Anda di halaman 1dari 8

Identifikasi Lahan Kritis di Jawa Barat

Untuk Ketahanan Pangan

Dandi Aprillian H, Hindrawan Shofartianto, Gilang Ade Fajar Wiguna,


King Andhika, Indra Syah Effendi
.
Teknik Geodesi, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan
Institut Teknologi Nasional
Jl. PKH. Mustapha No. 23, Bandung

Pos-el: dandiaprillian011@gmail.com

Abstract : Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia dengan pertumbuhan ekonomi dan
populasi yang tinggi. Pertumbuhan ekonomi dan populasi dapat menyebabkan penurunan tingkat
produktivitas tanah sehingga menyebabkan lahan menjadi kritis. Lahan kritis dapat disebabkan oleh
alih fungsi lahan hijau, perluasan areal pertanian yang tidak tepat, pengelolaan hutan yang tidak
benar, erosi tanah yang biasanya terjadi di daerah dataran tinggi, dan lain-lain. Dalam hal ketahanan
pangan, Berdasarkan statistik Badan Ketahanan Pangan bahwa pada tahun 2008 Jumlah Penduduk
Jawa Barat yang termasuk sangat rawan pangan adalah sebanyak 3.818.930 atau sekitar 9.33% dari
seluruh penduduk Jawa Barat sedangkan yang termasuk rawan pangan adalah 10.556.212 (25,80%)
dan yang tahan pangan adalah sebanyak 26.536.449 (64,89%) Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui sebaran lahan kritis di Jawa Barat untuk membuat peta distribusi lahan kritis di Jawa
Barat bagi instansi terkait dalam mengoptimalkan ketahanan pangan. Penelitian ini menggunakan data
peta Tutupan Lahan, Peta Citra SRTM, Peta Jenis Tanah, Peta Produktivitas Pertanian dan Peta
Manajemen Hutan. Metodologi yang digunakan Overlay dengan Skoring dan pembobotan. Hasilnya
berupa peta lahan kritis di Jawa Barat, Indonesia.

Kata Kunci : Lahan Kritis, Skoring, Pembobotan, Jawa Barat

Pendahuluan
Lahan kritis adalah adalah lahan/tanah yang saat ini tidak produktif karena pengelolaan dan penggunaan
tanah yang tidak/kurang memperhatikan syarat-syarat konservasi tanah dan air sehingga menimbulkan
erosi, kerusakan- kerusakan kimia, fisik, tata air dan lingkungannya (Soedarjanto dan Syaiful, dalam
Wirosoedarmo R, 2007). Lahan kritis didefinisikan sebagai lahan yang mengalami proses kerusakan
fisik, kimia dan biologi karena tidak sesuai penggunaan dan kemampuannya, yang akhirnya
membahayakan fungsi hidrologis, orologis, produksi pertanian, permukiman dan kehidupan sosial
ekonomi dan lingkungan (Puslittanak,1997). Ciri utama lahan kritis adalah gundul, terkesan gersang
dan bahkan muncul batu-batuan di permukaan tanah dan pada umumnya terletak di wilayah dengan
topografi lahan berbukit atau berlereng curam (Prawira, dkk., 2005; Herdiana, 2008).

Tingkat produksi rendah yang ditandai oleh tingginya tingkat keasaman, rendahnya unsur hara (P, K,
Ca, dan Mg), rendahnya kapasitas tukar kation, kejenuhan basa dan kandungan bahan organik, serta
tingginya kadar Al dan Mn yang dapat meracuni tanaman dan peka terhadap erosi. Selain itu pada
umumnya lahan kritis ditandai dengan vegetasi alang-alang dan memiliki pH tanah relatif rendah yaitu
4,8 hingga 5,2 karena mengalami pencucian tanah yang tinggi serta ditemukan rhizome dalam jumlah
banyak yang menjadi hambatan mekanik dalam budidaya tanaman (BP DAS Tondano, 2011).

Faktor yang menyebabkan terjadinya lahan kritis antara lain adalah:


a. Erosi tanah atua masswasting yang biasanya terjadi di daerah dataran tinggi, pegunungan dan
daerah terjal lainnya.
b. Pengelolaan lahan yang kurang memerhatikan aspek kelestarian lingkungan. Lahan kritis dapat
terjadi baik di dataran tinggi, pegunungan, daerah yang miring maupun dataran rendah.
c. Kekeringan biasanya terjadi di daerah-daerah bayangan hujan.
d. Genangan air yang terus menerus seperti di daerah pantai yang selalu tertutup rawa.
e. Pembekuan air biasanya terjadi di daerah kutub atau pegunungan.
f. Pencemaran, contohnya pestisida, limbah pabrik yang masuk ke lahan pertanian lewat aliran
sungai atau yang lain mengakibatkan lahan pertanian menjadi kritis.
g. Masuknya material yang dapat bertahan lama di lahan pertanian misalnya plastik.

Dari tahun 2006 sampai tahun 2010 jumlah luas lahan kritis di Indonesia mengalami peningkatan dari
77.806.880,78 Ha bertambah menjadi 82.176.443,64 Ha, sebagian besar berada di luar kawasan hutan
(65%) yaitu di lahan milik rakyat dengan pemanfaatan yang sekedarnya atau bahkan cenderung
diterlantarkan (Atmojo SW, 2008). Berdasarkan data yang dimiliki Kementerian Lingkungan Hidup di
wilayah Bandung Raya (Kota Bandung, Cimahi, Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Bandung Barat)
lahan kritis yang perlu dihijaukan luasnya di atas 60.000 hektar meliputi kawasan perbukitan dan daerah
aliran sungai (ANTARA, 2010). Berdasarkan data Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS),
sebanyak 84.511 Ha dari 130.577 Ha luas keseluruhan termasuk pada kategori lahan kritis
(Distanbunhut Kab. Bandung Barat, 2012).

Untuk itu, lahan kritis perlu diidentifikasi dan dipetakan. Identifikasi dan pemetaan lahan kritis sangat
berguna bagi perencana untuk menentukan daerah prioritas dalam rangka pemanfaatan dan
pengembangan wilayah.

Metodologi
Secara garis besar metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah pembobotan dan skoring
terhadap data-data spasial yang ada seperti Peta Citra Satelit SRTM, Peta Jenis Tanah dan Peta Tutupan
Lahan. Adapun metodologi secara umum yang digunakan sebagai berikut:

Gambar 1. Metodologi Penelitian


Penyiapan Data
Data spasial yang digunakan diantaranya :
1. Citra Satelit SRTM > Peta Kemiringan Lereng
Citra Satelit SRTM yang digunakan ini diperoleh dari http://earthexplorer.usgs.gov/,

Gambar 2. Citra Satelit SRTM


Kemudian data spasial citra satelit SRTM tersebut diolah menjadi Peta Kemiringan Lereng

Gambar 3. Peta Kemiringan Lereng


2. Peta Jenis Tanah > Peta Tingkat Erosi
Peta jenis tanah yang didapatkan seperti berikut

Gambar 4. Peta Jenis Tanah

Kemudian, peta jenis tanah tersebut diolah menjadi Peta Tingkat Erosi seperti berikut

Gambar 5. Peta Tingkat Erosi


Tingkat erosi pada suatu lahan dalam penentuan lahan kritis dibedakan menjadi 5 kelas yaitu: sangat
rendah, rendah, sedang, tinggi dan sangat tinggi seperti tabel berikut

Tabel 1. Tabel Skoring Tingkat Erosi

3. Peta Tutupan Lahan > Peta Liputan Lahan


Peta Tutupan Lahan yang digunakan pada studi ini sebagai berikut

Gambar 6. Peta Tutupan Lahan


Kemudian peta tutupan lahan tersebut diolah dan menjadi peta liputan lahan seperti berikut
Gambar 7. Peta Liputan Lahan

Kondisi tutupan lahan dinilai berdasarkan presentase dan diklasifikasikan menjadi lima kelas. Masing-
masing kelas tutupan lahan selanjutnya diberi skor untuk keperluan penentuan lahan kritis. Dalam
penentuan kekritisan lahan, parameter liputan lahan mempunyai bobot 50%, sehingga nilai skor untuk
parameter ini merupakan perkalian antara skor dengan bobotnya (skor x 50). Klasifikasi tutupan lahan
dan skor untuk masingmasing kelas ditunjukkan pada tabel berikut

Tabel 2. Tabel Skoring Liputan Lahan

4. Peta Menejemen Hutan


Untuk peta menejemen hutan, dalam proses mendapatkan datanya cukup rumit, maka diasumsikan
menjadi “sedang” dalam skoring dan pembobotannya

Tabel 3. Tabel Skoring Peta Menejemen Hutan

5. Peta Produktivitas Pertanian


Untuk peta produktivitas pertanian, dalam proses mendapatkan datanya cukup rumit, maka
diasumsikan menjadi “sedang” dalam skoring dan pembobotannya

Tabel 4. Tabel Skoring Peta Produktivitas Pertanian


Hasil

Setelah dilakukan proses pengolahan data, maka didapatkan hasil sebagai berikut :
• Setelah dilakukan proses skoring, pembobotan dan overlay terhadap Peta Kemiringan Lereng,
Peta Tingkat Erosi, Peta Liputan Lahan, Peta Produktivitas Pertanian diasumsikan sedang dan
Peta Manajemen Hutan diasumsikan sedang, maka dihasilkan 4 paramater Lahan Kritis
diantaranya yaitu potensi kritis, agak kritis, kritis, dan sangat kritis.
• Dari luasan total daratan Provinsi Jawa barat 3621086.286 ha, didapat potensi kritis sebesar
706593.871 ha (20%), agak kritis sebesar 2728626.116 ha (75%), Kritis sebesar 177110.058
ha (4,8%), dan sangat kritis sebesar 8756.240 ha (0,2%).


Gambar 8. Peta Lahan Kritis
Kesimpulan
Studi ini memberikan informasi tentang lokasi sebaran lahan krisis yang terdapat di jawa barat,
dimana dalam studi ini menggunakan metode skoring, pembobotan, overlay. Dari hasil studi yang
diperoleh dapat digunakan sebagai sumber rujukan bagi pemerintah dalam menindaklanjuti lahan krisis
di Provinsi Jawa Barat untuk meningkatkan ketahanan pangan. Untuk studi lebih lanjut diharapkan
menambahkan data spasial produktivitas pertanian dan data spasial manajemen hutan, karena pada studi
ini kedua parameter tersebut dianggap sedang, pada data tingkat erosi menggunakan metode usle.

Ucapan Terima Kasih


Penulis mengucapkan terima kasih kepada bapak Soni Darmawan selaku dosen dan asisten praktikum
yang telah membimbing studi ini sehingga studi dapat diselesaikan pada waktu yang telah ditetapkan.

Referensi
Departemen Kehutanan, 2003. Panduan Kehutanan Indonesia. Departemen Kehutanan dan
Perkebunan Republik Indonesia. Jakarta
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan
Kota Bandung Barat Dalam Angka 2014-2015. BPS Kabupaten Bandung Barat
Yatin Suwarno. 2013. PEMETAAN LAHAN KRITIS KABUPATEN BELITUNG TIMUR
MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS. Badan Informasi Geospasial (BIG).
Cibinong Bogor
Departemen Kehutanan. (1998). Parameter Penentu Kekritisan Lahan. Departemen Kehutanan. SK
Dirjen RRL No.041/Kpts/V/1998. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai