Anda di halaman 1dari 18

Machine Translated by Google

Pengelolaan Daerah Aliran Sungai di Indonesia: Peraturan,


Tinjauan Kelembagaan, dan Kebijakan

Andi Setyo Pambudi 1


Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas – Indonesia
Abstrak

Pengelolaan DAS sebagai bagian dari pembangunan wilayah di Indonesia menghadapi


berbagai permasalahan yang kompleks dan saling berkaitan. Hal ini ditunjukkan dengan belum
terintegrasinya lintas sektor, instansi, wilayah dan partisipasi masyarakat. Meningkatnya
frekuensi masalah banjir, kekeringan, tanah longsor, dan krisis air akhir-akhir ini menunjukkan
bahwa pengelolaan DAS di Indonesia belum efektif dalam meningkatkan pembangunan
berkelanjutan. Selain itu, kerusakan DAS umumnya hanya terlihat di bagian hulu saja, seperti
penambahan luas lahan pertanian dan permukiman yang masif, sehingga erosi dan
sedimentasi berdampak pada menurunnya produktivitas lahan dan meningkatnya frekuensi
bencana terkait air. Jika DAS diartikan sebagai wadah daur air, maka penyelesaian
permasalahannya hanya dengan merehabilitasi bagian hulunya saja tidak sepenuhnya tepat.
Kebijakan pemerintah dalam pengelolaan DAS perlu ditinjau dari aspek ilmu awalnya juga,
termasuk peraturan dan kelembagaan yang ada, sehingga dapat terlihat kontribusi dan
keterkaitan antar sektor. Konsep Pengelolaan DAS Terpadu pada dasarnya adalah pengelolaan
partisipatif multipihak dalam konservasi dan pemanfaatan melalui konsep ekologis saling
ketergantungan antara alam dan manusia. Tulisan ini bertujuan untuk mengeksplorasi
efektivitas kebijakan pengelolaan DAS di Indonesia dalam konteks sejarah, regulasi,
kelembagaan, dan implementasi kebijakan.

Kata kunci: Pengelolaan DAS, Ekologi, Kebijakan, Kelembagaan, Regulasi

Andi Setyo Pambudi adalah Deputi Direktur Pemantauan, Evaluasi dan Pengendalian Pembangunan
Satu

Daerah IV, Kementerian PPN/Bappenas RI, email: andi.pambudi@bappenas.go.id

Jurnal Perencanaan Pembangunan Indonesia Volume III


185
No. 2 – Agustus 2019
Machine Translated by Google

Andi Setyo Pambudi

Pengelolaan Daerah Aliran Sungai di Indonesia: Peraturan,


Tinjauan Kelembagaan, dan Kebijakan
Andi Setyo Pambudi

SAYA. Perkenalan

Menurut Miller (2015), bagian utama dari kajian lingkungan adalah ekologi, ilmu biologi
yang menghubungkan interaksi antar organisme dan interaksinya dengan lingkungan. Ekologi
melibatkan ekosistem yang terdapat komponen penyusunnya yaitu faktor abiotik dan biotik.
Lingkungan didefinisikan sebagai area (daerah, dll) atau batas kegiatan ekonomi yang
mempengaruhi perkembangan kehidupan di dalamnya (Common dan Stagl, 2005, Bellfield et
al., 2016). DAS digambarkan sebagai unit hidrologi yang merupakan tempat tinggal atau
platform dari kegiatan ekonomi berbasis lingkungan (Common dan Stagl, 2005; Miller dan
Spoolman, 2015; Reddy et al., 2017). Pendekatan yang diterapkan dalam konsep DAS
menekankan mekanisme konservasi berbasis tempat untuk mencapai tujuan sosial-ekonomi
dan ekologi tertentu (Dixon, 1992; Abell et al., 2007), termasuk mekanisme yang memastikan
fungsi ekologis dan representasi keanekaragaman hayati di dataran rendah

daerah.

Studi Yi et al. (2018) berpendapat bahwa dengan terus menurunnya jasa


keanekaragaman hayati dan ekosistem lokal dan global, penting untuk memahami bagaimana
keanekaragaman hayati dan berbagai jasa ekosistem berinteraksi satu sama lain dan
bagaimana transformasi penggunaan lahan dapat mengubah interaksi tersebut dari waktu ke
waktu. Dalam konteks daerah aliran sungai, menjaga ekosistem juga merupakan cara untuk
mengamankan wilayah strategis sumber air. Area tersebut dapat dilihat sebagai kumpulan
sumber daya bersama, yang dapat dikontrol dengan baik melalui pengelolaan bersama antara
pemangku kepentingan publik dan swasta (Carlsson dan Berkes, 2005). Membuka potensi
penuh kawasan sumber daya air strategis pada akhirnya membutuhkan pengelolaan kawasan
dataran tinggi, serta kawasan dataran rendah (hilir) yang terkena dampak parah (Pittock et al., 2015).

Menurunnya daya serap tanah didefinisikan sebagai salah satu faktor pengganggu
daya dukung lingkungan, baik dalam aspek interaksi hulu hilir DAS maupun kelestariannya
(Bellfield et al., 2015, Euler et al., 2018, Kindu et al. , 2018). Rendahnya perlindungan formal
di kawasan strategis sumber daya air sangat memprihatinkan sehingga sangat penting untuk
penyediaan air.
Tantangan pada kawasan sumber air yang dilindungi dan dampaknya menunjukkan nilai yang
dihasilkan bagi masyarakat baik di sekitarnya maupun lingkungan secara keseluruhan
(Cumming, 2016; Watson et al., 2014). Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa
istilah DAS berbasis lingkungan menggambarkan suatu tempat, platform, atau ruang siklus
hidrologi yang ditempati oleh makhluk hidup (termasuk manusia) dan makhluk tak hidup yang
saling berkorelasi dan saling mempengaruhi, baik antara makhluk itu sendiri atau antara
makhluk dan lingkungannya, yang tidak dibatasi oleh kendala administrasi politik atau
pemerintahan.

Tujuan pengelolaan DAS bervariasi antar negara tergantung pada prioritas nasionalnya
Di Indonesia, pemerintah provinsi diberi kesempatan untuk membantu dan mengelola DAS
yang melintasi beberapa kabupaten/kota dan di dalam kabupaten/kota (Steni, 2016).
Selanjutnya, pengelolaan yang secara umum mengacu pada tindakan yang ditujukan untuk
mencapai keberlanjutan dalam pengelolaan sumber daya alam, berkontribusi pada prioritas
konservasi dan

Jurnal Perencanaan Pembangunan Indonesia Volume


186
III No. 2 – Agustus 2019
Machine Translated by Google

Andi Setyo Pambudi

mengurangi degradasi lingkungan yang mengancam kesejahteraan masyarakat. (Barendse et


al., 2016). Ilustrasi DAS di Indonesia dibatasi oleh batas-batas hidrologis dan administratif
yang tidak diketahui sebagaimana digambarkan pada Gambar 1.

DAS Hulu
Batas Provinsi
(Wilayah Pemerintah)
(Rencana Tata Ruang Provinsi A)

Batas Provinsi
(Wilayah Pemerintah)

DAS Hilir

(Rencana Tata Ruang Provinsi C)

DAS Tengah

(Rencana Tata Ruang Provinsi B)

Batas DAS
(Wilayah Hidrologi)
LAUT

Gambar 1. Deskripsi Daerah Aliran Sungai di Indonesia


Sumber: Olahan Jagung 1993, Swallow et al., 2001, UU No. 23 Tahun 2014 dan
Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2012

1.1. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai di Indonesia


Di sebagian besar negara Asia Selatan, evolusi pengelolaan DAS dimulai awal 1980-
an, meskipun negara-negara seperti India dan Bangladesh telah memperkenalkan program
pengelolaan DAS selama tahun 1970-an (Reddy, 2017).
Pengelolaan DAS berurusan dengan perubahan dalam pengaturan kelembagaan yang
diperlukan untuk situasi aksi kolektif (Reddy et al., 2017). Hal ini mencerminkan bahwa
kelestarian DAS ditentukan oleh pola perilaku, kondisi sosial ekonomi, dan tingkat pengelolaan
yang berkaitan erat dengan organisasi kelembagaan (Mtibaa et al., 2018). Banyak penelitian
telah dilakukan mengenai dampak aktivitas manusia terhadap rejim dan penataan kapasitas
pada salah satu faktor lingkungan (Li et al., 2018). Pengelolaan DAS yang merupakan bagian
dari pembangunan wilayah di Indonesia ternyata menghadapi berbagai permasalahan seperti
belum adanya integrasi antar sektor, lembaga, dan wilayah. Selain itu, partisipasi masyarakat
belum optimal sehingga kelestarian DAS semakin memprihatinkan. Dampak yang paling
terlihat dari buruknya pengelolaan DAS tergambar dari kondisi sumber daya air di beberapa
wilayah di Indonesia (Bappenas, 2015).

Kondisi yang diuraikan di atas sejalan dengan kesehatan DAS. Untuk daerah yang
kondisi kesehatannya relatif baik, ketersediaan airnya cukup melimpah, begitu pula sebaliknya.
Menurut kategori pulau/gugusan pulau, tutupan lahan berhutan yang terletak di kawasan
hutan terestrial sebagian besar tersebar di Papua dengan a

Jurnal Perencanaan Pembangunan Indonesia Volume III


No. 2 – Agustus 2019 187
Machine Translated by Google

Andi Setyo Pambudi

seluas 32,5 juta ha atau 33,9% dari total 96 juta ha luas kawasan hutan di Indonesia, di
Kalimantan seluas 25,6 juta ha (26,7%), sedangkan luas terkecil tersebar di Bali dan Nusa
Tenggara seluas 1,5 juta ha (1,6%). Pulau lainnya memiliki tutupan lahan berhutan kurang
dari 15,0% (Ditjen Planologi Kehutanan dan Lingkungan Hidup, 2015)

Secara terminologi, pengelolaan DAS adalah usaha manusia untuk mengatur


hubungan antara sumber daya alam dengan manusia beserta kegiatannya, guna
mewujudkan kelestarian dan keseimbangan ekosistem seiring dengan peningkatan
pemanfaatan sumber daya alam oleh manusia secara berkelanjutan. (Pasal 1 angka 2
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 37 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Daerah
Aliran Sungai). Menurut kerangka Pengelolaan DAS di Indonesia yang dikeluarkan oleh
Kementerian Kehutanan Republik Indonesia pada tahun 2009, pengelolaan DAS pada
dasarnya adalah pengelolaan atau optimalisasi penggunaan lahan yang rasional untuk
berbagai kepentingan dan praktik ramah lingkungan lainnya sehingga dapat dinilai dengan
indikator akhir. kuantitas, kualitas, dan kontinuitas aliran sungai pada outlet DAS. Jika DAS
didefinisikan sebagai wadah siklus air, maka penyelesaian masalah DAS hanya dengan
merehabilitasi daerah hulu tidak sepenuhnya tepat. Kebijakan pemerintah yang
memposisikan pengelolaan DAS tidak lebih baik dari rehabilitasi hutan dan lahan perlu
ditinjau kembali dalam konteks ilmu pengetahuan awal tentang DAS itu sendiri dan
regulasinya serta aspek kelembagaan karena membuat kontribusi dan relevansi sektor lain
menjadi tidak jelas. Pengelolaan DAS Terpadu pada dasarnya merupakan bentuk
pengelolaan partisipatif multi pihak dalam konservasi dan pemanfaatan saling
ketergantungan baik alam maupun manusia sebagai bagian dari ekosistem (Upadani,
2017). Di sisi lain, dalam konteks kebijakan ekonomi makro, kecenderungan ini semakin
meningkat pada era otonomi daerah, pengelolaan sumber daya alam DAS berorientasi
pada peran pembangunan ekonomi dan mengabaikan wawasan lingkungan.

ÿ Ketersediaan air memadai ÿ


ÿ Ketersediaan air
Potensi pengembangan irigasi dan rawa
memadai ÿ Ketersediaan air memadai ÿ
terbatas ÿ Masalah Potensi irigasi tinggi ÿ Tantangan
ÿ Potensi tinggi untuk
banjir di beberapa wilayah ÿ Sungai banjir ÿ Sungai tercemar
pengembangan irigasi dan
tercemar berat 68% berat 51%
rawa ÿ
Tantangan banjir ÿ Sungai
tercemar berat 68%

INDONESIA

ÿ Ketersediaan air yang


tinggi ÿ Potensi terbatas untuk
ÿ Ketersediaan air sangat penting
pengembangan daerah
ÿ Fokus pada peningkatan skema
ÿ Ketersediaan air sangat penting irigasi dan rawa ÿ
irigasi yang ada ÿ Pengelolaan
ÿ Pengembangan skema irigasi selektif ÿ Masalah banjir yang muncul ÿ
banjir sangat
Masalah Sungai tercemar berat 51%
menuntut di seluruh daerah
banjir relatif rendah ÿ Sungai tercemar
ÿ Sungai tercemar berat 68%
berat 64%

Gambar 2. Fakta Sumber Daya Air di Indonesia


Sumber: Bappenas, 2015

Kondisi DAS di sebagian besar wilayah Indonesia saat ini mulai menurun secara
kuantitas dan kualitas. Menurut Mawardi (2010), jumlah lahan kritis yang terdaftar masih
terdiri dari 22 DAS pada tahun 1984, meningkat menjadi 39 DAS pada tahun 1990, dan
mencapai 62 DAS pada tahun 1998. Sementara itu, Pemerintah Indonesia menyatakan
melalui penetapan SK Menteri Kehutanan. .328/Menhut-II/

Jurnal Perencanaan Pembangunan Indonesia Volume


188
III No. 2 – Agustus 2019
Machine Translated by Google

Andi Setyo Pambudi

2009 bahwa terdapat 108 DAS prioritas dari 17.088 DAS secara keseluruhan di
Indonesia yang perlu segera dikelola.
Pengelolaan DAS Terpadu adalah proses merumuskan dan melaksanakan
serangkaian tindakan yang melibatkan sumber daya alam dan manusia di DAS, dengan
mempertimbangkan faktor sosial, politik, ekonomi dan kelembagaan yang beroperasi di
dalam DAS dan sekitarnya untuk mencapai tujuan sosial ekonomi dan ekologi tertentu.
Dixon, 1992). Pengelolaan DAS Terpadu merupakan bagian dari pengelolaan sumber
daya yang mempengaruhi individu dengan kepentingan yang berbeda. Keberhasilannya
tidak hanya ditentukan oleh para pelaksana langsung di lapangan, tetapi juga oleh pihak-
pihak lain yang telah terlibat sejak tahap perencanaan hingga pemantauan dan evaluasi
(Ayu dan Anna, 2013).
1.2. Tujuan
Kompleksitas persoalan DAS dan pengelolaannya memerlukan analisis efektivitas
yang dinilai dari berbagai aspek. Tulisan ini mencoba menggali efektivitas kebijakan
pengelolaan DAS di Indonesia dari aspek sejarah, regulasi, kelembagaan, serta
implementasi kebijakan. Metodologi yang digunakan adalah studi pustaka dengan
meninjau sumber daya sekunder, antara lain Rencana Pengelolaan Daerah Aliran
Sungai Terpadu (RPDAST), Rencana Wilayah Sungai, Data Pencapaian, Monitoring
dan Evaluasi DAS oleh Kementerian/Lembaga, Dokumen Rencana Tata Ruang (RTRW),
Jangka Menengah Nasional Rencana Pembangunan Daerah Aliran Sungai (RPJMN),
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), Undang-Undang,
Peraturan Menteri, Peraturan Dirjen, Peraturan Daerah, Peraturan Gubernur/Bupati/
Walikota dan dokumen lain tentang ruang lingkup DAS. Karena pengelolaan DAS
merupakan bagian dari manajerial, makalah ini akan menggunakan analisis SWOT.
Dalam mendukung proses analisis SWOT digunakan metode kualitatif dengan melakukan
wawancara, diskusi, dan penelusuran data sekunder.

II. Evolusi Pengelolaan DAS di Indonesia


Eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan pada masa penjajahan Belanda
dan Jepang di Indonesia menjadi alasan utama di balik rehabilitasi di awal masa
kemerdekaan di tanah air. Pada tahun 1946, Pemerintah Indonesia membentuk panitia
penghijauan yang anggotanya berasal dari berbagai instansi/departemen, untuk
merehabilitasi kawasan degradasi seluas 110.000 ha yang ditinggalkan oleh Jepang (Mursidin, 1997).
Namun, rencana panitia tidak membuahkan hasil yang signifikan. Pada tahun 1961,
Departemen Pertanian dan Urusan Agraria membentuk sebuah komite yang disebut
Komite Penyelamatan Hutan, Lahan dan Air yang bertanggung jawab untuk membuat
rencana aksi yang diperlukan oleh pemerintah untuk menjaga kesuburan tanah, untuk
meningkatkan siklus hidrologi di daerah aliran sungai, dan untuk menjaga kelestarian
keanekaragaman hayati di Indonesia (Ditjen RLPS dan Kemenhut, 2003). Nawir dkk.
(2008) menyatakan bahwa salah satu hasil yang dikurangi dari rekomendasi panitia
adalah keputusan untuk mengadakan Pekan Reboisasi Nasional tahunan yang
diluncurkan pertama kali pada tahun 1961. Kegiatan ini bertujuan untuk memberikan
program penyuluhan yang mendukung kampanye untuk mempromosikan pentingnya konservasi hutan, tan
Dari tahun 1950 hingga 1970, kegiatan rehabilitasi umumnya dilakukan melalui proyek-
proyek yang dipimpin pemerintah termasuk penetapan Inpres Penanaman Pohon pada
tahun 1970-an. Pendekatan utama program rehabilitasi berfokus pada peningkatan
kesadaran publik. Ini bertujuan untuk mengatasi dampak negatif dari kegiatan pertanian
yang tidak tepat. Program yang dimulai selama periode tersebut menggunakan
kampanye nasional dan upacara nasional untuk mempengaruhi beberapa target

Jurnal Perencanaan Pembangunan Indonesia


Volume III No. 2 – Agustus 2019 189
Machine Translated by Google

Andi Setyo Pambudi

komunitas. Salah satu programnya adalah Karang Kitri, kampanye nasional yang dimulai pada
Oktober 1951 (1951-1960) dengan tujuan mengajak masyarakat untuk menanam pohon di
pekarangan dan lahan lainnya.

Banjir besar yang terjadi di Solo pada tahun 1966 merupakan titik awal bagi Pemerintah
Indonesia untuk melakukan rehabilitasi secara lebih serius (Ditjen RLPS dan Kemenhut, 2003).
Konservasi tanah dan air pascabencana banjir di Bengawan Solo merupakan program
rehabilitasi utama hingga tahun 1970-an. Program berfokus pada pengendalian erosi di hulu
yang terutama disebabkan oleh deforestasi dan praktik pertanian yang tidak tepat. Pada awal
tahun 1970-an, sebagian besar kawasan yang terdegradasi terkonsentrasi di Jawa. Pertanian
konservasi di lereng dengan menerapkan metode konservasi tanah dan air, kombinasi teknik
vegetatif dan teknik sipil, merupakan sistem yang banyak digunakan, terutama di Jawa. Metode
sipil teknis digunakan secara luas dan program penyuluhan ditingkatkan melalui penyebaran
5.560 Instruktur Kehutanan Lapangan (Santoso, 1997). Dalam Rencana Pembangunan Lima
Tahun (Repelita) Orde Baru Keempat, pengelolaan hutan dan lahan yang terdegradasi
ditetapkan melalui sistem skala prioritas. Untuk tujuan ini, 36 DAS dipilih dari 70 kabupaten di
23 provinsi. Kegiatan utamanya adalah pembangunan demplot, pembangunan bendungan,
pengembangan hutan rakyat, dan pembuatan bibit desa. Dalam Repelita V, program reboisasi
dan penghijauan ditingkatkan melalui pelibatan masyarakat setempat, seperti menyelenggarakan
kegiatan rehabilitasi swadaya, peningkatan kapasitas kelembagaan masyarakat, dan
pengembangan kapasitas sumber daya manusia terutama pemuda dan perempuan (Nawir et
al., 2008).

Menurut Mursidin (1997), berdasarkan pengamatan tingkat sedimentasi di beberapa


DAS di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, laju erosi tanah yang terjadi di dataran
tinggi Jawa cukup memprihatinkan. Pada awal tahun 1999, program rehabilitasi masih
dilaksanakan untuk melanjutkan program penghijauan pada tahun 1970-an. Namun, program
yang dilaksanakan di bawah kebijakan otonomi daerah ini mendapat tekanan berat akibat
perambahan hutan selama pergolakan reformasi politik. Rencana Induk Rehabilitasi Hutan
dan Lahan (MPRHL) dikembangkan pada tahun 2000 dan digunakan sebagai dasar untuk
merencanakan arah program rehabilitasi hutan dan lahan. Pada tahun 2003, Kementerian
Kehutanan mencanangkan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL/Gerhan)
untuk menjawab kebutuhan rehabilitasi akibat isu degradasi yang semakin marak. Sementara
itu, Santoso (2005) menyatakan bahwa Program GNRHL/Gerhan dianggap sebagai gerakan
moral yang mengajak masyarakat berpartisipasi dalam kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan.
Total target area adalah 3.000.000 ha dengan total anggaran Rp. 5,9 triliun (± US$ 670,6 juta).
Hal ini akan dicapai secara bertahap dengan luas 300.000 ha pada tahun 2003, 500.000 ha
pada tahun 2004, 600.000 ha pada tahun 2005, 700.000 ha pada tahun 2006 dan 900.000 ha
pada tahun 2007. Wilayah sasaran terletak di 236 kabupaten yang terdiri dari 68 DAS prioritas
di 27 provinsi. Areal prioritas adalah DAS kritis dengan tingkat degradasi hutan dan lahan kritis,
yang rentan terhadap bencana alam dan terdiri dari kawasan tutupan hutan kecil (Dirjen RLPS,
Departemen Kehutanan, 2003). Pada tahun 2003 GNRHL/Gerhan provinsi dilaksanakan di 15
provinsi yang mencakup 26 DAS, sedangkan pada tahun 2004 dilaksanakan di 31 provinsi
yang mencakup 141 DAS dan 374 kabupaten/kota (Santoso, 2005).

Pemanfaatan DAS sebagai unit perencanaan pengelolaan sumber daya alam


ditetapkan pada tahun 1988 yang merupakan bagian dari strategi pembangunan nasional. Hal
ini menunjukkan bahwa peran DAS ternyata menjadi bagian dari perhatian pemerintah (Baplan
Kemenhut, 2003). Daerah aliran sungai juga merupakan unit utama dari pendekatan pengelolaan

Jurnal Perencanaan Pembangunan Indonesia Volume III


190
No. 2 – Agustus 2019
Machine Translated by Google

Andi Setyo Pambudi

yang digunakan dalam Rencana Induk Rehabilitasi Hutan dan Lahan pada tahun 2000. Karena
pendekatan daerah aliran sungai lebih holistik, dapat digunakan untuk mengevaluasi hubungan
antara faktor biofisik dan intensitas kegiatan sosial ekonomi serta budaya dari hulu ke hilir. daerah
hilir. Selain itu, dapat digunakan untuk menilai dampak lingkungan dengan lebih cepat dan
mudah. Amanat Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan,
khususnya pada Pasal 1 Ayat 1 menjelaskan bahwa perencanaan kehutanan adalah proses
penetapan tujuan serta pengaturan kegiatan dan perangkat yang diperlukan untuk pengelolaan
hutan secara lestari dengan memberikan pedoman dan arahan untuk menjamin tercapainya
pengelolaan hutan. Tujuan, yaitu kesejahteraan manusia yang sebesar-besarnya, adil, dan
berkelanjutan. Sementara itu, Pasal 32 Ayat 2 PP tersebut menyatakan bahwa setiap unit
pengelolaan hutan harus didasarkan pada karakteristik Daerah Aliran Sungai (DAS) yang
bersangkutan. Pada tahun 2012, diterbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 37 Tahun 2012
tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai.

Dengan adanya peraturan ini, kebijakan DAS dan pengelolaannya menjadi lebih jelas.

Dalam dua periode Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)


Indonesia sebelumnya, yaitu RPJMN 2004-2009 dan RPJMN 2010-2014, pengelolaan DAS
belum jelas meskipun ada beberapa kegiatan yang mengarah ke sana. Pengelolaan DAS yang
baru secara jelas dinyatakan dalam bagian ketahanan air RPJMN 2015-2019. Pada dasarnya
ketahanan air meliputi 2 (dua) hal: 1) kecukupan, kuantitas, kualitas, dan kelestarian air termasuk
kelestarian kehidupan dan ekosistem, dan 2) kemampuan untuk mengurangi risiko kerusakan air.

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN Indonesia) periode


2015-2019, pengelolaan DAS tertulis pada bagian lingkungan hidup yang menjadi tanggung
jawab beberapa kementerian, antara lain Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan,
Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Pertanian , dan Kementerian Energi dan Sumber
Daya Mineral, BMKG dan sebagainya. Untuk mendukung pengelolaan DAS di daerah, telah
dibentuk 15 Perda, yaitu 13 Perda Pengelolaan DAS Provinsi dan 2 Perda Kabupaten/Kota.

AKU AKU AKU. Struktur Kelembagaan DAS

Dalam kajian yang dilakukan Bappenas (2015), konsep ketahanan air seharusnya tidak
hanya dianalisis dari aspek air permukaan dan air biru, tetapi juga air hijau. Pergeseran perspektif
ini telah mengubah pendekatan manajemen yang diterapkan pada kelembagaan-tata kelola yang
menekankan sinergi antar lembaga yang bertanggung jawab dalam konservasi tanah dan air
(Badan Hutan Lindung dan Daerah Aliran Sungai/BPDAS-HL), mengendalikan konservasi air
permukaan (Balai Wilayah Sungai/ BWS), dan pengelolaan air tanah (Groundwater Office).
Pendekatan sinergi dan koordinasi menjadi poin penting karena minimnya inovasi kelembagaan
yang merespon isu ketahanan air. Ego sektoral masih menjadi kendala utama dalam pelaksanaan
koordinasi yang efektif antara dua lembaga yang melestarikan air hijau dan mengelola konservasi
air biru. Kedua tanggung jawab mereka telah dibangun di atas aturan mereka sendiri. Selain itu,
satuan-satuan DAS yang seharusnya tidak memiliki administrasi provinsi/kabupaten/kota lintas
batas bahkan lintas negara telah berubah pola pengelolaannya mengikuti kebijakan desentralisasi
sehingga konsep DAS menghadapi masalah koordinasi yang serius.

Jurnal Perencanaan Pembangunan Indonesia Volume III


No. 2 – Agustus 2019 191
Machine Translated by Google

Andi Setyo Pambudi

Helen et al. (2016) menyatakan bahwa organisasi pemerintahan Indonesia


kompleks dan berkembang dimana hingga saat ini terdapat sekitar 34 kementerian,
4 lembaga pemerintah setingkat kementerian, 29 lembaga non kementerian, 34
provinsi, dan lebih dari 500 kabupaten dan kota. Sejak reformasi yang dimulai pada
tahun 1990-an, kewenangan pemerintahan semakin didelegasikan ke provinsi/
kabupaten dan jauh dari pemerintah pusat di Jakarta. Pendelegasian ini diperkuat
dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah. Hal ini semakin menegaskan kekuasaan pusat dari pemerintah pusat untuk
mendikte kebijakan, baik secara horizontal (antar Kementerian/Lembaga), maupun
secara vertikal (antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Mairi et al. (2014) menunjukkan bahwa
bentuk kelembagaan yang paling tepat untuk diterapkan dalam pengelolaan DAS
terpadu adalah kombinasi Polisentrik dan Monosentris. Untuk itu diperlukan kerja
kolaboratif seperti forum DAS/LK-PDAS (Lembaga Koordinasi Pengelolaan Daerah
Aliran Sungai) di tingkat Provinsi yang anggotanya adalah kepala masing-masing
instansi di daerah/OPD/Organisasi Sektoral Perangkat Daerah. Lembaga ini bersifat
non struktural dan bertanggung jawab langsung kepada Gubernur sebagai pemegang
kebijakan. Forum DAS/LK-PDAS berfungsi sebagai wadah komunikasi, konsultasi
dan koordinasi antar pemangku kepentingan untuk membantu Gubernur merumuskan
kebijakan pengelolaan DAS lintas kabupaten. Pada tahun 2013, forum tersebut mulai
berlaku sebagai bagian dari pengelolaan DAS yang diakui pemerintah dengan
diterbitkannya Permenhut P.61/Menhut-II/2013 tentang Forum Koordinasi Pengelolaan
DAS. Dalam Dokumen Renstra Direktorat Jenderal Pengendalian Daerah Aliran
Sungai dan Hutan Lindung KLHK 2015-2019, 1 Forum Koordinasi Pengelolaan DAS
tingkat nasional, 3 Forum DAS lintas provinsi, 40 forum DAS dengan persetujuan
gubernur, 51 Forum DAS dengan persetujuan bupati/walikota, dan telah terbentuk 14
forum DAS dengan inisiasi Lembaga Swadaya Masyarakat/LSM. Namun demikian,
mengingat penganggaran terkait DAS masih didominasi oleh APBN, maka peran
BPDAS-HL dan BWS sangat penting untuk mewujudkan pelaksanaan pengelolaan
DAS. Sinergi kelembagaan, regulasi dan kebijakan merupakan kunci implementasi
yang didukung oleh masukan yang dihasilkan dari forum DAS yang kapasitasnya
sebagai “think tank” sangat penting untuk pengelolaan DAS yang lebih mandiri.

IV. Tinjauan Kebijakan: Analisis SWOT


Pengelolaan sumber daya air tidak dapat dipisahkan dari unit pengelolaan
DAS karena merupakan bagian dari siklus hidrologi. Daerah aliran sungai sebagai
salah satu komponen lanskap sumber daya air mengalami kerusakan yang diikuti
dengan penurunan kualitas lingkungan. Indikator yang dapat diatasi akibat kerusakan
DAS di Indonesia antara lain (1) meningkatnya laju erosi dan sedimentasi akibat alih
fungsi lahan dari hutan menjadi pertanian, perkebunan, dan permukiman di bagian
hulu; (2) fluktuasi aliran sungai yang mencolok pada musim hujan dan musim
kemarau, dan (3) menurunnya kualitas dan kuantitas air permukaan dan air tanah.
Berbagai intervensi telah dilakukan untuk mengelola kerusakan tersebut, seperti
instrumen kebijakan, alokasi anggaran, dan inovasi kelembagaan, namun belum
menunjukkan hasil yang optimal seperti yang diharapkan. Masalah erosi, sedimentasi,
kekeringan, dan banjir terus terjadi akibat rusaknya DAS. Sesuai dengan RPJMN
2015-2019 yang dikeluarkan pemerintah, beberapa permasalahan terkait pengelolaan
sumber daya air menjadi perhatian dan perhatian pemerintah untuk diselesaikan,
antara lain: (1) kurangnya

Jurnal Perencanaan Pembangunan Indonesia


192
Volume III No. 2 – Agustus 2019
Machine Translated by Google

Andi Setyo Pambudi

ketersediaan air irigasi dan waduk pada musim kemarau; (2) pemanfaatan air belum dikelola
dengan baik; (3) belum tuntasnya pemulihan kualitas DAS prioritas nasional; (4) luas lahan kritis
di dalam dan di luar hutan masih tinggi diikuti dengan tingginya laju deforestasi.

4.1. Penilaian kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman

Analisis SWOT digunakan untuk memetakan faktor internal dan eksternal yang
mempengaruhi manajerial. Pada faktor internal, eksplorasi kekuatan dan kelemahan ruang
lingkup pengelolaan DAS menjadi penting untuk melihat sejauh mana dukungan pengelolaan
DAS di Indonesia. Faktor eksternal yang mengandung peluang dan ancaman dipetakan untuk
melihat seberapa besar peluang yang ada dan seberapa jauh ancaman tersebut akan
mempengaruhi pengelolaan DAS. Berdasarkan hasil wawancara, diskusi, dan penelusuran data
sekunder yang tersedia, hasil penilaian kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman pengelolaan
DAS di Indonesia disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Kajian Kekuatan, Kelemahan, Peluang, dan Ancaman Pengelolaan Daerah Aliran
Sungai di Indonesia

Kekuatan Kelemahan

- Memiliki struktur/lembaga - Lemahnya koordinasi antara


kepengurusan baik dari instansi pusat (BPDAS-HL, BWS)
pemerintah pusat (BPDAS HL, BWS) dan instansi daerah
atau dari pemerintah daerah. (Bappeda, OPD/Organisasi Daerah
terkait).

- Struktur/institusi - Masih melekatnya ego sektoral pada


manajerial ini punya masing-masing instansi
dukungan sumber daya manusia ditunjukkan dengan persepsi instansi
yang memadai disertai fasilitas yang pemerintah daerah yang
memadai. menganggap bahwa RPDAST adalah
tanggung jawab BPDAS-HL semata.
- Itu telah dilengkapi dengan dukungan keuangan

tidak hanya dari Anggaran Pendapatan dan - Dokumen RPDAST terintegrasi


Belanja Negara (APBN) tetapi juga dari Anggaran belum terinternalisasi dalam
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). RTRW/
RPJMD
- Forum Daerah Aliran Sungai telah terbentuk
secara luas. - Pendanaan Forum Daerah Aliran
Sungai sebagian besar
- Memiliki dokumen RPDAST yang terintegrasi.
bergantung pada APBN
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

- RTRW belum dimanfaatkan


tata guna lahan dan tata ruang

- Stasiun pengamatan sungai

air belum terdistribusi secara


merata dan sebagian tidak bisa

Jurnal Perencanaan Pembangunan Indonesia Volume III


No. 2 – Agustus 2019 193
Machine Translated by Google

Andi Setyo Pambudi

Kekuatan Kelemahan

dimanfaatkan dengan baik sehingga


data evaluasi DAS tidak dapat diperoleh
untuk dianalisis untuk mendukung
manajemen.

Peluang Ancaman

- Beberapa daerah memiliki peraturan daerah - Kontinuitas degradasi hutan,


tentang pengelolaan daerah aliran sungai perubahan penggunaan lahan di
daerah aliran sungai
- Peraturan lainnya meliputi: peraturan daerah
tentang Pengelolaan Sampah dan - Erosi dan sedimentasi
Perlindungan Lahan Berkelanjutan terus terjadi.

Pertanian Pangan, dan sebagainya.


- Penebangan liar, perambahan
-Ada beberapa inisiatif dari hutan, pengolahan lahan hutan
pelayanan lingkungan untuk pertanian di kawasan hutan
konservasi, hutan lindung dan
- Anggaran BWS cukup banyak dan diharapkan
hutan produksi.
dapat dimanfaatkan secara optimal
bekerjasama dengan BPDAS-HL - Praktek budidaya pertanian yang tidak
yang anggarannya terbatas. ramah lingkungan

- Pertumbuhan penduduk dan perkembangan


permukiman yang lebih tinggi.

Sumber: Hasil Analisis, 2019

4.2. Pendekatan Strategi

Hasil dari pemetaan SWOT digunakan sebagai acuan untuk merancang pendekatan
manajemen/strategi. Seperti disebutkan sebelumnya, manajemen/strategi dilakukan melalui 4
tindakan berdasarkan interaksi antara faktor internal dan eksternal (SO, ST, WO, dan WT).
Pengelolaan/strategi peningkatan pengelolaan DAS di Indonesia dirangkum dalam Tabel 2.

Jurnal Perencanaan Pembangunan Indonesia Volume III


194
No. 2 – Agustus 2019
Machine Translated by Google

Andi Setyo Pambudi

Tabel 2. Pemetaan Interaksi Antar Faktor untuk Strategi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai di Indonesia.

Intern Faktor eksternal


Faktor
Peluang Ancaman

Manajemen/Strategi (SO) Manajemen/Strategi (ST)

Satu BPDAS-HL memanfaatkan Satu

BPDAS-HL dorong rehabilitasi


peraturan daerah untuk hutan dan lahan (RHL) efektif
mendorong internalisasi
RPDAST menjadi RTRW / kegiatan untuk mengurangi
RPJPD. DAS erosi tanah dengan tingkat
2
Forum-forum dilibatkan dan keberhasilan penanaman
diperkuat untuk memediasi yang tinggi di dalam dan di
proses internalisasi luar kawasan hutan
2
RPDAST ke dalam
BPDAS-HL dan BWS
RTRW/RPJPD
meningkatkan volume
3 Proses internalisasi Periksa Bendungan / Kontrol Bendungan

dimonitor dan dievaluasi oleh kegiatan untuk menampung


3 longsoran.
BPDAS-HL/Forum Daerah Aliran
Sungai/Bappeda (Badan
Meningkatkan efektifitas
Perencanaan
pengelolaan pemanfaatan
Pembangunan Daerah),
hutan secara illegal bersama
kemudian dilaporkan ke 4
pengelola hutan.
Gubernur.
Mengembangkan
Mensinergikan kebijakan
4 program pertanian ramah
dengan mengoptimalkan
lingkungan bersama dengan
anggaran BWS yang cukup 5 Dinas Pertanian.
tinggi dibandingkan dengan
anggaran BPDAS-HL
yang terbatas di
lapangan namun terdapat Melaksanakan program DAS
lokus DAS dalam tugasnya. dalam rangka mengatasi dampak
negatif pembangunan
permukiman bersama
Kementerian Pekerjaan Umum
dan Perumahan Rakyat serta
pemerintah daerah.

Jurnal Perencanaan Pembangunan Indonesia Volume III No. 2 –


195
Agustus 2019
Machine Translated by Google

Andi Setyo Pambudi

Manajemen/Strategi Manajemen/Strategi (WT)


(WO)
Satu

Meningkatkan Satu

Meningkatkan
efektivitas dari efektivitas dari
koordinasi melalui keterlibatan koordinasi antara
aktif Bappeda dalam Perencanaan Wilayah
kegiatan pengelolaan DAS. (RTRW) dan rencana
tata ruang serta
membantu pemantauan
pemanfaatan ruang yang tidak
2 Memanfaatkan Perda
sesuai dengan ketentuan
Terpadu
Perencanaan Wilayah
Pengelolaan DAS
(RTRW) untuk menanggulangi
sebagai landasan kebijakan ancaman perbaikan
untuk 2 permukiman di kawasan lindung
menginternalisasikan RPDAST daerah.
3 ke dalam RTRW/RPJPD.
Meningkatkan
BPDAS-HL meningkatkan efektivitas
efektivitas koordinasi dengan koordinasi antar instansi,
Bappeda untuk khususnya pemerintah daerah,
memperkuat RTRW dan untuk mendukung
penggunaan pola tata ruang 3 Kegiatan RHL
yang selaras dengan menggunakan anggaran
RPDAST DAS atau APBD

Meningkatkan
efektivitas
koordinasi dengan tujuan
internalisasi
RPDAST menjadi RPJMD di
untuk mendorong
pembagian tugas antar instansi
dan untuk mengurangi ancaman
erosi dan sedimentasi di
waduk

Sumber: Hasil Analisis, 2019

V. Review Implementasi Regulasi

Beberapa peraturan, baik Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, maupun Peraturan Teknis


Kementerian, belum dilaksanakan secara efektif untuk mendukung pengelolaan air dan konservasi
sumber daya air. Yakni UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU No.37 Tahun 2014 tentang
Konservasi Perairan dan Konservasi Lahan, UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang, UU No. 18/2003
tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, Peraturan Pemerintah No. 26/2008 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Peraturan Menteri Kehutanan P.39/Menhut-II/2009 tentang
Pedoman Penyusunan RPDAST, dan Peraturan Menteri Kehutanan P.61/Menhut-II/2013 tentang Forum
Koordinasi Pengelolaan DAS.

Kenyataannya, pengelolaan DAS di lapangan masih menggunakan aturan lama untuk


perencanaan, pengorganisasian, serta pemantauan dan evaluasi. Di Indonesia, RPDAST

Jurnal Perencanaan Pembangunan Indonesia Volume III No.


196
2 – Agustus 2019
Machine Translated by Google

Andi Setyo Pambudi

secara umum masih dilakukan berdasarkan Peraturan Pemerintah No.39 Tahun 2007 dan
Peraturan Menteri Kehutanan No P.39/Menhut-II/2009 tentang Pedoman Penyusunan
Rencana Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Terpadu. (RPDAST). Dapat dipahami, RPDAST
beberapa DAS disusun sebelum ditetapkannya Peraturan Pemerintah No. 37/2012 tentang
Pengelolaan DAS. Pada akhirnya, penting untuk menyusun kembali atau merevisi RPDAST
sesuai dengan Peraturan Pemerintah No.37 Tahun 2012 bahwa kewenangan penyusunan
RPDAST dibuat berdasarkan batasannya. Namun kondisi yang mendukung untuk mencapai
kondisi tersebut belum tersedia. Terhadap kendala kewenangan yang detail, alokasi
anggaran penyusunan RPDAST perlu dihilangkan dengan mengeluarkan peraturan turunan
dari menteri teknis (Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan) dan menyiapkan pemerintah daerah untuk melaksanakan penyusunan rencana,
penyelenggaraan pengelolaan daerah aliran sungai, serta pemantauan dan evaluasi yang
diatur dengan Peraturan Pemerintah No. 37/2012. Jika pelaksanaan pengelolaan DAS
sejalan dengan Peraturan Pemerintah No. 7/2012, masalah internalisasi dan operasionalisasi
RPDAST di Pemda diharapkan tidak terjadi.

5.1. Kesimpulan

Model implementasi kebijakan pengelolaan DAS merupakan model pembuatan


kebijakan yang dituangkan dalam rencana aksi. Rencana aksi implementasi kebijakan
menjadi perhatian penting dalam kajian ini karena temuan menunjukkan implementasi
konservasi sumber daya air berbasis DAS yang tertuang dalam rencana aksi RPDAST tidak
efektif. Kinerja rencana aksi secara umum belum optimal karena kurangnya peran pemerintah
daerah.
Sejauh ini, rencana aksi yang dihasilkan (RPDAST/Pola PSDA-WS) masih dianggap sebagai
tanggung jawab pemerintah pusat. Selain itu, pengelolaan DAS di lapangan masih
menggunakan aturan lama dalam perencanaan, pengorganisasian, serta pemantauan dan evaluasi.
Selanjutnya di Indonesia, RPDAST masih mengacu pada Peraturan Pemerintah No.38
Tahun 2007 dan Peraturan Menteri Kehutanan No. Peraturan Pemerintah No. . 37/2012 dan
UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam UU No.23 Tahun 2014, kewenangan
pengelolaan DAS lintas negara dan provinsi dilakukan oleh pemerintah pusat, sedangkan
pengelolaan DAS lintas kabupaten dan kota dilakukan oleh pemerintah provinsi. Berdasarkan
UU No.23/2014, penyusunan rencana aksi sesuai dengan Peraturan Pemerintah No.
37/2012 dilakukan oleh pemerintah provinsi, khususnya daerah aliran sungai yang terletak
lintas kabupaten dan kota. Oleh karena itu, perlu dikembangkan RPDAST sebagaimana
diamanatkan oleh Peraturan Pemerintah No.37 Tahun 2012 dan UU No. 23/2014 yang
menjelaskan bahwa kewenangan penyusunan RPDAST dilakukan dengan batas wilayah
administrasi DAS.

Beberapa kendala yang perlu diselesaikan terutama terkait dengan rincian


kewenangan dan alokasi anggaran penyusunan RPDAST. Hal tersebut dapat dihilangkan
dengan menerbitkan peraturan turunan dari kementerian teknis (Kementerian Dalam Negeri
dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) dan dengan mempersiapkan pemerintah
daerah untuk melakukan penyusunan rencana, menyelenggarakan pengelolaan DAS, serta
pemantauan dan evaluasi sesuai dengan batas administrasi DAS. pengelolaan diatur
dengan Peraturan Pemerintah No.37/2012 dan UU No.
23/2014. Jika pengelolaan DAS sejalan dengan Peraturan Pemerintah No.

Jurnal Perencanaan Pembangunan Indonesia Volume


III No. 2 – Agustus 2019 197
Machine Translated by Google

Andi Setyo Pambudi

37/2012, internalisasi dan operasionalisasi RPDAST di tingkat pemerintah daerah


akan berjalan lebih baik dan selaras dengan konsep UU No.23/2014 tentang
Pemerintahan Daerah. Dua model di bawah ini menunjukkan proses implementasi
kebijakan berbasis DAS yang digariskan melalui proses penyusunan rencana aksi
yang disesuaikan dengan fungsi kelembagaan pemerintah pusat dan pemerintah
daerah (lihat gambar 3 dan 4).
Model penyusunan rencana aksi disesuaikan dengan amanat Peraturan
Pemerintah No. 37/2012 dan merupakan fungsi prasyarat pengelolaan DAS lintas
sektor dan wilayah. Saat ini, proses pelaksanaan kebijakan berbasis DAS dengan
pendekatan vegetatif hanya terpusat pada pemerintah pusat (BPDAS-HL) sebagai
aktor tunggal yang menyusun dan melaksanakan rencana aksi tersebut. Meskipun
beberapa dokumen RPDAST telah disahkan atau memperoleh legal standing dari
pemerintah daerah, namun proses pembuatan rencana aksi dan pengalokasian
anggaran sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah pusat (BPDAS-HL).
Apabila amanat Peraturan Pemerintah No.37 Tahun 2012 telah dilaksanakan
secara tuntas, maka perlu dilakukan penataan kembali organisasi dan fungsinya
dengan memberikan dukungan penguatan pemerintah daerah yang memiliki
kewenangan menyusun rencana aksi (RPDAST) sebagaimana diamanatkan oleh
Peraturan Pemerintah. No.37/2012 dan UU No.23/2014. Penulis mengusulkan 4
kementerian/lembaga pusat untuk masuk dalam skema rekomendasi, yaitu
Kementerian PPN/Bappenas, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan,
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, dan Kementerian Dalam
Negeri.

Gambar 3 Model Implementasi Kebijakan Pengelolaan Daerah Aliran


Sungai Sesuai Peraturan Pemerintah No. 37/2012 dan UU No. 23/2014
tentang DAS Lintas Negara dan Provinsi di Indonesia Sumber:
Hasil Analisis, 2019

Jurnal Perencanaan Pembangunan Indonesia


198
Volume III No. 2 – Agustus 2019
Machine Translated by Google

Andi Setyo Pambudi

Kementerian Pembangunan Nasional Kementerian Dalam Negeri


Perencanaan/Bappenas

BPDAS-HL
Provinsi
Unit Air Tanah BWS
Bappeda
(Pusat/ Daerah) RTR
W
RPJP
D OP
Pemangku kepentingan
RPJ D
(Daerah Aliran Sungai MD
Forum/Pikirkan RPDAST
Tangki)
Nasional
RKP Renja
RPJM
D OPD

Aksi Tahunan
Rencana
RKP

Penerapan

Monev:
1. BPDAS-HL Catatan:
2.BWS RKPD : Rencana Pengembangan Tahunan
3. Satuan Air Tanah (Daerah)
Renja OPD: Rencana Kerja Daerah Sektoral
Kantor pemerintahan
(Pusat/Daerah)
4. Provinsi RTRW: Rencana Tata Ruang
RPJPD : Pembangunan Daerah Jangka Panjang
5. DAS Rencana

RPJMD : Pembangunan Daerah Jangka Menengah


Forum Rencana

RPDAST: Pengelolaan DAS Terpadu


Rencana

RPJMN : Pembangunan Nasional Jangka Menengah

Gambar 4 Model Implementasi Kebijakan Pengelolaan Daerah Aliran


Sungai Sesuai Peraturan Pemerintah No. 37/2012 dan UU No. 23 Tahun
2014 Tentang Daerah Aliran Sungai Dalam Provinsi di
Indonesia Sumber: Hasil Analisis, 2019
Pada instrumen kebijakan pengelolaan DAS, hasil studi ini memberikan
rekomendasi untuk pengembangan empat peraturan (dua di antaranya adalah surat
resmi yang dikeluarkan oleh kementerian). Yang pertama adalah Peraturan Kementerian
Luar Negeri tentang Pedoman Penyusunan Rencana Pengelolaan Daerah Aliran
Sungai di Pemerintah Provinsi. Hal ini bertujuan untuk melengkapi Peraturan Menteri
Kehutanan P.39/2009 yang tidak selaras dengan Peraturan Pemerintah No.37/2012
dan untuk memberikan pedoman bagi Bappeda/OPD pemerintah provinsi untuk
menyusun rencana pengelolaan DAS. Kedua, Peraturan Pemerintah tentang
pembentukan tim monitoring dan evaluasi rencana pengelolaan DAS. Hal ini bertujuan
untuk mengikat tim kelembagaan lintas sektoral lintas daerah dalam melakukan
monitoring dan evaluasi RPDAST agar monitoring dan evaluasi dapat berjalan maksimal
sesuai dengan yang diamanatkan dalam regulasi. Ketiga, surat yang dikeluarkan
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang penyusunan dokumen RPDAST
lintas provinsi secara swakelola. Surat ini bertujuan untuk mengikat pelaksanaan
penyusunan dokumen RPDAST secara mandiri karena berkaitan dengan tugas pokok
dan fungsi pokok organisasi BPDAS-HL. Selain itu, surat ini memastikan proses
penyusunan dilakukan bersama dengan

Jurnal Perencanaan Pembangunan Indonesia


Volume III No. 2 – Agustus 2019 199
Machine Translated by Google

Andi Setyo Pambudi

pemerintah daerah dan Unit Pelaksana Teknis (UPT) berbasis air yang diarahkan oleh pemerintah
pusat.

VI. Referensi

Abell, R., Allan, JD, Lehner, B. (2007); Membuka potensi kawasan lindung untuk
air tawar. Biol. Konservasi. 134, 48–63.
Atapattu, SS dan Kodituwakku, CD (2009); Pertanian di Asia Selatan dan implikasinya terhadap
kesehatan hilir dan keberlanjutan: Pengelolaan Air Pertanian. 96: 361--ÿ373 Ayu, I Gusti
dan Lintje Anna. (2013);
Kawasan Konservasi DAS Solo Hulu dalam rangka Pembangunan Berkelanjutan. Jurnal Terbaik.
Edisi Februari – Mei 2013.

Barendse, J., Roux, D., Currie, B., Wilson, N., Fabricius, C. (2016); Pandangan yang lebih luas
tentang penatagunaan untuk mencapai tujuan konservasi dan keberlanjutan di Afrika
Selatan: artikel ulasan. S.Afr. J.Sci. 112, 21–35.
Carlsson, L., Berkes, F. (2005); Co-manajemen: konsep dan implikasi metodologis. J.Lingkungan.
Mengelola. 75, 65–76.
Umum, Michael dan Sigrid Stagl (2005); Ekonomi Ekologi: Sebuah Pengantar.
Cambridge University Press, New York.
Jagung, ML (1993); Ekosistem, Biomassa, dan DAS: Definisi dan Penggunaan.
Washington, DC.: Dewan Nasional untuk Sains dan Lingkungan
Cumming, GS (2016); Relevansi dan ketahanan kawasan lindung di Anthropocene.
Antroposen 13, 46–56.
Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Lingkungan (2015); Buku Rekalkulasi Penutupan
Lahan Indonesia Tahun 2014 , Direktorat Jenderal Rehabilitasi Hutan dan Perhutanan
Sosial Jakarta (2003); Rehabilitasi
Lahan dan Perhutanan Sosial: Dari Masa Ke Masa (Rehabilitasi Hutan dan Perhutanan Sosial:
Antar Waktu). Kementerian Kehutanan Indonesia

Dixon JA (1992); Analisis dan Pengelolaan DAS, dalam Partha Dasgupta dan Karl-Goran Maler
(ed) The Environment and Emerging Development Issues, Vol.2, ClarendonPress,
Oxford.
Euler, Johannes, dan Sonja Heldt (2018); "Ilmu tentang Lingkungan Total Dari Informasi ke
Partisipasi dan Pengorganisasian Mandiri: Visi untuk Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
Eropa." Ilmu Lingkungan Total 621: 905–14. https://doi.org/10.1016/j.scitotenv.2017.11.072.

Pemerintah Indonesia (2009); Keputusan Menteri Kehutanan (Keputusan Menteri Kehutanan)


SK.328/ Menhut-II/ 2009 tentang Daerah Aliran Sungai Prioritas dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2010 – 2014.
Pemerintah Indonesia (2012); Peraturan Pemerintah (Peraturan Pemerintah)
Nomor 37 Tahun 2012 tentang Pengelolaan DAS.
Pemerintah Indonesia (2014); Peraturan Presiden (Peraturan Presiden) Nomor 2 Tahun 2015
tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2015 – 2019.
Pemerintah Indonesia (2014);. Undang-Undang (Undang-undang) Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah
Pemerintah Indonesia (2014); Undang-undang) Nomor 37 Tahun 2014 tentang
Konservasi Tanah dan Air
Pemerintah Indonesia (2015); Peraturan Direktorat Jenderal Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
dan Hutan Lindung (Peraturan Direktur Jenderal Pengendalian Daerah Aliran Sungai
dan Hutan Lindung Nomor: P. 10 / PDASHL-

Jurnal Perencanaan Pembangunan Indonesia Volume III


200
No. 2 – Agustus 2019
Machine Translated by Google

Andi Setyo Pambudi

Set/ 2015) tentang Rencana Strategis Direktorat Jenderal Pengelolaan Daerah


Aliran Sungai dan Hutan Lindung Tahun 2015-2019. Jakarta
Helen Bellfield, Matt Leggett, Mandar, Trivedi, Jeni Pareira, Adi Gangga (2016);
Bagaimana Indonesia Bisa Mencapai Ketahanan Air, Energi dan Pangan?
WCS dan Program Kanopi Global. Indonesia
Hoonchong Yi, Burak Güneralp, Urs P. Kreuter, Inci Güneralp, Anthony M. Filippi dkk.
(2018); Perubahan spasial dan temporal dalam keanekaragaman hayati dan
jasa ekosistem di San Antonio River Basin, Texas, dari 1984 hingga 2010.
Jurnal Ilmu Lingkungan Total 619–620 (2018) 1259–1271. Penerbit: Elsevier
Kindu, Mengistie et al. (2018); "Ilmu Pemodelan Skenario Lingkungan Total Penggunaan
Lahan / Perubahan Tutupan Lahan di Lanskap Munessa-Shashemene di
Dataran Tinggi Ethiopia." Ilmu Lingkungan Total 622–623: 534–46. https://
doi.org/10.1016/j.scitotenv.2017.11.338 Kristian
Mairi, Iwanuddin, dkk. (2014); Strategi Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan DAS
Lintas Kabupaten (Strategi Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan DAS
Lintas Kabupaten). Dipresentasikan pada Seminar Rehabilitasi dan Restorasi
Kawasan Hutan Menghadapi 50 Tahun Sulut yang diselenggarakan oleh Balai
Penelitian Kehutanan Manado, Manado 9 Oktober 2014 Lal, R. (2004); Potensi
penyerapan karbon di
tanah Asia Selatan. Konferensi Organisasi Konservasi Tanah Internasional ke-13 ,
Brisbane.
Mawardi (2010); Kerusakan Daerah Aliran Sungai dan Menurunnya Daya Dukung
Sumber Daya Air di Pulau Jawa serta Upaya Penanganannya (Kerusakan
Daerah Aliran Sungai dan Penurunan Daya Dukung Sumberdaya Air di Pulau
Jawa serta Upaya Penanganannya). Jurnal Hidrosfir Indonesia. Jakarta.
Miller, GT dan SE Spoolman. (2015); Hidup di Lingkungan: Konsep, Koneksi, dan Solusi.
Edisi ketujuh belas. Brooks/Cole, Belmont, CA (AS

Mtibaa, Slim, Norifumi Hotta, dan Mitsuteru Irie (2018); "Ilmu tentang Analisis Lingkungan
Total tentang Efisiensi dan Efektivitas Biaya dari Praktik Manajemen Terbaik
untuk Mengontrol Hasil Sedimen: Studi Kasus Daerah Aliran Sungai Joumine,
Tunisia." Ilmu Lingkungan Total 616–617: 1–16. https://doi.org/10.1016/
j.scitotenv.2017.10.290.
Mursidin dkk. (1997). 35 tahun Penghijauan di Indonesia (35 tahun Penghijauan di
Indonesia). Presidium Kelompok Konservasi Sumber Daya Alam.
Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan
Kementerian Kehutanan, Direktorat Jenderal Pembangunan Daerah
Kementerian Dalam Negeri. Jakarta.
Nawir, dkk. 2008. Rehabilitasi hutan di Indonesia: Akan seperti apa setelah lebih dari tiga
dekade? (Rehabilitasi hutan di Indonesia: Akan kemanakah arahnya setelah
lebih dari tiga dasawarsa?) Bogor, Indonesia: Pusat Penelitian Kehutanan
Internasional (CIFOR), ISBN 978-979-14-1235-3.
Reddy, Ratna V., Saharawat, YS, George, B. (2017); Watershed Management in South
Asia: A Synoptic Review, Journal of Hydrology (2017), doi: http://dx.doi.org/
10.1016/j.jhydrol.2017.05.043 Ruonan Li, Hua
Zheng, Sunyun Lv, Wenting Liao, Fei Lu dkk. (2018); Pengembangan dan evaluasi
indeks baru untuk menilai jasa pengatur hidrologi pada skala sub DAS.
Indikator Ekologi Jurnal 86 (2018) 9–17. Penerbit: Elsevier.

Steni, Bernadius (2016); Review UU Pemda Baru. INOBU (http://inobu.org)

Jurnal Perencanaan Pembangunan Indonesia Volume


201
III No. 2 – Agustus 2019
Machine Translated by Google

Andi Setyo Pambudi

Menelan, MB, NL Johnson dan RS Meinzen-Dick (2001); Bekerja dengan Masyarakat


untuk Pengelolaan DAS. Kebijakan Air, 3:449-455.
Upadani, IGAW (2017); Model Pemanfaatan Modal Sosial Dalam Rangka Pemberdayaan
Masyarakat Pedesaan Mengelola Daerah Aliran Sungai (DAS) Di Bali (Model
Pemanfaatan Modal Sosial Dalam Pemberdayaan Masyarakat Pedesaan
Mengelola Daerah Aliran Sungai (DAS) di Bali). Jurnal Lingkungan &
Pembangunan, Juni 2017 ISSN 2597-7555 Vol. 1 no. 1: 11-22
Pittock, J., Finlayson, M., Arthington, A-H, Roux, D., Matthews, J-H, Biggs, H., Harrison,
I., Blom, E., Flitcroft, R., Froend, R., dkk . (2015); Mengelola kawasan lindung
air tawar, sungai, lahan basah, dan muara. Dalam: Worboys, GL, Lockwood, M.,
Kothari, A., Feary, S., Pulsford, I. (Eds.), Tata Kelola dan Pengelolaan Kawasan
Lindung. ANU Press, Canberra, hal. 569–608.
Santoso, 2005. Arah Kebijakan dan Pelaksanaan Rehabilitasi Hutan dan Lahan.
Presentasi tentang "Lokakarya Tinjauan Inisiatif Rehabilitasi: Pelajaran dari
Masa Lalu". CIFOR. Bogor.
Santoso, 1992. Implementasi (Inpres) Reboisasi dan Reboisasi: Perkembangan Pelita II
IV dan Prospek Pelita V-VI. (Pelaksanaan (Inpres) Penghijauan dan Reboisasi:
Progres Pelita II-IV dan Prospek Pelita V-VI). Direktorat Konservasi Tanah
Direktorat Jenderal RRL. Kementerian Kehutanan.
Jakarta
Watson, JE, Dudley, N., Segan, DB, Hockings, M., 2014. Kinerja dan
potensi kawasan lindung. Alam 515, 67–7

Jurnal Perencanaan Pembangunan Indonesia Volume


202
III No. 2 – Agustus 2019

Anda mungkin juga menyukai