CITATIONS READS
0 929
2 authors, including:
Projo Danoedoro
Gadjah Mada University
97 PUBLICATIONS 118 CITATIONS
SEE PROFILE
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
Image Mining in Remote Sensing for Coastal Wetlands Monitoring View project
All content following this page was uploaded by Projo Danoedoro on 18 May 2016.
Prapto Suharsono *
Projo Danoedoro ∞
ABSTRAK
Kata kunci: ekologi bentanglahan, komponen lingkungan, skala regional, Landsat ETM+, Sumatera
Utara
*
Staf pengajar Jurusan Kartografi dan Penginderaan Jauh, dan Ketua PUSPICS Fakultas Geografi UGM-
Bakosrutanal
∞
Staf pengajar Jurusan Kartografi dan Penginderaan Jauh, Fakultas Geografi UGM
219
SAINS INFORMASI GEOGRAFIS
DARI PENGOLAHAN DAN ANALISIS CITRA HINGGA PEMETAAN DAN PEMODELAN SPASIAL
1. PENDAHULUAN
Untuk wilayah yang ketersediaan data dasarnya belum memadai, dapat dilakukan
survei lain yang bersifat ringkas namun lengkap, di mana berbagai informasi kunci
mengenai kondisi lingkungan disajikan dalam bentuk satuan-satuan bentanglahan. Satuan
bentanglahan biasanya memuat informasi mengenai aspek-aspek fisik lahan beserta aspek
biotik dan atau sosial-ekonomi, yang diekspresikan dalam bentuk/tipe vegetasi, penutup
lahan secara umum, ataupun penggunaan lahan.
220
SAINS INFORMASI GEOGRAFIS
DARI PENGOLAHAN DAN ANALISIS CITRA HINGGA PEMETAAN DAN PEMODELAN SPASIAL
penelitian ini ialah tersedianya peta-peta kondisi lingkungan berupa peta relief, batuan,
lereng dan penutup lahan, serta peta sintentik berupa ekologi bentanglahan, semuanya
pada skala 1:250.000 yang meliput seluruh wilayah Sumatera Utara bagian utara.
Manfaat praktis yang diharapkan dari penelitian ini terletak pada ketersediaan peta
yang secara langsung dapat membantu proses perencanaan lingkungan pada tingkat
provinsi, dan juga sebagai acuan bagi proses survei dan perencanaan lingkungan yang lebih
rinci. Dari sisi akademis, penelitian ini diharapkan dapat mendemonstrasikan prosedur
pemetaan lingkungan secara regional berbasis satelit resolusi sedang, untuk wilayah yang
ketersediaan data spasialnya relatif terbatas.
Konsep ekosistem telah ‘diimpor’ oleh para ahli ekologi bentanglahan dalam kajian
mereka (Cousins, 1993). Hal ini diperkuat oleh batasan pengertian yang dibuat oleh Vink
(1983), yaitu bahwa “…ekologi bentanglahan merupakan studi hubungan antara fenomena dan
proses dalam bentanglahan atau geosfer, termasuk di dalamnya komunitas tumbuhan, hewan dan
manusia.” Forman dan Gordon (1986) mempertegas gagasan mengenai ekosistem dalam
kajian ekologi bentanglahan, yaitu dengan mendefinisikannya sebagai “…studi mengenai
struktur, fungsi dan perubahan dalam suatu area lahan yang tersusun atas berbagai ekosistem yang
saling berinteraksi.”
Cramer et al. (1999) menyebutkan beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam kajian
ekosistem, baik dalam lingkup global, regional, maupun lokal. Beberapa aspek itu antara
lain (1) kebutuhan data untuk pengembangan model dan evaluasinya, (2) sumber data, (3)
karakteristik spasial dan temporal ekosistem yang meliputi pengambilan sampel spasial,
temporal, serta interpolasinya dalam ruang dan waktu, (3) pendekatan dalam pemodelan,
yaitu model keseimbangan (ekuilibrium) dan model dinamis. Khusus untuk ketersediaan
data pada lingkup wilayah yang luas, informasi mengenai iklim, tanah, sifat-sifat ekosistem,
penutup dan penggunaan lahan merupakan hal yang sangat penting.
221
SAINS INFORMASI GEOGRAFIS
DARI PENGOLAHAN DAN ANALISIS CITRA HINGGA PEMETAAN DAN PEMODELAN SPASIAL
kajian evaluasi lahan (Zonneveld, 1979; van der Zee dan Zonneveld, 2001), yang pada
akhirnya bermuara pada pemanfaatan praktis dalam kajian-kajian untuk perencanaan
pengembangan wilayah, termasuk perencanaan penggunaan lahan.
Pendekatan satuan lahan dapat dibentuk melalui pendekatan yang bersifat holistik,
dan secara kontras hal ini kadangkala dipertentangkan dengan satuan lahan yang diperoleh
melalui pendekatan reduksionistik. Skidmore (1997) membedakan pendekatan holistik
yang menjadi ciri utama dalam penggunaan interpretasi citra penginderaan jauh, sedangkan
pendekatan reduksionistik biasa diterapkan pada penelitian yang memanfaatkan sistem
informasi geografis (SIG). Dengan kata lain, satuan lahan dalam pendekatan holistik
merupakan satuan yang didefinisikan secara langsung, di mana karakteristik lahan
dideduksi secara logis; sedangkan satuan lahan dalam pendekatan reduksionistik
merupakan konsekuensi logis dari hasil pemodelan (terutama tumpangsusun peta) dalam
lingkungan SIG. Kedua macam pendekatan ini dapat digunakan dengan memperhatikan
konteks sumber dan ketersediaan data, kebutuhan pemodelan, karakteristik spasial dan
temporal, serta pendekatan dalam pemodelan (dinamis atau ekuilibrium), seperti yang
dijelaskan oleh Cramer et al. (1999).
Wilayah Provinsi Sumatera Utara merupakan wilayah yang secara ekologis belum
memiliki ketersediaan data spasial secara utuh, lengkap, dan saling kompatibel untuk
mendukung terlaksananya proses perencanaan lingkungan pada skala regional (skala
1:250.000). Mengingat bahwa peta ekologi bentanglahan merupakan peta referensi penting
ketika peta-peta tematik lain belum dapat disediakan, maka pembuatan peta semacam ini
perlu memperhatikan beberapa hal sebagai berikut:
(a) satuan-satuan ekologi bentanglahan yang dipetakan harus memuat informasi dari
sisi aspek-aspek fisik lahan, meliputi batuan, tanah, air dan atmosfer; serta aspek-
aspek biotik dan kultural meliputi vegetasi alami/budidaya dan penggunaan lahan
secara umum;
(b) satuan-satuan ekologi bentanglahan ini dapat dipetakan dengan menggunakan citra
Landsat Enhanced Thematic Mapper Plus (ETM+) secara visual pada skala 1:250.000,
yang merupakan skala yang sesuai bagi perencanaan lingkungan secara regional;
(c) Mengingat keterbatasan data dasar pendukung kajian ini, maka pendefinisian
satuan-satuan pemetaan ini dilakukan melalui pendekatan holistik, yang dimulai
dari satuan-satuan dengan lingkup yang paling luas, dan diikuti dengan satuan-
satuan yang lingkupnya lebih sempit, yaitu: elevasi dan curah hujan untuk mewakili
iklim, batuan atau material induk, kemiringan lereng, dan struktur
222
SAINS INFORMASI GEOGRAFIS
DARI PENGOLAHAN DAN ANALISIS CITRA HINGGA PEMETAAN DAN PEMODELAN SPASIAL
Penelitian ini memanfaatkan citra Landsat ETM+ sebagai sumber data utama,
dengan dukungan peta topografi, peta geologi, dan peta vegetasi skala 1:1.000.000 sebagai
data spasial bantu utama, serta kerja lapangan. Proses interpretasi dimulai dengan menarik
batas zona elevasi (Tabel 1) berdasarkan peta kontur yang dikombinasikan dengan zona
curah hujan sebagai basis zonasi dasar iklim di darah penelitian (Tabel 2). Parameter iklim
juga mempertimbangkan suhu bulan terdingin yang berpengaruh terhadap keberadaan
vegetasi alami dan budidaya, yang dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu suhu bulan
terdingin antara 15-20˚C dan lebih besar dari 20˚C. Proses berikutnya adalah zonasi litologi
(Tabel 3) berdasarkan kenampakan pada citra komposit warna semu dengan kombinasi
saluran 4-5-3 (Inframerah Dekat - Inframerah tengah I – Merah, dengan susunan merah-
hijau-biru) skala 1:250.000 yang dipandu oleh peta geologi skala 1:500.000. Penarikan batas-
batas satuan litologi terutama didasari oleh kenampakan pada citra, sedangkan isi atribut
didukung oleh peta geologi dan survei lapangan.
Tahap interpretasi berikutnya ialah zonasi relief (Tabel 3), yang diikuti dengan
zonasi kemiringan lereng (Tabel 4). Pada tahap-tahap ini, penggunaan citra memainkan
223
SAINS INFORMASI GEOGRAFIS
DARI PENGOLAHAN DAN ANALISIS CITRA HINGGA PEMETAAN DAN PEMODELAN SPASIAL
peran penting. Meskipun demikian, citra berperan paling penting dalam interpretasi
penutup lahan serta deduksi penggunaan lahannya. Klasifikasi penutup lahan
dititikberatkan pada aspek komposisi struktural vegetasi (Tabel 5), mengingat pendefinisian
satuan-satuan bentanglahan diakhiri dengan delineasi satuan-satuan penutup vegetasi di
dalam satuan-satuan fisik lahan yang lebih besar. Dengan demikian, setiap satuan
bentanglahan terdefinisi sebagai satuan pemetaan yang memuat informasi iklim (khususnya
elevasi dan curah hujan), batuan induk, ekspresi relief, serta kemiringan lereng. Informasi
lain dapat diturunkan dengan melakukan inferensi dan deduksi logis atas setiap kombinasi
yang muncul.
224
SAINS INFORMASI GEOGRAFIS
DARI PENGOLAHAN DAN ANALISIS CITRA HINGGA PEMETAAN DAN PEMODELAN SPASIAL
jauh. Variabel penting lain dalam ekologi bentanglahan, misalnya tanah, diasumsikan dapat
diturunkan dari kombinasi variabel-variabel yang dipetakan ini, ditambah informasi
lapangan. Dengan kata lain, penelitian ini menggunakan komponen biofisik pendukung
informasi bentanglahan dalam bentuk variabel-variabel dasar yang dapat diekstrak secara
langsung dari citra satelit, dan dapat dideduksi lebih lanjut untuk menurunkan informasi
kompinen fisik lahan lainnya.
Perpaduan antara aspek fisik lahan dan penutup/penggunaan lahan inilah yang
merupakan satuan bentanglahan, yang selanjutnya disusun dalam basis data kewilayah an
menggunakan SIG. Meskipun proses interpretasi dilakukan dalam satu lembar citra, namun
pada dasarnya setiap komponen informasi yang diekstrai dapat dipilah kembali sebagai
tema-tema yang terpisah. Dengan demikian, apabila diperlukan, data yang tersimpan di
dalam SIG ini dapat diperbarui, atau digunakan sebagai bahan analisis dan sintesis untuk
menghasilkan informasi baru. Berbagai kegiatan perencanaan wilayah dan penentuan
kebijakan pada masa selanjutnya akan selalu memerlukan basis data ini sebagai dasar
pertimbangannya.
Hasil dan pembahasan penelitian ini dibagi menjadi tiga bagian utama, yaitu (a)
gambaran umum bentanglahan di daerah penelitian, (b) deskripsi satuan-satuan
bentanglahan yang berhasil dipetakan, dan (c) catatan mengenai proses interpretasi citra
dan interpretabilitasnya secara kualitatif.
Berdasarkan synoptic overview yang diperoleh dari citra Landsat ETM+, wilayah
225
SAINS INFORMASI GEOGRAFIS
DARI PENGOLAHAN DAN ANALISIS CITRA HINGGA PEMETAAN DAN PEMODELAN SPASIAL
Propinsi Sumatera Utara bagian utara secara garis besar dapat dibedakan menjadi 6 bagian,
yaitu :
Lebar jalur ini antara 40 hingga 70 kilometer, membujur arah tenggara - barat laut,
mulai dari dekat Labuhan Bilik di ujung timur wilayah Kabupaten Labuhan Batu, terus
melalui Tanjung Balai, Kisaran, Tebing Tinggi, Medan, Binjai, hingga Langkat di dekat
perbatasan dengan Propinsi Aceh. Wilayah ini memiliki topografi datar hingga landai
dengan kemiringan lereng kurang dari 5 persen. Sebagian besar merupakan dataran aluvial
hasil endapan sedimen yang terangkut melalui sungai-sungai Barumun, Bilah, Panai,
Kualah, Asahan, Deli, Belawan dan lain-lain. Kebanyakan sungai-sungai tersebut bermata
air di Bukit Barisan. Sesuai dengan genesa atau asal mula pembentukannya yang
merupakan endapan fluvial, ada bagian-bagian dari wilayah ini yang sering terlanda banjir
terutama yang memiliki relief ledok atau cekungan dan bantaran sungai. Dilihat dari batuan
penyusunnya sebagaian besar dataran ini merupakan endapan aluvial, selebihnya
merupakan endapan materi piroklastik hasil erupsi gunungapi
Elevasi atau ketinggian tempat mulai dari permukaan laut hingga sekitar 100 meter
sehingga secara umum memiliki suhu udara rerata relatif tinggi, cadangan air tanah dengan
potensi besar, irigabilitas besar, dan sebagian berdrainase jelek. Jenis tanah bagian ini
umumnya aluvial yang memiliki ciri berlapis-lapis yang menunjukkan bahwa setiap lapis
terbentuk pada satu periode pengembangan. Solum tanah yang dapat menjadi media
perakaran sangat tebal, tetapi pada bagian-bagian yang drainasenya jelek umumnya bersifat
asam (pH rendah) dan mengalami gleisasi.
Bagian dari dataran ini yang dekat dengan pantai, kebanyakan berair payau hingga
asin dan menjadi habitat mangrove. Di beberapa bagian, lebar rawa payau ini hingga
beberapa kilometer dan sekitar lima tahun terakhir ini banyak yang ditebang, berubah
fungsi menjadi tambak. Lebih jauhke arah darat yang berair tawar umumnya merupakan
hamparan sawah sangat luas dengan setempat-setempat terdapat permukiman perdesaan
dan kota. Bagian lainnya banyak dimanfaatkan untuk perkebunan dengan jenis tanaman
kelapa sawit dan karet, misalnya di sekitar Rantauprapat, Tebingtinggi, dan Kisaran.
Zona ini memiliki relief berombak hingga bergelombang dengan beda tinggi antara
dasar lembah dengan punggung tidak lebih dari 100 meter, kemiringan lereng antara 5
hingga 25 persen dan berada pada ketinggian kurang dari 500 meter di atas permukaan laut.
Batuan penyusun wilayah ini terutama adalah bahan piroklastik hasil erupsi gunungapi dan
telah mengalami pelapukan lanjut disertai erosi (pengikisan) di bagian-bagian tertentu.
Tanah yang terbentuk memiliki solum tebal, tekstur liat atau liat pasiran dengan drainase
226
SAINS INFORMASI GEOGRAFIS
DARI PENGOLAHAN DAN ANALISIS CITRA HINGGA PEMETAAN DAN PEMODELAN SPASIAL
baik. Kondisi alam yang demikian menjadikan zona ini merupakan lahan potensial bagi
pertanian tanaman tahunan dan perkebunan sehingga semenjak awal abad ini banyak
dibuka lahan perkebunan baru dengan jenis tanaman terutama karet, kakao, dan kelapa
sawit. Bagian-bagian ledok dan lembah sungai yang besar potensi air dan irigabilitasnya
banyak dimanfaatkan untuk sawah dan tanaman semusim lainnya terutama yang lokasinya
berada dekat dengan kampung atau permukiman. Bentuk penggunaan lahan perkebunan
paling dominan di zona ini berkaitan dengan karakter lahannya yang sesuai, pemeliharaan
yang relatif tidak banyak menyita tenaga kerja, serta nilai ekonomi yang tinggi dari
hasilnya.
Berkaitan dengan elevasi yang tinggi tersebut maka suhu udara sejuk sepanjang
tahun sehingga proses pelapukan bantuan membentuk tanah berlangsung lambat, disertai
oleh intensitas erosi yang relatif tinggi karena lerengnya terjal hingga curam. Sebagai
akibatnya, solum tanah umumnya tipis, kelembaban tinggi, suhu sejuk, membentuk tanah
litosol, dan andosol pada bagian yang tidak terlalu curam. Kearifan para pendahulu telah
membiarkan lahan yang demikian ini untuk tetap menjadi hutan alam, dan generasi
sekarangpun seharusnya melestarikannya. Deretan Bukit Barisan jalur timur ini membujur
arah tenggara -barat laut melalui sebelah timur Danau Toba, terus ke utara di sebelah timur
kota wisata Berastagi dan bersambung dengan Gunung Leuser jalur timur terus ke wilayah
Propinsi Aceh. Beberapa puncak dengan nama Dolok Parimbaan, Dolok Batuloting, Gunung
Merah dan beberapa lainnya berada pada jalur ini. Aktivitas volkanis yang membentuk
deretan pengunungan tersebut nampaknya berlangsung melalui celah-celah sesar utama
Pulau Sumatra yang sebelumnya berbatuan sedimen endapan marin. Adanya batugamping
secara lokal seperti yang dijumpai di utara kota wisata Prapat ( di tepi Danau Toba ) serta
batuan penyusun Pulau Samosir yang mengandung diatomae menjadi petunjuk yang
mendasari pernyataan tersebut. Khusus bagi keberadaan batugamping di lokasi ± 4
kilometer utara Prapat, telah terjadi metamorfosa membentuk batu marmer yang
disebabkan karena kontak dengan magma atau proses volkanis yang membentuk deretan
pegunungan tersebut. Penutup lahan pada jalur pegunungan ini saat sekarang terutama
hutan alam dan hutan tanaman dengan jenis tumbuhan terutama Pinus merkusii ( nama
lokal tusam ) yang ditanam sekitar 40 tahun yang lalu.
Jalur ini merupakan depresi diantara dua jalur Bukit Barisan yang melebar dengan
bentangan sekitar 70 kilometer dan memanjang arah tenggara - barat laut sepanjang lebih
dari 150 kilometer. Danau Toba yang terbentuk karena proses volkano-tektonik (Bemmelen,
1949) berada pada depresi ini. Di dekat Kutacane ( wilayah Propinsi Aceh ) lebar depresi
yang kedua jalur pegunungan ini hanya sekitar 6 kilometer. Ketinggian tempat pada tanah
tinggi ini berkisar antara 900 hingga 1600 meter di atas muka laut ( kecuali dasar Danau
227
SAINS INFORMASI GEOGRAFIS
DARI PENGOLAHAN DAN ANALISIS CITRA HINGGA PEMETAAN DAN PEMODELAN SPASIAL
Toba ), umumnya datar hingga berombak. Bahan pembentuk yang berupa piroklastik dan
abu volkan di tanah tinggi yang suhunya sejuk sepanjang tahun berkembang membentuk
tanah andosol yang sangat potensial bagi tanaman sayur mayur iklim sejuk seperti di tanah
Karo, Tele, dan Dolok Sanggul. Pada medan datar di sekitar Balige - Porsea yang
merupakan daerah pengendapan sedimen terbentuk tanah aluvial yang dimanfaatkan bagi
padi sawah. Bentuk penggunaan lahan ini juga berada cukup luas di elevasi yang agak
rendah misalnya di dekat Sidikalang, Dolok Sanggul, Lintongnihuta, dan sisi barat Pulau
Samosir seperti di Simbolon, Mogang, hingga Nainggolan.
Pemanfaatan lahan di tanah tinggi (depresi tengah) ini belum seluruhnya optimum.
Di tanah Karo dan sekitar Balige sudah sangat intensif pengusahaannya, sementara di sisi
barat danau Toba masih banyak lahan berupa semak belukar, rumput serta paku-pakuan di
medan datar hingga bergelombang yang sebenarnya berpotensi besar. Masalah adat dan
status kepemilikan tampaknya menjadi kendala dalam pengembangan pemanfaatan lahan
ini bagi kesejahteraan masyarakatnya.
Pulau Samosir yang berada di tengah Danau Toba merupakan bagian dari depresi
tengah yang perlu mendapat perhatian tersendiri. Batuan penyusunnya yang berupa
sedimen endapan marin mengandung diatome membentuk tanah bertekstur debu yang
mudah tererosi sehingga membentuk ravine yang dalam dengan lereng-lereng curam. Kesan
umum bagi pulau ini adalah gersang dan kering kecuali di bagian punggung tertinggi yang
berelief hampir datar dan tertutup hutan sekunder. Hutan asli pulau ini tinggal tersisa
sekitar 8 persen karena penebangan intensif sebelum tahun 1998. Dalam kaitan dan
peranannya sebagai daerah tangkapan air Danau Toba, maka upaya rehabilitasi lahan di
pulau Samosir merupakan hal yang sangat mendesak untuk dilaksanakan khususnya bagi
lahan kosong dan rerumputan untuk diubah menjadi pepohonan agar fungsi hidrologisnya
lebih baik. Dengan penanaman pepohonan diharapkan tanah akan menjadi berkembang
dan terbentuk lebih cepat sehingga media perakaran lambat laun membaik dan kapasitas
tahanan air (water holding capacity) meningkat yang berarti pula menahan air yang banyak di
musim penghujan untuk dialirkan perlahan-lahan sehingga tertahan berupa aliran sungai
yang cukup besar di musim kemarau.
Liputan areal kegiatan penentuan batas-batas ekosistem pada tahap ini dilakukan
sampai sebatas Barus ke utara sehingga jalur dataran pantai barat yang terpetakan masih
sangat sedikit. Jalur dataran terliput hanyalah di utara Barus dengan lebar sekitar 7
kilometer dan memanjang sepanjang pantai kira-kira 20 kilometer hingga perbatasan Singkil
yang termasuk Propinsi Aceh. Dataran pantai barat ini terbentuk dari akumulasi materi
228
SAINS INFORMASI GEOGRAFIS
DARI PENGOLAHAN DAN ANALISIS CITRA HINGGA PEMETAAN DAN PEMODELAN SPASIAL
aluvium dan koluvium yang terangkut aliran air dari pegunungan Bukit Barisan jalur barat
yang berada di sisi timurnya. Pemanfaatan lahan belum berkembang baik mungkin karena
lokasinya yang agak terisolasi dari kota-kota lain.
Penetapan batas-batas satuan ekosistem makro ini terbagi menjadi dua tahap
kegiatan, yaitu (a) interpretasi komponen-komponen ekosistem utama meliputi zonasi
elevasi, geologi (khususnya jenis) batuan, relief, dan pentutup penggunaan lahan; dan (b)
pemodelan satuan-satuan ekosistem dalam bentuk peta, melalui tumpangsusun berbagai
komponen-komponen yang telah dipetakan, disertai dengan tabel deskripsi masing-
masing satuan eskosistemnya.
Geologi merupakan faktor kedua yang sangat penting, karena geologi wilayah
mencerminkan variasi material (batuan) induk yang sangat berpengaruh terhadap mampu-
tidaknya bagian kulit bumi bagian atas menyimpan dan melepaskan air, melapuk menjadi
tanah dengan karakteristik tertentu, serta tertoreh dan terlapukkan oleh gaya eksogen
menjadi satuan-satuan kenampakan relief yang disebut dataran, perbukitan dan
pegunungan.
Kombinasi antara elevasi, curah hujan, temperatur, batuan induk dan kondisi relief
yang tertentu akan membentuk jenis tanah tertentu dengan karakteristik yang tertentu pula,
misalnya dara dukung terhadap tanaman atau penggunaan lahan. Dengan demikian,
keempat faktor utama tadi : elevasi, batuan induk, relief, dan penutup pengunaan lahan,
perlu ditonjolkan sebagai komponen-komponen ekosistem utama secara makro pada
penelitian ini.
Interpretasi citra satelit dilakukan berdasarkan data Landsat ETM+ yang telah
dipertajam dengan kombinasi saluran 4-5-3 dan 4-5-7 (masing-masing urutan
merepresentasikan paduan wama merah, hijau dan biru) dan SPOT XS dengan kombinasi
saluran 2-3-1 (untuk kombinasi merah, hijau, dan biru). Kombinasi komposit wama 4-5-3
pada citra landsat TM mampu menonjolkan variasi kerapatan dan struktur vegetasi,
sedangkan kombinasi 4-5-7 mampu menonjolkan variasi relief dan perbedaan jenis tanah
batuan. Kombinasi 2-3-1 pada citra SPT XS, didukung oleh resolusi spasialnya yang tinggi,
mampu menonjolkan vegetasi dalam wama hijau, tanah dalam wama kemerahan, dan
variasi relief. Untuk zonasi relief, pemetaan ini banyak bertumpu pada peta rupabumi skala
229
SAINS INFORMASI GEOGRAFIS
DARI PENGOLAHAN DAN ANALISIS CITRA HINGGA PEMETAAN DAN PEMODELAN SPASIAL
1:250.000, sedangkan untuk pemetaan geologi, interpretasi citra satelit dibantu dengan peta
geologi.
a. Pemetaan Elevasi
Pada lembar Sidikalang (0618), terlihat bahwa wilayah ini didominasi oleh
ketinggian di atas 1000 meter di atas permukaan air laut. Wilayah dengan ketinggian di atas
1000 meter ini eliputi sisi barat jalur Pegunungan Barisan (dari Tarutung, hugga Deleng
Bubun), jalur depresi tengah (termasuk Pulau Samosir), dan juga sisi timur jalur
Pegunungan Barisan di sekitar Simalungun. Wilayah di sebelah barat, Danau Toba dan
bagian tengah Pulau Samosir justru mencapai elevasi di atas 1500 meter. Kira-kira sepertiga
dari wilayah pada Lembar Sidikalang ini mempunyai elevasi kurang dari 1000 meter, dan
wilayah dengan ketinggian ini terutama terdapat di jalur barat Pegunungan barisan,
melandai ke arah pantai barat Sumatera Utara.
Di samping piroklastik, batuan beku masif yang bersifat asam dan intermedier
dapat dijumpai terutama di sekitar pusat-pusat erupsi volkanik ataupun wilayah-wilayah
yang merupakan titik-titik terobosan (intrusi) magma. Batuan semacam ini banyak
dijumpai di Surbakti, Deli Serdang, Sibolangit, Simpanglayang (Lembar Medan, 0619), dan
juga secara setempat-setempat namun agak luas di sudut tenggara Danau Toba dan sebelah
barat Rantau Prapat (lembar Pematang Siantar, 0718).
230
SAINS INFORMASI GEOGRAFIS
DARI PENGOLAHAN DAN ANALISIS CITRA HINGGA PEMETAAN DAN PEMODELAN SPASIAL
pada deretan ini, sebelah menyebelah danau Toba arah tenggara-barat laut tetap
didomulasi oleh batuan volkanik, khususnya batuan beku masif.
Batuan aluvium atau bahan lepas berukuran butir kecil, tak terkonsolidasi, yang
terangkut oleh proses fluvial ataupun gravitasi banyak dijumpai di sepanjang dataran
pantai yang sempit membentang selebar sekitar 10 meter dari garis pantai di bagian barat
(lembar Sidikalang, 0619), dan terutama di dataran aluvial di bagian timur, yang
membentang dari sebelah utara Pangkalan Susu (Langkat) hingga ke tenggara sampai
perbatasan dengan Propinsi Riau. Lebar dataran yang terisrs oleh bahan aluvium ini masuk
ke arah daratan hingga sekitar 35 kilometer di sekitar Belawan -Tanjungpura dan Bagan
Asahan, dan bahkan mencapai 120 kilometer di Labuhan Batu (Lembar Pematang Siantar,
0718).
c. Pemetaan Relief
Zonasi relief berkaitan erat dengan zonasi elevasi dan geologi batuan induk.
Wilayah yang datar hingga landai terutama dijumpai di sepanjang pantai timur Sumatera
Utara dengan elevasi kurang dari 300 meter, dan didominasi oleh bahan induk aluvium.
Variasi terdapat di sekitar Medan -Binjai, di mana pada zona elevasi kurang dari 300 meter
dan berelief datar-landai ini bahan induk penyusunnya ialah piroklastik. Relief datal yang
sempit, dengan lebar rata-rata kurang dari 10 kilometer dari garis pantai ke arah dataran
juga dijumpai pada pantai barat Sumatera Utara, di mana kota Baris dan Sibolga terletak.
231
SAINS INFORMASI GEOGRAFIS
DARI PENGOLAHAN DAN ANALISIS CITRA HINGGA PEMETAAN DAN PEMODELAN SPASIAL
(lembar Medan, 0619). Hampir seluruh wilayah Pulau Samosir dapat dikategorikan ke
dalam zona relief berbukit. Di samping itu, relief berbukit juga dapat dijumpai di sebelah
timur pantai yang sempit bagian barat (lembar Sidikalang, 0618). Relief berbukit
kebanyakan menempati elevasi di alas 300 meter dan beberapa bagian justru terdapat
pada zona elevasi antara 1000 -1500 dan >1500 di alas permukaan laut, meskipun range
(julat) elevasi antara titik terendah dan tertingginya masih berkisar antara 50 -300 meter.
Relief berbukit terutama juga didominasi oleh batuan beku masif dan batuan sedimen.
232
SAINS INFORMASI GEOGRAFIS
DARI PENGOLAHAN DAN ANALISIS CITRA HINGGA PEMETAAN DAN PEMODELAN SPASIAL
arah barat laut, membentuk jalur-jalur yang sejajar terutama pada punggung-punggung
perbukitan dan pegunungan yang curam hingga Propinsi Aceh (lembar Sidikalang, 0618;
lembar Medan, 0619).
Kontinuitas hutan kerapatan tinggi ini beberapa kali 'terpotong' oleh penutup
lahan yang lain, atau hutan dengan tingkat kerapatan yang rendah. Hutan dengan
kerapatan sedang lebih banyak dijumpai di bagian barat (yaitu di wilayah berbukit hingga
bergunung dengan batuan sedimen gampingan dan bukan-gampingan (lembar Sidikalang,
0618). Hutan kerapatan sedang berupa formasi mangrove dijumpai terutama di bagian
pantai timur (lembar Medan, 0619; dan lembar Langsa, 0620). Hutan dengan kerapatan
rendah justru lebih banyak tedapat di sekitar Danau Toba, dan juga di wilayah yang
menjadi daerah tangkapan air Lau Renun (lembar Sidikalang, 0618).
Mosaik ladang dan permukiman menempati bentangan yang sangta luas, terutama
di wilayah yang berombak hingga bergunung. Pada elevasi rendah, tanaman pada ladang
yang utama ialah palawija (termasuk jagung), sedangkan pada elevasi tinggi tanaman
yang dominan ialah sayuran iklim sejuk. Mosaik sawah dan permukiman terutama
terdapat pada elevasi rendah, yaitu di dataran aluvial dan piedmont yang cukup air.
Meskipun demikian, secara setempat-setempat juga dapat dijumpai mosaik sawah dan
permukiman di elevasi tinggi, dengan tanaman padi varietas lokal yang seusai dengan
iklim setempat (temperatur agak rendah) dan dengan selingan sayur.
233
SAINS INFORMASI GEOGRAFIS
DARI PENGOLAHAN DAN ANALISIS CITRA HINGGA PEMETAAN DAN PEMODELAN SPASIAL
Isi atau atribut ekosistem pada setiap satuan bentanglahan yang dihasilkan di
deskripsikan dengan menggabungkan setiap komponen utama yang ada, serta mendeduksi
secara logis beberapa komponen turunan yang lain dengan bantuan peta tematik
pendukung, yaitu:
a. curah hujan rata-rata tahunan dan suhu rata-rata bulan terdingin
b. kemiringan lereng
c. jenis tanah secara garis besar
d. jenis tanaman/penggunaan lahan yang lebih rinci/informasi pendukunglainnya
Gambar 1. Contoh peta-peta komponen bentang lahan untuk wilayah Sumatera Utara: (a) peta
elevasi (b) peta litologi, (c) peta penutup lahan dengan tekanan pada vegetasi, dan (d)
peta relief
Dari hasil analisis antar komponen ekosistem melalui bantuan sistem informasi
geografis itu dihasilkan 175 satuan bentanglahan seperti yang tersaji pada Tabel 7, yang
merupakan perpaduan unik dari iklim (elevasi, curah hujan, suhu rata-rata bulan terdingin),
geomorfologi (batuan induk, relief, dan kemiringan lereng), tanah, serta penutup dan
penggunaan lahan. Peta dan tabel samail-samail ekosistem tersebut juga mengu1dikasikan
beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pendayagunaan sumberdaya/pengelolaan
wilayah, yaitu : (a) ekosistem budidaya, termasuk di dalamnya permukiman kota/desa dan
lahan pertanian, (b) ekosistem alami/semi alami yang tidak banyak terganggu, dan (c)
ekosistem alami/semi alami yang terganggu.
234
SAINS INFORMASI GEOGRAFIS
DARI PENGOLAHAN DAN ANALISIS CITRA HINGGA PEMETAAN DAN PEMODELAN SPASIAL
Peta Ekologi
Bentanglahan
Sumatera Utara
Gambar 2a. Contoh hasil pemetaan ekologi bentanglahan wilayah Provinsi Sumatera Utara untuk lembar yang berdampingan (bagian barat daya).
235
SAINS INFORMASI GEOGRAFIS
DARI PENGOLAHAN DAN ANALISIS CITRA HINGGA PEMETAAN DAN PEMODELAN SPASIAL
Peta Ekologi
Bentanglahan
Sumatera Utara
Gambar 2b. Contoh hasil pemetaan ekologi bentanglahan wilayah Provinsi Sumatera Utara untuk lembar yang berdampingan (bagian tenggara).
236
SAINS INFORMASI GEOGRAFIS
DARI PENGOLAHAN DAN ANALISIS CITRA HINGGA PEMETAAN DAN PEMODELAN SPASIAL
237
SAINS INFORMASI GEOGRAFIS
DARI PENGOLAHAN DAN ANALISIS CITRA HINGGA PEMETAAN DAN PEMODELAN SPASIAL
Tabel 7 (lanjutan)
238
SAINS INFORMASI GEOGRAFIS
DARI PENGOLAHAN DAN ANALISIS CITRA HINGGA PEMETAAN DAN PEMODELAN SPASIAL
Ekosistem semi alami yang berupa hutan tanaman sejenis, apabila tidak
diperhatikan juga dapat memicu terjadinya kerusakan lingkungan. Tanaman hutan
ekaliptus merupakan jenis yang mudah sekali terbakar, kualitas tutupan understorynya
relatif kurang bagus, sehingga memerlukan perhatian dalam pengelolaan, dan seyogyanya
juga tidak ditanam sebagai tanaman utama konservasi pada wilayah yang memerlukan
konservasi. Secara lengkap satuan- satuan bentanglahan ini tersaji pada Tabel 7, yang
memuat kolom-kolom nomer satuan bentanglahan, elevasi, zona curah hujan dan suhu rata-
rata bulan terdingin, zona batuan induk, zona relief, kemiringan lereng, jenis tanah,
penutup lahan dan informasi pelengkapnya
4.3. Beberapa Catatan atas Pemanfaatan Citra Landsat ETM+ untuk Pemetaan
Bentanglahan di Sumatera Utara
Pemetaan berbasis citra satelit Landsat ETM+ ini mengalami kendala utama dalam
hal liputan awan, yang kebetulan cukup besar persentasenya. Liputan awan ini
mengelompok di wilayah sekitar Pulau Samosir, serta di bagian selatan dari daerah
penelitian. Untuk wilayah Pulau Samosir, masalah ini telah dikompensasi dengan
ketersediaan citra SPOT-3 yang relatif bersih dan mempunyai resolusi spasial lebih baik,
yaitu 20 m. Untuk wilayah di bagian selatan, liputan awan yang tidak mengelompok
melainkan sedikit menyebar justru telah menimbulkan efek awan dan sekaligus bayangan
yang sangat mengganggu proses interpretasi. Untuk mengatasi masalah ini, survei
lapangan yang lebih mendalam dan penggunaan peta yang telah tersedia secara maksimal
untuk memperoleh informasi fenomena yang tertutup awan juga telah dilakukan.
Lepas dari kekurangan dalam hal faktor liputan awan, citra Landsat ETM+
mempunyai keunggulan dalam hal penyajian fenomena yang diperlukan untuk pemetaan
komponen-komponen bentanglahan di daerah penelitian. Penggunaan kombinasi saluran
4-5-7 mampu menonjolkan variasi jenis batuan dan reliefnya. Hal ini sesuai dengan teori
yang menyatakan bahwa saluran inframerah tengah II peka terhadap variasi jenis mineral
batuan (Jensen, 2000; Lillesand et al., 2004). Kombinasi saluran 4-5-2 atau 4-5-3 mampu
menonjolkan variasi pantulan tanah (lahan terbuka), bangunan perkotaan, dan vegetasi,
sesuai dengan rencangan sistem sensornya. Kombinasi saluran 4-5-3 lebih sensitif pada
239
SAINS INFORMASI GEOGRAFIS
DARI PENGOLAHAN DAN ANALISIS CITRA HINGGA PEMETAAN DAN PEMODELAN SPASIAL
variasi kerapatan dan jenis vegetasi dibandingkan kombinasi 4-5-2, dan hal ini sesuai
dengan penelitian Danoedoro (2001), Stibig (1997), dan Hartono dan Danoedoro (2004, pada
buku ini).
Penelitian ini merupakan penelitian terapan yang tidak memberikan evaluasi atau
penilaian berupa uji akurasi citra secara kuantitatif. Meskipun demikian, secara kualitatif
tetap dapat dinyatakan bahwa akurasi interpretasi dan pemetaan untuk bagian utara daerah
penelitian dan secara khusus di Pulau Samosir lebih tinggi dibandingkan akurasi untuk
bagian selatan daerah penelitian yang lebih banyak tertutup awan. Proses kerja lapangan
yang lebih intensif untuk bagian selatan ini diharapkan mampu mengkompensasi
kekurangan tersebut.
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian tahun pertama ini, dapat disimpulkan beberapa hal
sebagai berikut :
240
SAINS INFORMASI GEOGRAFIS
DARI PENGOLAHAN DAN ANALISIS CITRA HINGGA PEMETAAN DAN PEMODELAN SPASIAL
d. Citra Landsat ETM+ pada resolusi 30 meter dapat dimanfaatkan sebagai basis
ekstraksi informasi komponen-komponen bentanglahan untuk skala 1:250.000
dengan baik, sejauh tutupan awannya tidak signifikan. Citra SPOT-3
multispektral untuk wilayah yang tertutup awan pada citra Landsat ETM+ dapat
mengkompensasi kekosongan informasi tersebut. Lepas dari faktor tutupan
awan, ketersediaan enam macam saluran spektral pada wilayah pantulan
berkisar dari spektrum biru hingga inframerah dekat II mampu menonjolkan
variasi berbagai kenampakan yang diperlukan sebagai indikator komponen-
komponen bentanglahan di wilayah Sumatera Utara.
5.2. Rekomendasi
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Sigit Heru Murti, S.Si., M.Si. yang telah
terlibat dalam kerja lapangan. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Joko
Purnomo, S.Si., Nur Wikan Kuswardani, S.Si., Bir’ah Hidayati, S.Si., serta Ichwan, S.Si. yang
telah membantu proses penyiapan, interpretasi, dan digitisasi peta-peta, serta kepada
Wirastuti Widyatmanti, S.Si. yang telah membantu dalam penulisan kembali naskah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Cramer, W., Shugart, H.H., Noble., I.R., Woodward, F.I., Bugmann, H., Bondeau, A., Foley,
J.A., Gadner, R.H., Lauenroth, W.K., Pitelka, L.F., Sutherst, R.W. (1999). Ecosystem
Composition and Structure . In: Walker, B., Steffen, W., Canadell, J., and Ingram, J.
(eds) The Terrestrial Biosphere and Global Change-Implication for Natural and Managed
Ecosystems. Synthesis Volume. Cambridge: Cambridge University Press
Cramer, W., Leemans, R., Schulze, E.-D, Bondeau, A., Scholes, R.J. (1999) data Needs and
limitations for broadscale ecosystem modelling. In: Walker, B., Steffen, W., Canadell,
J., and Ingram, J. (eds) The Terrestrial Biosphere and Global Change-Implication for
Natural and Managed Ecosystems. Synthesis Volume. Cambridge: cambridge University
Press
241
SAINS INFORMASI GEOGRAFIS
DARI PENGOLAHAN DAN ANALISIS CITRA HINGGA PEMETAAN DAN PEMODELAN SPASIAL
Forman, R.T., and Gordon, M. (1986). Landscape Ecology. New York: John Wiley and Sons
Green, D.R., Cummins, R., Wright, R., and Miles, J. (1993). A Methodology for Acquiring
Information on Vegetation Succession from Remotely Sensed Imagery. In:Haines-
Young, R., Green, D.R., and Cousins, S.H. (eds). Landscape Ecology and GIS. London:
Taylor and Francis
Gulinck, H., Walpot, O., and Janssens, P. (1993). Landscape Structural Analysis of Central
Belgium using SPOT Data. In: Haines-Young, R., Green, D.R., and Cousins, S.H.
(eds). Landscape Ecology and GIS. London: Taylor and Francis
Haines-Young, R., Green, D.R., and Cousins, S. (1993). Landscape Ecology and Spatial
Information Systems. In: Haines-Young, R., Green, D.R., and Cousins, S. (eds).
Landscape Ecology and GIS. London: Taylor and Francis
Harrison, A.R., and Dunn, R. (1993). Problems of Sampling the Landscape. Cousins, S.
(1993). Hierarchy in Ecology: Its Relevance to Landscape Ecology and Geographic
Information Systems. In: Haines-Young, R., Green, D.R., and Cousins, S. (eds).
Landscape Ecology and GIS. London: Taylor and Francis
Hartono dan Danoedoro, P. (2004). Land-use and Land –cover Change based on Image
Interpretation. Danoedoro (ed). Sains Informasi Geografis: dari Perolehan dan Analisis
Citra hingga Pemetaan dan Pemodelan Spasial. Yogyakarta: Jurusan Kartografi dan
Penginderaan Jauh Fakultas Geografi UGM
Kuchler and Zonneveld, I.S. (1988). Vegetation Mapping. Dordrecht: Kluwer cademic
Publisher
Lavers, C.J., and Haines-Young, R.H. (1993). Equilibirum Landscapes and Their Aftermath:
Spatial Heterogeneity and the Role of the New Technology. In Haines-Young, R.,
Green, D.R., and Cousins, S. (eds). Landscape Ecology and GIS. London: Taylor and
Francis
Lein, J.K. (2003). Integrated Environmental Planning. Carlton, Victoria: Blackwell Publishing
Lillesand, T. M., Kiefer, R. W., and Chipman, J. (2004). Remote Sensing and Image
Interpretation (5 ed.). New York: John Wiley and Sons.
242
SAINS INFORMASI GEOGRAFIS
DARI PENGOLAHAN DAN ANALISIS CITRA HINGGA PEMETAAN DAN PEMODELAN SPASIAL
Mueller-Dombois, D., and Ellenberg, F. (1974). Aims and Methods in Vegetation Ecology. New
York: John Wiley and Sons
Skidmore, A.K. (2002). Environmental Modelling using Remote Sensing and GIS. London:
Taylor and Francis
Skidmore, A. K. (1997). The World Apart. ITC Journal(1), 17-20.
Stibig, H-J. (1999). Remarks for interpretation of High Resolution Satellite Images for the
TREES Sample Sites. Unpublished TREES Project Manual, Ispra, Italy
van Gils, H., Zonneveld, I. S., van Wijngaarden, W., Kannegieter, A., & Huizing, H. (1990).
Land Ecology and Land Use Survey, ITC Lecture Note. Unpublished manuscript,
Enschede.
Vink, A.P.A. (1983), in Davidson, D.A. (Ed). Landscape Ecology and Land Use. London:
Longman
Wood, T.F., and Foody, G.M. (1989). Remote Sensing of Structurally Complex Semi-natural
Vegetation – An Example from Heathland. International Journal of Remote Sensing, 8,
31-42.
Zonneveld, I. S. (2001). Introduction. In I. S. Zonneveld & D. van der Zee (Eds.), Landscape
Ecology Applied in Land Evaluation, Development and Conservation: Some Worldwide
Examples. ITC Publication No 81/IALE Publication No. MM-1. Enschede: International
Institute for Aerospace Survey and Earth Sciences (ITC)/IALE.
243