Anda di halaman 1dari 10

I Wayan Budiasa - Pertanian Berkelanjutan

Bab 5
MANAJEMEN LAHAN
UNTUK PERTANIAN BERKELANJUTAN:
KAJIAN PADA PROYEK SDIABKA

5.1 Pendahuluan
Lahan pesisir seperti pada wilayah Proyek the Sustainable Development of
Irrigated Agriculture in Buleleng and Karangasem (SDIABKA) umumnya berupa lahan
tidak subur dengan tingkat kehilangan air yang tinggi melalui perkolasi, evapotranspirasi,
dan run-off, serta air tanah menjadi sumber air utama. Luas lahan proyek sekitar 5.300 ha,
sepanjang 30 km dan lebar antara satu sampai tiga km yang mencakup wilayah 12 desa di
Kabupaten Buleleng dan Kabupaten Karangasem (PMU, 1995; 2003). Namun, luas lahan
efektif yang berhasil didukung oleh 39 sistem irigasi pompa pada proyek tersebut hanya
sekitar 703 ha.
Kedalaman muka air tanah pada jarak satu kilometer dari bibir pantai adalah 100 m
pada seluruh wilayah proyek, pada jarak 100 m dari bibir pantai berkisar antara 35 dan 50
m di bawah permukaan air laut. Proyek tersebut juga didukung oleh wilayah tangkapan
hujan seluas 13.500 ha (PMU, 1995). About 2,015 farmers were covered in the project.
Bagaimanapun, pengembangan sistem usahatani secara intensif mengarah pada
trade-off antara manfaat ekonomi dalam jangka pendek dan degradasi lingkungan dalam
jangka panjang (Herianto, 2002). Ekspansi usahatani di satu pihak menimbulkan beragam

Manajemen Lahan untuk Pertanian Berkelanjutan: Kajian pada Proyek SDIABKA 1


I Wayan Budiasa - Pertanian Berkelanjutan

masalah erosi (Barbier [Small, 2003]) dan praktek usahatani yang tidak teratur, di pihak
lain, menyebabkan erosi tanah yang kritis (Saragih, 1989). Erosi tanah yang berat telah
menurunkan kualitas lahan, dan secara cepat menurunkan produktivitas lahan atau
membuat lahan tidak sesuai lagi untuk pertanian (Saragih, 1989; Lal et al., 1990).
Fenomena ini mengancam operasi sistem pertanian dalam jangka panjang. Jadi,
peningkatan degradasi lingkungan mengarahkan sistem pertanian menjadi tidak
berkelanjutan (Sugino dan Hutagaol, 2004).
Pengalaman praktis ini bertujuan untuk menilai kesesuaian lahan, keseburan tanah,
erosi tanah, dan manajemen hara tanah untuk usahatani campuran berbasis irigasi air tanah
di Bali Utara

5.2 Metodologi

Lokasi studi pada wilayah proyek dengan kode sumur pompa TMB-59 di Desa
Tembok, Kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng telah dipilih secara sengaja dengan
pertimbangan: (1) termasuk skim yang baru dikembangkan, (2) kuantitas suplai irigasi
14,4 l/dt, (3) lahan usahatani efektif seluas 23.35 ha, dan (4) sistem usahatani campuran
dioperasikan oleh 42 petani.
Pengamatan tanah memerlukan peralatan: (1) augerlcore (Belgi type bore), (2)
hoe and shovel, (3) gauge, (4) stiletto knife, (5) munsell soil color chart book, (6) pH
electrode, (7) loupe, (8) handboard, (9) abney level, (10) binoculars, (11) compass, (12)
altimeter, dan (13) peta topografi untuk areal pada TMB-59. Material yang diperlukan
meliputi (1) botol dan air bersih, (2) kantong plastik untuk sampel tanah, (3) kertas label
untuk code sampel tanah, (4) kuesioner dalam format databased untuk mencatat
karakteristik lahan, dan (5) buku taksonomi tanah.
Pengamatan tanah dilaksanakan melalui (1) pengeboran (drilling), dan (2)
pembuatan minipit berukuran 0,5 m x 0,5 m x 0,5 m). Klasifikasi tanah dan evaluasi lahan
berbasis sampel tanah dilakukan pada tiga titik pengamatan tanah di wilayah TMB-59.
Sampel tanah dikumpulkan dari dua lapisan tanah pada setiap titik pengamatan sebanyak
0,5 – 1,0 kg. Disamping itu, sampel tanah berupa (1) undisturbed soil samples dengan
menggunakan ring dari beberapa lapisan tanah (0 – 0,27 m; 0,27 – 0,44 m; dan 0,44 – 1,05
m) untuk mendapatkan bulk density, permeability, electric conductivity; (2) composite soil
samples untuk analisis kesuburan tanah dikumpulkan dari beberapa titik pengamatan

Manajemen Lahan untuk Pertanian Berkelanjutan: Kajian pada Proyek SDIABKA 2


I Wayan Budiasa - Pertanian Berkelanjutan

melalui pengeboran kemudian dicampurkan menjadi sampel tanah homogen. Kemudian,


semua sampel tanah dianalisis pada Laboratorium Tanah Fakultas Pertanian Universitas
Udayana.
Penilaian kesesuaian lahan dan kesuburan tanah berdasarkan pengmatan lapang
dan hasil analisis laboratorium tanah. Hasil analisis kemudian dicocokkan dengan
parameter khusus dari kebutuhan hara tanaman oleh Sys et al. (1993) dan kriteria
kesesuaian lahan untuk komoditas pertanian oleh Djaenudin et al. (2000). Selanjutnya,
pendugaan tingkat erosi tanah menggunakan persamaan umum kehilangan tanah (USLE)
yang dikemukakan oleh Mitchell and Bubenzer (1980). Akhirnya, hasil pendugaan erosi
tanah dibandingkan dengan nilai Edp, sebagai dasar penyusunan rekomendasi kebijakan
dari hasil studi tersebut.

5.3 Hasil dan Pembahasan

5.3.1 Pembentukan dan Klasifikasi Tanah


Semua faktor pembentuk tanah: matrial utama, relief, organisme, dan waktu sangat
berpengaruh dalam proses pembentukan dan perkembangan tanah. Namun, faktor material
utama dan organisme memiliki peranan dominan ketimbang faktor lainnya.
Material utama sangat berpengaruh terhadap karakteristik tanah. Lahan di TMB-
59 memiliki tekstur seperti endapan pasir vulkanik, yaitu lempung berpasir (sandy loam).
Beberapa alas an yang dapat dipertimbangkan terhadap lambatnya perkembangan lahan
tersebut adalah rendahnya curah hujan tahunan, sekitar 1.477 mm/th dan distribusi curah
hujan bulanan tidak merata dalam setahun, yaitu minimum 0 mm/bulan dan maksimum
397 mm/bulan (BMG Wilayah III Denpasar, 2006). Di samping itu, keberadaan organisme
seperti sedikitnya vegetasi menyumbang sangat sedikit bahan oragnik terhadap proses
pembentukan tanah. Peranan manusia tidak optimal, diindikasikan oleh kurang intensifnya
manajemen lahan dan sedikitnya populasi ternak yang dapat menyumbang bahan organic
ke dalam tanah.
Dengan tipe iklim E (Schmidt dan Ferguson [Balai Penelitian Tanah, 2004]), dan
kurang intensifnya pengelolaan lahan telah menyebabkan sangat lambatnya proses
pembentukan dan perkembangan tanah di TMB-59 sehingga dikategorikan kedalam
Inceptisol order. Dalam kategori suborder, Inceptisol soil tersebut tergolong Usteps
karena memiliki regime Ustik menurut Badan Penelitian Tanah (2004). Rejim Ustik

Manajemen Lahan untuk Pertanian Berkelanjutan: Kajian pada Proyek SDIABKA 3


I Wayan Budiasa - Pertanian Berkelanjutan

adalah sebuah rejim dengan kandungan air tanah yang sangat terbatas tetapi dapat tersedia
bagi pertumbuhan tanaman. Selanjutnya, dalam kelompok yang lebih besar berdasarkan
klasifikasi dan sifat tanah (Djaenudin et al, 2000), tanah di TMB-59 tergolong kedalam
Plagepts karena secara aktual memiliki kedalaman lebih dari 50 cm, dengan klas texture
agak keras (ak), C-organik lebih besar dan/atau sama dengan 0,6 persen, pH lebih dari 0,5
dan kelembaban lebih dari 50 persen.

5.3.2 Kesesuaian Lahan

Menurut Djaenudin et al. (2000), evaluasi lahan adalah proses pendugaan kelas
kesesuaian lahan dan potensi lahan untuk penggunaan tertentu, pertanian dan non
pertanian. Potensi lahan untuk pengembangan pertanian pada dasarnya ditentukan oleh
kesesuaian antara sifat fisik dan kebutuhan tanaman. Kesesuaian antara sifat fisik lahan
dan komditas yang dievaluasi memberikan informasi bahwa komoditas tersebut secara
potensial dapat dikembangkan di lahan tersebut. Hal ini berarti penggunaan tertentu lahan
dengan beberapa pertimbangan termasuk kebutuhan input dapat menghasilkan output yang
diharapkan.
Kesesuaian lahan adalah kecocokan lahan untuk penggunaan tertentu seperti
pertanian beririgasi, kolam ikan, tanaman musiman atau tahunan (Djaenudin et al., 2000).
Hasil penilaian kesesuaian lahan untuk tanaman pangan , hortikultura dan agroforestri
disajikan pada Tabel 2-13.
Berdasarkan penilaian kesesuaian lahan untuk jagung, ubi kayu, kacang tanah, ubi
jalar, melon, cabe, pisang, jambu mete, coklat, kelapa, dan lontar, lahan di TMB-59
digolongkan memilki kesesuaian marginal (S3) dengan kondisi perakaran sebagai kendala
utama. Untuk tanaman mangga dan papaya, lahan di TMB-59 tergolong cukup sesuai (S2)
dengan root condition, nutrient retention, dan erosion hazard sebagai kendala utama,
sedangkan untuk rumput gajah lahan tersebut termasuk cukup sesuai dengan water
available, nutrient retention, dan erosion hazard sebagai kendala utama.
Komponen root condition yang berdampak pada kesesuaian lahan adalah tekstur
tanah dalam hal ini adalah lempung berpasir (sandy loam). Kandungan hara efektif tanah
tergolong rendah diindikasikan oleh cation exchangeable capacity (CEC) antara 5 dan 16
me/100 g sedangkan erosion hazard factor lebih dipengaruhi oleh slope gradient
ketimbang slope length (Baver; Schwab et al. [Nuarsa, 1991]). Utomo (Nuarsa, 1991)
menyatakan bahwa pengaruh dominan dari slope gradient terhadap soil erosion karena

Manajemen Lahan untuk Pertanian Berkelanjutan: Kajian pada Proyek SDIABKA 4


I Wayan Budiasa - Pertanian Berkelanjutan

adanya fakta bahwa slope gradient berpengaruh pada kecepatan dan volume pergerakan
permukaan tanah. Semakin besar slope gradient semakin sedikit waktu yang tersedia
untuk infiltration. Kemudian semakin cepat runoff semakin besar volume aliran dan erosi
tanah. Panjang lereng (slope length) hanya mempengaruhi volume runoff sehingga juga
mempengaruhi kemungkinan erosi tanah.

Tabel 2-13. Penilaian kesesuaian lahan untuk beberapa komoditas


Jenis Komoditas Lokasi (TMB-59)
Upland Middle Lowland
1. Jagung A S3 rc S3 rc S3 rc
P S3 rc S3 rc S3 rc
2. Ubi Kayu A S3 rc S3 rc S3 rc
P S3 rc S3 rc S3 rc
3. Kacang Tanah A S3 rc S3 rc S3 rc
P S3 rc S3 rc S3 rc
4. Ubi Jalar A S3 rc S3 rc S3 rc
P S3 rc S3 rc S3 rc
5. Melon A S3 rc S3 rc S3 rc
P S3 rc S3 rc S3 rc
6. Cabe A S3 rc S3 rc S3 rc
P S3 rc S3 rc S3 rc
7. Mangga A S2 rc nr eh S2 rc nr S2 rc nr
P S2 rc S2 rc S2 rc
8. Pepaya A S2 rc nr eh S2 rc nr S2 rc nr
P S2 rc S2 rc S2 rc
9. Pisang A S3 rc S3 rc S3 rc
P S3 rc S3 rc S3 rc
10. Jambu mete A S3 rc S3 rc S3 rc
P S3 rc S3 rc S3 rc
11. Kelapa A S3 rc S3 rc S3 rc
P S3 rc S3 rc S3 rc
12. Lontar A S3 rc S3 rc S3 rc
P S3 rc S3 rc S3 rc
13. Rumput gajah A S2 wa nr eh S2 wa nr S2 wa nr
P S2 wa S2 wa S2 wa
Catatan: A = actual, P = potential, S2 = moderately suitable, S3 = marginal suitable,
rc = root condition, nr = nutrient retention, eh = erosion hazard, and wa = water available.

Berdasarkan hasil evaluasi lahan, beberapa komotidas dapat dikembangkn di


TMB-59 dengan mempertimbangkan berbagai kendala utama. Tekstur tanah tak dapat
ditingkatkan sehingga klas kesesuaian lahan tetap tergolong S3 untuk jagung, ubi kayu,
kacang tanah, ubi jalar, melon, cabe, pisang, jambu mete, coklat, kelapa, dan lontar dan
tergolong S2 untuk mangga, papaya, dan rumput gajah. Meskipun klas tekstur tanah tak
dapat diperbaiki dalam waktu singkat, beberapa sifat tanah yang berkaitan dengan tekstur
dapat ditingkatkan seperti kandungan air tanah dan kemampuannya memegang hara.
Untuk meningkatkan produktivitas lahan, dapat dilakukan dengan menambahkan bahan
organic yang akan berdampak pada peningkatan kemampuan tanah memegang air dan

Manajemen Lahan untuk Pertanian Berkelanjutan: Kajian pada Proyek SDIABKA 5


I Wayan Budiasa - Pertanian Berkelanjutan

hara. Penambahan bahan organic juga meningkatkan CEC tanah sebagai upaya antisipasi
bagi nutrient retention factor. Sistem usahatani intensif seperti penggunaan benih
bermutu, persiapan lahan, pola tanam, irigasi, pemupukan, dan pengendalian hama
penyakit harus diupayakan untuk meningkatkan produktivitas lahan, dan juga memelihara
kesuburan tanah. Selanjutnya, erosion hazard khususnya slope gradient dapat diupayakan
dengan terasering dan peningkatan kerapatan pertanaman.

5.3.3 Kesuburan Tanah


Hasil penilaian kesuburan tanah sebagaimana disajikan pada Tabel 2-14,
mengindikasikan bahwa lahan usahatani di TMB-59 secara aktual tergolong lahan miskin
hara. Hal ini diakibatkan oleh rendahnya kapasistas tukar kation (CEC) dan rendahnya
kandungan bahan organic tanah. Peningkatan status kesuburan tanah tersebut dapat
dilakukan melalui penambahan pupuk organic sampai pada batas yang cukup. Aplikasi
penambahan bahan organik akan lebih baik dengan menggunakan pupuk kandang atau
kompos.

Tabel 2-14. Hasil analisis status kesuburan tanah


Sample CEC Saturation- P2O5 K2O C-organic Status
tanah based (SB) kesuburan
tanah
1 11,23 (R) 177,78 (T) 43,87 (T) 634,42 (T) 1,22 (R) R
2 10,58 (R) 188,23 (T) 21,73 (S) 633,25 (T) 1,62 (R) R
3 7,78 (R) 178,95 (T) 233,74 (T) 367,51 (T) 1,60 (R) R
4 7,21 (R) 160,01 (T) 8,44 (R) 197,55 (T) 1,20 (R) R
5 8,99 (R) 172,72 (T) 131,22 (T) 195,81 (T) 1,99 (R) R
6 8,29 (R) 189,99 (T) 27,31 (S) 458,89 (T) 0,81 (R) R
Notes: T = high, S = middle, R = poor

5.3.4 Konservasi Lahan

Pendugaan erosi tanah dengan menggunakan the universal soil loss estimation-
USLE (Mitchell and Bubenzer, 1980) memberikan tingkat kehilangan tanah sebesar 3,01;
1,76; dan 1,34 ton/ha/th berturut-turut pada dataran tinggi, sedang dan rendah di TMB-59
(Table 2-15).

Table 2-15. Erosion prediction dan erosion level


Lokasi pada Erosivity Erodibility LS Factor c CP Soil Loss Erosion
TMB-59 (R) a (K) b Factor (ton/ha/ Level d
year)
Up-land 558,35 0,1866 1,6147 0,08 e 3,01 Very light
L=7; S=13

Manajemen Lahan untuk Pertanian Berkelanjutan: Kajian pada Proyek SDIABKA 6


I Wayan Budiasa - Pertanian Berkelanjutan

Middle 558,35 0,1806 0,9744 0,08 1,76 Very light


L=8; S=6
Low-land 558,35 0,2525 1,0608 0,04 f 1,34 Very light
L=12; S=4
Catatan:
a. The rainfall erosivity factor based on Bollinne formulae, R = 159.56 + 0.27P (Darmawan, 2001)
where P=rainfall 1477 mm/year (BMG Wilayah III Denpasar, 2006); b. Soil erodibility factor
based on Wischmeier & Smith equation (Nuarsa, 1991) (Tabel 2-16); c. LS factor based on
Wischmeier and Smith equation (Nuarsa, 1991); L < 50 m is very short (FAO in Balai Penelitian
Tanah Deptan, 2004); 0% <S< 8% is flat, 8% <S< 15% is sloping; d. Erosion level classification
according to Greenland and Lal (in Nuarsa, 1991); e. Multiple cropping, middle densities, and
traditional terraces (Nuarsa, 1991); and f. Multiple cropping, high densities, and traditional
terraces (Nuarsa, 1991)

Table 2-16. Soil erodibility factor, K


Lokasi di Ukuran Kandungan Klas Permeability 100 K K Erodibility
TMB-59 partikel bahan struktur class Class *)
tanah oraganik tanah (c)
(M) (a) (b)
Up-land 2824,02 1,22 2 (sg) 1 (q) 18,66 0,1866 Low
Middle 2520,65 1,60 2 (sg) 2 (rq) 18,06 0,1806 Low
Low-land 2684,99 1,99 2 (sg) 4 (rt) 25,25 0,2525 Middle
Catatan: *) Soil erodibility class oleh Dangler and El-Swaify (Nuarsa, 1991); sg = smooth granular,
rt = rather tardy, rq = rather quickly, and q = quickly (Utomo [Nuarsa, 1991]).

Pendugaan the cropping management factor (C) dan the erosion control practice factor
(P) berdasarkan observasi lapangan, kemudian dibandingkan dengan nilai pada Tabel CP
yang diterbitkan oleh Pusat Penelitian Tanah Bogor (Nuarsa, 1991). Soil loss tolerance
adalah tingkat erosi tanah maksimal yang diijinkan (ditoleransi) dengan tetap memelihara
produktivitas lahan yang tinggi (Mitchell and Bubenzer, 1980). Pada TMB-59, tingkat
erosi lebih rendah daripada tingkat erosi tanah yang ditolerenasi (Table 2-17). Hal ini
berarti bahwa tindakan konservasi tanah tidak diperlukan sekali, tetapi perlu tindakan
pemeliharaan sehingga produktivitas lahan dapat berkelanjutan.

Table 2-17. Soil loss tolerance pada TMB-59


Lokasi di Kedalaman Faktor Umur Edp Bulk Edp
TMB-59 tanah kedalaman ekonomis (mm/th) Density (ton/ha/th)
(mm) tanah (th) (gr/cm3)
Up-land 1080 1,00 300 3,60 1,104 39,74
Middle 800 1,00 300 2,67 1,098 29,32
Low-land 1100 1,00 300 3,67 1,187 43,56

5.3.5 Manajemen Unsur Hara Tanah

Siklus hara tanah secara teoritis berdasarkan keseimbangan hara dalam ekosistem
tanah, tetapi dalam penelitian ini, pengelolaan hara tanah hanya mempertimbangkan

Manajemen Lahan untuk Pertanian Berkelanjutan: Kajian pada Proyek SDIABKA 7


I Wayan Budiasa - Pertanian Berkelanjutan

kebutuhan tanaman akan pupuk organik. Kebutuhan pupuk organik bagi tanaman
tahunan, setahun, dan semusim disajikan pada Tabel 2-18.
Kebutuhan pupuk organik (kandang) untuk berbagai komoditas tersebut pada lahan
usahatani seluas 23,352 ha pada TMB-59 adalah sekitar 308,66 ton/th (Tabel 2-18), tetapi
pupuk kandang yang diproduksi per tahun oleh petani sekitar 202,74 ton (Tabel 2-19). Ini
berarti terjadi defisit pupuk kandang sebesar 105,92 ton/th. Jumlah pupuk kandang yang
dibutuhkan tersebut dapat dipenuhi dengan menmabh sekitar 58 ekor sapi.

Table 2-18. Kebutuhan pupuk kandang pada beberapa jenis tanaman di


TMB-59
Tanaman Jumlah Kebutuhan pupuk
kandang
(ton/th) *)
Mangga 1082 pohon 43,28
Kelapa 739 pohon 29,20
Jambu mete 336 pohon 13,44
Pisang 4.882 pohon (31.962 m2) 97,46
Pepaya 513 pohon (5.109 m2) 30,78
Melon 2.180 m2 6,54
Ubi Jalar 22.700 m2 45,40
Cabe 800 m2 1,60
Rumput gajah 4.647 m2 16,26
Jagung 17.600 m2 17,60
Jagung + Kc. Tanah 3.000 m2 3,00
Jagung + Ubi kayu 4.100 m2 4,10
Total 233.520 m2 308,66
*) Berdasarkan hasil percobaan pada proyek SDIABKA.

Table 2-19. Populasi ternak dan potensi pupuk kandang yang dihasilkan per tahun
di TMB-59
Ternak Jumlah Potensi produksi
(unit) pupuk kadnag (ton/th) *)
Sapi 94 171,55
Babi 120 25,23
Kambing 17 3,09
Ayam 358 2,87
Total 202,74
*) USDA data (Logan, 1990)

5.4 Kesimpulan dan Rekomendasi

Tanah di lokasi studi termasuk inceptisol order dengan kedalaman lebih dari 50
cm, lempung berpasir, bertekstur agak kasar, C-organic kurang dari 2 persen, pH lebih dari
0.5, dan kelembaban lebih dari 50 persen. Ini berarti tanah tersebut tergolong kedalam
tanah tandus (miskin hara) karena rendahnya cation exchangeable capacity (CEC) yang

Manajemen Lahan untuk Pertanian Berkelanjutan: Kajian pada Proyek SDIABKA 8


I Wayan Budiasa - Pertanian Berkelanjutan

berada pada level antara 5 dan 16 me/100 gram dan rendahnya kandungan hara tanah.
Kemudian, lahan tersebut secara potensial memiliki kesesuaian marginal (S3) untuk
jagung, ubi kayu, kacang tanah, ubi jalar, melon, cabe, pisang, jambu mete, coklat, kelapa,
dan lontar dan cukup sesuai (S2) untuk mangga, pepaya dan rumput gajah.
Rata-rata panjang lereng dan kemiringan lereng pada wilokasi studi berturut-turut
were 9 meters dan 8 persen, dengan tingkat erosi tanah sangat ringan sebesar 2,036
tons/ha/th. Tingkat erosi ini lebih rendah dari the average soil loss tolerance sebesar
37,54 t/ha/th. Tingkat erosi ini erat kaitannya dengan tingkat erosi sebesar 2,04 tons/ha/th
hasil eksperimen laboratorium dengan kemiringan lereng 9 persendan dosis pupuk kadang
sapi 5 tons/ha/th (Sukartaatmadja et al., 2003).
Untuk meningkatkan kesuburan tanah dan produktivitas lahan dan untuk menjaga
tingkat erosi tanah tidak melebihi 2.036 t/ha/th, dapat dilakukan dengan penambahan
bahan organic dari pupuk kandang sapi minimal 5 t/ha/th. Tidak diperlukan sekali activitas
conservasi lahan karena secara actual tingkat erosi tanah di TMB-59 kurang dari tingkat
kehilangan tanah yang dapat ditolerenasi. Tetapi, diperlukan pemeliharaan lahan seperti
penambahan bahan organic untuk mengantisipasi semakin besarnya erosi tanah dan untuk
menjaga keberlanjutan produktivitas lahan.

Daftar Pustaka
Balai Penelitian Tanah, Deptan. 2004.Petunjuk Teknis Pengamatan Tanah. Bogor.
BMG Wilayah III Denpasar. 2006. Informasi Hujan dan Temperatur Daerah Gretek
(Kecamatan Tejakula) Tahun 1995 – 2004.
Budiasa, I Wayan. 2007. Optimization of Groundwater Irrigation-Based Farming System
Towards Sustainable Agriculture in North Coastal Plain, Bali. Unpublished Ph.D
Thesis. Agricultural Economics Study Program. Gadjah Mada University Graduate
School, Bulaksumur, Yogyakarta.
Budiasa, I W. and M. Mega, 2007. Land Management for Sustainable Agriculture in North
Coastal Plain of Bali. Journal of Socioeconomic of Agriculture and Agribusiness. Faculty
of Agriculture – Udayana University. Denpasar. Edition of February 2007.
Darmawan, D.P. 2001. Ketahanan Pangan Rumahtangga Tani dalam Konteks Pertanian
Berkelanjutan: Suatu Analisis Programasi Linier di Pedesaan Bali, Jawa Timur, dan
Yogyakarta. Disertasi tidak dipublikasikan. Program Studi Ekonomi Pertanian,
UGM, Yogyakarta.
Djaenudin D., Marwan H., H. Subagyo, Anny Mulyani, dan N. Suharta. 2000. Kriteria
Kesesuaian Lahan Untuk Komoditas Pertanian. Balitbang Pertanian. Deptan.
Bogor.
Dobermann, A. and T. Fairhurst. 2000. Rice: Nutrient Disorders and Nutrient
Management. Oxpord Graphic Printers Pte Ltd. (Chapter 2)
Edwards, C.A; R. Lal; P, Madden; R.H. Miller and G. House (Eds.). 1990. Sustainable
Agricultural System. Soil and Water Conservation Society (Chapter 7 & 32)

Manajemen Lahan untuk Pertanian Berkelanjutan: Kajian pada Proyek SDIABKA 9


I Wayan Budiasa - Pertanian Berkelanjutan

Herianto, A.S. 2002. A Quantitative Study on the Adoption of Soil Mining Leaf Banana
Cropping Systems in A Montaineous Village of West Java, Indonesia Using Plot-
Wise and Household Data. Unpublished Ph.D. Thesis.
Jacob, Agustinus. 2008. Metode dan Teknik Pengambilan Contoh Tanah dan Tanaman
dalam Mengevaluasi Status Kesuburan Tanah. Jurnal Ilmu Kesuburan Tanah. Edisi
Januari 2008.
Kasryno, F., Effendi P., dan Hermanto. 1997. Pengelolaan Irigasi dan Sumberaya Air
Berorientasi pada Efisiensi, Pemberdayaan Petani dan Peningkatan Kemampuan
Swasta. Badan Litbang Pertanian, Deptan, Jakarta.
Kwaschik, R, R.B. Singh, dan R.S. Paroda. 1996. Technology Assessment and Transfer
for Sustainable Agriculture and Rural Development in the Asia-Pacific Region. A
Research Management Perspective, FAO.
Lal, R.; D.J. Eckert; N.R. Fausey and W.M. Edwards. 1990. Conservation Tillage in
Sustainable Agriculture. In Edwards, C.A; R. Lal; P, Madden; R.H. Miller and G.
House (Eds.). Sustainable Agricultural System. Soil and Water Conservation
Society.
Logan, T.J. 1990. Sustainable Agriculture and Water Quality. In Edwards, C.A; R. Lal; P,
Madden; R.H. Miller and G. House (Eds.). Sustainable Agricultural System. Soil
and Water Conservation Society.
Miller, F.P. and W.E. Larson, 1990. Lower Input Effect on Soil Productivity and Nutrient
Cycling. In Edwards, C.A; R. Lal; P, Madden; R.H. Miller and G. House (Eds.).
Sustainable Agricultural System. Soil and Water Conservation Society.
Mitchell and Bubenzer. 1980. Soil Loss Estimation. In Kirkby and Morgan, 1980. Soil
Erosion. John Wiley and Sons.
Nuarsa, I W. 1991. Prediksi Erosi dengan Metode Persamaan Umum Kehilangan Tanah
dan Perencanaan Konservasi Tanah di DAS Betel Karangasem. Skripsi Tidak
Dipublikasikan. Universitas Udayana, Denpasar.
Project Management Unit. 1995. Groundwater Resources Assessment. Separate Technical
Report. Singaraja, Bali.
Project Management Unit. 2003. Overall Work Plan: The Sustainable Development of
Irrigated Agriculture in Buleleng and Karangasem (SDIABKA). IDN/RELEX/
2001/0087. Singaraja, Bali.
Saragih, B. 1989. Farm Modeling to Increase Farmers’ Income in the Citanduy Watershed,
Indonesia. Farm Management Notes for Asia and the Far East Maliwan Mansion,
Phra Atit Road: FAO (12).
Small, M. 2003. “Review on How has Indonesia’s Desire for Food Self Sufficiency in
Rice Compromised it’s Ability to Address the Issues of Sustainable Agricultural
Development ?” http://www.colby.edu/personal/t/thtieten/ag-ind.html. July 16,
2006.
Sugino, T. and P. Hutagaol. 2004. Policy Framework for Poverty Reduction by Realizing
Sustainable Diversified Agriculture through the Development of Secondary Crops.
Palawija News The UNESCAR-CAPSA Newsletter. UNESCAP-CAPSA
Publication Section, 21 (3): 1-6, Bogor.
Sukartaatmadja, S.; Y. Sato; E. Yamaji; and M. Ishikawa. 2003. Studies of Manure, Latex
Natural Rubber and Blotong for Decreasing Soil Erosion and Runoff in Indonesia
Latosol Soil. In Hayashi, Y, S. Manuwoto, and S. Hartono, 2003. Sustainable
Agriculture in Rural Indonesia. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Sys, C., E. Van Ranst., J. Debaveye., dan F. Beernaert. 1993. Land Evaluation.
Agricultural Publications – No 7, Belgium.

Manajemen Lahan untuk Pertanian Berkelanjutan: Kajian pada Proyek SDIABKA 10

Anda mungkin juga menyukai