Anda di halaman 1dari 8

ANALISIS PERUBAHAN KAWASAN HUTAN KABUPATEN BLORA DENGAN PENDEKATAN KAJIAN SPATIO-TEMPORAL (Analysis of Blora Regencys Forest Area

Change Using Spatio-Temporal Assessment Approach)


Oleh/by : 1 2 Doddy M. Yuwono dan Suprajaka 2 Staf Pusat Survei Sumberdaya Alam Laut, 2 Peneliti Madya Bidang Geografi Terapan, BAKOSURTANAL ABSTRAK Hutan Kabupaten Blora merupakan salah satu kawasan hutan di Pulau Jawa yang mengalami degradasi fungsi hutan, hal ini terlihat adanya alih fungsi dari hutan ke non hutan sebesar 4,49 % per tahun. Secara umum, berdasarkan analisis Sistem Informasi Geografis (SIG) diperoleh informasi perubahan hutan terbesar terjadi di Kecamatan Randublatung, dimana total area hutan yang berubah menjadi tegalan adalah 10.358,95 ha. Kondisi ini apabila terus berlangsung akan memperparah fungsi hutan di Kabupaten Blora. Pengelolaan hutan yang meliputi perencanaan dan pengawasan hutan di Kabupaten Blora menjadi sangat penting untuk dilakukan guna mencegah terjadinya degradasi fungsi hutan yang lebih parah. Analisis citra satelit dan penggunaan Sistem Informasi Geografi diharapkan dapat membantu dalam proses pengelolaan fungsi kawasan hutan di Kabupaten Blora. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola perubahan lahan di kawasan hutan dalam kurun waktu selama 3 tahun (2001-2003). Untuk mencapai tujuan tersebut dilakukan analisis spatio temporal data Landsat ETM7 2001, 2002 dan 2003. Selain itu dengan model analisis GIS diharapkan dapat memberikan evaluasi dalam pengelolaan kawasan hutan di Kabupaten Blora. Hasil analisis spatio-temporal diperoleh adanya pola perubahan lahan yang semakin luas jika lokasinya semakin dekat dengan kenampakan budaya berupa jalan dan permukiman dalam enclave. ABSTRACT Blora Regencys forest area is one of many forest areas in Java Island which has severe forest degradation. Estimation of the forest degradation is 4.49 % per year. Based on Geographic Information System analysis, the most forest change happened in Randublatung Sub district, which 10.358,95 ha forest changed into open field crops (tegalan). Implementing on management planning is important to avoid forest degradation. Satellite imagery and Geographic Information System analysis used to help the forest management process in Blora Regency. The aim of this research was to know the forest change in Blora Regency for 3 years. The method in this research is Landsat ETM+ multitemporal (year 2001 2003) interpretation, and spatial-temporal analysis in Geographic Information System (GIS) to analysis forest change detection using overlay and buffering. The result of spatio-temporal analysis showed that more significant landuse change pattern exist near cultural features than it located far from the cultural features. Kata Kunci: Interpretasi Citra Multitemporal, Analisis Spatio-Temporal, dan SIG. Keywords: Multitemporal Image Interpretation, Spatio-Temporal Analysis, and GIS

I.

PENDAHULUAN

Pengertian hutan menurut UU RI No. 41 Tahun 1999 adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Hutan merupakan sumberdaya alam utama sebagai salah satu penentu sistem penyangga kehidupan dan sumber kemakmuran rakyat. 1.1. Latar Belakang Berbicara mengenai potensi hutan, Kabupaten Blora sebagai salah satu kabupaten yang memiliki potensi hutan yang cukup besar, rentan terhadap penebangan kayu ilegal. Di Kabupaten Blora sendiri pada kurun waktu 1997 hingga 2001 kerugian yang dialami pihak Perhutani semakin meningkat seiring meningkatnya pencurian kayu (illegal logging). Akibat maraknya penjarahan hutan jati, kerugian ketiga KPH di Blora periode 1997-2001 meningkat, dimana pada Tahun 2001, kerugian 414.704 batang pohon senilai Rp 165,9 milyar. Selain itu, lahan kosong akibat penjarahan yang berpotensi sebagai lahan kritis sampai Februari 2002 diperkirakan 5.600 hektar (Kompas, 07 Februari 2003). Kegiatan inventarisasi hutan merupakan suatu kegiatan penaksiran sumberdaya hutan, termasuk pembuatan peta digital dan basisdata yang mendeskripsikan lokasi serta parameter alami tutupan hutan, termasuk ukuran pohon, umur, volume dan komposisi spesies (www.borealforest.org). Pemetaan hutan menggunakan teknologi inderaja multitemporal mampu memberikan data mengenai luasan hutan, kerapatan hutan, dan perubahannya. Sedangkan Sistem Informasi Geografis dapat menganalisis secara keruangan aspek-aspek yang berpengaruh terhadap dinamika perubahan hutan diasosiasikan dengan beberapa feature atau kenampakan lain di permukaan bumi. Maraknya

illegal logging di Kabupaten Blora dapat dikaitkan dengan beberapa feature atau kenampakan budaya di permukaan bumi, seperti: jalan dan permukiman dalam enclave. Kedua kenampakan ini erat kaitannya dengan aktifitas manusia, yang kerap dituding sebagai penyebab utama menyusutnya luasan hutan di berbagai daerah. Menggunakan pendekatan (analisis) spatio-temporal, dapat diketahui seberapa besar perubahan hutan dalam kurun waktu 2001-2003 di Kabupaten Blora dalam kaitannya dengan tiga kenampakan tersebut di atas. Analisis spatio-temporal merupakan metode analisis gabungan antara analisis keruangan dan multiwaktu. 1.2. Tujuan Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kaitan perubahan hutan dalam kawasan hutan Kabupaten Blora terhadap kenampakan budaya seperti jalan dan permukiman menggunakan analisis spatio-temporal. 1.3. Lokasi Penelitian Penelitian ini mengambil lokasi di Kabupaten Blora yang memiliki beberapa Kawasan Pemangkuan Hutan (KPK) dengan jenis hutan homogen dominan jati (Tectona grandis). Kawasan hutan yang masuk wilayah administratif Kabupaten Blora dibagi menjadi hutan produksi tetap, hutan produksi terbatas, dan cagar alam. II. METODOLOGI

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis citra satelit Landsat ETM+ multiwaktu, analisis Sistem Informasi Geografis (SIG), serta survei lapangan. Dimana secara keseluruhan, metode penelitian ini ditekankan menggunakan metode analisis spatiotemporal. 2.1. Alat dan bahan Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

r

r

r

r

r

r

r

r

r

Laut Jawa
r

DKI JAKARTA BANTEN JAWA BARAT Lokasi Penelitian

r

r

r

KAB. BLORA

JAWA TENGAH JAWA TIMUR


r r

SAMUDRA INDONESIA
r r r r r r r r r r r

Gambar 1. Lokasi Penelitian Kawasan Hutan Kabupaten Blora.

Seperangkat komputer beserta perangkat lunak pengolahan citra (ER Mapper 5.5) dan Sistem Informasi Geografis (Arc View 3.3); Global Positioning System Receiver dan kompas; Citra digital Landsat ETM+ perekaman Mei 2001 dan 2003, path/row 119/65; Peta Rupabumi Indonesia (RBI) skala 1:25.000, Peta Kawasan Hutan skala 1:100.000, dan Peta Administrasi Kabupaten Blora. 2.2. Interpretasi Citra Satelit 1. Pra-pengolahan citra Sebelum menginterpretasi citra, koreksi terhadap kesalahan radiometrik dan geometrik citra perlu dilakukan. Peta dasar yang digunakan untuk koreksi geometrik adalah peta RBI. Setelah citra terkoreksi, kemudian dilakukan penajam-an untuk mempermudah interpretasi secara visual.

2. Interpretasi citra Untuk mengetahui liputan hutan dilakukan interpretasi citra secara visual pada lokasi penelitian. Kelas penggunaan lahan yang digunakan berdasarkan Malingreau (1982). Interpretasi citra tahun 2001 dan 2003 menghasilkan data seperti tersaji pada Tabel 1. 3. Survei Lapangan Survei lapangan bertujuan untuk verifikasi hasil interpretasi penggunaan lahan, survei dilakukan pada Tahun 2003. Pengumpulan data tahun 2001 melalui berbagai sumber dan wawancara. Dari hasil survei lapangan, dapat diuji ketelitian interpretasi citra. Untuk ketelitian interpretasi citra Tahun 2001 adalah sebesar 77,8%, sedangkan Tahun 2003 sebesar 82,2%. Penghitungan uji ketelitian menggunakan metode matrik kovarian (Short, 1982 dalam Sutanto, 1987).

Tabel 1. Kelas dan Luas Penggunaan Lahan Hasil Interpretasi Citra (ha). No. Kelas Penggunaan Lahan Luas Tahun 2003 Luas Tahun 2001 Hutan Jati (Tectona grandis) 1. 68.855,782 74.365,095 2. Tumpangsari 1.428,249 1.520,942 3. Tegalan 17..921,054 12.761,693 4. Sawah Tadah Hujan 812,051 1.010,035 5. Semak 277,901 82,981 6. Lahan Kritis 759,163 313,454 Luasan Total 90.054,200 90.054,200

Tabel 2. Uji Ketelitian Hasil Interpretasi untuk Penggunaan Lahan Tahun 2003. Data Lapangan (pixel) Data Komisi Total Terklasifikasi (%) Ht TS T STH S LK Hutan Jati (Ht) Tumpangaari (TS) Tegalan (T) Sawah Tadah Hujan (STH) Semak (S) Lahan Kritis (LK) Total Omisi (%) 784 24 808 2,97

98

492

124

23

49

786

37,40

78

484

30

592

18,24

124

34

158

21,52

50

24

346

420

17,62

882 11,11

620 20,65

632 23,42

148 16,22

44 447 22,60

440 519 15,22

484 3248

9,09

Ketelitian Individu (%) (784/808) x 100 % = 88,89 % (492/786) x 100 % = 79,35 % (484/592) x 100 % = 76,58 % (124/158) x 100 % = 83,78 % (346/420) x 100 % = 77,40 % (440/484) x 100 % = 84,78 % 82,2 %

Contoh Perhitungan :  Omisi Penggunaan Lahan Hutan : (98 / 882) x 100 % = 11,11 %  Komisi Penggunaan Lahan Hutan : (24 / 808) x 100 % = 2,97 %  Ketelitian Keseluruhan Interpretasi : ((784 + 492 + 484 + 124 + 346 + 440) / 3248) x 100 % = 82,2 %

2.3. Analisis Sistem Informasi Geografis (SIG) Menggunakan fasilitas overlay untuk mengetahui perubahan lahan yang terjadi di dalam kawasan hutan Kabupaten Blora. Hasil overlay tersebut menghasilkan peta perubahan lahan kawasan hutan. Selanjutnya peta perubahan lahan tersebut kembali di-overlay dengan buffer dari jalan dan dari permukiman dalam enclave. Jarak buffer itu sendiri bervariasi, yakni 0-500 meter dan 500-1000 meter. Fasilitas menu Query membantu pelacakan dalam basisdata atribut hasil overlay untuk mengetahui luasan atau lokasi perubahan hutan berdasarkan kenampakan budaya dan range buffer-nya.

III.

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan peta perubahan lahan kawasan hutan dari hasil overlay peta penggunaan lahan kawasan hutan dapat diperoleh kelas-kelas penggunaan lahan yang berubah fungsi. Dari Tabel 2 dapat diamati kelas dan luas penggunaan lahan yang mengalami perubahan. Analisis temporal perubahan lahan kawasan hutan menghasilkan data perubahan lahan kawasan hutan yang terjadi di wilayah administratif desa atau kelurahan. Dari Tabel 2, perubahan lahan hutan yang menjadi lahan penggunaan lain terbesar adalah menjadi tegalan, dengan luasan total 10.358,950 ha. Memanfaatkan query

data, maka beberapa desa yang memiliki luasan perubahan hutan menjadi tegalan terbesar adalah Desa Tlogotuwung 177,596 ha, dan Gempol 170,237 ha. Lebih mendalam menggunakan analisis spasial, yaitu overlay antara peta perubahan lahan dengan peta buffer jalan dan permukiman serta peta administratif. Feature jalan yang di-buffer adalah semua kelas jalan dengan range 500 m, dan 1.000 m. Berdasarkan hasil perhitungan, dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa perubahan hutan menjadi penggunaan lahan yang lain mayoritas terjadi pada buffer 500 hingga 1.000 meter, kecuali pada penggunaan lahan tumpangsari. Nampaknya banyak penggunaan lahan tumpangsari yang terdapat dekat dengan jalan, namun perubahan hutan terbesar adalah perubahan menjadi penggunaan lahan tegalan. Hasil perhitungan perubahan hutan keseluruhan kawasan hutan adalah 13.339,816 ha. Bila dibandingkan dengan perubahan hutan yang terjadi dalam seluruh kawasan hutan tersebut, maka perubahan hutan pada buffer jalan 0-500 m adalah sebesar 28,85%. Sedangkan perubahan yang terjadi pada buffer jalan 500-1.000 m adalah sebesar 27,32%. Semakin menjauhi jalan, maka luasan perubahan hutannya semakin menurun. Akan tetapi jumlah luasan keseluruhan perubahan hutan yang terjadi

dalam area buffer jalan mencapai angka cukup tinggi hingga 50% lebih dari jumlah total perubahan hutan. Hal ini mengindikasikan kaitan yang cukup signifikan antara kenampakan budaya berupa jalan dengan berkurangnya atau berubahnya lahan hutan. Di Desa Getas, Kecamatan Kradenan, luas hutan yang berubah menjadi tegalan di desa tersebut seluas 102,262 ha atau 0,77% dari seluruh perubahan hutan, ini adalah yang terluas dalam analisis. Analisis spasial yang selanjutnya ialah dengan meng-overlay peta perubahan lahan dengan peta buffer enclave yang banyak terdapat permukiman. Dari hasil buffer enclave dalam kawasan hutan Kabupaten Blora, diperoleh data yang menunjukkan pola perubahan hutan yang semakin besar bila lokasinya semakin dekat dengan enclave, khususnya untuk penggunaan lahan tegalan, dan total penggunaan lahan pada umumnya. Tabel 4, memperlihatkan bahwa penggunaan lahan hutan yang berubah menjadi tegalan berturut-turut dari buffer 0-500 m, 500-1.000 m, dan 1.000-1.500 m mempunyai luasan yang semakin menurun, yaitu: 1.851,076 ha (13,88%), 1.293,475 ha (9,70%), dan 1.183,118 ha (8,87%). Sebaliknya, penggunaan lahan hutan yang berubah fungsi menjadi lahan tumpangsari, semakin menjauhi enclave luasannya justru semakin besar.

Tabel 3. Tipe dan Luasan Perubahan Lahan No. Perubahan Jenis Penggunaan Lahan 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. Hutan Hutan Hutan - Lahan Kritis Hutan - Sawah Tadah Hujan Hutan Semak Hutan Tegalan Hutan - Tumpangsari Lahan Kritis - Lahan Kritis Lahan Kritis Tegalan Sawah Tadah Hujan - Tegalan Sawah Tadah Hujan Lahan Kritis Sawah Tadah Hujan Sawah Tadah Hujan

Luasan (ha) 67.924,368 449,918 380,822 141,696 10.358,950 825,168 111,786 95,644 778,151 0,255 84,176

12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26.

Sawah Tadah Hujan - Tumpangsari Semak Semak Semak Tegalan Semak - Tumpangsari Tegalan - Lahan Kritis Tegalan - Sawah Tadah Hujan Tegalan Semak Tegalan Tegalan Tegalan - Tumpangsari Tumpangsari Hutan Tumpangsari - Lahan Kritis Tumpangsari - Sawah Tadah Hujan Tumpangsari Semak Tumpangsari Tegalan Tumpangsari - Tumpangsari Jumlah

10,670 32,717 41,687 1,902 168,614 345,237 94,622 6.464,619 218,798 931,414 28,590 1,816 8,866 182,003 371,711 90.054,2

Tabel 4. Tipe Perubahan Hutan dan Luasan dalam Area Buffer Jalan. Luasan pd Buffer Luasan pd Buffer Luasan pd Buffer Perubahan Lahan 0 500 m 500 1.000 m 0 1.000 m ha % ha % ha % Hutan - Lahan Kritis 99,547 0,75 178,074 1,33 277,621 2,08 Hutan - Sawah Tdh Hujan 105,163 0,79 181,710 1,36 286,873 2,15 Hutan Semak 32,960 0,25 21,059 0,16 54,019 0,40 Hutan Tegalan 2.978,541 22,33 2.795,411 20,96 5.773,952 43,28 Hutan Tumpangsari 340,212 2,55 154,622 1,16 494,834 3,71 Tumpangsari Hutan 292,041 2,19 313,710 2,35 605,751 4,54 Jumlah 3.848,464 28,85 3.644,586 27,32 7.493,050 56,17 Tabel 5. Tipe perubahan dan luasan dalam area buffer enclave.
Perubahan Lahan Luasan pd Buffer 0 50 ha % Luasan pd Buffer 500 1.000 Luasan pd Buffer 1000 1.500 Luasan pd Buffer 0 1.500

ha % ha % ha % Hutan - Lahan Kritis 110,505 0,83 98,246 0,74 116,921 0,88 325,672 2,44 Hutan - Sawah Tadah Hujan 18,574 0,14 4,154 0,03 31,637 0,24 54,365 0,41 Hutan Semak 12,397 0,09 35,984 0,27 30,680 0,23 79,061 0,59 Hutan Tegalan 1.851,076 13,88 1.293,475 9,70 1.183,118 8,87 4.327,669 32,44 Hutan Tumpangsari 83,636 0,63 101,145 0,76 169,954 1,27 354,735 2,66 Tumpangsari Hutan 210,523 1,58 209,189 1,57 160,367 1,20 580,079 4,35 Jumlah 2.286,711 17,14 1.742,193 13,06 1.692,677 12,69 5.721,581 42,89

Bila dibandingkan dengan perubahan hutan secara keseluruhan, perubahan hutan pada buffer enclave 0-500 m, 5001.000 m, dan 1.000-1.500 m, berturutturut memiliki persentase sebesar 17,14%, 13,06%, dan 12,69%. Sedangkan perbandingan luasan total buffer enclave terhadap luasan total perubahan hutan adalah 42,89%. Angka ini lebih kecil bila dibandingkan perubahan hutan
520000 530000 540000 550000 560000

yang terjadi di dalam area buffer jalan. Tren perubahan kedua area buffer cenderung lebih besar bila mendekati enclave dan jalan secara bersamaan. Desa yang masuk kategori memiliki perubahan hutan menjadi tegalan terbesar berdasarkan buffer enclave adalah : Desa Tlogotuwung Kecamatan Randublatung (110,441 Ha).

520000

530000

540000

550000

560000

9240000

9240000

9240000

9240000

9230000

9230000

Todanan

Ngawen

Tunjungan Blora Jepon Jiken

Todanan

Ngawen

Tunjungan Blora Jepon Jiken

9220000

9230000 9220000

9230000 9220000

9220000

Banjarejo Kunduran Sambong

Banjarejo Kunduran Sambong

9210000

9210000

9210000

9210000

Cepu Kedungtuban Randublatung

Cepu Kedungtuban

9200000

9200000

Jati

Jati

Randublatung
9200000

9200000

Kradenan
9190000

Kradenan
9190000

A
560000

B
560000

9190000

9190000

520000

530000

540000

550000

520000

530000

540000

550000

520000

530000

540000

550000

560000

520000

530000

540000

550000

560000

9240000

9240000

9240000

9240000

9230000

9230000

Todanan

Ngawen

Tunjungan Blora Jepon Jiken

Todanan

Ngawen

Tunjungan Blora Jepon Jiken

9230000

9220000

9220000

9230000 9220000

9220000

Banjarejo Kunduran Sambong

Banjarejo Kunduran Sambong

9210000

9210000

9210000

9210000

Cepu Kedungtuban Randublatung

Cepu Kedungtuban Jati Randublatung

9200000

9200000

Jati

9200000

9200000

Kradenan
9190000

Kradenan
9190000

C
520000 530000 540000 550000 560000

D
520000 530000 540000 550000 560000

9190000

Gambar 2. Peta Kawasan Hutan Kabupaten Blora Ket. (A). Peta Kawasan Hutan Kabupaten Blora. (B). Peta Area Perubahan Hutan dalam Buffer Jalan. (C). Peta Perubahan Hutan Th. 2001 2003. (D). Peta Area Perubahan Hutan dalam Buffer Enclave

9190000

IV. KESIMPULAN 1. Perubahan hutan yang terjadi dalam kawasan hutan Kabupaten Blora cukup signifikan. Perubahan terbesar terjadi pada lahan hutan yang berubah menjadi lahan tegalan, yakni sebesar 10.358.95 hektar atau 11,5% dari total luasan kawasan hutan. Sedangkan perubahan terkecil terjadi pada perubahan hutan menjadi lahan semak, yaitu 141,696 hektar atau 0,16%. Desa dengan luasan perubahan hutan terbesar terdapat di Desa Tlogotuwung Kecamatan Randublatung, dimana terjadi perubahan hutan menjadi lahan tegalan seluas 177,596 hektar. Sedangkan desa dengan perubahan hutan terkecil terdapat di Desa Buloh Kecamatan Kunduran, dengan jenis perubahan hutan yang sama. 2. Analisis perubahan hutan lebih lanjut adalah yang terjadi di dalam area buffer jalan, dimana memiliki luasan sebesar 7.493,050 hektar atau 56,17% dari total perubahan hutan keseluruhan. Jenis perubahan hutan terbesar adalah dari lahan hutan menjadi tegalan, terdapat di Desa Getas Kecamatan Kradenan dengan luas 102,262 hektar. Fenomena penting yang perlu dijelaskan adalah adanya pola perubahan hutan yang semakin besar jika lokasinya semakin dekat dengan jalan. Hal ini nampak pada adanya peningkatan luasan dalam area buffer 0-500 meter dibanding area buffer 500-1.000 meter. 3. Sedangkan pada area buffer enclave perubahan hutan sebesar 5.721,581 hektar atau 42,89%, lebih kecil bila dibandingkan dengan area dalam buffer jalan. Dengan mayoritas perubahan menjadi penggunaan lahan tegalan, dimana luasan terbesar ter-

dapat di Desa Tlogotuwung Kecamatan Randublatung seluas 110,441 hektar. Fenomena yang sama dengan buffer jalan terjadi juga dalam buffer enclave, yakni adanya peningkatan luas perubahan hutan secara umum seiring dengan semakin dekat jarak lokasi perubahan hutan terhadap enclave.

DAFTAR PUSTAKA Burrough, Peter A. 1986. Principle of Geographical Information System for Land Resources Assessment. Clarendon Press. Oxford. Danoedoro, Projo. 1996. Pengolahan Citra Digital : Teori dan Aplikasinya dalam Bidang Penginderaan Jauh. Diktat Kuliah. Fakultas Geografi UGM. Yogyakarta. DeMers, Michael N. 1997. Fundamental of Gepgraphic Information Systems. New York. John Wiley and Sons, Inc. Howard, John A. 1996. Penginderaan Jauh untuk Sumberdaya Hutan : Teori dan Aplikasi. Editor: Sutanto. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Jensen, John R. 1986. Introductory Digital Image Processing a Remote Sensing Perspective. Prentice Hall. London. Malingreau, Jean-Paul dan Rosalia, Christiani. 1982. A Land Cover/Land Use Classification for Indonesia. Laporan Penelitian. Fakultas Geografi UGM. Yogyakarta. McCloy, Keith R. 1995. Resource Management Information System : Process and Practice. Taylor & Francis. London. Sutanto. 1987. Penginderaan Jauh Dasar Jilid I. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai