Prahasto | Kelembagaan DAS
Kelembagaan DAS
Hendro Prahasto
PERANAN PEMERINTAH DAERAH DALAM
PENGELOLAAN DAS
Oleh: Hendro Prahasto, Peneliti Pada Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan
Kehutanan, Bogor
Dalam: Good Forest Governance Sebagai Syarat Pengelolaan Hutan Lestari
Ringkasan
Dengan diberlakukannya Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang direvisi menjadi
Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007,
maka kewenangan Pemerintahan Daerah dalam pengelolaan sumber daya alam sangat
beragam. Dengan demikian penyelenggaraan pengelolaan DAS pada era otonomi daerah
menemui beberapa kendala, khususnya untuk DAS lintas kabupaten/ propinsi, karena
hambatan koordinasi dan integrasi program dalam DAS antar kabupaten/kota propinsi.
Kewenangan Pemerintahan Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota dalam pengelolaan DAS hanya
terbatas pada pertimbangan teknis dalam penyusunan rencana pengelolaan,dan
penyelenggaraan pengelolaan DAS skala provinsi/kabupaten/kota. Penetapan DAS prioritas
dan penyusunan rencana pengelolaan DAS terpadu masih ditangani oleh Pemerintah Pusat.
Padahal, pengelolaan DAS harus dilakukan secara terpadu dan menyeluruh dan harus
dipandang sebagai satu sistem yang utuh dari hulu sampai hilir, yang melibatkan seluruh
pemangku kepentingan yang ada di daerah DAS tersebut. Mengingat hal tersebut, perlu
adanya pembagian peran yang tepat dan selaras baik antar wilayah kabupaten/kota dalam
propinsi (vertikal) maupun antar institusi dalam kabupaten/kota (horisontal) secara harmonis.
Salah satu pembagian peran tersebut adalah berkaitan dengan kontribusi pembiayaan dari
daerah hilir ke hulu untuk merehabilitasi lahan di kawasan lindung dan pemberian insentif
sebagai kompensasi agar fungsi kawasan lindung tetap terjaga.
Kata kunci : peran, insentif hulu‑hilir, daerah aliran sungai
I. PENDAHULUAN
Keberadaan Daerah Aliran Sungai (DAS) secara yuridis formal tertuang dalam Peraturan
https://kelembagaandas.wordpress.com/kelembagaanpengelolaandas/hendroprahasto/ 1/14
6/6/2016 Hendro Prahasto | Kelembagaan DAS
Keberadaan Daerah Aliran Sungai (DAS) secara yuridis formal tertuang dalam Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 33 Tahun 1970 tentang Perencanaan Hutan yang kemudian direvisi
menjadi PP Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan. DAS adalah suatu daerah
tertentu yang bentuk dan sifat alamnya sedemikian rupa sehingga merupakan kesatuan
dengan sungai dan anak‑anak sungainya yang melalui daerah tersebut dalam fungsinya untuk
menampung air yang berasal dari curah hujan dan sumber air lainnya dan kemudian
mengalirkannya melalui sungai utamanya (Departemen Kehutanan, 2001).
Pengelolaan DAS adalah bentuk pengembangan wilayah yang menempatkan DAS sebagai unit
pengelolaan dimana bagian hulu dan bagian hilirnya mempunyai keterkaitan biofisik melalui
daur hidrologi. Oleh karena itu perubahan penggunaan lahan di daerah hulu akan
memberikan dampak di daerah hilirnya dalam bentuk fluktuasi debit air, kualitas air dan
sediment serta bahan‑bahan terlarut di dalamnya. Sejumlah DAS di Jawa saat ini banyak
mengalami kerusakan sehingga fungsi DAS sebagai pengatur tata air tidak dapat bekerja
secara optimal. Sebanyak 61 kabupaten di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur memiliki
ancaman bencana ekologis yang tinggi, karena wilayah itu mengalami deforestasi yang sangat
besar selama dua tahun terakhir (Suara Pembaruan, 2006). Saat ini, luas kawasan hutan yang
terdegradasi di Pulau Jawa sudah mencapai 330.000 hektare dan deforestasi juga terjadi di 76
titik kawasan konservasi dan hutan lindung yang berada di lima provinsi di Pulau Jawa selain
DKI Jakarta. Kerugian ekonomi akibat degradasi hutan Pulau Jawa diperkirakan tidak kurang
dari Rp 8,37 triliun per tahun, sedangkan akibat kritisnya areal DAS/Sub‑ DAS seluas 10,7 juta
hektare akan menimbulkan kerugian ekonomi sekitar Rp 37 triliun per tahun (Suara
Pembaruan, 2006). Angka kerugian akibat degradasi hutan merupakan nilai kehilangan
subsidi langsung ekologis dari kawasan konservasi dan hutan lindung untuk sektor ekonomi
dan sosial kemasyarakatan. Sementara itu angka kerugian akibat kritisnya DAS berasal dari
kerugian akibat bencana ekologis seperti banjir, longsor dan kekeringan.
Salah satu program penyelamatan lingkungan dapat dilakukan antara lain adalah melalui
program pengelolaan DAS terpadu, yang melibatkan pemangku kepentingan lintas sector dan
lintas wilayah. Pengelolaan DAS merupakan kegiatan yang multi dimensi seperti berdimensi
biofisik (pengendalian erosi, pencegahan dan penanggulangan lahan kritis, pengelolaan
tanaman pertanian konservatif); berdimensi kelembagaan (insentif dan disinsentif, peraturan
yang berkaitan dengan tata ruang dan ekonomi); berdimensi social (terkait dengan social
budaya masyarakat setempat). Dengan demikian pengelolaan DAS tidak dapat dilakukan
secara sektoral karena ada keterkaitan antar sector sehingga perlu dilakukan secara holistic
dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan. Menurut PP 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, kewenangan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota
dalam pengelolaan DAS hanya terbatas pada pertimbangan teknis penyusunan rencana
pengelolaan, penyelenggaraan pengelolaan DAS skala kabupaten/kota. Keterbatasan
kewenangan yang sama juga berlaku bagi Pemerintahan Daerah Provinsi. Sementara itu,
penetapan DAS prioritas dan penyusunan rencana pengelolaan DAS terpadu masih ditangani
oleh Pemerintah Pusat.
Kawasan DAS hulu memiliki potensi ekonomi yang cukup besar, namun karena pertimbangan
perlindungan kawasan, baik ekosistem di pegunungan maupun pemukiman yang jauh di
bawahnya sehingga akhirnya tidak bisa dimanfaatkan. Agar kawasan lindung atau daerah
tangkapan air tetap dipertahankan sesuai dengan fungsinya maka perlu adanya kompensasi
yang diberikan kepada petani atau pemilik lahan di daerah tersebut. Salah satu sumber dana
kompensasi adalah subsidi silang dari penduduk di daerah hilir DAS untuk masyarakat 2/14
https://kelembagaandas.wordpress.com/kelembagaanpengelolaandas/hendroprahasto/ di
6/6/2016 Hendro Prahasto | Kelembagaan DAS
kompensasi adalah subsidi silang dari penduduk di daerah hilir DAS untuk masyarakat di
daerah hulu DAS. Untuk dapat merealisasikan perlindungan kawasan lindung atau daerah
tangkapan air perlu ada kerjasama dan saling pengertian antara Pemerintah Daerah‑
Pemerintah Daerah yang ada di sekitar kawasan tersebut. Dengan adanya pembayaran
kompensasi tersebut diharapkan masyarakat di daerah hulu mengkonservasi kawasan lindung
atau daerah tangkapan air. Dengan demikian masyarakat di daerah hilir dapat terhindar dari
bencana yang sering terjadi akhir‑akhir ini, seperti banjir di musim hujan, kekeringan di
musim kemarau, serta sedimentasi sungai, waduk dan saluran irigasi. Oleh sebab itu dalam
pengelolaan kawasan konservasi di DAS hulu tidak terlepas dari peran Pemerintahan Daerah
dan partisipasi aktif seluruh pemangku kepentingan di daerah tersebut.
II. METODA PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan mengambil contoh instansi pemerintah di tiga Pemerintah
Kabupaten yang masuk wilayah DAS Citarum dan Pemerintah Provinsi dimana DAS Citarum
berada. Pemilihan lokasi penelitian (kabupaten) dilakukan dengan mempertimbangkan
hubungan hulu‑hilir. Ketiga kabupaten tersebut adalah Kabupaten Bandung (DAS bagian
hulu), Kabupaten Purwakarta (DAS bagian tengah), dan Kabupaten Karawang (DAS bagian
hilir).
B. Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan di instansi pemerintah yang terkait dengan pembiayaan dan insentif
dalam pengelolaan DAS. Jumlah instasi yang disurvei tersebar di Kabupaten Bandung (9
instansi), Kabupaten Purwakarta (10 instansi), Kabupaten Karawang (7 instansi) dan Provinsi
Jawa Barat (11 instansi). Instansi pemerintah yang disurvei adalah BAPPEDA, Dinas
Kehutanan, Dinas Pertanian, Dinas Perikanan, Dinas Perkebunan, Dinas Pengairan, Dinas
Pemukiman, Dinas Lingkungan Hidup, Perum Perhutani, Perusahaan Air Minum Daerah dan
Perum Jasa Tirta II.
Data dikumpulkan secara langsung di instansi pemerintah yang terkait dengan pengelolaan
DAS dengan melakukan wawancara dengan pejabat yang paham akan kegiatan pengelolaan
DAS. Dari masingmasing instansi pemerintah ditetapkan sebanyak dua pejabat untuk
mewakili instansinya. Data yang dikumpulkan adalah pendapat atau pandangan dari masing‑
masing instansi pemerintah yang berkaitan dengan pembiayaan dan insentif dalam
pengelolaan DAS, dengan cara pemberian nilai skoring atau peringkat dari masing‑masing
kriteria dan alternatif.
C. Analisis Data
Masalah pembiayaan dan insentif dalam pengelolaan DAS memerlukan solusi yang tepat.
Untuk itu perlu diketahui factor‑faktor apa yang berpengaruh sehingga Pemerintah Daerah di
wilayah DAS hilir bersedia memberikan kontribusi pembiayaan untuk rehabilitasi lingkungan
ke Pemerintah Daerah di wilayah DAS hulu. Dengan menggunakan factorfaktor yang
berpengaruh tersebut maka berbagai alternative kebijakan pembiayaan pengelolaan DAS
dapat diusulkan lebih efektif. Demikian pula dengan mengetahui criteria prioritas lokasi
kegiatan insentif rehabilitasi lingkungan di wilayah DAS hulu maka alternative kebijakan
insentif rehabilitasi lingkungan di DAS hulu dapat ditetapkan secara tepat.
Untuk menentukan factor dan alternative baik dalam pembiayaan maupun insentif
https://kelembagaandas.wordpress.com/kelembagaanpengelolaandas/hendroprahasto/ 3/14
6/6/2016 Hendro Prahasto | Kelembagaan DAS
Untuk menentukan factor dan alternative baik dalam pembiayaan maupun insentif
pengelolaan DAS digunakan metoda Analytic Hierarchy Process (AHP) yang dikembangkan
oleh Saaty (1980). AHP digunakan untuk memperoleh skala rasio dari beberapa perbandingan
berpasangan baik yang bersifat diskrit maupun kontinu. Perbandingan berpasangan tersebut
dapat diperoleh melalui pengukuran actual atau pengukuran relative dari derajat kesukaan,
atau kepentingan atau perasaan.
Penggunaan AHP diawali dengan membuat struktur hierki atau jaringan dari permasalahan
yang akan diteliti. Menurut Teknomo dkk (1999) ada beberapa prosedur yang harus dilakukan,
yaitu:
Mendefinisikan struktur hierarki masalah yang akan diselesaikan,
Melakukan pembobotan elemen‑elemen pada setiap tataran dari hierarki,
Menghitung prioritas dan konsistensi pembobotan,
Menampilkan urutan dari alternative‑alternatif yang dipertimbangkan.
Di dalam hierarki terdapat tujuan, factor/criteria dan alternatif‑alternatif yang akan dibahas.
Struktur hierarki pembiayaan pengelolaan DAS disusun berdasarkan 3 elemen. Ketiga elemen
tersebut adalah (i) kesinambungan pasokan air permukaan dan air tanah, (ii) turunnya laju
pendangkalan sungai, waduk dan saluran irigasi dan (iii) berkurangnya bencana banjir dan
tanah longsor. Sementara itu kerusakan kawasan lindung atau resapan air di DAS wilayah
hulu dapat dapat dikelompokan menjadi tiga elemen, yaitu kerusakan kawasan lindung di (i)
areal pertanian, (ii) areal pemukiman dan (iii) kawasan hutan. Di ketiga areal tersebut
merupakan elemen penting yang perlu untuk dibenahi pemanfaatannya sesuai dengan
peruntukannya sehingga tidak menimbulkan dampak negatif di daerah hilirnya,. Untuk itu
perlu adanya insentif atau disinsentif yang diberikan kepada pemilik atau penguasa lahan di
kawasan lindung agar pemanfaatannya tidak merusak lingkungan. Struktur hierarki
pembiayaan pengelolaan DAS dan insentif pengelolaan DAS dapat dilihat pada Gambar 1 dan
Gambar 2.
Garis‑garis yang
menghubungkan kotak‑kotak
antar level merupakan
hubungan yang perlu diukur
dengan perbandingan
berpasangan dengan arah ke
level yang lebih tinggi. Level 1
merupakan tujuan dari
penelitian yaitu mekanisme
pembiayaan dan insentif
dalam pengelolaan DAS.
Gambar 1. Struktur hierarki pembiayaan pengelolaan DAS Sementara itu level 2 dalam
mekanisme pembiayaan
pengelolaan DAS adalah elemen jasa lingkungan yang diharapkan akan diterima oleh
masyarakat atau Pemerintah Daerah di daerah hilir DAS sebagai kompensasi dari
keterlibatannya dalam pembiayaan pengelolaan DAS di daerah hulu, sedangkan level 2 dalam
mekanisme insentif dalam pengelolaan DAS adalah elemen kawasan lindung yang akan diberi
insentif dalam pengelolaan DAS. Level 3 merupakan alternative penyaluran dana hilir‑hulu
dan alternatif penyaluran atau pemberian insentif untuk merehabilitasi kawasan lindung.
Penentuan tingkat
https://kelembagaandas.wordpress.com/kelembagaanpengelolaandas/hendroprahasto/ 4/14
6/6/2016 Hendro Prahasto | Kelembagaan DAS
Penentuan tingkat
kepentingan pada
setiap level
terhadap pendapat
pemangku
kepentingan
dilakukan dengan
teknik komparasi
berpasangan
(pairwise
comparison). Gambar 2. Struktur hierarki insentif dan disinsentif pengelolaan DAS
Teknik komparasi
berpasangan yang digunakan
dalam AHP dilakukan
dengan cara membandingkan
antara elemen satu dengan
elemen yang lainnya dalam
satu level secara berpasangan
sehingga diperoleh nilai
kepentingan dari
masingmasing elemen.
Penilaian dilakukan dengan
memberikan bobot numeric
pada setiap elemen yang
dibandingkan dengan
wawancara langsung dengan
pemangku kepentingan.
Untuk mengkuantifikasikan
data yang bersifat kualitatif
tersebut digunakan skala
banding berpasangan yang dikembangkan oleh Saaty (1980) seperti tercantum dalam Tabel 1.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Pembiayaan dan Insentif Pengelolaan DAS
Tujuan utama dari hirarki ini adalah menyusun Konsep Mekanisme Pembiayaan dan Insentif
dalam Pengelolaan DAS. Beberapa elemen atau kriteria mekanisme pembiayan pengelolaan
DAS dikembangkan dengan mempertimbangkan bahwa elemen‑elemen tersebut merupakan
faktor dominan yang bermanfaat bagi daerah hilir sehingga masyarakat atau Pemerintah
Daerah di daerah hilir bersedia memberikan kontribusi terhadap pembiayaan rehabilitasi
kawasan lindung di daerah hulu DAS.
Elemen‑elemen yang dimaksud adalah tersedianya kesinambungan pasokan air tanah dan
permukaan, menurunnya laju pendangkalan sungai, waduk dan saluran irigasi dan
berkurangnya bencana banjir dan tanah longsor. Sementara itu kriteria mekanisme insentif
pengelolaan DAS disusun berdasarkan pertimbangan bahwa dana yang telah diperolehnya
dari masyarakat atau Pemerintah Daerah di daerah hilir DAS akan digunakan untuk
memperbaiki pemanfaatan lahan di kawasan lindung atau daerah tangkapan air di daerah
https://kelembagaandas.wordpress.com/kelembagaanpengelolaandas/hendroprahasto/ 5/14
6/6/2016 Hendro Prahasto | Kelembagaan DAS
memperbaiki pemanfaatan lahan di kawasan lindung atau daerah tangkapan air di daerah
hulu DAS. Perbaikan pemanfaatan lahan di kawasan lindung akan diprioritaskan di areal
pertanian, areal pemukiman dan kawasan hutan.
1. Pembiayaan dalam pengelolaan DAS
Dari analisis AHP yang terkait dengan elemen kriteria (level 2) yaitu, prioritas jasa lingkungan
yang dibutuhkan oleh masyarakat atau Pemerintah Daerah di daerah hilir DAS berdasarkan
data yang dikumpulkan dari beberapa instansi pemerintah di tiga Pemerintah Kabupaten
(Bandung, Purwakarta dan Karawang) dan satu Pemerintah Provinsi (Jawa Barat) diperoleh
hasil sebagai berikut.
Namun, bila dilihat dari sisi lokasi penelitian (dari hulu sampai hilir) nampak ada perbedaan
dalam menetapkan elemen prioritas. Instansi pemerintah di Kabupaten Bandung menempatan
elemen kesinambungan pasokan air tanah & permukaan dan elemen berkurangnya bencana
banjir dan tanah longsor mempunyai prioritas yang sama. Pemberian nilai jasa lingkungan
berkurangnya bencana banjir dan tanah longsor yang lebih tinggi dibandingkan dengan
instansi pemerintah di Kabupaten Purwakarta dan Karawang serta Provinsi Jawa Barat dapat
dimaklumi, mengingat di wilayah Kabupaten Bandung akhirakhir ini sering terjadi bencana
banjir yang menelan korban jiwa dan harta yang tidak sedikit. Banjir pada akhir Februari 2005
yang terjadi di kawasan Bandung Selatan, seperti di Cisirung, Dayeuhkolot, dan Majalaya,
membuat perusahaan tekstil di Bandung merugi hingga Rp 900 miliar. Sebanyak 45 industri
harus mengeluarkan dana tambahan untuk dapat berproduksi kembali. Selain itu, masih
banyak lagi (lebih dari 200 unit) usaha kecil menengah dan rumah tangga di Majalaya
menjadim korban banjir, sehingga bila seluruhnya dijumlah besaranya kerugian akan lebih
besar lagi. Selain itu juga masih ada kerugian lain yaitu berupa pembayaran klaim produksi
yang tertunda kepada pembeli di luar negeri mengeluarkan biaya yang jumlahnya tidak
https://kelembagaandas.wordpress.com/kelembagaanpengelolaandas/hendroprahasto/ 6/14
6/6/2016 Hendro Prahasto | Kelembagaan DAS
yang tertunda kepada pembeli di luar negeri mengeluarkan biaya yang jumlahnya tidak
sedikit (Kompas, 2005). Sebaliknya, di Kabupaten Purwakarta dan Karawang bencana banjir
dan tanah longsor relative jarang terjadi.
Setelah analisis level 2 diselesaikan maka analisis dilanjutkan pada level 3 yaitu prioritas
pemilihan alternative skema pembiayaan rehabilitasi kawasan lindung atau daerah tangkapan
air yang dilakukan oleh masingmasing Pemerintah Daerah baik di daerah hulu maupun di
daerah hilir.
Hasil analisis menunjukkan bahwa pembiayaan rehabilitasi kawasan lindung atau daerah
tangkapan air di daerah hulu DAS cenderung dilakukan melalui program kolaborasi hulu‑hilir
(54,6%), bantuan subsidi dari hilir ke hulu (28,6%) dan pengembalian pajak air yang dipungut
oleh Pemerintah Daerah di daerah hilir ke Pemerintah Daerah di daerah hulu Good Forest
Governance Sebagai Syarat Pengelolaan Hutan Lestari 126 (16,8%). Rincian tingkat prioritas
alternative pembiayaan rehabilitasi di kawasan lindung atau daerah tangkapan air dapat
diikuti pada Tabel 3.
Sementara itu alternative pembiayaan pengelolaan DAS melalui bantuan subsidi dari
Pemerintah Daerah di daerah hilir ke Pemerintah Daerah daerah hulu menempati peringkat
kedua (28,6%), sedangkan alternative pembiayaan melalui pengembalian pajak air yang telah
dipungut oleh Pemerintah Daerah di daerah hilir ke Pemerintah Daerah di daerah hulu
menempati peringkat terakhir. Alternatif pembiayaan pengelolaan DAS melalui skema ini
https://kelembagaandas.wordpress.com/kelembagaanpengelolaandas/hendroprahasto/ 7/14
dipungut oleh Pemerintah Daerah di Hendro Prahasto | Kelembagaan DAS
6/6/2016 daerah hilir ke Pemerintah Daerah di daerah hulu
menempati peringkat terakhir. Alternatif pembiayaan pengelolaan DAS melalui skema ini
merupakan pilihan terakhir dari seluruh Pemerintah Daerah di wilayah hulu‑hilir. Dipilihnya
skema ini sebagai pilihan terakhir oleh semua Pemerintah Daerah, mungkin dikarenakan
sampai saat ini belum tersedia mekanisme transfer pajak dari daerah satu ke daerah lain.
Disamping itu juga besarnya pajak air yang dipungut nilainya relative kecil sehingga nilainya
tidak seimbang dengan kebutuhan biaya yang diperlukan untuk kegiatan rehabilitasi kawasan
lindung atau daerah tengkapan air di daerah hulu DAS.
2. Insentif dalam pengelolaan DAS
Hasil analisis pada elemen level 2 (criteria) menunjukkan bahwa elemen kawasan hutan (hutan
produksi dan hutan lindung) menduduki peringkat pertama dalam memperoleh insentif
pembiayaan rehabilitasi di kawasan lindung. Sementara itu prioritas kedua dan ketiga insentif
pembiayaan rehabilitasi kawasan lindung berturut‑turut diberikan kepada elemen areal
pertanian dan areal pemukiman. Nilai prioritas insentif pembiayaan rehabilitasi menurut
fungsi pemanfaatannya sangat signifikan antara satu dengan yang lain. Nilai prioritas insentif
kawasan hutan adalah di atas 4 kali lebih penting dibandingkan dengan areal pemukiman, dan
hampir 2,5 kali lebih penting dibandingkan dengan areal pertanian. Rincian nilai prioritas
pemberian insentif pembiayaan kawasan lindung atau daerah tangkapan air di daerah hulu
DAS menurut lokasi penelitian adalah sebagai berikut:
insentif untuk merelokasi atau memindahkan areal pemukiman dari kawasan lindung ke luar
kawasan lindung atau pembuatan sumur‑sumur resapan atau situ di areal pemukiman; dan
atau pemberian insentif merubah fungsi hutan dari fungsi produksi menjadi fungsi lindung.
Hasil analisis pada level 3 menunjukkan bahwa sebagian besar (51,3%) instansi pemerintah di
lokasi penelitian memilih alternative kedua, yaitu pemberian subsidi kepada petani atau
pemilik lahan tidur atau lahan tidak produktif dengan bibit tanaman produktif yang ramah
lingkungan dan atau pemberian subsidi untuk merehabilitasi kawasan hutan yang rusak atau
gundul. Sementera itu peringkat kedua (38,6%) diduduki oleh pemberian insentif kepada
petani atau pemilik lahan sebagai kompensasi akibat perubahan pemanfaatan lahan di
kawasan lindung. Peringkat ketiga atau terendah (10,1%) adalah keringan pembayaran PBB
bagi petani atau pemilik lahan yang telah memanfaatkan lahannya sesuai dengan
peruntukannya. Dibandingkan dengan alternative yang lain, alternative ini tidak populer
karena nilai kompensasinya dianggap terlalu kecil sehingga kurang menarik bagi petani atau
pemilik lahan untuk merubah pemanfaatan lahannya. Proporsi alternative pemberian insentif
rehabilitasi kawasan lindung tidak banyak berbeda di ketiga Pemerintah Kabupaten dan satu
Pemerintah Provinsi sebagaimana dimuat dalam Tabel 5.
keringanan pembayaran
PBB. Hasil uji sidik
ragam yang dilakukan
terhadap tiga alternatif
skema pemberian
insentif rehabilitasi
kawasan lindung,
menunjukkan hasil yang
singnifikan. Ini berati ke Grafik 4. Skema pemberian insentif rehabilitasi kawasan lindung
tiga alternatif skema
pemberian insentif rehabilitasi kawasan lindung tersebut mempunyai bobot yang berbeda.
B. Peran Pemangku Kepentingan Dalam Pengelolaan DAS
1. Pengelolaan DAS Lintas Provinsi
Dari hasil analisis diperoleh simpulan bahwa pemangku kepentingan yang terlibat dalam
pengelolaan DAS lintas provinsi di tingkat pusat hanya terbatas pada pemangku kepentingan
pemerintah, sedangkan pemangku kepentingan yang berasal dari dunia usaha, organisasi non
pemerintah/lembaga swadaya masyarakat (Ornop/LSM) dan masyarakat tidak/belum terlibat
dalam pengambilan keputusan.
Pemangku
https://kelembagaandas.wordpress.com/kelembagaanpengelolaandas/hendroprahasto/ 9/14
6/6/2016 Hendro Prahasto | Kelembagaan DAS
Pemangku
kepentingan
pemerintah yang
terlibat dalam
pengambilan
keputusan di tingat
pusat adalah Badan
Perencanaan Nasional
(Bapenas),
Kementerian
Lingkungan Hidup
(KLH), Departemen Kehutanan (Dephut), Departemen Pekerjaan Umum (Dep PU),
Departemen Pertanian (Deptan), Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral (DepESDM).
Dan Departemen Dalam Negeri (Depdagri). Namun demikian, keterlibatan instansi
pemerintah di tingkat pusat hanya terbatas pada kegiatan perencanaan, sedangkan kegiatan
pelaksanaan dan monitoring & evaluasi (monev) dilakukan oleh instansi yang ada di tingkat
provinsi dan kabupaten/kota (Tabel 6)
Pemangku kepentingan yang terlibat dalam kegiatan perencanaan DAS lintas provinsi hanya
terbatas pada pemangku kepentingan dari pemerintah yang terdiri dari Bapenas, Kementerian
Lingkungan Hidup, Departemen Kehutanan, Departemen Pekerjaan Umum, Departemen
Pertanian, Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral dan Departemen Dalam Negeri.
Seluruh pemangku kepentingani pemerintah tersebut memiliki kewenangan yang besar dan
power yang kuat dalam menyusun perencanaan DAS lintas provinsi, walaupun rencana yang
disusun tersebut seringkali masih bersifat umum dan sektoral. Rencana sektoral yang telah
disusun di tingkat pusat tersebut selanjutnya diharapkan dapat menjadi panduan bagi instansi
teknis yang ada di provinsi/kabupaten. Rencana yang disusun pada tataran pusat secara
sektoral tersebut dapat berakibat fatal karena pada obyek yang sama seringkali memiliki
perencanaan sektoral yang tidak sinkron antar sektor, sehingga untuk mengoperasionalkan
pelaksanaan kegiatan di lapang banyak mengalami kesulitan.
2. Pengelolaan DAS Lintas Kabupaten
Pemangku kepentingan yang terlibat dalam pengelolaan DAS lintas kabupaten relatif banyak,
baik yang berasal dari instansi pemerintah maupun dari dunia usaha (Badan Usaha Milik
Negara/BUMN, Badan Usaha Milik Daerah/BUMD, Badan Usaha Milik Swasta/BUMS),
Ornop/LSM, dan Perguruan Tinggi.
Keterlibatan antar pemangku kepentingan dalam kegiatan pengelolaan DAS cukup bervariasi.
Namun pada umumnya keterlibatan pemangku kepentingan dari Instansi Pemerintah di
tataran provinsi hanya pada kegiatan perencanaan dan monev, sedangkan pemangku
kepentingan pemerintah dan pemangku kepentingan BUMN di tataran kabupaten pada
umumnya terlibat pada seluruh kegiatan pengelolaan (perencanaan, pelaksanaan dan monev)
DAS. Sementara itu kegiatan pemangku kepentingan BUMD dan BUMS pada umumnya
hanya di kegiatan pelaksanaan, sedangkan Ornop/LSM dan Perguruan Tinggi pada umumnya
di kegiatan perencanaan dan monev. Rincian keterlibatan pemangku kepentingan pada
kegiatan pengelolaan DAS lintas kabupaten disajikan pada Tabel 7.
a. Perencanaan
Pemangku
https://kelembagaandas.wordpress.com/kelembagaanpengelolaandas/hendroprahasto/ 10/14
6/6/2016 Hendro Prahasto | Kelembagaan DAS
Pemangku
kepentingan yang
terlibat dalam
perencanaan DAS
lintas kabupaten masih
didominasi oleh
pemangku
kepentingan
pemerintah, yaitu
Bappeda Prov/Kab,
Bapedalda/Dinas
Lingkungan Hidup,
BPDAS, Dinas
Kehutanan Provinsi,
Dinas Pertanian
Provinsi, Dinas
Pengelolaan
Sumberdaya Air, Dinas
Pertambangan Prov.
Selain pemangku
kepentingan
pemerintah, hanya stateholder yang berasal dari BUMN (Perum Perhutani dan Perum Jasa
Tirta) yang terlibat dalam kegiatan perencanaan DAS. Pada umumnya pemangku kepentingan
pemerintah memiliki kewenangan yang besar dan power yang kuat, kecuali Bapedalda.
Sementara itu Perum Perhutani dan Perum Jasa Tirta walaupun memiliki power yang kuat
namun tidak memiliki kewenangan yang besar dalam menyusun rencana pengelolaan DAS
lintas kabupaten.
b. Pelaksanaan
Pemangku kepentingan yang terlibat dalam pelaksanaan DAS lintas kabupaten didominasi
oleh pemangku kepentingan dari pemerintah kabupaten yang umumnya juga terlibat dalam
kegiatan perencanaan DAS lintas kabupaten. Selain pemangku kepentingan pemerintah juga
terlibat pemangku kepentingan yang berasal dari BUMN (Perum Perhutani dan Perum Jasa
Tirta), BUMD (Perusahaan Air Minum Daerah) dan BUMS (swasta). Dilihat dari sisi perannya
dalam pengelolaan DAS, para pemangku kepentingan dari pemerintah memiliki kewenangan
yang besar dan power yang sangat kuat. Sebaliknya, pemangku kepentingan yang berasal sari
BUMN, BUMD dan BUMS memiliki kewenangan yang kecil namun memiliki power yang
tinggi.
c. Monitoring dan Evaluasi
Pemangku kepentingan yang terlibat dalam monev pengelolaan das cukup banyak dan
didominasi oleh pemangku kepentingan dari pemerintah, yang umumnya terlibat dalam
kegiatan pelaksanaan pengelolaan DAS. Selain pemangku kepentingan pemerintah monev
pengelolaan DAS juga dilakukan oleh Ornop/LSM dan Perguruan Tinggi. Namun, sistem
monev yang dilakukan baik oleh pemangku kepentingan pemerintah maupun Ornop/LSM
dan Perguruan tinggi dalam pengelolaan DAS masih bersifat sektoral. Dengan sistem monev
yang masih bersifat sektoral maka hasil monev yang dilakukan oleh masingmasing pemangku
kepentingan belum dapat dimanfaatkan secara optimal dalam baik dalam melakukan evaluasi
https://kelembagaandas.wordpress.com/kelembagaanpengelolaandas/hendroprahasto/ 11/14
6/6/2016 Hendro Prahasto | Kelembagaan DAS
kepentingan belum dapat dimanfaatkan secara optimal dalam baik dalam melakukan evaluasi
kegiatan yang telah dilaksanakan maupun untuk menyusun perbaikan yang akan dilakukan
secara terpadu lintas sektoral dan lintaswilayah.
3. Pengelolaan DAS Lokal (Satu Kabupaten)
Hampir seluruh pemangku kepentingan pemerintah di tataran ini (Dinas PSDA/ Pengairan
Kab, Dinas Kehutanan Kab, Dinas Pertanian Kab, dan Dinas Pertambangan Kab) terlibat dalam
seluruh kegiatan pengelolaan DAS (perencanaan, pelaksanaan dan monev).
Pemangku
kepentingan seperti
Bappeda Kab dan
Bapedalda/Dinas
Lingkungan Hidup
Kab lebih
berkonsentrasi pada
kegiatan perencanaan
dan monev, sedangkan
Ornop/LSM dan
Perguruan Tinggi
hanya terlibat dalam
kegiatan perencanaan
dan monev. Rincian
keterlibatan masing‑
masing pemangku kepentingan dalam kegiatan pengelolaan DAS lokal dapat dilihat pada
Tabel 8.
a. Perencanaan
Perencanaan DAS lokal seluruhnya ditangani oleh pemangku kepentingan pemerintah, seperti
Bappeda kabupaten, Bapedalda/Dinas Lingkungan Kabupaten, Dinas kehutanan Kabupaten,
Dinas Pertanian Kabupaten, Dinas Pengelolaan Sumberdaya Alam Kabupaten, Dinas
Pertambangan Kebupaten. Umumnya instansi tersebut memiliki kewenangan yang besar dan
power yang kuat kecuali Bapedalda/Dinas Lingkungan Hidup. Walaupun Dinas Lingkungan
Hidup ini memiliki kewenangan yang cukup besar dalam perencanaan DAS lokal namun tidak
memiliki power yang kuat untuk dibandingkan dengan instansi teknis lainnya di daerah.
b. Pelaksanaan
Seperti halnya dalam pengelolaan DAS lintas kabupaten, peran pemangku kepentingan
pemerintah kabupaten dalam pengelolaan DAS lokal sangat besar. Staheholder pemerintah
tersebut memiliki kewenangan yang besar dan power yang kuat, sedangkan pemangku
kepentingan dari BUMN, BUMD dan BUMS umumnya memiliki kewenangan yang kecil
namun memiliki power yng besar dalm pengelolaan DAS.
c. Monitoring dan Evaluasi
Sepertihalnya sistem Monev DAS lintas kabupaten, pemangku kepentingan yang terlibat
https://kelembagaandas.wordpress.com/kelembagaanpengelolaandas/hendroprahasto/ 12/14
6/6/2016 Hendro Prahasto | Kelembagaan DAS
Sepertihalnya sistem Monev DAS lintas kabupaten, pemangku kepentingan yang terlibat
didominasi oleh instansi teknis pemerintah yang ada di daerah tersebut. Sistem monev yang
ada di DAS lokal juga masih dilakukan secara sektoral, walaupun pemangku kepentingan
yang terlibat di dalamnya berada dalam satu payung institusi pemerintah kabupaten.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Pembiayaan rehabilitasi kawasan lindung:
a. Nilai prioritas jasa lingkungan yang dibutuhkan oleh masyarakat adalah kesinambungan
pasokan air tanah (48,4%), menurunnya laju pendangkalan sungai, waduk dan saluran
irigasi (30,8%) dan berkurangnya bencana banjir (20,7%)
b. Skema pembiayaan untuk rehabilitasi kawasan lindung adalah melalui program
kolaborasi rehabilitasi (54,6%), bantuan subsidi rehabilitasi (28,6%) dan pengembalian pajak
air yang telah dipungut oleh daerah hilir (16,8%).
2. Insentif rehabilitasi kawasan lindung
a. Prioritas insentif ditujukan untuk kawasan hutan lindung (60,5%), areal pertanian
(25,4%) dan areal pemukiman (14,1%).
b. Pemanfaatan insentif digunakan untuk merehabilitasi lahan (kawasan hutan, areal
pertanian dan pemukiman) yang tidak produktif, perubahan pola pemanfaatan lahan
(38,6%) dan insentif pembayaran PBB bagi lahan yang telah sesuai pemanfaatannya (10,1%).
3. Pemangku kepentingan yang terlibat dalam pengelolaan DAS lintas provinsi di tingkat
pusat hanya terbatas pada pemangku kepentingan dari instansi pemerintah, sedangkan
pemangku kepentingan yang berasal dari dunia usaha, organisasi non pemerintah/lembaga
swadaya masyarakat (Ornop/LSM) dan masyarakat tidak/belum terlibat dalam
pengambilan keputusan.
4. Keterlibatan pemangku kepentingan dari Instansi Pemerintah di tataran provinsi hanya
pada kegiatan perencanaan dan monev, sedangkan pemangku kepentingan pemerintah
dan pemangku kepentingan BUMN di tataran kabupaten pada umumnya terlibat pada
seluruh kegiatan pengelolaan (perencanaan, pelaksanaan dan monev) DAS.
B. Saran
Agar pelaksanaan rehabilitasi areal DAS melalui mekanisme pembiayaan dan insentif dapat
terlaksana, maka perlu adanya payung kerjasama antar pemerintahan daerah hulu dan
pemerintahan daerah hilir DAS.
DAFTAR PUSTAKA
Leave a Comment »
No comments yet.
RSS (Really Simple Syndication) feed for comments on this post. TrackBack URI (Uniform
Resource Identifier)
The Shocking Blue Green Theme. Blog at WordPress.com.
https://kelembagaandas.wordpress.com/kelembagaanpengelolaandas/hendroprahasto/ 14/14