Anda di halaman 1dari 13

TEKNOLOGI KONSERVASI SUMBERDAYA LAHAN

Studi Kasus Kerusakan Lahan Akibat Erosi Tanah Dan Langkah-Langkah Teknis
Penanggulangannya

Disusun Oleh :

Nama : Ivhohanna Praharani


NIM : 175040207111160
Kelas : A

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2019
Bab I
Latar Belakang
Secara umum kualitas tanah (soil quality) didefinisikan sebagai kapasita
tanah untuk berfungsi dalam suatu ekosistem dalam hubungannya dengan daya
dukungnya terhadap tanaman dan hewan, pencegahan erosi dan pengurangan
pengaruh negatif terhadap sumberdaya air dan udara (Karlen et al ., 1997).
Kualitas tanah dapat dilihat dari 2 sisi: (i) sebagai kualitas inherent tanah (inherent
soil quality ), ditentukan oleh lima faktor pembentuk tanah, atau (ii) kualitas tanah
yang bersifat dinamis (dynamic soil quality), pengaruh penggunaan dan
pengelolaan tanah oleh manusia (Seybold et al.,1999). Karena bersifat kompleks,
kualitas tanah tidak dapat diukur, namun dapat diduga dari sifat-sifat tanah
yang dapat diukur dan dapat dijadikan indikator dari kualitas tanah (Acton
dan Padbury dalam Islam dan Weil, 2000). Minimum data set yang berpotensi
untuk menilai kualitas tanah adalah: indikator fisik, indikator kimia, dan indikator
biologi tanah (Doran dan Parkin, 1994; Larson dan Pierce, 1994). Meskipun
banyak sifat sifat tanah yang potensial untuk dijadikan indikator kualitas tanah,
namun pemilihan sifat-sifat tanah yang akan digunakan untuk indikator kualitas
tanah sangat tergantung pada tujuan evaluasi. Karlen et al. (1997) menyatakan
bahwa untuk mengimplementasikan penilaian kualitas tanah, perlu dilakukan
identifikasi indikator-indikator yang sensitif terhadap praktek produksi pertanian.
Jangka waktu pengelolaan lahan juga akan berpengaruh terhadap pemilihan
parameter yang akan digunakan. Idealnya indikator-indikator tersebut dapat
dideteksi perubahannya dalam jangka pendek (1-5 tahun).
Sumberjaya adalah pintu gerbang Lampung barat dari Bukit kemuning
yang berbatasan dengan Lampung Utara, saat ini Sumberjaya sudah dibagi
beberapa yaitu kecamatan, yaitu Kec Waytebu, Kec Guneg Terang, Kec Air Hitam
Kec pajar Bulan. Pada daerah Sumberjaya Lampung ini memiliki kerusakan yang
diakibatkan oleh degradasi lahan. Kondisinya kering dan hanya sedikit daerahnya
ditanami oleh tanaman. Selain itu, bentuk lahannya yang miring membuat
kerusakan ini melebar jika tidak segera diatasi. Banyak pohon pohon yang di
tebang, tetapi tidak ada penanaman kembali. Hal ini lah yang menyebabkan
kerusakan itu. Akibatnya, terjadi lonsor dan erosi.
Permasalah ini berawal ketika ada seseorang atau ekumpulan orang yang
menggunakan lahan tersebut dengan tidak bertanggungjawab dan pengetahuan
yang dangkal tentang apa yang dibutuhkan lahan terutama dilahan yang miring.
Selain itu degradasi sumber daya tanah disebabkan oleh semakin luasnya areal
semak-semak belukar dan tanah gundul bekas penebangan hutan ilegal dan
peladangan bakar yang tidak dihijaukan kembali. Sehinga terjadi penurunan
tingkat kesuburan tanah/lahan untuk budidaya pertanian, karena siklus
pemanfaatan lahan yang terlalu intensif tanpa upaya penyuburan kembali
(refertilization). Hal ini menyebabkan bertambahnya areal lahan kritis akibat
dibiarkan begitu saja dan terbakar setiap tahun.
Penebangan hutan juga menyebabkan semakin kecilnya debit air sungai
dari tahun ke tahun. Ada perbedaan debit air sungai pada musim hujan dengan
musim kemarau secara signifikan. Semakin dalamnya permukaan air tanah dan
mengeringnya sumur penduduk di daerah ketinggian maupun dataran rendah.
Adanya penetrasi air asin pada sumur penduduk di beberapa kota pantai/pesisir.
Di kota semakin kecilnya “Catchment Water Areas” (daya serap lahan terhadap
curahan air hujan) karena adanya betonisasi tanah, baik untuk gedung, jalan,
trotoar atau lahan parkir. Semakin tingginya pencemaran air sungai, terutama
sungai di kota-kota besar, tersumbatnya DAS dengan sampah menyebabkan
ancaman banjir semakin besar.
Sementara itu penduduk setempat yang perduli hutan tidak berdaya
menghadapinnya. Akibat lebih lanjut penduduk setempat yang semula peduli dan
mencintai hutan serta memiliki sikap moral yang tinggi terhadap lingkungan
menjadi frustasi, bahkan kemudian sebagian dari mereka turut terlibat dalam
proses illegal logging tersebut. Masalah tersebut di atas masing terus berlangsung
sampai sekarang, menyebabkan dampak negatif yang meluas dan
berkepanjangan.
Kegagalan program reboisasi dan reklamasi juga menjadi penyebab utama
degradasi lingkungan. Upaya reboisasi hutan yang telah ditebang dan reklamasi
lubang/tanah terbuka bekas galian tambang sangat minim hasilnya karena
prosesnya memerlukan waktu puluhan tahun dan dananya tidak mencukupi
karena banyak disalahgunakan (dikorupsi). Hal ini membuktikan bahwa
pengetahuan dan kesadaran atas pentingnya pelestarian lingkungan hidup, baik
di kalangan pejabat maupun warga masyarakat sangat rendah. Kebakaran hutan
reboisasi diduga ada unsur kesengajaan untuk mengelabui reboisasi yang tidak
sesuai ketentuan (manipulasi reboisasi).
Maka untuk memulai mereduksi degradasi lingkungan hidup memang tidak
bisa dilakukan secara instan, perlu langkah-langkah komprehensif dan
berkesinambungan salah satunya adalah melalui jalur pendidikan formal maupun
non-fomal. Sehingga diharapkan timbul kesadaran secara massal terhadap diri
individu untuk menghormati lingkungan hidup yang ada di sekitarnya. Menurut
Sartohadi (2008), semakin rentannya daerah terjadi degradasi lahan maka
seharusnya dilakukan evaluasi kemampuan lahan. Fungsi evaluasi kemampuan
lahan adalah memberikan pengertian tentang hubungan antara kondisi lahan dan
penggunaannya serta memberikan kepada perencana berbagai perbandingan dan
alternatif pilihan penggunaan yang dapat diharapkan berhasil. Adanya
pengetahuan tekanan penduduk terhadap lahan pertanian, dimaksudkan untuk
mengetahui pengaruh tekanan penduduk agraris terhadap kelestarian lahan
pertanian. Apabila penduduk dapat mengkonversi lahan sesuai dengan
kemampuan suatu lahan maka diharapkan degradasi alam pada kawasan ini
dapat dihindari.
Pengalih fungsian lahan yang tidak bijak dapat membuat suatu
penggunaan lahan yang seharusnya digunakan berubah menjadi sesuai dengan
yang petani inginkan namun malah memberikan dampak buruk dari waktu ke
waktu. Tanpa petani sadari walaupun pengalih fungsian lahan yang mereka
lakukan menghasilkan namun pada jangka panjang akan memberi dampak buruk
berupa erosi hingga degradasi lahan. Hal tersebut bisa mengakibatkan lapisan top
soil yang mengandung banyak bahan organic terbawa oleh air. Hal tersebut dapat
mengakibatkan lahan tidak lagi berpotensi untuk dilakukan penanaman. Apabila
dilakukan penanaman bisa saja namun memberikan hasil yang kurang maksimal
dan tidak sesuai dengan yang petani harapkan. Dan apabila ingin melakukan
konversi membutuhkan waktu yang cukup lama.
Banjir dan erosi yang terjadi di tentunya akan memberikan dampak serius
pada produksi tanaman pada kawasan pertanian tentunya juga pada lingkungan
sekitar. Sesuai dengan Sihite (2001) Erosi dan banjir dapat menurunkan kualitas
dan kuantitas sumberdaya alam. Produksi pertanian, perikanan dan penggunaan
sumberdaya alam yang berkaitan dengan air akan menurun. Dampak erosi tanah
pada pertanian merupakan dampak yang dapat terlihat langsung kepada
pengelola lahan sesuai dengan Sihite (2001) dampak yang ditimbulkan akibat
erosi tanah yaitu berupa penurunan produktivitas. Hal ini berdampak pada
kehilangan produksi, peningkatan penggunaan pupuk dan kehilangan lapisan olah
tanah. Hilangnya lapisan olah tanah dapat berakibat buruk yang akhirnya
mengakibatkan timbulnya tanah kritis.
Dampak erosi tanah di luar lahan pertanian yaitu pada lingkunga sekitar
antara merupakan dampak yang memiliki pengaruh yang sangat besar. Sedimen
yang terbawa erosi tanah dan kontaminan yang terbawa bersama sedimen dapat
menimbulkan kerugian dan biaya yang sangat besar dalam kehidupan. Sesjuai
dengan Sihite (2001). Bentuk dampak erosi tanah bagi lingkungan antara lain
adalah pelumpuran dan pendangkalan waduk, tertimbunnya lahan pertanian dan
bangunan, memburuknya kualitas air dan, kerugian ekosistem perairan.
Untuk menanggulangi hal tersebut dapat dilakukan pembersihan saluran
irigasi yang tertumpuki sampah agar air dapat mengalir dengan semestinya ke
lahan – lahan pertanian. Selain penanganan tentunya perlu diadakan sebuah
pencegahan yaitu dengan tidak merubah penggunaan lahan secara berlebihan
Sihite (2001) Menyampaikan bahwa Proses perubahan penggunaan lahan ini
selain menghasilkan manfaat yang dapat dinikmati oleh masyarakat juga tidak
lepas dari resiko terjadinya kerusakan lahan akibat erosi, pencemaran lingkungan,
banjir dan lainnya. Upaya pencegahan banjir dan sedimentasi dapat dilakukan
dengan perbaikan pola penggunaan lahan dan melakukan usaha konservasi tanah
dan air. Upaya ini umumnya masih jarang dilakukan terutama karena aktivitas ini
masih dihitung sebagai biaya sosial dan bukan sebagai aktivitas ekonomi yang
menguntungkan. Untuk itu perlu dikembangkan evaluasi pola penggunaan lahan
yang dapat mengurangi erosi, banjir tetapi secara ekonomi menguntungkan.
Evaluasi ini harus juga mengukur nilai ekonomi dari manfaat atau kerugian
lingkungan yang terjadi baik langsung maupun tidak langsung.
Sihite (2001) Menyampaikan bahwa penggunaan lahan dalam mengurangi
dampak lingkungan dan memberikan manfaat ekonomi bagi penduduk masih
membutuhkan kajian. Untuk mencari pola tataguna lahan yang optimal dibutuhkan
penelitian pada berbagai pola tataguna lahan. Upaya ini membutuhkan waktu dan
biaya besar, sehingga digunakan pendekatan analisis sistem. Dengan pendekatan
sistem, apa yang akan terjadi bila digunakan perubahan pola tataguna lahan di
suatu DAS dapat diketahui. Pendekatan sistem dapat dilakukan dengan
menggunakan eksperimentasi atau simulasi sehingga pengaruh dari beberapa
model penggunaan lahan terhadap banjir dan sedimentasi serta manfaat ekonomi
dapat diketahui. Simulasi akan dikembangkan dengan model 3 ekosistem DAS
yang merupakan gambaran abstrak dari keadaan DAS. Dengan demikian akan
diketahui model penggunaan lahan yang paling sesuai dengan kondisi agroklimat
dan kondisi sosial masyarakat dan secara ekonomi bermanfaat bagi peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Pemanfaatan lahan secara intensif dan tidak disertai
penerapan teknik konservasi tanah dan air dapat menyebabkan erosi pada lahan
pertanian.
Selain itu untuk menghindari adanya erosi dan banjir perlu diadaknya
pengolahan lahan pada daerah daerah dengan topografi yang rawah terhadap
erosi. Pengelolaan dapat dilakukan dengan penambahan bahan organic. Menurut
Febrianty (2018) Unsur organik cenderung memperbaiki struktur tanah dan
bersifat meningkatkan permeabilitas tanah, kapasitas tampung air tanah, dan
kesuburan tanah. Kumpulan unsur organik di atas permukaan tanah dapat
menghambat kecepatan air limpasan dan dengan demikian menurunkan
terjadinya erosi. Struktur tanah mempengaruhi kapasitas infiltrasi tanah, dimana
struktur tanah granuler memiliki keporousan tanah yang tinggi sehingga akan
meningkatkan kapasitas infiltrasi tanah. Permeabilitas memberikan pengaruh
pada kemampuan tanah dalam meloloskan air, tanah dengan permeabilitas tinggi
menaikkan laju infiltrasi.
Penambahan vegetasi juga dapat dilakukan karena memungkinkan akar
tanaman tersebut dapat menahan atau mengikat tanah dengan kuat, sehingga
apabila terjadi hujan secara terus menerus tanah tidak akan mudah terkikis oleh
air. Sebelum melakukan penanaman maka perlu adanya perbaikan lahan atau
tanah, agar tanah tersebut baik untuk ditumbuhi tanaman. Tanah yang tererosi
berat atau dipakai kultivasi dengan intensif harus dipulihkan produktivitasnya
dengan pemberian pupuk yang intensif pula supaya produktivitasnya tetap atau
lebih baik. Konservasi tanah dan air bertujuan untuk mencegah kerusakan tanah,
memperbaiki tanah yang rusak serta mencegah potensi terjadinya erosi. Perlunya
dilakukan konservasi tanah dan air untuk mencegah terjadinya erosi dengan
metode secara mekanik dan vegetative. Erosi yang tidak terkendali dapat
mengganggu keselutruhan dari ekosistem. Jaga memungkinkan adanya
penyebaran hama dan penyakit hingga mengundang kemunkinan penggunaan
pestisida, yang dari kita ketahui memiliki dampak buruk bagi lingkungan dan juga
ekosistem.
Bab II
Rekomendasi Strategi Konservasi Tanah dan Air
Konservasi tanah menurut Arsyad (2006), adalah penempatan setiap
bidang tanah pada cara penggunaan yang sesuai dengan kemampuan tanah
tersebut dan memperlakukannya sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan
agar tidak terjadi kerusakan tanah. Konservasi tanah secara umum diartikan
sebagai penempatan tanah pada cara penggunaan yang sesuai dengan
kemampuan tanah tersebut dan memperlakukannya sesuai dengan syarat-syarat
yang diperlukan agar tidak terjadi kerusakan tanah. Dalam arti sempit konservasi
tanah sendiri adalah upaya untuk mencegah kerusakan tanah oleh erosi dan
memperbaiki tanah yang rusak oleh erosi.
Konservasi air pada prinsipnya adalah penggunaan air yang jatuh
ke tanah untuk pertanian seefisien mungkin dan pengaturan waktu aliran air
dengan cara meresapkan air ke dalam tanah agar pada musim hujan tidak terjadi
banjir dan pada musim kemarau air untuk kebutuhan hidup masih tersedia.
Konservasi tanah dan air sebagaimana dijelaskan di awal artikel
merupakan suatu hal yang sangat penting. Intinya KTA ini bertugas untuk
memelihara tanah dan air dari kerusakan. Kerusakan yang dapat terjadi pada
tanah di antaranya adalah:

 Hilangnya unsur hara dan bahan organik di daerah perakaran tanah

 Terakumulasinya garam di daerah perakaran (salinisasi) atau secara


sederhana disebut juga pengumpulan senyawa beracun bagi tanaman

 Jenuhnya air tawar pada akar atau batang bagian bawah suatu tanaman

 Erosi
Sedangkan jenis-jenis kerusakan yang dapat terjadi pada badan air adalah:
 Mengeringnya mata air akibat volme air tanah yang semakin sedikit
 Menurunnya kualitas air akibat adanya sedimen hasil erosi
 Tercampurnya limbah
 Masuknya unsur hara pada badan air sehingga terjadi eutrofikasi
Permasalahan-permasalahan yang terjadi di tanah maupun air tersebut
dapat diatasi salah satunya dengan menggunakan teknik konservasi tanah dan
air. Metode konservasi tanah sendiri dibagi menjadi metode vegetatif, mekanik,
dan kimiawi.
a) Metode Vegetatif
Metode vegetatif adalah penggunaan tanaman atau bagian-bagian
tanaman atau sisa-sisanya untuk mengurangi daya tumbuk butir air hujan yang
jatuh, mengurangi jumlah dan kecepatan aliran permukaan yang pada akhirnya
mengurangi erosi tanah (Arsyad 2006). Beberapa teknik konservasi tanah dan air
yang bisa diterapkan di antaranya adalah Pertanaman lorong (alley cropping)
adalah konservasi tanah dan air dengan sistem bercocok tanam barisan tanaman
perdu leguminosa ditanam rapat (jarak 10-25 cm) mengikuti garis kontur (nyabuk
gunung) sebagai tempat pagar. Menerapkan teknik ini pada lahan yang miring jauh
lebih murah biayanya daripada membuat teras bangku. Teknik ini pun cukup efektif
dalam menahan erosi. Setelah 3-4 tahun setelah pembuatan tanaman lorong
maka akan tercipta teras dengan sendirinya, hal ini pulalah yang menyebabkan
metode ini disebut teras kredit.
Sistem silvopastura merupakan salah satu bentuk dari sistem tumpangsari.
Prinsip dari sistem ini adalah menanam pakan di bawah tegakan pohon. Pakan
ternak ini dapat berupa rumput gajah, setaria, dan lain-lain. Di Indonesia sendiri
dikenal beberapa macam teknik silvopastura, di antaranya adalah (1) tanaman
pakan di hutan tanaman industri, (2) tanaman pakan di hutan sekunder, (3)
tanaman pohon-pohonan sebagai tanaman penghasil pakan, dan (4) tanaman
pakan sebagai pagar hidup.
Pemberian mulsa bermaksud untuk menutupi permukaan tanah agar
terhindar dari pukulan butiran hujan. Pemberian mulsa merupakan salah satu cara
yang paling efektif dalam mencegah erosi, terutama jenis erosi percik. Mulsa yang
berasal dari bahan organik memiliki fungsi lain, yaitu memberikan bahan-bahan
organik pada tanah. Bahan organik yang dapat dijadikan mulsa dapat berasal dari
sisa tanaman, hasil pangkasan tanaman pagar dari sistem penanaman lorong,
hasil pangkasan tanaman penutup tanah, atau didatangkan dari luar lahan
pertanian.
b) Metode mekanik.
Metode ini merupakan semua perlakuan fisik mekanik yang diberikan tanah
dan pembuatan bangunan untuk mengurani aliran permukaan dan erosi, dan
meningkatkan kemampuan penggunaan tanah. Metode mekanik dalam KTA dapat
berupa pengolahan tanah, guludan, teras, penghambat, waduk, rorak, perbaikan
drainase, irigasi, sumur resapan, lubang resapan.
c) Metode KTA secara kimia
Metode ini merupakan usaha pencegahan erosi yaitu dengan pemanfaatan
soil conditioner atau bahan pemantap tanah dalam hal memperbaiki struktur tanah
sehingga akan tahan terhadap erosi.
Untuk mencapai keberlanjutan produktivitas lahan perlu dilakukan tindakan
konservasi tanah dan air. Hal tersebut dapat dicapai dengan menerapkan
teknologi konservasi tanah secara vegetatif dan mekanik. Konservasi tanah
vegetatif mencakup semua tindakan konservasi yang menggunakan tumbuh-
tumbuhan (vegetasi), baik tanaman legum yang menjalar, semak atau perdu,
maupun pohon dan rumput-rumputan, serta tumbuh-tumbuhan lain, yang ditujukan
untuk mengendalikan erosi dan aliran permukaan pada lahan pertanian. Tindakan
konservasi tanah vegetatif tersebut sangat beragam, mulai dari pengendalian erosi
pada bidang olah atau lahan yang ditanami dengan tanaman utama, sampai
dengan stabilisasi lereng pada bidang olah, saluran pembuangan air (SPA),
maupun jalan kebun.
Menurut Brata (2000) untuk mencegah dampak dari erosi tersebut maka
digunakan konservasi tanah dan air yang menggunakan metode secara mekanik.
Konservasi tanah mekanik adalah semua perlakuan fisik mekanis yang diberikan
terhadap tanah dan pembuatan bangunan yang ditujukan untuk mengurangi aliran
permukaan dan erosi serta meningkatkan kelas kemampuan tanah. Tujuan dari
konservasi tanah dan air adalah mencegah kerusakan tanah dan memperbaiki
tanah – tanah yang rusak agar dapat tercapai produksi yang setinggi - tingginya
dalam waktu yang tidak terbatas. Selain itu konservasi merupakan usaha – usaha
untuk menjaga agar tanah tetap produktif atau memperbaiki tanah yang rusak
karena erosi. Tanah yang tererosi berat atau dipakai kultivasi dengan intensif
harus dipulihkan produktivitasnya dengan pemberian pupuk yang intensif pula
supaya produktivitasnya tetap atau lebih baik. Sedangkan metode konservasi
tanah dan air secara vegetatif, metode ini umumnya digunakan untuk dilahan.
Metode ini memanfaatkan tanaman ataupun sisa – sisa tanaman yang berfungsi
sebagai pelindung tanah terhadap daya pukulan butir air hujan maupun terhadap
daya angkut air aliran permukaan (runoff), serta meningkatkan peresapan air ke
dalam tanah.
Teknik konservasi tanah ini dikenal pula dengan sebutan metode sipil
teknis. Untuk mencapai hasil maksimum dalam mengendalikan erosi dan aliran
permukaan, sebaiknya tindakan konservasi tanah vegetatif dan mekanik
dikombinasikan sesuai dengan karakteristik lahan. Menurut Brata ( 2000), untuk
meningkatkan efektivitas teras yang dibuat, perlu ditanami tanaman penguat teras
pada bibir dan tampingan teras. Rumput Bede (Brachiaria decumbens) dan
Rumput Bahia (Paspalum notatum) merupakan contoh dari tanaman penguat teras
yang terbukti efektif mengurangi tingkat erosi pada lahan yang curam. Dengan
dilakukannya penanaman tanaman penguat teras tersebut, juga akan didapat nilai
tambah lainnya dari teras yang dibuat, yaitu sebagai sumber pakan ternak dan
bahan organik tanah. Pembangunan teras juga dapat dikombinasikan dengan
pembangunan rorak untuk memperbesar peresapan air ke dalam tanah dan
menampung tanah yang tererosi, serta pembangunan saluran teras yang berada
tepat di atas guludan. Saluran teras dibuat agar air yang mengalir dari bidang olah
dapat dialirkan secara aman ke SPA (saluran pembuangan air).
Masalah konservasi tanah dan air di Indonesia merupakan tugas berat bagi
Bangsa Indonesia mengingat luasnya lahan kritis dan menuju kritis, yang bahkan
bertambah setiap tahun, dan tingkat kesulitan penanganan yang tinggi termasuk
dalam upaya perbaikan kehidupan tani di wilayah tersebut. Dalam melakukan
upaya konservasi tanah dan air harus diketahui terlebih dahulu masalah yang
ditimbulkan dari adanya degradasi tersebut. Setelah diketahui permasalahanya
kemudian dapat diidentifikasi apasaja permaslahan yang dapat muncul dalam
upaya konservasi tanah dan air ini. Contoh dari permasalahan yang bisanya
muncul menurut Adimiharja (2008) antara lain yaitu :
1. Faktor alami penyebab erosi
Kondisi sumber daya lahan Indonesia cenderung mempercepat laju erosi
tanah, terutama tiga faktor yaitu curah hujan yang tinggi, baik kuantitas maupun
intensitasnya, lereng yang curam, dan tanah yang peka erosi. curah hujan
merupakan faktor pendorong terjadinya erosi berat, dan mencakup areal yang
luas. Lereng merupakan penyebab erosi alami yang dominan di samping curah
hujan.
2. Prakter pertanian yang kurang bijak
Tingginya desakan kebutuhan terhadap lahan pertanian menyebabkan
tanaman semusim tidak hanya dibudidayakan pada lahan datar, tetapi juga pada
lahan yang berlereng > 16%, yang seharusnya digunakan untuk tanaman tahunan
atau hutan. Secara keseluruhan, lahan kering datarberombak meliputi luas 31,5
juta ha namun penggunaannya diperebutkan oleh pertanian, pemukiman, industri,
pertambangan, dan sektor lainnya. Pada umumnya, daya saing petani dan
pertanian lahan kering jauh lebih rendah dibanding sektor lain, sehingga pertanian
terdesak ke lahanlahan berlereng curam.Laju erosi tanah meningkat dengan
berkembangnya budi daya pertanian yang tidak disertai penerapan teknik
konservasi, seperti pada sistem perladangan berpindah yang banyak dijumpai di
luar Jawa. Bahkan pada sistem pertanian menetap pun, penerapan teknik
konservasi tanah belum merupakan kebiasaan petani dan belum dianggap
sebagai bagian penting dari pertanian.
3. Faktor kebijakan dan social ekonomi
Rendahnya adopsi teknologi konservasi bukan karena keterbatasan
teknologi, tetapi lebih kuat disebabkan oleh masalah nonteknis. Kondisi seperti ini
tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di negara-negara lain. Walaupun masih
ada kekurangan dalam teknologi konservasi dan masih ada ruang untuk perbaikan
teknis, hambatan yang lebih besar adalah masalah politik, sosial, dan
ekonomi.Kebijakan dan perhatian pemerintah sangat menentukan efektivitas dan
keberhasilan upaya pengendalian degradasi tanah. Namun, berbagai kebijakan
yang ada belum memadai dan efektif, baik dari segi kelembagaan maupun
pendanaan. Selaras dengan tantangan yang dihadapi, selama ini prioritas utama
pembangunan pertanian lebih ditujukan pada peningkatan produksi dan
pertumbuhan ekonomi secara makro, sehingga aspek keberlanjutan dan
kelestarian sumber daya lahan agak tertinggalkan. Padahal aspek tersebut
berdampak jangka panjang bagi pembangunan pertanian di masa
mendatang.Selain kurangnya dukungan kebijakan pemerintah, masalah sosial
juga sering menghambat penerapan konservasi tanah, seperti sistem kepemilikan
dan hak atas lahan, fragmentasi lahan, sempitnya lahan garapan petani, dan
tekanan penduduk. Kondisi ekonomi petani yang umumnya rendah sering menjadi
alasan bagi mereka untuk mengabaikan konservasi tanah.Konversi lahan
pertanian sering disebabkan oleh faktor ekonomi petani, yang memaksa mereka
menjual lahan walaupun mengakibatkan hilangnya sumber mata pencaharian .
Selain faktor alami, terjadinya kebakaran hutan dan lahan terutama terkait dengan
lemahnya peraturan dan sistem perundangundangan. Selain itu, faktor teknis dan
ekonomi juga menjadi pemicu utama kebakaran hutan dan lahan dengan alasan
mudah dan murah.
Selain itu, dapat dilakukan dengan cara penanaman tanaman dengan
menggunakan budidaya lorong. Brata (2000) menyampaikan bahwa Teknik
budidaya lorong telah lama dikembangkan dan diperkenalkan sebagai salah satu
teknik konservasi tanah dan air untuk pengembangan sistem pertanian
berkelanjutan pada lahan kering di daerah tropika basah, namun belum diterapkan
secara meluas oleh petani (Juo, Caldwell, dan Kang, 1994). Pada budidaya lorong
konvensional, tanaman pertanian ditanam pada lorong-lorong di antara barisan
tanaman pagar yang ditanam menurut kontur. Barisan tanaman pagar yang rapat
diharapkan dapat menahan aliran permukaan serta erosi yang terjadi pada areal
tanaman budidaya, sedangkan akarnya yang dalam dapat menyerap unsur hara
dari lapisan tanah yang lebih dalam untuk kemudian dikembalikan ke permukaan
melalui pengembalian sisa tanaman hasil pangkasan tanaman pagar.
Efektivitas budidaya lorong pada lahan pertanian berlereng miring dalam
pengendalian aliran permukaan dan erosi ditentukan oleh perkembangan tanaman
pagar serta jarak antar barisan tanaman pagar. Pada awal penerapan budidaya
lorong aliran permukaan dan erosi dapat menerobos tanaman pagar yang belum
tumbuh merapat, meskipun ditanam lebih dari satu baris tanaman. Pada kondisi
demikian, tanaman pagar kurang efektif dalam menghambat aliran permukaan dan
menjaring sedimen yang terangkut, sehingga dapat menghanyutkan pupuk dan
bahan organik. Setelah tanaman pagar berkembang, persaingan penyerapan air,
unsur hara dan sinar matahari antara tanaman pagar dengan tanaman budidaya
dapat mengurangi produksi tanaman yang dibudidayakan. Persaingan sinar
matahari oleh tajuk tanaman pagar dapat diatasi dengan memangkas tajuk
tanaman pagar secara teratur selama musim pertanaman komoditas tanaman
yang dibudidayakan di lorongnya, tetapi persaingan penyerapan air dan unsur
hara oleh akar tanaman pagar sulit dihindari karena terus berkembang menyebar
di dalam tanah pada areal tanaman budidaya. Sisa tanaman hasil pangkasan
tanaman pagar disarankan untuk dikembalikan sebagai mulsa disebarkan di
antara barisan tanaman budidya, sering dianggap sulit untuk dilakukan karena
pangkasan cabang/ranting tanaman pagar relatif lebih sulit mengatur
penyebarannya.
Kelemahan-kelemahan yang mengakibatkan kesulitan teknis dalam
penerapan dan pemeliharaannya merupakan kendala bagi keberlanjutan dan
penyebarluasan adopsi teknologi budidaya lorong oleh petani. Seringkali kegiatan
pembinaan dalam penerapan teknologi konservasi tanah dan air memerlukan
biaya mahal diluar kemampuan finansial petani sehingga bantuan pembiayaan
yang dikeluarkan pada saat penerapan teknologi tersebut akan menjadi sia-sia
karena tidak dilanjutkan oleh usaha pemeliharaan yang berkesinambungan.
Meskipun penerapan teknik budidaya lorong telah banyak dilaporkan dapat
mengurangi tingkat kerusakan lahan pertanian oleh erosi, etika ilmuwan dapat
memotivasi kemampuan menalarnya berfalsafah memikirkan pengembangan
sains bagi penyempurnaan teknologi yang dapat memudahkan pemakai teknologi
memperoleh keuntungan maksimal akibat mengadopsi teknologi tersebut.
Pengendalian aliran permukaan dan erosi harus diusahakan melalui
peningkatan laju peresapan air ke dalam tanah, pemanfaatan sisa tanaman yang
optimal untuk melindungi tanah dan memperbaiki kondisi fisik, kimia dan biologis
tanah. Pemanfaatan sisa tanaman sebagai mulsa vertikal telah lama
dikembangkan di Amerika Serikat. Beberapa hasil penelitian yang dilakukan pada
berbagai jenis tanah menunjukkan bahwa berbagai macam sisa tanaman dapat
dimanfaatkan sebagai mulsa vertikal untuk memperbaiki sifat fisik, meningkatkan
laju infiltrasi dan produktivitas lahan. Untuk mempermudah penerapan mulsa
vertikal,dilansir dari Brata (2000) seorang ilmuwan berusaha memodifikasi teknik
mulsa vertikal dengan memanfaatkan saluran teras gulud untuk mengumpulkan
sisa tanaman sebagai mulsa vertikal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
modifikasi teknik mulsa vertikal tersebut mampu dengan nyata menurunkan jumlah
aliran permukaan dan erosi, serta kehilangan hara yang ditimbulkannya;
dibandingkan dengan teras gulud dan mulsa konvensional. Tindakan
penyempurnaan budidaya lorong yang direncanakan lebih bersifat
memaksimalkan fungsi saluran dan guludan untuk mempermudah pengomposan
sisa tanaman, meningkatkan peresapan air, mengurangi persaingan air dan unsur
hara, serta mempermudah pemeliharaan saluran dan guludan. Beberapa
tambahan keuntungan tersebut diharapkan dapat mempermudah dan
meningkatkan efisiensi pemanfaatan sisa tanaman serta upaya konservasi air dan
unsur hara untuk mencegah erosi, banjir dan pencemaran perairan.Untuk
mengevaluasi manfaat penyempurnaan teknik budidaya lorong tersebut
diperlukan penelitian jangka panjang dalam petak permanen untuk mempelajari
dan memantau dampak teknik budidaya lorong yang disempurnakan terhadap
besarnya aliran permukaan dan erosi, pertumbuhan dan produksi tanaman, serta
peubah sifat-sifat fisik, kimia dan biologi; dibandingkan dengan teknik budidaya
lorong konvensional.
Bab III
Kesimpulan dan Saran
3.1 Kesimpulan
Degradasi lahan khususnya yang disebabkan oleh erosi di daerah
berlereng, merupakan salah satu masalah utama dalam mengoptimalkan
pemanfaatan lahan yang ada diindonesia. Oleh karena itu, penerapan teknik
konservasi tanah dan air merupakan kunci keberlanjutan usahatani pada lahan.
Olah tanah konservasi merupakan suatu metode pengolahan tanah dengan tetap
memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah, sehingga dampak negatif dari
pengolahan tanah dapat ditekan sekecil mungkin.
Solusi yang dilakukan apabila lahan sudah terkena degradasi adalah
mengubah lahan menjadi hutan kembali, membuat teras, Membuat saluran
pelepas air di wilayah yang memiliki curah hujan tinggi, Menghindari penyiangan
yang bersih di antara tanaman keras, Melakukan reboisasi terhadap lahan yang
sudah kritis, Tidak membakar hutan pada waktu musim kemarau. Selain itu, perlu
dilakukan konservasi lahan dan iar yang berguna untuk mengembalikan keadaan
tanah yang rusak akibat degradasi yang terjadi.
3.2 Saran
Peningkatan kesadaran terhadap masyarakat akan degradasi lahan. Hal
ini akan menghindari terjadinya kerugian akibat degradasi lahan sehingga
masyarakat mampu menerapkan konservasi lahan dan air secara tepat, efektif dan
efisien.
Daftar Pustaka

Arsyad, s. 2006. Pengawetan Tanah dan Air. Departemen Ilmu-ilmu Tanah.


Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Brata, K. R. (2000). Falsafah Sains Untuk Penyempurnaan Teknik Budi Daya
Lorong (Alley Cropping) Pada Lahan Pertanian Berlereng. Ipb.
Doran, J.W. and T.B. Parkin. 1994. Defining and assessing soil quality. In
J.W Doran, D.C. Coleman, D.F. Bezdicek., and B.A. Stewart (Eds)
Defining Soil Quality for Sustaibable Environment. SSSA. Special
Publication. 35:3 21. Madison, Wisconsin, USA.
Febrianty, A. (2018). Land and Water Conservation at the Cinambo Irrigation
System of Bandung District. agrotechnoloogi.
Islam, K.R. and R.R. Weil. 2000. Soil quality indikator properties in Mid
Atlantic Soils as influenced by conservation management. J. Soil and
water Cons. 55(1):69-78.
Karlen, D.L, M.J. Mausbach, J.W. Doran, R.G. Cline, R.F. Harris, and G.E.
Schuman. 1997.Soil quality: a concept, definition, and framework for
evaluation (a guest editorial). Soil Sci. Soc. Am. J. 61: 4-10.
Larson, W.E. and F.J. Pierce. 1994. The dynamic of soil quality as a measure of
sustainable management. Defining Soil Quality for a Sustainable
Environment. SSSA Special Publication. 35: 38-51.
Seybold, C.A., J.E. Hemick, and J.J. Brejda. 1999.Soil Resilience: A Fundamental
Component of Soil Quality. Soil Sci. 164 (4):224-233. Lippicott Wiliams
& Wilkins. Inc.
Sihite, j. (2001). Evaluasi Dampak erosi Tanah Model pendekatan ekonomi
lingkungan dalam perlindungan DAS. IPB.
Suharto SB. 2013. Modul Pelatihan Konservasi Tanah dan Air. Yogyakarta (ID):
Kantor Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Serayu Opak Progo,
Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai