Andi Setyo Pambudi adalah Deputi Direktur Pemantauan, Evaluasi dan Pengendalian Pembangunan
Satu
SAYA. Perkenalan
Menurut Miller (2015), bagian utama dari kajian lingkungan adalah ekologi, ilmu biologi
yang menghubungkan interaksi antar organisme dan interaksinya dengan lingkungan. Ekologi
melibatkan ekosistem yang terdapat komponen penyusunnya yaitu faktor abiotik dan biotik.
Lingkungan didefinisikan sebagai area (daerah, dll) atau batas kegiatan ekonomi yang
mempengaruhi perkembangan kehidupan di dalamnya (Common dan Stagl, 2005, Bellfield et
al., 2016). DAS digambarkan sebagai unit hidrologi yang merupakan tempat tinggal atau
platform dari kegiatan ekonomi berbasis lingkungan (Common dan Stagl, 2005; Miller dan
Spoolman, 2015; Reddy et al., 2017). Pendekatan yang diterapkan dalam konsep DAS
menekankan mekanisme konservasi berbasis tempat untuk mencapai tujuan sosial-ekonomi
dan ekologi tertentu (Dixon, 1992; Abell et al., 2007), termasuk mekanisme yang memastikan
fungsi ekologis dan representasi keanekaragaman hayati di dataran rendah
daerah.
Menurunnya daya serap tanah didefinisikan sebagai salah satu faktor pengganggu
daya dukung lingkungan, baik dalam aspek interaksi hulu hilir DAS maupun kelestariannya
(Bellfield et al., 2015, Euler et al., 2018, Kindu et al. , 2018). Rendahnya perlindungan formal
di kawasan strategis sumber daya air sangat memprihatinkan sehingga sangat penting untuk
penyediaan air.
Tantangan pada kawasan sumber air yang dilindungi dan dampaknya menunjukkan nilai yang
dihasilkan bagi masyarakat baik di sekitarnya maupun lingkungan secara keseluruhan
(Cumming, 2016; Watson et al., 2014). Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa
istilah DAS berbasis lingkungan menggambarkan suatu tempat, platform, atau ruang siklus
hidrologi yang ditempati oleh makhluk hidup (termasuk manusia) dan makhluk tak hidup yang
saling berkorelasi dan saling mempengaruhi, baik antara makhluk itu sendiri atau antara
makhluk dan lingkungannya, yang tidak dibatasi oleh kendala administrasi politik atau
pemerintahan.
Tujuan pengelolaan DAS bervariasi antar negara tergantung pada prioritas nasionalnya
Di Indonesia, pemerintah provinsi diberi kesempatan untuk membantu dan mengelola DAS
yang melintasi beberapa kabupaten/kota dan di dalam kabupaten/kota (Steni, 2016).
Selanjutnya, pengelolaan yang secara umum mengacu pada tindakan yang ditujukan untuk
mencapai keberlanjutan dalam pengelolaan sumber daya alam, berkontribusi pada prioritas
konservasi dan
DAS Hulu
Batas Provinsi
(Wilayah Pemerintah)
(Rencana Tata Ruang Provinsi A)
Batas Provinsi
(Wilayah Pemerintah)
DAS Hilir
DAS Tengah
Batas DAS
(Wilayah Hidrologi)
LAUT
Kondisi yang diuraikan di atas sejalan dengan kesehatan DAS. Untuk daerah yang
kondisi kesehatannya relatif baik, ketersediaan airnya cukup melimpah, begitu pula sebaliknya.
Menurut kategori pulau/gugusan pulau, tutupan lahan berhutan yang terletak di kawasan
hutan terestrial sebagian besar tersebar di Papua dengan a
seluas 32,5 juta ha atau 33,9% dari total 96 juta ha luas kawasan hutan di Indonesia, di
Kalimantan seluas 25,6 juta ha (26,7%), sedangkan luas terkecil tersebar di Bali dan Nusa
Tenggara seluas 1,5 juta ha (1,6%). Pulau lainnya memiliki tutupan lahan berhutan kurang
dari 15,0% (Ditjen Planologi Kehutanan dan Lingkungan Hidup, 2015)
INDONESIA
Kondisi DAS di sebagian besar wilayah Indonesia saat ini mulai menurun secara
kuantitas dan kualitas. Menurut Mawardi (2010), jumlah lahan kritis yang terdaftar masih
terdiri dari 22 DAS pada tahun 1984, meningkat menjadi 39 DAS pada tahun 1990, dan
mencapai 62 DAS pada tahun 1998. Sementara itu, Pemerintah Indonesia menyatakan
melalui penetapan SK Menteri Kehutanan. .328/Menhut-II/
2009 bahwa terdapat 108 DAS prioritas dari 17.088 DAS secara keseluruhan di
Indonesia yang perlu segera dikelola.
Pengelolaan DAS Terpadu adalah proses merumuskan dan melaksanakan
serangkaian tindakan yang melibatkan sumber daya alam dan manusia di DAS, dengan
mempertimbangkan faktor sosial, politik, ekonomi dan kelembagaan yang beroperasi di
dalam DAS dan sekitarnya untuk mencapai tujuan sosial ekonomi dan ekologi tertentu.
Dixon, 1992). Pengelolaan DAS Terpadu merupakan bagian dari pengelolaan sumber
daya yang mempengaruhi individu dengan kepentingan yang berbeda. Keberhasilannya
tidak hanya ditentukan oleh para pelaksana langsung di lapangan, tetapi juga oleh pihak-
pihak lain yang telah terlibat sejak tahap perencanaan hingga pemantauan dan evaluasi
(Ayu dan Anna, 2013).
1.2. Tujuan
Kompleksitas persoalan DAS dan pengelolaannya memerlukan analisis efektivitas
yang dinilai dari berbagai aspek. Tulisan ini mencoba menggali efektivitas kebijakan
pengelolaan DAS di Indonesia dari aspek sejarah, regulasi, kelembagaan, serta
implementasi kebijakan. Metodologi yang digunakan adalah studi pustaka dengan
meninjau sumber daya sekunder, antara lain Rencana Pengelolaan Daerah Aliran
Sungai Terpadu (RPDAST), Rencana Wilayah Sungai, Data Pencapaian, Monitoring
dan Evaluasi DAS oleh Kementerian/Lembaga, Dokumen Rencana Tata Ruang (RTRW),
Jangka Menengah Nasional Rencana Pembangunan Daerah Aliran Sungai (RPJMN),
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), Undang-Undang,
Peraturan Menteri, Peraturan Dirjen, Peraturan Daerah, Peraturan Gubernur/Bupati/
Walikota dan dokumen lain tentang ruang lingkup DAS. Karena pengelolaan DAS
merupakan bagian dari manajerial, makalah ini akan menggunakan analisis SWOT.
Dalam mendukung proses analisis SWOT digunakan metode kualitatif dengan melakukan
wawancara, diskusi, dan penelusuran data sekunder.
komunitas. Salah satu programnya adalah Karang Kitri, kampanye nasional yang dimulai pada
Oktober 1951 (1951-1960) dengan tujuan mengajak masyarakat untuk menanam pohon di
pekarangan dan lahan lainnya.
Banjir besar yang terjadi di Solo pada tahun 1966 merupakan titik awal bagi Pemerintah
Indonesia untuk melakukan rehabilitasi secara lebih serius (Ditjen RLPS dan Kemenhut, 2003).
Konservasi tanah dan air pascabencana banjir di Bengawan Solo merupakan program
rehabilitasi utama hingga tahun 1970-an. Program berfokus pada pengendalian erosi di hulu
yang terutama disebabkan oleh deforestasi dan praktik pertanian yang tidak tepat. Pada awal
tahun 1970-an, sebagian besar kawasan yang terdegradasi terkonsentrasi di Jawa. Pertanian
konservasi di lereng dengan menerapkan metode konservasi tanah dan air, kombinasi teknik
vegetatif dan teknik sipil, merupakan sistem yang banyak digunakan, terutama di Jawa. Metode
sipil teknis digunakan secara luas dan program penyuluhan ditingkatkan melalui penyebaran
5.560 Instruktur Kehutanan Lapangan (Santoso, 1997). Dalam Rencana Pembangunan Lima
Tahun (Repelita) Orde Baru Keempat, pengelolaan hutan dan lahan yang terdegradasi
ditetapkan melalui sistem skala prioritas. Untuk tujuan ini, 36 DAS dipilih dari 70 kabupaten di
23 provinsi. Kegiatan utamanya adalah pembangunan demplot, pembangunan bendungan,
pengembangan hutan rakyat, dan pembuatan bibit desa. Dalam Repelita V, program reboisasi
dan penghijauan ditingkatkan melalui pelibatan masyarakat setempat, seperti menyelenggarakan
kegiatan rehabilitasi swadaya, peningkatan kapasitas kelembagaan masyarakat, dan
pengembangan kapasitas sumber daya manusia terutama pemuda dan perempuan (Nawir et
al., 2008).
yang digunakan dalam Rencana Induk Rehabilitasi Hutan dan Lahan pada tahun 2000. Karena
pendekatan daerah aliran sungai lebih holistik, dapat digunakan untuk mengevaluasi hubungan
antara faktor biofisik dan intensitas kegiatan sosial ekonomi serta budaya dari hulu ke hilir. daerah
hilir. Selain itu, dapat digunakan untuk menilai dampak lingkungan dengan lebih cepat dan
mudah. Amanat Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan,
khususnya pada Pasal 1 Ayat 1 menjelaskan bahwa perencanaan kehutanan adalah proses
penetapan tujuan serta pengaturan kegiatan dan perangkat yang diperlukan untuk pengelolaan
hutan secara lestari dengan memberikan pedoman dan arahan untuk menjamin tercapainya
pengelolaan hutan. Tujuan, yaitu kesejahteraan manusia yang sebesar-besarnya, adil, dan
berkelanjutan. Sementara itu, Pasal 32 Ayat 2 PP tersebut menyatakan bahwa setiap unit
pengelolaan hutan harus didasarkan pada karakteristik Daerah Aliran Sungai (DAS) yang
bersangkutan. Pada tahun 2012, diterbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 37 Tahun 2012
tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai.
Dengan adanya peraturan ini, kebijakan DAS dan pengelolaannya menjadi lebih jelas.
Dalam kajian yang dilakukan Bappenas (2015), konsep ketahanan air seharusnya tidak
hanya dianalisis dari aspek air permukaan dan air biru, tetapi juga air hijau. Pergeseran perspektif
ini telah mengubah pendekatan manajemen yang diterapkan pada kelembagaan-tata kelola yang
menekankan sinergi antar lembaga yang bertanggung jawab dalam konservasi tanah dan air
(Badan Hutan Lindung dan Daerah Aliran Sungai/BPDAS-HL), mengendalikan konservasi air
permukaan (Balai Wilayah Sungai/ BWS), dan pengelolaan air tanah (Groundwater Office).
Pendekatan sinergi dan koordinasi menjadi poin penting karena minimnya inovasi kelembagaan
yang merespon isu ketahanan air. Ego sektoral masih menjadi kendala utama dalam pelaksanaan
koordinasi yang efektif antara dua lembaga yang melestarikan air hijau dan mengelola konservasi
air biru. Kedua tanggung jawab mereka telah dibangun di atas aturan mereka sendiri. Selain itu,
satuan-satuan DAS yang seharusnya tidak memiliki administrasi provinsi/kabupaten/kota lintas
batas bahkan lintas negara telah berubah pola pengelolaannya mengikuti kebijakan desentralisasi
sehingga konsep DAS menghadapi masalah koordinasi yang serius.
ketersediaan air irigasi dan waduk pada musim kemarau; (2) pemanfaatan air belum dikelola
dengan baik; (3) belum tuntasnya pemulihan kualitas DAS prioritas nasional; (4) luas lahan kritis
di dalam dan di luar hutan masih tinggi diikuti dengan tingginya laju deforestasi.
Analisis SWOT digunakan untuk memetakan faktor internal dan eksternal yang
mempengaruhi manajerial. Pada faktor internal, eksplorasi kekuatan dan kelemahan ruang
lingkup pengelolaan DAS menjadi penting untuk melihat sejauh mana dukungan pengelolaan
DAS di Indonesia. Faktor eksternal yang mengandung peluang dan ancaman dipetakan untuk
melihat seberapa besar peluang yang ada dan seberapa jauh ancaman tersebut akan
mempengaruhi pengelolaan DAS. Berdasarkan hasil wawancara, diskusi, dan penelusuran data
sekunder yang tersedia, hasil penilaian kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman pengelolaan
DAS di Indonesia disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Kajian Kekuatan, Kelemahan, Peluang, dan Ancaman Pengelolaan Daerah Aliran
Sungai di Indonesia
Kekuatan Kelemahan
Kekuatan Kelemahan
Peluang Ancaman
Hasil dari pemetaan SWOT digunakan sebagai acuan untuk merancang pendekatan
manajemen/strategi. Seperti disebutkan sebelumnya, manajemen/strategi dilakukan melalui 4
tindakan berdasarkan interaksi antara faktor internal dan eksternal (SO, ST, WO, dan WT).
Pengelolaan/strategi peningkatan pengelolaan DAS di Indonesia dirangkum dalam Tabel 2.
Tabel 2. Pemetaan Interaksi Antar Faktor untuk Strategi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai di Indonesia.
Meningkatkan Satu
Meningkatkan
efektivitas dari efektivitas dari
koordinasi melalui keterlibatan koordinasi antara
aktif Bappeda dalam Perencanaan Wilayah
kegiatan pengelolaan DAS. (RTRW) dan rencana
tata ruang serta
membantu pemantauan
pemanfaatan ruang yang tidak
2 Memanfaatkan Perda
sesuai dengan ketentuan
Terpadu
Perencanaan Wilayah
Pengelolaan DAS
(RTRW) untuk menanggulangi
sebagai landasan kebijakan ancaman perbaikan
untuk 2 permukiman di kawasan lindung
menginternalisasikan RPDAST daerah.
3 ke dalam RTRW/RPJPD.
Meningkatkan
BPDAS-HL meningkatkan efektivitas
efektivitas koordinasi dengan koordinasi antar instansi,
Bappeda untuk khususnya pemerintah daerah,
memperkuat RTRW dan untuk mendukung
penggunaan pola tata ruang 3 Kegiatan RHL
yang selaras dengan menggunakan anggaran
RPDAST DAS atau APBD
Meningkatkan
efektivitas
koordinasi dengan tujuan
internalisasi
RPDAST menjadi RPJMD di
untuk mendorong
pembagian tugas antar instansi
dan untuk mengurangi ancaman
erosi dan sedimentasi di
waduk
secara umum masih dilakukan berdasarkan Peraturan Pemerintah No.39 Tahun 2007 dan
Peraturan Menteri Kehutanan No P.39/Menhut-II/2009 tentang Pedoman Penyusunan
Rencana Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Terpadu. (RPDAST). Dapat dipahami, RPDAST
beberapa DAS disusun sebelum ditetapkannya Peraturan Pemerintah No. 37/2012 tentang
Pengelolaan DAS. Pada akhirnya, penting untuk menyusun kembali atau merevisi RPDAST
sesuai dengan Peraturan Pemerintah No.37 Tahun 2012 bahwa kewenangan penyusunan
RPDAST dibuat berdasarkan batasannya. Namun kondisi yang mendukung untuk mencapai
kondisi tersebut belum tersedia. Terhadap kendala kewenangan yang detail, alokasi
anggaran penyusunan RPDAST perlu dihilangkan dengan mengeluarkan peraturan turunan
dari menteri teknis (Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan) dan menyiapkan pemerintah daerah untuk melaksanakan penyusunan rencana,
penyelenggaraan pengelolaan daerah aliran sungai, serta pemantauan dan evaluasi yang
diatur dengan Peraturan Pemerintah No. 37/2012. Jika pelaksanaan pengelolaan DAS
sejalan dengan Peraturan Pemerintah No. 7/2012, masalah internalisasi dan operasionalisasi
RPDAST di Pemda diharapkan tidak terjadi.
5.1. Kesimpulan
BPDAS-HL
Provinsi
Unit Air Tanah BWS
Bappeda
(Pusat/ Daerah) RTR
W
RPJP
D OP
Pemangku kepentingan
RPJ D
(Daerah Aliran Sungai MD
Forum/Pikirkan RPDAST
Tangki)
Nasional
RKP Renja
RPJM
D OPD
Aksi Tahunan
Rencana
RKP
Penerapan
Monev:
1. BPDAS-HL Catatan:
2.BWS RKPD : Rencana Pengembangan Tahunan
3. Satuan Air Tanah (Daerah)
Renja OPD: Rencana Kerja Daerah Sektoral
Kantor pemerintahan
(Pusat/Daerah)
4. Provinsi RTRW: Rencana Tata Ruang
RPJPD : Pembangunan Daerah Jangka Panjang
5. DAS Rencana
pemerintah daerah dan Unit Pelaksana Teknis (UPT) berbasis air yang diarahkan oleh pemerintah
pusat.
VI. Referensi
Abell, R., Allan, JD, Lehner, B. (2007); Membuka potensi kawasan lindung untuk
air tawar. Biol. Konservasi. 134, 48–63.
Atapattu, SS dan Kodituwakku, CD (2009); Pertanian di Asia Selatan dan implikasinya terhadap
kesehatan hilir dan keberlanjutan: Pengelolaan Air Pertanian. 96: 361--ÿ373 Ayu, I Gusti
dan Lintje Anna. (2013);
Kawasan Konservasi DAS Solo Hulu dalam rangka Pembangunan Berkelanjutan. Jurnal Terbaik.
Edisi Februari – Mei 2013.
Barendse, J., Roux, D., Currie, B., Wilson, N., Fabricius, C. (2016); Pandangan yang lebih luas
tentang penatagunaan untuk mencapai tujuan konservasi dan keberlanjutan di Afrika
Selatan: artikel ulasan. S.Afr. J.Sci. 112, 21–35.
Carlsson, L., Berkes, F. (2005); Co-manajemen: konsep dan implikasi metodologis. J.Lingkungan.
Mengelola. 75, 65–76.
Umum, Michael dan Sigrid Stagl (2005); Ekonomi Ekologi: Sebuah Pengantar.
Cambridge University Press, New York.
Jagung, ML (1993); Ekosistem, Biomassa, dan DAS: Definisi dan Penggunaan.
Washington, DC.: Dewan Nasional untuk Sains dan Lingkungan
Cumming, GS (2016); Relevansi dan ketahanan kawasan lindung di Anthropocene.
Antroposen 13, 46–56.
Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Lingkungan (2015); Buku Rekalkulasi Penutupan
Lahan Indonesia Tahun 2014 , Direktorat Jenderal Rehabilitasi Hutan dan Perhutanan
Sosial Jakarta (2003); Rehabilitasi
Lahan dan Perhutanan Sosial: Dari Masa Ke Masa (Rehabilitasi Hutan dan Perhutanan Sosial:
Antar Waktu). Kementerian Kehutanan Indonesia
Dixon JA (1992); Analisis dan Pengelolaan DAS, dalam Partha Dasgupta dan Karl-Goran Maler
(ed) The Environment and Emerging Development Issues, Vol.2, ClarendonPress,
Oxford.
Euler, Johannes, dan Sonja Heldt (2018); "Ilmu tentang Lingkungan Total Dari Informasi ke
Partisipasi dan Pengorganisasian Mandiri: Visi untuk Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
Eropa." Ilmu Lingkungan Total 621: 905–14. https://doi.org/10.1016/j.scitotenv.2017.11.072.
Mtibaa, Slim, Norifumi Hotta, dan Mitsuteru Irie (2018); "Ilmu tentang Analisis Lingkungan
Total tentang Efisiensi dan Efektivitas Biaya dari Praktik Manajemen Terbaik
untuk Mengontrol Hasil Sedimen: Studi Kasus Daerah Aliran Sungai Joumine,
Tunisia." Ilmu Lingkungan Total 616–617: 1–16. https://doi.org/10.1016/
j.scitotenv.2017.10.290.
Mursidin dkk. (1997). 35 tahun Penghijauan di Indonesia (35 tahun Penghijauan di
Indonesia). Presidium Kelompok Konservasi Sumber Daya Alam.
Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan
Kementerian Kehutanan, Direktorat Jenderal Pembangunan Daerah
Kementerian Dalam Negeri. Jakarta.
Nawir, dkk. 2008. Rehabilitasi hutan di Indonesia: Akan seperti apa setelah lebih dari tiga
dekade? (Rehabilitasi hutan di Indonesia: Akan kemanakah arahnya setelah
lebih dari tiga dasawarsa?) Bogor, Indonesia: Pusat Penelitian Kehutanan
Internasional (CIFOR), ISBN 978-979-14-1235-3.
Reddy, Ratna V., Saharawat, YS, George, B. (2017); Watershed Management in South
Asia: A Synoptic Review, Journal of Hydrology (2017), doi: http://dx.doi.org/
10.1016/j.jhydrol.2017.05.043 Ruonan Li, Hua
Zheng, Sunyun Lv, Wenting Liao, Fei Lu dkk. (2018); Pengembangan dan evaluasi
indeks baru untuk menilai jasa pengatur hidrologi pada skala sub DAS.
Indikator Ekologi Jurnal 86 (2018) 9–17. Penerbit: Elsevier.