Anda di halaman 1dari 9

REVIEW JURNAL

KONSERVASI TANAH DAN AIR

OLEH:

M. AGUNG AL AVIT
2106110557

AGROTEKNOLOGI - C

JURUSAN AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2024
Review Jurnal 1

Minimalisasi Lahan Kritis Melalui Pengelolaan Sumberdaya


Judul
Lahan Dan Konservasi Tanah Dan Air Secara Terpadu

Jurnal Jurnal Teknologi Lingkungan

Volume dan
Vol.1(1): 73-82
Halaman
Waktu
Januari 2000
Penerbitan
Penulis Sutopo Purwo Nugroho
Reviewer M. Agung Al Avit
Tanggal 25 Maret 2024
Permasalahan pengelolaan sumber daya dan lingkungan
hidup akibat keterbelakangan merupakan permasalahan yang
mendesak bagi Indonesia. Dalam hal ini sebenarnya telah
terjadi misalnya tekanan penduduk atas wilayah daratan yang
sangat luas telah mendorong pemukiman pada bagian tertentu
dari wilayah tertentu khususnya di pulau jawa penggunaan
kawasan hutan harusnya benar-benar dimanfaatkan.
dilindungi untuk kegiatan pertanian. Tanah penting adalah
tanah yang karena tidak sesuai dengan peruntukannya dan
kegunaannya, telah atau sedang mengalami kerusakan baik
Pendahuluan
secara fisik, kimia, dan biologi, yang pada akhirnya
membahayakan fungsi hidrologis dan produktifnya, produksi
pertanian, penjajahan dan kehidupan sosial-ekonomi suatu
wilayah. zona dampak lingkungan. Lahan penting dan
marginal di Indonesia mencapai 43 juta hektar, diantaranya
20 juta hektar merupakan 'hektar sangat penting ditinjau dari
permukaan hidrologis dan setiap tahunnya terus bertambah.
Saat ini diperkirakan setiap tahunnya sekitar 50.000 hektar
lahan teknis pertanian diubah menjadi lahan non pertanian.
Lahan utama yang diubah menjadi penggunaan non-
pertanian sulit dicari penggantinya di tempat lain karena satu-
satunya lahan yang tersedia untuk perluasan pertanian adalah
tanah yang miskin.

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini


adalah analisis deskriptif komparatif, yaitu melakukan
perbandingan pada jumlah luas lahan kritis yang terdapat di
Indonesia secara nasional, dan selanjutnya menganalisis
faktor-faktor penyebabnya. Luas lahan kritis ditentukan
berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan dan digunakan
Metode
oleh Departemen Umum Reboisasi dan Reklamasi Lahan ,
Departemen Kehutanan dan Badan Usaha Kehutanan,
dimana setiap 5 tahun Menentukan kawasan lahanpenting
bagi provinsi di Indonesia data kunci daerah yang digunakan
dalam analisis ini adalah data pada tahun 1974, 1989, 1994,
dan 1998.

Pada tahun 1998, telah dilakukan perbaikan identifikasi


lahan-lahan penting, untuk lahan yang berfungsi sebagai
hutan lindung digunakan kriteria yang meliputi tutupan
lahan, kemiringan lahan, erosi dan pengelolaan. Untuk lahan
dengan fungsi areal budidaya untuk usaha pertanian, kriteria
pemanfaatan adalah produktivitas lahan, kemiringan lahan,
erosi, penguasaan lahan batuan dan pengelolaan.

Hasil dan Produktivitas dihitung berdasarkan rasio terhadap hasil


Pembahasan agregat optimal komoditas pada pengelolaan tradisional,
sedangkan pengelolaan dievaluasi berdasarkan upaya
penerapan teknologi konservasi tanah per unit lahan. Di
tingkat nasional, terlihat bahwa peningkatan luas lahan kritis
sebesar di luar kawasan hutan ternyata lebih besar. Hal ini
menunjukkan adanya perubahan pola penggunaan lahan
khususnya lahan pertanian berubah dari lahan fungsional
menjadi lahan non pertanian. Diperkirakan setiap tahunnya
penyesuaian lahan atau konversi lahan pertanian ke lahan non
pertanian mencapai 50. 000 hektar/tahun. Di Pulau Jawa,
pada awal Pelita II, luas lahan kritis di kawasan hutan
mencapai 575 ribu hektar atau lebih banyak dari luas Jawa
Timur, tetapi pada awal Pelita IV, luas lahan kritis kawasan
hutan berkurang menjadi 17. 000 hektar dan pada awalnya
Pelita VI pada tidak memiliki lahan signifikan. Salah satu dari
indikator kerusakan adalah erosi tanah. Erosi terjadi pada
permukaan tanah, dimana partikel tanah yang mengandung
unsur hara diangkut oleh limpasan permukaan dan disimpan
di tempat lain. Permasalahan utama yang berperan dalam
penciptaan lahan kritis adalah kondisi sosial, ekonomi, dan
budaya masyarakat. Misalnya, kepemilikan lahan yang
sempit menunjukkan bahwa tekanan penduduk terhadap
lahan untuk memenuhi kebutuhan mereka akan semakin
besar. Salah satu model yang dapat dijadikan acuan, penilaian
dan simulasi upaya konservasi adalah model AGNPS
(Agricultural Non-Point Source). Model ini mensimulasikan
limpasan permukaan, sedimen dan unsur mengangkut unsur
hara utama dari DAS, model menggunakan parameter input
distribusi dan mengoperasikan pada sebuah sel, sehingga dari
tangkapan kita mengetahui sel mana yang memiliki
kerusakan tanah paling parah dan dengan model ini dapat
menentukan skala prioritas kegiatan.

Peningkatan luas lahan yang signifikan setiap tahunnya


merupakan permasalahan lingkungan yang perlu segera
diatasi. Pasalnya, luas daratan penting di Indonesia mencapai
Kesimpulan 23. 725. 552 hektar. Sedangkan lahan agak terancam seluas
3. 311. 152 hektar dan lahan berpotensi terancam seluas 8.
806. 758 hektar, sehingga total luasnya 35. 852. 462 hektar
atau mencakup 18,6% dari luas daratan Indonesia. . Luasnya
wilayah tersebut tentunya akan menimbulkan dampak yang
sangat merugikan seperti berkurangnya hasil pertanian,
meningkatnya erosi, sedimentasi, banjir, kekeringan,
sedimentasi sungai, berkurangnya umur waduk, dan
permasalahan lingkungan hidup lainnya. penghijauan namun
hasilnya masih belum positif karena proporsi lahan kritis
terus meningkat, diperkirakan rata-rata mencapai 500. 000
hektar setiap tahunnya. Sebab, program tersebut kurang
pendekatan terhadap permasalahan sosial, ekonomi, dan
budaya.

Review Jurnal 2

Alternatif Teknik Konservasi Tanah Dan Air Untuk Das


Judul
Cilemer, Banten

Jurnal Jurnal Ilmu Tanaman Lingkungan

Volume dan
20 (1): 33-39
Halaman

Waktu
April 2018
Penerbitan

Evi Nursari, Latief Mahir Rachman dan Dwi Putro Tejo


Penulis
Baskoro

Reviewer M. Agung Al Avit

Tanggal 25 Maret 2024

Jumlah penduduk terus bertambah namun luas lahan tidak


berubah (tetap) sehingga menyebabkan peningkatan kebutuhan
lahan yang pada gilirannya menyebabkan laju konversi lahan
Pendahuluan
meningkat. Perubahan penggunaan dan konsentrasi lahan
Praktek-praktek pertanian yang tidak menghormati prinsip
konservasi tanah dan air menjadi salah satu penyebab
menurunnya fungsi hidrologi daerah aliran sungai (DAS).
Memburuknya fungsi hidrologi DAS ditandai dengan
ketidakmampuan DAS dalam meredam fluktuasi puncak
limpasan permukaan akibat curah hujan dan ketidakmampuan
menstabilkan sumber air yang tersedia pada musim kemarau.
Daerah tangkapan air Sungai Cilemer merupakan delta yang
rawan banjir. Berdasarkan hasil penelitian Dinas PUPR (2015),
77,38% wilayah DAS Cilemer terdiri dari dataran dengan
ketinggian 0 sampai 25 m. DAS Cilemer merupakan salah satu
dari DAS yang ada di Provinsi Banten yang berfungsi sebagai
sumber irigasi pertanian di Provinsi Banten, khususnya untuk
wilayah Banten Selatan khususnya Kabupaten Pandeglang.
Salah satu upaya pengelolaan wilayah sungai adalah dengan
melaksanakan Rencana Konservasi Tanah dan Air (KTA) .
Konservasi tanah adalah penataan lahan sesuai dengan
kapasitasnya dan kondisi yang diperlukan untuk mencegah
degradasi lahan. Sedangkan konservasi air merupakan upaya
penghematan air di bawah tanah, dimana pada saat hujan air
tersebut meresap ke dalam tanah dan tertahan di dalam tanah
sehingga dapat digunakan pada musim kemarau. Tujuan dari
penelitian ini adalah: (i) melakukan simulasi beberapa teknik
KTA dalam upaya pengendalian banjir dan meningkatkan
penyediaan air irigasi untuk pertanian di DAS du Cilemer; (ii)
memperoleh teknologi alternatif KTA untuk mengelola DAS
Sungai Cilemer, dan (iii) menyusun pedoman pengelolaan DAS
yang baik untuk meningkatkan fungsi hidrologi DAS Sungai
Cilemer.

Lokasi Penelitian terletak di DAS Cilemer yang secara geografis


terletak pada 105°48’25”-106°05’05” BT serta 6°16’58”-
Metode
6°35’13”LS. DAS Cilemer termasuk kedalam wilayah
administrasi Kabupaten Pandeglang dan Lebak, Provinsi Banten
Pengolahan data dan analisis tanah dilakukan di Laboratorium
Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Kampus IPB
Dramaga, Bogor. Alat yang digunakan dalam penelitian adalah
seperangkat komputer, Software ArcGIS 10.1, ArcSWAT versi
10.1.18, Microsoft Office 2010, Global Positioning System
(GPS), ring sampler, double ring infiltrometer dan alat-alat
lainnya yang diperlukan untuk pengambilan sampel fisik tanah
dan analisis di laboratorium. Adapun bahan yang akan
digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data spasial dan
numerik yaitu: Peta DEM (Digital Elevation Model) Banten
yang diturunkan dari citra SRTM resolusi 30 m, Peta tutupan
lahan DAS Cilemer skala 1:250,000, Peta Tanah DAS Cilemer
skala 1:250,000, Data Iklim tahun 2010- 2015, Data debit
observasi harian Sungai Cilemer tahun 2010-2015, dan Data
karakteristik fisik tanah DAS Cilemer. Penelitian dilakukan
kedalam tujuh tahap yaitu: Pengumpulan data sekunder, survei
lapang, analisis data, running model Soil Water Assesment Tool
(SWAT), simulasi KTA dengan model SWAT, skenario
pengelolaan DAS, serta penyusunan arahan pengelolaan DAS.

Hasil kalibrasi model SWAT didapatkan bahwa nilai R2 dan


NSE masing-masing adalah 0.65 dan 0.63. Sementara untuk
validasi yang dilakukan pada tahun 2015 menghasilkan R2 dan
NSE masing-masing adalah 0.57 dan 0.52 dikategorikan
memuaskan. Kalibrasi dan validasi model adalah faktor kunci
Hasil dan dalam mengurangi ketidakpastian dan meningkatkan
Pembahasan kepercayaan pengguna terhadap kemampuan prediktifnya,
sehingga membuat penerapan model menjadi efektif. Kalibrasi
dan validasi juga dapat digunakan sebagai ukuran reliabilitas
simulasi pada suatu model, reliabilitas simulasi model
dipengaruhi oleh lamanya waktu simulasi dan kualitas data
pengukuran yang digunakan. Hasil simulasi skenario KTA
dengan model SWAT menunjukkan bahwa penerapan teknik
KTA dapat menurunkan KRA, hal ini terlihat melalui nilai KRA
pada setiap skenario lebih kecil dibandingkan dengan nilai KRA
sesuai ketentuan yang berlaku. kondisi. , skenario 1 yaitu KTA
dengan metode strip farming dapat menurunkan KRA sebesar
22,39% (dari 119,70 menjadi 92,89), skenario 2 (metode KTA
agroforestri) dapat menurunkan KRA sebesar 9,83% (dari
229,70 menjadi 107,93). %), dan skenario 3 (metode integrasi
KTA) dapat menurunkan KRA sebesar 21,26% (dari 119,70
menjadi 94,25). Skenario 1 dapat mengurangi limpasan
permukaan langsung (limpasan langsung) sebesar 28,93% (KAT
mengurangi dari 0,25 menjadi 0,18) serta meningkatkan aliran
dasar dan produksi kecap dari 40,56% menjadi sebesar 2,06%.
Penerapan metode strip farming KTA sesuai skenario 1
membantu melindungi permukaan tanah dari air hujan untuk
menjaga struktur tanah. Skenario 2 secara langsung dapat
menurunkan limpasan permukaan sebesar 8,87% sehingga nilai
KAT menurun dari 0,25 menjadi 0,22 serta meningkatkan aliran
dasar dan hasil air masing-masing sebesar 0,89% dengan adanya
serasah pohon. Residu tumbuhan dapat memperbaiki sifat fisik
tanah khususnya struktur tanah, sehingga permeabilitasnya
meningkat, maka limpasan permukaan akan berkurang dan
aliran dasar akan meningkat naik. Skenario 3 secara langsung
dapat menurunkan limpasan permukaan sebesar 29,24%
sehingga nilai KAT menurun dari 0,25 menjadi 0,17, serta
meningkatkan aliran dasar dan efisiensi domestik sebesar
3,99%. Penerapan tanggul sesuai skenario 3 dapat mencegah
limpasan permukaan pada musim hujan. Selain itu, tanggul juga
dapat digunakan untuk menyalurkan air yang ditampung pada
musim hujan ke saluran sungai dan untuk irigasi pada musim
kemarau. Secara keseluruhan, di antara ketiga skenario KTA
yang disimulasikan di DAS Cilemer, skenario 3 dinilai paling
baik karena masuk dalam kriteria pengelolaan wilayah sungai
yang lebih baik, khususnya dapat menurunkan KTA, serta
meningkatkan aliran basal. dan mempunyai rendemen air
tertinggi. Perubahan respon hidrologi DAS Cilemer menjadi
lebih baik pada skenario 3 disebabkan penerapan KTA yang
tertanam sebagai wadah yang dapat mengatur limpasan
permukaan dari wilayah daratan hulu untuk mampu
menghilangkan menghilangkan limpasan permukaan di DAS
Sungai Cilemer.

Seluruh skenario konservasi tanah dan air (strip cropping,


agroforestry, dan waduk) yang disimulasikan di DAS Cilemer
dapat menurunkan KRA dan KTA serta meningkatkan aliran
dasar dan jumlah produksi air. Strip cropping, agroforestry dan
tambak dapat digunakan sebagai alternatif teknologi KTA yang
dapat diterapkan secara simultan di DAS Cilemer pada
Kesimpulan agroekosistem dimana teknologi tersebut sesuai untuk
diterapkan . Teknik pengelolaan DAS yang ingin diterapkan di
DAS Cilemer untuk mengendalikan banjir dan meningkatkan
ketersediaan air merupakan waduk dengan total kapasitas
tampungan m3 karena dapat mengurangi limpasan permukaan
dan meningkatkan aliran dasar. dan memiliki hasil air yang lebih
baik dibandingkan skenario yang tersisa.

Anda mungkin juga menyukai