Anda di halaman 1dari 5

Prosiding Seminar Hasil Penelitian Kebencanaan TDMRC-Unsyiah, Banda Aceh, 13 19 April 2011

ISSN 2088-4532

Penyimpangan Penggunaan Lahan di DAS Krueng Aceh Berdasarkan Zona Agroekologi


Ema Alemina1,2, Hairul Basri1,3, Muslimsyah1,4, Muzailin Affan1,5, Agus Halim1,3 dan T. Alvisyahrin1,3
1

) Peneliti pada Tsunami and Disaster Mitigation Research Center (TDMRC) Universitas Syiah Kuala, Jl. Tgk Abdurrahman, Gampong Pie, Banda Aceh, Indonesia 2 ) Staf Bappeda Provinsi Aceh 3 ) Staf Pengajar Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh 4 ) Staf Pengajar Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh 5 ) Staf Pengajar Fakultas MIPA Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh

Abstrak Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis penyimpangan penggunaan lahan di DAS Krueng Aceh berdasarkan zona agroekologi. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan menggunakan Geographic Information System (GIS), pengamatan lapangan dan analisis tanah di laboratorium. Hasil penelitian menunjukkan bahwa telah terjadi penyimpangan lahan di DAS Krueng Aceh berdasarkan zona agroekologi. Penyimpangan penggunaan lahan terjadi pada pertanian lahan kering campuran seluas 12.708,65 Ha dan kebun seluas 131.78 Ha dalam kawasan zona I dengan kemiringan diatas 40%. Pada Zona II (kemiringan 15 40%) yang seharusnya diperuntukkan untuk tanaman perkebunan, namun kenyataanya penggunaan lahan aktual digunakan untuk sawah seluas 312.89 Ha. Hal ini seharusnya dihindari untuk mengurangi risiko kerusakan lingkungan seperti tanah longsor dan erosi. Pada zona III (kemiringan 8 15%) yang seharusnya ditanami dengan wanatani seperti perkebunan kakao, kelapa, cengkeh, pinang, lada, palawija, padi gogo, gude, kacang tanah, kedele, kacang panjang, jagung, singkong, ubi jalar, kacang panjang dan berbagai jenis palawija lainnya. Namun, hampir tidak ada penyimpangan penggunaan lahan pada zona IV. Kata Kunci : Penyimpangan Penggunaan Lahan, Zona Agroekologi, Daerah Aliran Sungai. PENDAHULUAN Perencanaan penggunaan lahan adalah penilaian secara sistematis terhadap potensi lahan dan alternatif penggunaan lahan serta kondisi sosial ekonomi dalam upaya memilih penggunaan lahan yang terbaik, tujuannya adalah memilih dan menetapkan penggunaan lahan yang terbaik dalam upaya memenuhi kebutuhan manusia dalam upaya melindungi sumberdaya untuk masa yang akan datang (FAO, 1993). Menurut Vink (1975) perubahan atau perkembangan penggunaan lahan dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu faktor alami dan faktor manusia. Faktor alami diantaranya adalah iklim, relief, tanah atau adanya bencana alam seperti gempa bumi atau banjir, sedangkan faktor manusia berupa aktivitasnya pada sebidang lahan. Faktor manusia dirasakan mempunyai pengaruh yang lebih dominan jika dibandingkan dengan faktor alami. Hal ini disebabkan karena sebagian besar perubahan penggunaan lahan ditentukan oleh aktivitas manusia dalam memenuhi kebutuhannya pada sebidang lahan yang spesifik, misalnya konversi lahan kawasan lindung menjadi areal perkebunan atau konversi lahan sawah menjadi tempat permukiman. Menurut Wiradisastra (1996) zona agroekologi adalah suatu konsep wilayah yang didefinisikan dengan pengertian agroekologi yang menyangkut aspek-aspek tanam-tumbuh di atas lahan dan menghasilkan interaksi antara tanaman dengan lahan pada kondisi iklim tertentu di wilayah tertentu. Konsep ini memerlukan 29 adanya parameter lahan dan sumberdaya alam seperti iklim, topografi, tanah dan vegetasi yang dirumuskan menjadi suatu zona. FAO (1978) mendefinisikan bahwa zona agroekologi adalah suatu wilayah yang relatif luas yang ditentukan berdasarkan kondisi iklim, bentuk wilayah (dalam katagori kasar), rejim hidrologi, pengelompokan jenis tanah (dalam katagori kasar) dan/atau vegetasi (semi) alami, yang cocok dan sesuai untuk suatu jenis tanaman dan kultivar tertentu. DAS Krueng Aceh memiliki beberapa sub DAS yakni Sub DAS Krueng Seulimeum, Krueng Jrue, Krueng Inong, Krueng Keumirue dan Krueng Aceh Bagian Hilir. Kondisi beberapa sub DAS tersebut pada umumnya mengalami degradasi akibat dari perubahan tataguna lahan, khususnya di bagian hulu (upper catchment area) dari masing-masing sub DAS. Kondisi ini cenderung memacu semakin meningkatnya nilai koefisien limpasan dari masing-masing sub DAS, yang pada gilirannya dapat memacu frekuensi banjir yang terjadi di DAS Krueng Aceh. Bencana banjir dan kekeringan yang terjadi merupakan dampak dari tidak harmonisnya penataan tataguna lahan di DAS Krueng Aceh. Perubahan tataguna lahan secara drastis dan signifikan telah terjadi dari tahun ke tahun. Hasil observasi lapangan menunjukkan bahwa telah terjadi perubahan penggunaan lahan di DAS Krueng Aceh bagian hulu. Alih fungsi lahan hutan mejadi penggunaan lainnya dapat diamati secara kasat mata. Selanjutnya, fenomena terjadinya longsor dan banjir di daerah hilir mempunyai kaitan erat dengan

Prosiding Seminar Hasil Penelitian Kebencanaan TDMRC-Unsyiah, Banda Aceh, 13 19 April 2011

ISSN 2088-4532 perubahan tata guna lahan tersebut. Oleh karena itu, perlu suatu kajian tentang perencanaan penggunaan lahan berdasarkan zona agroekologi di DAS Krueng Aceh. 2. METODOLOGI PENELITIAN 2.1. Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di DAS Krueng Aceh yaitu meliputi Kabupaten Aceh Besar dan Kota Banda Aceh. Kegiatan penelitian ini dilaksanakan mulai dari bulan Agustus 2010 sampai dengan Januari 2011 dan pengolahan data menggunakan Data Citra Satelit dan Geographic Information System (GIS). 2.2. Alat dan Bahan Alat yang digunakan adalah seperangkat peralatan komputer compatible seperti : PC AT Pentium, meja digitizer, digitizer dan plotter/printer, seperangkat perangkat lunak (software) yaitu Arc GIS, Arc View, ER MAPPER, sistem pakar dan SPSS versi 15 untuk analisis statistik, alat-alat laboratorium untuk analisis tanah dan peralatan survey. Selanjutnya, bahan yang digunakan adalah berupa Peta Rupa Bumi DAS Krueng Aceh (sebagai peta dasar) skala 1 : 50.000, Peta Jenis Tanah DAS Krueng Aceh skala 1 : 250.000, Peta Iklim DAS Krueng Aceh skala 1 : 50.000, Data Citra Satelit ALOS DAS Krueng Aceh Tahun 2009, Data Iklim, bahan-bahan kimia untuk analisis tanah di laboratorium. 2.3. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah metode survei terpadu (integrated survey) dan bersifat deskriptif, yaitu pemanfaatan data penginderaan jauh yang dilengkapi dengan survei lapangan, dan data skunder lainnya. Tahap-tahap kerja dalam penelitian ini adalah tahap persiapan yang meliputi pengumpulan data tanah dan iklim serta peta-peta baik peta dasar maupun peta tematik, dan laporan-laporan atau hasil penelitian. Data iklim yang dikumpulkan adalah data selama 10 tahun terakhir yaitu untuk akurasinya data. Interpretasi data citra satelit tahun 2009 untuk menentukan penggunaan lahan kondisi yang eksisting di DAS Krueng Aceh. Kemudian, overlay peta untuk mendeliniasi zona agroekologi dan menentukan karakteristik fisik lahan dan iklim pada masing-masing zona. Pengamatan lapangan dilakukan berdasarkan hasil dari interpretasi dan analisis peta dan mengevaluasi ulang hasil zonasi yaitu melihat : kedalaman efektif, kemiringan lereng, tekstur, drainase, perubahan tata guna lahan, pengambilan sampel tanah di lapangan. Pengambilan contoh tanah secara komposit dan masing-masing diambil sedalam 0-30 cm untuk tanaman pangan dan 30-60 cm untuk tanaman tahunan (tanaman perkebunan). Selanjutnya analisis laboratorium dilakukan menggunakan beberapa parameter yaitu tekstur, KTK, pH H2O, Kejenuhan basa, bahan organic, N-Total, P tersedia dan K dapat ditukar. 30 Penilaian kelas ketersediaan hara ditentukan berdasarkan kombinasi beberapa unsur hara makro tanah dan kriterianya (Puslittanak, 1981).

Analisis Analisis dalam penelitian ini terdiri dari beberapa tahap yaitu tahap pertama dimulai dengan analisis tipologi wilayah penelitian (analisis overlay). Pada tahap ini karakteristik lahan dan iklim menjadi parameter utama yang diidentifikasi. Keluaran pada tahap ini adalah deleiniasi zona agroekologi. Selanjutnya, tahap kedua dilakukan analisis kesesuaian (matching) karakteristik lahan dan iklim pada tiap zona agroekologi dengan sifat-sifat syarat tumbuh berbagai jenis tanaman dengan menggunakan sistem pakar Land Use. Pengelompokan zona agroekologi dilakukan berdasarkan perbedaan beberapa parameter biofisik yaitu lereng, iklim (suhu dan kelembaban udara) serta drainase. Selanjutnya, pada tahap ketiga untuk melihat penyimpangan penggunaan lahan dilakukan dengan membandingkan antara luas penggunaan lahan kondisi eksisting dan setelah dilakukan perencanaan penggunaan lahan menurut zona agroekologi dengan uji t dua sampel yang berpasangan satu arah (one tailed tests). 3. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 3.1. Morfologi Lahan Daerah Aliran Sungai (DAS) Krueng Aceh memiliki fisiografi datar, bergelombang, berbukit dan bergunung yang secara umum berada di Kabupaten Aceh Besar. Wilayah dengan topografi datar (0-8%) seluas 46.487,29 ha (23,50%) dari luas total wilayah DAS Krueng Aceh. Selanjutnya wilayah yang bergelombang (8-15%) seluas 26.421,16 ha (13,35%), berbukit (15-25%) seluas 9.338,96 ha (5%) dan agak bergunung (25-40%) seluas 2.368,86 ha (1,20%) serta sisanya merupakan wilayah yang bergunung (> 40%) seluas 113.236,06 ha (57,23%). 3.2. Hidrologi DAS Krueng Aceh terdiri dari beberapa sub DAS yaitu sub DAS Krueng Seulimum, DAS Krueng Keumireu, DAS Krueng Inoeng dan DAS Krueng Jreu serta Krueng Aceh bagian hilir. Seluruh aliran air dari sub DAS tersebut terkonsentrasi ke sungai utamanya yakni Sungai Krueng Aceh yang bermuara di hilir DAS (Lampulo-Banda Aceh). Untuk mengantisipasi banjir di Kota Banda Aceh maka aliran air sungai Krueng Aceh juga dialirkan melalui flood way ke Alue Naga Kota Banda Aceh. Dengan demikian aliran air sungai Krueng Aceh di hilir DAS nya terbagi ke dalam dua wilayah tersebut. 3.3. Iklim Berdasarkan data selama 10 (sepuluh) tahun terakhir yaitu tahun 2000 sampai 2009 iklim di DAS Krueng Aceh termasuk tipe curah hujan kelas B (basah) dengan nilai Q = 16/52 x 100 % = 0,3077 dan rata-rata

2.4

Prosiding Seminar Hasil Penelitian Kebencanaan TDMRC-Unsyiah, Banda Aceh, 13 19 April 2011

ISSN 2088-4532 curah hujan tahunan adalah sebesar 1225,9 mm dengan rata-rata hari hujan sebanyak 145 hari. Sejak tahun 2000 sampai 2009, jumlah curah hujan paling tinggi terjadi pada tahun 2009 yaitu 1.772 mm/thn, sedangkan yang paling sedikit tahun 2008 dengan jumlah curah hujan 1.207,4 mm/thn. 3.4. Jenis Tanah Jenis tanah yang terdapat di DAS Krueng Aceh didominasi oleh Latosol yaitu seluas 32.900,54 Ha (16,63%), Aluvial seluas 28.938,36 Ha (14,63%) dan Regosol seluas 15.581,93 Ha (7,88%). Selanjutnya, Komplek podsolik coklat podsol dan litosol seluas 38.325,06 Ha (19,37%), komplek renzina dan litosol seluas 31.135,68 Ha (15,74%) dan komplek podsolik merah kuning latosol dan litosol seluas 22.056,45 Ha (19,37%). Distribusi jenis tanah menunjukkan bahwa beberapa jenis tanah seperti Latosol dan Podsolik Merah Kuning terdapat pada daerah dengan kelerengan yang sangat curam (>40%), demikian juga dengan beberapa komplek tanah. Jenis tanah Latosol dan Podsolik merah kuning yang berada pada kelerengan sangat curam pada umumnya rentan terhadap terjadinya erosi dan longsor. Kondisi ini akan menjadi lebih parah jika jenis tanah tersebut tidak memiliki vegetasi (cover crops). 3.5. Sifat Fisika dan Kimia Tanah Hasil survey lapangan menunjukkan bahwa warna tanah bervariasi dari 2,5 YR (Yellow Red) 4/8 10 YR 5/6. Hasil analisis tanah di laboratorium menunjukkan bahwa tekstur tanah bervariasi dari liat sampai lempung berpasir. Derajat kemasaman tanah berkisar antara pH 4,02 7 yang tergolong kedalam masam, agak masam dan netral. Jenis tanah podsolik merah kuning, latosol dan podsolik coklat pada umumnya memiliki pH masam dan agak masam. Sementara itu, jenis tanah aluvial, regosol tergolong dalam netral. Kandungan C organik dan N total pada umumnya rendah. Selanjutnya Ptersedia dan K-dd secara umum tergolong ke dalam sangat rendah. Sementara itu, KTK tanah pada umumnya bervariasi yaitu rendah, sedang dan tinggi. Demikian juga dengan kejenuhan basa bervariasi dari sangat rendah, rendah, sedang dan tinggi. Secara umum tingkat kesuburan tanah di daerah penelitian tergolong rendah. 3.6. Penggunaan Lahan Aktual Pola penggunaan lahan di DAS Krueng Aceh bervariasi yaitu terdiri dari sawah (pertanian lahan basah), pertanian lahan kering, kebun/tanaman tahunan, hutan (hutan produksi dan hutan lindung), dan lain-lain. Penggunaan lahan aktual yang paling luas pemanfaatannya adalah untuk hutan yaitu hutan produksi dan hutan lindung seluas 89.991,11 Ha atau 45,48 persen, sedangkan yang paling sedikit pemanfaatannya adalah untuk pertanian lahan basah (sawah) yaitu seluas 4.614,87 Ha (2,33 %) dan kebun (tanaman tahunan) yaitu seluas 1.802,09 ha atau 0,91 persen. Sedangkan peruntukkan lain-lain yaitu digunakan untuk permukiman, peternakan, perikanan 31 (tambak). Umumnya penggunaan lahan hutan berada pada daerah yang mempunyai kemiringan lereng berbukit hingga curam di hulu DAS di sebelah Timur, Tenggara dan Barat. 3.7. Penggunaan Lahan berdasarkan Zona Agroekologi DAS Krueng Aceh mempunyai luas lahan seluas 197.852,34 Ha. Luas lahan ini, berdasarkan zona agroekologi terdiri dari 4 (empat) zona yaitu : zona I, II, III dan IV yang didasarkan atas kemiringan lereng, jenis tanah, ketinggian dan iklim. Zona I berada pada kelerengan > 40 % dengan fisiografi perbukitan sampai pegunungan. Pada zona ini, sistem pertanian yang dapat dikembangkan adalah sistem kehutanan meliputi hutan lindung dan hutan produksi. Hutan ini diperlukan di daerah hulu yang berfungsi sebagai kawasan konservasi dan penyangga (buffer) untuk memelihara lingkungan dan tata air. Kelerengan lahan banyak dipakai sebagai bahan pertimbangan mengingat bahaya erosi dan penurunan mutu/degradasi lahan yang merupakan ancaman nyata pada pertanian berlereng curam di daerah tropika basah. Luas Zona I sebesar 46.487,29 ha (23,49 %) dari total luas wilayah DAS Krueng Aceh. Penyebarannya terdapat di sembilan kecamatan yang terletak di bagian tenggara, selatan dan barat. Zona II berada pada lereng antara 16 40 % dengan fisiografi perbukitan, bergelombang hingga dataran. Pada zona ini, lebih ditujukan untuk usaha intensifikasi perkebunan dengan pola monokultur atau kebun campuran tanaman tahunan, perkebunan dan buah-buahan. Komoditas pertanian pada zona ini, disamping untuk tujuan produksi juga ditujukan untuk usaha konservasi. Luas zona ini adalah sebesar 26.421,16 ha (13,35%) dari total luas DAS, dan penyebarannya terdapat di tiga kecamatan yang terletak di bagian utara, timur, tenggara, selatan, dan barat. Zona III berada pada kelerengan 8 15 % dengan fisiografi perbukitan dan dataran. Pada zona ini dianjurkan untuk sistem wana tani (agroforestry) atau budidaya lorong, dimana tanaman semusim diusahakan bersamaan dengan tanaman keras (tanaman tahunan). Tanaman tahunan yang diusahakan pada sistem usahatani terpadu ini dapat berfungsi ganda yaitu disamping dapat menghasilkan buah, daun dan kayunya juga dapat memperbaiki iklim mikro dan menjaga lahan dari bahaya erosi dan longsor. Luas Zona III adalah sebesar 11.707,82 ha (5,92 %) dari total luas DAS Krueng Aceh dan penyebarannya juga terdapat di tujuh kecamatan. Zona IV berada pada kelerengan < 8 % dengan fisiografi datar hingga endapan alluvial. Sistem pertanian yang dapat dikembangkan adalah semua jenis komoditas untuk tanaman pangan. Luas lahan pada zona ini adalah sebesar 46.487,29 Ha (23,50 %) dan penyebarannya terdapat di 10 kecamatan. Dari ke empat zona tersebut, terlihat bahwa lahan yang paling luas menurut zona agroekologi adalah pada Zona I (kehutanan) yaitu seluas 113.236,06 Ha (57,23

Prosiding Seminar Hasil Penelitian Kebencanaan TDMRC-Unsyiah, Banda Aceh, 13 19 April 2011

ISSN 2088-4532 %), diikuti dengan Zona IV (tanaman pangan) yaitu seluas 46.487,29 Ha (23,50 %). Sedangkan yang paling sedikit adalah pada Zona II (Perkebunan) yaitu seluas 11.707,82 ha (5,92 %). 3.8. Penyimpangan Penggunaan Lahan Berdasarkan Zona Agroekologi Berdasarkan hasil analisis perbandingan antara penggunaan lahan aktual dengan zona agroekologi terdapat beberapa penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan zona agroekologi (Tabel 1). Hal ini disebabkan karena masyarakat menggunakan untuk aktivitas ekonomi pada kawasan DAS Krueng Aceh. Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa terdapat penyimpangan penggunaan lahan pertanian lahan kering campuran seluas 12.708,65 Ha dan kebun seluas 131.78 Ha dalam kawasan zona I dengan kemiringan diatas 40%. Alih fungsi lahan dari tanaman hutan menjadi tanaman perkebun di daerah yang mempunyai kemiringan di atas 40% dapat mengkibatkan terjadinya erosi dan longsor apalagi pada tanah-tanah yang peka terhadap erosi dan bersifat labil seperti tanah Podsolik Merah Kuning (Ultisol). Pada Zona II dengan kemiringan lereng antara 15 40% yang seharusnya diperuntukkan untuk tanaman perkebunan, namun kenyataanya penggunaan lahan aktual digunakan untuk sawah seluas 312.89 Ha. Seharusnya pada daerah dengan kemiringan antara 15 40% penggunaan lahan untuk kebutuhan sawah harus dihindari. Aktivitas kegiatan ekonomi masyarakat seperti tambak dan permukiman juga dilaksanakan di zona II ini. Hal ini seharusnya dihindari untuk mengurangi risiko kerusakan lingkungan seperti tanah longsor dan erosi. Pada zona II ini juga masih terdapat hutan lahan kering campuran seluas 2.010,31 Ha yang masih bisa dimanfaatkan sebagai daerah perkebunan. Pada zona III dengan kemiringan antara 8 15% yang seharusnya ditanami dengan wanatani seperti perkebunan kakao, kelapa, cengkeh, pinang, lada, palawija, padi gogo, gude, kacang tanah, kedele, kacang panjang, jagung, singkong, ubi jalar, kacang panjang dan berbagai jenis palawija lainnya. Namun demikian masih terdapat beberapa penggunaan lahan yang belum sesuai dengan prinsip zona agroekologi seperti masih terdapatnya sawah seluas 2.299,48 Ha, hutan lahan kering campuran seluas 4.266,59 Ha. Hal ini menunjukkan bahwa pemanfaatan lahan untuk komoditas wanatani dan palawija belum optimal. Alih fungsi lahan dari hutan lahan kering menjadi lahan untuk wanatani dan palawija perlu digalakkan dalam kawasan zona III ini agar produktifitas dari komoditas tersebut dapat optimal. Menurut pemetaan penggunaan lahan pada zona IV dengan kemiringan lereng datar sampai 8% telah menunjukkan kearah yang sesuai dengan prinsip zona agroekologi, dimana pada zona ini sebaiknya ditanami dan digunakan untuk lahan pertanian lahan basah dan pertanian lahan kering. Pada peta penggunaan lahan aktual dapat dilihat bahwa penggunaan lahan yang 32 dominan di zona ini adalah sawah seluas 10.007,93 Ha dan pertanian lahan kering campuran seluas 16.746,58 Ha atau sudah mengcover lebih dari 70% luas zona ini. Hampir tidak ada penyimpangan dari prinsip zona agroekologi untuk zona IV ini. Hutan lahan kering campuran seluas 1.659,55 pada zona IV juga terdapat dalam kawasan hutan dimana terdapat kemiringan di bawah 8% atau di daerah lembah diantara perbukitan. Tabel 1. Analisis Penyimpangan Penggunaan Lahan
Zona I I I I I I I II II II II II II III III III III III III III IV IV IV IV Pertanian lahan basah dan lahan kering Wanatani/budidaya tanaman lorong Budidaya tanaman perkebunan Kehutanan (hutan lindung dan Hutan produksi) Penggunaan Lahan Berdasarkan ZAE Penggunaan Lahan Aktual Hutan Lahan Kering Campuran Kebun Sawah Lain-Lain Semak Belukar Pertanian Lahan Kering Campuran Tanah Terbuka Hutan Lahan Kering Campuran Sawah Lain-Lain Semak Belukar Pertanian Lahan Kering Campuran Tanah Terbuka Hutan Lahan Kering Campuran Kebun Sawah Lain-Lain Semak Belukar Pertanian Lahan Kering Campuran Tanah Terbuka Hutan Lahan Kering Campuran Kebun Sawah Lain-Lain Luas (Ha) 81,275.54 131.78 343.43 1,327.69 10,295.04 12,708.65 7,153.93 2,010.31 312.89 179.11 8,661.95 203.17 340.39 4,266.59 6.15 2,299.48 156.87 3,953.12 13,545.50 2,193.44 1,659.55 1,061.60 10,007.93 9,248.92 Kesesuaian Penggunaan Lahan Sesuai Tidak Sesuai Tidak Sesuai Tidak Sesuai Tidak Sesuai Tidak Sesuai Tidak Sesuai Sesuai Tidak Sesuai Tidak Sesuai Tidak Sesuai Sesuai Tidak Sesuai Sesuai Sesuai Tidak Sesuai Sesuai dengan faktor pembatas Tidak Sesuai Sesuai Tidak Sesuai Sesuai Sesuai Sesuai Sesuai Sebagian dikonversi menjadi Mangrove/Wanamina dan hutan pantai Teknik konservasi tanah dan air Terasering Teknik konservasi tanah dan air Pakan Ternak Terasering Relokasi Pakan Ternak Budidaya tanaman perkebunan Teknik konservasi tanah dan air Rekomendasi Agroforesty Agroforesty Reboisasi/Relokasi Pakan Ternak Agroforesty

IV IV IV

Semak Belukar Pertanian Lahan Kering Campuran Tanah Terbuka Jumlah

5,299.02 16,746.58 2,463.69 197,852.32

Sesuai Sesuai Sesuai

Sumber : Hasil Analisis (diolah), 2011

Penyimpangan penggunaan lahan dapat menyebabkan tidak stabilnya fluktuasi air di DAS Krueng Aceh, meningkatnya erosi dan juga dapat menyebabkan terjadinya longsor. Oleh karena itu, penyimpangan penggunaan lahan ini harus diantisipasi sesuai dengan rencana tata ruang kabupaten Aceh Besar. 4. KESIMPULAN a. Penggunaan lahan berdasarkan zona agroekologi di DAS Krueng Aceh terdiri dari zona I (kehutanan), zona II (perkebunan), zona III (agroforestry) dan zona IV (tanaman pangan). b. Penyimpangan penggunaan lahan terhadap zona agroekologi adalah didominasi oleh pertanian lahan kering campuran seluas 12.708,65 Ha, kebun 131.78 Ha. 5. REKOMENDASI a. Pemanfaatan lahan di DAS Krueng Aceh harus sesuai dengan zona agroekologi khususnya pada daerah hutan dan pertanian lahan kering yang berada pada kelerengan yang curam. Hal ini penting untuk mengantisipasi atau mengendalikan dampak alih fungsi lahan yang mengakibatkan terjadinya erosi, longsor, kekeringan dan banjir. b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan untuk penyusunan tata ruang kabupaten Aceh Besar dan dapat dimanfaatkan oleh stakeholder lainnya untuk penelitian sejenis.

Prosiding Seminar Hasil Penelitian Kebencanaan TDMRC-Unsyiah, Banda Aceh, 13 19 April 2011

ISSN 2088-4532 6. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terimakasih kami sampaikan kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam penelitian ini. Penelitian ini dapat terselenggara dengan pendanaan yang bersumber dari UNDP-TDMRC dengan nomor kontrak 537.I/TDMRC-UNSYIAH/TU/XI/2010. Demikian juga kepada instansi yang terkait dalam penyediaan data sekunder dan masyarakat yang terlibat dalam penelitian ini, kami ucapkan terimakasih. Semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi pemerintah daerah dalam merencanakan tata guna lahan di DAS Krueng Aceh. 7. DAFTAR PUSTAKA Amien, I. (1995). An Agroecological Approach to Sustainable Agriculture. In S.E. Swaify et al (eds) Multiple Objective Decision Making for Land, Water and Environmental Management. St. Lucie Press Corporation. Delray. Florida (in press). Amien, I. (1998). Karakterisasi dan Analisis Zona Agroekologi. Pembahasan Pemantapan Metode Karakterisasi Zona Agroekologi. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor, 30 p. Arsyad, Sitanala, H.A. Priyanto dan L.I Nasoetion. (1985). Pengembangan Daerah Aliran Sungai. Lokakarya Pengembangan Program Studi Pengembangan DAS Fakultas Pascasarjana. IPB, Bogor. Beek, K.J. (1978). Land Evaluation for Agricultural Development. International Institut for Land Reclamation and Improvement/ILRI. Wageningen, The Netherland. Burrough P.A, McDonnell R.A. (1998). Principals of Geographical Information Systems: Oxford University Press. Dent, and A. Young. (1981). Soil Survey and Land Evaluation. George Allen and Unwin, Boston. FAO. (1976). A Framework for Land Evaluation; FAO Soil Buletin 32. Food and Agriculture Organization of the United Nation, Rome. Hardjowigeno, S. (1992). Penerapan Survei Tanah untuk Bidang Bukan Pertanian dalam Prosiding Pertemuan Teknis Perubahan Sistem Klasifikasi dan Metode Survei Tanah. Bogor. Izhar, L. (2002). Geo-spatial Analysis of Corn Production Areas in Isabela. Philippines. University of The Philippines Los Banos Masteral Thesis (Unpublished) pp. 1-8. Patel, N.R., Mandal, U.K. and Pande, L.M. (2000). Agro-ecological zoning system. A Remote Sensing and 33 GIS Perspective. Journal of Agrometeorology, 2 (1) : 113. Pratap, T., Pradhan, P., Lotta, P.K., Mya, S., Karim and Nakarmi, G. (1992). Geographic Information Systems and Technology application in Agro-ecological zonation of mountain agriculture. Eds. N.S. Jodha, M. Banskota and Tej Pratap, Oxford & IBH Publishing Co. Pvt. Ltd., New Delhi. Rhoades, R.E. (1987). Basic Field Techniques of Rapid Rural Appraisal. Prociding of The International Conference on Rapid Rural Appraisal. Rural Systems Research and Farming Systems Research Projects. Khon Kaen, Thailand. Sandy, I.M. (1973). Pola Penggunaan Tanah (Land Use) sebagai Indikator Tingkatan Pencemaran Lingkungan Hidup. Publikasi No. 33. Direktorat Tata Guna Tanah, Departemen Dalam Negeri, Jakarta. Talkurputra, M. Mad Darga T. Agustono dan Sugiarto Sarco. (1994). Tata Guna Tanah. Fakultas Pasca Sarjana, Universitas Padjadjaran, Edisi II. Vink, A.P.A. (1975). Landuse in Advancing Agriculture Spring Verlag. Berlin, Heidelberg, New York.

Anda mungkin juga menyukai