Anda di halaman 1dari 14

6/6/2016 Hendro 

Prahasto | Kelembagaan DAS

Kelembagaan DAS

Hendro Prahasto

PERANAN PEMERINTAH DAERAH DALAM
PENGELOLAAN DAS

Oleh:  Hendro  Prahasto,  Peneliti  Pada  Pusat  Penelitian  Sosial  Ekonomi  dan  Kebijakan
Kehutanan, Bogor

Dalam: Good Forest Governance Sebagai Syarat Pengelolaan Hutan Lestari

Ringkasan

Dengan  diberlakukannya  Undang  Undang  Nomor  22  Tahun  1999  yang  direvisi  menjadi
Undang  Undang  Nomor  32  Tahun  2004  dan  Peraturan  Pemerintah  Nomor  38  Tahun  2007,
maka  kewenangan  Pemerintahan  Daerah  dalam  pengelolaan  sumber  daya  alam  sangat
beragam.  Dengan  demikian  penyelenggaraan  pengelolaan  DAS  pada  era  otonomi  daerah
menemui  beberapa  kendala,  khususnya  untuk  DAS  lintas  kabupaten/  propinsi,  karena
hambatan  koordinasi  dan  integrasi  program  dalam  DAS  antar  kabupaten/kota  propinsi.
Kewenangan  Pemerintahan  Daerah  Provinsi/Kabupaten/Kota  dalam  pengelolaan  DAS  hanya
terbatas  pada  pertimbangan  teknis  dalam  penyusunan  rencana  pengelolaan,dan
penyelenggaraan  pengelolaan  DAS  skala  provinsi/kabupaten/kota.  Penetapan  DAS  prioritas
dan  penyusunan  rencana  pengelolaan  DAS  terpadu  masih  ditangani  oleh  Pemerintah  Pusat.
Padahal,  pengelolaan  DAS  harus  dilakukan  secara  terpadu  dan  menyeluruh  dan  harus
dipandang  sebagai  satu  sistem  yang  utuh  dari  hulu  sampai  hilir,  yang  melibatkan  seluruh
pemangku  kepentingan  yang  ada  di  daerah  DAS  tersebut.  Mengingat  hal  tersebut,  perlu
adanya  pembagian  peran  yang  tepat  dan  selaras  baik  antar  wilayah  kabupaten/kota  dalam
propinsi (vertikal) maupun antar institusi dalam kabupaten/kota (horisontal) secara harmonis.
Salah  satu  pembagian  peran  tersebut  adalah  berkaitan  dengan  kontribusi  pembiayaan  dari
daerah  hilir  ke  hulu  untuk  merehabilitasi  lahan  di  kawasan  lindung  dan  pemberian  insentif
sebagai kompensasi agar fungsi kawasan lindung tetap terjaga.

Kata kunci : peran, insentif hulu‑hilir, daerah aliran sungai

I. PENDAHULUAN

Keberadaan  Daerah  Aliran  Sungai  (DAS)  secara  yuridis  formal  tertuang  dalam  Peraturan
https://kelembagaandas.wordpress.com/kelembagaan­pengelolaan­das/hendro­prahasto/ 1/14
6/6/2016 Hendro Prahasto | Kelembagaan DAS

Keberadaan  Daerah  Aliran  Sungai  (DAS)  secara  yuridis  formal  tertuang  dalam  Peraturan
Pemerintah  (PP)  Nomor  33  Tahun  1970  tentang  Perencanaan  Hutan  yang  kemudian  direvisi
menjadi PP Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan. DAS adalah suatu daerah
tertentu  yang  bentuk  dan  sifat  alamnya  sedemikian  rupa  sehingga  merupakan  kesatuan
dengan sungai dan anak‑anak sungainya yang melalui daerah tersebut dalam fungsinya untuk
menampung  air  yang  berasal  dari  curah  hujan  dan  sumber  air  lainnya  dan  kemudian
mengalirkannya melalui sungai utamanya (Departemen Kehutanan, 2001).

Pengelolaan DAS adalah bentuk pengembangan wilayah yang menempatkan DAS sebagai unit
pengelolaan dimana bagian hulu dan bagian hilirnya mempunyai keterkaitan biofisik melalui
daur  hidrologi.  Oleh  karena  itu  perubahan  penggunaan  lahan  di  daerah  hulu  akan
memberikan  dampak  di  daerah  hilirnya  dalam  bentuk  fluktuasi  debit  air,  kualitas  air  dan
sediment  serta  bahan‑bahan  terlarut  di  dalamnya.  Sejumlah  DAS  di  Jawa  saat  ini  banyak
mengalami  kerusakan  sehingga  fungsi  DAS  sebagai  pengatur  tata  air  tidak  dapat  bekerja
secara optimal. Sebanyak 61 kabupaten di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur memiliki
ancaman bencana ekologis yang tinggi, karena wilayah itu mengalami deforestasi yang sangat
besar selama dua tahun terakhir (Suara Pembaruan, 2006). Saat ini, luas kawasan hutan yang
terdegradasi di Pulau Jawa sudah mencapai 330.000 hektare dan deforestasi juga terjadi di 76
titik kawasan konservasi dan hutan lindung yang berada di lima provinsi di Pulau Jawa selain
DKI Jakarta. Kerugian ekonomi akibat degradasi hutan Pulau Jawa diperkirakan tidak kurang
dari Rp 8,37 triliun per tahun, sedangkan akibat kritisnya areal DAS/Sub‑ DAS seluas 10,7 juta
hektare  akan  menimbulkan  kerugian  ekonomi  sekitar  Rp  37  triliun  per  tahun  (Suara
Pembaruan,  2006).  Angka  kerugian  akibat  degradasi  hutan  merupakan  nilai  kehilangan
subsidi langsung ekologis dari kawasan konservasi dan hutan lindung untuk sektor ekonomi
dan  sosial  kemasyarakatan.  Sementara  itu  angka  kerugian  akibat  kritisnya  DAS  berasal  dari
kerugian akibat bencana ekologis seperti banjir, longsor dan kekeringan.

Salah  satu  program  penyelamatan  lingkungan  dapat  dilakukan  antara  lain  adalah  melalui
program pengelolaan DAS terpadu, yang melibatkan pemangku kepentingan lintas sector dan
lintas wilayah. Pengelolaan  DAS  merupakan  kegiatan  yang  multi  dimensi seperti berdimensi
biofisik  (pengendalian  erosi,  pencegahan  dan  penanggulangan  lahan  kritis,  pengelolaan
tanaman  pertanian  konservatif);  berdimensi  kelembagaan  (insentif  dan  disinsentif,  peraturan
yang  berkaitan  dengan  tata  ruang  dan  ekonomi);  berdimensi  social  (terkait  dengan  social
budaya  masyarakat  setempat).  Dengan  demikian  pengelolaan  DAS  tidak  dapat  dilakukan
secara  sektoral  karena  ada  keterkaitan  antar  sector  sehingga  perlu  dilakukan  secara  holistic
dengan  melibatkan  seluruh  pemangku  kepentingan.  Menurut  PP  38  Tahun  2007  tentang
Pembagian  Urusan  Pemerintahan  antara  Pemerintah,  Pemerintah  Daerah  Provinsi,  dan
Pemerintah  Daerah  Kabupaten/Kota,  kewenangan  Pemerintahan  Daerah  Kabupaten/Kota
dalam  pengelolaan  DAS  hanya  terbatas  pada  pertimbangan  teknis  penyusunan  rencana
pengelolaan,  penyelenggaraan  pengelolaan  DAS  skala  kabupaten/kota.  Keterbatasan
kewenangan  yang  sama  juga  berlaku  bagi  Pemerintahan  Daerah  Provinsi.  Sementara  itu,
penetapan DAS prioritas dan penyusunan rencana pengelolaan DAS terpadu masih ditangani
oleh Pemerintah Pusat.

Kawasan DAS hulu memiliki potensi ekonomi yang cukup besar, namun karena pertimbangan
perlindungan  kawasan,  baik  ekosistem  di  pegunungan  maupun  pemukiman  yang  jauh  di
bawahnya  sehingga  akhirnya  tidak  bisa  dimanfaatkan.  Agar  kawasan  lindung  atau  daerah
tangkapan  air  tetap  dipertahankan  sesuai  dengan  fungsinya  maka  perlu  adanya  kompensasi
yang diberikan kepada petani atau pemilik lahan di daerah tersebut. Salah satu sumber dana

kompensasi  adalah  subsidi  silang  dari  penduduk  di  daerah  hilir  DAS  untuk  masyarakat  2/14
https://kelembagaandas.wordpress.com/kelembagaan­pengelolaan­das/hendro­prahasto/ di
6/6/2016 Hendro Prahasto | Kelembagaan DAS

kompensasi  adalah  subsidi  silang  dari  penduduk  di  daerah  hilir  DAS  untuk  masyarakat  di
daerah  hulu  DAS.  Untuk  dapat  merealisasikan  perlindungan  kawasan  lindung  atau  daerah
tangkapan  air  perlu  ada  kerjasama  dan  saling  pengertian  antara  Pemerintah  Daerah‑
Pemerintah  Daerah  yang  ada  di  sekitar  kawasan  tersebut.  Dengan  adanya  pembayaran
kompensasi tersebut diharapkan masyarakat di daerah hulu mengkonservasi kawasan lindung
atau daerah tangkapan air. Dengan demikian masyarakat di daerah hilir dapat terhindar dari
bencana  yang  sering  terjadi  akhir‑akhir  ini,  seperti  banjir  di  musim  hujan,  kekeringan  di
musim  kemarau,  serta  sedimentasi  sungai,  waduk  dan  saluran  irigasi.  Oleh  sebab  itu  dalam
pengelolaan kawasan konservasi di DAS hulu tidak terlepas dari peran Pemerintahan Daerah
dan partisipasi aktif seluruh pemangku kepentingan di daerah tersebut.

II. METODA PENELITIAN

A. Lokasi Penelitian

Penelitian  ini  dilakukan  dengan  mengambil  contoh  instansi  pemerintah  di  tiga  Pemerintah
Kabupaten yang masuk wilayah DAS Citarum dan Pemerintah Provinsi dimana DAS Citarum
berada.  Pemilihan  lokasi  penelitian  (kabupaten)  dilakukan  dengan  mempertimbangkan
hubungan  hulu‑hilir.  Ketiga  kabupaten  tersebut  adalah  Kabupaten  Bandung  (DAS  bagian
hulu),  Kabupaten  Purwakarta  (DAS  bagian  tengah),  dan  Kabupaten  Karawang  (DAS  bagian
hilir).

B. Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan di instansi pemerintah yang terkait dengan pembiayaan dan insentif
dalam  pengelolaan  DAS.  Jumlah  instasi  yang  disurvei  tersebar  di  Kabupaten  Bandung  (9
instansi), Kabupaten Purwakarta (10 instansi), Kabupaten Karawang (7 instansi) dan Provinsi
Jawa  Barat  (11  instansi).  Instansi  pemerintah  yang  disurvei  adalah  BAPPEDA,  Dinas
Kehutanan,  Dinas  Pertanian,  Dinas  Perikanan,  Dinas  Perkebunan,  Dinas  Pengairan,  Dinas
Pemukiman, Dinas Lingkungan Hidup, Perum Perhutani, Perusahaan Air Minum Daerah dan
Perum Jasa Tirta II.

Data  dikumpulkan  secara  langsung  di  instansi  pemerintah  yang  terkait  dengan  pengelolaan
DAS  dengan  melakukan  wawancara  dengan  pejabat  yang  paham  akan  kegiatan  pengelolaan
DAS.  Dari  masingmasing  instansi  pemerintah  ditetapkan  sebanyak  dua  pejabat  untuk
mewakili instansinya. Data yang dikumpulkan adalah pendapat atau pandangan dari masing‑
masing  instansi  pemerintah  yang  berkaitan  dengan  pembiayaan  dan  insentif  dalam
pengelolaan  DAS,  dengan  cara  pemberian  nilai  skoring  atau  peringkat  dari  masing‑masing
kriteria dan alternatif.

C. Analisis Data

Masalah  pembiayaan  dan  insentif  dalam  pengelolaan  DAS  memerlukan  solusi  yang  tepat.
Untuk itu perlu diketahui factor‑faktor apa yang berpengaruh sehingga Pemerintah Daerah di
wilayah DAS hilir bersedia memberikan kontribusi pembiayaan untuk rehabilitasi lingkungan
ke  Pemerintah  Daerah  di  wilayah  DAS  hulu.  Dengan  menggunakan  factorfaktor  yang
berpengaruh  tersebut  maka  berbagai  alternative  kebijakan  pembiayaan  pengelolaan  DAS
dapat  diusulkan  lebih  efektif.  Demikian  pula  dengan  mengetahui  criteria  prioritas  lokasi
kegiatan  insentif  rehabilitasi  lingkungan  di  wilayah  DAS  hulu  maka  alternative  kebijakan
insentif rehabilitasi lingkungan di DAS hulu dapat ditetapkan secara tepat.

Untuk  menentukan  factor  dan  alternative  baik  dalam  pembiayaan  maupun  insentif
https://kelembagaandas.wordpress.com/kelembagaan­pengelolaan­das/hendro­prahasto/ 3/14
6/6/2016 Hendro Prahasto | Kelembagaan DAS

Untuk  menentukan  factor  dan  alternative  baik  dalam  pembiayaan  maupun  insentif
pengelolaan  DAS  digunakan  metoda Analytic  Hierarchy  Process  (AHP)  yang  dikembangkan
oleh Saaty (1980). AHP digunakan untuk memperoleh skala rasio dari beberapa perbandingan
berpasangan  baik  yang  bersifat  diskrit  maupun  kontinu.  Perbandingan  berpasangan  tersebut
dapat  diperoleh  melalui  pengukuran  actual  atau  pengukuran  relative  dari  derajat  kesukaan,
atau kepentingan atau perasaan.

Penggunaan AHP  diawali  dengan  membuat  struktur  hierki  atau  jaringan  dari  permasalahan
yang akan diteliti. Menurut Teknomo dkk (1999) ada beberapa prosedur yang harus dilakukan,
yaitu:

Mendefinisikan struktur hierarki masalah yang akan diselesaikan,
Melakukan pembobotan elemen‑elemen pada setiap tataran dari hierarki,
Menghitung prioritas dan konsistensi pembobotan,
Menampilkan urutan dari alternative‑alternatif yang dipertimbangkan.

Di  dalam  hierarki  terdapat  tujuan,  factor/criteria  dan  alternatif‑alternatif  yang  akan  dibahas.
Struktur hierarki pembiayaan pengelolaan DAS disusun berdasarkan 3 elemen. Ketiga elemen
tersebut  adalah  (i)  kesinambungan  pasokan  air  permukaan  dan  air  tanah,  (ii)  turunnya  laju
pendangkalan  sungai,  waduk  dan  saluran  irigasi  dan  (iii)  berkurangnya  bencana  banjir  dan
tanah  longsor.  Sementara  itu  kerusakan  kawasan  lindung  atau  resapan  air  di  DAS  wilayah
hulu dapat dapat dikelompokan menjadi tiga elemen, yaitu kerusakan kawasan lindung di (i)
areal  pertanian,  (ii)  areal  pemukiman  dan  (iii)  kawasan  hutan.  Di  ketiga  areal  tersebut
merupakan  elemen  penting  yang  perlu  untuk  dibenahi  pemanfaatannya  sesuai  dengan
peruntukannya  sehingga  tidak  menimbulkan  dampak  negatif  di  daerah  hilirnya,.  Untuk  itu
perlu adanya insentif atau disinsentif yang diberikan kepada pemilik atau penguasa lahan di
kawasan  lindung  agar  pemanfaatannya  tidak  merusak  lingkungan.  Struktur  hierarki
pembiayaan pengelolaan DAS dan insentif pengelolaan DAS dapat dilihat pada Gambar 1 dan
Gambar 2.

Garis‑garis  yang
menghubungkan  kotak‑kotak
antar  level  merupakan
hubungan  yang  perlu  diukur
dengan  perbandingan
berpasangan  dengan  arah  ke
level yang lebih tinggi. Level 1
merupakan  tujuan  dari
penelitian  yaitu  mekanisme
pembiayaan  dan  insentif
dalam  pengelolaan  DAS.
Gambar 1. Struktur hierarki pembiayaan pengelolaan DAS Sementara  itu  level  2  dalam
mekanisme  pembiayaan
pengelolaan  DAS  adalah  elemen  jasa  lingkungan  yang  diharapkan  akan  diterima  oleh
masyarakat  atau  Pemerintah  Daerah  di  daerah  hilir  DAS  sebagai  kompensasi  dari
keterlibatannya dalam pembiayaan pengelolaan DAS di daerah hulu, sedangkan level 2 dalam
mekanisme insentif dalam pengelolaan DAS adalah elemen kawasan lindung yang akan diberi
insentif  dalam  pengelolaan  DAS.  Level  3  merupakan  alternative  penyaluran  dana  hilir‑hulu
dan alternatif penyaluran atau pemberian insentif untuk merehabilitasi kawasan lindung.

Penentuan  tingkat
https://kelembagaandas.wordpress.com/kelembagaan­pengelolaan­das/hendro­prahasto/ 4/14
6/6/2016 Hendro Prahasto | Kelembagaan DAS

Penentuan  tingkat
kepentingan  pada
setiap  level
terhadap  pendapat
pemangku
kepentingan
dilakukan  dengan
teknik  komparasi
berpasangan
(pairwise
comparison). Gambar 2. Struktur hierarki insentif dan disinsentif pengelolaan DAS
Teknik  komparasi
berpasangan  yang  digunakan
dalam  AHP  dilakukan
dengan cara membandingkan
antara  elemen  satu  dengan
elemen  yang  lainnya  dalam
satu  level  secara  berpasangan
sehingga  diperoleh  nilai
kepentingan  dari
masingmasing  elemen.
Penilaian  dilakukan  dengan
memberikan  bobot  numeric
pada  setiap  elemen  yang
dibandingkan  dengan
wawancara langsung  dengan
pemangku  kepentingan.
Untuk  mengkuantifikasikan
data  yang  bersifat  kualitatif
tersebut  digunakan  skala
banding berpasangan yang dikembangkan oleh Saaty (1980) seperti tercantum dalam Tabel 1.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Pembiayaan dan Insentif Pengelolaan DAS

Tujuan utama dari hirarki ini adalah menyusun Konsep Mekanisme Pembiayaan dan Insentif
dalam  Pengelolaan  DAS.  Beberapa  elemen  atau  kriteria  mekanisme  pembiayan  pengelolaan
DAS  dikembangkan  dengan  mempertimbangkan  bahwa  elemen‑elemen  tersebut  merupakan
faktor  dominan  yang  bermanfaat  bagi  daerah  hilir  sehingga  masyarakat  atau  Pemerintah
Daerah  di  daerah  hilir  bersedia  memberikan  kontribusi  terhadap  pembiayaan  rehabilitasi
kawasan lindung di daerah hulu DAS.

Elemen‑elemen  yang  dimaksud  adalah  tersedianya  kesinambungan  pasokan  air  tanah  dan
permukaan,  menurunnya  laju  pendangkalan  sungai,  waduk  dan  saluran  irigasi  dan
berkurangnya  bencana  banjir  dan  tanah  longsor.  Sementara  itu  kriteria  mekanisme  insentif
pengelolaan  DAS  disusun  berdasarkan  pertimbangan  bahwa  dana  yang  telah  diperolehnya
dari  masyarakat  atau  Pemerintah  Daerah  di  daerah  hilir  DAS  akan  digunakan  untuk

memperbaiki  pemanfaatan  lahan  di  kawasan  lindung  atau  daerah  tangkapan  air  di  daerah
https://kelembagaandas.wordpress.com/kelembagaan­pengelolaan­das/hendro­prahasto/ 5/14
6/6/2016 Hendro Prahasto | Kelembagaan DAS

memperbaiki  pemanfaatan  lahan  di  kawasan  lindung  atau  daerah  tangkapan  air  di  daerah
hulu  DAS.  Perbaikan  pemanfaatan  lahan  di  kawasan  lindung  akan  diprioritaskan  di  areal
pertanian, areal pemukiman dan kawasan hutan.

1. Pembiayaan dalam pengelolaan DAS

Dari analisis AHP yang terkait dengan elemen kriteria (level 2) yaitu, prioritas jasa lingkungan
yang  dibutuhkan  oleh  masyarakat  atau  Pemerintah  Daerah  di  daerah  hilir  DAS  berdasarkan
data  yang  dikumpulkan  dari  beberapa  instansi  pemerintah  di  tiga  Pemerintah  Kabupaten
(Bandung,  Purwakarta  dan  Karawang)  dan  satu  Pemerintah  Provinsi  (Jawa  Barat)  diperoleh
hasil sebagai berikut.

Tabel  2  menunjukkan  bahwa  secara


keseluruhan  instansi  pemerintah  di  lokasi
penelitian  menempatkan  jasa  lingkungan
kesinambungan  pasokan  air  tanah  dan
permukaan  sebagai  prioritas  utama  (48,4%).
Sementara itu, jasa lingkungan menurunnya
laju  pendangkalan  sungai,  waduk  dan
saluran  irigasi  menempati  peringkat  kedua
(30,8%),  dan  berkurangnya  bencana  banjir

dan  tanah  longsor


menduduki  peringkat
ketiga (20,7%).

Ini  berarti  jasa  lingkungan


kesinambungan  pasokan
air  tanah  dan  permukaan
hampir  dua  setengah  kali
lebih  penting  dari  pada Grafik 1. Nilai prioritas jasa lingkungan dari kawasan lindung
jasa  lingkungan
berkurangnya bencana banjir dan tanah longsor, dan lebih dari satu setengah kali lebih penting
dari pendangkalan sungai, waduk dan saluran irigasi.

Namun, bila dilihat dari sisi lokasi penelitian (dari hulu sampai hilir) nampak ada perbedaan
dalam menetapkan elemen prioritas. Instansi pemerintah di Kabupaten Bandung menempatan
elemen  kesinambungan  pasokan  air  tanah  &  permukaan  dan  elemen  berkurangnya  bencana
banjir  dan  tanah  longsor  mempunyai  prioritas  yang  sama.  Pemberian  nilai  jasa  lingkungan
berkurangnya  bencana  banjir  dan  tanah  longsor  yang  lebih  tinggi  dibandingkan  dengan
instansi pemerintah di Kabupaten Purwakarta dan Karawang serta Provinsi Jawa Barat dapat
dimaklumi,  mengingat  di  wilayah  Kabupaten  Bandung  akhirakhir  ini  sering  terjadi  bencana
banjir yang menelan korban jiwa dan harta yang tidak sedikit. Banjir pada akhir Februari 2005
yang  terjadi  di  kawasan  Bandung  Selatan,  seperti  di  Cisirung,  Dayeuhkolot,  dan  Majalaya,
membuat  perusahaan  tekstil  di  Bandung  merugi  hingga  Rp  900  miliar.  Sebanyak  45  industri
harus  mengeluarkan  dana  tambahan  untuk  dapat  berproduksi  kembali.  Selain  itu,  masih
banyak  lagi  (lebih  dari  200  unit)  usaha  kecil  menengah  dan  rumah  tangga  di  Majalaya
menjadim  korban  banjir,  sehingga  bila  seluruhnya  dijumlah  besaranya  kerugian  akan  lebih
besar  lagi.  Selain  itu  juga  masih  ada  kerugian  lain  yaitu  berupa  pembayaran  klaim  produksi

yang  tertunda  kepada  pembeli  di  luar  negeri  mengeluarkan  biaya  yang  jumlahnya  tidak
https://kelembagaandas.wordpress.com/kelembagaan­pengelolaan­das/hendro­prahasto/ 6/14
6/6/2016 Hendro Prahasto | Kelembagaan DAS

yang  tertunda  kepada  pembeli  di  luar  negeri  mengeluarkan  biaya  yang  jumlahnya  tidak
sedikit  (Kompas,  2005).  Sebaliknya,  di  Kabupaten  Purwakarta  dan  Karawang  bencana  banjir
dan tanah longsor relative jarang terjadi.

Setelah  analisis  level  2  diselesaikan  maka  analisis  dilanjutkan  pada  level  3  yaitu  prioritas
pemilihan alternative skema pembiayaan rehabilitasi kawasan lindung atau daerah tangkapan
air  yang  dilakukan  oleh  masingmasing  Pemerintah  Daerah  baik  di  daerah  hulu  maupun  di
daerah hilir.

Hasil  analisis  menunjukkan  bahwa  pembiayaan  rehabilitasi  kawasan  lindung  atau  daerah
tangkapan air di daerah hulu DAS cenderung dilakukan melalui program kolaborasi hulu‑hilir
(54,6%), bantuan subsidi dari hilir ke hulu (28,6%) dan pengembalian pajak air yang dipungut
oleh  Pemerintah  Daerah  di  daerah  hilir  ke  Pemerintah  Daerah  di  daerah  hulu  Good  Forest
Governance  Sebagai  Syarat  Pengelolaan  Hutan  Lestari  126  (16,8%).  Rincian  tingkat  prioritas
alternative  pembiayaan  rehabilitasi  di  kawasan  lindung  atau  daerah  tangkapan  air  dapat
diikuti pada Tabel 3.

Untuk  prioritas  skema  pembiayaan


rehabilitasi di kawasan lindung atau daerah
tangkapan  air  di  daerah  hulu  DAS,  semua
instansi pemerintah di kabupaten (Bandung,
Purwakarta  dan  Karawang)  dan  provinsi
Jawa Barat sepakat memilih elemen program
kolaborasi  rehabilitasi  sebagai  prioritas
utama  (54,6%).  Kolaborasi  adalah  suatu
proses  dimana  dua  atau  lebih  pemangku

kepentingan  yang  memiliki


kepentingan  yang  berbeda
menghadapi  masalah  yang
sama,  dan  secara  konstruktif
mencari  format  kerjasama
dalam  perbedaan  yang  ada
untuk  mencapai  solusi  yang
saling  menguntungkan  (win‑
win  solution).  Program Grafik 2. Skema pembiayaan rehabilitasi kawasan lindung
kolaborasi dilaksanakan antara
Pemerintah Daerah di daerah hilir dengan Pemerintah Daerah di daerah hulu DAS. Walaupun
sampai  saat  ini  antar  Pemerintah  Daerah  di  daerah  hulu  dan  hilir  belum  ada  nota
kesepahaman,  namun  apabila  antar  Pemerintah  Daerah  telah  ada  kesamaan  visi  dan  misi
dalam memandang pelestarian lingkungan bersama, maka program kolaborasi rehabilitasi di
kawasan  lindung  atau  daerah  tangkapan  air  tidak  banyak  hambatan  untuk  direalisasikan.
Hasil  uji  sidik  ragam  yang  dilakukan  terhadap  tiga  alternatif  skema  pembiayaan  rehabilitasi
kawasan  lindung,  menunjukkan  hasil  yang  singnifikan.  Ini  berati  ke  tiga  alternatif  skema
pembiayaan rehabilitasi kawasan lindung tersebut mempunyai bobot yang berbeda.

Sementara  itu  alternative  pembiayaan  pengelolaan  DAS  melalui  bantuan  subsidi  dari
Pemerintah  Daerah  di  daerah  hilir  ke  Pemerintah  Daerah  daerah  hulu  menempati  peringkat
kedua (28,6%), sedangkan alternative pembiayaan melalui pengembalian pajak air yang telah
dipungut  oleh  Pemerintah  Daerah  di  daerah  hilir  ke  Pemerintah  Daerah  di  daerah  hulu
menempati  peringkat  terakhir.  Alternatif  pembiayaan  pengelolaan  DAS  melalui  skema  ini
https://kelembagaandas.wordpress.com/kelembagaan­pengelolaan­das/hendro­prahasto/ 7/14
dipungut  oleh  Pemerintah  Daerah  di Hendro Prahasto | Kelembagaan DAS
6/6/2016 daerah  hilir  ke  Pemerintah  Daerah  di  daerah  hulu
menempati  peringkat  terakhir.  Alternatif  pembiayaan  pengelolaan  DAS  melalui  skema  ini
merupakan pilihan terakhir dari seluruh Pemerintah Daerah di wilayah hulu‑hilir. Dipilihnya
skema  ini  sebagai  pilihan  terakhir  oleh  semua  Pemerintah  Daerah,  mungkin  dikarenakan
sampai  saat  ini  belum  tersedia  mekanisme  transfer  pajak  dari  daerah  satu  ke  daerah  lain.
Disamping itu juga besarnya pajak air yang dipungut nilainya relative kecil sehingga nilainya
tidak seimbang dengan kebutuhan biaya yang diperlukan untuk kegiatan rehabilitasi kawasan
lindung atau daerah tengkapan air di daerah hulu DAS.

2. Insentif dalam pengelolaan DAS

Hasil analisis pada elemen level 2 (criteria) menunjukkan bahwa elemen kawasan hutan (hutan
produksi  dan  hutan  lindung)  menduduki  peringkat  pertama  dalam  memperoleh  insentif
pembiayaan rehabilitasi di kawasan lindung. Sementara itu prioritas kedua dan ketiga insentif
pembiayaan  rehabilitasi  kawasan  lindung  berturut‑turut  diberikan  kepada  elemen  areal
pertanian  dan  areal  pemukiman.  Nilai  prioritas  insentif  pembiayaan  rehabilitasi  menurut
fungsi pemanfaatannya sangat signifikan antara satu dengan yang lain. Nilai prioritas insentif
kawasan hutan adalah di atas 4 kali lebih penting dibandingkan dengan areal pemukiman, dan
hampir  2,5  kali  lebih  penting  dibandingkan  dengan  areal  pertanian.  Rincian  nilai  prioritas
pemberian  insentif  pembiayaan  kawasan  lindung    atau  daerah  tangkapan  air  di  daerah  hulu
DAS menurut lokasi penelitian adalah sebagai berikut:

Dari  Tabel  di  atas  juga  dapat  dilihat  bahwa


persepsi  instansi  pemerintah  dalam
menetapkan  peringkat  dalam  pemberian
insentif  di  tiga  pemerintah  kabupaten  dan
satu pemerintah provinsi menunjukkan hasil
yang  cenderung  sama.  Ini  menunjukkan
bahwa  semua  instansi  pemerintah  di  lokasi
penelitian  sepakat  bahwa  kawasan  hutan
merupakan  kawasan  yang  harus  segera

direhabilitasi  agar  tidak


menimbulkan  dampak
negative  yang  lebih
buruk  lagi,  baik  bagi
masyarakat yang tinggal
di  daerah  hulu  maupun
hilir DAS.

Analisis  selanjutnya Grafik 3. Nilai prioritas insentif pembiayaan di kawasan lindung


adalah  untuk
mengetahui  skema  pemberian  insentif  yang  banyak  dipilih  oleh  instansi  pemerintah  untuk
merehabilitasi kawasan lindung atau daerah tangkapan air. Ada tiga skema pemberian insentif
untuk merehabilitasi kawasan lindung, yaitu (i) pemberian keringan pembayaran pajak bumi
dan  bangunan  (PBB)  kepada  petani  atau  pemilik  lahan  yang  telah  memanfaatkan  lahannya
sesuai dengan peruntukannya; (ii) pemberian subsidi kepada petani atau pemilik lahan tidur
atau  lahan  tidak  produktif  dengan  bibit  tanaman  produktif  yang  ramah  lingkungan  atau
pemberian subsidi untuk mereboisasi kawasan hutan yang gundul dan (iii) pemberian insentif
untuk merubah pemanfaatan lahan di kawasan lindung, seperti perubahan pola tanam di areal
pertanian,  yaitu  dari  tanaman  semusim  ke  tanaman  tahunan  yang  produktif;  pemberian
insentif untuk merelokasi atau memindahkan areal pemukiman dari kawasan lindung ke luar
https://kelembagaandas.wordpress.com/kelembagaan­pengelolaan­das/hendro­prahasto/ 8/14
pertanian,  yaitu  dari  tanaman  semusim 
6/6/2016 ke  tanaman  tahunan  yang  produktif;  pemberian
Hendro Prahasto | Kelembagaan DAS

insentif untuk merelokasi atau memindahkan areal pemukiman dari kawasan lindung ke luar
kawasan  lindung  atau  pembuatan  sumur‑sumur  resapan  atau  situ  di  areal  pemukiman;  dan
atau  pemberian  insentif  merubah  fungsi  hutan  dari  fungsi  produksi  menjadi  fungsi  lindung.
Hasil analisis pada level 3 menunjukkan bahwa sebagian besar (51,3%) instansi pemerintah di
lokasi  penelitian  memilih  alternative  kedua,  yaitu  pemberian  subsidi  kepada  petani  atau
pemilik  lahan  tidur  atau  lahan  tidak  produktif  dengan  bibit  tanaman  produktif  yang  ramah
lingkungan dan atau pemberian subsidi untuk merehabilitasi kawasan hutan yang rusak atau
gundul.  Sementera  itu  peringkat  kedua  (38,6%)  diduduki  oleh  pemberian  insentif  kepada
petani  atau  pemilik  lahan  sebagai  kompensasi  akibat  perubahan  pemanfaatan  lahan  di
kawasan  lindung.  Peringkat  ketiga  atau  terendah  (10,1%)  adalah  keringan  pembayaran  PBB
bagi  petani  atau  pemilik  lahan  yang  telah  memanfaatkan  lahannya  sesuai  dengan
peruntukannya.  Dibandingkan  dengan  alternative  yang  lain,  alternative  ini  tidak  populer
karena nilai kompensasinya dianggap terlalu kecil sehingga kurang menarik bagi petani atau
pemilik lahan untuk merubah pemanfaatan lahannya. Proporsi alternative pemberian insentif
rehabilitasi kawasan lindung tidak banyak berbeda di ketiga Pemerintah Kabupaten dan satu
Pemerintah Provinsi sebagaimana dimuat dalam Tabel 5.

Tabel  di  atas  menggambarkan  bahwa


insentif  rehabilitasi  lahan  tidak  produktif
(lahan  hutan  dan  lahan  milik)  memiliki
prioritas  5  kali  lebih  penting  dibandingkan
dengan  insentif  keringanan  pembayaran
PBB.  Sementara  itu,  insentif  perubahan
pemanfaatan  lahan  (pertanian,  pemukiman
dan hutan) memiliki prioritas hamper 4 kali
lebih  penting  dibandingkan  dengan  insentif

keringanan  pembayaran
PBB.  Hasil  uji  sidik
ragam  yang  dilakukan
terhadap  tiga  alternatif
skema  pemberian
insentif  rehabilitasi
kawasan  lindung,
menunjukkan hasil yang
singnifikan. Ini berati ke Grafik 4. Skema pemberian insentif rehabilitasi kawasan lindung
tiga  alternatif  skema
pemberian insentif rehabilitasi kawasan lindung tersebut mempunyai bobot yang berbeda.

B. Peran Pemangku Kepentingan Dalam Pengelolaan DAS

1. Pengelolaan DAS Lintas Provinsi

Dari  hasil  analisis  diperoleh  simpulan  bahwa  pemangku  kepentingan  yang  terlibat  dalam
pengelolaan DAS lintas provinsi di tingkat pusat hanya terbatas pada pemangku kepentingan
pemerintah, sedangkan pemangku kepentingan yang berasal dari dunia usaha, organisasi non
pemerintah/lembaga  swadaya  masyarakat  (Ornop/LSM)  dan  masyarakat  tidak/belum  terlibat
dalam pengambilan keputusan.

Pemangku
https://kelembagaandas.wordpress.com/kelembagaan­pengelolaan­das/hendro­prahasto/ 9/14
6/6/2016 Hendro Prahasto | Kelembagaan DAS

Pemangku
kepentingan
pemerintah  yang
terlibat  dalam
pengambilan
keputusan  di  tingat
pusat  adalah  Badan
Perencanaan  Nasional
(Bapenas),
Kementerian
Lingkungan  Hidup
(KLH),  Departemen  Kehutanan  (Dephut),  Departemen  Pekerjaan  Umum  (Dep  PU),
Departemen  Pertanian  (Deptan),  Departemen  Energi  dan  Sumberdaya  Mineral  (DepESDM).
Dan  Departemen  Dalam  Negeri  (Depdagri).  Namun  demikian,  keterlibatan  instansi
pemerintah  di  tingkat  pusat  hanya  terbatas  pada  kegiatan  perencanaan,  sedangkan  kegiatan
pelaksanaan dan monitoring & evaluasi (monev) dilakukan oleh instansi yang ada di tingkat
provinsi dan kabupaten/kota (Tabel 6)

Pemangku kepentingan yang terlibat dalam kegiatan perencanaan DAS lintas provinsi hanya
terbatas pada pemangku kepentingan dari pemerintah yang terdiri dari Bapenas, Kementerian
Lingkungan  Hidup,  Departemen  Kehutanan,  Departemen  Pekerjaan  Umum,  Departemen
Pertanian,  Departemen  Energi  dan  Sumberdaya  Mineral  dan  Departemen  Dalam  Negeri.
Seluruh  pemangku  kepentingani  pemerintah  tersebut  memiliki  kewenangan  yang  besar  dan
power yang kuat dalam menyusun perencanaan DAS lintas provinsi, walaupun rencana yang
disusun  tersebut  seringkali  masih  bersifat  umum  dan  sektoral.  Rencana  sektoral  yang  telah
disusun di tingkat pusat tersebut selanjutnya diharapkan dapat menjadi panduan bagi instansi
teknis  yang  ada  di  provinsi/kabupaten.  Rencana  yang  disusun  pada  tataran  pusat  secara
sektoral  tersebut  dapat  berakibat  fatal  karena  pada  obyek  yang  sama  seringkali  memiliki
perencanaan  sektoral  yang  tidak  sinkron  antar  sektor,  sehingga  untuk  mengoperasionalkan
pelaksanaan kegiatan di lapang banyak mengalami kesulitan.

2. Pengelolaan DAS Lintas Kabupaten

Pemangku kepentingan yang terlibat dalam pengelolaan DAS lintas kabupaten relatif banyak,
baik  yang  berasal  dari  instansi  pemerintah  maupun  dari  dunia  usaha  (Badan  Usaha  Milik
Negara/BUMN,  Badan  Usaha  Milik  Daerah/BUMD,  Badan  Usaha  Milik  Swasta/BUMS),
Ornop/LSM, dan Perguruan Tinggi.

Keterlibatan antar pemangku kepentingan dalam kegiatan pengelolaan DAS cukup bervariasi.
Namun  pada  umumnya  keterlibatan  pemangku  kepentingan  dari  Instansi  Pemerintah  di
tataran  provinsi  hanya  pada  kegiatan  perencanaan  dan  monev,  sedangkan  pemangku
kepentingan  pemerintah  dan  pemangku  kepentingan  BUMN  di  tataran  kabupaten  pada
umumnya terlibat pada seluruh kegiatan pengelolaan (perencanaan, pelaksanaan dan monev)
DAS.  Sementara  itu  kegiatan  pemangku  kepentingan  BUMD  dan  BUMS  pada  umumnya
hanya di kegiatan pelaksanaan, sedangkan Ornop/LSM dan Perguruan Tinggi pada umumnya
di  kegiatan  perencanaan  dan  monev.  Rincian  keterlibatan  pemangku  kepentingan  pada
kegiatan pengelolaan DAS lintas kabupaten disajikan pada Tabel 7.

a. Perencanaan

Pemangku
https://kelembagaandas.wordpress.com/kelembagaan­pengelolaan­das/hendro­prahasto/ 10/14
6/6/2016 Hendro Prahasto | Kelembagaan DAS

Pemangku
kepentingan  yang
terlibat  dalam
perencanaan  DAS
lintas kabupaten masih
didominasi  oleh
pemangku
kepentingan
pemerintah,  yaitu
Bappeda  Prov/Kab,
Bapedalda/Dinas
Lingkungan  Hidup,
BPDAS,  Dinas
Kehutanan  Provinsi,
Dinas  Pertanian
Provinsi,  Dinas
Pengelolaan
Sumberdaya Air, Dinas
Pertambangan  Prov.
Selain  pemangku
kepentingan
pemerintah,  hanya  stateholder  yang  berasal  dari  BUMN  (Perum  Perhutani  dan  Perum  Jasa
Tirta) yang terlibat dalam kegiatan perencanaan DAS. Pada umumnya pemangku kepentingan
pemerintah  memiliki  kewenangan  yang  besar  dan  power  yang  kuat,  kecuali    Bapedalda.
Sementara  itu  Perum  Perhutani  dan  Perum  Jasa  Tirta  walaupun  memiliki  power  yang  kuat
namun  tidak  memiliki  kewenangan  yang  besar  dalam  menyusun  rencana  pengelolaan  DAS
lintas kabupaten.

b. Pelaksanaan
Pemangku  kepentingan  yang  terlibat  dalam  pelaksanaan  DAS  lintas  kabupaten  didominasi
oleh  pemangku  kepentingan  dari  pemerintah  kabupaten  yang  umumnya  juga  terlibat  dalam
kegiatan  perencanaan  DAS  lintas  kabupaten.  Selain  pemangku  kepentingan  pemerintah  juga
terlibat  pemangku  kepentingan  yang  berasal  dari  BUMN  (Perum  Perhutani  dan  Perum  Jasa
Tirta), BUMD (Perusahaan Air Minum Daerah) dan BUMS (swasta). Dilihat dari sisi perannya
dalam pengelolaan DAS, para pemangku kepentingan dari pemerintah memiliki kewenangan
yang besar dan power yang sangat kuat. Sebaliknya, pemangku kepentingan yang berasal sari
BUMN,  BUMD  dan  BUMS  memiliki  kewenangan  yang  kecil  namun  memiliki  power  yang
tinggi.

c. Monitoring dan Evaluasi

Pemangku  kepentingan  yang  terlibat  dalam  monev  pengelolaan  das  cukup  banyak  dan
didominasi  oleh  pemangku  kepentingan  dari  pemerintah,  yang  umumnya  terlibat  dalam
kegiatan  pelaksanaan  pengelolaan  DAS.  Selain  pemangku  kepentingan  pemerintah  monev
pengelolaan  DAS  juga  dilakukan  oleh  Ornop/LSM  dan  Perguruan  Tinggi.  Namun,  sistem
monev  yang  dilakukan  baik  oleh  pemangku  kepentingan  pemerintah  maupun  Ornop/LSM
dan Perguruan tinggi dalam pengelolaan DAS masih bersifat sektoral. Dengan sistem monev
yang masih bersifat sektoral maka hasil monev yang dilakukan oleh masingmasing pemangku

kepentingan belum dapat dimanfaatkan secara optimal dalam baik dalam melakukan evaluasi
https://kelembagaandas.wordpress.com/kelembagaan­pengelolaan­das/hendro­prahasto/ 11/14
6/6/2016 Hendro Prahasto | Kelembagaan DAS

kepentingan belum dapat dimanfaatkan secara optimal dalam baik dalam melakukan evaluasi
kegiatan  yang  telah  dilaksanakan  maupun  untuk  menyusun  perbaikan  yang  akan  dilakukan
secara terpadu lintas sektoral dan lintaswilayah.

3. Pengelolaan DAS Lokal (Satu Kabupaten)

Hampir  seluruh  pemangku  kepentingan  pemerintah  di  tataran  ini  (Dinas  PSDA/  Pengairan
Kab, Dinas Kehutanan Kab, Dinas Pertanian Kab, dan Dinas Pertambangan Kab) terlibat dalam
seluruh kegiatan pengelolaan DAS (perencanaan, pelaksanaan dan monev).

Pemangku
kepentingan  seperti
Bappeda  Kab  dan
Bapedalda/Dinas
Lingkungan  Hidup
Kab  lebih
berkonsentrasi  pada
kegiatan  perencanaan
dan monev, sedangkan
Ornop/LSM  dan
Perguruan  Tinggi
hanya  terlibat  dalam
kegiatan  perencanaan
dan  monev.  Rincian
keterlibatan  masing‑
masing  pemangku  kepentingan  dalam  kegiatan  pengelolaan  DAS  lokal  dapat  dilihat  pada
Tabel 8.

a. Perencanaan

Perencanaan DAS lokal seluruhnya ditangani oleh pemangku kepentingan pemerintah, seperti
Bappeda  kabupaten,  Bapedalda/Dinas  Lingkungan  Kabupaten,  Dinas  kehutanan  Kabupaten,
Dinas  Pertanian  Kabupaten,  Dinas  Pengelolaan  Sumberdaya  Alam  Kabupaten,  Dinas
Pertambangan Kebupaten. Umumnya instansi tersebut memiliki kewenangan yang besar dan
power  yang  kuat  kecuali  Bapedalda/Dinas  Lingkungan  Hidup.  Walaupun  Dinas  Lingkungan
Hidup ini memiliki kewenangan yang cukup besar dalam perencanaan DAS lokal namun tidak
memiliki power yang kuat untuk dibandingkan dengan instansi teknis lainnya di daerah.

b. Pelaksanaan

Seperti  halnya  dalam  pengelolaan  DAS  lintas  kabupaten,  peran  pemangku  kepentingan
pemerintah  kabupaten  dalam  pengelolaan  DAS  lokal  sangat  besar.  Staheholder  pemerintah
tersebut  memiliki  kewenangan  yang  besar  dan  power  yang  kuat,  sedangkan  pemangku
kepentingan  dari  BUMN,  BUMD  dan  BUMS  umumnya  memiliki  kewenangan  yang  kecil
namun memiliki power yng besar dalm pengelolaan DAS.

c. Monitoring dan Evaluasi

Sepertihalnya  sistem  Monev  DAS  lintas  kabupaten,  pemangku  kepentingan  yang  terlibat
https://kelembagaandas.wordpress.com/kelembagaan­pengelolaan­das/hendro­prahasto/ 12/14
6/6/2016 Hendro Prahasto | Kelembagaan DAS

Sepertihalnya  sistem  Monev  DAS  lintas  kabupaten,  pemangku  kepentingan  yang  terlibat
didominasi  oleh  instansi  teknis  pemerintah  yang  ada  di  daerah  tersebut.  Sistem  monev  yang
ada  di  DAS  lokal  juga  masih  dilakukan  secara  sektoral,  walaupun  pemangku  kepentingan
yang terlibat di dalamnya berada dalam satu payung institusi pemerintah kabupaten.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Pembiayaan rehabilitasi kawasan lindung:
a. Nilai prioritas jasa lingkungan yang dibutuhkan oleh masyarakat adalah kesinambungan
pasokan  air  tanah  (48,4%),  menurunnya  laju  pendangkalan  sungai,  waduk  dan  saluran
irigasi (30,8%) dan berkurangnya bencana banjir (20,7%)
b.  Skema  pembiayaan  untuk  rehabilitasi  kawasan  lindung  adalah  melalui  program
kolaborasi rehabilitasi (54,6%), bantuan subsidi rehabilitasi (28,6%) dan pengembalian pajak
air yang telah dipungut oleh daerah hilir (16,8%).
2. Insentif rehabilitasi kawasan lindung
a.  Prioritas  insentif  ditujukan  untuk  kawasan  hutan  lindung  (60,5%),  areal  pertanian
(25,4%) dan areal pemukiman (14,1%).
b.  Pemanfaatan  insentif  digunakan  untuk  merehabilitasi  lahan  (kawasan  hutan,  areal
pertanian  dan  pemukiman)  yang  tidak  produktif,  perubahan  pola  pemanfaatan  lahan
(38,6%) dan insentif pembayaran PBB bagi lahan yang telah sesuai pemanfaatannya (10,1%).
3. Pemangku  kepentingan  yang  terlibat  dalam  pengelolaan  DAS  lintas  provinsi  di  tingkat
pusat  hanya  terbatas  pada  pemangku  kepentingan  dari  instansi  pemerintah,  sedangkan
pemangku kepentingan yang berasal dari dunia usaha, organisasi non pemerintah/lembaga
swadaya  masyarakat  (Ornop/LSM)  dan  masyarakat  tidak/belum  terlibat  dalam
pengambilan keputusan.
4. Keterlibatan  pemangku  kepentingan  dari  Instansi  Pemerintah  di  tataran  provinsi  hanya
pada  kegiatan  perencanaan  dan  monev,  sedangkan  pemangku  kepentingan  pemerintah
dan  pemangku  kepentingan  BUMN  di  tataran  kabupaten  pada  umumnya  terlibat  pada
seluruh kegiatan pengelolaan (perencanaan, pelaksanaan dan monev) DAS.

B. Saran

Agar  pelaksanaan  rehabilitasi  areal  DAS  melalui  mekanisme  pembiayaan  dan  insentif  dapat
terlaksana,  maka  perlu  adanya  payung  kerjasama  antar  pemerintahan  daerah  hulu  dan
pemerintahan daerah hilir DAS.

DAFTAR PUSTAKA

1. Keputusan  Menteri  Kehutanan  Nomor  52/Kpts‑II/2001  Tahun  2001  tentang  Pedoman


Penyelenggaraan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
2. Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1970 tentang Perencanaan Hutan
3. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan
4. Peraturan  Pemerintah  Nomor  38  Tahun  2007  tentang  Pembagian  Urusan  Pemerintahan
antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
5. Saaty, Tomas. 1980. The Analytic Hierarchy Process. McGraw‑Hill, New York.
6. Suara Pembaruan, 2003. Konservasi DAS Rp 1,2 Triliun
7. Undang‑Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah
8. Undang‑Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
9. Teknomo,  Kardi,  Hendro  Siswanto,  Sebastianus Ari  Yudhanto,  1999.  Penggunaan  Motode
https://kelembagaandas.wordpress.com/kelembagaan­pengelolaan­das/hendro­prahasto/ 13/14
6/6/2016 Hendro Prahasto | Kelembagaan DAS

9. Teknomo,  Kardi,  Hendro  Siswanto,  Sebastianus Ari  Yudhanto,  1999.  Penggunaan  Motode


Analytic  Hierarchy  Process  Dalam  Menganalisa  Faktor‑Faktor  Yang  Mempengaruhi
Pemilihan Moda Ke Kampus. Dimensi Teknik Sipil Volume 1, Nomor 1, Maret 1999.

Leave a Comment »

No comments yet.

RSS (Really Simple Syndication) feed for comments on this post. TrackBack URI (Uniform
Resource Identifier)

The Shocking Blue Green Theme. Blog at WordPress.com.

https://kelembagaandas.wordpress.com/kelembagaan­pengelolaan­das/hendro­prahasto/ 14/14

Anda mungkin juga menyukai