ Bujur Timur dan 7°
44’ - 8° 26’ Lintang Selatan.
Batas adminstratif wilayahnya dapat digambarkan sebagai berikut:
Utara : Kecamatan Prigen, Kabupaten Mojokerto dan Kabupaten
Pasuruan
Timur : Kecamatan Karang Ploso dan Kecamatan Dau Kabupaten Malang
Selatan : Kecamatan Dau dan Kecamatan Wagir, Kabupaten Malang dan
Kabupaten Blitar
Barat : Kecamatan Pujon, Kabupaten Malang

2.1.2.2 Kota Malang


Secara geografis wilayah Kota Malang berada antara 07°46'48" - 08°46'42" Lintang
Selatan dan 112°31'42" - 112°48'48" Bujur Timur. Batas wilayah Kota Malang sebagai
berikut :
Utara : Kecamatan Singosari dan Kec. Karangploso Kabupaten Malang
Timur : Kecamatan Pakis dan Kecamatan Tumpang Kabupaten Malang
Selatan : Kecamatan Tajinan dan Kecamatan Pakisaji Kabupaten Malang
Barat : Kecamatan Wagir dan Kecamatan Dau Kabupaten Malang
2.1.2.3 Kabupaten Malang
Kabupaten Malang adalah sebuah kawasan yang terletak pada bagian tengah selatan
wilayah Propinsi Jawa Timur. Berbatasan dengan enam kabupaten dan Samudera Indonesia.
Sebelah Utara-Timur, berbatasan dengan Kabupaten Pasuruan dan Probolinggo. Sebelah
Timur, berbatasan dengan Kabupaten Lumajang. Sebelah Selatan, berbatasan dengan
Samudera Indonesia. Sebelah Barat, berbatasan dengan Kabupaten Blitar. Sebelah Barat
Utara, berbatasan dengan Kabupaten Kediri dan Mojokerto. Letak geografis sedemikian itu
menyebabkan Kabupaten Malang memiliki posisi yang cukup strategis. Hal ini ditandai
dengan semakin ramainya jalur transportasi utara maupun selatan yang melalui Kabupaten
Malang dari waktu ke waktu. Posisi koordinat Kabupaten Malang terletak antara
112o17’,10,90” Bujur Timur dan 112o57’,00,00” Bujur Timur dan antara 7o44’,55,11”
Lintang Selatan dan 8o26’ ,35,45” Lintang Selatan.

2.1.2.4 Kota Blitar


Kota Blitar terletak + 160 Km se-belah Barat Daya Kota Surabaya dan berada di
tengah wilayah Kabupaten Blitar pada koordinat 112º14’ – 112º28’ Bujur Timur dan 8º2’ –
8º8’ Lintang Se-latan. Kota Blitar merupakan ibu kota Blitar, Jawa Timur. Secara geografis
wilayah Kota Blitar terletak 112°14' - 112°28' Bujur Timur dan 8°2' - 8°8' Lintang Selatan
denga luas wilayah 32,57 km² . Adapun batas-batas wilayahnya dapat digambarkan sebagai
berikut:
Sebelah Utara : Kabupaten Blitar
Sebelah Selatan : Kabupaten Blitar
Sebelah Barat : Kabupaten Blitar
Sebelah Timur : Kabupaten Blitar

2.1.2.5 Kabupaten Blitar


Kabupaten Blitar merupakan salah satu daerah di Propinsi Jawa Timur yang secara
geografis Kabupaten Blitar terletak pada 111 25’ – 112 20’ BT dan 7 57-8 9’51 LS berada di
Barat daya Ibu Kota Propinsi Jawa Timur – Surabaya dengan jarak kurang lebih 160 km.
Adapun batas – batas wilayah adalah sebagai berikut :
Sebelah Utara : Kabupaten Kediri dan Kabupaten Malang
Sebelah Timur : Kabupaten Malang
Sebelah Selatan : Samudra Indonesia
Sebelah Barat : Kabupaten Tulungagung dan Kabupaten Kediri
2.1.3 Topografi
2.1.3.1 Kota Batu
Kota Batu terletak 800 meter di atas permukaan air laut. Wilayah Kota Batu
dibedakan menjadi enam kategori ketinggian yaitu mulai dari 600-3000 meter dari
permukaan laut. Dari enam kategori tersebut wilayah yang paling luas berada pada ketinggian
1000-1500 meter dari permukaan laut yaitu seluas 6.493,64 ha. Kemiringan lahan (slope) di
Kota Batu berdasarkan data dari peta kontur Bakosurtunal tahun 2001 diketahui bahwa
sebagian besar wilayah Kota Batu mempunyai kemiringan sebesar 25-40 % dan kemiringan
>40 %.
Gunung-gunung di sekitar Kota Batu adalah Gunung Panderman (2010 m), Gunung
Welirang (3156 m), Gunung Arjuno (3339 m) dan masih banyak lagi lainnya. Keadaan
topografi Kota Batu memiliki dua karasteristik yang berbeda. Karakteristik pertama yaitu
bagian sebelah utara dan barat yang merupakan daerah ketinggian yang bergelombang dan
berbukit. Kedua, yaitu daerah timur dan selatan merupakan daerah yang relatif datar
meskipun berada pada ketinggian 800 – 3000 m dari permukaan laut.
Dengan kondisi topografi pegunungan dan perbukitan tersebut menjadikan kota Batu
terkenal sebagai daerah dingin. Kota Batu memiliki suhu minimum 18-24° C dan suhu
maksimum 28-32° C dengan kelembaban udara sekitar 75 – 98 % dan curah hujan rata-rata
875 – 3000 mm per tahun. Temperatur rata-rata Kota Batu 21,5° C, dengan temperatur
tertinggi 27,2° C dan terendah 14,9° C. Rata-rata kelembaban nisbi udara 86′ % dan
kecepatan angin 10,73 km/jam. Curah hujan tertinggi di Kecamatan Bumiaji sebesar 2471
mm dan hari hujan mencapai 134 hari. Karena keadaan tersebut, Kota Batu sangat cocok
untuk pengembangan berbagai komoditi tanaman sub tropis pada tanaman holtikultura dan
ternak.

2.1.3.2 Kota Malang


Kota Malang yang terletak pada ketinggian antara 440 – 667 meter diatas permukaan
air laut serta dikelilingi gunung-gunung yaitu Gunung Arjuno di sebelah Utara, Gunung
Semeru di sebelah Timur, Gunung Kawi dan Panderman di sebelah Barat, dan Gunung Kelud
di sebelah Selatan. Wilayah Kota Malang merupakan daerah perbukitan dan dataran tinggi
serta dilewati oleh sungai baik sungai besar maupun sungai kecil. Berikut adalah tipologi dari
wilayah Kota Malang.
a. Daerah Dataran Tinggi
Daerah dengan ketinggian antara 200 – 499 meter dari permukaan air laut.
Penyebaran Daerah wilayah dataran tinggi meliputi daerah kecamatan Klojen, Sukun,
Lowokwaru, Blimbing dan Daerah Kecamatan Kedungkandang bagian barat. Tingkat
kemiringan di dataran tinggi cukup bervariasi, di beberapa tempat merupakan suatu
daerah dataran dengan kemiringan 2 – 5º, sedang dibagian lembah perbukitan rata-
rata kemiringan 8 – 15% .
Berdasarkan pada curah hujan rata-rata tahunan temperatur, musim hujan biasanya
terjadi pada bulan Oktober sampai Pebruari sedangkan musim kemarau pada bulan
Mei sampai September. Sedangkan curah hujan rata-rata di daerah dataran tinggi
antara 1000 - 1500 mm/th dengan keadaan angin di dataran tinggi rata-rata arah angin
pada bulan Oktober - April bertiup dari arah barat laut dan bersifat basah/ penghujan.
Dan untuk Bulan April - Oktober bertiup dari arah tenggara angin bersifat
kering/kemarau.
b. Daerah Perbukitan
Daerah dengan ketinggian antara 500 - 999 m dari permukaan laut. Daerah Perbukitan
Rendah adalah daerah yang reliefnya relatif datar, dengan beda ketinggian antara 5 -
25 m, yang terdapat pada ketinggian 200 - 499 m dpal. Penyebaran daerah perbukitan
wilayah Kota Malang dengan ketinggian antara 500 - 999 m di atas permukaan air
laut yang terdapat di bagian timur Kecamatan Kedungkandang. Daerah berbukit ini
memanjang dari utara ke selatan dengan permukaannya bergelombang yaitu Gunung
Buring. Daerah perbukitan rata-rata mempunyai kemiringan lereng antara 15 - 40º.
Bentuk daerah perbukitan merupakan bukit-bukit angkatan dengan batuan tuff vulkan
dan batu pasir (land stone) yang luas. Keadaan fisik berupa perbukitan dengan
komplek perumahan Buring Hill dan Perumahan Buring satelit dan ladang penduduk.
Iklim. Daerah perbukitan beriklim tropis dengan type iklim tropis AW.

2.1.3.3 Kabupaten Malang


Kondisi topografi Kabupaten Malang merupakan daerah dataran tinggi yang
dikelilingi oleh beberapa gunung dan dataran rendah atau daerah lembah pada ketinggian
250-500 meter diatas permukaan laut (dpl) yang terletak di bagian tengah wilayah Kabupaten
Malang. Daerah dataran tinggi merupakan daerah perbukitan kapur (Pegunungan Kendeng)
di bagian selatan pada ketinggian 0-650 meter dpl, daerah lereng Tengger-Semeru di bagian
timur membujur dari utara ke selatan pada ketinggian 500-3600 meter dpl dan daerah lereng
Kawi-Arjuno di bagian barat pada ketinggian 500-3.300 meter dpl. Terdapat sembilan
gunung dan satu pegunungan yang menyebar merata di sebelah Utara, Timur, Selatan dan
Barat wilayah Kabupaten Malang. Beberapa gunung telah dikenal secara nasional yaitu
Gunung Semeru (3.676 meter) gunung tertinggi di Pulau Jawa, Gunung Bromo (2.329 meter),
Gunung Kawi (2.651 meter), Gunung Kelud (1.731 meter), Gunung Welirang (2.156 meter),
Gunung Panderman (2.040 meter), Gunung Arjuno (3.339 meter), Gunung Anjasmoro (2.277
meter), Gunung Batok (2.868 meter) dan Pegunungan Kendeng (600 meter).
Kondisi topografi yang demikian mengindikasikan potensi hutan yang besar. Hutan
yang merupakan sumber air yang cukup, yang mengalir sepanjang tahun melalui sungai-
sungainya mengairi lahan pertanian. Dari 18 sungai besar dan bernama di wilayah Kabupaten
Malang, diantaranya, terdapat Sungai Brantas, sungai terbesar dan terpanjang di Jawa Timur.
Hulu Sungai Brantas bagian atas terdapat di wilayah Kota Batu dan hulu bawah berada di
wilayah Kabupaten Malang. Kondisi topografi pegunungan dan perbukitan menjadikan
wilayah Kabupaten Malang sebagai daerah sejuk dan banyak diminati sebagai tempat tinggal
dan tempat peristirahatan. Tinggi pusat pemerintahan kecamatan (Kantor Camat) dari
permukaan laut berkisar antara 240-1.299 meter dpl. Berdasarkan hasil pemantauan tiga pos
pemantauan Stasiun Klimatologi Karangploso- Malang, pada Tahun 2015 suhu udara rata-
rata relatif rendah, berkisar antara 17o C hingga 27,6o C. Kelembaban udara rata-rata
berkisar antara 9 persen hingga 99,0 persen dan curah hujan rata-rata berkisar antara 15,3 mm
hingga 485 mm. Curah hujan rata-rata terendah terjadi pada Bulan Juli- Oktober, hasil
pemantauan Pos Karangkates. Sedangkan rata-rata curah hujan tertinggi terjadi juga pada
Bulan April, hasil pemantauan Pos Karangploso.

2.1.3.4 Kota Blitar


Kota Blitar mempunyai ketinggian yang bervariasi. Kondisi topografi di Kota Blitar
rata-rata adalah 156 meter, dengan rincian untuk wilayah Kota Blitar bagian utara
ketinggiannya adalah 245 meter dengan tingkat kemiringan 2-15˚, bagian tengah memiliki
ketinggian rata-rata sebesar 185 meter dengan kemiringan 0-2˚, sedangkan untuk wilayah
bagian selatan memiliki ketinggian rata-rata sebesar 140 meter dengan tingkat kemiringan
berkisar dari 0-2˚. Rata-rata ketinggian Kota Blitar dari permukaan air laut sekitar 156 m.
Kota Blitar terletak diantara 150 – 200 m diatas permukaan laut. Dilihat dari
ketinggian tersebut Kota Blitar termasuk dalam kategori daerah datar. Sedangkan pembagian
daerah ketinggian adalah sebagai berikut :
1. Ketinggian 175 – 200 meter dpl, seluas 605.203 Ha (18.577 % dari luas wilayah )
2. Ketinggian 150 – 175 meter dpl, seluas 1.055.200 Ha (32.359 % dari luas wilayah )
3. Ketinggian 150 meter dpl luasnya sekitar 692.234 Ha (21.248 % dari luas wilayah )

Dengan melihat kondisi ketinggian dari tiap wilayah, baik bagian utara, tengah
maupun selatan memiliki perbedaan ketinggian antara 25 meter sampai 50 meter, maka
secara kes-eluruhan dapat dilihat bahwa kondisi topografi wilayah Kota Blitar merupakan
daerah dengan dataran rendah atau datar. Kedalaman tanah di Kota Blitar bervariasi mulai
dari 30 - 90 cm yang meliputi 71,5% dari luas wilayah. Urutan selanjutnya dengan kedalaman
60 - 90 cm meliputi 15,5% dan terkecil dengan kedalaman 30 - 60 cm meliputi 13% dari luas
Kota Blitar.

2.1.3.5 Kabupaten Blitar


Keadaan topografi di Kabupaten Blitar sangat bervariasi, yaitu mulai dari dataran,
bergelombang hingga berbukit. Adapun mengenai persebarannya kondisi topografi sebagai
berikut:
1. Wilayah Kabupaten Blitar Utara, yaitu mempunyai kemiringan dari 2%-15%, 15%-
40% dan lebih besar dari 40%, dengan keadaan bentuk wilayah bergelombang sampai
dengan berbukit. Mengingat bagian wilayah utara Kabupaten Blitar adalah merupakan
bagian dari Gunung Kelud dan Gunung Butak.
2. Bagian tengah wilayah Kabupaten Blitar umumnya relatif datar dengan kelerengan 0-
20%, hanya pada bagian sebelah timur agak bergelombang dengan kemiringan rata-
rata 2-15%.
3. Wilayah Kabupaten Blitar Selatan, sebagian besar merupakan wilayah perbukitan
dengan kelerengan rata-rata 15-40%, hanya sebagian kecil yaitu di sekitar DAS
Brantas topografinya agak landai yaitu 0-2%.
Berdasarkan keadaan morfologi secara umum di wilayah Kabupaten Blitar, termasuk
jenis morfologi pegunungan, morfologi perbukitan dan daratan. Morfologi pegunungan
terletak di wilayah Blitar utara dengan ketinggian antara 167 sampai 2.800 meter dari
permukaan laut (yaitu Gunung Kombang, Gunung Kelud, Gunung Butak). Pada umumnya
morfologi ini terbentuk oleh batuan hasil letusan gunung api yang berumur muda dengan
kemiringan antara 2% sampai dengan lebih besar 40%, yaitu meliputi Kecamatan Talun,
Kecamatan Doko, Kecamatan Gandusari, Kecamatan Nglegok dan Kecamatan Ponggok.
Morfologi perbukitan terletak di bagian selatan Kabupaten Blitar dengan ketinggian
antara sekitar 100 meter dpl sampai dengan sekitar 350 meter dpl. Umumnya morfologi ini
terbentuk oleh batuan gamping atau kapur dengan kemiringan antara 20 % sampai dengan
lebih besar dari 40%, meliputi kecamatan Kademangan, Kecamatan Panggungrejo,
Kecamatan Wates dan Kecamatan Wonotirto.
Morfologi dataran yang ada di wilayah Kabupaten Blitar terletak dibagian tengah
wilayah Blitar. Daerah dataran ini ditempati oleh batuan hasil letusan gunung api dan juga
batuan lepas hasil dari endapatan Sungai Brantas yang mengalir dari timur ke barat, dengan
kemiringan antara 0% sampai dengan sekitar 20%, meliputi Kecamatan Wonodadi, sebagaian
Kecamatan Kademangan, Srengat, Garum, Sanankulon, Kanigoro, Sutojayan, Kesamben,
Wlingi, Selopuro dan Selorejo.

2.1.4 Rencana Tata Ruangan Wilayah (RTRW)


2.1.4.1 Kota Batu
Hasil klasifikasi untuk kriteria daerah tangkapan air (penggunaan lahan) di sub DAS
Brantas Hulu dengan Indeks Penutupan Lahan (IPL) sebesar 25.53%, termasuk dalam
klasifikasi kelas jelek. Kesesuaian Penggunaan Lahan (KPL) sebesar 42.54% termasuk dalam
klasifikasi kelas sedang (Shodriyah et al., 2014; Wibowo et al., 2013). Beberapa penelitian
menunjukkan kondisi penggunaan lahan saat ini sebesar 25.66% tidak sesuai dengan kelas
kemampuan lahan, sedangkan kondisi penggunaan lahan berdasarkan Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW) terdapat peningkatan ketidaksesuaian penggunaan lahan sebesar 32.05%.
Hal ini dapat mempengaruhi kualitas air di DAS Brantas (Dudula dan Randhir, 2016;
Direktorat Kehutanan dan Konservasi Sumberdaya Air, 2017; Reddy et al., 2017).
Pola penggunaan lahan yang ada di suatu tempat dapat memberikan gambaran
bagaimana aktivitas masyarakat yang sebelumnya sehingga dapat digunakan menjadi
indikator cara masyarakat memperlakukan sumberdaya alam. Perubahan penggunaan lahan
yang ada dapat digunakan untuk mengevaluasi perkembangan daerah aliran sungai karena
penggunaan lahan merupakan hasil interaksi dari manusia, tanah, tumbuhan yang ada di
lahan. Penggunaan lahan di suatu wilayah sangat dinamis mengikuti jumlah dan profesi
penduduk serta waktu (Sihite, 2001; Sun et al., 2017; Gashaw et al., 2018).

2.1.4.2 Kota Malang


Dalam Tata Ruang Wilayah Kota Malang periode 1993/1994-2003/2004 selebar 15
meter sepanjang kanan-kiri jalur Sungai Brantas ditetapkan sebagai jalur hijau. Namun yang
terlihat di lapangan adalah jalur hijau tersebut telah dilanggar oleh pembangunan yang
berlangsung. Menurut Sunarhadi dkk (2001), pesatnya perkembangan pembangunan di
kawasan tersebut dipengaruhi oleh mode pertumbuhan berupa pusat pendidikan dan terminal
angkutan umum. Hal ini mengakibatkan semakin banyaknya fasilitas kos untuk pelajar dan
pertokoan penyedia kebutuhan sehari-hari. Di samping Sungai Brantas, kawasan DAS
Brantas Hulu secara keseluruhan juga menunjukkan hal yang sama. Hasil pengamatan di
lapangan menunjukkan banyaknya pembangunan perumahan mendekati sungai meskipun
tidak berada di sempadan sungai. Hal ini turut memicu berkembangnya kawasan buatan
menuju sempadan Sungai Brantas. Kondisi ini diperburuk dengan keberadaan pabrik yang
mengakibatkan tumbuhnya kawasan buatan guna hunian karyawan.

2.1.4.3 Kabupaten Malang


Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Malang Nomor 3 Tahun 2010 Tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Malang Kawasan sempadan sungai sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b, adalah kawasan sepanjang kanan-kiri sungai, termasuk
sungai buatan/kanal/saluran irigasi teknis yang mempunyai manfaat penting untuk
melestarikan fungsi sungai.
a. Terletak pada seluruh Kecamatan yang dilewati oleh Sungai Brantas, Sungai Lesti,
Sungai Metro, Kali Genteng, Kali Sumber Bulus, Kali Rejo dan Kali Manjing, seluas
82.674 Ha;
b. Kriteria penetapan kawasan sempadan sungai adalah:
1) Perlindungan pada sungai besar di luar kawasan permukiman ditetapkan
minimum 100 meter kiri-kanan sungai. Termasuk sungai besar di daerah ini antara
lain adalah: Sungai Brantas, Sungai Lesti, Sungai Metro, Kali Genteng, Kali
Sumber Bulus, Kali Rejo dan Kali Manjing;
2) Perlindungan terhadap anak-anak sungai di luar permukiman ditetapkan
minimum 50 meter. Termasuk pada wilayah ini adalah seluruh anak Sungai Lesti dan
anak Sungai Brantas. Anak-anak sungai dari Sungai Brantas dan Sungai Lesti ini
hampir ada pada setiap kecamatan di Daerah; serta
3) Pada sungai besar dan anak sungai yang melewati kawasan permukiman ditetapkan
minimum 15 meter. Kawasan ini hampir ada di setiap kecamatan, bahkan pada sekitar
aliran sungai ini banyak yang digunakan untuk keperluan sehari-hari oleh masyarakat
setempat.
c. Upaya penanganan/pengelolaan kawasan sempadan sungai, melalui:
1) Perlindungan sekitar sungai atau sebagai sempadan sungai sehingga dilarang
mengadakan alih fungsi lindung yang menyebabkan kerusakan kualitas air sungai;
2) Bangunan sepanjang sempadan sungai yang tidak memiliki kaitan dengan
pelestarian atau pengelolaan sungai dilarang untuk didirikan;
3) Sungai yang melintasi kawasan permukiman ataupun kawasan perdesaan dan
perkotaan dilakukan re-orientasi pembangunan dengan menjadikan sungai sebagai
bagian dari latar depan;
4) Sungai yang memiliki arus deras dijadikan salah satu bagian dari wisata alam-
petualangan seperti arung jeram, outbond, dan kepramukaan;
5) Sungai yang arusnya lemah dan bukan sungai yang menyebabkan timbulnya banjir
dapat digunakan untuk pariwisata; serta
6) Sempadan sungai yang areanya masih luas dapat digunakan untuk pariwisata
melalui penataan kawasan tepian sungai.

2.1.4.4 Kota Blitar


Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Blitar Tahun 2011 – 2030, Pengelolaaan
sistem sungai di wilayah Kota Blitar yang merupakan bagian dari Wilayah Sungai (WS)
Brantas sebagai sungai strategis nasional yang mengacu kepada Pola Pengelolaan Wilayah
Sungai Brantas.
Kawasan perlindungan setempat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 huruf b
terdiri atas sempadan sungai dan kawasan sekitar mata air. Kawasan sempadan sungai
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 huruf a meliputi :
a. Sempadan Sungai Lahar berserta anak sungainya;
b. Sempadan Sungai Cari berserta anak sungainya;
c. Sempadan Sungai Sumber Nanas berserta anak sungainya;
d. Sempadan Kali Tugu/Sumber Saman berserta berserta anak sungainya.

2.1.4.5 Kabupaten Blitar


Berdasarkan RTRW Kabupaten Blitar Tahun 2008-2028, pembagian kecamatan-
kecamatan di seluruh Kabupaten Blitar sesuai dengan kondisi dan karakteristik kegiatan
dibedakan menjadi kawasan perkotaan dan kawasan perdesaan. Identifikasi kawasan
perkotaan dan perdesaan tersebut dimaksudkan untuk mengetahui dan menentukan jenis
kegiatan yang akan ditentukan sehingga sesuai dengan peruntukkan tanah dan ruangnya.
Kriteria penetapan batas kota di wilayah Kabupaten Blitar ditetapkan atas dasar status
kawasan sebagai kawasan perkotaan ibu kota kecamatan. Pada wilayah Kabupaten Blitar
terdapat 1 kawasan perkotaan yang berfungsi sebagai ibukota Kabupaten Blitar dan 21
kawasan perkotaan yang berfungsi sebagai ibukota kecamatan.

2.2 Kondisi Sungai Brantas Bagian Hulu


2.2.1 Kualitas Air
Berdasarkan indikator kualitas air menurut Yetti (2011), pada tahun 2003, sungai
Brantas mempunyai pH 7.8, kandungan nitrit sebesar 3.79 mg/l, dan fosfat sebesar 0.5 mg/l.
Pada tahun 2004, BOD sungai Brantas sebesar 18.83 mg/l dan COD 39.59 mg/l yang masing-
masing diatas ambang batas baku mutu. Hal ini mengindikasikan adanya pencemaran di DAS
Brantas yang menyebabkan penurunan peruntukan. Secara statistik (metode STORET)
menunjukkan bahwa kali Brantas di daerah hulu dan tengah (mulai dari jembatan pendem
kota Batu sampai dengan DAM Lengkong) berada pada kondisi tercemar sedang, dan di hilir
(mulai dari DAM lengkong hingga pecah menjadi kali Surabaya dan kali Porong sampai ke
muara) tercemar berat (Badan Lingkungan Hidup-Propinsi Jawa Timur, 2017).
Beberapa jenis aktivitas utama penggunaan lahan yang dapat menimbulkan
pencemaran sungai antara lain penggundulan hutan, pengalihan hutan menjadi lahan
pertanian, pengalihan hutan menjadi lahan perkebunan serta pengalihan hutan menjadi daerah
terbangun. Penurunan kualitas air sungai yang disebabkan oleh pengalihan hutan menjadi
lahan pertanian dapat terjadi akibat erosi (Satriawan, 2010; Dai et al., 2017; Roberts et al.,
2017; Wang et al., 2017). Selain akan meningkatkan kandungan zat padat tersuspensi dalam
air sungai sebagai akibat sedimentasi, juga akan diikuti oleh meningkatknya kesuburan air
dengan meningkatnya kandungan hara dalam air sungai. Kebanyakan kawasan hutan yang
diubah menjadi lahan pertanian mempunyai kemiringan diatas 25%, sehingga bila tidak
memperhatikan faktor konservasi tanah, seperti pengaturan pola tanam, pembuatan teras dan
lainnya, maka akan berakibat masuknya pupuk dan pestisida ke dalam air sungai karena
terbawa oleh air limpasan (run off).
Salah satu permasalahan yang ada saat ini adalah semakin menurunnya kualitas air
sungai Brantas sejalan dengan makin meningkatnya berbagai kegiatan penduduk di sepanjang
DAS Brantas. Penurunan kualitas air sungai Brantas ini selain diakibatkan oleh pencemaran
alami seperti terjadinya erosi dan limbah pertanian juga dikarenakan oleh adanya bahan-
bahan organik berupa limbah dari penduduk sepanjang DAS serta aliran masuk lainnya yang
turut mempengaruhi kualitas air sungai Brantas (Handayani et al., 2001; Yetti et al., 2011;
Hakim dan Trihadiningrum, 2012; Mahyudin et al., 2015).
Indeks pencemaran ini mencerminkan tingkat cemaran sungai dengan
membandingkannya dengan baku mutu sesuai kelas air yang ditetapkan berdasarkan
Peraturan Pemerintah RI No. 82 tahun 2001. Berdasarkan hal tersebut, dapat diperoleh
informasi dalam menentukan dapat atau tidaknya air sungai dipakai untuk peruntukan
tertentu sesuai kelas air. Langkah-langkah dalam penentuan status mutu air sungai dengan
menggunakan metode Indeks Pencemaran sesuai dengan Keputusan Menteri Lingkungan
Hidup Nomor 115 Tahun 2003 tentang Pedoman Penentuan Status Mutu Air. Penentuan
status pencemaran sungai. Kategori indeks pencemaran dibagi menjadi empat yaitu kondisi
baik dengan nilai 0 ≤ Pij ≤ 1.0, kondisi cemaran ringan dengan nilai 1.0 < Pij ≤ 5.0, cemaran
sedang dengan nilai 5.0 < Pij ≤ 10, dan cemaran berat sebesar Pij > 10.0.

Tabel 2.2 Perhitungan Indeks Pecemaran Air

Pencemaran air sungai di kota Malang sangat tinggi karena begitu banyak aktivitas
pemanfaatan lahan, pertanian, pemukiman dan industri di sepanjang DAS (Daerah Aliran
Sungai) Brantas. Banyaknya aktivitas ini dapat mempengaruhi kualitas air sungai Brantas
oleh karena itu dilakukanlah penelitian tentang analisa kualitas air dan daya tampung
penemaran air sungai Brantas bagian hulu kota Malang.
Dari hasil penelitian di 18 stasiun dapat ditentukan status mutu air sungai di kawasan
DAS Brantas Hulu dengan menggunakan metode Indeks Pencemaran berdasarkan Keputusan
Menteri Lingkungan Hidup No.1156 Tahun 2003. Hasil penentuan status mutu air dri 18
stasiun terbagi menjadi 2, yaitu pertama mengacu pada baku mutu dari Keputusan Gubernur
Jatim No. 413 tahun 1987 (Tabel 2.3) dan kedua mengacu pada Peratutan Pemerintah No. 82
tahun 2001 (Tabel 2.4).

Tabel 2.3 Hasil Penentuan Status Mutu Air Sungai-Sungai di Kawasan DAS Brantas Hulu
Malang dengan Metode Indeks Pencemaran (Kepmen LH No. 115 tahun 2003) Berdasarkan
Kep. Gub. Jatim No. 413 Tahun 1987.

Tabel 2.4 Hasil Penentuan Status Mutu Air Sungai-Sungai di Kawasan DAS Brantas Hulu
Malang dengan Metode Indeks Pencemaran (Kepmen LH No. 115 tahun 2003) Berdasarkan
PP No. 82 Tahun 2001
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas sungai di kawasan DAS Brantas Hulu
Malang dipengaruhi oleh tata guna lahan yang ada di wilaysh tersebut. Berdasarkan Peta Tata
Guna Lahan DAS Brantas Hulu, kawasan pemukiman sebenarnya tidak terlalu mendominasi
tata guna lahan pada DAS tersebut. Namun karena letaknya sangat dekat dengan sungai maka
diduga hal ini yang menimbulkan pengaruh terhadap penurunan kualitas air. Kemudian
berdirinya pabrik-pabrik di sepanjang DAS turut memperburuk kondisi kualitas air secara
keseluruhan. Setidaknya tercatat ada 20 pabrik yang berdiri di sepanjang sungai-sungai di
kawasan DAS Brantas Hulu.
Tingginya nilai COD pada kawasan ini kemungkinan juga dipengaruhi oleh
banyaknya parik-pabrik yang menjadikan sungai sebagai tempat penampungan limbah.
Pabrik-pabrik tersebut merupakan produsen dengan jenis limbah yang sulit urai seperti pabrik
kulit, karet, kertas, dan tepung tapioka. Limbah-limbah organik sulit urai inilah yang
menyebabkan tingginya nilai COD hampir di semua lokasi penelitian. Di samping itu
terdapat pula RPH, pabrik agar-agar, rokok, dan peternakan babi.

2.2.2 Geologi
2.2.2.1 Kota Batu
Dilihat dari keadaan geografi-nya, Kota Batu dapat dibagi menjadi 4 jenis tanah.
Pertama jenis tanah Andosol, berupa lahan tanah yang paling subur meliputi Kecamatan Batu
seluas 1.831,04 ha, Kecamatan Junrejo seluas 1.526,19 ha dan Kecamatan Bumiaji seluas
2.873,89 ha. Kedua jenis Kambisol, berupa jenis tanah yang cukup subur meliputi Kecamatan
Batu seluas 889,31 ha, Kecamatan Junrejo 741,25 ha dan Kecamatan Bumiaji 1395,81 ha.
Ketiga tanah alluvial, berupa tanah yang kurang subur dan mengandung kapur meliputi
Kecamatan Batu seluas 239,86 ha, Kecamatan Junrejo 199,93 ha dan Kecamatan Bumiaji
376,48 ha. Dan yang terakhir jenis tanah Latosol meliputi Kecamatan Batu seluas 260,34 ha,
Kecamatan Junrejo 217,00 ha dan Kecamatan Bumiaji 408,61 ha. Tanahnya berupa tanah
mekanis yang banyak mengandung mineral yang berasal dari ledakan gunung berapi, sifat
tanah semacam ini mempunyai tingkat kesuburan yang tinggi.

2.2.2.2 Kota Malang


Secara geologi daerahnya disusun oleh batuan hasil kegiatan gunungapi yang terdiri
dari tufa, tufa pasiran, breksi gunung api, aglomerat, dan lava. Secara hidrogeologi akumulasi
air tanah di Cekungan Malang dijumpai pada lapisan akuifer yang dapat dipisahkan menjadi
3 (tiga) kelompok, yaitu kelompok akuifer dengan kedalaman kurang dari 40 m, kelompok
akuifer dengan kedalaman antara 40 - 100 m, dan kelompok akuifer dengan kedalaman antara
100 - 150 m.
Keadaan tanah di wilayah Kota Malang antara lain :
Bagian selatan : termasuk dataran tinggi yang cukup luas,cocok untuk industri
Bagian utara : termasuk dataran tinggi yang subur, cocok untuk pertanian
Bagian timur : merupakan dataran tinggi dengan keadaan kurang kurang subur
Bagian barat : merupakan dataran tinggi yang amat luas menjadi daerah pendidikan
Jenis tanah di wilayah Kota Malang ada 4 macam, antara lain :
1. Alluvial kelabu kehitaman dengan luas 6,930,267 Ha.
2. Mediteran coklat dengan luas 1.225.160 Ha.
3. Asosiasi latosol coklat kemerahan grey coklat dengan luas 1.942.160 Ha.
4. Struktur tanah pada umumnya relatif baik, akan tetapi yang perlu mendapatkan
perhatian adalah penggunaan jenis tanah andosol yang memiliki sifat peka erosi. Jenis
tanah andosol ini terdapat di Kecamatan lowokwaru dengan relatif kemiringan sekitar
15 %.

2.2.2.3 Kabupaten Malang


Ditinjau dari keadaan geologinya, sebagian besar wilayah Kabupaten Malang
terbentuk dari hasil gunung api kwarter muda yang meliputi areal seluas 44,25 % atau
148.152,52 Ha dari seluruh luas Kabupaten Malang, sedangkan sebagian kecil merupakan
miosen facies baru gamping dengan luas 90.884,00 Ha atau 27,15 % dari luas Kabupaten
Malang seluruhnya.
Tabel 2.5 Luas Daerah Berdasarkan Struktur Geologi di Kabupaten Malang

Jenis tanah di Kabupaten Malang terdiri dari jenis tanah alluvial, regosol, brown
forest, andosol, latosol, mediteran dan litosol. Jenis tanah ini tidak seluruhnya tersebar di
Kecamatan-kecamatan yang ada di Kabupaten Malang. Luas daerah yang termasuk jenis
tanah latosol memiliki luas sebesar 86.260,36 Ha atau 25,77 % dari seluruh luas wilayah
Kabupaten Malang. Mediteran mempunyai luas sebesar 55.811,30 Ha atau 16,67 %, litosol
seluas 69.133,25 Ha atau 20,65 % dan alluvial 28.003,25 Ha atau 8,36 % dari seluruh luas
Kabupaten Malang. Brown forest memiliki luas 6.142,25 Ha atau 1,83 % dari seluruh luas
Kabupaten Malang. Sedangkan jenis tanah regosol memiliki luas 45.654,17 Ha atau 13,54 %
dari seluruh luas Kabupaten Malang dan andosol adalah 43.782,42 Ha atau 13,08 % dari luas
seluruh wilayah Kabupaten Malang. Lebih jelasnya tentang jenis tanah dan persebarannya,
dapat dilihat. dan Tabel 6.3. dibawah ini.
Tabel 2.6 Luas Kabupaten Malang Berdasarkan Jenis Tanah dan Sifat-Sifatya

2.2.2.4 Kota Blitar


Jenis tanah di Kota Blitar termasuk dalam jenis tanah litosol dan regosol dengan
tingkat kesuburan yang cukup baik akibat pengaruh dari debu vulkanik Gunung Kelud. Jenis
tanah regosol berasal dari bahan vulkanis serta batuan endapan kapur, dimana tanah regosol
yang ada di Kota Blitar berasosiasi dengan tanah litosol yang berasal dari batuan beku basis
sampai intermedier. Tanah regosol coklat kelabu merupakan tanah dengan bahan induk
abu/pasir vul-kan masam yang bertekstur kasar dengan kadar pasir lebih dari 60%. Tanah ini
sesuai untuk pengunaan hutan primer dan sekunder, semak belukar, palawija dan
rerumputan.Jenis tanah litosol ini mempunyai konsistensi gembur, porositas, merupakan
tanah mineral yang ketebalannya 20 cm atau kurang, di bawahnya terdapat batuan keras yang
terpadu daya tahan untuk menahan air yang baik dan tahan terhadap erosi.
Tekstur tanah terbesar berupa tekstur halus ( 85.3 % ) yang berarti bahwa tanah yang
ada di wilayah ini mempunyai kemampuan menahan atau mengikat air cukup besar. Sisanya
adalah tekstur sedang yang meliputi 24.7% dari luas wilayah. Tekstur yang demikian kurang
dapat menahan air, namun dilihat dari segi menyediakan unsur hara yang diperlukan
tanaman, relatif lebih baik daripada tanah yang bertekstur halus.

2.2.2.5 Kabupaten Blitar


Jenis batu-batuan yang dijumpai di wilayah Kabupaten Blitar terdiri dari satuan batu
gamping dan satuan batuan vulkanik dan marin yang berumur Miosen, satuan batuan
vulkanik muda, batuan endapan alluvial sungai dan satuan endapan alluvial pesisir. Satuan
batuan gamping terdiri dari batuan gamping terumbu yang banyak ditemui di wilayah selatan
Kabupaten Blitar, dengan jumlah hampir 20% dari luas wilayah selatan, yaitu meliputi
Kecamatan Bakung, sebagian Kecamatan Wonotirto, sebagian Kecamatan Panggungrejo dan
sebagian Kecamatan Wates. Sedangkan satuan batuan campuran terdiri dari endapan
vulkanik (breksi, tufa dan lava) serta endapan marin (batu gamping, napal, serpik, batu pesisir
dan konglomerat) yang berjumlah ± 20% luas wilayah Kabupaten Blitar, meliputi sebagian
Kecamatan Kademangan, Sutojayan, Wonotirto, Panggungrejo, Binangun, Wates, Kesamben,
Sepuro dan Ponggok.
Satuan batu vulkanik muda terdiri dari lava lahar breksi dan lava andesit sampai
besalt, terletak seluruhnya di bagian utara wilayah Kabupaten Blitar, sebesar ± 50% dari luas
wilayah Kabupaten Blitar, yaitu meliputi Kecamatan Udanawu, Srengat, Wonodadi,
Ponggok, Nglegok, Garum, Sanan Kulon, Kanigoro, Talun, Gandusari, Wlingi, Doko dan
Kesamben. Bahan galian yang terdapat di Kabupaten Blitar sebagian besar berada di bagian
selatan dan telah dieksploitasi, antara lain adalah :

• Kaolin di Kecamatan Bakung dan Sutojayan


• Ball Clay di Kecamatan Sutojayan
• Bentoit di Kecamatan Binangun
• Batu Bintang di Kecamatan Binangun, Panggungrejo, Winotirto dan Sutojayan
• Batu Tufa di Kecamatan Wates
• Felspar di Kecamatan Sutojayan dan Kecamatan Panggungrejo
• Pasir besi di Kecamatan Bakung dan Panggungrejo
2.2.3 Sosial Budaya
2.2.3.1 Kota Batu
Perekonomian Kota Batu banyak ditunjang dari sektor pariwisata dan pertanian. Letak
Kota Batu yang berada di wilayah pegunungan dan pembangunan pariwisata yang pesat
membuat sebagian besar pertumbuhan PDB Kota Batu ditunjang dari sektor ini. Di bidang
pertanian, Batu merupakan salah satu daerah penghasil apel terbesar di Indonesia yang
membuatnya dijuluki sebagai kota apel. Apel Batu memiliki empat varietas yaitu manalagi,
rome beauty, anna, dan wangling. Batu juga dikenal sebagai kawasan agropolitan, sehingga
juga mendapat julukan kota agropolitan. Karena letak geografis yang berada di dataran tinggi,
kota Batu banyak menghasilkan sayur mayur, dan bawang putih. Selain itu, Batu juga
merupakan kota seniman di mana terdapat banyak sanggar lukis dan galeri seni di kota ini.
Salah satu alat ukur tingkat kesejahteraan masyarakat di suatu daerah adalah dengan
melihat pendapatan yang diterima. Data mengenai pendapatan penduduk akan sulit diperoleh
karena cenderung underestimate. Sesuai dengan hukum ekonomi, semakin besar pendapatan
yang diterima maka akan diikuti dengan semakin besarnya pengeluaran yang dikeluarkan.
Oleh karena itu, data mengenai kesejahteraan penduduk dapat didekati dengan data
pengeluaran. Data dari hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional 2016 dapat memberikan
informasi kesejahteraan masyarakat Kota Batu dengan indikator pengeluaran per kapita per
bulan. Data tersebut menunjukkan bahwa persentase masyarakat Kota Batu dengan
pengeluaran kurang dari Rp. 500.000,- per kapita setiap bulannya, hanya sekitar 14,46 persen.
Sementara itu, 49,17 persen penduduk Kota Batu memiliki pengeluaran perkapita perbulan
lebih dari Rp. 1.000.000,-.

2.2.3.2 Kota Malang


Kota Malang sendiri memiliki luas 124.456 km2, dihuni oleh ± 700.000 warganya.
Kepadatan penduduk mencapai 5.000 – 12.000 jiwa per kilometer persegi dengan tingkat
pertumbuhan 3.9% per tahun. Sedangkan penduduk yang tersebar di Daerah Aliran Brantas
Hulu ± 2.500.000 jiwa. Etnik masyarakat Malang terkenal religius, dinamis, suka bekerja
keras, lugas dan bangga dengan identitasnya sebagai Arek Malang (AREMA). Komposisi
penduduk asli berasal dari berbagai etnik terutama suku Jawa, Madura, sebagian kecil
keturunan Arab dan Cina. Masyarakat Malang sebagian besar adalah pemeluk Islam
kemudian Kristen, Katolik dan sebagian kecil Hindu dan Budha. Malang juga banyak
didatangi oleh pendatang. Kebanyakan pendatang adalah pedagang, pekerja dan pelajar atau
mahasiswa yang tidak menetap dan dalam kurun waktu tertentu kembali ke daerah asalnya.
Sebagian besar masyarakat di sekitar kawasan DAS Brantas Hulu Malang mempunyai
mata pencaharian dari pertanian sawah hingga tanaman semusim jenis holtikultura. Adanya
perubahan di lapangan tentang tata guna lahan DAS Brantas Hulu salah satunya disebabkan
oleh banyaknya masyarakat yang membuka usaha pertanian di kawasan ini.
Masyarakat bahkan banyak yang tidak hanya menjalankan usaha tani berskala kecil
tetapi terdapat pula usaha tani berskala besar seperti industri jamur dan perternakan. Para
petani banyak yang mengusahakan tanaman sayuran yang sebelumnya merupakan kawasan
hutan ataupun milik mereka sendiri. Selain pertanian, masyarakat banyak juga yang
mempunyai mata percaharian sebagai buruh di pabrik-pabrik yang memang banyak berdiri di
sepanjang pinggiran sungai.

2.2.3.3 Kabupaten Malang


Kondisi perekonomian Kabupaten Malang secara umum dapat di lihat dalam tabel di
bawah ini. Dimana indeks kemampuan fiscal bergerak turun dari 0,6255 pada tahun 2008
menjadi 0,173 padat ahun 2012. Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan No
245/PMK.07/2010 bahwa daerah yang memiliki indeks kemampuan fiscal dibawah 0,5 maka
termasuk dalam kategori rendah. Kondisi ruang fiscal Kabupaten Malang dalam lima tahun
terakhir dapat dilihat pada table dibawah ini.
Tabel 2.7 Data Mengenai Ruang Fiskal Kabupaten Malang 5 Tahun Terakhir

2.2.3.4 Kota Blitar


Jumlah penduduk terbanyak di Kota Blitar terdapat di Kecamatan Sananwetan yaitu
sejumlah 45.011 jiwa, sedangkan penduduk terkecil terdapat di Kecamatan Kepanjen Kidul
yaitu sebanyak 37.529 jiwa.
Perincian :
Tingkat pertumbuhan penduduk rata-rata per tahun : 0,76%
Tingkat kepadatan penduduk rata-rata (jiwa/km2) : 3.665
Jumlah KK : 27.905
Untuk tenaga kerja Sektor andalan/potensi daerah adalah perdagangan dan pertanian. Mata
pencaharian di Kota Blitar sebagian besar :
Pegawai Negeri/TNI : 9.614 (jiwa)
Pegawai Perusahaan Swasta : 13.627 (jiwa)
Pedagang/Pengusaha : 12.188 (jiwa)
Petani/Peternak : 3.806 (jiwa)
Lainnya : 5.147 (jiwa)

2.2.3.5 Kabupaten Blitar


Kondisi sosial masyarakat Kabupaten Blitar sama seperti masyarakat pada umumnya,
sebagian besar masyarakat masih bekerja dalam bidang pertanian. Komuditas terbesar dari
pertanian yang di hasilkan oleh masyarakat Kabupaten Blitar adalah padi. Hasil pertanian
tersebut dijual dan ditabung untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti kebutuhan
sekolah. Selain itu masyarakat Kabupeten Blitar masih menjunjung tinggi budaya gotong
royong untuk membantu satu sama
lain maupun membantu dalam pembangunan suatu desa. Kondisi budaya Kabupaten Blitar
tentu berbeda dengan daerah lain. Kabupaten Blitar mempunyai budaya dengan ciri khas
tertentu yang diantaranya adalah budaya kesenian yaitu berupa wayang orang dan grebek
pancasila. Kondisi sosial budaya di Kabupaten Blitar masih sangat nasionalis. Hal ini
dikarenakan banyak sekali peninggalan sejarah yang berada di Kabupaten Blitar yang paling
utama adalah candi penataran yaitu candi peninggalan kerajaaan majapahit. Setiap tahun di
candi penataran di adakan pentas seni untuk melestarikan budaya Indonesia sehingga tidak di
lupakan oleh generasi muda.
Selain sosial dan budaya, potensi lain yang dimiliki oleh Kabupaten Blitar adalah
potensi ekonomi. Beberapa potensi ekonomi tersebut meliputi Produk Domestik Regional
Bruto, pertumbuhan ekonomi dan tingkat inflansi. Selain itu Kabupaten Blitar juga memiliki
produk unggulan strategis yang menjadi salah satu andalan Kabupaaten Blitar untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan meningkatkan pendapatan daerah apabila
dikelola secara benar, tepat dan profesional.
2.3. Pemanfaatan Sungai Brantas
Berikut pemanfaataan sungai Kali Brantas daerah hulu, diantaranya sebagai berikut :
2.3.1 Kota Batu
1. Sawah Irigasi
Berdasarkan Badan Pusat Statistik Kota Batu, luas lahan sawah di Kota Batu tahun
2017 sebesar 2.441,69 Ha. Terdiri dari 716,23 Ha berada di Kecamatan Batu, 1042 Ha di
Kecamatan Junrejo dan sisanya 683,46 Ha di Kecamatan Bumiaji.
2. Tegal/Kebun dan Pekarangan
Berdasarkan Badan Pusat Statistik Kota Batu, luas lahan bukan sawah Kota Batu
tahun 2017 sebesar 4.186,87 Ha. Terdiri dari lahan tegal/kebun dan pekarangan, dengan
1.320,33 Ha berada di Kecamatan Batu, 116,97 Ha di Kecamatan Junrejo dan sisanya
2.749,58 Ha di Kecamatan Bumiaji. Berdasarkan data dari Dinas Pertanian dan Kehutanan
Kota Batu, terdapat 22 jenis sayuran dan beberapa buah-buahan yaitu tanaman buah-buahan
Apel dan Jeruk Siam/Keprok (jenis tanaman buah-buahan terbesar yang ditanam dan
dihasilkan pada setiap Triwulan).

2.3.2 Kota dan Kabupaten Malang


1. Sawah Irigasi
Berdasarkan Dinas Pertanian Propinsi Jawa Timur, tahun 2017 luas lahan sawah
irigasi Kota Malang sebesar 1.104 Ha dan Kabupaten Malang sebesar 42.739 Ha.
2. Tegal/Kebun dan Pekarangan
Berdasarkan Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Perkebunan Kabupaten
Malang luas lahan bukan sawah Kabupaten Malang tahun 2017 sebesar 60.013 Ha. Terdiri
dari 3.000 Ha padi ladang, 44.933 Ha jagung, 10.286 Ha ubi kayu, 917 Ha ubi jalar, 807 Ha
kacang tanah, 70 Ha kacang kedelai.
3. Bendungan
Terdapat beberapa bendungan di Kabupaten Malang, meliputi :
 Bendungan Selorejo, Ngantang
 Bendungan Lahor, Kepanjen
 Bendungan Karangkates, Kepanjen
 Bendungan Sengguruh, Kepanjen
4. PDAM
5. Sungai Kali Brantas merupakan pemasok bahan baku air terbesar untuk PDAM
Malang. Berdasarkan Peraturan Gubernur Jawa Timur No 61 Tahun 2010
menetapkan kualitas air sungai DAS Brantas berada pada Kelas I sebagai peruntukan
air minum.

2.3.3 Kota dan Kabupaten Blitar


1. Sawah Irigasi
Berdasarkan Dinas Pertanian Propinsi Jawa Timu,r tahun 2017 luas lahan sawah
irigasi Kota Blitar 1.065 Ha dan Kabupaten Blitar 32.004 Ha.
2. Pertanian
Menurut Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Kota Blitar luas lahan
pertanian tahun 2018 ini, sebesasar 1.065 Ha.
3. Bendungan
Terdapat beberapa bendungan di Kota/Kabupaten Blitar, meliputi :
 Bendungan Wlingi Raya
 Bendungan Lodoyo

2.1. Infrastuktur Sungai Brantas


2.4.1 Deskrispsi
Kehidupan di Jawa Timur tidak bisa dilepaskan dari peranan Sungai Brantas. Hal ini
mengingat 60% dari padi yang diproduksi berasal dari sawah-sawah yang berada di lembah
sungai Brantas. Akan tetapi saat ini Sungai Brantas memiliki kendala, yaitu menurunnya
debit air yang terus menerus setiap tahun. Adanya pendangkalan ini menyebabkan Sungai
Brantas tidak bisa lagi dipakai untuk berlayar. Saat ini manfaat sungai Brantas mulai beralih.
Gunung berapi yang masih aktif, yaitu Gunung Kelud dan Semeru memiliki andil yang cukup
besar bagi pendangkalan sungai ini. Abu vulkanik yang disemburkan mengalir di sungai ini
dan menyebabkan banyak sedimentasi di beberapa bendungan yang ada.
Saat ini memang ada permasalaahan DAS Sungai Brantas yaitu fluktuasi air yang
tinggi. Di saat musim kemarau debit aliran terlalu kecil, namum pada musim penghujan debit
air terlalu besar sehingga banyak menimbulkan banjir. Kekurangan air ini menyebabkan
kekeringan di beberapa sawah, sehingga menyebabkan kegagalan panen dan kelaparan.
Sementara kelebihan air di musim hujan bisa menimbulkan banjir yang menelan korban harta
dan jiwa.
Kendala lain di sungai ini adalah banyaknya sedimentasi yang diakibatkan oleh letusan
Gunung Kelud. Setiap 10 tahun sampai 15 tahun, gunung berapi ini melontarkan material
vulkaniknya ke daerah aliran Sungai Brantas.

2.4.2 Kerusakan Infastruktur


Berikut kerusakan infrastruktur sungai Kali Brantas daerah hulu, diantaranya sebagai
berikut :
1. Alih fungsi lahan hutan menjadi lahan pertanian
Penyebab utama alih fungsi lahan hutan menjadi lahan pertanian adalah untuk
pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat sekitar. Masyarakat di daerah hulu Sumber
Brantas sangat menggantungkan hidupnya dari hasil bertani. Kawasan budidaya pertanian
sebagian besar konservasi tanah dan saluran pembuangan airnya belum memadai serta
peruntukan kawasan budidaya pertanian belum berdasarkan kesesuaian lahan.
Kondisi ruang terbuka hijau yang semakin kecil akibat dari pengembangan
infrastruktur yang pesat mengakibatkan air hujan yang turun tidak dapat meresap ke dalam
tanah dan membentuk limpasan. Selain itu juga mengakibatkan erosi dalam tingkat daerah
aliran sungai. Erosi selalu diiringi sedimentasi. Transportasi bahan memindahkan lapisan
tanah halus dan ringan dari daerah hulu dan menumpuknya pada daerah hilir. Struktur dan
tekstur tanah dari daerah tererosi dan daerah tersedimentasi berubah. Lapisan tanah subur di
hulu tergerus dan partikel tanah yang halus dan ringan menutupi top soil yang subur dan
mengisi pori-pori tanah tersedimentasi.

2. Alih fungsi lahan hutan menjadi pemukiman


Sebagian besar wilayah hulu sungai Kali Brantas, khususnya Kota Batu strategis
secara ekonomi maupun pariwisata, ditambah dengan kondisi iklim sejuk serta panorama
alam yang indah membuat Kota Batu menjadi salah satu tempat yang nyaman untuk
bermukim. Alih fungsi lahan menyebabkan tanah menjadi semakin keras akibat adanya
pengolahan oleh manusia, sehingga kemampuan infiltrasi tanah semakin berkurang. Apabila
tidak dilakukan pengelolaan lebih lanjut akan menyebabkan peningkatan debit puncak setiap
tahunnya, sehingga daerah di bagian tengah dan hilir akan berpotensi terkena dampak
bencana banjir.
3. Kedalaman sempadan sungai > 3 meter
Kawasan sempadan sungai dengan kedalaman > 3 meter sangat rentan terhadap
morfoerosi. Daya rusak air akan sangat berpengaruh terhadap timbulnya degradasi sempadan
sungai.

4. Pencemaran Waduk Karangkates (Waduk Sutami)


Laju sedimentasi di waduk Sutami, Karangkates Kabupaten Malang
mengkhawatirkan. Sedimentasi meningkat sejak pembabatan hutan pada 1998, dampaknya
longsoran tanah memenuhi waduk dan bendungan cepat dangkal. Direncanakan umur
waduk Sutami sampai 100 tahun. Jika laju sedimentasi tidak dihambat maka umur waduk
semakin pendek. Selain digunakan menampung air untuk kebutuhan irigasi dan pembangkit
listrik tenaga air (PLTA).
PJT 1 menggiatkan penghijauan di kawasan hulu sungai Brantas bekerjasama
dengan kelompok tani setempat. Tujuannya, untuk mengendalikan sedimentasi serta
melestarikan sumber mata air di aliran Brantas.
Selain itu, sedimentasi dikendalikan melalui waduk Sengguruh Kabupaten Malang.
Sehingga, sedimen yang mengalir ke waduk Sutami berkurang. Setiap tahun sedimen dan
sampah di waduk Sengguruh mencapai 5 juta m 3. Sedangkan kemampuan teknis mengeruk
sedimen hanya 300 ribu m 3 per tahun. Keterbatasan peralatan dan lahan penampung
sedimen menjadi penghambat. Selebihnya, sampah mengendap dan mengganggu
bendungan. Dampaknya produksi pembangkit listrik tenaga air (PLTA) menurun.

2.4.3 Pengaturan, Pemeliharaan, Pengendalian Infrastruktur


Pemanfaatan air permukaan bagi masyarakat umum baik yang bersumber langsung
dari HL maupun dari Kali Brantas dilakukan melalui prosedur dan proses perijinan berupa
Surat Ijin Pemanfaatan Mata Air (SIPMA). Surat ijin diterbitkan melalui Keputusan Dinas
Pekerjaan Umum Pengairan Propinsi Jawa Timur Nomor 1 tahun 2003. Surat ijin
pengambilan, pemanfaatan, pengambilan dan pemanfaatan air permukaan diterbitkan oleh
Dinas PU dan Pengairan setelah ada Rekomendasi Teknis (Rekomtek) dari Kepala Balai
Pengelolan Sumberdaya air Wilayah Sungai (BPSDAWS) setempat apabila sumbersumber
air berada di bawah kewenangan Pemerintah Propinsi, dan Rekomendasi Teknis dari PERUM
Jasa Tirta I apabila sumber air berada di wilayah kerja Perusahaan Umum Jasa Tirta.
Aturan lain yang mengatur tentang pengelolaan sumberdaya air adalah Peraturan
Menteri Pekerjaan Umum No : 67/ PRT/ 1993 tentang Panitia Tata Pengaturan Air Propinsi
Daerah Tingkat I yang mengatur pembinaan tentang pemilikan, penguasaan, pengelolaan
,penggunaan, pengusahaan dan pengawasan atas air beserta sumbersumbernya termasuk
kekayaan alam di dalamnya. Selanjutnya aturan ini ditindaklanjuti dengan Keputusan
Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Timur No 59 tahun 1994 tentang Pembentukan
Panitia Tata Pengaturan Air Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur. Tugas dan fungsi pokok
dari Dinas Pekerjaan Umum dan Pengairan dituangkan dalam Perda Propinsi Jawa Timur No
23 tahun 2000.
Pengelolaan sumber daya air melibatkan beberapa instansi dimana masing-masing
mempunyai tugas pokok dan fungsi yang berbeda. Manajemen pengelolaan SDA dapat
berjalan dengan baik apabila masing-masing instansi terkait melaksanakan tugas sesuai
dengan fungsinya baik dalam perencanaan, pelaksanaan maupun dalam monitoring dan
evaluasi serta ada koordinasi yang baik diantara para stakeholder Tugas pokok dari masing-
masing instansi yang terkait dalam pemanfaatan dan pengambilan air permukaan :
1. Dinas Pekerjaan Umum Pengairan Propinsi
a. Perencanaan kebijakan teknis pembangunan dan pengelolaan sumberdaya air
permukaan lintas kabupaten/kota.
b. Penyediaan dukungan dan atau bantuan untuk kerjasama antarkabupaten/kota
dalam pengembangan prasarana dan sarana wilayah yang terdiri atas pengairan,
bendungan/dam.
c. Penyediaan dukungan/bantuan untuk pengelolaan Sumberdaya air permukaan,
pelaksanaan operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi dan drainase lintas
kabupaten/kota beserta bangunan-bangunan pelengkapnya.
d. Perijinan pemanfaatan sumberdaya air permukaan pada daerah Pengaliran Sungai
Lintas Kabupaten/kota.
e. Pelaksanaan pembangunan dan perbaikan jaringan irigasi utama lintas
kabupaten/kota beserta bangunan pelengkapnya.
f. Penyusunsn rencana penyediaan air irigasi.
2. Perusahaan Umum Jasa Tirta I
a. Operasi dan pemeliharaan prasarana pengairan.
b. Pengusahaan air dan sumber-sumber air (penyediaan air baku untuk PAM, PLN,
perkebunan, perikanan, industri, pelabuhan dan perusahaan lain).
c. Pengelolaan Daerah Pengaliran Sungai (DPS) antara lain perlindungan,
pengembangan dan penggunaan air serta sumber-sumber air.
d. Rehabilitasi prasarana pengairan.
3. Balai Pengelola Sumber Daya Air Wilayah Sungai
a. Pelaksanaan operasional pelayanan kepada masyarakat dibidang Pengelolaan
Sumberdaya air wilayah sungai.
b. Pelaksanaan operasional konservasi/pelestarian air dan sumber-sumber air.
c. Pemeliharaan sumber-sumber air dan bangunan pengairan.
d. Pengendalian banjir dan penanggulangan kekeringan.
e. Pengendalian pencemaran air.
Instansi lain yang terkait dalam proses pemanfaatan air seperti terlihat pada diagram
terlampir antara lain Bapeda, Bupati, Bapelda dan Dispenda. Berdasarkan tugas pokok dan
fungsi masing-masing instansi sebagaimana dijabarkan diatas terlihat instansi mana yang
dikatagorikan mempunyai peran penting dan sangat berpengaruh atau primary stakeholder,
berperan tapi tidak berpengaruh atau secondary stakeholder dalam proses perijinan dan
pemanfaatan air.
Tabel 2.1 Fungsi Masing-Masing Instansi dalam Pengelolaan SDA

Terlihat bahwa instansi Dinas PU dan pengairan propinsi berfungsi sebagai


koordinator sedangkan PJT I dan BPSDA di daerah berfungsi sebagai pelaksana teknis.
Instansi kehutanan baik Dinas Propinsi maupun Perum Perhutani tidak berperan aktif dalam
proses pemanfaatan air permukaan sungai, karena kegiatan yang dilakukan selama ini oleh
penanggung jawab DAS hanya terknsentrasi didaerah hulu sungai seperti melakukan
rehabilitasi dan konservasi.

2.5. Penataan Ruang


2.5.1. Berdasarkan UU Penataan Ruang No. 24 th 1992 (Bab IV pasal 7)
Dengan menimbang bahwa pengelolaan sumber daya alam yang beraneka ragam di
daratan, di lautan, dan di udara, perlu dilakukan secara terkoordinasi dan terpadu dengan
sumber daya manusia dan sumber daya buatan dalam pola pembangunan yang berkelanjutan
dengan mengembangkan tata ruang dalam satu kesatuan tata lingkungan yang dinamis serta
tetap memelihara kelestarian kemampuan lingkungan hidup sesuai dengan pembangunan
berwawasan lingkungan, yang berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional,
serta mengingat Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 12, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3215).
Pada BAB IV tentang Perencanaan, Pemanfaatan, dan Pengendalian Pasal 7 menyebutkan:
1. Penataan ruang berdasarkan fungsi utama kawasan meliputi kawasan lindung dan
kawasan budi daya.
2. Penataan ruang berdasarkan aspek administratif meliputi ruang wilayah Nasional,
wilayah Propinsi Daerah Tingkat I, dan wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah
Tingkat II.
3. Penataan ruang berdsarkan fungsi kawasan dan aspek kegiatan meliputi kawasan
perdesaan, kawasan perkotaan, dan kawasan tertentu.

2.5.2. Berdasarkan Wilayah Hulu Brantas


2.5.2.1 Kota Batu
Peraturan Daerah Kota Batu Nomor 7 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Kota Batu Tahun 2010-2030. Dengan menimbang persetujuan substansi atas
Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Kota Batu tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW) Kota Batu berdasarkan surat dari Kementrian PU RI Nomor: HK. 01 03.Dr/76
Tahun 2011, serta mengingat Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 140; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5059).

Pada Pasal 11 (poin 1 & 2) :


1. Kebijakan dan strategi pengembangan pola ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal
9 ayat huruf b meliputi:
a. Pelestarian kawasan lindung untuk memperkuat peran Kota Batu sebagai penopang
hulu Sungai Brantas dan keberlanjutan lingkungan Kota Batu sebagai wilayah
pegunungan yang asri, aman dan nyaman.
b. Pengendalian kegiatan budidaya yang dapat menimbulkan kerusakan lingkungan.
c. Pengembangan kawasan permukiman yang berwawasan lingkungan dan mitigasi
bencana
d. Peningkatan fungsi kawasan untuk pertahanan dan keamanan negara.
2. Strategi Pelestarian kawasan lindung untuk memperkuat peran Kota Batu sebagai
penopang hulu Sungai Brantas dan keberlanjutan lingkungan Kota Batu sebagai
wilayah pegunungan yang asri, aman dan nyaman meliputi:
a. Kerjasama daerah sekitar Kota Batu dan DAS Brantas untuk penyelamatan
ekosistem sesuai degan peraturan perundang-undangan berlaku;
b. Melestarikan daerah resapan air untuk menjaga ketersediaan sumberdaya air;
c. Mencegah dilakukannya kegiatan budidaya di sempadan mata air yang dapat
mengganggu kualitas air, kondisi fisik dan mengurangi kuantitas debit air;
d. Membatasi kegiatan di kawasan perlindungan setempat sepanjang sungai hanya
untuk kepentingan pariwisata yang tidak merubah fungsi lindung;
e. Mengembalikan dan meningkatkan fungsi kawasan lindung yang telah menurun
akibat pengembangan kegiatan budidaya, dalam rangka mewujudkan dan memelihara
keseimbangan ekosistem wilayah;
f. Menata kembali kawasan lindung yang telah rusak atau pemanfaatannya
menyimpang dari fungsi perlindungan;
g. Mengelola kawasan lindung secara terpadu;
h. Melakaukan konservasi tanah dan air pada kawasan lindung;
i. Mengelola sumberdaya hutan yang ada secara lebih baik melalui kegiatan
penanaman kembali hutan yang gundul dan menjaga hutan dari pembalakan liar
j. Menyelamatkan keutuhan potensi keanekaragaman hayati, baik potensi fisik
wilayahnya (habitatnya), potensi sumberdaya kehidupan serta keanekaragaman
sumber genetikanya.
k. Meningkatkan kuantitas dan kualitas ruang terbuka hijau hingga 30 % dari luas
wilayah Kota dalam mengendalikan dan memelihara kualitas lingkungan
l. mengamankan benda cagar budaya dan sejarah dengan melindungi tempat serta
ruang di sekitar bangunan bernilai sejarah, dan situs purbakala

2.5.2.2 Kota Malang


Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Kota Malang tahun 2010-2030. Dengan menimbang bahwa pembangunan Kota
Malang perlu diarahkan pada pemanfaatan ruang secara bijaksana, berdaya guna, dan berhasil
guna dengan berpedomanpada kaidah penataan ruang sehingga kualitas ruang dapat terjaga
keberlanjutannya demi terwujudnya kesejahteraan umum, keadilan social, dan kelestarian
lingkungan serta mengingat PP No. 42 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4833)
Pada Paragraf 5 tentang Rencana Sistem Jaringan Irigasi pasal 31 pada poin 4:
Rencana pengembangan saluran irigasi, meliputi:
a. Normalisasi jaringan irigasi;
b. Pemberdayaan tenaga lapangan yang ada di masing-masing Daerah Irigasi (D.I).

Pada Paragraf 6 tentang Prasarana Konservasi Sumber Daya Air pasal 32


Pengembangan prasarana konservasi sumber daya air, terdiri atas:
a. Pengembangan prasarana imbuhan alami (natural recharge) dengan cara
mempertahankan hutan kota atau ruang-ruang terbuka hijau eksisting serta menambah
kawasan hutan kota dan ruang-ruang terbuka hijau sampai mencapai minimal 30%;
b. Pengembangan prasarana imbuhan buatan (artificial recharge) dengan cara
mempertahnkan sumur resapan dan waduk-wauk kota eksisting, penambahan serta
pembangunan sumur-sumur resapan dangkal dan/atau biopori serta sumur resapan
dalam (inflection well), situ (tampungan sementara) kota dan teknik-teknik konservasi
lain dalam rangka memasukkan air sebanyak-banyaknya ke dalam tanah, sebagai
upaya menabung air, mengurangi limpasan permukaan (genangan atau banjir) dan
mengurangi dampak perubahan iklim global;
c. Pembatasan pengambilan air tanah dangkal di kawasan perumahan dan permukiman
secara bertahap; dan
d. Pelarangan pengambilan air tanah dalam terutama di zona kritis ir tanah.

2.5.2.3 Kabupaten Malang


Peraturan Daerah Kabupaten Malang Nomor 3 Tahun 2010 tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Kabupaten Malang. Dengan menimbang bahwa untuk mengarahkan
pembangunan di Kabupaten Malang dengan memanfaatkan ruang wilayah secara berdaya
guna, berhasil guna, serasi, selaras, seimbang, dan berkelanjutan dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dan pertahanan keamanan, perlu disusun Rencana Tata Ruang
Wilayah, serta mengingat PP No. 22 Tahun 1982 tentang Tata Pengaturan Air (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1982 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3225).
Pada Pasal 13 ( poin a dan b ) :
Kebijakan dan strategi pelestarian kawasan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12
huruf a, memuat:
a. Pemantapan fungsi lindung pada kawasan yang memberi perlindungan kawasan
bawahannya, dengan strategi sebagai berikut:
1. Pengembalian fungsi pada kawasan yang mengalami kerusakan, melalui
penanganan secara teknis dan vegetative;
2. Pada kawasan yang memberi perlindungan kawasan bawahnya tetapi terjadi alih
fungsi untuk budidaya maka perkembangan dibatasi dan dikembangkan tanaman
yang memiliki fungsi lindung;
3. Kawasan yang telah ditetapkan sebagai kawasan resapan air harus dipertahankan;
4. Peningkatan peran serta dari masyarakat sekitar kawasan;
5. Kawasan yang termasuk hulu DAS harus dilestarikan dengan pengembangan
hutan atau perkebunan tanaman keras tegakan tinggi; serta
6. Peningkatan kesadaran akan lingkungan melalui pendidikan, pariwisata, penelitian
dan kerjasama pengelolaan kawasan.
b. Pemantapan kawasan perlindungan setempat, dengan strategi sebagai berikut:
1. Pembatasan kegiatan yang tidak berkaitan dengan perlindungan setempat;
2. Kawasan perlindungan setempat sepanjang sungai dibatasi untuk kepentingan
pariwisata dan mengupayakan sungai sebagai latar belakang kawasan fungsional;
3. Kawasan perlindungan setempat sekitar waduk dan mata air, dibatasi untuk
pariwisata dan menghindari bangunan radius pengamanan kawasan dan
mengutamakan vegetasi yang memberikan perlindungan waduk dn mata air;
4. Pengamanan kawasan perlindungan setempat sepanjang pantai dilakukan dengan
mempertahankan ekosistem pantai: hutan mangrove, terumbu karang, rumput laut
dan estuaria. Penggunaan fungsional seperti pariwisata, pelabuhan, hankam,
permukiman harus memperhatikan kaidah lingkungan dan ekosistem pesisir; serta
5. Pemanfaatan sumber air dan waduk untuk irigasi dilakukan dengan tetap
memperhatikan keseimbangan pasokan air dan kebutuhan masyarakat setempat.

2.5.2.3 Kabupaten Blitar


Peraturan Daerah Kabupaten Blitar Nomor 5 Tahun 2013 tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Kabupaten Blitar Tahun 2011-2031. Dengan menimbang bahwa untuk
mengarahkan pembangunan di Kabupaten Malang dengan memanfaatkan ruang wilayah
secara berdaya guna, berhasil guna, serasi, selaras, seimbang, dan berkelanjutan dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pertahanan keamanan, perlu disusun Rencana
Tata Ruang Wilayah, serta mengingat PP No. 42 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sumber
Daya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 82, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4859).
Pasal 11 (poin 7 untuk huruf a, b, c) :
Strategi Pemantapan kawasan lindung dalam menjaga keberlanjutan pembangunan,
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 10 huruf g meliputi:
a. Memantapkan penetapan kawasan hutan lindung meliputi:
1. Mengendalikan secara ketat perubahan terhadap kawasan hutan lindung;
2. Memulihkan kawasan lindung yang mengalami kerusakan, melalui penanganan
secara teknis dan vegetative;
3. Meningkatkan peran serta dari masyarakat sekitar kawasan; dan
4. Meningkatkan kesadaran akan lingkungan melalui pendidikan, pariwisata,
penelitian dan kerjasama pengelolaan kawasan.
b. Memantapkan kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan
dibawahnya meliputi:
1. Membatasi perkembangan pada kawasan yang terjadi alih fungsi dan
mengembangkan tanaman yang memiliki fungsi lindung;
2. Mempertahankan kawasan yang telah ditetapkan sebagai kawasan resapan air; dan
3. Melestarikan kawasan yang termasuk hulu das dengan pengembangan hutan atau
perkebunan tanaman keras tegakan tinggi.
c. Memantapkan kawasan perlindungan setempat meliputi:
1. Membatasi kegiatan yang tidak berkaitan dengan perlindungan setempat;
2. Membatasi kegiatan pariwisata pada kawasan perlindungan setempat sepanjang
sungai;
3. Mengembangkan sungai sebagai latar belakang kawasan fungsional;
4. Memanfaatkan sumber air dan waduk untuk irigasi pertanian;
5. Membatasi perkembangan fisik dan kegiatan pariwisata pada kawasan
perlindungan setempat sekitar waduk dan mata air; dan
6. Menetapkan kawasan lindung spiritualitas dan kearifan local lainnya sebagai
warisan budaya khas Blitar.
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Penataan Ruang berdasarkan Fungsi Utama


Salah satu wilayah dengan perkembangan cepat di DAS Brantas Hulu
adalah Kota Batu. Letak yang strategis berdekatan dengan Kota Malang, panorama alam
yang indah, serta iklim yang sejuk, maka menjadikan Kota Batu sebagai pusat transit,
sirkulasi dan pariwisata yang amat penting di Provinsi Jawa Timur. Hal ini sangat
berpengaruh besar bagi perkembangan wilayah Kota Batu secara keseluruhan, terutama
sirkulasi perdagangan dan jasa serta pengadaan sarana dan prasarana yang mampu
menampung berbagai kegiatan fungsional.
Perkembangan wilayah yang diikuti dengan pertambahan penduduk menyebabkan
peningkatan aktivitas manusia dan kebutuhan lahan guna memenuhi kebutuhan hidup
sedangkan ketersediaan lahan terbatas, sehingga menyebabkan konversi penggunaan
lahan. Perkembangan wilayah yang pesat terjadi sejak dirubahnya status Batu dari salah
satu kecamatan di Kabupaten Malang menjadi Kota Administratif yang berdiri sendiri
pada tahun 2001.
Pemanfaatan lahan akan terus meningkat sejalan dengan perkembangan penduduk
dan kegiatan sosial ekonomi yang menyertainya. Hal ini mempengaruhi keberadaan DAS
Brantas Hulu yang semakin rentan akan alih fungsi lahan. Dinamika perkembangan
wilayah menimbulkan persaingan pemanfaatan lahan yang mengarah pada terjadinya alih
fungsi lahan, sehingga menyebabkan perubahan terhadap bentuk keruangan di wilayah
yang bersangkutan, baik secara fisik maupun non fisik, sebagai wadah kegiatan manusia di
dalamnya. Permasalahan timbul ketika alih fungsi lahan seringkali tidak memperhatikan
kaidah-kaidah konservasi yang pada akhirnya menimbulkan kerusakan lingkungan baik
biogeofisik maupun sosial. Perubahan tersebut apabila tidak ditata dengan baik akan
mengakibatkan perkembangan yang tidak terarah dan penurunan kualitas pemanfaatan
ruang. Maka dari itu perlu dilakukan penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
yang dilakukan dengan berazaskan kaidah-kaidah perencanaan, seperti keselarasan,
keserasian, keterpaduan, kelestarian dan kesinambungan dalam lingkup kota dan kaitannya
dengan provinsi dan kota/kabupaten sekitarnya, dengan tidak mengesampingkan wawasan
perlindungan lingkungan terhadap sumberdaya yang dimiliki wilayah tersebut.
Kerusakan lingkungan DAS telah menjadi isu penting nasional sejak beberapa
dekade terakhir seiring dengan maraknya kasus bencana alam di Indonesia, biasanya
kerusakan lingkungan erat sekali kaitannya dengan kehidupan dan aktivitas manusia.
Salah satu faktor yang mempengaruhi kerusakan adalah aktivitas manusia dalam
mengolah sumberdaya alam tanpa memperdulikan daya dukung dan daya tampung dari
sumberdaya alam tersebut. Usaha rehabilitasi lahan melalui program pembangunan hutan
dalam berbagai bentuk penerapan telah banyak dilakukan. Namun adanya situasi yang
saling bertolak belakang antara usaha konservasi dengan desakan kebutuhan untuk
mengolah lahan seringkali menjadi sebab kegagalan program. Berbagai cara untuk
menangani kerusakan lingkungan telah dilakukan oleh pemerintah, antara lain melalui
program reboisasi dan penghijauan.
Ditinjau dari segi pelestarian lingkungan dan efisiensi penggunaan dana dalam
program ekstensifikasi dalam rangka mengembalikan fungsi lingkungan sebagai
ekosistem, maka diperlukan suatu solusi yang mumpuni. Pengaruh nyata dari kerusakan
lingkungan adalah penurunan kondisi sosial ekonomi. Kerusakan lingkungan dapat
mengakibatkan bencana alam dan menurunnya produktivitas lahan, yang pada akhirnya
akan berdampak pada kondisi sosial ekonomi masyarakat di sekitarnya.
Di satu sisi, kondisi sosial ekonomi yang buruk dapat mengakibatkan munculnya
kerusakan lingkungan baru akibat dari rendahnya tingkat pendidikan/informasi ataupun
persepsi masyarakat tentang sebab akibat adanya alih fungsi lahan. Pendekatan yang
holistik dengan memandang kasus kerusakan lingkungan dalam kedudukannya yang
seimbang antara aspek abiotik, biotik, dan kultural, perlu dilakukan dalam menyelesaikan
masalah tersebut. Peran manusia sebagai subyek sekaligus obyek pembangunan sangat
memegang peranan penting dalam memperoleh keberhasilan tersebut. Daerah Aliran
Sungai (DAS) merupakan salah satu unit perencanaan pembangunan yang sekarang ini
mulai banyak digunakan. Adanya kerawanan bencana alam yang sering terjadi di Kota
Batu merupakan salah satu akibat dari kurangnya optimalisasi pengelolaan lingkungan di
DAS Brantas Hulu. Untuk itu perlu dilakukan pengelolaan lingkungan yang serius pada
DAS tersebut. Beberapa bentuk kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh rusaknya
suatu DAS antara lain banjir dan kekeringan; erosi dan sedimentasi; tanah longsor;
pencemaran air; limpasan permukaan; dan lainnya.
1. Pemukiman
Permukiman di daerah sempadan sungai dapat dikategorikan sebagai suatu
permukiman yang tidak memenuhi standar hunian yang layak dengan kondisi sosial
ekonomi rendah, dan prasarana lingkungan hampir tidak ada atau tidak memenuhi
persyaratan teknis dan kesehatan.Dampak dari adanya permukimanyang didirikan di
daerah sempadan sungai tersebut mengakibatkan terjadinya degradasi terhadap
kualitas lingkungan. Dalam mengatasi permasalahan terhadap permukiman di daerah
sempadan sungai, Pemerintah Daerah Kota Malang secara khusus telah mengatur
Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Kota Malang Tahun 2010-2030 , dalam Pasal17 ayat (2) berbunyi :
“Mengembangkan kawasan perumahan dengan menerapkan pola pembangunan
hunian berimbang berbasis pada konservasi air yang berwawasan lingkungan;”
Pasal 48 menyatakan bahwa : Penataan permukiman lingkungan di daerah badan air
Sungai Brantas, Sungai Metro, Sungai Amprong, melalui :
a. secara bertahap memindahkan bangunan pada wilayah sempadan sungai
yangdinyatakan sebagai daerah yang rawan bencana, ke sub wilayah Malang Timur
danTenggara;
b. mengadakan penataan lingkungan permukiman atau peremajaan
lingkunganpermukiman dengan pola membangun tanpa menggusur terhadap
kawasanpermukiman yang tidak dinyatakan sebagai kawasan rawan bencana;
c. meningkatkan kualitas lingkungan permukiman dengan pola penghijauan kota
terhadap kawasan permukiman yang berada di wilayah luar dari sempadan sungai.

2. Penggunaan Lahan
Penelitian dilakukan di Sub DAS Brantas Hulu yang merupakan salah satu Sub
DAS yang berada di DAS Kali Brantas Bagian Hulu. Outlet yang digunakan adalah
outlet yang berada SPAS Gadang di Kecamatan Kedungkandang, Kota Malang.
Gambar 1. Lokasi DAS Kali Brantas Bagian Hulu (Jasa Tirta, 2005) Sub DAS
Brantas Hulu yang secara administratif terletak di wilayah Kota Batu, sebagian
Kabupaten Malang dan Kotamadya Malang. Secara geografis Sub DAS terletak
pada koordinat 662726 mT hingga 681599 mT dan 9116207 mU hingga 9143409
mU, dengan luas wilayah sebesar ±185,64 km2 .
Gambar 1. Peta Administrasi Sub-DAS Brantas Hulu, Kota Batu Jawa Timur.
Hasil dari Peta Penggunaan Lahan menunjukkan bahwa Sub-DAS Brantas
Hulu yang sesuai dengan standart Badan Standarisasi Nasional (2010) memiliki
tujuh bentuk peggunaan lahan diantaranya adalah Hutan Lahan Kering,
perkebunan, pemukiman, padang rumput, sawah, semak dan belukar, ladang.
Perkembangan penggunaan lahan dianalisa dengan cara proses tumpangsusun
antara peta penggunaan lahan tahun 2003 dan tahun 2007, sehingga dihasilkan
perubahan penggunaan lahan baik luas dan jenis penggunaannya.
Tabel di atas menunjukkan bahwa secara menyeluruh terjadi perubahan
lahan yang diindikasikan dengan menurunnya luas sawah sebesar -6% dan ladang -
1%, serta adanya penurunan luas hutan lahan kering sebesar -6% yaitu dari 48,88
km2 menjadi 44,265 km2. Dominasi peningkatan luas pemukiman dalam kurun
waktu 4 tahun sebesar 9% dari 29,182 km2 menjadi 31,806 km2. Peningkatan luas
juga terjadi pada perkebunana sebesar 7% dari 13,805 km2 menjadi 14,817 km2.
Selain itu peningkatan luas penggunaan lahan dari yahun 2003 sampai 2007 terjadi
pada jenis penggunaan lahan semak dan blukar sebesar 7% dan padang rumput
sebesar 2%.
Jenis penggunaan lahan hutan lahan kering mengalami penurunan sebesar -6%
akibat adanya konversi lahan menjadi perkebunan, padang rumput, semak dan
belukar dan ladang. Pada tahun 2003 luas hutan sebesar 46,888 km2 menurun
akibat lahan seluas 1,05 km2 terkonversi menjadi perkebunan dan 0,3 km2 menjadi
ladang. Sedangkan perubahan hutan menjadi semak dan belukar sebesar 1,26 km2
dan padang rumput sebesar 0,01 km2.
Gambar 2. Peta Perubahan Penggunaan Lahan Tahun 2003-2007

Penurunan luas hutan pada tahun 2003-2007 adalah dari seluas 25,26%
menjadi 23,84% dari total seluruh luas DAS. Padahal dalam undang-undang nomor
41 tahun 1999 minimal luas hutan dalam satu DAS adalah 30% dari total
keseluruhan luas DAS. Padahal fungsi hutan dapat mengurangi erosi yang
menyebabkan pedangkalan di sungai atau saluran sehingga fungsi hutan ini lebih
menjaga saluran sungai agar lancar mengalirkan air. Pendapat tersebut juga
diperkuat oleh Asdak (2010) yang menyebutkan bahwa keberadaan hutan dapat
dipandang sebagai kegiatan pendukung dari usaha lain dalam menurunkan
terjadinya banjir. Selain itu hutan berfungsi menjaga kontinuitas aliran, karena
hutan dapat mengatur tata air yaitu menampung air pada musim penghujan dan
mengalirkannya pada musim kemarau.
Dari kondisi tersebut terlihat bahwa keberadaan hutan tidak lagi dijaga
malah semakin berkurang karena konversi fungsi lahan dari fungsi resepan menjadi
perkebunana dan ladang sehingga lama kelamaan hutan menjadi tidak mampu
mencegah banjir. Hutan dapat mengurangi banjir pada hanya curah hujan kecil
hingga sedang.

3. Sempadan Sungai
Sempadan Sungai di Kota Malang, secara geologis termasuk lahan dengan
susunan geologi kelompok batuan beku, batuan sedimen (batu pasir, breksi,
konglomerat dan batu gamping), batuan metamorf (marmer, gneiss) yang mulai
lapuk (Timbul, 1992). Lahan dengan susunan geologi tersebut mempunyai
kestabilan dengan nilai skor 4, yaitu termasuk agak tinggi kestabilannya (Timbul,
1992) Lahan selebar 15 meter sepanjang kanan kiri jalur Sungai diterapkan dalam
Tata Ruang Wilayah Kota Malang periode 1993/`1994-2003/2004 sebagai jalur
hijau. Kenyataan di lapangan, jlaur hijau yang direncanakan tersebut telah
dilanggar oleh pembangunan yang berlangsung. Jarak bangunan yang ada pada
kawasan artifisal sepanjang sempadan Sungai sangat bervariasi dan cenderung
meningkat kepadatannya di sempadan Sungai.
Perkembangan kawasan terutama dipengaruhi oleh dua node pemacu
pertumbuhan berupa pusat pendidikan dan terminal angkutan umum.
Bertambahnya fasilitas kos untuk sehari-hari merupakan fenomena utama yang
berkembang. Kawasan artifisal yang lebih rapat terdapat di kawasan pusat (central
business district= CBD). Pembangunan perumahan mendekati sungai, meskipun
tidak berada di sempadan sungai, meskipun tidak berada di sempadan sungai,
ternyata memicu berkembangnya kawasan artifisal menuju sempadan
Sungai.Keberadaan pabrik yang mengakibatkan tumbuhnya kawasan artifisal guna
hunian karyawan atau Pemasoknya juga menjadikan banyak bangunan yang
berjarak 0 meter dan sungai. Keberadaan lahan non artificial berselangseiling di
sempadan sungai antara sawah, tegalan / kebun, tebing alami, dan ilalang.Asosiasi
keruangan antara pola pengunaan lahan tersebut tidak teratur.
Sawah dijumpai secara luas di dekat perbatasan kota baik bagian laut maupun
selatan kota. Asosiasi kronologi dijumpai pada peralihan sawah menjadi lahan
artificial,yaitu pada masa pengerinagn lahan untuk membentuk kestabilan tanah
melalui bentuk kebun dan ilalang. Ilalang juga dijumpai diantara lahan artifisal
yang belum digunakan tetapi tidak pula diolah sebagai sawah / kebun. Tebing
alami meupakan peralihan kemiringan lahan secara drastic Perubahan sempadan
sungai dari lahan non artificial mengubah kualitas tata ruang. Mutu ruang sendiri
sebenarnya ditentukan pola oleh terwujudnya keserasian, kelarasan, dan
keseimbangan pemanfaatan ruang (Sugandhy,1999) perubahan di sungai
menjadikan terjadinya dramatisasi struktur ruang mengikuti bentang alam.
Dramatisasi struktur ruang merupakan fenomena pembangunan kawasan
artificial yang mengikuti struktur ruangan yanag ada tetapi selanjutnya justru
terjadi penajaman strutur.Misalnya pada potongan melintang sungai dan
sepadannya secara alami terdapat perbedaan tinggi muka bumi burupa puncak
tebing dari lembah dan dasar lembah. Akibat pembangunan yang berlangsung
maka puncak tebing yang kini telah berdiri bangunan artificial mempunyai beda
tinggi yang semakin besar dengan dasar lembah Dramatisasi ini terjadi pada
permukiman dengan kwalitas banguan yang baik, yang dipengaruhi oleh kondisi
ekonomi pemilik bangunan di sempadan sungai semakin meningkat kualitas
bangunan dengan menambah bangunan pada lahan yang masih kosong maupun
membuatnya bertingkat.
Hal ini mengakibatkan semakin tingginyab intensitas sturktur ruang yang
terjadi Pengunaan lahgan dari sempadan merupakan bagian yang memberikan
kontribusi masukan energy ke sungai. Inlet (masukan air) yang berada di pinggiur
sungai brantas berasal dari limbah domestic, limbah pertanian, limbah tanaman
rekreasi, limbah pasar, limbah hotel, limbah rumah sakit, dam limbah industry
Perilaku pembungan sampahdi sepanjang sepadan maupun di dalm sungai dapat
merugikan penduduk sekitar dan dikawasan lebih rendah.Meskipun sampah dapat
berubah menjadi tanah, terutama bagian atas tumpukan sampah tetapi memerlukan
waktu yang lama (Sayid et al, 1986). Sampah yang menumpuk menimbulkan bau
busuk akibat fermentasi, menjadi sarang kebakaran karena adanya gas metana di
tumpukan sampah, air yang mengenangi sampah akn mengandung besi, sulfat, dan
bahan organic yang tinggi ditambah air permukaan (Syaid et al, 1986).
Berdasarkan Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kota Malang, paragraf 2
Kebijakan dan Strategi Pola Ruang Wilayah Kota di bagi menjadi 2 yaitu :
Pasal 15
Kebijakan terkait pola ruang wilayah Kota Malang, meliputi :
a. Penetapan dan Pengembangan Kawasan Lindung;
b. Pengembangan dan Pengendalian Kawasan Budidaya
Adapun penjelasannya berdasarkan pasal sebagai berikut :
1. Kawasan Lindung
Pasal 16
(1) Kebijakan Penetapan dan pengembangan kawasan lindung diarahkan
pada kelestarian fungsi lingkungan hidup dan pengendalian pencemaran
dan kerusakan lingkungan hidup untuk mendukung pembangunan kota
yang berkelanjutan.
(2) Strategi Penetapan dan pengembangan kawasan lindung, meliputi :
a. memantapkan kawasan lindung dengan menjaga dan mengembalikan
fungsi kawasan;
b. membatasi kegiatan di kawasan lindung yang telah digunakan;
c. mengarahkan pemanfaatan kawasan lindung wilayah kota untuk
kegiatan jalur hijau dan RTH;
d. menyediakan RTH kota minimal 30% dari luas wilayah kota, dengan
upaya:
1. melakukan pengadaan lahan untuk dijadikan RTH kota;
2. tidak mengalihfungsikan RTH eksisting;
3. merevitalisasi dan memantapkan kualitas RTH eksisting;
4. mengarahkan pengembang untuk menyerahkan fasilitas RTH nya
menjadi RTH publik kota;
5. menata dan menyediakan RTH sesuai fungsinya : ekologis,
sosial-ekonomi, dan arsitektural;
6. menanam pohon dengan jenis yang disesuaikan dengan
karakteristik RTH;
7. menempatkan RTH sebagai pendukung identitas kawasan;
8. mengelompokkan RTH sesuai fungsi, hierarki, dan skala ruang
lingkungannya;
9. membangun hutan kota, lapangan olahraga terbuka, kebun bibit,
taman kota, dan taman lingkungan;
10. membangun RTH pada ruas jalan utama kota;
11. membangun RTH pada lokasi fasilitas umum kota;
12. membangun RTH pada sempadan sungai, sempadan rel Kereta
Api, sempadan jaringan Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTT);
13.menghijaukan halaman/kavling rumah, perkantoran, dan
perdagangan.
e. mengarahkan orientasi pembangunan sepanjang sungai dengan
menjadikan sungai sebagai bagian dari latar depan;
f. memantapkan kawasan resapan air dengan meningkatkan populasi
vegetasi di kawasan lindung sesuai dengan fungsi kawasan;
g. mengamankan kawasan lindung dari kegiatan yang cenderung
mengganggu penggunaan kawasan tersebut;
h. mendorong pemanfaatan kawasan lindung yang tidak mengganggu
sistem ekologi yang telah berjalan;
i. meningkatkan kerja sama antar intansi pemerintah yang berwenang
dalam penyelenggaraan kegiatan yang bertujuan kelestarian dan
keberlanjutan kawasan lindung;
j. meningkatkan kerja sama antar daerah otonom yang berbatasan,
khususnya terkait Daerah Aliran Sungai;
k. mendorong dan meningkatkan peran serta dan kepedulian
masyarakat terhadap kelestarian kawasan lindung.
l. menerapkan inovasi penyediaan RTH antara lain melalui peningkatan
jumlah tegakan, memperbanyak taman atap (roof garden) pada
bangunan tinggi, dinding hijau (green wall) pada kawasan padat
bangunan, dan taman mini pada setiap lahan terbuka.
2. Kawasan Budaya
Pasal 17
(1) Kebijakan pengembangan dan pengendalian kawasan budidaya
diarahkan pada alokasi ruang untuk kegiatan sosial, budaya, dan
ekonomi masyarakat kota serta pertahanan dan keamanan.
(2) Strategi pengembangan dan pengendalian kawasan budidaya,
meliputi :
a. tidak mengalihfungsikan RTH;
b. mengembangkan kawasan perumahan dengan menerapkan pola
pembangunan hunian berimbang berbasis pada konservasi air
yang berwawasan lingkungan;
c. mengembangkan kawasan perumahan formal dan informal
sebagai tempat hunian yang aman, nyaman dan produktif dengan
didukung sarana dan prasarana permukiman yang memadai;
d. mengembangkan perumahan secara vertikal;
e. mengembangkan kawasan perdagangan dan jasa secara merata
sesuai skala pelayanan;
f. mengembangkan kawasan perdagangan dan jasa secara vertikal
yang memperhatikan aspek ekologis;
g. mengembangkan komplek perkantoran pemerintah maupun
swasta secara vertikal;
h. mengarahkan komplek industri dan pergudangan pada
perbatasan kota;
i. mengendalikan intensitas kegiatan industri dan pergudangan
pada sub wilayah kota yang telah ada;
j. mengembangkan komplek industri dan pergudangan yang
mempertimbangkan aspek ekologis;
k. mengarahkan terbentuknya kawasan ruang terbuka non hijau
untuk menampung kegiatan sosial, budaya, dan ekonomi
masyarakat, secara merata pada sub wilayah kota;
l. mengarahkan dan menata kawasan bagi kegiatan sektor
informal, dengan upaya :
1. mengatur persebaran pedagang pada wilayah-wilayah
tertentu sesuai dengan jenisnya;
2. memberikan kemudahan dalam proses penyediaan modal
dan bantuan teknis untuk sektor informal;
3. mengadakan kerjasama dengan pihak-pihak lain agar sektor
informal lebih berkembang; dan
4. menetapkan regulasi bagi keberadaan sektor informal.
m. menetapkan kawasan ruang evakuasi bencana;
n. mengembangkan fasilitas umum dan sosial, meliputi pelayanan
umum pendidikan, kesehatan, dan peribadatan, dengan upaya :
1. mengarahkan pendistribusian pembangunan fasilitas umum
secara merata pada sub wilayah kota;
2. meningkatkan kualitas tiap fasilitas umum yang sudah ada;
3. membangun pusat pelayanan baru dengan memperhatikan
sistem pelayanan wilayah kota;
4. meningkatkan skala pelayanan fasilitas yang memenuhi
arahan untuk fasilitas dengan skala pelayanan regional, kota
serta lokal yang menciptakan fungsi kegiatan primer, sekunder,
dan tersier;
5. menciptakan efisiensi serta efektifitas pelayanan yang ada
sehingga mampu menjangkau seluruh penduduk di semua sub
wilayah kota yang ada dengan cara :
a) membatasi dan mengarahkan perkembangan fasilitas
yang berkelompok pada pusat pelayanan tertentu;
b) melakukan upaya pemerataan penyediaan fasilitas pada
sub wilayah kota yang memerlukan dengan pertimbangan
konsentrasi penduduk.
o. mendukung pemanfaatan kawasan militer;
p. membatasi pemanfaatan kawasan budidaya yang mengganggu
ekosistem yang ada.
3.2. Penataan Ruang Berdasarkan Aspek Administratif
Penataan ruang berdasarkan aspek administratif terdiri atas penataan ruang
wilayah nasional, penataan ruang wilayah provinsi, dan penataan ruang wilayah
kabupaten/kota.

3.2.1. Penataan Ruang Wilayah Nasional


Tata ruang wilayah nasional mengenai sistem jaringan sumber daya air
merupakan sistem sumber daya air pada setiap wilayah sungai dan cekungan air
tanah. Wilayah sungai meliputi wilayah sungai lintas negara, wilayah sungai lintas
provinsi, dan wilayah sungai strategis nasional. Cekungan air tanah meliputi
cekungan air tanah lintas negara dan lintas provinsi. Arahan pemanfaatan ruang
pada wilayah sungai lintas negara, wilayah sungai lintas provinsi, dan wilayah
sungai strategis nasional memperhatikan pola pengelolaan sumber daya air. Pola
pengelolaan sumber daya air ditetapkan dengan peraturan menteri yang tugas dan
tanggung jawabnya di bidang sumber daya air.
Wilayah sungai dan cekungan air tanah lintas negara ditetapkan dengan
kriteria melayani kawasan perbatasan negara atau melintasi batas negara.Wilayah
sungai dan cekungan air tanah lintas provinsi ditetapkan dengan kriteria melintasi
dua atau lebih provinsi. Wilayah sungai strategis nasional ditetapkan dengan
kriteria (menurut PP no.26 tahun 2008) :

 melayani kawasan strategis nasional, PKN, atau kawasan andalan;


 melayani paling sedikit 1 (satu) daerah irigasi yang luasnya lebih besar atau
sama dengan 10.000 (sepuluh ribu) hektar; dan/atau
 memiliki dampak negatif akibat daya rusak air terhadap pertumbuhan ekonomi
yang mengakibatkan tingkat kerugian ekonomi paling sedikit 1% (satu persen)
dari produk domestik regional bruto (PDRB) provinsi.
Pada undang-undang Republik Indonesia nomor 7 tahun 2004 tentang
sumber daya air dijelaskan :

 konservasi sumber daya air ditujukan untuk menjaga kelangsungan keberadaan


daya dukung, daya tampung, dan fungsi sumber daya air dan dilakukan melalui
kegiatan perlindungan dan pelestarian sumber air, pengawetan air, serta
pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air dengan mengacu
pada pola pengelolaan sumber daya air yang ditetapkan pada setiap wilayah
sungai.ketentuan tentang konservasi sumber daya air menjadi salah satu acuan
dalam penataan tata ruang.
 Perlindungan dan pelestarian sumber daya air dilakukan melalui :
a. pemeliharaan kelangsungan fungsi resapan air dan daerah tangkapan air
b. pengendalian pemanfaatan sumber air
c. pengisian air pada sumber air
d. pengaturan prasarana dan sarana sanitasi
e. perlindungan sumber air dalam hubungannya dengan kegiatan
pembangunan dan pemanfaatan lahan pada sumber air
f. pengendalian pengolahan tanah di daerah hulu
g. pengaturan daerah sempadan sumber air
h. rehabilitasi hutan dan lahan; dan/atau
i. pelestarian hutan lindung, kawasan suaka alam, dan kawasan pelestarian
alam.
 Perlindungan dan pelestarian sumber air dilaksanakan secara vegetatif dan/atau
sipil teknis melalui pendekatan sosil, ekonomi, dan budaya.
 Pengembangan sumber daya air diselenggarakan berdasarkan rencana
pengelolaan sumber daya air dan rencana tata ruang wilayah yang telah
ditetapkan dengan mempertimbangkan:
a. daya dukung sumber daya air
b. kekhasan dan aspirasi daerah serta masyarakat setempat
c. kemampuan pembiayaan; dan
d. kelestarian keanekaragaman hayati dalam sumber air.

3.2.2. Penataan Ruang Wilayah Provinsi


Rencana Tata Ruang Wilayah di Provinsi Jawa Timur secara umum :

 jaringan sumber daya air lintas negara dan lintas provinsi untuk mendukung air
baku pertanian, terdiri atas jaringan primer lintas kabupaten, dan jaringan air
baku untuk kawasan pertanian yang bersifat strategis provinsi dan/atau
nasional jika ada dalam wilayah provinsi;
 jaringan sumber daya air untuk kebutuhan air baku industri untuk mendukung
kawasan industri yang bersifat strategis provinsi dan/atau nasional jika ada
dalam wilayah provinsi;
 jaringan air baku untuk kebutuhan air minum, terdiri atas jaringan air baku dari
lokasi pengambilan (intake) sampai ke lokasi pengolahan yang mendukung
kawasan perkotaan di wilayah provinsi; dan
 sistem pengendalian banjir di wilayah provinsi dan/atau lintas wilayah
provinsi.kabupaten;

Pada Peraturan Pemerintah Provinsi Jawa Timur nomor 2 tahun 2006


tentang Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi Jawa Timur dijelaskan :

 prasarana sumber daya air adalah prasarana pengembangan sumber daya air
untuk memenuhi berbagai kepentingan. Pengembangna prasarana sumber daya
air untuk air bersih diarahkan untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumber air
permukaan dan sumber air tanah.
 Penetapan zona pengelolaan sumber daya air sesuai dengan keberadaan
wilayah sungai tersebut, pada zona kawasan lindung tidak diijinkan
pemanfaatan sumber daya air untuk fungsi budaya termasuk juga untuk unsur
penambangan.
 Prasarana pengairan direncanakan sesuai dengan kebutuhan peningkatan sawah
irigasi teknis dan non teknis untuk irigasi air permukaan maupun air tanah
disusun berdasarkan wilayah sungai.
 Pengembangan waduk, dam, dan embung serta pompanisasi terkait dengan
pengelolaan sumber daya air dilakukan dengan pertimbangan :
a. Daya dukung sumber daya air
b. Keikhlasan dan aspirasi daerah sertamasyarakat setempat
c. Kemampuan pembiayaan
d. Posisi Jawa Timur sebagai lumbung nasional
 Area lahan beririgasi teknis harus dipertahankan agar tidak berubah fungsi
menjadi peruntukan yang lain, jika areal tersebut terpaksa harus berubah fungsi
maka disediakan lahan areal baru yang menggantikannya dengan luasan
minimal sama ditambah dengan biaya investasi yang telah ditanamkan di lokasi
tersebut.
Untuk masalah perizinan diatur dalam Peraturan Daerah Propinsi
Jawa Timur nomor 10 tahun 2007 yaitu setiap pemegang izin harus mengikuti
ketentuan-ketentuan :
a. membuat bangunan untuk pengambilan air serta memasang meter air atau
alat pengukur debit sesuai pemanfaatannya ;
b. pemegang izin harus sudah memasang meter air, 3 (tiga) bulan sejak izin
diterbitkan ;
c. mengalirkan kembali air yang telah dipakai ke lokasi pengambilan atau ke
tempat lain yang telah ditetapkan oleh Dinas dengan memenuhi baku mutu
air limbah ;
d. bersedia membongkar atau memindahkan prasarana dan sarana pengambilan
air serta mengadakan pemulihan keadaan dengan biaya sepenuhnya
ditanggung oleh pemegang Izin, apabila karena kepentingan umum atau
pertimbangan teknis diadakan penyempurnaan ;
e. tanpa mengurangi ketentuan pada huruf b, apabila sangat diperlukan untuk
kepentingan masyarakat atau lingkungan sekitarnya pemegang izin wajib
memberikan sebagian air yang diperolehnya tanpa menuntut imbalan jasa ;
f. apabila pemegang izin selama 3 (tiga) bulan sejak izin dikeluarkan tidak
melakukan kegiatan, maka izin tersebut batal demi hukum;
g. membayar Pajak kepada Pemerintah Provinsi ;
h. membayar biaya jasa kepada Perum Jasa Tirta I atas penggunaan air
permukaan dan Sumber Air pad a Wilayah Kerja Perum Jasa Tirta I ;
i. mengadakan perjanjian penggunaan air dengan Perum Jasa Tirta I untuk
penggunaan air di Wilayah Kerja Perum Jasa Tirta I.
j. tidak melakukan pengambilan dan pemanfaatan air permukaan melebihi dari
izin kecuali dengan pemberitahuan secara tertulis kepada Gubernur
sekurang-kurangnya 1 (satu) bulan sebelumnya.
3.2.3. Penataan Ruang Wilayah Kabupaten/Kota
A. Kabupaten Malang

Rencana tata ruang wilayah di Kabupaten Malang menurut Peraturan Daerah


Kabupaten Malang Nomor 10 tahun 2010 dijelaskan :

 Kebijakan dan strategi pengembangan sistem jaringan prasarana wilayah


terkhusus untuk pengembangan prasarana sumber daya air meliputi :
1. Peningkatan sistem jaringan sumber daya air, dengan strategi sebagai
berikut:
a) Peningkatan jaringan irigasi sederhana dan irigasi setengah teknis; serta
b) Peningkatan sarana dan prasarana pendukung.
2. Optimalisasi fungsi dan pelayanan prasarana sumber daya air, dengan
strategi sebagai berikut:
a) Perlindungan terhadap sumber-sumber mata air dan daerah resapan air;
b) Pengembangan waduk baru, bendung, dan cek dam pada kawasan
potensial;
c) Mencegah terjadinya pendangkalan terhadap saluran irigasi; serta
d) Pembangunan dan perbaikan pintu-pintu air
 Pada paragraf 6 diatur mengenai Rencana Sistem Jaringan Prasarana Sumber
Daya Air dan Pemanfaatan Sumber Air Tanah dijelaskan :
1. Rencana sistem jaringan prasarana sumber daya air dan pemanfaatan
sumber air tanah meliputi rencana sistem jaringan sumber daya air, fungsi dan
pelayanan prasarana sumber daya air, pemanfaatan air tanah, dan pemanfaatan
air sumber.
2. Rencana sistem jaringan sumber daya air meliputi jaringan air bersih
(PDAM) dan irigasi.
3. Pengembangan prasarana sumber daya air untuk air bersih diarahkan
untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumber air permukaan dan sumber air
tanah.
4. Pemenuhan kebutuhan akan air bersih dan irigasi dilakukan dengan
peningkatan jaringan sampai ke wilayah yang belum terjangkau, sedangkan
irigasi dengan peningkatan saluran dari sistem setengah teknis dan sederhana
ditingkatkan menjadi irigasi teknis.
5. Upaya penanganan untuk memenuhi kebutuhan akan air bersih yaitu dengan
peningkatan sarana dan prasarana pendukung seperti pipa, tandon, reservoir,
dan prasarana pendukung lainnya.
6. Sistem jaringan sumber daya air utama adalah Daerah Aliran Sungai Brantas
sebagai Wilayah Sungai Strategis Nasional.
7. Kebutuhan air irigasi pada wilayah Daerah dibagi menurut unit pelayanan lokal
(UPTD) yaitu UPTD Pujon, Malang, Singosari, Tumpang, Bululawang,
Gondanglegi, Turen, Kepanjen, dan Ngajum.
8. Upaya penanganan untuk meningkatkan layanan fasilitas air bersih dilakukan
dengan cara: a. Perlindungan terhadap sumber-sumber mata air dan daerah
resapan air;
b. Perluasan daerah aliran, baik itu saluran irigasi, serta Daerah Aliran Sungai;
c. Mencegah terjadinya pendangkalan terhadap saluran irigasi;
d. Pembangunan dan perbaikan pintu-pintu air.
9. Pemanfaatan air sumber untuk kepentingan air minum dan irigasi atau untuk
berbagai pemanfaatan yang lainnya, yaitu sumber air di Wendit dan sumber
Maguan di Ngajum, dilakukan dengan cara:
a. Pengaturan dalam bentuk kerjasama dengan proporsi yang seimbang.
b. Pengaturan komposisi antar wilayah dan pengaturan untuk kebutuhan irigasi
sehingga tidak terjadi kekurangan air bagi sawah beririgasi teknis dan setengah
teknis.
10. Pengembangan waduk, dam dan embung serta pompanisasi terkait dengan
pemanfaatan sumber air permukaan, dengan mempertimbangkan:
a. Daya dukung sumber daya air;
b. Kekhasan dan aspirasi daerah serta masyarakat setempat;
c. Kemampuan pembiayaan; serta
d. Kelestarian keanekaragaman hayati dalam sumber air.
11. Pengembangan waduk, dam dan embung serta pompanisasi terkait dengan
pemanfaatan sumber air permukaan meliputi:
a. Dam Selorejo di Kecamatan Ngantang;
b. Dam Sutami di Kecamatan Sumberpucung;
c. Dam Lahor di Kecamatan Sumberpucung;
d. Dam Trap Sewu di Kecamatan Tirtoyudo;
e. Bendungan Sengguruh di Kecamatan Kepanjen; Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah Kabupaten Malang 37
f. Bendungan Karangkates di Kecamatan Sumberpucung; serta
g. Waduk Kali Genteng di Kecamatan Dampit.
12. Area lahan beririgasi teknis harus dipertahankan agar tidak berubah fungsi
menjadi peruntukan yang lain, jika areal tersebut terpaksa harus berubah fungsi
maka disediakan lahan areal baru yang menggantikannya dengan luasan
minimal sama ditambah dengan biaya investasi yang telah ditanamkan di lokasi
tersebut.
13. Rencana pengelolaan sumber daya air, meliputi:
a. Pembangunan prasarana sumber daya air;
b. Semua sumber air baku dari dam, embung, waduk, telaga, bendungan serta
sungai-sungai klasifikasi I - IV yang airnya dapat dimanfaatkan secara
langsung dan dikembangkan untuk berbagai kepentingan;
c. Zona pemanfaatan DAS dilakukan dengan membagi tipologi DAS
berdasarkan tipologinya; serta
d. Penetapan zona pengelolaan sumber daya air sesuai dengan keberadaan
wilayah sungai tersebut pada zona kawasan lindung tidak diizinkan
pemanfaatan sumber daya air untuk fungsi budidaya, termasuk juga untuk
penambangan.
e. Kajian kemampuan cadangan air tanah disertai dengan AMDAL jika akan
melakukan eksplorasi dan eksploitasi.

 Arahan pengendalian pemanfaatan ruang untuk peraturan zonasi sitem jaringan


sumber daya air meliputi :
a. Pemanfaatan ruang pada kawasan di sekitar wilayah sungai dengan tetap
menjaga kelestarian lingkungan dan fungsi lindung kawasan;
b. Pemanfaatan ruang di sekitar wilayah sungai lintas negara dan lintas provinsi
secara selaras dengan pemanfaatan ruang pada wilayah sungai di
negara/provinsi yang berbatasan; dan
c. Ketentuan pelarangan kegiatan yang dapat meimbulkan pencemaran terhadap
mata air.

Kondisi tata ruang di Kabupaten Malang saat ini terdapat beberapa bangunan
yang melanggar RTRW Kabupaten Malang. Keadaan penggunaan lahan di
Sempadan Sungai Seco Kecamatan Kepanjen yang rawan berpotensi bencana
yang mengakibatkan keadaan banjir jika turun hujan sedangkan sungai Seco
berada di sekitar jalan utama ibukota kabupaten Malang merupakan salah satu
contoh yang tidak sesuai dengan peraturan RTRW di Kabupaten Kepanjen ini.

B. Kota Malang

Rencana tata ruang wilayah di Kota Malang menurut Peraturan Daerah Kota
Malang nomor 4 tahun 2011 dijelaskan :

 Mengembangkan sistem jatringan sumber daya air dengan upaya :


1. memperbaiki/normalisasi saluran irigasi;
2. meningkatkan jaringan irigasi untuk pertanian yang ada di kota;
3. memisahkan saluran irigasi dengan saluran drainase kota;
4. memperbaiki bangunan air yang berada pada badan air di wilayah kota;
5. mengendalikan daya rusak air;
6. mengoptimalisasikan keberadaan sempadan sungai;
7. mengembangkan prasarana konservasi sumber daya air untuk memelihara
keberadaan serta keberlanjutan sumber daya air.

 Mengembangkan sistem drainase dengan upaya :


1. mengoptimalkan sistem drainase eksisting yang telah dibangun di zaman
Belanda;
2. mempertahankan Situ (tampungan sementara) kota yang masih ada dan
mengupayakan penambahannya;
3. menurunkan debit limpasan dengan pembuatan bangunan resapan air;
4. memperbaiki dan/atau normalisasi saluran drainase;
5. membuat sudetan pada saluran drainase yang memiliki tingkat genangan
tinggi;
6. mengembangkan saluran drainase berbasis partisipasi masyarakat.

Pada paragraf 6 diatur mengenai pengembangan prasarana konservasi sumber daya


air yang terdiri aas :

a. pengembangan prasarana imbuhan alami (natural recharge) dengan cara


mempertahankan hutan kota atau ruang-ruang terbuka hijau eksisting serta
menambah kawasan hutan kota dan ruang-ruang terbuka hijau sampai
mencapai minimal 30%;
b. pengembangan prasarana imbuhan buatan (artificial recharge) dengan cara
mempertahankan sumur resapan dan waduk-waduk kota eksisting, penambahan
serta pembangunan sumur-sumur resapan dangkal dan/atau biopori serta sumur
resapan dalam (injection well), situ (tampungan sementara) kota dan teknik-
teknik konservasi lain dalam rangka memasukkan air sebanyak-banyaknya ke
dalam tanah, sebagai upaya menabung air, mengurangi limpasan permukaan
(genangan atau banjir) dan mengurangi dampak perubahan iklim global;
c. pembatasan pengambilan air tanah dangkal di kawasan perumahan dan
permukiman secara bertahap; dan
d. pelarangan pengambilan air tanah dalam terutama di zona kritis air tanah.

Pada paragraf 7 diatur mengenai prasarana pendayagunaan/pemanfaatan sumber


daya air yang dilaksanakan berdasarkan :

a. penyediaan air untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari, irigasi bagi


pertanian rakyat;
b. perluasan jaringan air bersih melalui peningkatan kegiatan pendistribusian dan
penyediaan hidran umum di lokasi yang belum terlayani air bersih, terutama
pada kawasan yang padat penduduk;
c. pemanfaatan situ (tampungan sementara) sebagai sumber air baku, tempat
rekreasi, sumber air pemadam kebakaran.
Pada paragraf 11 diatur mengenai rencana peningkatan sistem drainase yang
meliputi :

a. penanganan saluran drainase dengan basis Daerah Pengaliran Sungai


(DPS)/Daerah Aliran Sungai (DAS);
b. perbaikan saluran drainase pada Jalan Raya Langsep (DAS Metro), Jalan
Gajayana sampai Jalan MT Haryono (DAS Brantas), Jalan Sukarno Hatta
(DAS Bango), Jalan Terusan Borobudur sampai Kawasan Pasar Blimbing
(DAS Bango);
c. pembuatan sudetan dari saluran drainase yang bermasalah menuju ke drainase
yang lebih besar atau saluran drainase primer (sungai) terdekat, Jalan DI.
Panjaitan dan Jalan MT. Haryono perlu dibuat sudetan ke Sungai Brantas,
Jalan Ki Ageng Gribig perlu sudetan ke Sungai Amprong, sudetan ke Sungai
Brantas dari Jalan Gatot Subroto, Jalan Sudanco Supriadi ke Sungai Metro;
d. penanganan saluran-saluran yang berfungsi ganda sebagai saluran drainase dan
saluran irigasi;
e. penanganan saluran drainase yang bermasalah dengan adanya utilitas pipa air
minum, kabel telekomunikasi, dan sejenisnya;
f. pembuatan sumur resapan.

Kondisi di Kota Malang saat ini sudah berubah dikarenakan semakin


berkurangnya Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang sudah beralih fungsi menjadi
kawasan ruko-ruko, industri, dan perumahan-perumahan, dan pusat perbelanjaan.
Temuan dan data hasil kajian Badan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Malang
menyebutkan bila RTH di Malang kini hanya sebesar 17% dari total luas wilayah
yang mencapai 110 kilometer tersebut. Hal ini merupakan suatu pelanggaran
terhadap UU Nomor 26 tahun 2007, dimana luasan RTH di wilayah perkotaan
minimal 30% dari total luas wilayah, dimana 20% merupakan RTH publik dan 10%
RTH privat.

Fenomena bangunan yang berdiri di tepi atau bahkan di atas sungai atau saluran
irigasi masih kita jumpai di Kota Malang. Bangunan yang berdiri di tepian sungai
yang hanya memiliki jarak 1 hingga 3 meter pun dapat ditemukan dibeberapa
kampung yang ada di Kota Malang.

Gambar rumah liar di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas

Gambar bangunan dekat sungai di kawasan Jodipan, Malang

C. Kota Batu

Rencana tata ruang wilayah di Kota Batu menurut Peraturan Daerah Kota Batu
nomor 7 tahun 2011 dijelaskan :
 Sistem jaringan prasarana sumber daya air meliputi :
a. Sistem jaringan sumber daya regional;
b. Wilayah sungai di wilayah Kota;
c. Sistem jaringan irigasi;
d. Sistem jaringan air baku untuk air bersih; dan
e. Pengendalian bajir di wilayah kota

 Pengendalian banjir di wilayah kota meliputi :


a. Pembangunan dan perbaikan saluran drainase di setiap sisi jalan;
b. Memberikan ruang yang cukup bagi resapan air hujan pada kawasan resapan
air;
c. Rencana pembuatan tangggul pada sungai tidak bertanggul di kawasan
permukiman;
d. Pembangunan sumur-sumur resapan air hujan.

 Mengenai sistem drainase, dijelaskan :


a. Sistem pembuangan air hujan disesuaikan dengan sistem drainase tanah yang
ada dan tingkat peresapan air kedalam penampang/profil tanah, serta arah
aliran memanfaatkan topografi wilayah;
b. Sistem pembuangan air hujan meliputi jaringan primer, jaringan sekunder dan
jaringan tersier;
c. Pemeliharaan kelestarian sungai-sungai sebagai sistem drainase primer.
d. Drainase primer meliputi Sungai Brantas, Kali Lanang, dan Kali Braholo yang
merupakan sumber pembuangan dari saluran drainase sekunder;
e. Drainase sekunder meliputi saluran Kali Sumbergunung, Kali Kungkuk, Kali
Ngujung, Kali Kasin, Kali Brugan, Kali Mranak, Kali Curah Kikil, Kali Ampo,
Kali Kungkuk, dan Kali Sumpil, dan Kali Junggo yang mengarah pada
kawasan fungsional;
f. Drainase tersier meliputi saluran drainase yang berasal dari blok bangunan
fungsional mengarah pada saluran drainase sekunder.
g. Rencana pengembangan sistem drainase diutamakan pada kawasan pusat kota,
kawasan pengembangan perumahan real estate, kawasan pengembangan
pariwisata, kawasan pengembangan pusat pelayanan, jalan kolektor primer dan
kolektor sekunder yang terdapat pada pusat-pusat kegiatan, serta pada lokasi
rawan banjir.

 Ketentuan umum mengenai zonasi untuk sempadan sungai :


a. Perlindungan sekitar sungai atau sebagai sempadan sungai dilarang
mengadakan alih fungsi lindung yang menyebabkan kerusakan kualitas air
sungai;
b. Bangunan sepanjang sempadan sungai yang tidak memiliki kaitan dengan
pelestarian atau pengelolaan sungai dilarang untuk didirikan;
c. Sungai yang melintasi kawasan permukiman dilakukan reorientasi
pembangunan dengan menjadikan sungai sebagai bagian dari latar depan;
d. Sungai yang memiliki arus deras dijadikan salah satu bagian dari wisata alam-
petualangan seperti arung jeram, out bond, dan kepramukaan;
e. Sempadan sungai yang areanya masih luas dapat digunakan untuk pariwisata
melalui penataan kawasan tepian sungai;
f. Khusus pengendalian kawasan sempadan sungai bagian hulu sungai meliputi:
 Pengaturan eksploitasi dan pemeliharaan hutan
 Pengaturan tanah-tanah perkebunan
 Pengaturan tanah-tanah pertanian untuk mengurangi tingkat erosi
 pengaturan terhadap maraknya permukiman villa dan industri agrobisnis
 Arahan kegiatan daerah sepanjang aliran sungai
 Pembangunan sarana dan prasarana pengembangan sumber daya air
 Bantaran sungai harus bebas dari bangunan kecuali bangunan inspeksi
sungai.
 Pemanfaatan sempadan sungai sebagai wisata olah raga sebatas tidak
mengganggu fungsi kelestarian sungai.
 Ketentuan umum peraturan zonasi di Sungai Brantas dan anak Sungai Brantas
meliputi :
1. Sempadan Sungai Brantas 100 meter kanan-kiri badan sungai di luar kawasan
permukiman, serta sempadan Sungai Brantas di dalam kawasan permukiman
memiliki sempadan 15 meter di kanan-kiri badan sungai;
2. Sempadan sungai kecil di luar kawasan permukiman memiliki sempadan 50
meter di kanan-kiri badan sungai, dan Sungai kecil di dalam kawasan
permukiman memiliki sempadan 10 meter di kanan-kiri badan sungai,
sedangkan sepanjang tepian sungai bertanggul memiliki lebar sempadan paling
sedikit 5 (lima) meter dari kaki tanggul sebelah luar;
3. Pemanfaatan aliran Sungai Brantas dan anak sungai Brantas untuk melayani
irigasi pertanian, pengendali banjir, kegiatan pariwisata dan sumber
pembangkit energi.
4. Perencanaan dan pengendalian penggunaan tanah kawasan terbangun, terutama
untuk perumahan yang tidak berada di dalam kawasan konservasi sempadan
sungai.

 Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan sempadan mata air :


a. Peruntukan ruang untuk ruang terbuka hijau;
b. Daratan di sekeliling mata air yang mempunyai manfaat untuk
mempertahankan fungsi mata air;
c. Pengendalian kegiatan yang telah ada di sekitar sumber mata air dengan
sempadan mata air 200 meter.
d. Kawasan dengan radius 15 meter dari mata air harus bebas dari bangunan
kecuali bangunan penyaluran air.
e. Melakukan rehabilitasi lahan dan Konservasi tanah dalam mencegah terjadinya
erosi.
f. Perlindungan sumber air dalam hubungannya dengan kegiatan pembangunan
dan pemanfaatan lahan pada sumber air.
g. Pelarangan kegiatan yang dapat menimbulkan pencemaran terhadap mata air

Kondisi di daerah Kota Batu saat ini terdapat beberapa bangunan yang
melanggar RTRW Kota Batu. Sebagai contoh terdapat pembangunan hotel di
kawasan Bumiaji. Menurut anggota DPRD Kota Batu kawasan Bumiaji
merupakan kawasan yang sudah ditetapkan sebagai wilayah konservasi dan lokasi
pembangunan berada didekat sumber mata air dan berpotensi merusak sumber
mata air tersebut.

Gambar kondisi Sungai Brantas

D. Kota Blitar
Rencana tata ruang wilayah menurut Peraturan Daerah Kota Blitar Nomor 12
tahun 2011, dijelaskan :
 Rencana pengembangan sistem jaringan sumber daya air meliputi :
a. Peningkatan dan perlindungan jaringan irigasi
b. Pengelolaan air baku untuk minum
c. Sistem pengendalian banjir

Rencana tindak peningkatan dan perlindungan jaringan meliputi rehabilitasi


jaringan irigasi dan peningkatan operasional dan pemeliharaan prasarana jaringan
irigasi

 Pengembangan sistem pengendalian banjir meliputi :


a. Perlindungan terhadap daerah aliran sungai melalui konservasi daerah
aliran sungai dan pengendalian pembangunan kawasan budidaya
b. Pengembangan sistem jaringan drainase tersistem dengan saluran
pembuangan utama meliputi :
1. Sungai lahar beserta anak sungainya
2. Sungai cari beserta anak sungai
3. Sungai sumber nanas beserta anak sungainya
4. Kali Tugu/Sumber Saman beserta anak sungainya

 Perlindungan dan pemanfaatan sumber air baku meliputi :


a. Pengelolaan air permukaan untuk air minum
b. Penetapan kawasan resapan di Kecamatan Sananwetan , Kecamatan
Sukorejo, dan Kecamatan Kepanjen Kidul dengan luas kurang lebih 231 Ha
c. Pembangunan sumur resapan di kawasan perumahan yang dikembangkan
oleh masyarakat atau pengembang
d. Pengaturan pengambilan air tanah melalui sumur dalam di seluruh wilayah
kota
e. Perlindungan terhadap sumber-sumber mata air dengan rekayasa teknis
konstruksi maupun penanaman pohon lindung

E. Kabupaten Blitar
Rencana tata ruang wilayah untuk Kabupaten Blitar menurut Peraturan Daerah
Kabupaten Blitar nomor 5 tahun 2013 dijelaskan :

 Rencana sistem jaringan prasarana sumber daya air meliputi :


a. Wilayah Sungai
b. Daerah Irigasi (DI)
c. Prasarana air baku untuk air bersih
d. Sistem pengendalian banjir

Daerah Irigasi sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi
Daerah Irigasi (DI) yang terdapat di Kabupaten Blitar yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari peraturan daerah ini.

Prasarana air baku untuk air bersih sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1)
huruf c yaitu pengembangan waduk, DAM dan embung serta pompanisasi
meliputi:

a. Pengembangan waduk dan bendungan berada pada:


1. tepatnya di Desa Gogodeso;
2. Bendungan Wlingi Raya yang lokasinya di perbatasan antara
Kecamatan Sutojayan dengan Kecamatan Talun;
3. Bendungan Lahor yang lokasinya berada di perbatasan antara
Kecamatan Selorejo dengan Kecamatan Sumberpucung Kabupaten
Malang;dan
4. Waduk Nyunyur di Kecamatan Gandusari.
b. Rencana pengembangan embung :
1. Bekas embung pasiran, Desa Pasiran Kecamatan Wonotirto;
2. Kali Ringinrejo Utara, Desa Ringinrejo Utara, Kecamatan Wates;
3. Kaliduren Desa Kaligambir Kecamatan Panggungrejo;
4. Kali jimbe, Desa Gogourung, Kecamatan Kademangan; dan
5. Kaligede Desa Sumberdadi, Kecamatan Bakung.

Sistem pengendalian banjir terdapat pada kawasan DAS Sungai Brantas yang
terdiri dari : Kecamatan Selorejo, Kecamatan Kesamben, Kecamatan
Binangun, Kecamatan Selopuro, Kecamatan Talun, Kecamatan
Panggungrejo, Kecamatan Sutojayan, Kecamatan Kanigoro, Kecamatan
Kademangan, Kecamatan Sanankulon, Kecamatan Srengat dan Kecamatan
Wonodadi meliputi pengembangan waduk/bendungan, DAM serta
pompanisasi.
BAB IV

PENUTUP

4.1. Kesimpulan
Pembahasan dalam makalah ini mengena penataan ruang sungai Branstas
bagian hulu. Sungai brantas bagian hulu terdiri dari : Kota malang, Kab. Malang,
Kota Batu, Kota Blitar, dan Kab. Blitar.

Kota Batu
Kondisi penggunaan lahan kota Batu yang merupakan lokasi DAS
Brantas menunjukkan adanya ketidaksesuaian penggunaan lahan
pertanian. Ketidaksesuaian penggunaan lahan pertanian merupakan usaha
intensifikasi terhadap sektor pertanian yang berpeluang meningkatkan
penggunaan pestisida dalam kegiatannya dan memiliki konsibusi terhadap
penuruan kualitas air sungai. Berdasarkan parameter pH, BOD, COD, DO,
TSS dan Total N menunjukkan bahwa DAS Brantas Hulu kota Batu
mengalami pencemaran dengan status baik sampai tercemar berat.
Pencemaran di DAS Brantas Hulu kota Batu juga dipengaruhi oleh
aktivitas pertanian yang ditunjukkan adanya kandungan Total N yang
melebihi batas ambang baku mutu.

Kota Malang
1. Sebagian besar sungai-sungai di kawasaan DAS Brantas Hulu Malang
tidak lagi memiliki kualitas air yang layak untuk peruntukan perikanan dan
pertanian, baik menurut Keputusan Gubernur Jatim No. 413 tahun 1987
maupun Peraturan Pemerintah No. 82 tahun 2001.
2. Kualitas air sungai di kawasan DAS Brantas Hulu Malang telah
mengalami penurunan terutama disebabkan oleh sampah organik.
3. Berdasarkan hasil penentuan status mutu air dapat diketahui bahwa
sebagian besar Sungai-sungai di kawasan DAS Brantas Hulu telah
mengalami pencemaran yang mengkhawatirkan dan menjadi indikasi
kualitas air yang lebih buruk di bagian hilirnya.
4. Faktor yang paling mempengaruhi penurunan kualitas air sungai di
kawasan DAS Brantas Hulu adalah banyaknya industri yang letaknya
dekat dengan sungai bahkan mejadikan sungai sebagai tempat
penampungan limbah

4.2. Saran
1. Pemanfaatan lahan disepanjang kanan kiri sungai belum mengindahkan
jarak aman terhadap dinamika sungai.
2. Perlu adanya riset lanjutan dalam menyusun model pengelolaan
sempadan sungai sehingga didapatkan pengelolaan sempadan yang
konservatif dan produktif dengan melibatkan masyarakat.
3. Perlu tindak lanjut untuk mengembangkan model pendidikan
lingkungan sungai.
DAFTAR PUSTAKA

 Pola PSDA Brantas, 2010


 Badan Pusat Statistik Propinsi Jawa timur
 Badan Pusat Statistik Kabupaten Malang
 S2-2014-340660-chapter1.pdf
 S2-2014-340660-chapter5.pdf
 https://media.neliti.com/media/publications/124057-ID-evaluasi-kualitas-
air-sungai-sungai-di-k.pdf
 http://puspijak.org/uploads/info/Info%20Pengelolaan%20SDA%20di%20Br
antas.pdf
 https://nasional.tempo.co/read/514272/laju-sedimentasi-meningkat-ancam-
waduk-sutami
 http://www.penataanruang.com/rtrw-nasional2.html
 https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/50684
 http://www.penataanruang.com/jawa-timur1.html
 http://tataruangpertanahan.com/regulasi/pdf/perda/rtrw/kab/kab_malang_3_
2010.pdf
 https://jdih.surabaya.go.id/pdfdoc/perprop_20.pdf
 http://www.penataanruang.com/kota-batu.html
 http://www.penataanruang.com/tata-ruang/langgar-rtrw-pembangunan-
hotel-draja-kota-batu-harus-dihentikan

Anda mungkin juga menyukai