Anda di halaman 1dari 49

Manajemen Ekosistem

DAS, Estuari dan Lahan


Gambut
Kelompok 3
Nurhalimah 2120422005
Media 1810422017
Salbella Dwi Utari 1810423019

Dosen Pengampu: Dr. Rizaldi


Manajemen Ekosistem
DAS
DEFINISI DAS
Daerah Aliran Sungai (DAS)
secara umum didefinisikan
sebagai suatu hamparan
wilayah/kawasan yang dibatasi
oleh pembatas topografi
(punggung bukit) yang
menerima, mengumpulkan air
hujan, sedimen dan unsur hara
serta mengalirkannya melalui
anak-anak sungai dan keluar
pada sungai utama ke laut atau
danau.
Pada dasarnya DAS merupakan satu kesatuan hidrologi. DAS penampung air, mendistribusikan air yang
tertampung lewat suatu sistem saluran dari hulu ke hilir, dan berakhir di suatu tubuh air berupa danau atau laut.
Barsama dengan atmosfir dan laut (atau danau), DAS menjadi tempat kelangsungan daur hidrologi. Hubungan
hidrologi antara atmosfir dan tubuh air bumi dapat berjalan secara langsung, atau lewat peranan DAS. Terjadi
pula hubungan hidrologi lansung antara DAS dan atmosfir. Bagan ini memperlihatkan peranan DAS sebagai
penghubung dua waduk air alam utama, yaitu atmosfir dan laut. Ini menjadi dasar pertama dalam pengelolaan
DAS.
Definisi DAS Berdasarkan Fungsi

Bagian hulu didasarkan pada fungsi Konservasi

Bagian Tengah didasarkan pada fungsi pemanfaatan


air sungai

Bagian Hilir didadarkan pada fungsi pemanfaatan air


sungai

Keberadaan sektor kehutanan di daerah hulu yang terkelola dengan baik dan terjaga keberlanjutannya dengan
didukung oleh prasarana dan sarana di bagian tengah akan dapat mempengaruhi fungsi dan manfaat DAS
tersebut di bagian hilir, baik untuk pertanian, kehutanan maupun untuk kebutuhan air bersih bagi masyarakat
secara keseluruhan. Dengan adanya rentang panjang DAS yang begitu luas, baik secara administrasi maupun
tata ruang, dalam pengelolaan DAS diperlukan adanya koordinasi berbagai pihak
Konsepsi Pengelolaan DAS Terpadu

Pengelolaan DAS terpadu mengandung pengertian bahwa unsur-unsur


atau aspek-aspek yang menyangkut kinerja DAS dapat dikelola dengan
optimal sehingga terjadi sinergi positif yang akan meningkatkan kinerja
DAS dalam menghasilkan output, sementara itu karakteristik yang saling
bertentangan yang dapat melemahkan kinerja DAS dapat ditekan
sehingga tidak merugikan kinerja DAS secara keseluruhan.

Kondisi DAS dikatakan baik jika memenuhi beberapa kriteria :


a. Debit sungai konstan dari tahun ke tahun
b. Kualitas air baik dari tahun ke tahun
c. Fluktuasi debit antara debit maksimum dan minimum kecil. Hal ini
digambarkan dengan nisbah.
d. Ketinggian muka air tanah konstan dari tahun ke tahun
Hubungan Biofisik antara DAS bagian hulu dan hilir

DAS bagian hulu mempunyai peran penting, terutama sebagai


tempat penyedia air untuk dialirkan ke bagian hilirnya. Oleh
karena itu bagian hulu DAS seringkali mengalami konflik
kepentingan dalam penggunaan lahan, terutama untuk
kegiatan pertanian, pariwisata, pertambangan, serta
permukiman. Mengingat DAS bagian hulu mempunyai
keterbatasan kemampuan, maka setiap kesalahan pemanfaatan
akan berdampak negatif pada bagian hilirnya. Pada
prinsipnya, DAS bagian hulu dapat dilakukan usaha
konservasi dengan mencakup aspekaspek yang berhubungan
dengan suplai air. Secara ekologis, hal tersebut berkaitan
dengan ekosistem tangkapan air (catchment ecosystem) yang
merupakan rangkaian proses alami daur hidrologi.
Gambaran Umum DAS di Indonesia

Gejala penurunan fungsi hidrologis DAS ini dapat dijumpai di beberapa wilayah Indonesia, seperti di Pulau Jawa, Pulau
Sumatera, dan Pulau Kalimantan, terutama sejak tahun dimulainya Pelita I yaitu pada tahun 1972. Penurunan fungsi
hidrologis tersebut menyebabkan kemampuan DAS untuk berfungsi sebagai penyimpan air pada musim kemarau dan
kemudian dipergunakan melepas air sebagai “base flow” pada musim kemarau, telah menurun. Ketika air hujan turun pada
musim penghujan air akan langsung mengalir menjadi aliran permukaan yang kadang-kadang menyebabkan banjir dan
sebaliknya pada musim kemarau aliran “base flow” sangat kecil bahkan pada beberapa sungai tidak ada aliran sehingga
ribuan hektar sawah dan tambak ikan tidak mendapat suplai air tawar. Hal ini disebabkan oleh Perkembangan pembangunan
di bidang permukiman, pertanian, perkebunan, industri, eksploitasi SDA berupa penambangan, dan eksploitasi hutan.
Model Pengelolaan DAS

Perencanaan DAS tidak dapat dilakukan melalui


pendekatan sektoral saja, keterkaitan antar sektor
yang mewakili masing-masing sub-DAS, dari sub-
DAS hulu hingga ke hilir perlu menjadi fokus
perhatian dengan berpegang pada prinsip ‘one
river one management’. Keterkaitan antar sektor
meliputi perencanaan APBN, perencanaan
sektor/program/proyek hingga pada tingkat
koordinasi semua instansi atau lembaga terkait
dalam pengelolaan DAS. Sungai sebagai bagian dari
wilayah DAS merupakan sumberdaya yang
mengalir (flowing resources), dimana pemanfaatan
di daerah hulu akan mengurangi manfaat di
hilirnya. Sebaliknya perbaikan di daerah hulu
manfaatnya akan diterima di hilirnya. Berdasarkan
hal tersebut diperlukan suatu perencanaan terpadu
dalam pengelolaan DAS dengan melibatkan semua
sektor terkait, seluruh stakeholder dan daerah yang
ada dalam lingkup wilayah DAS dari hulu hingga ke
hilir
Dalam rangka memulihkan dan mendayagunakan sungai dan pemeliharaan kelestarian DAS, maka rekomendasi
ke depan perlu disusun kebijakan (peraturan) pemerintah yang mengatur tentang pengelolaan DAS terpadu,
yang antara lain dapat memuat :

1. Pengelolaan DAS terpadu


2. Hak dan kewajiban dalam pengelolaan DAS yang meliputi hak setiap orang untuk mengelola sumber
daya air dengan memperhatikan kewajiban melindungi, menjaga dan memelihara kelestarian daerah
aliran sungai.
3. Pembagian kewenangan yang jelas antara daerah kabupaten/kota, daerah propinsi dengan pemerintah
pusat dalam mengelola DAS secara terpadu.
4. Badan pengelola daerah aliran sungai (aspek kelembagaan) dapat berupa badan usaha atau
badan/instansi pemerintah. Badan-badan tersebut ditetapkan oleh pemerintah baik pusat maupun daerah
sesuai dengan kewenangan yang berlaku.
5. Kebijakan pemerintah ini selain mengatur tentang peran serta masyarakat dalam pengelolaan DAS
terpadu, juga mengatur sanksi (hukuman) bagi masyarakat yang tidak mengindahkan peraturan pemerintah
dalam pengelolaan DAS terpadu baik pada DAS lokal, regional maupun nasional.
KAJIAN PERMASALAHAN DAERAH ALIRAN SUNGAI JUWET KABUPATEN
GUNUNGKIDUL DAN USULAN PENANGGULANGANYA

Wilayah DAS Juwet meliputi tiga kecamatan, yaitu Kecamatan Gedangsari, Kecamatan Patuk, dan
Kecamatan Nglipar. Wilayah DAS Juwet di Kecamatan Gedangsari meliputi tiga desa yaitu Desa
Hargomulyo, Desa Mertelu dan Desa Ngalang. Wilayah DAS Juwet di Kecamatan Nglipar mencakup
tiga desa yaitu Desa Kedungpoh, Desa Pengkol dan Desa Pilangrejo, sedangkan wilayah DAS Juwet
di Kecamatan Patuk hanya mencakup sebagian dari Desa Nglegi.

Permsalahan pada DAS Juwet meliputi


1. Erosi
2. Longsor
3. Terbatasnya sumberdaya Air Permukaan dan airtanah
4. Unsur Hara yang Rendah di Dalam Tanah
5. Tekanan Pendudukyang Tinggi
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012
TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1

1. Daerah Aliran Sungai yang selanjutnya disebut DAS adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak
sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas
di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan
2. Pengelolaan DAS adalah upaya manusia dalam mengatur hubungan timbal balik antara sumberdaya alam dengan manusia di dalam DAS dan segala
aktivitasnya, agar terwujud kelestarian dan keserasian ekosistem serta meningkatnya kemanfaatan sumberdaya alam bagi manusia secara
berkelanjutan.
3. Klasifikasi DAS adalah pengkategorian DAS berdasarkan kondisi lahan serta kualitas, kuantitas dan kontinuitas air, sosial ekonomi, investasi
bangunan air dan pemanfaatan ruang wilayah.
4. DAS yang dipulihkan daya dukungnya adalah DAS yang kondisi lahan serta kualitas, kuantitas dan kontinuitas air, sosial ekonomi, investasi
bangunan air dan pemanfaatan ruang wilayah tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
5. DAS yang dipertahankan daya dukungnya adalah DAS yang kondisi lahan, kualitas, kuantitas dan kontinuitas air, sosial ekonomi, investasi bangunan
air, dan pemanfaatan ruang wilayah berfungsi sebagaimana mestinya.
6. Daya Dukung DAS adalah kemampuan DAS untuk mewujudkan kelestarian dan keserasian ekosistem serta meningkatnya kemanfaatan sumberdaya
alam bagi manusia dan makhluk hidup lainnya secara berkelanjutan.
7. Instansi Terkait adalah kementerian/lembaga pemerintahan non kementerian, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota yang berkepentingan
dengan pengelolaan das.
8. Forum koordinasi pengelolaan DAS adalah wahana koordinasi antar instansi penyelenggara pengelolaan DAS.
9. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan.
10.Pemerintah pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan Pemerintah Negara Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pasal 2
1. Peraturan Pemerintah ini mengatur Pengelolaan DAS dari hulu ke hilir secara utuh.
2. Pengelolaan DAS secara utuh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan melalui
tahapan:
A. Perencanaan
B. Pelaksanaan;
C. Monitoring dan evaluasi; dan
D. Pembinaan dan pengawasan.
3. Pengelolaan DAS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan
rencana tata ruang dan pola pengelolaan sumber daya air sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang penataan ruang dan sumber daya air.
4. Dalam Pengelolaan DAS sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)
diselenggarakan secara terkoordinasi dengan melibatkan Instansi Terkait pada lintas wilayah
administrasi serta peran serta masyarakat.
Penyusunan Klasifikasi DAS
PASAL 12

1. Berdasarkan hasil proses penetapan batas DAS yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10, dilakukan penyusunan Klasifikasi DAS.
2. Penyusunan Klasifikasi DAS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk menentukan:
a. DAS yang dipulihkan; dan
b. DAS yang dipertahankan, daya dukungnya.
3. Penentuan Klasifikasi DAS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan berdasarkan kriteria:
a. kondisi lahan;
b. kualitas, kuantitas dan kontinuitas air;
c. sosial ekonomi;
d. investasi bangunan air; dan
e. pemanfaatan ruang wilayah.
f. pemanfaatan ruang wilayah.
BAB VIII
PENDANAAN PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI
Pasal 67

1. Sumber dana untuk penyelenggaraan Pengelolaan DAS dapat berasal APBN, APBD, hibah
dan/atau sumber dana lainnya yang tidak mengikat sesuai peraturan perundang-undangan.
2. Penggunaan sumber dana lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur sesuai
peraturan perundang-undangan.
Manajemen Ekosistem
Estuari

Estuari berasal dari bahasa latin aestus, berarti pasang surut (Odum, 1971). Estuari merupakan suatu
perairan semi tertutup yang berada dibagian hilir sungai dan masih berhubungan dengan laut, sehingga
memungkinkan terjadinya percampuran antara air tawar dan air laut (PP Nomor 60 Tahun 2007).
Oleh karena itu ekosistem estuaria mempunyai fungsi ekonomi dan fungsi ekologis.
Manajemen Ekosistem Estuari
Tempat bertemunya arus air dengan arus pasang-surut, yang
berlawanan menyebabkan suatu pengaruh yang kuat pada
1 sedimentasi, pencampuran air dan ciri-ciri fisika lainnya, serta
membawa pengaruh besar pada biotanya Estuaria kawasan dinamis. sehingga
ekosistem estuaria merupakan ekosistem
Pencampuran kedua macam air tersebut menghasilkan suatu
2 sifat fisika lingkungan khusus yang tidak sama dengan sifat air
sungai maupun air laut
yang produktif. Produktivitas hayatinya
setaraf dengan prokduktivitas hayati hutan
hujan tropik dan ekosistem terumbu
karang. Produktivitas hayati estuaria lebih
Perubahan yang terjadi akibat adanya pasang-surut
mengharuskan komunitas mengadakan penyesuaian secara
tinggi dibandingkan dengan produktivitas
fisiologis dengan lingkungan sekelilingnya hayati perairan laut dan perairan tawar.
3 Perubahan yang terjadi akibat adanya pasang-surut Hal ini salah satunya disebabkan oleh
mengharuskan komunitas mengadakan penyesuaian secara fungsi dari estuaria yang merupakan
fisiologis dengan lingkungan sekelilingnya
perangkap zat hara dan bahan organik
yang berasal dari perairan disekitarnya
Tingkat kadar garam di daerah estuaria tergantung pada
pasang-surut air laut, banyaknya aliran air tawar dan arus-arus
4 lainnya, serta topografi daerah estuaria tersebut
Manajemen Ekosistem Estuari
Estuaria mempunyai fungsi ekologi

Merupakan sumber zat hara dan bahan organik


Sebagai tempat pemukiman
bagi bagian estuari yang jauh dari garis pantai
maupun yang berdekatan denganya lewat sirkulasi
pasang surut (tidal circulation) Sebagai tempat penangkapan dan budidaya
sumberdaya ikan

Menyediakan habitat bagi sejumlah spesies ikan


yang ekonomis penting sebagai tempat berlindung Sebagai jalur transportasi
dan tempat mencari makan (feeding ground).

Sebagai pelabuhan dan kawasan industri.


Memenuhi kebutuhan bermacam spesies ikan dan
udang yang hidup dilepas pantai, tetapi bermigrasi
keperairan dangkal dan berlindung untuk
memproduksi dan/atau sebagai tempat tumbuh
besar (nursery ground) anak mereka.
Contoh:
Pengelolaan Estuari Sungai
Bengkulu
Estuari sungai Bengkulu Mengalami degradasi
terletak di Kelurahan kualitas yang sangat
Pasar Bengkulu Kota memprihatinkan
Bengkulu

Aktivitas pertambangan
batu bara, limbah
industri karet dari PT.
Bukit Angkasa Makmur
dan PT. Batanghari dan
aktivitas manusia lainnya
Keadaan yang menggambarkan Keadaan Estuari Sungai Bengkulu
PT. Bukit Sumur Lestari

1. Penambangan batu bara di Estuari Sungai Bengkulu PT. Danau Mas Hitam

PT. Bara Makmur

Kualitas batu bara hasil


Panjang Pantai yang
penambangan
tercemar limbah batu
dikategorikan
bara sekitar sepanjang
Babon (Rp. 35.000/kg) Limbah batu bara yang masuk ke
15 km.
Asalan (Rp. 19.000/kg) perairan sungai, estuari, dan laut
Jumlah penambang batu
Waring (Rp. 17.000/kg) memiliki potensi ekonomi yang
bara sebanyak 150 orang
Tujuan Pemasaran: tinggi
dengan panjang lokasi
Ke Jakarta, palembang,
penambangan 2 km dari
Lampung, Tangerang dan
muara sungai Bengkulu.
pelabuhan pulai Baai
Setiap hari penambang
yang digunakan sebagai
menghasilkan sekitar 350
sumber energi pemanas
kg (315 ton per minggu)
untuk pabrik
Dampak Negatif akibat limbah batu bara

Macrozoobenthos dan microzhoobentos ditemukan dalam kondisi


tertutup endapan lumpur dan partikel batu bara.

Terganggunya ekosistem, sehingga ikan menjadi lari. Bahkan terdapat


ratusan ikan yang mati diduga akibat pencemaran batubara (Kompas,
2010). Selain itu juga ditemukan ikan-ikan yang tubuhnya kudisan atau
terluka akibat bersentuhan dengan benda

Rusaknya ekosistem terumbu karang, seperti banyaknya karang yang


terdampar disekitar pesisir pantai.
2. Abrasi dan Hilangnya Vegetasi

Abrasi yang paling tinggi terjadi pada bagian pantai estuari Sungai Bengkulu. Abrasi
mengakibatkan banyaknya pohon-pohon cemara yang tumbang akibat abrasi. Selain
karena abrasi, kehilangan vegetasi di estuari Sungai Bengkulu disebabkan tingginya
perusakan vegetasi akibat ulah manusia

3. Pelumpuran (sedimentasi)

Sedimentasi yang terjadi di estuari Sungai Bengkulu terlihat dengan banyaknya delta-
delta pasir pada badan sungai disekitar Sungai Bengkulu. Tingginya sedimentasi akibat
aktivitas pertanian, perkebunan dan pencucian pertambangan batubara dibagian
hulu. Hal ini diperparah dengan penambangan batubara dibadan sungai yang
mengakibatkan pengikisan dasar sungai, sehingga membawa pasir dan lumpur ke
bagian hilir
4. Tingginya volume sampah

Sampah yang dihasilkan dari estuari Sungai Bengkulu berasal dari hasil buangan hulu
sungai. Sampah-sampah berupa batang kayu dan limbah rumah tangga cukup
mengganggu estuari. Batang kayu berasal dari aktivitas kegiatan pertanian dan
perkebunan, sedangkan limbah rumah tangga berupa sampah-sampah plastik

5. Kurangnya penataan wilayah

Penataan wilayah sungai Bengkulu saat ini belum dilakukan secara baik. Contohnya
penataan wilayah disekitar Jembatan Pasar Bengkulu, terdapat berbagai aktifitas
seperti penambangan batu bara, tempat pembuatan kapal, kawasan wisata, warung-
warung disekitae pantai dan sungai.
Pengelolaan Estuari Sungai Bengkulu
Estuari harus dikelola dengan berdasarkan prinsip keberlanjutan, konsistensi, keterpaduan,
desentralisasi, akuntabilitas dan keadilan (UU Nomor 27 Tahun 2007). Tujuan dari pengelolaan
estuari adalah:

Melindungi, mengkonservasi, merehabilitasi, memanfaatkan dan memperkaya estuari serta ekologisnya


secara berkelanjutan

Memperkuat peran serta masyarakat dan lembaga pemerintah serta mendorong inisiatif masyarakat
dalam pengelolaan estuari agar tercapai keadilan, keseimbangan dan keberlanjutan

Meningkatkan nilai sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat melalui peran serta masyarakat dalam
pemanfaatan estuari
Pengelolaan Estuari Sungai Bengkulu
Pemanfaat estuari dilaksanakan dengan mengedepankan prinsip

Keterpaduan dalam mengakomodasi berbagai kepentingan sehingga menjadi suatu sistem yang serasi
dan saling menguntungkan

Terencana dengan memperhatikan karakteristik estuari, keunikan, geomorfologi estuari dan kondisi
ekosistem estuari

Mengutamakan norma-norma budaya dalam pemberdayaan masyarakat

Pemanfaatn harus berkelanjutan


Pengelolaan Estuari Sungai Bengkulu
Pengelolaan estuari Sungai Bengkulu dapat dilakukan dengan beberapa kegiatan antara lain:

Zonasi

Rehabilitas

Melakukan pengendalian limbah buangan yang dihasilkan daei pencucian


batubara

Melakukan pemeliharaan kawasan DAS sungai Bengkulu dari kerusakan


Pengelolaan Estuari Sungai Bengkulu
Pengelolaan estuari Sungai Bengkulu dapat dilakukan dengan beberapa kegiatan antara lain:

Melakukan upaya konservasi disekitar Sungai Bengkulu dengan melakukan penanaman


vegetasi yang sesuai untuk kawasan tersebut

Melakukan penataan penggunaan kawasan estuari Sungai Bengkulu, sehingga aktivitas


yang dilakukan pada tempat yang tepat dan sesuai dengan peruntukannya

Peningkatan kesadaran melalui pembinaan dan pendampingan terhadap masyarakat


sekitar akan pentingnya estuari bagi lingkungan, sehingga masyarakat akan dapat
menjaga dan memanfaatkan estuari secara lestari. Selain itu pemerintah daerah juga
menyiapkan berbagai kegiatan yang dapat medorong peran serta masyarakat dalam
pengelolaan estuari

Pembuatan aturan hukum dan penegakan hukum. pemerintah daerah diharapkan


membuat aturan hukum dalam pengelolaan estuari Sungai bengkulu, khususnya dalam
pengaturan pembuangan limbah batu bara oleh perusahaan pertambangan,
UNDNAG-UNDANG RI NO 1 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS
UNDANG-UNDANG N0 27 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH
PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang–Undang ini yang dimaksud yaitu pada no
1. Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah suatu proses perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan
pengendalian Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil antarsektor, antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah, antara
ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
7. Perairan Pesisir adalah laut yang berbatasan dengan daratan meliputi perairan sejauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari
garis pantai, perairan yang menghubungkan pantai dan pulau-pulau, estuari, teluk, perairan dangkal, rawa payau, dan laguna
UNDNAG-UNDANG RI NO 1 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS
UNDANG-UNDANG N0 27 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH
PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 3
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil berasaskan:
a. Keberlanjutan
b. Konsistensi
c. Keterpaduan
d. kepastian hukum
e. Kemitraan
f. Pemerataan
g. peran serta masyarakat
h. Keterbukaan
i. Desentralisasi
j. akuntabilitas
k. keadilan
UNDNAG-UNDANG RI NO 1 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS
UNDANG-UNDANG N0 27 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH
PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

Pasal 4
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dilaksanakan dengan tujuan:
a. melindungi, mengonservasi, merehabilitasi, memanfaatkan, dan memperkaya Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
serta sistem ekologisnya secara berkelanjutan
b. menciptakan keharmonisan dan sinergi antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam pengelolaan Sumber Daya Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil
c. memperkuat peran serta masyarakat dan lembaga pemerintah serta mendorong inisiatif Masyarakat dalam pengelolaan
Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil agar tercapai keadilan, keseimbangan, dan keberkelanjutan; dan
d. meningkatkan nilai sosial, ekonomi, dan budaya Masyarakat melalui peran serta Masyarakat dalam pemanfaatan Sumber
Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Manajemen Ekosistem Lahan Gambut
Lahan gambut merupakan salah satu tipe ekosistem yang
terbentuk pada kondisi anaerob (drainase buruk) di rawa
pasang surut atau lebak dan mengandung bahan organik
dari hasil akumulasi sisa tanaman dengan ketebalan lebih
dari 50 cm. Lahan gambut memberikan beberapa
pelayanan (services) ekologi, ekonomi dan sosial yang
potensial untuk dikembangkan sebagai sistem pendukung
kehidupan (life supporting system). Lahan gambut ini
merupakan salah satu tipe ekosistem lahan basah. Lahan
gambut mempunyai fungsi untuk pelestarian sumberdaya
air, peredam banjir, pencegah intrusi air laut, pendukung
berbagai kehidupan, keanekaragaman hayati dan
pengendali
iklim (Cassel, 1997).
Pembentukan Lahan Gambut

Gambar 1. Proses pembentukan


gambut di daerah cekungan lahan
basah:
a. Pengisian danau dangkal oleh
vegetasi lahan basah,
b. Pembentukan gambut topogen,
c. Pembentukan gambut
ombrogen di atas gambut topogen
(Noor, 2001 mengutip van de
Meene, 1982)
1. Pemanfaatan lahan gambut memiliki beberapa
risiko dalam pemanfaatanya antara lain:

1.kerusakan ekosistem,
2.perubahan iklim global,
3.serta keseimbangan pada Control Water
System menjadi buruk dan dapat mengakibatkan
kemunculan bencana,seperti
banjir
kekeringan
kebakaran hutan apabila tidak tepat dalam
perencanaan dan pengolahan.

2. Pemanfaatan lahan gambut memiliki potensi


yang baik untuk lahan pertanian jika dilakukan
dengan benar. Keuntungan lain yang diperoleh
yaitu peningkatan pertumbuhan ekonomi negara
dan juga terpenuhinya ketersediaan pangan
Indonesia.
Beberapa hal yang berhubungan dengan karakteristik dan peran ekologis hutan rawa gambut yang perlu
dipertimbangkan sebelum menentukan strategis pengelolaan hutan rawa gambut (Zulfikar, 2006)

Hutan rawa gambut merupakan formasi hutan hujan tropika


Ada dua bentukan sistem lahan lahan rawa, yaitu: alluvial
basah yang mempunyai tingkat kelembaban sangat
marine dengan tekstur tanah mineral dengan lapisan gambut
tinggi,merupakan ekosistem yang sangat rentan terhadap
yang tipis, dan rawa belakang yang membentuk kubah gambut
gangguan luar dan susah terpulihkan dengan tingkat
dengan kedalaman gambut lebih tebal.
keanekaragaman hayati yang tinggi.

Lahan gambut yang kering mempunyai sifat kering tak balik


dan sangat mudah terbakar, kebakaran gambut di bawah
Rehabilitasi pada kawasan hutan rawa gambut sudah terlanjur
permukaan akan sangat sulit dipadamkan dan dapat merusak
rusak parah sangat sulit dan mahal, sehingga dananya tidak
struktur gambut, menurunkan tingkat permeabilitas pada
mungkin disediakan hanya dari anggaran pemerintah atau
lapisan permukaan dan dapat menyebabkan lahan gambut
partisipasi/swadaya masyarakat.
menjadi memadat dan menurunkan tinggi permukaan lahan
kubah gambut.

Gambut mempunyai peran sangat besar dalam menyimpan


Kanalisasi dapat menimbulkan risiko kekeringan kalau tidak
karbon; pengeringan dan kebakaran akan melepaskan ikatan
diimbangi dengan pengendalian tata air yang baik dan benar.
karbon ke udara.
Pengelolaan Lahan Gambut Di Provinsi Sumatera Selatan
1. Membertahankan formasi hutan rawa gambut yang masih ada melalui restorasi ekosistem hutan rawa gambut
dengan sistem silvikultur hutan alam, kemudian melakukan upaya permudaan dan pohon inti, tanaman pengayaan
dan rehabilitasi, serta pengamanan dari kerusakan lebih lanjut (illegal logging dan kebakaran). Kebijakan ini
diterapkan di kawasan hutan produksi yang secara ekologis masih dapat dipertahankan sebagai hutan alam, seperti di
Kawasan Hutan Produksi Sungai Lalan, kelompok hutan Sungai Merang dan Sungai Kepahiyang dengan pertimbangan
(Zulfikar, 2006):

2. Merehabilitasi hutan rawa gambut dengan sistem silvikultur hutan tanaman, dengan percepatan suksesi hutan
melalui investasi pembangunan HTI skala besar. Kebijakan ini diterapkan di kawasan hutan produksi yang telah
berubah menjadi semak belukar rawa gambut, seperti di Kawasan Hutan Produksi Simpang Heran Beyuku dan Mesuji
di Kabupaten Ogan Komering Ilir, dengan pertimbangan.

3. Mempertahankan lahan rawa gambut dan rawa lebak dengan melakukan upaya
pengamanan dari perusakan struktur kubah gambut, perusakan sistem hidrologi lahan
basah, perambahan kawasan hutan dan kebakaran. Kebijakan ini diterapkan terhadap
kawasan yang secara ekologis masih dapat dipertahankan sebagai ekosistem hutan
rawa gambut dan rawa lebak, dengan pertimbangan:
Klasifikasi gambut
Gambut diklasifikasikan lagi berdasarkan berbagai sudut pandang yang berbeda dari tingkat
kematangan, kedalaman, kesuburan dan posisi pembentukannya. Berdasarkan tingkat
kematangannya, gambut dibedakan menjadi:

Gambut saprik Gambut hemik Gambut fibrik


(matang) (setengah matang) (mentah)
Berdasarkan tingkat kesuburannya, gambut dibedakan menjadi 3 :

• eutrofik adalah gambut yang subur yang kaya akan bahan mineral dan basa-basa
serta unsur hara lainnya. Gambut yang relatif subur biasanya adalah gambut yang
tipis dan dipengaruhi oleh sedimen sungai atau laut.

• mesotrofik adalah gambut yang agak subur karena memiliki kandungan mineral
dan basa-basa sedang.

• oligotrofik adalah gambut yang tidak subur karena miskin mineral dan basa-basa.
Bagian kubah gambut dan gambut tebal yang jauh dari pengaruh lumpur sungai
biasanya tergolong gambut oligotrofik
PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR P.60/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2019
TENTANG
TATA CARA PENYUSUNAN, PENETAPAN, DAN PERUBAHAN RENCANA PERLINDUNGAN
DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT

Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan Fungsi
Ekosistem Gambut dan mencegah terjadinya kerusakan Ekosistem Gambut yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian,
pemeliharaan, pengawasan dan penegakan hukum.
2. Gambut adalah material organik yang terbentuk secara alami dari sisa-sisa tumbuhan yang terdekomposisi tidak sempurna dengan
ketebalan 50 (lima puluh) centimeter atau lebih dan terakumulasi pada rawa.
3. Ekosistem Gambut adalah tatanan unsur Gambut yang merupakan satu kesatuan utuh menyeluruh yang saling mempengaruhi dalam
membentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktivitasnya.
4. Data Spasial adalah data tentang lokasi geografis, dimensi atau ukuran, dan/atau karakteristik objek alam dan/atau buatan manusia
yang berada di bawah, pada, atau di atas permukaan bumi.
5. Data Nonspasial adalah data yang tidak berkaitan dengan ruang atau tempat.
6. Kesatuan Hidrologis Gambut yang selanjutnya disingkat KHG adalah Ekosistem Gambut yang letaknya diantara 2 (dua) sungai, diantara
sungai dan laut dan/atau pada rawa.
7. Fungsi Ekosistem Gambut adalah tatanan unsur Gambut yang berfungsi melindungi ketersediaan air, kelestarian keanekaragaman
hayati, penyimpan cadangan karbon, penghasil karbon, penyeimbang iklim yang terbagi menjadi Fungsi Lindung Ekosisem Gambut dan
Fungsi Budi daya Ekosistem Gambut.
8. Fungsi Lindung Ekosistem Gambut adalah tatanan unsur Gambut yang memiliki karakteristik tertentu yang mempunyai fungsi
utama dalam perlindungan dan keseimbangan tata air, penyimpan cadangan karbon, dan pelestarian keanekaragaman hayati
untuk dapat melestarikan Fungsi Ekosistem Gambut.
9. Fungsi Budi daya Ekosistem Gambut adalah tatanan unsur Gambut yang memiliki karakteristik tertentu yang mempunyai fungsi
dalam menunjang produktivitas Ekosistem Gambut melalui kegiatan budidaya sesuai daya dukungnya untuk dapat melestarikan
Fungsi Ekosistem Gambut.
10. Fungsi Hidrologis adalah peran atau kemampuan Ekosistem Gambut dalam menyerap dan menyimpan air, serta mengalirkannya
ke wilayah sekitarnya secara stabil dan seimbang baik pada musim kemarau maupun musim penghujan.
11. Kawasan Hutan adalah wilayah tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan
tetap.
12. Areal Penggunaan Lain yang selanjutnya disingkat APL adalah areal bukan Kawasan Hutan.
13. Izin Lingkungan adalah izin yang diberikan kepada setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang wajib Amdal atau
UKL-UPL dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagai prasyarat untuk memperoleh izin usaha
dan/atau kegiatan.
14. Izin Usaha dan/atau Kegiatan adalah izin yang diterbitkan oleh instansi teknis untuk melakukan usaha dan/atau kegiatan.
15. Direktur Jenderal adalah eselon I yang bertanggung jawab di bidang pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan.
16. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup.
Pasal 9
(1) Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut meliputi:
a. rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut nasional;
b. rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut provinsi; dan
c. rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut kabupaten/kota.
(2) Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a disusun untuk
Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut pada KHG nasional dan lintas provinsi.
(3) Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b disusun untuk
Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut pada KHG yang berada di wilayah provinsi.
(4) Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c disusun
untuk Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut pada KHG yang berada di wilayah kabupaten/kota.
(5) Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut merupakan bagian dari rencana perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup.
Pasal 11
(1) Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut paling sedikit memuat:
a. pemanfaatan Ekosistem Gambut;
b. pengendalian Ekosistem Gambut; dan
c. pemeliharaan Ekosistem Gambut.
(2) Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memperhatikan:
a. keragaman karakter fisik dan biofisik fungsi ekologis;
b. sebaran penduduk;
c. sebaran potensi sumber daya alam;
d. kearifan lokal;
e. aspirasi masyarakat;
f. perubahan iklim;
g. rencana tata ruang wilayah; dan
h. upaya pemulihan kerusakan Ekosistem Gambut.
Pasal 12
(1) Rencana pemanfaatan Ekosistem Gambut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf a disesuaikan berdasarkan Fungsi
Ekosistem Gambut.
(2) Rencana pemanfaatan Ekosistem Gambut dengan fungsi lindung dibatasi untuk kegiatan:
a. penelitian;
b. ilmu pengetahuan;
c. pendidikan; dan/atau
d. jasa lingkungan.
(3) Rencana pemanfaatan Ekosistem Gambut dengan fungsi budi daya dapat meliputi seluruh kegiatan selain sebagaimana dimaksud pada
ayat (2).
(4) Rencana pemanfaatan Ekosistem Gambut dengan fungsi lindung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan Rencana pemanfaatan
Ekosistem Gambut dengan fungsi budidaya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus mencantumkan kewajiban untuk menjaga Fungsi
Hidrologis Gambut.
Pasal 17
(1) Pemulihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf c dilakukan terhadap:
a. Ekosistem Gambut yang telah melampaui kriteria baku kerusakan; dan/atau
b. areal lahan Gambut yang telah terbakar.
(2) Pemulihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi:
a. pengembangan kebijakan/regulasi teknis pemulihan kerusakan Ekosistem Gambut;
b. penguatan kelembagaan dan koordinasi pemerintah, masyarakat dan swasta dalam pemulihan kerusakan Ekosistem Gambut;
c. pengembangan sistem pemantauan pemulihan kerusakan Ekosistem Gambut;
d. rencana aksi pemulihan Ekosistem Gambut; dan
e. pemulihan dengan cara:
1. restorasi;
2. suksesi alami;
3. rehabilitasi; atau
4. cara lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
(3) Rencana aksi pemulihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d paling sedikit meliputi:
a. jenis kegiatan;
b. sebaran lokasi;
c. luasan areal; dan
d. penanggung jawab aksi.
Sumber Referensi
Asdak, C. 1999. “DAS sebagai Satuan Monitoring dan Evaluasi Lingkungan: Air sebagai Indikator Sentral”,
Seminar Sehari PERSAKI DAS sebagai Satuan Perencanaan Terpadu dalam Pengelolaan Sumber Daya Air, 21
Desember 1999. Jakarta
Asyiawati, Yulia Dan Lely, S.A. Identifikasi Dampak Perubahan Fungsi Ekosistem Pesisir Terhadap
Lingkungan Di Wilayah Pesisir Kecamatan Muaragembong . Jurnal Perencanaan Wilayah Dan Kota. Vol.14
No.1.
Cassel, D.K,.1997. Aquic Conditions and Hydric Soils: The Problems Soils Foreword. Dalam: M. J. Veppraskas &
S. W. Sprecher (eds). SSSA Special Publication Number 50.
Odum, Eugene P. 1996. Dasar-dasar Ekologi; Edisi Ketiga. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press,
Penerjemah Samingan, Tjahjono.

Anda mungkin juga menyukai