Anda di halaman 1dari 14

KONSEPSI REHABILITASI LAHAN KRITIS DI JAWA BARAT

Oleh:

Rachman Effendi dan Sylviani

Abstrak

Lahan kritis didefinisikan sebagai lahan yang mengalami proses kerusakan

fisik, kimia dan biologi karena tidak sesuai penggunaan dan kemampuannya, yang

akhirnya membahayakan fungsi hidrologis, orologis, produksi pertanian, pemukiman

dan kehidupan sosial ekonomi dan lingkungan. Issue lahan kritis dan lahan tidur di

Jawa Barat telah muncul ke permukaan dan menjadi masalah ketika terjadi bencana

alam berupa banjir dan kekeringan di tengah-tengah kondisi sosial ekonomi

masyarakat yang sedang terpuruk. Tulisan ini dimaksudkan untuk mengkaji aspek

teknis dan sosial ekonomi rehabilitasi lahan kritis secara tidak terkendali. Untuk itu

kajian ini diharapkan dapat membantu dalam menemukan metode yang tepat melalui

pemberdayaan masyarakat penerima manfaat (beneficiary) yang didasarkan pada

budaya dan kearifan lokal, dalam rangka pelaksanaan program rehabilitasi lahan kritis

di Jawa Barat. Pengumpulan data primer dan sekunder dilakukan dengan

menggunakan metode Rapid Rural Appraisal (RRA) atau pengkajian desa secara

cepat. Lokasi pengkajian didasarkan pada Daerah Aliran Sungai (DAS) yang

memiliki tingkat erosi terbesar antara lain DAS Cisadane dan DAS Ciujung yang ada

di Jawa Barat.

Jenis lahan kritis dbedakan kedalam 4 (empat) tingkat kekritisan lahan yaitu

potensial kritis, semi kritis, kritis dan sangan kritis dimana jumlah luas lahan kritis di

Jawa Barat pada kawasan hutan mencapai 474.006 ha yang terdiri dari kawasan hutan

lindung (101.690 ha), kawasan hutan konservasi (34.664 ha) dan kawasan hutan
produksi (337.652 ha, Puslittanak, 1997). Konsepsi dasar rehabilitasi lahan kritis di

Jawa Barat yang tepat di laksanakan dengan mengacu pada prinsip pembanguna

berkelanjutan (sustainable development) dan model pendekatan kemitraan antara

pemerintah, dunia usaha dan masyarakat. Teknik rehabilitasi lahan di kawasan

lindung yang terdiri dari kawasan hutan dan kawasan non hutan dilakukan melalui

penghijauan untuk memperbaiki, memulihkan kembali dan meningkatkan kondisi

lahan yang rusak agar dapat berfungsi secara optimal, sedangkan aspek sosek

dilakukan melalui kegiatan pengelolaan hutan bersama masyarakat dan pemanfaatan

potensi sumberdaya hutan dilakukan melalui pengembangan wanafarma, ekowisata,

agroforestry di kawasan hutan. Kawasan budidaya terdiri dari hutan produksi, hutan

rakyat dan pertanian lahan basah, dimana rehabilitasi pada hutan produksi yang

dibebani hak merupakan tanggungjawab pemegang hak atas tanah dan pada hutan

produksi yang tidak dibebani hak merupakan tanggung jawab pemerintah pusat dan

daerah. Rehabilitasi hutan dan lahan kritis pada hutan rakyat dapat dilakukan dengan

pola insentif untuk memberikan rangsangan terhadap kegiatan pengelolaan kawasan

budidaya dan pola disinsentif membatasi pertumbuhan atau mengurangi kegiatan

yang tidak sejalan dengan pengelolaan kawasan budidaya. Pemilihan teknik budidaya

dan jenis tanaman diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat sesuai dengan lokasi

dan jenis yang benilai ekonomi tinggi.

Kata kunci : Rehabilitasi Lahan Kritis, Sosial Ekonomi, Kawasan Lindung, Kawasan

Budidaya, Kerifan Lokal, Rapid Rural Appraisal (RRA),

Pemberdayaan Ekonomi Kerakyatan.


I. PENDAHULUAN

Lahan kritis terjadi akibat erosi oleh air hujan. Erosi sendiri diakibatkan oleh

faktor-faktor iklim, topografi, vegetasi, kondisi tanah dan ulah manusia. Jawa

Barat memiliki curah hujan tinggi, lahan berlereng. Ketika kayu-kayu tumbuh

diatas lahan ditebangi maka curah hujan yang tinggi memukul langsung

permukaan tanah yang gundul. Butiran tanah terlepas dari agregatnya dan

dibawa hanyut oleh aliran permukaan ( run off ) kelereng bawah sampai

akhirnya diindapkan di muara-muara sungai. Tanah yang terhanyut

mengandung zat-zat hara penting untuk tanaman. Dengan demikian yang

tertinggal adalah lapisan bawah tanah ( sub soil ) atau bahan induk yang tidak

subur dan bukan media tumbuh yang baik untuk pertanian. Para ahli

mengatakan bahwa untuk pembentukan lapisan olah (top oil ) setebal 2,5 cm

diperlukan waktu 30 –300 tahun.

Lahan kritis didifinisikan sebagai lahan yang mengalami proses kerusakan fisik,

kimia dan biologi karena tidak sesuai penggunaan dan kemampuannya, yang

akhirnya membahayakan fungsi hidrologis, orologis, produksi pertanian,

pemukiman dan kehidupan sosial ekonomi dan daerah lingkungan pengaruhnya.

Dalam kurun waktu 7 tahun sawah telah berkurang 337.058 ha atau sekitar 9 %

dan lahan hutan berkurang 124.738 ha atau tinggal 19 % lagi. Berdasarkan

pemantauan dari citra Landsat tegakan kayu di Jawa barat sebenarnya tinggal 9

% lagi. Lahan kritis telah merupakan bencana nasional..

Degradasi tanah yang terus menerus mengakibatkan terjadinya tanah-tanah kritis

bahkan teklah berkembang menjadi tanah mati seperti banyak dijumpai di


daerah Maja.Kabupaten Majalengka. Tanah-tanah mati sulit untuk dipulihkan

lagi karena top soil maupun sub oilnya sudah terkikis, yang muncul

dipermukaan tinggal lapisan induk ( parent material ).

Untuk rehabilitasi lahan kritis pemerintah pusat pada tahun 2003 telah

mencanangkan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan ( GNRHL ).

Pemerintah Propinsi Jawa Barat juga telah menggulirkan program Gerakan

Rehabilitasi Lahan Kritis ( GRLK) dimana seluruh stakeholder Jawa Barat harus

berpartisipasi aktif untuk menyelamatkan sumber daya alam Jawa Barat yang

tidak ternilai harganya.. Rehabilitasi lahan kritis di Jawa Barat akan berdampak

positif pada aspek hidrologi, orologi, ekologi, ekonomi dan sosial politik.

Rahabilitasi lahan kritis memerlukan perencanaan yang matang dari aspek

teknologi spesifik lokasi yang akan digunakan, jenis tanaman pilihan, pola

budidaya yang akan digunakan, pola pemberdayaan masyarakat setempat,

perangkat hukum yang diperlukan untuk membuat gerakan lebih terarah serta

mencegah meluasnya lahan kritis baru.

Jawa Barat ingin memulihkan kondisi ekonominya melalui enam core-business

dengan agribisnes sebagai lokomotif penarik dari lima core-business lainnya.

Agribisness telah dijadikan harapan untuk pemulihan ekonomi Jawa barat.

Pengembangna agribisness sangat bergantung kepada kesuburan sumberdaya

hutan, pasokan air yang cukup sepanjang musim, serta pasar domestik yang

terbuka untuk produk-produk dalam negeri. Namun pada kenyataannya pasar

domestik dipenuhi produksi agribisnis luar, karena mutu lebih baik dan harga

cukup bersaing.
Issue lahan kritis dan lahan tidur di Jawa Barat telah muncul kepermukaan

menjadi masalah ketika terjadi bencana alam berupa banjir dan kekeringan di

tengah-tengah kondisi sosial-ekonomi masyarakat yang sedang terpuruk.

Sumberdaya tanah dan air yang menjadi tumpuan harapan untuk pemulihan

ekonomi melalui agribisnis ternyata telah terdegradasi. Bersamaan dengan itu

pasokan energi listrik yang berasal dari tenaga air untuk menggerakkan industri

menjadi terancam ketika pasokan air pada musim kemarau berkurang.

Kajian ini dimaksudkan untuk menganalisa faktor-faktor teknis, sosial-ekonomi,

sosial-budaya dankebijakan mana yang mampu menghentikan perluasan lahan

kritis secara tidak terkendali. Untuk itu kajian ini diharapkan dapat membantu

dalam menemukan metode yang tepat, baik dari aspek teknologi, spesifik lokasi,

maupun dari aspek sosial ekonomi, melalui pemberdayaan masyarakat penerima

manfaat ( beneficiary) yang didasarka pada budaya dan kearifan lokal, dalam

rangka pelaksanaan program Rehabilitasi Lahan Kritis di Jawa Barat. Hasil

kajian dapat digunakan sebagai bahan rekomendasi untuk Pemerintah Propinsi

Jawa Barat dalam rangka menyusun rancangan kebijakan Pemanfaatan lahan

kritis dan lahan tidur melalui pemberdayaan masyarakat yang sesuai dengan

budaya dan kearifan lokal.

II. METODOLOGI

Pengumpulan data primer dan sekunder dilakukan metode Rapid Rural

Appraisal atau Pengkajian Desa Secara Cepat. RRA merupakan metode yang

digunakan untuk memotret keadaan desa secara cepat, intensif, berulang dan
eksploratif ( Rachman 1997 ). Metode RRA difokuskan pada pengkajian

terhadap masalah, hambatan serta peluang pengembangan suatu wilayah.

Penelitian diawali dengan mengumpulkan data sekunder yang diperoleh dari

BAPEDA tingkat Propinsi Jawa Barat, Dinas Pertanian Tanaman Pangan, Dinas

Kehutan Propinsi Jawa Barat, mempelajari peraturan pemerintah dan peraturan

daerah bidang pertanahan serta hasil-hasil studi yang dilaksanakan oleh instansi

terkait. Lokasi pengkajian didasarkan pada Daerah Aliran Sungai (DAS) yang

memiliki tingkat erosi terbesar antara lain DAS Cisadane dan DAS Ciujung.

III. TINGKAT KEKRITISAN LAHAN

Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (1997) telah mengklasifikasikan lahan

kritis menggunakan empat parameter lahan yaitu (1) kondisi penuupan vegetasi,

(2) tingkat korehan/kerapan drainase, (3) penggunaan lahan dan (4) kedalaman

tanah. Sesuai dengan parameter-parameter lahan tersebut, lahan kritis dibedakan

ke dalam empat tingkat kekritisan lahan yaitu potensial kritis, semi kritis, kritis

dan sangat kritis. Parameter-parameter dan kreteria lahan kritis tersebut

disajikan dalam Tabel 1 berikut ini dan ciri=ciri kondisi lapang setiap kriteria

dan parameter lahan kritis diuraikan sebagai berikut.

Tabel 1 : Kriteria Penilaian Lahan Kritis


Parameter Potensial Semi Kritis Kritis Sangat Kritis
Kritis
Penutupan > 75 % 50-75 % 25-50 % < 25 %
vegetasi
Tingkat torehan / Agak tertoreh Cukup tertoreh Sangat tertoreh Sangat tertoreh
kerapatan Cukup tertoreh Sangat tertoreh Sangat tertoreh
drainase sekali
Penggunaan Hutan, kebun Pertanian, lahan kering,Pertanian, lahan Gundul, rumput
lahan / vegetasi campuran, semak belukar, alang 2 kering, rumput semak
belukar, semak
perkebunan
Kedalam tanah Dalam Sedang ( 60-100 cm ) Dangkal Sangat dangkal
(>100 cm) ( 30-60 cm) (< 30 cm )
Sumber : Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat 1997 dalam Undang Kurnia dkk (2002)
Tabel 2 Luas Lahan Kritis di Jawa Barat menurut Puslitnak (1997)

Potensial Semi Kritis Kritis Sangat Kritis Jumlah

Kritis

1 2 3 4 5

438 150 ha 340 400 ha 109 150 ha 20 150 ha 907 850 ha

Luas lahan kritis di Jawa Barat di kawasan hutan mencapai 474 006 ha.

Sedangkan di luar kawasan hutan mencapai 456 956,94 ha. Lahan kritis tersebut

terdiri dari :

a. Kawasan Hutan Lindng 101 690 ha

b. Kawasan Hutan Konservasi 34 664 ha

c. Kawasan Hutan Produksi 337 652 ha

Jumlah 474 006 ha

IV. KONDISI RAHABILITASI LAHAN KRITIS

1. Penerapan Konsepsi Subtainable Development dan Public Provate


Partnership

Kegagalan program rehabilitasi lahan kritis masa lalu disebabkan karena pola

pendekatan yang digunakan pada pelaksanaan rehabilitasi lahan kritis kurang

tepat, peraturan dan penegakan hukum masih lemah, dampak negatif pembukaan

hutan, perambahan hutan serta kuatnya konversi lahan hutan menjadi lahan

pertanian, pemukiman dan industri serta kerusakan kawasan hutan oleh usaha

penambangan. Disamping itu masih banyak stakeholder yang memperoleh

manfaat dari perdagangan kayu kehutanan dan hasil tambang di hutan, kurang

peduli pada keseimbangan ekosistem Daerah Aliran Sungai (DAS). Hal ini
dapat dilihat dari kerusakan Guning Geulis akibat penambnagan dan praktek

pertanian yang tidak memperhatikan aspek konservasi tanah.

Program rehabilitasi lahan kritis harus dilaksanakan sesuai dengan prinsip-

prinsip pembangunan berkelanjutan ( sustainable development ) dan penerapan

model kemitraan Public Private Partnership (PPP). Model kemitraan ini telah

dilaksanakan disebagian besar masyarakat dunia. Di Indonesia model ini

merupakan kemitraan antara Pemerintah - Dunia usaha dan Masyarakat. Karena

itu pelaksanaan rehabilitasi lahan kritis di Jawa Barat hendaknya mengacu pada

prinsip sustainable development dan model kemitraan PPP.

2. Rehabilitasi Lahan Kritis di Kawasan Lindung

Kawasan lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama

melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan

sumber daya hutan. Kawasan lindung memiliki skor > 125 menurut SK

MENTAN nomor 837/Kpts/Unit/11/1980. Kawasan lindung terdiri dari

Kawasan Hutan dan Kawasan Non Hutan, sedang kawasan hutan terdiri dari

hutan konservasi dan hutan lindung. Kawasan non hutan terdiri dari perkebunan

dan lahan dengan nilai skor > 125, kawasan resapan air, kawasan sekitar waduk

dan kawasan sekitar mata air.

Untuk mewujudkan proporsi kawasan lindung sebesar 45 % program

pengembangan kawasan lindung di Jawa Barat sesuai dengan PERDA nomor 2

tahun 2003 adalah :

a. Pengukuhan kawasan lindung


b. Rehabilitasi dan konservasi lahan di kawasan lindung guna mengembalikan

dan meningkatkan fungsi lindung.

c. Pengendalian kawasan lindung

d. Pengembangan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan kawasan lindung

e. Peningkatan pemanfaatan potensi sumberdaya hutan

f. Pengembangan pola insentif dan disinsentif pengelolaan kawasan lindung.

Rehabilitasi dan konservasi lahan di kawasan lindung dilakukan melalui

kegiatan penghijauan di seluruh kawasan lindung. Rahabilitasi lahan adalah

usaha memperbaiki ,memulihkan kembali dan meningkatkan kondisi lahan yang

rusak agar dapat berfungsi secara optimal. Baik sebagai unsur produksi, media

pengatur tata air maupun sebagai unsur perlindungan alam dan lingkungannya.

Konservasi lahan adalah pengelolaan lahan yang pemanfaatannya dilakukan

secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap

memelihara serta meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya.

Pengembangan partisipasi masyarakat dilakukan melalui kegiatan pengelolaan

hutan bersama masyarakat / masyarakat adat, sedangkan pemanfaatan potensi

sumberdaya hutan dilakukan melalui pengembangan warna farma, ekowisata,

agroforestry di Gunung Salak, Gunung Ceremai dan Gunung Simpang Tilu.

3. Rehabilitasi Lahan Kritis di Kawasan Budidaya

Kawasan budidaya adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk

dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumberdaya alam, sumberdaya

manusia dan sumberdaya buatan. Kawasan budidaya terdiri dari hutan produksi,
hutan rakyat dan pertania lahan basah. Hutan produksi mempunyai fungsi pokok

sebagai penghasil produk-produk hutan baik kayu maupun hasil hutan bukan

kayu (HHBK). Kegiatan rehabilitasi pada hutan produksi ditujukan untuk

memulihkan tingkat produktifitas hutan dalam rangka mendukung industri

kehutanan. Pelaksanaan rehabilitasi hutan produksi menurut PP nomor 25 tahun

2000 merupakan yanggung jawab Pemerintah Kabupaten/Kota. Pemerintah

Pusat dan Daerah dapat menunjuk BUMN/BUMD/SWASTA sebagai pelaksana

rehabilitasi hutan dan lahan kritis. Rahabilitasi hutan baik pada Hutan Produksi

Terbatas (HPT) maupun pada hutan Produksi Tetap (HP) sesuai dengan

ketetapan Pemerintah adalah sebagai berikut:

a. Pada hutan produksi yang dibebani hak, rehabilitasi hutan dan lahan kritis

menjadi tanggung jawab pemegang hak atas tanah.

b. Pada hutan produksi yang tidak dibebani hak, rehabilitasi hutan dan lahan

kritis menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat dan Daerah

Hutan rakyat ( Private Forest ) merupakan penanaman kayu di atas tanah

milik rakyat. Menurut UU No 41/1999 Hutan Rakyat (HR) adalah hutan yang

berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah, yaitu hak milik, sedangkan hak

guna usaha dan hak pakai disebut hutan Hak. Dalam istilah tersebut terkait

pengertian tentang hutan yang menurut UU no 41/1999 tersebut adalah suatu

kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang

didominasi pepohonan dalam kesatuan alam lingkungannya, yang satu sama

lainnya tidak dapat dipisahkan.


Tanaman kayu yang berada di Jawa kadang-kadang berada dalam jumlah dan

luas yang kecil, sehingga belum dapat memenuhi kriteria sebagai hutan,

mungkin baru merupakan Tanaman Kayu rakyat. Luas minimum suatu kawasan

yang ditumbuhi kayu yang memenuhi kreteria sebagai hutan belum ditetapkan

dalam peraturan ( Sadikin 2003 ). Dalam UU No 5/1967 tentang ketentuan-

ketentuan Pokok Kehutanan disebutkan bahwa luas minimum adalah 0,25 ha.

Walaupun masih banyak tanaman kayu rakyat yang belum dapat dikatagorikan

ke dalam hutan, namun peranannya tidak berbeda dengan hutan yaitu

a. Aspek Sosial Ekonomi

Memenuhi kebutuhan kayu untuk bahan bangunan, industri kecil,

menunjang pengembangan ekonomi kerakyatan serta meningkatkan

kesempatan kerja di pedesaan

b. Aspek Ekologi

Mengatur tata air, mencegah erosi dan banjir dan kelestarian lingkungan

c. Aspek Estetika

Memperbaiki keindahan alam

Konsepsi Rehabilitasi hutan dan Lahan Kritis pada hutan rakyat ( di luar

kawasan ) hendaknya berorientasi pada pemberdayaan ekonomi kerakyatan.

Pada program operasionalnya hendaknya menerapkan pola insentif dan

disinsentif menurut penjelasan atas Perda Nomor 2 tahun 2003.

Pola insentif adalah pengaturan yang bertujuan untuk memberikan rangsangan

terhadap kegiatan pengelolaan kawasan lindung, sedangkan pola disinsentif


adalah pengaturan yang bertujuan untuk membatasi pertumbuhan atau

mengurangi kegiatan yang tidak sejalan dengan pengelolaan kawasan lindung.

Rehabilitasi lahan kritis pada hutan rakyat diarahkan untuk terbentuknya hutan

rakyat yang produktif dan pemulihan lahan untuk usahatani konservasi, yang

akan berfungsi untuk mengurangi resiko terjadinya banjir dan kekeringan.

Pemilihan teknologi bididaya dan jenis tanaman diserahkan sepenuhnya kepada

masyarakat. Untuk meningkatkan pendapatan petani hendaknya dipilih jenis-

jenis pohon yang cepat tumbuh dari jenis kayu unggulan yang bernilai ekonomi

tinggi. Untuk mencegah penebangan kayu secara intensif namun diperlukan

kayu untuk bangunan kepentingan probadi hendaknya kayu diambil dari hasil

penjarangan.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Rehabilitasi lahan kritis telah dijadikan gerakan baik di tingkat pusat

maupun regional Jawa Barat. Di tingkat pusat digulirkan Gerakan

Rehabilitasi Hutan Dan Lahan (GNRHL) sedang di Jawa Barat ada Gerakan

Rehabilitasi Lahan Kritis (GRLK). Gerakan tersebut dilancarkan mengingat

semakin meluasnya lahan kritis, sehingga menimbulkan dampak negatif

pada kondisi ekonomi,ekologi, tata air serta kondisi sosial budaya

masyarakat.

2. Semakin meluasnya lahan kritis di Jawa Barat merupakan hasl akumulasi

dari berbagai faktor yaitu faktor teknis, ekonomi, sosial kemasyarakatan,

hukum dan moral masyarakat. Pengelolaan hutan tanpa memperhatikan


aspek konservasi tanah, keterpurukan ekonomi, kurangnya kepedulian

masyarakat terhadap hutan, lemahnya peraturan dan penegakan hukum serta

semakin tererosinya moral masyarakat telah mempercepat kerusakan tanah.

3. Rehabilitasi hutan dan Lahan sesuai dengan PP Nomor 35 tshun 2002

diselenggarakan melalui kegiatan reboisasi, penghijauan, pemeliharaan

,pengayaan tanaman, penerapan teknik konservasi tanah secara vegetatif dan

sipil teknis pada lahan kritis dan tidak produktif.

Saran-saran

1. Pelaksanaan rehabilitasi lahan kritis hendaknya menggunakan Daerah

Aliran Sungai (DAS) sebagai satu kesatuan ekosistem melalui prinsip ” one

river basin , one overall planning and one management system “.

Mengingat setiap DAS mempunyai karakteristik berbeda, maka pola

rehabilitasi lahan kritis hendaknya didasarkan pada spesifik lokalita

ekosistem.

2. Lokasi rehabilitasi lahan kritis diprioritaskan di hulu DAS/sub DAS

prioritas 1 yang berada pada Kelompok Penutupan Lahan (KPL) 1, yaitu

pada semak belukar, tanah terbuka, pertanian lahan kering bercampur

semak. Kemudian pada KPL II terdiri dari hutan lahan kering sekunder,

hutan rawa sekunder, hutan mangrove sekunder.

3. Satu unit pengelolaan DAS meliputi beberapa Kabupaten/kota di hulu dan

di hilir, maka perlu dirumuskan makanisme role sharing dan cost sharing

diantara Pemerintah Kabupaten/Kota yang berada di DAS Hulu dan DAS

Hilir dibawah Koordinasi Pemerintah Propinsi Jawa Barat.


4. Masyarakat dipandang sebagai pelaku utama dalam perencanaan,

pelaksanaan, pengambil keputusan dan pengambil manfaat, sedangkan

pemerintah berfungsi sebagai pendamping dan pengendali kegiatan.

Pelibatan masyarakat dalam GRLK direalisasikan dalam bentuk (1)

penguatan kelembagaan masyarakat seperti Kelompok Tani Hutan, Forum

DAS, Forum Rehabilitasi Hutan dan Lahan dan Forum Hutan rakyat, (2)

Pelatihan teknologi konservasi tanah dan bududaya tanaman, (3)

Pengembangan perbenihan, (4) Pelaksanaan pekerjaan teknis sipil seperti

membuat terjupan ( drop spillway) untuk mencegah erosi pada saluran

pembuangan teras.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurachman Adimiharja dan S. Sutono 2002, Teknologi Pengendalian Erosi Lahan

Berlereng Dalam Teknologi Pengelolaan Lahan Kering menuju pertanian

produktif dan ramah lingkungan. Puslitnak, Bogor

Achmad Hidayat dan Any Mulyani 2002. Lahan kering untuk pertanian Dalam

Teknologi Pengelolaan Lahan Kering menuju pertanian produktif dan

ramah lingkungan. Puslitnak, Bogor

Dinas Kehutan Propinsi Jawa Barat, 2001 Rencana Induk Pengelolaan Hutan dan

Lahan di Daerah Aliran Sungai Cimandiri

Pemerintah Propinsi Jawa Barat, 2002 Fasilitasi Pemanfaatan dan Pendayagunaan

Tanah Terlantar di Jawa Barat. Kerjasama dengan FISIP UNPAD

Ramdhon Bermanakusumah,2002. Stakeholders Partnership on Agroforestry

Development, an effort for water resources conservation . SEAMEO-

SEARCA, Los Banos, Laguna, the Philipines.

Anda mungkin juga menyukai