Anda di halaman 1dari 13

PEMETAAN TINGKAT LAHAN KRITIS DENGAN MENGGUNAKAN

PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI


(Studi Kasus : Kabupaten Blora)
Choirul Mubarok
Jurusan Geografi Universitas Negeri Malang
E-mail : Choirul.mubarok@gmail.com
ABSTRAK
Kabupaten Blora saat ini mengalami perubahan berupa alih fungsi lahan pertanian dan hutan menjadi lahan
non pertanian atau lahan terbangun yang tidak memperhatikan syarat-syarat konservasi tanah dan air
sehingga berpotensi menyebabkan terjadinya degradasi lahan, kekeringan, bencana tanah longsor dan
bencana banjir yang akhirnya akan menimbulkan lahan kritis. Berangkat dari permasalahan diatas maka
dilakukan tinjauan penelitian tentang pemetaann tingkat lahan kritis di Kabupaten Blora. Penelitian ini
bertujuan untuk memetakan dan menghitung luas tingkat lahan kritis di Kabupaten Blora.Metode yang
digunakanadalah metode overlay,skoring serta pembobotan. Berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Bina
Pengelolaan DAS dan Perhutani Sosial No: P.4/V-SET/2013 faktor yang mempengaruhi lahan kritis adalah
vegetasi, kelereng, erosi, produktivitas, dan manajemen. Berdasarkan hasil pengolahan data, lahan kritis di
Kabupaten Blora didominasi lahan tidak kritis seluas 119.672,80 Ha. Lahan kritis paling banyak berada di
kecamatan Bogorejo seluas 181,53 Ha dan lahan agak kritis paling banyak berada di Kecamatan Jiken
seluas 2.441,54 Ha. Sedangkan lahan potensial kritis paling banyak terdapat di Kecamatan Todanan seluas
13.245,71. Dari hasil penilaian tingkat lahan kritis diketahui bahwa kerapatan vegetasi berperan besar
dalam tingkat lahan kritis pada fungsi kawasan lindung di luar kawasan hutan, sedangkan tingkat
produktivitas lahan berpengaruh besar pada kawasan budidaya pertanian dan hutan produksi
Kata Kunci : Kabupaten Blora; Lahan Kritis

Pendahuluan
Keberadaan

lahan yang telah mengalami kerusakan


merupakan

sehingga lahan tersebut tidak dapat

aspek penting dalam kehidupan manusia

berfungsi secara baik sesuai dengan

dan makhluk hidup lainnya.Akan tetapi

peruntukannya sebagai media produksi

persoalan kerusakan hutan dan lahan

maupun sebagai media tata air. Dari tahun

terus terjadi dan mengalami peningkatan

2006 sampai tahun 2010 jumlah luas

sehingga mengakibatkan lahan menjadi

lahan kritis di Indonesia mengalami

kritis.

Menteri

peningkatan dari 77.806.880,78 Ha pada

52/KptsII/2001

tahun 2006 dan tahun 2010 bertambah

penyelenggaraan

menjadi 82.176.443,64 Ha serta upaya

Aliran

Sungai

pemerintah untuk melakukan Rehabilitasi

dijelaskan bahwa lahan kritis merupakan

Hutan dan Lahan (RHL) juga semakin

Dalam

Kehutanan
tentang

lahan

Keputusan

Nomor
pedoman

pengelolaan

Daerah

meningkat, pada tahun 2010 pemerintah

Blora Dalam Angka 2013, 2013). Tanpa

mampu melakukan Rehabilitasi Hutan

adanya usaha perbaikan lahan yang ada

dan Lahan (RHL) sebesar 1.124.512 Ha

akan semakin menurunkan kualitas lahan

yaitu 157.588 Ha dalam kawasan hutan

dan pada akhirnya akan menjadi lahan

dan 966.924 Ha untuk lahan di luar hutan

kritis di kawasan Kabupaten Blora.

(Direktorat Jenderal Bina Pengelolaan

Melihat dampak yang ditimbulkan oleh

Daerah Aliran Sungai dan Perhutani

lahan kritis, maka diperlukan langkah

Sosial, Statistik Kehutanan, 2011).

nyata

Lahan

kritis

salah

satunya

dengan

akibat

identifikasi dan pemetaan tingkat lahan

perubahan penggunaan lahan di Indonesia

kritis. Dengan pemetaan tingkat lahan

dari kawasan lahan pertanian maupun

kritis maka dapat diketahui luas dan

lahan hutan menjadi lahan non pertanian

sebarannya

atau lahan terbangun sehingga kawasan

kemudahan dalam tindakan rehabilitasi

yang

lahan yang tepat dan berdaya guna.

berfungsi

semakin

terjadi

yaitu

sebagai

berkurang

serapan

akan

diperoleh

dapat

Proses identifikasi dan pemetaan

lahan,

lahan kritis dapat memanfaatkan system

kekeringan atau kekurangan air bersih

informasi geografis dan penginderaan

pada musim kemarau, bencana tanah

jauh

longsor dan bencana banjir pada musim

ErMapper,

penghujan. Salah satunya terjadi di

menggunakan

Kabupaten Blora Provinsi Jawa Tengah.

tumpangsusun

Perubahan

lahan

didasarkan atas pembobotanberdasarkan

pertanian menjadi non pertanian pada

parameter yang telah ditentukan oleh

tahun 2011 sebesar 15,339 Ha dan tahun

Peraturan

2012 bertambah menjadi 24,295 Ha. Luas

Pengelolaan

perubahan lahan menjadi pemukiman

Perhutanan

terbesar terdapat di Kecamatan Cepu

P.4/VSET/2013 tentang Tata Petunjuk

sebesar 4,542 Ha, Jepon sebesar 3,985

Teknis PenyusunanData Spasial Lahan

Ha, Blora sebesar 3,906 Ha, Bogorejo

Kritis.

sebesar 2,929 Ha, dan Randublatung

penutupan lahan terbaru hasil interpretasi

sebesar 1,558 Ha (BPN Kabupaten Blora,

citra satelit, kemiringan lereng, tingkat

menyebabkan

yang

air

sehingga

degradasi

fungsi

kawasan

dengan

menggunakan

ArcGIS

dan

metode

software

Envi

serta

skoring

dan

(overlay).

Direktur

Skoring

Jenderal

Bina

DaerahSungai
Sosial

Parameter

dan

Nomor

tersebut

meliputi

bahaya

erosi,

produktivitas,

dan

manajemen.

b. Perangkat lunak berupa:


1)Microsoft Word 2007, untuk pembuatan
laporan.

Rumusan Masalah

2)Microsoft Excel 2007, untuk

1) Bagaimana persebaran lahan kritis di

pengolahan data.

Kabupaten Blora di setiap fungsi kawasan

3)Er Mapper 7.0, untuk pengolahan citra

ditinjau dari tingkat lahan kritis ?

4)Envi 4.6.1, untuk pengolahan citra

2) Bagaimana persebaran lahan kritis di

5)ArcGIS 10, untuk proses pembobotan,

Kabupaten Blora di setiap kecamatan

reklasifikasi, overlay data dan layout

ditinjau dari tingkat lahan kritis ?

peta.

3) Faktor mana yang paling berpengaruh

Data Penelitian

besar dalam tingkat lahan kritis di

Data yang akan digunakan dalam

Kabupaten Blora?

penelitian ini terdiri dari :


1) Citra Landsat-8 Tahun Perekaman

Tujuan

Bulan Maret Tahun 2014

1) Memetakan lahan kritis dengan tingkat

3) Peta Kelas Lereng Kabupaten Blora

klasifikasi yang berbeda.

dari data DEM SRTM 59-14 2013

2) Dapat mengetahui luas lahan kritis

4) Peta Tingkat Bahaya Erosi Tahun 2013

yang ada di Kabupaten Blora.

Kabupaten Blora

II. Bahan dan Metode

5) Peta Fungsi Kawasan Kabupaten Blora

Perangkat penelitian yang digunakan


dalam penelitian antara lain :

6) Peta Administrasi Kabupaten Blora

a. Laptop

BPS 2010

Pelaksanaan Penelitian

karena

Pengolahan Citra

perekaman

Pada tahap ini dilakukan proses

beberapa

faktor

pada

saat

oleh sensor satelit dan

pemotongan citra pada daerah kajian

koreksi geometrik untuk menghilangkan

untuk

memfokuskan

daerah

kesalahan spasial citra yang disebabkan

digunakan dalam penelitian.

yang

Diagram Alir Penelitian

Penyusunan Data Spasial

SET/2013 tentang Tata Petunjuk Teknis

Penyusunan data spasial berupa


penskoran

dan

pembobotan

Penyusunan Data Spasial Lahan Kritis.

tiap

Berikut uraian metode penyusunan data

parameter penentu lahan kritis sesuai

spasial untuk setiap parameter penentuan

Peraturan Peraturan Direktur Jenderal

lahan kritis :

Bina Pengelolaan Daerah Sungai dan

a) Kelas Penutupan tajuk

Perhutanan Sosial Nomor :

P.4/V-

Kondisi tutupan vegetasi ini diperoleh

b) Kelerengan

dari hasil klasifikasi tutupan lahan

Peta

kelerengan
dengan

diberi

Landsat 8 menggunakan metode

sesuai

transformasi NDVI.

kemudian harus dikonversi ke bentuk


raster

kelas

skor

lerengnya

selanjutnya

dilakukan

pembobotan. Klasifikasi penskoran


Kemudian nilai NDVI diklasifikasikan

dan pembobotan kelerengan seperti

menjadi lima kelas dengan rumus

pada tabel 2.

sebagai berikut berikut (Sturgess,1925


dalam Setiawan, Heri, 2013):

Dimana :
KL : kelas interval
Xt :nilai tertinggi

c) Erosi

Xr : nilai terendah
K:jumlah kelas yang diinginkanlah kelas
yang diinginkan

skor

dengan kelas erosi kemudian harus


dikonversi

Selanjutnya
diberi

Peta erosi diberi skor sesuai

sesuai

hasil

klasifikasi

dengan

kelas

kerapatan vegetasi kemudian dilakukan


pembobotan. Klasifikasi penskoran dan

ke

bentuk

raster

selanjutnya dilakukan pembobotan.


Klasifikasi

penskoran

dan

pembobotan erosi seperti pada tabel


3..

pembobotan kerapatan vegetasi seperti


pada tabel 1.Tabel 1. Klasifikasi dan
Skoring Kerapatan Vegetasi

d) Manajemen
Data manajemen merupakan data
atribut

maka

dengan

peta

perlu

dispasialkan

kawasan

hutan.

Kemudian diberi skor sesuai dengan

memiliki jumlah skor yang berbeda lalu

kelas manajemen dan dikonversi ke

di lakukan overlay menurut parameter

bentuk raster selanjutnya dilakukan

penentu lahan kritis tiap kawasan.

pembobotan. Klasifikasi penskoran

a)Kawasan budidaya : produktivitas,

dan pembobotan manajemen seperti

kelerengan,

pada tabel 5.

b)Kawasan Penyangga : kelerengan,

erosi,

erosi,

dan

manajemen

dan

manajemen

Selanjutnya

diklasifikasikan

menjadi lima kelas tingkat lahan kritis.


Reklasifikasi
seperti

pengolahannya

halnya

dengan

sama

reklasifikasi.

Pengolahan Penentuan Tingkat Lahan

Kemudian dianilisis hasil dari tingkat

Kritis

lahan kritis tiap kawasan. Hasil dari


Dari

hasil

penyusunan

data

spasial, masing masing parameter akan

tingkat

lahan

dikonversi

ke

kritis
format

tiap

kawasan

vektor

lalu

dioverlay untuk dianalisi tiap kecamatan.

Hasil dan Pembahasan


Berikut ini merupakan peta hasil dari pengolahan data spasial parameter penentu
lahan kritis yang terdiri dari peta kelas penutupan tajuk, peta kelas lereng, peta kelas erosi
dan peta kelas manajemen.

Gambar 1.Peta kerapatan Vegetasi

Gambar 2.Peta Kelas Kemiringan Lereng

Gambar 3.Peta Bahaya Erosi hasil overlay peta kemiringan lereng,jenis tanah, dan curah
hujan

Gambar 4.Peta manajemen lahan

Gambar 5.Peta arahan penggunaan lahan

Gambar 6.Peta persebaran lahan kritis

Pada

kawasan

budidaya

pertanian tidak mempunyai lahan


sangat kritis dan didominasi oleh
lahan tidak kritis seluas 78.945,66 Ha
atau 69,90% dari total luas kawasan
budidaya

pertanian.

berurutan

potensial

Selanjutnya
kritis

seluas

32.014,80 Ha (28,35%), lahan agak


kritis seluas 1.899,18 Ha (1,68%), dan
lahan kritis seluas 73,44 Ha (0,07%).
Pada kawasan hutan produksi
tidak mempunyai lahan sangat kritis
dan didominasi oleh lahan tidak kritis
seluas 40.488,30 Ha atau 49,58% dari
total luas kawasan hutan produksi.
Selanjutnya berurutan potensial kritis
seluas 35.781,48 Ha (43,81%), lahan
agak

kritis

seluas

5.184,45

Ha

(6,35%), dan lahan kritis seluas


215,73 Ha (0,26%).

Kabupaten

Blora

tidak

Berdasarkan

hubungan

kelas

mempunyai lahan sangat kritis dan

vegetasi dengan tingkat kekritisan lahan

didominasi lahan tidak kritis sebesar

didapatkan hasil bahwa kelas vegetasi

119.672,80 Ha. Lahan dengan kondisi

semakin lebat maka tingkat kekritisan

kritis hanya 285,27 Ha (0,15%) dengan

lahan akan didominasi tingkat tidak

wilayah terluas terdapat di Kecamatan

kritis, sedangkan kelas vegetasi semakin

Bogorejo dengan luas 181,53 Ha dan

jarang maka tingkat kekritisan lahan

lahan dengan kondisi agak kritis seluas

akan didominasi tingkat agak kritis.

7.075,44 Ha (3,63%) dengan wilayah

Untuk itu dapat disimpulkan bahwa

paling banyak terdapat di Kecamatan

kerapatan vegetasi memiliki pengaruh

Jiken yang mempunyai luas 2.441,54

terbesar dalam tingkat kekritisan lahan

Ha. Sedangkan lahan dengan kriteria

di kawasan lindung di luar hutan.

potensial kritis seluas 67.683,68 Ha

Kesimpulan

(34,76%) dengan wilayah paling banyak

Dari serangkaian proses dan analisis

terdapat di Kecamatan Todanan seluas

pada bab sebelumnya kita dapat menarik

13.245,71 Ha dan lahan dengan kriteria

beberapa kesimpulan sebagai berikut:

tidak kritis paling banyak terdapat di

1) Hasil penilaian tingkat lahan kritis di

Kecamatan

Randublatung

seluas

21.670,75 Ha.

setiap fungsi kawasan menunjukkan


bahwa semua fungsi kawasan tidak
memiliki

lahan

dengan

kriteria

Hubungan Kerapatan Vegetasi

sangat kritis. Kawasan budidaya

dengan Tingkat Kekritisan Lahan di

pertanian didominasi oleh lahan


tidak kritis seluas 78.386,31 Ha,
kawasan hutan produksi didominasi
oleh

lahan

tidak

kritis

seluas

40.448,30 Ha dan kawasan lindung


di luar hutan didominasi oleh lahan
potensial kritis seluas 48,51 Ha.

2)

Hasil tingkat lahan kritis di

Ha (34,76%) dengan wilayah paling

Kabupaten Blora didominasi oleh tingkat

banyak terdapat diKecamatan Todanan

lahan tidak kritis seluas 119.672,80 Ha

seluas 13.245,71 Ha dan lahan dengan

atau 61,46% dari keseluruhan luas

kriteria

daerah penelitian dan tidak terdapat

terdapat di Kecamatan Randublatung

lahan

seluas21.670,75 Ha.

sangat

kritis.

Lahan

dengan

tidak

kritis

paling

banyak

kondisi kritis hanya 285,27 Ha (0,1)

3) Dari hasil penilaian tingkat lahan

dengan wilayah terluas terdapat di

kritis

Kecamatan Bogorejo dengan luas 181,53

diketahui dimana kerapatan vegetasi

Ha dan lahan dengan kondisi agak kritis

sangat berperan besar dalam tingkat

seluas 7.075,44 Ha (3,63%) dengan

lahan kritis pada fungsi kawasan lindung

wilayah paling banyak terdapat di

di luar kawasan hutan, sedangkan tingkat

Kecamatan Jiken yang mempunyai luas

produktivitas lahan berpengaruh besar

2.441,54 Ha. Sedangkan lahan dengan

pada kawasan budidaya pertanian dan

kriteria potensial kritis seluas 67.683,68

hutan produksi.

di

Kabupaten

Blora

dapat

DAFTAR PUSTAKA
Huzaini, Aidy. 2011. Tingkat Kekritisan Lahan di kecamatan Gunung Pati Kota
Semarang. Semarang : Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota UNDIP.
Kabupaten Blora Dalam Angka 2013. BPS Jawa Tengah.
Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 52/KptsII/2001 Tentang Pedoman
Penyelenggaraan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
Peraturan Direktur Jenderal Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutani
Sosial Nomor : P.4/V-SET/2013 Tentang Petunjuk Teknis Penyusunan
Data Spasial Lahan Kritis
Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P.32/MENHUT-II/2009
Tentang Tata Cara Penyusunan Rencana Teknik Rehabilitasi Hutan Dan
Daerah Aliran Sungai (RtkRHLDAS)
Prawira, Angga Yuda. 2005. Analisis Spasial Lahan Kritis di Kota Bandung Utara
Menggunakan Open Source Grass. Bandung : Departemen Teknik
Geodesi, Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan ITB
Setiawan, Heri. 2013. Identifikasi Daerah Prioritas Rehabilitasi Lahan Kritis
Kawasan Hutan dengan Penginderaan Jauh dan SIG di Kabupaten Pati.
Semarang: Program Studi Teknik Geodesi UNDIP.
Statistik Kehutanan Direktorat Jenderal Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
dan Perhutani Sosial 2010. Kementrian Kehutanan.
Yudhistira, Boy. 2011. Identifikasi Daerah Prioritas Rehabilitasi Lahan Kritis Kawasan
Hutan Dengan Sistem Informasi Geografis (Studi Kasus : Kabupaten
Semarang). Semarang : Program Studi Teknik Geodesi UNDIP.

Anda mungkin juga menyukai