Oleh:
Abstrak
fisik, kimia dan biologi karena tidak sesuai penggunaan dan kemampuannya, yang
dan kehidupan sosial ekonomi dan lingkungan. Issue lahan kritis dan lahan tidur di
Jawa Barat telah muncul ke permukaan dan menjadi masalah ketika terjadi bencana
masyarakat yang sedang terpuruk. Tulisan ini dimaksudkan untuk mengkaji aspek
teknis dan sosial ekonomi rehabilitasi lahan kritis secara tidak terkendali. Untuk itu
kajian ini diharapkan dapat membantu dalam menemukan metode yang tepat melalui
budaya dan kearifan lokal, dalam rangka pelaksanaan program rehabilitasi lahan kritis
menggunakan metode Rapid Rural Appraisal (RRA) atau pengkajian desa secara
cepat. Lokasi pengkajian didasarkan pada Daerah Aliran Sungai (DAS) yang
memiliki tingkat erosi terbesar antara lain DAS Cisadane dan DAS Ciujung yang ada
di Jawa Barat.
Jenis lahan kritis dbedakan kedalam 4 (empat) tingkat kekritisan lahan yaitu
potensial kritis, semi kritis, kritis dan sangan kritis dimana jumlah luas lahan kritis di
Jawa Barat pada kawasan hutan mencapai 474.006 ha yang terdiri dari kawasan hutan
lindung (101.690 ha), kawasan hutan konservasi (34.664 ha) dan kawasan hutan
produksi (337.652 ha, Puslittanak, 1997). Konsepsi dasar rehabilitasi lahan kritis di
Jawa Barat yang tepat di laksanakan dengan mengacu pada prinsip pembanguna
lindung yang terdiri dari kawasan hutan dan kawasan non hutan dilakukan melalui
lahan yang rusak agar dapat berfungsi secara optimal, sedangkan aspek sosek
agroforestry di kawasan hutan. Kawasan budidaya terdiri dari hutan produksi, hutan
rakyat dan pertanian lahan basah, dimana rehabilitasi pada hutan produksi yang
dibebani hak merupakan tanggungjawab pemegang hak atas tanah dan pada hutan
produksi yang tidak dibebani hak merupakan tanggung jawab pemerintah pusat dan
daerah. Rehabilitasi hutan dan lahan kritis pada hutan rakyat dapat dilakukan dengan
yang tidak sejalan dengan pengelolaan kawasan budidaya. Pemilihan teknik budidaya
dan jenis tanaman diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat sesuai dengan lokasi
Kata kunci : Rehabilitasi Lahan Kritis, Sosial Ekonomi, Kawasan Lindung, Kawasan
Lahan kritis terjadi akibat erosi oleh air hujan. Erosi sendiri diakibatkan oleh
faktor-faktor iklim, topografi, vegetasi, kondisi tanah dan ulah manusia. Jawa
Barat memiliki curah hujan tinggi, lahan berlereng. Ketika kayu-kayu tumbuh
diatas lahan ditebangi maka curah hujan yang tinggi memukul langsung
permukaan tanah yang gundul. Butiran tanah terlepas dari agregatnya dan
dibawa hanyut oleh aliran permukaan ( run off ) kelereng bawah sampai
tertinggal adalah lapisan bawah tanah ( sub soil ) atau bahan induk yang tidak
subur dan bukan media tumbuh yang baik untuk pertanian. Para ahli
mengatakan bahwa untuk pembentukan lapisan olah (top oil ) setebal 2,5 cm
Lahan kritis didifinisikan sebagai lahan yang mengalami proses kerusakan fisik,
kimia dan biologi karena tidak sesuai penggunaan dan kemampuannya, yang
Dalam kurun waktu 7 tahun sawah telah berkurang 337.058 ha atau sekitar 9 %
pemantauan dari citra Landsat tegakan kayu di Jawa barat sebenarnya tinggal 9
lagi karena top soil maupun sub oilnya sudah terkikis, yang muncul
Untuk rehabilitasi lahan kritis pemerintah pusat pada tahun 2003 telah
Rehabilitasi Lahan Kritis ( GRLK) dimana seluruh stakeholder Jawa Barat harus
berpartisipasi aktif untuk menyelamatkan sumber daya alam Jawa Barat yang
tidak ternilai harganya.. Rehabilitasi lahan kritis di Jawa Barat akan berdampak
positif pada aspek hidrologi, orologi, ekologi, ekonomi dan sosial politik.
teknologi spesifik lokasi yang akan digunakan, jenis tanaman pilihan, pola
perangkat hukum yang diperlukan untuk membuat gerakan lebih terarah serta
hutan, pasokan air yang cukup sepanjang musim, serta pasar domestik yang
domestik dipenuhi produksi agribisnis luar, karena mutu lebih baik dan harga
cukup bersaing.
Issue lahan kritis dan lahan tidur di Jawa Barat telah muncul kepermukaan
menjadi masalah ketika terjadi bencana alam berupa banjir dan kekeringan di
Sumberdaya tanah dan air yang menjadi tumpuan harapan untuk pemulihan
pasokan energi listrik yang berasal dari tenaga air untuk menggerakkan industri
kritis secara tidak terkendali. Untuk itu kajian ini diharapkan dapat membantu
dalam menemukan metode yang tepat, baik dari aspek teknologi, spesifik lokasi,
manfaat ( beneficiary) yang didasarka pada budaya dan kearifan lokal, dalam
kritis dan lahan tidur melalui pemberdayaan masyarakat yang sesuai dengan
II. METODOLOGI
Appraisal atau Pengkajian Desa Secara Cepat. RRA merupakan metode yang
digunakan untuk memotret keadaan desa secara cepat, intensif, berulang dan
eksploratif ( Rachman 1997 ). Metode RRA difokuskan pada pengkajian
BAPEDA tingkat Propinsi Jawa Barat, Dinas Pertanian Tanaman Pangan, Dinas
daerah bidang pertanahan serta hasil-hasil studi yang dilaksanakan oleh instansi
terkait. Lokasi pengkajian didasarkan pada Daerah Aliran Sungai (DAS) yang
memiliki tingkat erosi terbesar antara lain DAS Cisadane dan DAS Ciujung.
kritis menggunakan empat parameter lahan yaitu (1) kondisi penuupan vegetasi,
(2) tingkat korehan/kerapan drainase, (3) penggunaan lahan dan (4) kedalaman
ke dalam empat tingkat kekritisan lahan yaitu potensial kritis, semi kritis, kritis
disajikan dalam Tabel 1 berikut ini dan ciri=ciri kondisi lapang setiap kriteria
Kritis
1 2 3 4 5
Luas lahan kritis di Jawa Barat di kawasan hutan mencapai 474 006 ha.
Sedangkan di luar kawasan hutan mencapai 456 956,94 ha. Lahan kritis tersebut
terdiri dari :
Kegagalan program rehabilitasi lahan kritis masa lalu disebabkan karena pola
tepat, peraturan dan penegakan hukum masih lemah, dampak negatif pembukaan
hutan, perambahan hutan serta kuatnya konversi lahan hutan menjadi lahan
pertanian, pemukiman dan industri serta kerusakan kawasan hutan oleh usaha
manfaat dari perdagangan kayu kehutanan dan hasil tambang di hutan, kurang
peduli pada keseimbangan ekosistem Daerah Aliran Sungai (DAS). Hal ini
dapat dilihat dari kerusakan Guning Geulis akibat penambnagan dan praktek
model kemitraan Public Private Partnership (PPP). Model kemitraan ini telah
itu pelaksanaan rehabilitasi lahan kritis di Jawa Barat hendaknya mengacu pada
melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan
sumber daya hutan. Kawasan lindung memiliki skor > 125 menurut SK
Kawasan Hutan dan Kawasan Non Hutan, sedang kawasan hutan terdiri dari
hutan konservasi dan hutan lindung. Kawasan non hutan terdiri dari perkebunan
dan lahan dengan nilai skor > 125, kawasan resapan air, kawasan sekitar waduk
rusak agar dapat berfungsi secara optimal. Baik sebagai unsur produksi, media
pengatur tata air maupun sebagai unsur perlindungan alam dan lingkungannya.
Kawasan budidaya adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk
manusia dan sumberdaya buatan. Kawasan budidaya terdiri dari hutan produksi,
hutan rakyat dan pertania lahan basah. Hutan produksi mempunyai fungsi pokok
sebagai penghasil produk-produk hutan baik kayu maupun hasil hutan bukan
rehabilitasi hutan dan lahan kritis. Rahabilitasi hutan baik pada Hutan Produksi
Terbatas (HPT) maupun pada hutan Produksi Tetap (HP) sesuai dengan
a. Pada hutan produksi yang dibebani hak, rehabilitasi hutan dan lahan kritis
b. Pada hutan produksi yang tidak dibebani hak, rehabilitasi hutan dan lahan
milik rakyat. Menurut UU No 41/1999 Hutan Rakyat (HR) adalah hutan yang
berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah, yaitu hak milik, sedangkan hak
guna usaha dan hak pakai disebut hutan Hak. Dalam istilah tersebut terkait
kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang
luas yang kecil, sehingga belum dapat memenuhi kriteria sebagai hutan,
mungkin baru merupakan Tanaman Kayu rakyat. Luas minimum suatu kawasan
yang ditumbuhi kayu yang memenuhi kreteria sebagai hutan belum ditetapkan
ketentuan Pokok Kehutanan disebutkan bahwa luas minimum adalah 0,25 ha.
Walaupun masih banyak tanaman kayu rakyat yang belum dapat dikatagorikan
b. Aspek Ekologi
Mengatur tata air, mencegah erosi dan banjir dan kelestarian lingkungan
c. Aspek Estetika
Konsepsi Rehabilitasi hutan dan Lahan Kritis pada hutan rakyat ( di luar
Rehabilitasi lahan kritis pada hutan rakyat diarahkan untuk terbentuknya hutan
rakyat yang produktif dan pemulihan lahan untuk usahatani konservasi, yang
jenis pohon yang cepat tumbuh dari jenis kayu unggulan yang bernilai ekonomi
kayu untuk bangunan kepentingan probadi hendaknya kayu diambil dari hasil
penjarangan.
Kesimpulan
Rehabilitasi Hutan Dan Lahan (GNRHL) sedang di Jawa Barat ada Gerakan
masyarakat.
Saran-saran
Aliran Sungai (DAS) sebagai satu kesatuan ekosistem melalui prinsip ” one
ekosistem.
semak. Kemudian pada KPL II terdiri dari hutan lahan kering sekunder,
di hilir, maka perlu dirumuskan makanisme role sharing dan cost sharing
DAS, Forum Rehabilitasi Hutan dan Lahan dan Forum Hutan rakyat, (2)
pembuangan teras.
DAFTAR PUSTAKA
Achmad Hidayat dan Any Mulyani 2002. Lahan kering untuk pertanian Dalam
Dinas Kehutan Propinsi Jawa Barat, 2001 Rencana Induk Pengelolaan Hutan dan