Anda di halaman 1dari 6

Nama : Lusiana

NIM : H1021051

Kelas : B

Tugas Pengelolaan Jasa Lingkungan

Daerah aliran sungai adalah suatu kawasan daratan yang merupakan satu
kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung,
menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut
secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai
dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan. Salah satu contoh
DAS yang ada di Indonesia adalah sungai brantas yang terletar di Jawa Timur. Wilayah
sungai Brantas terdiri dari 4 DAS, antara lain DAS Brantas, DAS Tengah, DAS Ringin
Bandulan, dan DAS Kondang Merak (Astuti et al., 2017). Sungai Brantas merupakan
salah satu sungai yang berperan penting bagi masyarakat, khususnya masyarakat Jawa
Timur. Keberadaan Kali Brantas diakui sangat vital oleh masyarakat karena merupakan
pemasok bahan baku air terbesar untuk PDAM Kota Surabaya dan Malang. Pengelolaan
Daerah Aliran Sungai (DAS) pada prinsipnya bertujuan untuk melakukan pengelolaan
sumberdaya alam secara rasional agar dapat dimanfaatkan secara maksimal, lestari, dan
berkelanjutan sehingga terwujud tata air dan ekosistem yang baik untuk mendukung
kesejahteraan masyarakat, kelestarian, dan keberlanjutan konservasi DAS.

Kerusakan DAS dipercepat oleh peningkatan pemanfaatan sumber daya alam


sebagai akibat dari pertambahan penduduk dan perkembangan ekonomi, konflik
kepentingan dan kurang keterpaduan antar sektor, antar wilayah hulu-tengah-hilir,
terutama pada era otonomi daerah dimana sumber daya alam ditempatkan sebagai
sumber pendapatan asli daerah (PAD) berpotensi mengancam kelestarian sumber daya
hutan dan lahan (Phati, 2016). DAS Brantas memiliki peran sangat vital dalam
menyangga kehidupan masyarakat di Jawa Timur. Namun kondisi DAS Brantas
mengalami berbagai permasalahan, seperti daerah tangkapan hujan di bagian hulu DAS
Brantas yang semakin memburuk akibat dari perambahan hutan dan pemanfaatan lahan
yang tidak mengindahkan kaidah konservasi, menurunnya debit atau bahkan hilangnya
banyak mata air di DAS Brantas, degradasi dasar sungai dan penurunan kualitas air.

Peningkatan jumlah DAS yang kritis dari waktu ke waktu diduga memiliki
kaitan erat dengan deforestasi dan degradasi hutan. Sedangkan Jariyah (2019)
menyatakan bahwa peningkatan deforestasi sejak awal abad 20 diduga mempunyai
peranan yang besar dalam kerusakan DAS. Kondisi ini ditandai oleh kejadian banjir dan
kekeringan yang semakin ekstrim, terutama pada DAS-DAS yang berada di Pulau Jawa.
Pemilik lahan dan masyarakat di hulu DAS mempunyai keterkaitan erat dengan
keberadaan hulu DAS sebagai penyedia berbagai jasa lingkungan termasuk sumberdaya
air. Tetapi kenyataannya hutan di hulu DAS mengalami deforestasi dan degradasi. Hal
ini terjadi antara lain karena masyarakat di hulu tidak memperoleh kompensasi atas
manfaat (jasa lingkungan) yang dihasilkan. Mengingat eratnya kaitan antara wilayah
hulu dan hilir DAS dalam pengelolaan DAS secara lestari, diperlukan keterpaduan
pengelolaan DAS dari hulu sampai hilir. Aktivitas masyarakat di hulu DAS dalam
rangka konservasi sumberdaya hutan sebagai penyedia jasa lingkungan sepatutnya
mendapat penghargaan (imbal jasa) dari masyarakat di hilir sebagai pihak yang
memanfaatkan jasa lingkungan (Sudaryanti et al., 2021). Imbal Jasa Lingkungan (IJL)
merupakan transaksi sukarela untuk jasa lingkungan yang telah didefinisikan secara
jelas yang dibayarkan oleh pengguna (user) kepada penyedia jasa lingkungan atas jasa
lingkungan yang telah disediakan.

Pengelolaan DAS berbasis pemberdayaan masyarakat tidak dapat dipisahkan


fenomena hubungan manusia dan lingkungan (man-land relationship). Hubungan
manusia dengan lingkungan secara komprehensif dapat dilakukan melalui pendekatan
struktur lingkungan geografi menjadi lingkungan tata laku dan lingkungan fenomena.
Dilihat dari kondisi tersebut, diperlukan upaya pengelolaan DAS berbasis
pemberdayaan masyarakat yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan dan
kemandirian masyarakat agar mampu mengelola DAS secara optimal dalam rangka
memenuhi kebutuhan hidup, meningkatkan kesejahteraan dan menjaga kelestarian DAS
itu sendiri. Pembangunan hutan berbasis pemberdayaan masyarakat di daerah hulu,
atau kegiatan pertanian dan peternakan yang menggunakan prinsip konservasi
tanah dan air memberikan kontribusi terhadap manfaat hidrologi yang dinikmati
oleh penduduk di daerah tengah dan bawah DAS Brantas. Oleh karena itu, diperlukan
mekanisme pembagian biaya (cost-sharing) dalam membangun hutan maupun
upaya koservasi yang dilakukan petani di daerah hulu oleh penduduk di daerah bawah
atau melalui mekanisme lainnya atas jasa lingkungan yang dihasilkannya (Astuti, 2017).
Sebagai dasar perhitungan besarnya biaya yang harus diberikan kepada petani di
daerah hulu adalah besarnya manfaat hidrologis yang dinikmati. Dalam
pelaksanaan kegiatan ini, manfaat hidrologi yang dijadikan dasar perhitungan cost-
sharing adalah manfaat hidrologis untuk masyarakat tingkat rumah tangga.

Dalam menyelenggarakan pengelolaan DAS terpadu dari hulu ke hilir secara


utuh diperlukan perencanaan yang komprehensif, yang mengakomodasikan dan
melibatkan berbagai pemangku kepentingan (stakeholder). Maksud dari perencanaan ini
adalah untuk menghindari perencanaan yang saling bertabrakan atau mungkin
overlapping satu sama lain. Adanya partisipasi stakeholders atau aktor-aktor dalam
proses perumusan rencana atau perencanaan telah mendorong terbentuknya jejaring
kebijakan (policy network) (Sriyana, 2018). Jejaring kebijakan adalah suatu hubungan
yang terbentuk akibat koalisi diantara aktor pemerintah, dan masyarakat termasuk
privat. UU No.7/2004 tentang Sumber Daya Air, mengamanatkan agar pengelolaan
sungai dilakukan secara menyeluruh (mencakup semua bidang pengelolaan mulai dari
konservasi sampai pemantauan dan evaluasi) dan terpadu (melibatkan semua pemilik
kepentingan, antar sektor dan wilayah). Oleh karena itu diperlukan pengelolaan DAS
secara terpadu yang harus melibatkan pemangku kepentingan pengelolaan sumberdaya
alam yang terdiri dari unsur–unsur masyarakat, dunia usaha, Pemerintah, dan
Pemerintah Daerah dengan prinsip-prinsip keterpaduan, kesetaraan dan berkomitmen
untuk menerapkan penyelenggaraan pengelolaan sumberdaya alam yang adil, efektif,
efisien dan berkelanjutan (Sulistyaningsih, 2017). Dalam penyelenggaraan pengelolaan
DAS terpadu tersebut diperlukan perencanaan yang komprehensif yang
mengakomodasikan berbagai pemangku kepentingan (stakeholders) dalam suatu DAS.
Kegiatan monev sosial DAS dimaksudkan untuk memperoleh gambaran kondisi
penghidupan (livelihood) masyarakat serta pengaruh hubungan timbal balik antara
faktor-faktor sosial masyarakat dengan kondisi sumber daya alam (tanah, air dan
vegetasi) di dalam DTA (DAS/Sub DAS). Perilaku sosial masyarakat yang merupakan
nilai-nilai yang secara sekuensial akan mempengaruhi kebutuhan dan keinginan,
penentuan tujuan, penentuan alternatif-alternatif rencana, pembuatan keputusan, dan
tindakan yang membentuk pola penggunaan lahan berupa masukan teknologi
rehabilitasi lahan dan konservasi tanah (RLKT) di dalam DAS (Riskihadi, 2014).
Sebaliknya kondisi alami yang ada di DAS juga dapat mempengaruhi perilaku (nilai-
nilai) sosial masyarakat. Sasaran yang ingin dicapai dalam kegiatan monev sosial DAS
adalah untuk mengetahui perubahan atau dinamika nilai-nilai sosial masyarakat
sebelum, selama dan setelah adanya kegiatan pengelolaan DAS, baik secara swadaya
maupun melalui program bantuan. Dinamika sosial tersebut akan mencerminkan tingkat
pengetahuan, kemauan, dan kemampuan masyarakat dalam melestarikan sumberdaya
alam DAS.

Monitoring dan evaluasi indikator jasa lingkungan DAS, seperti air, wisata alam,
iklim mikro, dan fungsi waduk, dihitung dengan melihat ada/tidaknya biaya internalitas,
eksternalitas, atau pengelolaan bersama (cost sharing), yaitu dalam bentuk retribusi atau
pajak untuk dana lingkungan (Basuki,2014). Perhitungan nilai jasa lingkungan untuk
nilai air, didasarkan pada seberapa besar nilai sumberdaya air yang ada di DAS
dimanfaatkan untuk berbagai keperluan per tahun, seperti rumah tangga, industri,
pertanian (irigasi), perikanan, peternakan, rekreasi, dan transportasi. Untuk ini perlu ada
identifikasi para pihak yang melakukan pengelolaan dan pemanfaatan, serta jaminan
ketercukupan antara debit pasokan air yang tersedia dari sumbernya dengan yang
dimanfaatkan. Perhitungan nilai jasa lingkungan wisata alam, didasarkan pada biaya
transport (pp) dan biaya tiket masuk dari pengunjung yang datang ke lokasi obyek
wisata yang ada di DAS per tahun. Dengan demikian, identifikasi terhadap jumlah dan
asal pengunjung bisa dilakukan baik dengan cara survei/wawancara secara langsung
dengan responden (wisatawan) yang datang, dan atau dengan menggunakan data
sekunder dari instansi terkait yang menangani obyek wisata tersebut di DAS.
Perhitungan nilai jasa lingkungan fungsi waduk, didasarkan pada manfaat waduk
tersebut untuk berbagai keperluan di DAS dibandingkan dengan jika waduk tersebut
berhenti fungsinya, seperti luas areal sawah yang bisa diairi (irigasi) per tahun, besar
energi listrik yang bisa dihasilkan per tahun, hasil ikan per tahun (perikanan), jumlah
dan asal wisatawan yang datang per tahun (pariwisata), dan lain sebagainya. Pada jasa
lingkungan iklim mikro sangat terkait dengan dampaknya terhadap pemanasan global.
Perhitungan nilai jasa lingkungan terhadap iklim mikro didasarkan pada peran DAS
dalam kemampuannya untuk menyerap (sequestration) dan mengendapkan (sink)
karbondioksida (CO2) dari udara ke tanah dan biomas tanaman di DAS. Dengan
menggunakan peta penutupan lahan aktual, nilai karbon yang ada didalam tanah dan
biomas tanaman di DAS dapat dihitung jumlahnya per tahun. Dengan mengacu pada
standar dan kriteria ”carbon trade” atau ”perdagangan karbon”, nilai karbon pada tanah
dan biomas tanaman yang ada di DAS bisa mendapatkan biaya kompensasi jika standar
dan kriterianya terpenuhi.
DAFTAR PUSTAKA

Astuti, P., Setyowati, N., & Affandi, M. A. (2017). Kajian Kebijakan Pemerintah daerah
berbasis partisipasi masyarakat DAS Brantas pada Pengelolaan Lingkungan
Hidup di Jatim. CAKRAWALA, 11(1), 67-81.

Astuti, H. P. (2017). Kajian implementasi pengelolaan sumber daya air terpadu


(PSDAT) pada Daerah Aliran Sungai Brantas Hulu. Jurnal Kajian Teknik
Sipil, 2(2), 96-106.

Basuki, T. M. (2014). Indikator dan parameter kriteria lahan untuk monitoring dan
evaluasi kinerja sub-das. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam, 11(3),
281-297.

Jariyah, N. A. (2019). Evaluasi kinerja sosial ekonomi DAS Brantas berdasarkan


penerapan P61/Menhut-II/2014. Jurnal Penelitian Sosial Dan Ekonomi
Kehutanan, 16(2), 95-113.

PHATI, P. (2016). PEMBERDAYAAN MASYARAKAT OLEH PEMERINTAH DAERAH


DALAM PELESTARIAN HUTAN DI HULU (DAS) BRANTAS KOTA BATU,
JAWA TIMUR (Doctoral dissertation, University of Muhammadiyah Malang).

Riskihadi, A., Rahadi, B., & Suharto, B. (2014). Penentuan Kinerja Sub Das Junggo
Dalam Pengelolaan Daerah Hulu DAS Brantas. Jurnal Sumberdaya Alam dan
Lingkungan, 1(2), 47-54.

Sriyana, I. (2018). Indeks stakeholders pengelolaan daerah aliran sungai dengan


pendekatan KISS di Indonesia. Media Komunikasi Teknik Sipil, 24(1), 79-86.

Sudaryanti, S., Soemarno, S., Marsoedi, M., & Yanuwiadi, B. (2021). Landasan
Berpikir Dalam Perencanaan Pengelolaan Terpadu Daerah Aliran Sungai. The
Indonesian Green Technology Journal, 10(2).

Sulistyaningsih, T. (2017). Kerjasama Pemerintah Daerah Dalam Menjaga Daerah


Aliran Sungai Brantas Bersama Masyarakat Desa Sumber Brantas, Kecamatan
Bumiaji, Kota Batu. Research Report, 1104-1109.

Anda mungkin juga menyukai