PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
1. Mendeskripsikan DAS Kali Konto
2. Mengetahui pengelolaan lahan di DAS kali konto.
3. Mengetahui pengaruh pengelolaan lahan di DAS kali konto.
4. Strategi pengelolaan DAS.
1
BAB II
PEMBAHASAN
2
Kali Konto adalah sebuah sungai di Jawa Timur, Indonesia. Sungai ini bersumber di
daerah Malang, kemudian mengalir ke barat laut melintasi Kabupaten Kediri, Kabupaten
Jombang, dan akhirnya bermuara di Sungai Brantas, yakni di KecamatanBandar
Kedungmulyo (Jombang). Kali Konto merupakan bagian dari sistem DAS Brantas, dan
selain menjadi sumber irigasi bagi pertanian juga digunakan dalam Pembangkit Listrik
Tenaga Air.
Secara administrasi DAS Kali Konto Hulu terletak Kecamatan Pujon dan Ngantang
dengan luasan 23.700 ha. Berdasarkan klasifikasi iklim Schmidt-Ferguson, DAS Kali
Konto Hulu termasuk dalam iklim C (agak basah) dengan perbandingan (Q) antara rata-
rata banyaknya bulan basah dan kering sebesar 0,56. Curah hujan rata-rata tahunan
sebesar 2.509,39 mm/tahun. Curah hujan maksimal pada DAS Kali Konto Hulu
berdasarkan data empiris selama 18 tahun mencapai 198,5 mm/hari. Curah hujan tersebar
dengan puncak musim hujan terjadi mulai Bulan Oktober Mei yang ditandai curah
hujan melebihi 100 mm/hari dan musim kemarau terjadi pada Bulan Juni - September
yang ditandai dengan curah hujan kurang dari 60 mm/hari.
Proses alih fungsi lahan hutan mengakibatkan perubahan sistem penggunaan lahan
di DAS Konto dari tahun ke tahun.Daerah aliran Sungai (DAS) Konto memiliki luasan
23.701 ha, secara administrasi terletak di Kecamatan Ngantang (bagian Barat DAS
Konto) dan Kecamatan Pujon (bagian timur DAS Konto). Wilayah DAS Konto yang
termasuk wilayah kecamatan Pujon seluas 12.505 ha sedangkan sisanya termasuk dalam
wilayah kecamatan Ngantang (11.195 ha). Berdasarkan data statistik tahun 1990 dan
tahun 2000, diketahui adanya peningkatan jumlah penduduk yang cukup pesat di DAS
Konto dari 587 jiwa/km2 pada tahun 1990 menjadi 657 jiwa/km2 di tahun 2000.
Peningkatan jumlah penduduk ini disinyalir telah memicu pengalihgunaan hutan menjadi
sistem penggunaan lahan lain. Dalam kurun waktu 10 tahun hutan telah mengalami
penurunan luasan sebesar 20 % ( 1967.21 ha) atau rata-rata 196.7 ha per tahun.
3
Agroforestri khususnya yang kompleks memiliki kondisi biofisik paling mendekati
kondisi hutan sehingga lebih berpotensi untuk memelihara biodiversitas pohon dan
hewan paska alih guna hutan bila dibandingkan dengan sistem budidaya monokultur
(Stamps dan Linit dalam Burgess, 1999). Agroforestri juga merupakan zone antara yang
menghubungkan hutan dan sistem penggunaan lahan lain yang dikelola lebih intensif
sehingga menghindari adanya fragmentasi habitat. Fragmentasi habitat menyebabkan
areal untuk mencari makan, berburu dan berkembang biak hewan-hewan dengan
mobilitas tinggi menjadi lebih terbatas, sehingga memicu hilangnya spesies dari suatu
habitat. Namun untuk memperluas agroforestri sebagai salah satu alternatif perlindungan
biodiversitas pohon dan hewan memerlukan kerjasama para pihak yang berkepentingan,
dan bila ada data biodiversitas masih 5 terbatas pada kepentingan klasifikasi taksonomi
yang kurang mempertimbangkan fungsinya bagi masyarakat di sekleilingnya. Di DAS
Konto, data base tentang biodiversitas pohon dan hewan masih terbatas pada diversitas
pohon (sumber data: Universitas Brawijaya- Proyek Insentif Riset Dasar 2007- 2008
yang didanai Menristek, Proyek ADSB yang didanai oleh ICRAF, dan Proyek TULSEA
RaCSa yang didanai ICRAF) sehingga pengkajian lanjut biodiversitas di DAS Konto
perlu segera dilakukan, dengan mempertimbangkan bagaimana upaya perlindungan
biodiversitas pada lahan agroforestri bila ditinjau dari persepsi petani.
Pengaturan tata guna lahan ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh perubahan
penggunaan lahan terhadap kemampuan DAS dalam menyangga hujan maksimum dan
pengaruh perencanaan tutupan lahan terhadap kemampuan DAS dalam menyimpan
cadangan air melalui skenario penataan penggunaan lahan dengan simulasi Model
GenRiver menggunakan indikator kemampuan penyangga.
4
1994, 0,64 pada 2000, 0,56 pada 2006, dan 0,59 pada 2012. Hal ini menunjukkan bahwa
parameterisasi dan simulasi model Genriver dapat digunakan untuk analisis perubahan
lahan terhadap fungsi hidrologis DAS.
5
(pengunaan lahan dan tata air) serta kelestarian sosial, ekonomi, dan kelembagaan. Oleh
karena itu, peningkatan fungsi kawasan budidaya memerlukan perencanaan terpadu agar
beberapa tujuan dan sasaran pengelolaan DAS tercapai, seperti: 1) erosi tanah terkendali,
2) hasil air optimal, dan 3) produktivitas dan daya dukung lahan terjaga. Dengan
demikian degradasi lahan dapat terkendali dan kesejahteraan masyarakat dapat terjamin.
(Menhut, 2009).
Penambahan luasan hutan dan agroforestri pada skenario penggunaan lahan ternyata
tidak memberikan pengaruh nyata terhadap kemampuan menyangga DAS. Hal ini
disebabkan karena hutan memerlukan air dalam melakukan metabolisme. Melalui daun
dan bagian tubuh pohon lainnya, air yang berasal dari dalam tanah tersebut diuapkan
(transpirasi) sebagai bagian dari proses fisiologi. Dengan demikian, selama musim
kemarau vegetasi pohon mengkonsumsi air dalam jumlah yang besar. Kehilangan air
tanah karena proses evapotranspirasi vegetasi hutan akan semakin besar dengan
meningkatnya luas hutan (Asdak, 2010). Selain itu, perhitungan indikator penyangga
dengan Model Genriver belum memperhitungkan kondisi biofisik DAS. Beberapa
kondisi fisik 468 DAS yang perlu dipertimbangkan dalam evaluasi pengaruh penggunaan
lahan terhadap volume debit yang dihasilkan antara lain: perubahan intersepsi dan
kelembaban tanah, mekanisme pembentukan aliran permukaan, karakteristik sistem
saluran air dan perubahan kecepatan aliran permukaan dan bentuk cekungan tanah.
Perubahan penggunaan lahan juga tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap
kemampuan menyangga kejadian hujan puncak. Kemampuan menyangga terbaik terjadi
pada perencanaan penggunaan lahan yang sesuai dengan daya dukung lahan, yaitu 0,438
6
Strategi yang dapat ditempuh dalam peningkatan kapasitas dan untuk menghindari
terjadinya konflik antar-wilayah adalah :
a. Membangun Kesepahaman dan Kesepakatan
Masing-masing daerah otonom perlu memahami mekanisme hidrologis yang
berjalan secara alami dalam penggunaan SDA lintas regional. Mekanisme
hidrologis menekankan adanya karakteristik ketergantungan/interdependensi
(interdependency) antar spasial.Sebagai contoh terjadi penurunan penutupan
lahan di bagian hulu DAS dapat mengakibatkan terjadinya banjir saat musim
hujan di bagian hilir, dan meningkatnya buangan limbah di bagian hulu dapat
menurunkan kualitas air aliran sungai di hilirnya.
Masalah ketidakmerataan dan ketidak efisienan penggunaan alokasi SDA yang
mencakup kuantitas dan kualitasnya sering memicu timbulnya konflik antar
daerah. Daerah yang memiliki sumberdaya lebih dan cenderung menguasainya
secara eksklusif akan mengancam daerah-daerah lainnya sepanjang DAS.
Penguasaan secara eksklusif bersifat kaku akan memicu terjadinya inefisiensi
sumberdaya dan meningkatkan biaya pemakaian sumberdaya serta memicu
konflik.
Beragam aktifitas pembangunan yang dilakukan sepanjang DAS selalu saling
terkait, sehingga untuk menghindari terjadinya konflik dalam pemanfaatan SDA
perlu dibangun kesepakatan antar daerah otonom. Dasar kesepakatan adalah
komitmen bersama untuk membangun sistem pengelolaan DAS yang
berkelanjutan yang melandaskan setiap strategi pada upaya untuk mencapai
keseimbangan dan keserasian antara kepentingan ekonomi, ekologis, dan sosial
budaya. Komitmen bersama antar daerah otonom adalah strategi awal yang perlu
dilakukan untuk menyusun langkah-langkah pengelolaan DAS. Salah satu faktor
dari ketidakberhasilan pengelolaan DAS selama ini adalah tidak dibangunnya
komitmen bersama antar daerah secara baik. Wujud dari komitmen bersama
adalah munculnya perhatian dan tanggung-jawab bersama terhadap kelestarian
SDA pada setiap unit kegiatan pembangunan di daerah masing-masing.
b. Membangun Sistem Legislasi
Kebijakan publik dalam aspek pengelolaan sumberdaya alam akan memiliki
kekuatan untuk mengendalikan perilaku masyarakat (publik) apabila dikukuhkan
oleh sistem legal (hukum) yang memadai. Legislasi dalam pengelolaan DAS
sangat diperlukan terutama dalam merancang dan mendukung pelaksanaan
7
kebijakan pengelolaan DAS. Beberapa peran legislasi dalam menjamin
pelaksanaan pengelolaan DAS yang baik adalah :
Adanya Undang-undang, keputusan presiden, atau produk hukum lainnya
yang dapat dijadikan dasar untuk membentuk institusi dan perangkat organisasi
yang dibutuhkan dalam mengimplementasikan pengelolaan DAS berkelanjutan.
Untuk melegalisasi mandat yang diterima oleh institusi yang dibentuk dan
menjamin sahnya alokasi anggaran rutin yang diberikan oleh pemerintah
Untuk mengurangi aktivitas yang menimbulkan kerusakan lingkungan dalam
DAS dan memaksa publik untuk mentaati prinsip-prinsip pengelolaan DAS
berkelanjutan.Legislasi lingkungan dapat mengatur perilaku manusia dalam
hubungannya dengan alokasi dan pemanfaatan sumberdaya alam, seperti lahan,
air, udara, mineral, hutan dan lanskap alam. Perilaku manusia dalam
memanfaatkan sumberdaya alam diberi pedoman agar tidak menimbulkan
degradasi sumberdaya alam dan lingkungan.Legislasi memberikan kekuatan
(power) dan kewenangan (authorities) kepada pemerintah atau lembaga yang
ditunjuk berdasarkan undang-undang untuk melakukan pengaturan, penguasaan,
pengusahaan, pemeliharaan, perlindungan, rehabilitasi, pemberian sanksi,
penyelesaian konflik dan sebagainya, dalam mengatur hubungan manusia
dengan sumberdaya alam dan lingkungan untuk mewujudkan tujuan pengelolaan
sumberdaya alam yang dikehendaki (sustainable natural resources development)
Produk legal harus menempatkan prinsip keadilan dan kemanfaatan sebagai
pertimbangan dalam merumuskan kebijakan pengelolaan DAS.
c. Meningkatkan Peranan Institusi Pengelolaan DAS.
Institusi atau kelembagaan merupakan suatu sistem yang kompleks, rumit, dan
abstrak yang mencakup ideologi, hukum, adat istiadat, aturan dan kebiasaan
yang tidak terlepas dari lingkungan. Institusi mengatur apa yang dilarang untuk
dikerjakan oleh individu atau dalam kondisi bagaimana individu dapat
mengerjakan sesuatu. Oleh karena itu, institusi adalah instrumen yang mengatur
antar individu (Kartodihardjo, et.al, 2000).
Institusi juga berarti seperangkat ketentuan yang mengatur masyarakat,
dimana masyarakat tersebut telah mendefinisikan kesempatan-kesempatan yang
tersedia, bentuk-bentuk aktifitas yang dapat dilakukan oleh pihak tertentu
terhadap pihak lainnya, hak-hak istimewa yang telah diberikan, serta tanggung-
jawab yang harus mereka lakukan. Hak-hak tersebut mengatur hubungan antar
individu dan/atau kelompok yang terlibat dalam kaitannya dengan pemanfaatan
8
sumberdaya alam tertentu (Schmid, 1987 dalam Kartodihardjo, 2000). Di
Amerika Serikat dikenal adanya riparian right dan appropriation-rights dalam
pengelolaan sumberdaya air.
Institusi sebagai modal dasar masyarakat (social capital) dapat dipandang
sebagai aset produktif yang mendorong anggotanya untuk bekerjasama menurut
aturan perilaku tertentu yang disetujui bersama untuk meningkatkan
produktifitas anggotanya secara keseluruhan. Ikatan institusi masyarakat yang
rusak secara langsung akan menurunkan produktifitas masyarakat dan menjadi
faktor pendorong percepatan eksploitasi sumberdaya alam disekitarnya
(Kartodihardjo, et. al, 2000).
Perwujudan institusi masyarakat dapat diidentifikasi melalui sifat-sifat
kepemilikan (property rights) sumberdaya, batas-batas kewenangan (jurisdiction
boundary) masyarakat dalam memanfaatkan sumberdaya, dan aturan-aturan
perwakilan (rules of representation) dalam memanfaatkan sumberdaya, apakah
ditetapkan secara individu atau kelompok. Instansi pemerintah merupakan
institusi formal yang menjadi agen pembangunan dan berperan sentral dalam
menentukan perubahan-perubahan yang diinginkan. Kinerja institusi sangat
tergantung dari kapasitas dan kapabilitas yang dimilikinya.
Penguatan institusi dalam pengelolaan DAS dibutuhkan untuk mencapai
tujuan-tujuan pengelolaan DAS. Kondisi institusi yang kuat merupakan prasyarat
penyelenggaraan pengelolaan DAS yang baik. Kinerja institusi pengelolaan DAS
di Indonesia relatif tertinggal dibandingkan dengan Negara-negara maju seperti
Amerika Serikat, Jepang, bahkan Thailand. Ketergantungan terhadap
sumberdaya alam yang masih tinggi dan kurangnya kepedulian masyarakat
terhadap kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan merupakan indikator
lemahnya institusi pengelolaan DAS di Indonesia. Institusi pengelolaan DAS
yang ada di Indonesia belum memiliki peranan yang kuat terhadap peningkatan
ekonomi dan kesejahteraan masyarakat dalam DAS. Pengembangan
kelembagaan masih bersifat keproyekan, sehingga intervensi penguatan institusi
hanya berjalan selama proyek masih ada.
Instansi pemerintah yang terlibat dalam pengelolaan DAS di Indonesia sebagai
institusi formal cukup beragam. Kendala yang sering dihadapi antara lain adalah
masalah koordinasi program; seringkali program yang sama atau mirip diusulkan
oleh instansi yang berbeda.
d. Meningkatkan Kualitas SDM
9
Kualitas sumberdaya manusia untuk pengelolaan SDA secara umum masih
rendah dan terdapat kesenjangan diseluruh daerah otonom. Kemampuan petani,
perencana pengelolaan DAS, pejabat yang melaksanakan pengelolaan DAS
masih sangat rendah untuk mengelola SDA secara berkelanjutan dan
menerapkan prinsip one river one plan.
Petani tidak mempunyai cukup pengetahuan tentang tindakan tepat apa yang
harus dia lakukan didalam usahataninya agar tidak terjadi degradasi lahan yang
dapat menurunkan produktivitas lahannya. Penyuluh pertanianpun tidak dibekali
pengetahuan dan pedoman yang memadai untuk membimbing petani dalam
memilih dan menerapkan agroteknologi atau teknik-teknik konservasi yang
memadai. Pejabat yang berwewenang menentukan kebijakan pun tidak punya
pemikiran dan konsep yang menyeluruh (holistic) untuk mengelola SDA secara
berkelanjutan dalam suatu DAS. Pejabat didaerah hilir hanya mau
mempertimbangkan teknologi yang diperlukan untuk mencegah banjir
didaerahnya, walaupun ada teknologi pencegahan banjir yang lebih efektif dan
berkelanjutan melalui pengelolaan DAS dibagian hulu/ diluar daerahnya.
Padahal kalau teknologi pengelolaan DAS yang dilaksanakan dibagian hulu,
maka selain banjir dapat dicegah/ dikurangi, kekeringan dimusim kemaraupun
dapat diatasi.
Oleh sebab itu diperlukan program pelatihan yang sistematis secara terus
menerus untuk meningkatkan kapasitas individu/ SDM dalam pengelolaan SDA
agar prinsip pembangunan berkelanjutan terlaksana diseluruh DAS dan daerah
otonom.
BAB III
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Pengaturan tata guna lahan ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh perubahan
penggunaan lahan terhadap kemampuan DAS dalam menyangga hujan maksimum dan
pengaruh perencanaan tutupan lahan terhadap kemampuan DAS dalam menyimpan cadangan
air melalui skenario penataan penggunaan lahan dengan simulasi Model GenRiver
menggunakan indikator kemampuan penyangga. Kesimpulan yang dapat diambil dari
penjelasan ini adalah:
10
1.Perubahan penggunaan lahan juga tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap
kemampuan menyangga kejadian hujan puncak. Kemampuan menyangga terbaik
terjadi pada perencanaan penggunaan lahan yang sesuai dengan daya dukung lahan,
yaitu 0,438 (lebih baik 2,2% dibanding dengan hasil simulasi lainnya).
2. pengaruh perencanaan tutupan lahan dengan optimalisasi fungsi hutan sesuai dengan daya
dukung lahan memberikan korelasi positif terhadap kemampuan menyediakan air
dalam DAS.
DAFTAR PUSTAKA
Darmayanti, Agung Sri; Solikin. 2013. Infiltrasi Dan Limpasan Permukaan Pada Pola Tanam
Agroforestri Dan Monokultur: Studi Di Desa Jeru Kabupaten Malang. dalam Prosiding
Seminar Nasional X Biologi FKP UNS.
Edy, Junaidi; Tarigan, Surya Dharma. 2011. Pengaruh Hutan Dalam Pengaturan Tata Air Dan
Proses Sedimentasi Daerah Aliran Sungai (Das): Studi Kasus Di Das Cisadane.
Agrivita. p: 39-46. Malang: Indonesia Gintings, Ngaloken A. 2009. Hutan, Tata Air Dan
Kelestarian DAS Cicatih. Dalam Prosiding Seminar: Peran Serta Para Pihak Dalam
Pengelolaan Jasa Lingkungan Daerah Aliran Sungai (DAS) Cicatih-Cimandiri. P: 59-67.
Bogor: Indonesia Hairiah,K. 2006.
Rahayu, Subekti; Widodo, Rudy Harto; Van Noorwidjk, M; Suryadi, Indra; Verbist, Bruno.
Monitoring Air Di Daerah Aliran Sungai. 2009.
11
Tala'ohu, S. H., Agus, F., & Irianto, G. 2001. Hubungan Perubahan Penggunaan Lahan
Dengan Daya Sangga Air Di Sub DAS Citarik dan DAS Kaligarang. Prosiding Seminar
Multifungsi Lahan Sawah (pp. 93-102). Badan Litbang Pertanian.
Van Noorwidjk, M; Widodo, Rudi Harto; Farida, Ai; Suyamto, Desi A; Lusiana, Betha;
Tanuka, Lisa; Khasanah, Nimatul. 2006. Genriver and Flow Persistence Models.
International Center of Research for Agroforestry (ICRAF). Bogor. Indonesia.
12