Anda di halaman 1dari 5

Pertemuan Ilmiah Tahunan MAPIN XIV Pemanfaatan Efektif Penginderaan Jauh Untuk Peningkatan Kesejahteraan Bangsa

ANALISIS FUNGSI KAWASAN DAN ZONASI HUTAN PENDIDIKAN DAN PENELITIAN BARAT MUARA KAELI MENGGUNAKAN DATA SATELIT PENGINDERAAN JAUH
Risman Situmeang1, Sumaryono1, dan Junaidi
1

Laboratorium Perencanaan Hutan, Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman Kampus Gunung Kelua, Jalan Kihajar Dewantara Samarinda 75123, Indonesia Telp. +62 541 748725, Fax +62 541 748804 email: sumaryono_ms@telkom.net 2 UPTD Planologi Kehutanan, Dinas Kehutanan Propinsi Kalimantan Timur Jalan Kusuma Bangsa, Samarinda 75123, Indonesia Telp. +62 541 732625

Abstract
Area function analysis and zonation of Barat Muara Kaeli education and research forest by the use of remote sensing satellite data. The purpose of this research was to evaluate whether the designation of education and research forest is match with its main function (production forest). By the use of 1999 spot XS and 2003 landsat thematic mapper, a map of Barat Muara Kaeli ERF, that consist of protected areas, recreation/tourism area and production, was produced. The results of this research releaved that the disignation of location as production forest as main function was compatible with the scoring value. While the result of zonation in this education forest was as such : 2,400 ha (26,8%) as protected buffer zone; 257 ha (2,8%) as recreation/tourism zone and 6,307 ha (70,4%) as production zone (the zone of utilization).

keywords: education forest, function analysis, zonation

1. PENDAHULUAN Kawasan Hutan Pendidikan dan Penelitian (HPP) Barat Muara Kaeli keberadaannya berdasarkan kepada Surat Keputusan Gubernur Propinsi Kalimantan Timur No. 050/K.443/1999 dan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 79/kptsII/2001. Kawasan ini sampai sekarang belum ada penunjukan institusi atau lembaga oleh Pemerintah/Menteri Kehutanan sebagai pihak pengelola. Fungsi kawasan ini dahulunya merupakan hutan produksi yang bisa dikonversi, yaitu berdasarkan TGHK 1983 (SK. Mentan No. 24/kpts/UM/1983), kemudian dengan adanya RTRWP Propinsi Kalimantan Timur 1999 (SK. Gubernur Propinsi Kalimantan Timur No. 050/K.443/1999) berubah menjadi hutan produksi. Selanjutnya dengan

Penunjukkan Kawasan Hutan dan Perairan (SK. Menhut No. 79/kpts-II/2001), kawasan tersebut ditetapkan menjadi hutan pendidikan dan penelitian dengan fungsi pokok tetap sebagai hutan produksi. Saat ini HPP Barat Muara Kaeli disorot oleh dunia internasional terutama oleh LSM, karena pada kawasan ini telah terjadi kerusakan sebagai akibat pembangunan pemukiman, pertambangan migas, dan pembukaan areal pertambakan yang menimbulkan kerusakan lingkungan yaitu terjadinya abrasi dan instrusi air laut, hilangnya hutan mangrove di wilayah pesisir serta terjadinya sedimentasi di muara sungai dan anak sungai. Berdasar hal tersebut di atas perlu adanya penelitian apakah penunjukan sebagai hutan produksi sudah sesuai dengan nilai skoring, dan

Gedung Rektorat lt. 3 Kampus Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, 14 15 September 2005

TIS - 143

Pertemuan Ilmiah Tahunan MAPIN XIV Pemanfaatan Efektif Penginderaan Jauh Untuk Peningkatan Kesejahteraan Bangsa

perlu adanya zonasi bagi kawasan tersebut. Tulisan ini membicarakan pemanfaatan data penginderaan jauh dari satelit untuk analisis fungsi kawasan berdasarkan nilai skoring dan penyusunan zonasi kawasan. Menurut Puntodewo dkk (2003), penginderaan jauh dapat digunakan untuk penelitian lingkungan hidup mengenai interaksi antara sistem alam dan bumi. Beberapa keuntungan menggunakan penginderaan jauh adalah lebih luasnya ruang lingkup yang bisa dipelajari, lebih seringnya suatu fenomena bisa diamati serta dimungkinkannya penelitian di tempat yang susah atau berbahaya dijangkau manusia. Data penginderaan jauh sudah banyak dimanfaatkan untuk analisis fungsi kawasan dan zonasi; karena lebih cepat, biaya murah dibandingkan dengan survey terestris, beberapa contoh: Siswanto (1998) telah melaksanakan penelitian rencana penataan zonasi hutan pendidikan Bukit Soeharto; Sinaga (2004) dalam penelitian menggunakan citra landsat ETM tahun 2001 untuk identifikasi kawasan lindung di Kota Balikpapan; Yamani (2003) penelitian analisis kesesuaian fungsi kawasan hutan untuk penyusunan Tata Ruang Wilayah di Kabupaten Barito dengan menggunakan Citra Landasat ETM +7 tahun 2000. Dalam tulisan ini parameter yang diamati adalah faktor kelerengan, faktor tanah dan faktor curah hujan untuk analisis fungsi kawasan dengan menggunakan citra spot XS tahun 1999, sebelum penetapan dan citra landsat TM tahun 2003, setelah. Parameter yang diamati adalah sesuai dengan kriteria dan standar SK. Menteri Pertanian No. 837 tahun 1980 untuk zonasi lindung (buffer); SK. Menteri Pertanian No. 681 tahun 1981 untuk zonasi rekreasi / wisata; dan SK. Menteri No. 683 tahun 1981 untuk zonasi produksi. 2. METODOLOGI PENELITIAN 2.1. Lokasi Lokasi penelitian bertempat di kawasan hutan pendidikan dan penelitian (HPP) Barat Muara Kaeli yang secara geografis terletak antara 0293402305 LS dan 1171940 1172532 BT dengan luas 8.850 hektar, berdasarkan administrasi pemerintahan lokasi

penelitian ini terletak di Desa Handil Terusan, Kecamatan Anggana, Kabupaten Kutai Kartanegara, Propinsi Kalimantan Timur. 2.2. Bahan dan Peralatan Bahan dan peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Beberapa peta seperti, Peta TGHK Propinsi Kalimantan Timur skala 1 : 500.000, peta RTRWP Propinsi Kalimantan Timur 1 : 500.000, peta Penunjukkan Kawasan Hutan dan Perairan Propinsi Kalimantan Timur skala 1 : 500.000, peta tanah, peta geologi, peta curah hujan skala 1 : 500.000; dan data Curah hujan Kecamatan Anggana tahun 1999 s/d 2003. peta vegetasi hutan dan penggunaan lahan skala 1: 250. 000. Softcopy Citra SPOT tahun 1999 dan Softcopy Citra Landsat tahun 2003 PathRow 116 60. Peralatan yang digunakan meliputi: komputer beserta digitizer, plotter dan perangkat lunak arc info dan are view; alat penerima GPS untuk mengetahui koordinat lapangan, kompas dan klinometer. 2.3. Prosedur Penelitian Prosedur penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : Cropping data yaitu proses pemotongan data dari data Citra PathRow 116 60 yang sesuai dengan lokasi penelitian yaitu: koordinat UTM pada minimum X = 50.940 N sampai maximum X = 575.927 dan Y = - 14.847 N sampai maximum Y = - 71.760 N. Pra pengolahan Data meliputi koreksi geometrik, radiometrik, stretching yang bertujuan untuk pembetulan posisi lokasi/geometrik, dan memperbaiki kualitas data citra. Koreksi geometrik dilakukan dengan cara sistematik menggunakan 24 titik. Pembuatan citra komposit warna asli. Klasifikasi menggunakan likelihood. Pengecekan lapangan bertujuan untuk verifikasi hasil preinterprestasi dan hasil klasifikasi. Perbaikan hasil klasifikasi dengan menggunakan data hasil lapangan. 2.3. Analisis Data Berdasarkan hasil interprestasi dan klasifikasi citra SPOT, serta dengan peta tematik yang
TIS - 144

Gedung Rektorat lt. 3 Kampus Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, 14 15 September 2005

Pertemuan Ilmiah Tahunan MAPIN XIV Pemanfaatan Efektif Penginderaan Jauh Untuk Peningkatan Kesejahteraan Bangsa

tersedia akan didapatkan nilai skoring faktor kelerengan; tanah dan curah hujan untuk penetapan fungsi kawasan pada wilayah yang bersangkutan, yaitu apakah lindung, konversi (rekreasi/wisata) atau produksi, sedangkan berdasarkan Citra Landsat dengan tahun yang lebih aktual akan dihasilkan zonasi-zonasi yang telah ditetapkan kriterianya terhadap suatu kawasan yaitu: zonasi lindung; zonasi rekreasi/wisata ; atau zonasi produksi. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Fungsi Kawasan Berdasarkan analisis pada peta kelas kelerengan, peta tanah, dan peta curah hujan di mana diperoleh hasil yaitu: Ada 3 kombinasi faktor topografi, yaitu kelas datar dengan nilai skor 20: 93,5%, agak landai dan landai dengan nilai skor 40: 6,3%, sedangkan agak curam dengan nilai skor 60: 0,1%. Untuk jenis tanah ada 2 kombinasi, yaitu tidak peka dan agak peka, antara lain dengan nilai skor 15 (tidak peka): alluvial, gleisol, dan organosol 41,1%; nilai skor 30 (agak peka): gleisol, alluvial dan kambisol (jalur aliran) 50,6%; nilai skor 30 (agak peka): kombisol, podsolik (dataran) 7,1%; nilai skor 30 (agak peka): kombisol (datar) 1,2%; nilai skor > 30 (agak peka) 59,0%. Sedangkan curah hujan hanya 1 kombinasi yaitu, kelas curah hujan rendah 1.758 mm/tahun dengan nilai 10. Nilai skoring berdasarkan penjumlahan untuk tiap faktor dapat ditentukan dengan klasifikasi (dikutip dari Yamani, 2003) sebagai berikut: Nilai skor < 95 95 125 > 125 fungsi hutan hutan produksi tetap hutan produksi terbatas hutan lindung

nilai skoring. Karena nilai skoring di dalam penunjukan fungsi kawasan hanya berdasarkan pada kelas kelerengan, jenis tanah dan faktor curah hujan sehingga apabila ditetapkan pada HPP Barat Muara Kaeli sudah tidak sesuai lagi karena pada lokasi tersebut sudah banyak kegiatan, diantaranya pembangunan pemukiman, pembangunan industri migas dan pembukaan tambak seperti: tanah terbuka, ladang dan tegalan; pangkalan dan sumur bor; jalan dan pipa minyak serta tambak, sehingga apabila tetap juga sebagai HPP maka perlu penyesuaian berupa penataan zonasi maupun kawasan penyanggahnya. 3.2. Pembagian Zonasi Peta merupakan alat yang paling baik untuk membantu perencanaan dan pelaksanaan pembangunan, peta dapat diperoleh dengan cara pengukuran langsung di lapangan atau dengan menggunakan interprestasi foto udara maupun citra Landsat, dengan peta akan didapatkan informasi penyebaran obyek dan keterkaitan secara spesial (keruangan) dengan penumpang tindihan (tumpang susun) dari beberapa peta dengan skenario tertentu dan diperoleh informasi yang bermanfaat (Dimiyati dan Dimyati, 1998). Pada saat membuat peta digitasi, koordinat x dan y pada awalnya disimpan pada ukuran skala digitizer (meja digitasi). Untuk mendayagunakan informasi ini dan juga menentukan faktor skala, diperlukan untuk mengkonservasikan ukuran ini ke sistem koordinat bumi riil pada proyeksi yang sama seperti peta aslinya. Proses transformasi bersifat mutlak dan harus dilakukan dengan baik agar proses analisis lainnya seperti overlay, buffer, clip dan yang lainnya dapat dijalankan dari keseluruhan proses. Selanjutnya berdasarkan kriteria data input yang ada maka dihasilkan keluaran berupa zonasi-zonasi dengan kriteria yang telah ditetapkan, sedang gambaran sebaran dari masing-masing zonasi, dapat dilihat pada Gambar 1. Dalam pembagian zonasi Hutan Pendidikan dan Penelitian (HPP) Barat Muara Kaeli, dilakukan analisis dasar dengan menetapkan kriteria, data masukan dan hasil penetapan zonasi, yang terdiri dari kawasan lindung, kawasan produksi dan kawasan wisata atau rekreasi. Untuk masingmasing kawasan, hasil analisis dasar tersebut dapat dijelaskan seperti beikut ini:
TIS - 145

Berdasarkan nilai skoring didapat sebanyak 6 kombinasi, dimana 5 kombinasi nilai skoring dibawah 95 (berarti sesuai untuk ditunjuk sebagai hutan produksi tetap) dengan luas 8.638 ha (96,6 %) dan, 1 (kombinasi nilai skoring diatas 95 tapi dibawah 125 (hutan produksi terbatas) dengan luas 322 ha (3,4 %) yang dengan demikian penunjukan kawasan tersebut sebagai HPP Barat Muara Kaeli (dengan fungsi utama sebagai hutan produksi) adalah sudah sesuai dengan analisis

Gedung Rektorat lt. 3 Kampus Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, 14 15 September 2005

Pertemuan Ilmiah Tahunan MAPIN XIV Pemanfaatan Efektif Penginderaan Jauh Untuk Peningkatan Kesejahteraan Bangsa

Kawasan lindung Kriteria kawasan yang harus masuk ke dalam kawasan lindung antara lain: lereng > 45 %, jenis tanah meliputi tanah regosol, litosol, organosol dan rezina dengan kelerengan > 15%, pelindung mata air sekurang-kurangnya berjari- jari 200 m di sekeliling air tersebut, kawasan hutan dengan ketinggian > 200 m dpl, kawasan di sekitar danau/waduk yaitu 50-100 m, kawasan resapan air, kawasan suaka alam. Data masukan yang diperlukan untuk penetapan kawasan lindung ini meliputi antara lain: peta kelas kelerengan, peta jenis tanah, peta jaringan sungai, penyebaran penduduk dan curah hujan, dan terakhir tipe vegetasi. Zonasi lindung ini perlu dipertahankan karena di samping kelerengan yang curam dan tanahnya sangat peka terhadap erosi juga lokasi ini mudah didatangi oleh masyarakat. Sementara kawasan lain yang harus masuk dalam zona lindung tanpa melalui skoring adalah sempadan pantai; sempadan sungai; wilayah penyangga pangkalan dan sumur bor; penyangga jalan dan pipa minyak. Dari hasil pengukuran luas untuk kawasan lindung adalah 2.400 ha, berupa wilayah efektif seluas 1.884 ha dan luasan yang tidak efektif adalah 516 ha. Kawasan produksi Wilayah yang dapat dimasukkan ke dalam kawasan produksi adalah keadaan fisik arealnya memungkinkan untuk dilakukan pengelolaan maupun pengembangan sehingga dapat memberikan hasil yang menguntungkan secara ekonomis. Wilayah ini dapat berupa areal yang kosong atau tidak berhutan, namun dapat direhabilitasi kembali untuk kemudian dikembangkan sebagai hutan produksi. Penetapan sebagai hutan produksi tidak dipergunakan dapat merugikan dari segi ekologi atau lingkungan hidup. Data masukan yang diperlukan untuk penetapan kawasan produksi antara lain: peta tipe vegetasi, peta jaringan jalan, peta jaringan sungai, peta kelas kelerengan, peta jenis tanah peta administrasi dan terakhir adalah data potensi hutan.

Zonasi produksi dengan luas areal yang efektif pada kawasan hutan pendidikan lebih diarahkan kepada hutan mangrove sekunder; hutan mangrove primer; hutan belukar; semak belukar dan rawa-rawa.. Luas yang didapat untuk kawasan produksi adalah 6.306 ha, dengan wilayah yang efektif seluas 5.321 ha dan luasan yang tidak efektif adalah 985 ha. Kawasan rekreasi/wisata Wilayah dengan keadaan yang menarik dan indah baik alam maupun buatan dapat dimasukkan ke dalam kawasan rekreasi atau wisata. Selain itu wilayah tersebut hendaknya dapat digunakan untuk rekreasi dan olahraga serta dekat dengan pusat-pusat pemukiman penduduk. Kriteria yang lain untuk kawasan rekreasi ini antara lain lereng lapangan 0 15 %, untuk yang baik muka air tanah 50 cm dengan drainase baik sampai agak baik. Untuk yang sedang muka air tanah < 50 cm dengan drainase agak baik dan agak jelek. Tekstur tanah yang baik tanah lempung berpasir, lempung berpasir halus dan lempung berpasir sangat halus. Yang sedang teksturnya lempung berliat, lempung liat berpasir, lempung liat berdebu, dan pasir berlempung. Data masukan untuk penetapan kawasan rekreasi atau wisata dapat berupa peta kelas kelerengan, peta tipe vegetasi, peta jenis tanah, peta administrasi, peta jaringan sungai, peta jaringan jalan. Sedang data sekunder adalah berupa data tentang tanah dan kondisinya. Untuk zonasi wisata/rekreasi alam adalah merupakan, tempat bermain dan olahraga yang bersifat alami sekaligus sebagai tempat pendidikan. Pada kawasan hutan pendidikan ini, luasan untuk kawasan wisata dan rekrasi adalah 256 ha, dengan luasan yang efektif adalah 255 ha, sedang yang tidak efektif adalah 1 ha. Dari hitungan penetapan kawasan terlihat bahwa dari luasan HPP Barat Muara Kaeli sebesar 8.962 ha dibagi menjadi 3 zonasi yaitu zonasi lindung (dengan penyangga) seluas 2.400 ha (26,78%), zonasi rekreasi/wisata seluas 256 ha (2,85% ) dan zonasi produksi (zona pemanfaatan) seluas 6.306 ha (70,37%).
TIS - 146

Gedung Rektorat lt. 3 Kampus Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, 14 15 September 2005

Pertemuan Ilmiah Tahunan MAPIN XIV Pemanfaatan Efektif Penginderaan Jauh Untuk Peningkatan Kesejahteraan Bangsa

Zonasi Lindung (dengan penyangga) ditetapkan berdasarkan pertimbangan khusus dalam hal ini karena pada lokasi HPP ini terdapat pangkalan sumur bor, jalan dan pipa, pantai dan sepandan sungai (kawasan penyangga) diperlukan. Zonasi rekreasi/ wisata peningkatan aktivitas dan jumlah penduduk semakin bertambah sementara sarana hiburan khususnya tempat-tempat rekreasi sangat minim sekali; maka adanya obyek wisata adalah sesuatu yang sangat menarik. Karena topografinya yang memungkinkan juga ditunjang oleh kondisi vegetasi berupa hutan mangrove, adanya sarana jalan dan tambak. Sedangkan zonasi produksi (pemanfaatan) dalam pengelolaannya diarahkan pada hutan mangrove sekunder, hutan mangrove primer, hutan belukar dan semak belukar. Untuk areal kosong seperti pada semak belukar dan hutan belukar tegakan kurang dapat kita lakukan kegiatan Hutan Tanaman Industri dengan jenis cepat tumbuh dan laku dipasaran, seperti jenis Accacia (Acacia mangium), Sengon (Albizia Falcataria), pada lokasi hutan mangrove primer maupun sekunder yang telah rusak dapat dilakukan reboisasi. 4. KESIMPULAN Dari hasil analisis fungsi kawasan dengan menggunakan pemantauan citra satelit spot XS tahun 1999 diketahui penunjukkan HPP. Barat Muara Kaeli dengan fungsi pokok sebagai hutan produksi berdasarkan nilai skoring adalah sesuai, karena nilai skor 5 kombinasi 95 (hutan produksi tetap), luas 8.639 ha, dan 1 kombinasi nilai skornya 100 (95- 125%) untuk hutan produksi terbatas, dengan luas 323 ha (3.41%). Untuk zonasi berdasarkan pemantauan, menggunakan citra landsat tahun 2003 telah dihasilkan 3 zonasi yaitu, zonasi lindung (buffer) seluas 2.400 ha (26.78%); zonasi rekreasi/wisata seluas 256 ha (2.85%), zonasi produksi (zona pemanfaatan) seluas 6.306 ha (70.37%). Dengan adanya informasi ini merupakan input yang sangat berharga, untuk model perencanaan pengelolaan HPP ini bagi pihak pengelola. 5. SARAN HPP Barat Muara Kaeli ini memiliki hutan mangrove yang luas, baik yang primer maupun sekunder sehingga perlu adanya penelitian mengenai potensinya; tambak yang terdapat pada

lokasi ini masih berupa tambak tradisional maka perlu adanya penelitian mengenai tambak yang berwawasan lingkungan dengan sistem wanamina (silvofishery) yang mempunyai 3 pola/model yaitu: wanamina dengan pola empang parit wanamina dengan empang parit yang disempurnakan dan wanamina dengan pola komplangan; serta perlu segera ditunjuk lembaga/instansi, sebagai pihak pengelola HPP sehingga dapat berfungsi sebagai mana mestinya. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terimakasih disampaikan kepada PT. Total E & P Indonesia Balikpapan, Bagian Topografi yang telah memberikan bantuan data SPOT XS tahun 1999, Bapak Camat Anggana dan Staf yang telah banyak memberikan data dan informasi serta saudara Iman Firmansyah yang telah membantu dalam pengolahan data satelit. DAFTAR PUSTAKA Dimyati, RM dan Dimyati M, 1998, Remote Sensing dan Sistem Informasi Geografis untuk Perencanaan, Cetakan Pertama, Fakultas Tehnik Universitas Muhammadiyah, Jakarta Puntodewo A, Dewi S dan Tarigan J, 2003, Sistem Informasi Geografis untuk Pengelolaan Sumber Daya Alam Sinaga, E.B, 2003. Identifikasi Kawasan Lindung pada Wilayah Kota Balikpapan dengan Penerapan Teknologi Sistem Informasi Geografis dan Penginderaan Jauh, Thesis Pasca Sarjana Ilmu Kehutanan Unmul, Samarinda. Tidak dipublikasikan Siswanto, H. (1998). Aplikasi Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis Dalam Rencana Penataan Hutan Pendidikan Bukit Soeharto. Thesis Pasca Sarjana Ilmu Kehutanan Unmul, Samarinda, Tidak dipublikasikan Yamani, R, 2003. Analisis Kesesuaian Fungsi Kawasan Hutan untuk Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah dengan Penerapan Sistem Informasi Geografis (SIG) di Kabupaten Barito Utara, Thesis Pasca Sarjana Ilmu Kehutanan Unmul, Samarinda, Tidak dipublikasikan

Gedung Rektorat lt. 3 Kampus Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, 14 15 September 2005

TIS - 147

Anda mungkin juga menyukai