Studi Kasus Kerusakan Lahan Akibat Erosi Tanah Dan Langkah-Langkah Teknis
Penanggulangannya
Disusun Oleh :
Jenuhnya air tawar pada akar atau batang bagian bawah suatu tanaman
Erosi
Sedangkan jenis-jenis kerusakan yang dapat terjadi pada badan air adalah:
Mengeringnya mata air akibat volme air tanah yang semakin sedikit
Menurunnya kualitas air akibat adanya sedimen hasil erosi
Tercampurnya limbah
Masuknya unsur hara pada badan air sehingga terjadi eutrofikasi
Permasalahan-permasalahan yang terjadi di tanah maupun air tersebut
dapat diatasi salah satunya dengan menggunakan teknik konservasi tanah dan
air. Metode konservasi tanah sendiri dibagi menjadi metode vegetatif, mekanik,
dan kimiawi.
a) Metode Vegetatif
Metode vegetatif adalah penggunaan tanaman atau bagian-bagian
tanaman atau sisa-sisanya untuk mengurangi daya tumbuk butir air hujan yang
jatuh, mengurangi jumlah dan kecepatan aliran permukaan yang pada akhirnya
mengurangi erosi tanah (Arsyad 2006). Beberapa teknik konservasi tanah dan air
yang bisa diterapkan di antaranya adalah Pertanaman lorong (alley cropping)
adalah konservasi tanah dan air dengan sistem bercocok tanam barisan tanaman
perdu leguminosa ditanam rapat (jarak 10-25 cm) mengikuti garis kontur (nyabuk
gunung) sebagai tempat pagar. Menerapkan teknik ini pada lahan yang miring jauh
lebih murah biayanya daripada membuat teras bangku. Teknik ini pun cukup efektif
dalam menahan erosi. Setelah 3-4 tahun setelah pembuatan tanaman lorong
maka akan tercipta teras dengan sendirinya, hal ini pulalah yang menyebabkan
metode ini disebut teras kredit.
Sistem silvopastura merupakan salah satu bentuk dari sistem tumpangsari.
Prinsip dari sistem ini adalah menanam pakan di bawah tegakan pohon. Pakan
ternak ini dapat berupa rumput gajah, setaria, dan lain-lain. Di Indonesia sendiri
dikenal beberapa macam teknik silvopastura, di antaranya adalah (1) tanaman
pakan di hutan tanaman industri, (2) tanaman pakan di hutan sekunder, (3)
tanaman pohon-pohonan sebagai tanaman penghasil pakan, dan (4) tanaman
pakan sebagai pagar hidup.
Pemberian mulsa bermaksud untuk menutupi permukaan tanah agar
terhindar dari pukulan butiran hujan. Pemberian mulsa merupakan salah satu cara
yang paling efektif dalam mencegah erosi, terutama jenis erosi percik. Mulsa yang
berasal dari bahan organik memiliki fungsi lain, yaitu memberikan bahan-bahan
organik pada tanah. Bahan organik yang dapat dijadikan mulsa dapat berasal dari
sisa tanaman, hasil pangkasan tanaman pagar dari sistem penanaman lorong,
hasil pangkasan tanaman penutup tanah, atau didatangkan dari luar lahan
pertanian.
b) Metode mekanik.
Metode ini merupakan semua perlakuan fisik mekanik yang diberikan tanah
dan pembuatan bangunan untuk mengurani aliran permukaan dan erosi, dan
meningkatkan kemampuan penggunaan tanah. Metode mekanik dalam KTA dapat
berupa pengolahan tanah, guludan, teras, penghambat, waduk, rorak, perbaikan
drainase, irigasi, sumur resapan, lubang resapan.
c) Metode KTA secara kimia
Metode ini merupakan usaha pencegahan erosi yaitu dengan pemanfaatan
soil conditioner atau bahan pemantap tanah dalam hal memperbaiki struktur tanah
sehingga akan tahan terhadap erosi.
Untuk mencapai keberlanjutan produktivitas lahan perlu dilakukan tindakan
konservasi tanah dan air. Hal tersebut dapat dicapai dengan menerapkan
teknologi konservasi tanah secara vegetatif dan mekanik. Konservasi tanah
vegetatif mencakup semua tindakan konservasi yang menggunakan tumbuh-
tumbuhan (vegetasi), baik tanaman legum yang menjalar, semak atau perdu,
maupun pohon dan rumput-rumputan, serta tumbuh-tumbuhan lain, yang ditujukan
untuk mengendalikan erosi dan aliran permukaan pada lahan pertanian. Tindakan
konservasi tanah vegetatif tersebut sangat beragam, mulai dari pengendalian erosi
pada bidang olah atau lahan yang ditanami dengan tanaman utama, sampai
dengan stabilisasi lereng pada bidang olah, saluran pembuangan air (SPA),
maupun jalan kebun.
Menurut Brata (2000) untuk mencegah dampak dari erosi tersebut maka
digunakan konservasi tanah dan air yang menggunakan metode secara mekanik.
Konservasi tanah mekanik adalah semua perlakuan fisik mekanis yang diberikan
terhadap tanah dan pembuatan bangunan yang ditujukan untuk mengurangi aliran
permukaan dan erosi serta meningkatkan kelas kemampuan tanah. Tujuan dari
konservasi tanah dan air adalah mencegah kerusakan tanah dan memperbaiki
tanah – tanah yang rusak agar dapat tercapai produksi yang setinggi - tingginya
dalam waktu yang tidak terbatas. Selain itu konservasi merupakan usaha – usaha
untuk menjaga agar tanah tetap produktif atau memperbaiki tanah yang rusak
karena erosi. Tanah yang tererosi berat atau dipakai kultivasi dengan intensif
harus dipulihkan produktivitasnya dengan pemberian pupuk yang intensif pula
supaya produktivitasnya tetap atau lebih baik. Sedangkan metode konservasi
tanah dan air secara vegetatif, metode ini umumnya digunakan untuk dilahan.
Metode ini memanfaatkan tanaman ataupun sisa – sisa tanaman yang berfungsi
sebagai pelindung tanah terhadap daya pukulan butir air hujan maupun terhadap
daya angkut air aliran permukaan (runoff), serta meningkatkan peresapan air ke
dalam tanah.
Teknik konservasi tanah ini dikenal pula dengan sebutan metode sipil
teknis. Untuk mencapai hasil maksimum dalam mengendalikan erosi dan aliran
permukaan, sebaiknya tindakan konservasi tanah vegetatif dan mekanik
dikombinasikan sesuai dengan karakteristik lahan. Menurut Brata ( 2000), untuk
meningkatkan efektivitas teras yang dibuat, perlu ditanami tanaman penguat teras
pada bibir dan tampingan teras. Rumput Bede (Brachiaria decumbens) dan
Rumput Bahia (Paspalum notatum) merupakan contoh dari tanaman penguat teras
yang terbukti efektif mengurangi tingkat erosi pada lahan yang curam. Dengan
dilakukannya penanaman tanaman penguat teras tersebut, juga akan didapat nilai
tambah lainnya dari teras yang dibuat, yaitu sebagai sumber pakan ternak dan
bahan organik tanah. Pembangunan teras juga dapat dikombinasikan dengan
pembangunan rorak untuk memperbesar peresapan air ke dalam tanah dan
menampung tanah yang tererosi, serta pembangunan saluran teras yang berada
tepat di atas guludan. Saluran teras dibuat agar air yang mengalir dari bidang olah
dapat dialirkan secara aman ke SPA (saluran pembuangan air).
Masalah konservasi tanah dan air di Indonesia merupakan tugas berat bagi
Bangsa Indonesia mengingat luasnya lahan kritis dan menuju kritis, yang bahkan
bertambah setiap tahun, dan tingkat kesulitan penanganan yang tinggi termasuk
dalam upaya perbaikan kehidupan tani di wilayah tersebut. Dalam melakukan
upaya konservasi tanah dan air harus diketahui terlebih dahulu masalah yang
ditimbulkan dari adanya degradasi tersebut. Setelah diketahui permasalahanya
kemudian dapat diidentifikasi apasaja permaslahan yang dapat muncul dalam
upaya konservasi tanah dan air ini. Contoh dari permasalahan yang bisanya
muncul menurut Adimiharja (2008) antara lain yaitu :
1. Faktor alami penyebab erosi
Kondisi sumber daya lahan Indonesia cenderung mempercepat laju erosi
tanah, terutama tiga faktor yaitu curah hujan yang tinggi, baik kuantitas maupun
intensitasnya, lereng yang curam, dan tanah yang peka erosi. curah hujan
merupakan faktor pendorong terjadinya erosi berat, dan mencakup areal yang
luas. Lereng merupakan penyebab erosi alami yang dominan di samping curah
hujan.
2. Prakter pertanian yang kurang bijak
Tingginya desakan kebutuhan terhadap lahan pertanian menyebabkan
tanaman semusim tidak hanya dibudidayakan pada lahan datar, tetapi juga pada
lahan yang berlereng > 16%, yang seharusnya digunakan untuk tanaman tahunan
atau hutan. Secara keseluruhan, lahan kering datarberombak meliputi luas 31,5
juta ha namun penggunaannya diperebutkan oleh pertanian, pemukiman, industri,
pertambangan, dan sektor lainnya. Pada umumnya, daya saing petani dan
pertanian lahan kering jauh lebih rendah dibanding sektor lain, sehingga pertanian
terdesak ke lahanlahan berlereng curam.Laju erosi tanah meningkat dengan
berkembangnya budi daya pertanian yang tidak disertai penerapan teknik
konservasi, seperti pada sistem perladangan berpindah yang banyak dijumpai di
luar Jawa. Bahkan pada sistem pertanian menetap pun, penerapan teknik
konservasi tanah belum merupakan kebiasaan petani dan belum dianggap
sebagai bagian penting dari pertanian.
3. Faktor kebijakan dan social ekonomi
Rendahnya adopsi teknologi konservasi bukan karena keterbatasan
teknologi, tetapi lebih kuat disebabkan oleh masalah nonteknis. Kondisi seperti ini
tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di negara-negara lain. Walaupun masih
ada kekurangan dalam teknologi konservasi dan masih ada ruang untuk perbaikan
teknis, hambatan yang lebih besar adalah masalah politik, sosial, dan
ekonomi.Kebijakan dan perhatian pemerintah sangat menentukan efektivitas dan
keberhasilan upaya pengendalian degradasi tanah. Namun, berbagai kebijakan
yang ada belum memadai dan efektif, baik dari segi kelembagaan maupun
pendanaan. Selaras dengan tantangan yang dihadapi, selama ini prioritas utama
pembangunan pertanian lebih ditujukan pada peningkatan produksi dan
pertumbuhan ekonomi secara makro, sehingga aspek keberlanjutan dan
kelestarian sumber daya lahan agak tertinggalkan. Padahal aspek tersebut
berdampak jangka panjang bagi pembangunan pertanian di masa
mendatang.Selain kurangnya dukungan kebijakan pemerintah, masalah sosial
juga sering menghambat penerapan konservasi tanah, seperti sistem kepemilikan
dan hak atas lahan, fragmentasi lahan, sempitnya lahan garapan petani, dan
tekanan penduduk. Kondisi ekonomi petani yang umumnya rendah sering menjadi
alasan bagi mereka untuk mengabaikan konservasi tanah.Konversi lahan
pertanian sering disebabkan oleh faktor ekonomi petani, yang memaksa mereka
menjual lahan walaupun mengakibatkan hilangnya sumber mata pencaharian .
Selain faktor alami, terjadinya kebakaran hutan dan lahan terutama terkait dengan
lemahnya peraturan dan sistem perundangundangan. Selain itu, faktor teknis dan
ekonomi juga menjadi pemicu utama kebakaran hutan dan lahan dengan alasan
mudah dan murah.
Selain itu, dapat dilakukan dengan cara penanaman tanaman dengan
menggunakan budidaya lorong. Brata (2000) menyampaikan bahwa Teknik
budidaya lorong telah lama dikembangkan dan diperkenalkan sebagai salah satu
teknik konservasi tanah dan air untuk pengembangan sistem pertanian
berkelanjutan pada lahan kering di daerah tropika basah, namun belum diterapkan
secara meluas oleh petani (Juo, Caldwell, dan Kang, 1994). Pada budidaya lorong
konvensional, tanaman pertanian ditanam pada lorong-lorong di antara barisan
tanaman pagar yang ditanam menurut kontur. Barisan tanaman pagar yang rapat
diharapkan dapat menahan aliran permukaan serta erosi yang terjadi pada areal
tanaman budidaya, sedangkan akarnya yang dalam dapat menyerap unsur hara
dari lapisan tanah yang lebih dalam untuk kemudian dikembalikan ke permukaan
melalui pengembalian sisa tanaman hasil pangkasan tanaman pagar.
Efektivitas budidaya lorong pada lahan pertanian berlereng miring dalam
pengendalian aliran permukaan dan erosi ditentukan oleh perkembangan tanaman
pagar serta jarak antar barisan tanaman pagar. Pada awal penerapan budidaya
lorong aliran permukaan dan erosi dapat menerobos tanaman pagar yang belum
tumbuh merapat, meskipun ditanam lebih dari satu baris tanaman. Pada kondisi
demikian, tanaman pagar kurang efektif dalam menghambat aliran permukaan dan
menjaring sedimen yang terangkut, sehingga dapat menghanyutkan pupuk dan
bahan organik. Setelah tanaman pagar berkembang, persaingan penyerapan air,
unsur hara dan sinar matahari antara tanaman pagar dengan tanaman budidaya
dapat mengurangi produksi tanaman yang dibudidayakan. Persaingan sinar
matahari oleh tajuk tanaman pagar dapat diatasi dengan memangkas tajuk
tanaman pagar secara teratur selama musim pertanaman komoditas tanaman
yang dibudidayakan di lorongnya, tetapi persaingan penyerapan air dan unsur
hara oleh akar tanaman pagar sulit dihindari karena terus berkembang menyebar
di dalam tanah pada areal tanaman budidaya. Sisa tanaman hasil pangkasan
tanaman pagar disarankan untuk dikembalikan sebagai mulsa disebarkan di
antara barisan tanaman budidya, sering dianggap sulit untuk dilakukan karena
pangkasan cabang/ranting tanaman pagar relatif lebih sulit mengatur
penyebarannya.
Kelemahan-kelemahan yang mengakibatkan kesulitan teknis dalam
penerapan dan pemeliharaannya merupakan kendala bagi keberlanjutan dan
penyebarluasan adopsi teknologi budidaya lorong oleh petani. Seringkali kegiatan
pembinaan dalam penerapan teknologi konservasi tanah dan air memerlukan
biaya mahal diluar kemampuan finansial petani sehingga bantuan pembiayaan
yang dikeluarkan pada saat penerapan teknologi tersebut akan menjadi sia-sia
karena tidak dilanjutkan oleh usaha pemeliharaan yang berkesinambungan.
Meskipun penerapan teknik budidaya lorong telah banyak dilaporkan dapat
mengurangi tingkat kerusakan lahan pertanian oleh erosi, etika ilmuwan dapat
memotivasi kemampuan menalarnya berfalsafah memikirkan pengembangan
sains bagi penyempurnaan teknologi yang dapat memudahkan pemakai teknologi
memperoleh keuntungan maksimal akibat mengadopsi teknologi tersebut.
Pengendalian aliran permukaan dan erosi harus diusahakan melalui
peningkatan laju peresapan air ke dalam tanah, pemanfaatan sisa tanaman yang
optimal untuk melindungi tanah dan memperbaiki kondisi fisik, kimia dan biologis
tanah. Pemanfaatan sisa tanaman sebagai mulsa vertikal telah lama
dikembangkan di Amerika Serikat. Beberapa hasil penelitian yang dilakukan pada
berbagai jenis tanah menunjukkan bahwa berbagai macam sisa tanaman dapat
dimanfaatkan sebagai mulsa vertikal untuk memperbaiki sifat fisik, meningkatkan
laju infiltrasi dan produktivitas lahan. Untuk mempermudah penerapan mulsa
vertikal,dilansir dari Brata (2000) seorang ilmuwan berusaha memodifikasi teknik
mulsa vertikal dengan memanfaatkan saluran teras gulud untuk mengumpulkan
sisa tanaman sebagai mulsa vertikal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
modifikasi teknik mulsa vertikal tersebut mampu dengan nyata menurunkan jumlah
aliran permukaan dan erosi, serta kehilangan hara yang ditimbulkannya;
dibandingkan dengan teras gulud dan mulsa konvensional. Tindakan
penyempurnaan budidaya lorong yang direncanakan lebih bersifat
memaksimalkan fungsi saluran dan guludan untuk mempermudah pengomposan
sisa tanaman, meningkatkan peresapan air, mengurangi persaingan air dan unsur
hara, serta mempermudah pemeliharaan saluran dan guludan. Beberapa
tambahan keuntungan tersebut diharapkan dapat mempermudah dan
meningkatkan efisiensi pemanfaatan sisa tanaman serta upaya konservasi air dan
unsur hara untuk mencegah erosi, banjir dan pencemaran perairan.Untuk
mengevaluasi manfaat penyempurnaan teknik budidaya lorong tersebut
diperlukan penelitian jangka panjang dalam petak permanen untuk mempelajari
dan memantau dampak teknik budidaya lorong yang disempurnakan terhadap
besarnya aliran permukaan dan erosi, pertumbuhan dan produksi tanaman, serta
peubah sifat-sifat fisik, kimia dan biologi; dibandingkan dengan teknik budidaya
lorong konvensional.
Bab III
Kesimpulan dan Saran
3.1 Kesimpulan
Degradasi lahan khususnya yang disebabkan oleh erosi di daerah
berlereng, merupakan salah satu masalah utama dalam mengoptimalkan
pemanfaatan lahan yang ada diindonesia. Oleh karena itu, penerapan teknik
konservasi tanah dan air merupakan kunci keberlanjutan usahatani pada lahan.
Olah tanah konservasi merupakan suatu metode pengolahan tanah dengan tetap
memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah, sehingga dampak negatif dari
pengolahan tanah dapat ditekan sekecil mungkin.
Solusi yang dilakukan apabila lahan sudah terkena degradasi adalah
mengubah lahan menjadi hutan kembali, membuat teras, Membuat saluran
pelepas air di wilayah yang memiliki curah hujan tinggi, Menghindari penyiangan
yang bersih di antara tanaman keras, Melakukan reboisasi terhadap lahan yang
sudah kritis, Tidak membakar hutan pada waktu musim kemarau. Selain itu, perlu
dilakukan konservasi lahan dan iar yang berguna untuk mengembalikan keadaan
tanah yang rusak akibat degradasi yang terjadi.
3.2 Saran
Peningkatan kesadaran terhadap masyarakat akan degradasi lahan. Hal
ini akan menghindari terjadinya kerugian akibat degradasi lahan sehingga
masyarakat mampu menerapkan konservasi lahan dan air secara tepat, efektif dan
efisien.
Daftar Pustaka