Anda di halaman 1dari 16

TEKNOLOGI KONSERVASI SUMBERDAYA LAHAN

“Tugas Terstruktur M7: ”

Disusun Oleh :
Kelompok 6
Asti Riska Ayuningsih : 195040201111214
Syifa Nafillah : 205040200111126
Kezia Marito Nababan : 205040200111154
Yunita Dwi Kurnia : 205040200111245
Aisya Fanika Putri : 205040207111062
Rayhan Andhika Fasya : 205040207111108

Kelas : D
Dosen Pengampu : Prof. Dr. Ir. Didik Suprayogo M.Sc., Ph.D.

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI


FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2022

1
DAFTAR ISI

BAB I 1
BAB II 5
BAB III 8
KESIMPULAN DAN SARAN 12
DAFTAR PUSTAKA 13

2
BAB I

LATAR BELAKANG KASUS


1.1. Latar Belakang
Pengelolaan lahan di sektor pertanian di Indonesia harus dimanfaatkan
dan dikelola dengan baik agar potensi tersebut dapat menghasilkan hasil yang
maksimal. Cara pemanfaatan dan cara pengolahan lahan pertanian yang baik
sebagai salah satu langkah efisiensi dan pemaksimalan lahan juga tergantung
pada pengetahuan atau pendidikan sumber daya manusia (SDM) yang
mengolahnya. Pemanfaatan dan pengolahan lahan dengan sistem yang benar
salah satunya dengan penerapan sistem terasering (sengkedan) di daerah lahan
pertanian yang miring atau terjal. Sistem terasering atau sengkedan ini digunakan
untuk meminimalisir terjadinya erosi di lahan pertanian yang miring atau terjal,
sehingga dapat meminimalisir kerugian gagal panen. Secara umum terjadinya
erosi disebabkan oleh faktor erosivitas, erodibilitas, topografi dan pengelolaan
lahan. Meskipun penyebab utama kejadian longsor ini adalah gravitasi yang
mempengaruhi suatu lereng yang curam, namun ada pula faktor-faktor lainnya
yang ikut berpengaruh salah satunya adalah erosi yang disebabkan oleh aliran air
di permukaan atau air hujan terutama di daerah yang miring atau terjal. Hujan lebat
menjadi salah satu pemicu yang mengakibatkan berkurangnya kekuatan geser
tanah karena butir-butir tanah menyerap air. Seperti kondisi yang terjadi di Ranu
Pane, dimana pada daerah tersebut terdapat banyak bukit-bukit yang curam,
namun daerah yang curam tersebut dimanfaatkan oleh para petani desa Ranu
Pani untuk lahan pertanianya tanpa menggunakan sistem terasering atau
sengkedan. Sistem pertanian yang digunakan oleh masyarakat di desa Ranu Pani
yang tidak menggunakan sistem terasering tersebut sangat rawan terjadi erosi
tanah saat hujan (Run Of Water). Terasering atau sengkedan seharusnya
diterapkan di daerah ini karena daerah Ranu Pani terdapat banyak sekali bukit
ataupun lereng-lereng yang curam yang bisa berakibat longsor ketika hujan lebat.
Selain itu desa Ranu Pani terletak diantara dua gunung aktif yaitu Gunung
Semeru dan Gunung Bromo yang juga bisa membuat bukit dan lereng-lereng
curam berpotensi longsor ketika terjadi getaran/gempa.kegiatan pertanian
tanaman kentang banyak dilakukan di lahan lereng. Kondisi lahan di desa Ranu
Pane mengalami degradasi akibat pola penamaan yang tidak sesuai. Komoditas
tanaman kentang yang pola tanamnya mengikuti kontur lereng dapat berpotensi
terjadinya erosi, dikarenakan air akan mengalir tanpa hambatan dan mengangkut
tanah sehingga tanah akan tersedimentasi pada tempat tertentu. Tanaman
kentang juga kurang mampu menyerap air yang jatuh ke permukaan tanah
sehingga air yang tidak mampu terserap akan mengalami limpasan permukaan.
Selain itu, adanya aktivitas pertanian kentang yang menggunakan pupuk kimia dan
racun hama/pestisida yang meningkat menimbulkan polutan bagi lingkungan. Hal
tersebut tentu akan berbahaya bagi makhluk hidup yang ada disekitarnya. Jenis
tanaman kentang merupakan komoditas unggulan. Selama ini, sistem penanaman
tanaman kentang dilakukan dengan tidak memperhatikan aspek konservasi lahan.
Pengolahan tanah yang dilakukan oleh kebanyakan petani saat ini kurang
memperhatikan aspek kemiringan lereng. Masyarakat membuat guludan yang
memotong garis kontur atau searah dengan kemiringan lereng, sehingga
menyebabkan erosi meningkat. Sebagian masyarakat setuju dengan cara pola
tanam seperti itu dan tidak mau mengubahnya. Dampak fenomena tersebut adalah
terjadi kerusakan lahan pertanian yang semakin parah, sehingga dapat
menimbulkan menurunnya produksi kentang di daerah ini. Untuk meminimalkan
kerusakan lingkungan, proses erosi, serta gangguan alam yang lain perlu

1
dilakukan upaya pengelolaan kawasan Ranu Pane. Stakeholder yang terlibat di
dalamnya yaitu masyarakat Ranu Pane khususnya petani kentang serta pemilik
lahan. Selain itu, pemerintah daerah setempat perlu melakukan pembenahan
terhadap kegiatan pertanian tersebut. Pola usaha pertanian yang dilakukan petani
di Ranu Pane harus diikuti dengan kajian konservasi lahan.
Degradasi lahan akibat erosi juga disebabkan oleh tingkat erosivitas.
Erosivitas curah hujan menunjukkan kemampuan atau kapasitas hujan untuk
menyebabkan erosi tanah. Tingkat erosivitas curah hujan memiliki pengaruh yang
beragam di antara wilayah iklim. Jumlah curah hujan yang sama mempunyai
pengaruh sangat berbeda pada erosi tergantung pada intensitas dan kondisi
permukaan tanah. Faktor hujan ini menjadi salah satu penyebab terjadinya banjir
di Ranu Pane. Faktor curah hujan sebagai salah satu penduga penyebab
terjadinya banjir, hujan akan menimbulkan banjir jika intensitasnya cukup tinggi
dan jatuhnya dalam waktu yang relatif lama. Banjir/genangan merupakan peristiwa
dimana air melimpah atau menggenangi daratan/ lahan yang semestinya kering
yang menyebabkan kerugian ekonomi bagi penduduk. Banjir/ genangan terjadi
dipengaruhi oleh 3 (tiga) faktor utama yaitu 1) faktor perilaku manusia seperti
perubahan tata guna lahan, 2) faktor kondisi alami bentang permukaan bumi
seperti kemiringan lereng, dan 3) faktor perubahan iklim seperti kenaikan muka air
laut. Terjadinya banjir banyak menimbulkan kerugian fisik dan berdampak pada
bidang sosial dan ekonomi. Perubahan tata guna lahan membawa dampak
terhadap infiltrasi tanah. Sehingga apabila terjadi hujan, maka dibeberapa daerah
yang permukaannya sudah ditutupi oleh bangunan dan aspal dengan tingkat
infiltrasinya kecil menyebabkan banjir dan genangan. Pengaruh kepadatan
bangunan yang cenderung mengalami peningkatan akibat penetapan kawasan
sebagai kawasan permukiman terpadu, berdampak kepada masyarakat dan
lingkungan.
Pertumbuhan pembangunan yang sangat tinggi mendesak keberadaan
sungai dan saluran drainase, dan daerah resapan air menjadi semakin kecil.
Sehingga berdampak pada daya serap air yang rendah, akibat tutupan lahan akan
perkerasan semakin luas. Sehingga potensi timbulnya genangan air yang
terakumulasi menjadi banjir (Reza and Pamungkas 2014). Dalam hal ini
stakeholder yang berperan adalah seluruh lapisan masyarakat dan pemerintah
untuk bekerja sama membangun dan menciptakan pengelolaan lahan yang sesuai
dengan kaidah konservasi tanah air. Selain itu, topografi kelandaian lahan juga
sangat mempengaruhi timbulnya banjir terutama pada lokasi dengan topografi
dasar dan kemiringan rendah, seperti pada kota- kota pantai. Kemiringan lahan
semakin tinggi, maka air yang diteruskan semakin tinggi. Air yang berada pada
lahan tersebut akan diteruskan ke tempat yang lebih rendah semakin cepat jika
dibandingkan dengan lahan yang kemiringannya rendah (landai). Dengan
demikian, maka semakin besar derajat kemiringan lahan maka skor untuk
kerawanan banjir semakin kecil.
Kerusakan yang ditimbulkan karena erosi terjadi di dua tempat yaitu; 1)
pada tanah tempat erosi terjadi; 2) pada tempat tujuan akhir tanah yang terangkut
tersebut endapan atau sedimen. Meningkatnya jumlah erosi dan sedimentasi akan
memberikan dampak yang besar yaitu pendangkalan pada danau. Sedimen
merupakan endapan lumpur yang berasal dari hancurnya batu-batuan, atau
bahanbahan biologis yang terangkut melalui suatu cairan, dan bahan padatan
(endapan) yang melayang-layang di dalam, atau yang terendap dalam air. Partikel-
partikel tanah yang terbawa melalui proses erosi, selain memindahkan tanah dari
satu tempat ke perairan Danau Tondano dan akhirnya menjadi sedimen, juga
mengakibatkan peningkatan unsur hara pada badan air. Unsur hara ini telah
mempercepat proses eutrofikasi di perairan Danau Tondano. Peledakan

2
tumbuhan akuatik merupakan salah satu indikator bahwa telah terjadi pengkayaan
unsur hara atau eutrofikasi di Danau Tondano. Penebangan hutan, kegiatan
pertanian serta pemukiman penduduk hingga ke tepi danau menyebabkan lahan
menjadi terbuka. Partikel tanah dan sisasisa pupuk dengan mudah dibawa oleh air
hujan masuk ke dalam danau. Selain itu kebiasaan penduduk yang menjadikan
badan air sebagai tempat membuang sampah, juga makin mempercepat
pengkayaan unsur hara. Akhir-akhir ini usaha pemeliharaan ikan di danau yang
berbentuk jaring apung, sisa-sisa pakan ikan menambah bahan organik dalam
badan air dan semua itu mendorong meledaknya tumbuhan akuatik di Danau
Ranu Pane. Partikel-partikel tanah yang terbawa melalui proses erosi, selain
memindahkan tanah dari satu tempat ke perairan Danau Ranu Pane dan akhirnya
menjadi sedimen, juga mengakibatkan peningkatan unsur hara pada badan air.
Unsur hara ini telah mempercepat proses eutrofikasi di perairan Danau Ranu
Pane. Penebangan hutan, kegiatan pertanian serta pemukiman penduduk hingga
ke tepi danau menyebabkan lahan menjadi terbuka. Partikel tanah dan sisa-sisa
pupuk dengan mudah dibawa oleh air hujan masuk ke dalam danau. Selain itu
kebiasaan penduduk yang menjadikan badan air sebagai tempat membuang
sampah, juga makin mempercepat pengkayaan unsur hara. Dalam hal ini
stakeholder yang berperan adalah seluruh lapisan masyarakat dan pemerintah
untuk bekerja sama membangun dan menciptakan pengelolaan lahan yang sesuai
dengan kaidah konservasi tanah air.

1.2 Dampak Degradasi Lahan


Dampak dari terjadinya degradasi lahan di Indonesia dapat dikatakan
banyak, namun jika dilakukan pengkajian secara umum di Indonesia degradasi
lahan dapat mengakibatkan erosi yang melebihi dari ambang toleransi atau erosi
yang diperbolehkan (edp). Degradasi lahan yang disebabkan oleh penurunan sifat
fisik dan kimia tanah terjadi dikarenakan adanya pemadatan tanah akibat dari
pemakaian alatalat berat untuk melakukan pengolahan lahan dan mesin pertanian
atau proses eluviasi, banjir, dan genangan. Sementara itu, degradasi lahan yang
disebabkan oleh kemunduran sifat kimia, antara lain disebabkan oleh proses
pemasaman (acidification), penggaraman (salinization), dan pencemaran
(pollution) bahan agrokimia. Kehilangan lapisan tanah bagian atas (top soil) dapat
menyebabkan pengaruh buruk terhadap produktivitas tanah dan
keberlangusungan tanaman yang tumbuh di atasnya walaupun terkadang dapat
memperbaiki produktivitas tanah atau bahkan tidak merugikan. Hal ini terjadi
karena munculnya kembali permukaan tanah produktif yang tertimbun (buried)
bersamaan dengan terjadinya erosi. Kondisi seperti ini dijumpai pada tanah
Andisols dan Inseptisols, akan tetapi tidak semua terjadi pada lapisan tanah yang
relatif dangkal pada tanah Alfisols, Ultisols, dan Oxisols terutama di daerah tropik,
di mana unsur hara terkonsentrasi di lapisan permukaan. Selain disebabkan oleh
erosi, degradasi lahan akan semakin nyata dan meluas ditandai dengan terjadinya
banjir, kekeringan, dan longsor dengan intensitas kejadian tinggi. Salah satu yang
terjadi pada lahan yang berada di Desa Cimencrang ketika musim hujan tanah
yang dijadikan lahan penanaman komoditas terkadang terjadi banjir yang
membuat tanaman menjadi terendam, bedengan kembali rata, kemudian gagal
panen. Begitupun sebaliknya, saat terjadi musim panas, tanah menjadi sangat
kering dan membuat tanaman mati kekeringan hingga gagal panen.
Terdapat 5 proses utama yang terjadi akibat timbulnya tanah yang
terdegradasi, yaitu: menurunnya bahan kandungan bahan organik tanah,
perpindahan liat, memburuknya struktur dan pemadatan tanah, erosi tanah,
deplesi dan pencucian unsur hara (Adisukma et al., 2014). Lahan terdegradasi
bukan saja merupakan lahan yang tidak produktif, tetapi juga dapat menjadi

3
sumber bencana, mulai dari kekeringan, banjir, tanah longsor, sampai kebakaran
yang bisa berdampak terhadap terjadinya percepatan pemanasan global. Akibat
negatif adanya lahan terdegradasi tidak hanya dirasakan di lokasi di mana lahan
terdegradasi berada, tetapi menyebar sangat jauh dan luas. Dengan semakin
meluasnya lahan terdegradasi, baik di kawasan hutan maupun di luar kawasan
hutan, di lahan kering maupun di lahan basah atau lahan rawa akan berakibat
terhadap semakin parahnya kerusakan lingkungan, yang mendorong terjadinya
bencana alam yang intensitasnya semakin tinggi (Wahyunto dan Ai, 2014).
Degradasi lahan tidak hanya menyebabkan kerusakan lingkungan atau
mengakibatkan menurunnya produktivitas lahan pada daerah yang mengalami
degradasi, akan tetapi dampak dari degradasi lahan menyebar luas hingga ke
kerugian ekonomi dan sosial masyarakat. Kerugian ekonomi akibat degradasi
lahan adalah terjadinya banjir pada darah hilir atau daerah yang lebih rendah
membuat rumah warga menjadi terendam air banjir akibat kiriman dari daerah hulu
membuat aktivitas masyarakat menjadi terhenti dan masalah lain juga dapat timbul
seperti timbulnya penyakit. Selain itu, terjadinya banjir dapat membuat kualitas air
warga memburuk bahkan menjadi tidak layak konsumsi ditambah aliran air sungai
mengalami peerubahan warna karena adanya sedimentasi. Dampak sosial yang
muncul adalah semua warga yang berada di daerah yang terkena dampak
merasakan masalah yang sama akibat dari pelaku pertanian yang tidak
menerapkan pertanian secara berkelanjutan pada daerah bagian hulu yang rawan
terhadap erosi atau degradasi lahan berimbas pada masyarakat yang berada pada
bagian hilir.

4
BAB II
REKOMENDASI KEPADA PETANI

Desa Ranu Pani merupakan wilayah yang berdekatan dengan pegunungan


dengan tingkat kondisi kesuburan tanah yang sangat besar. Lahan hortikultura
yang berada di daerah Ranu Pane yang berupa pertanian kentang dilakukan pada
lahan miring dengan tanpa adanya tindakan konservasi air dan tanah. Lahan yang
curam dibiarkan terbuka tanpa tanaman tutupan (cover crop) berupa pepohonan
maupun tanaman legume padahal dua vegetasi tersebut mampu meminimalisir
dari adanya risiko terjadinya erosi. Penanaman searah yang dilakukan pada lahan
tersebut dilakukan dengan tingkat kelerengan yang cukup besar dapat
memperburuk terjadinya erosi, yang mana akan menciptakan limpasan
permukaan oleh air hujan yang membawa cukup banyak partikel tanah.
Lahan yang telah mengalami degradasi jika dibiarkan secara terus
menerus akan dapat menimbulkan suatu dampak buruk yaitu dengan menurunnya
kualitas tanah dan akan diikuti pada penurunan produktivitas hasil pertanian
karena diakibatkan oleh lahan yang terganggu. Oleh sebab itu perlu dilakukan
improvisasi dalam pola penanaman, bentuk lahan, serta sarana yang lain untuk
mencegah terjadinya hal yang lebih buruk yang akan berdampak ke petani dan
warga sekitar. Tindakan perbaikan lahan yang bisa dilakukan untuk
mengembalikan fungsi lahan hortikultura sesuai yang terdapat dalam Peraturan
Menteri Pertanian Nomor 58/Permentan/OT.140/9/2012, tentang Perlindungan,
Pemeliharaan, Pemulihan, serta Peningkatan Fungsi Lahan Budidaya Hortikultura,
dapat dilakukan pada lahan terdegradasi atau rusak dengan rehabilitasi baik
secara mekanik, biologi, maupun kimia.
Rehabilitasi lahan secara mekanik dilakukan dengan cara pemberian
mulsa, pembuatan guludan, maupun pembuatan penterasan. Rehabilitasi lahan
secara biologi dapat dilakukan dengan pemberian pupuk organik, pupuk hayati,
dan bahan pembenah tanah. Sedangkan rehabilitasi lahan secara kimia dilakukan
dengan pemberian pupuk anorganik yang berimbang. Peningkatan fungsi lahan
hortikultura perlu mempertimbangkan kondisi agroekosistem pada lahan tersebut
yang dapat melakukan reklamasi lahan yang tujuannya yaitu agar optimasi lahan
dapat berjalan dengan baik. Reklamasi dapat dilakukan dengan memberikan
pembenah tanah, penggunaan unit pengolah pupuk organik, optimasi lahan Ruang
Terbuka Hijau (RTH) melalui suatu penanaman tanaman hortikultura pada
kawasan RTH.
Berdasarkan UU RI No. 37 Tahun 2014 tentang Konservasi tanah dan Air,
perbaikan yang dapat dilakukan dengan menggunakan metode vegetatif,
agronomi, sipil teknis pembuatan bangunan, manajemen, dan lainnya dalam
perencanaan jangka panjang, menengah, maupun perencanaan tahunan. Metode
Vegetatif dapat diaplikasikan dengan penanaman tanaman berupa kayu kayuan,
perdu, rumput-rumputan, dan tanaman penutup tanah lainnya.
Salah satu metode agronomi yang dapat dilakukan yaitu dengan
pengaplikasian mulsa, pengaturan pola tanam, pemberian amelioran, pengayaan
tanaman, pengolahan tanah konservasi, penanaman searah kontur, pemupukan,
pemanenan, dan lain sebagainya. Sedangkan metode sipil teknis dengan

5
melakukan pembangunan sengkedan, teras gulud, teras bangku, pengendali
jurang, sumur resapan maupun sarana lainnya. Pada Peraturan Dirjen
Pengendalian DAS dan Hutan Lindung No P6/PDASHL/SET/Kum.1/8/2017
Tentang Petunjuk Teknis Bangunan Konservasi Tanah dan Air, perlu dilakukan
kegiatan pemeliharaan secara berkala bagi bangunan atau konstruksi di lahan,
antara lain dengan membersihkan seresah, pemeliharaan bronjong dan
pengerukan lumpur.

Gambar. Penampang Teras Guludan

Teknologi konservasi tanah dan air merujuk pada UU RI No. 37 Tahun


2014 tentang Konservasi Tanah dan air, Menurut yang tercantum dalam UU RI
NO.37 konservasi dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa metode yaitu:
● Metode vegetatif
● Agronomi
● Sipil teknis pembuatan bangunan
● Manajemen, dan lainnya
Dalam perencanaan jangka panjang, menengah, maupun perencanaan
tahunan. Metode vegetatif dapat dilakukan dengan cara penanaman tanaman
penutup tanah, penanaman sejajar kontur dan penanaman dalam strip. Metode
atau cara vegetatif yang dilakukan sebagai bagian dari teknologi konservasi tanah
dan air. Teknik konservasi tanah secara vegetatif memiliki beberapa keunggulan
dibandingkan dengan teknik konservasi tanah secara mekanis atau sipil maupun
kimia. Keunggulan tersebut diantaranya yaitu dalam penerapannya memerlukan
biaya yang relatif murah, bahan-bahan mudah untuk didapatkan dan diaplikasikan
serta mampu menyediakan bahan organik dan tambahan hara bagi tanaman.
Namun dalam penerapannya juga terdapat kendala yaitu kurangnya pemahaman
petani terhadap teknologi konservasi secara vegetatif maupun pengelolaan lahan
yang kurang tepat dapat menyebabkan lahan berpotensi untuk terjadi degradasi
lahan. Metode agronomi dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu:
● Pengaplikasian mulsa
● Pengaturan pola tanam
● Pemberian ameliorant
● Pengayaan tanaman
● Pengolahan tanah konservasi
● Penanaman searah kontur

6
● Pemupukan, pemanenan, dan lain sebagainya
Sedangkan metode teknik sipil terdiri dari pembuatan parit, terasering,
teras, canyon control, sumur resapan dan fasilitas lainnya. Dalam Peraturan
Direktur Jenderal Pengendalian Daerah Tangkapan Air dan Hutan Lindung Nomor
P 6/PDASHL/SET/Kum.1/8/2017 tentang Pedoman Teknis Perlindungan Tanah
dan Air Pada Bangunan Gedung, diperlukan kegiatan pemeliharaan secara
berkala. bangunan atau struktur di darat, termasuk pembersihan sampah,
pemeliharaan bronjong dan pengerukan lumpur. Pengelolaan sumber daya air
merupakan salah satu kepentingan utama yang harus segera dilaksanakan agar
masyarakat sekitar Ranu Pane mendapatkan air bersih yang cukup tanpa
sedimen. 17 Tahun 2019 Terkait dengan sumber daya air, upaya pengelolaan
sumber daya air harus memperhatikan berbagai aspek, antara lain wilayah
tangkapan air alami, karakteristik fungsi sumber air, daya dukung sumber daya air,
karakteristik wilayah dan aspirasi dengan masyarakat sekitar, kapasitas
pembiayaan, perubahan iklim, konservasi alam. sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya, perkembangan teknologi, serta jumlah dan distribusi penduduk.
Konservasi sumber daya air dapat dilakukan melalui perlindungan dan konservasi
sumber daya air, konservasi air, pengelolaan kualitas air, dan pengendalian
pencemaran air. Pengelolaan sumber daya air juga harus dilakukan di daerah
aliran sungai. Ranu Pane, mengacu pada Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 37 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Pengelolaan Daerah Aliran
Sungai, langkah-langkah yang dapat dilakukan antara lain optimalisasi
penggunaan lahan sesuai dengan fungsi dan daya dukung kawasan, penerapan
tanah dan air. teknik perlindungan, pengelolaan Vegetasi, penyadaran dan
partisipasi instansi yang bertanggung jawab serta pembentukan kelembagaan
pengelolaan daerah tangkapan air. dengan pengelolaan vegetasi, peningkatan
kesadaran dan partisipasi otoritas terkait dan pengembangan kelembagaan untuk
pengelolaan daerah tangkapan air.

7
BAB III
REKOMENDASI KE KEPALA DESA (APARAT DESA)

Desa Ranu Pane terletak di Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang,


Provinsi Jawa Timur, secara geografis terletak antara 08° 00' 20.4583" LS dan
112° 55' 51.6481" BT. Desa Ranupani mencapai ketinggian 2200 meter diatas
permukaan laut, berada pada lereng Gunung Semeru (gunung tertinggi di Pulau
Jawa 3676 mdpl), daerah dingin dengan kabut yang konstan. Suhu berkisar -4°C
hingga 24 °C. Desa Ranu Pane memiliki luas mencapai 3.578,75 ha terdiri atas,
lahan milik seluas 318,40 ha dan 3260,35 termasuk hutan lindung milik negara.
Menurut Artaka (2012) Desa Ranu Pane tidak memiliki tanah kas desa dan tanah
bengkok. Sebaran lokasi lahan milik penduduk terdapat di dua dusun yaitu,
Sidodadi (dusun atas) dan Besaran (dusun bawah).

Penggunaan lahan penduduk didominasi tanah pertanian lahan kering


seluas 203,94 ha, pemukiman (pekarangan dan rumah) 65,66 ha, serta sisanya
prasarana umum (jalan, tempat ibadah, kuburan, dan danyang). Komoditas utama
pertanian lahan kering di Desa Ranu Pane adalah kentang, kubis, dan daun
bawang. Kentang merupakan komoditas yang paling banyak ditanam.
Berdasarkan wawancara dengan masyarakat petani, kentang memiliki
keuntungan yang lebih besar dibandingkan dengan komoditas yang lain. Pola
pertanian di lahan miring pada umumnya tidak lagi menggunakan sistem
“terasering” dengan alasan untuk memaksimalkan kuantitas hasil produksi. Pola
yang dipakai dengan tanpa adanya “terasering” ini mengakibatkan tingkat erosi
yang lebih tinggi sehingga menjadikan daerah pegunungan di Desa Ranu Pane
rawan longsor. Selain itu, adanya erosi tanah di sekitar Danau Ranu Pani akan
menyebabkan sedimentasi dan pendangkalan danau.

Daerah Ranu Pane merupakan salah satu daerah di sekitar pegunungan


yang mempunyai sifat tanah dengan kesuburan sangat tinggi. Hal ini berkaitan
dengan mata pencaharian masyarakat di daerah Ranu Pane yang sebagian besar
adalah sebagai petani (Hakim, 2011). Dengan tekanan akan pertumbuhan
penduduk dan kebutuhan akan lahan pertanian yang tinggi di daerah enclave
taman nasional menyebabkan intensifikasi pertanian pada lahan dengan
kemiringan terjal. Posisi yang terkepung Taman Nasional terjadilah pembatasan
hak-akses atas lahan dan manfaat kawasan terhadap pemenuhan kebutuhan
dasar rumah tangga (kayu bakar dan tentu kebutuhan lahan untuk usaha pertanian
lahan kering dengan adanya perkembangan jumlah penduduk), dan juga terhadap
pemenuhan kebutuhan yang bersifat komunal, antara lain kebutuhan untuk ritual

8
dan upacara komunal (bambu & daun pisang) dan lahan untuk fasilitas umum
(kuburan, dan tempat pembuangan sampah). Adanya pemikiran yang berbeda
dalam melihat sumber daya alam menimbulkan cara pengelolaan yang berbeda
pula, bahkan seringkali perbedaan pemaknaan itu berujung pada ketegangan
antara pemerintah dan masyarakat lokal.

Selain terjadinya erosi dan keruntuhan lereng, di Ranu Pane juga


dikhawatirkan terjadi sedimentasi karena perubahan tata guna lahan yang sangat
cepat dan praktek pertanian yang tidak berkelanjutan. Hal ini disebabkan karena
revolusi hijau yang memperkenalkan pemanfaatan obat-obatan kimia dan pupuk
kimia untuk memacu produktifitas pertanian. Oleh karena itu perlu adanya
rekomendasi yang diberikan ke kepala desa agar dapat menanggulangi
permasalahan tersebut agar lahan yang ditanami kentang tidak mengalami
degradasi lahan. Berdasarkan kondisi tersebut ada beberapa tindakan yang harus
dilakukan oleh Kepala Desa Kabupaten Lumajang, diantaranya yaitu:

● Kawasan Lindung Dataran Tinggi Ranu Pane Kabupaten Lumajang dapat


melakukan kegiatan Rehabilitasi hutan dan lahan yaitu dengan melakukan
kegiatan seperti reboisasi, pemeliharaan tanaman, pengayaan tanaman, atau
penerapan teknik konservasi tanah. Reboisasi dilakukan di dalam kawasan
hutan lindung, hutan produksi, atau hutan konservasi. Pemeliharaan tanaman
dilakukan oleh pemerintah, pemegang hak atau izin. Rehabilitasi lahan
diselenggarakan melalui kegiatan penghijauan, pemeliharaan, pengayaan
tanaman, atau penerapan teknik konservasi tanah. Penghijauan untuk
memulihkan dan meningkatkan produktivitas lahan; pemeliharaan tanaman
melalui perawatan, pengendalian hama dan penyakit; pengayaan tanaman
untuk meningkatkan produktivitas lahan; penerapan teknik konservasi tanah
secara vegetatif, sipil teknis, kimiawi. Rehabilitasi hutan konservasi dengan
menanam jenis tumbuhan asli setempat, tumbuhan yang sesuai keadaan
habitat, menanam berbagai jenis tanaman hutan.

● Reklamasi hutan dilakukan pada lahan dan vegetasi pada kawasan hutan yang
telah mengalami perubahan permukaan tanah dan perubahan penutupan
tanah (Muanah, 2016). Reklamasi hutan meliputi kegiatan (a) inventarisasi
lokasi, yaitu kegiatan pengumpulan data dan informasi terhadap kawasan
hutan; (b) penetapan lokasi, adalah kegiatan pemilihan dan penunjukan lokasi;
(c) perencanaan, dilakukan untuk menghasilkan rencana reklamasi hutan yang
disusun untuk jangka waktu 5 tahun; (d) pelaksanaan reklamasi, penilaian
didasarkan pada norma, standar, prosedur, dan kriteria reklamasi hutan.

● Peran Serta Masyarakat, Pembinaan, Pengendalian dan Pengawasan


Rehabilitasi dan reklamasi hutan melibatkan peran serta masyarakat.
Pembinaan, pengendalian, dan pengawasan dilakukan oleh menteri, gubernur
atau bupati/walikota. Pembinaan yaitu pemberian pedoman, bimbingan,
pelatihan, arahan, dan supervisi. Pengendalian meliputi kegiatan monitoring,
evaluasi, pelaporan, dan tindak lanjut.

● Pengelolaan DAS merupakan upaya yang penting dalam Kawasan Lindung


Dataran Tinggi Ranu Pane Kabupaten Lumajang Agar dapat tercapai tujuan
yang diharapkan dari kawasan lindung khususnya di wilayah Ranu Pane, maka
perlu penanganan DAS yang mengalami penurunan daya guna akibat adanya
pengelolaan yang kurang tepat. Tidak hanya meningkatkan atau memperbaiki
11 kondisi lingkungan DAS dan sekitarnya, namun adanya pengelolaan DAS
juga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan terwujudnya

9
kondisi lahan yang memiliki produktivitas tinggi sehingga kondisi
perekonomian masyarakat di sekitar DAS dapat meningkat. Pengelolaan DAS
diselenggarakan sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku agar tidak
menyalahi aturan dan tercapai meningkatnya daya guna DAS. Secara umum,
pengelolaan DAS meliputi beberapa tahapan berupa perencanaan,
pelaksanaan, monitoring dan evaluasi, serta pembinaan dan pengawasan.

● Kawasan Lindung Dataran Tinggi Ranu Pane Kabupaten Lumajang dapat


menerapkan Metode terasering perlu agar pertanian di lereng bukit dapat
dikelola dengan lebih baik. Terasering mencegah erosi dan mampu
mengalirkan lebih banyak air untuk tanaman. Selain itu, lahan pertanian lereng
bukit membutuhkan tutupan tanaman untuk membantu mempertahankan
kondisi tanah. Hal ini dapat dilakukan melalui metode tumpang sari, yaitu
menanam dua jenis tanaman bersamaan di ladang yang sama, misalnya
menanam jagung atau kedelai di antara barisan pohon kelapa sawit. Bagi
petani kecil, sistem wanatani dengan berbagai tanaman dan pohon ditanam
secara bersamaan juga dapat menjadi solusi ramah tanah yang efektif. Selain
itu, penggunaan pupuk kandang dapat meningkatkan bahan organik yang
terkandung dalam tanah, sehingga mencegah erosi. Akhirnya, rotasi tanaman
berakar dalam dan berakar dangkal dapat memperbaiki struktur tanah dan
pada saat yang sama mengurangi erosi.

BAB IV
REKOMENDASI KE PEMERINTAH KABUPATEN LUMAJANG

10
4.1 Penyuluhan dan Pendekatan terhadap Masyarakat Kabupaten Lumajang
Pencegahan yang dilakukan untuk kegiatan konservasi tanah dan air di lereng
DAS Ranu Pane adalah dengan memberikan bimbingan dan pendekatan kepada
masyarakat setempat sebagai pengelola lahan primer. Adanya konseling,
pendekatan, dan pedoman dapat membantu masyarakat untuk memahami
seputar apa saja yang terjadi, sebab-akibat, dan bagaimana cara mengatasi.
Penyuluhan dan pendekatan dapat dilaksanakan oleh pemerintah dan dapat
diterima oleh masyarakat. Maka dari itu, pemerintah memiliki peran untuk
menyediakan jasa penyuluhan mengenai cara untuk menanggulangi degradasi
lahan dan bagaimana cara mencegah agar tidak terjadi degradasi lahan.
4.2 Pemulihan Fungsi Lahan
Ranu Pane yang memiliki kelerengan yang cukup miring dan digunakan untuk
menanam kentang, penanaman merusak tanah tersebut yang dulunya adalah
hutan. Hal tersebut dikarenakan adanya pergantian dari sistem perakaran yang
semula kokoh terganti dengan perakaran yang tidak kuat untuk menahan laju
erosi. Oleh karena itu perlu dilakukan pemulihan fungsi bumi agar bumi yang rusak
tidak kembali ke warna semula dan menjadi hancur kembali. Jika lahan di sekitar
DAS dipulihkan, hal itu juga akan mempengaruhi DAS itu sendiri. Pemulihan fungsi
lahan pada lahan rusak telah tercantum pada UU No.37 Tahun 2014 Tentang
Konservasi Tanah dan Air. Tindakan yang dapat dilakukan untuk memulihkan
tanah dan air untuk mengembalikan fungsi dengan melestarikan tanah dan air
adalah membuat terasering untuk menerima air dan meningkatkan infiltrasi tanah.
Terasering berguna untuk dapat memperkecil tekanan air yang turun ke bawah
yang dapat menyebabkan erosi. Beberapa manfaat lain dari terasering yaitu dapat
memperlambat limpasan air pada saluran peresapan dan sebagai pengumpul
tanah yang tererosi, sehingga membuat sedimen tanah lebih mudah untuk dapat
dikembalikan ke dalam bidang tanah. Selain itu, terdapat beberapa tindakan
konservasi tanah dan air yang dapat dilakukan, seperti pembuatan saluran air.
4.3 Revegetasi Lahan
Revegetasi adalah usaha untuk memperbaiki dan memulihkan vegetasi yang
rusak melalui kegiatan penanaman dan pemeliharaan pada lahan bekas
penggunaan kawasan hutan. Kegiatan revegetasi lahan akan menumbuhkan
tanaman yang akan menjadi cikal bakal terbentuknya ekosistem hutan. Terdapat
faktor pendukung yang harus diperhatikan untuk mencapai keberhasilan
revegetasi, yaitu jenis tanaman yang mengacu pada rancang teknis pelaksanaan
reklamasi pada suatu lahan terutama lahan miring. Dengan memperhatikan jenis
tanaman yang akan ditumbuhkan pada lahan miring menjadi faktor terpenting
dalam keberhasilan revegetasi. Revegetasi dapat dilakukan dengan pembuatan
kebun campuran atau biasa disebut dengan agroforestri dimana kegiatan
agroforestri merupakan penanaman tanaman semusim dan juga tanaman
berkayu, dimana hal tersebut dapat dilakukan terutama pada lahan terasering
terutama dalam kemiringan yang terdapat di daerah Ranu Pane. Kegunaan dalam
penggunaan agroforestri tersebut tentunya berkaitan erat dengan fungsi pohon
berkayu yang dapat memperkuat tanah sehingga erosi dapat diminimalisir.
Seringkali sistem agroforestri diremehkan oleh kalangan masyarakat oleh karena
penghasilan yang didapat tidak sebanding dengan tanaman monokultur yang

11
dapat dipanen pada setiap musim. Namun, pemerintah kabupaten Lumajang perlu
memberikan pengarahan terhadap masyarakat mengenai hal tersebut karena
peran pohon yang sangat vital bagi keberlangsungan lingkungan terutama bagi
lahan terdegradasi. Selain itu, sistem agroforestri juga sangat cocok untuk dapat
diterapkan untuk lahan yang mengalami degradasi. Hal tersebut karena
agroforestri dapat mengembalikan fungsi hutan meski tidak sebesar hutan alami.
4.4 Rehabilitasi Mekanik, Biologi, dan Kimia

Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian No.58/Permentan/OT.140/9/2012


tentang Perlindungan, Pemeliharaan, Pemulihan, serta Peningkatan Fungsi Lahan
Budidaya Hortikultura, pemulihan lahan hortikultura yang mengalami degradasi
perlulah dilakukan. Pemulihan tersebut dapat dilakukan dengan melalui
rehabilitasi dengan cara mekanik, biologi dan kimia. Rehabilitasi dengan cara
mekanik dapat dilakukan dengan cara pemberian mulsa, pembuatan guludan atau
terasering. Sedangkan rehabilitasi dengan cara biologi dapat dilakukan dengan
pemberian pupuk organik, pupuk hayati dan pembenah tanah. Selanjutnya
rehabilitasi kimia dapat dilakukan dengan cara pemberian pupuk anorganik yang
seimbang dan tidak berlebihan sehingga tidak sampai merusak unsur organik atau
unsur lainnya dari lahan itu sendiri.

4.5 Pemeliharaan Lahan


Upaya pencegahan penurunan ketersediaan lahan yang baik dan
berkelanjutan diarahkan kepada pertumbuhan tanaman produktif, termasuk
pertanian, perkebunan, hutan dan padang rumput, tetapi tidak termasuk kawasan
perkotaan, pemukiman, perairan, perlindungan Fungsi Tanah pada Lahan dalam
penyelenggaraan Konservasi Tanah dan Air dilaksanakan dengan cara
pengendalian konversi penggunaan Lahan Prima, serta pengamanan dan
penataan kawasan. Pemulihan Fungsi Tanah pada Lahan dilaksanakan pada
Lahan Kritis dan lahan rusak menggunakan metode vegetatif. Upaya rehabilitasi
dan konservasi lahan dengan menanam beberapa jenis tanaman pohon dan/atau
tanaman lainnya untuk menjaga penutupan tanah agar dapat mengikat butir tanah
secara lebih kuat, dan/atau menggunakan metode sipil teknis berupa pembuatan
bangunan Konservasi Tanah dan Air. Sedangkan metode sipil teknis tidak
dilakukan dalam Kawasan Lindung. Peningkatan Fungsi Tanah pada Lahan
dilaksanakan pada Lahan Kritis dan Lahan Rusak dengan metode agronomi,
vegetatif, dan sipil teknis. Pemeliharaan Fungsi Tanah pada Lahan dilaksanakan
pada Lahan Prima, Lahan Kritis, dan Lahan Rusak yang telah dipulihkan dan
ditingkatkan fungsinya dengan menggunakan metode agronomi dan pemeliharaan
bangunan Konservasi Tanah dan Air.

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Lahan yang berada di Ranu Pane termasuk kedalam lahan yang kritis,
sehingga dapat dikatakan lahan tersebut belum bisa dimanfaatkan secara optimal
serta tingkat produktivitasnya rendah. Lahan kritis ini dapat mengakibatkan
hilangnya fungsi lahan, mengganggu fungsi hidrologis, sosial ekonomi pertanian

12
hingga fungsi produksi pertanian, serta menyebabkan erosi, longsor, banjir dan
sedimentasi sungai yang dapat merusak ekosistem di sekitarnya. Oleh karena itu,
telah diambil langkah-langkah untuk mengatasi masalah. Dalam metodenya,
dapat menggunakan metode vegetatif dan metode mekanik. Penerapannya dalam
mengelola lahan di kemiringan yang curam harus dilakukan secara tepat sasaran
dengan bantuan teknologi sistem pertanian konservasi, sehingga dapat
memberikan manfaat bagi lingkungan dan masyarakat sekitar. Selain itu, dalam
merekomendasikan langkah konservasi ini, tidak hanya masyarakat, tetapi semua
kalangan dan pihak wajib bersatu dalam menyelesaikan permasalahan ini, baik
dari aparat desa Ranu Pane hingga Pemerintah Daerah Kabupaten Lumajang
harus bekerja sama sehingga kerusakan dapat ditanggulangi dengan baik demi
kesejahteraan manusia dan kelestarian lingkungan. Selain itu, baik dari pihak
pemerintah maupun masyarakat diharapkan dapat menjaga kelestarian
lingkungan dimana setelah dilakukannya pemberdayaan, hal tersebut dapat
dilakukan secara berkelanjutan dan diharapkan pemerintah dapat terus
mendukung hal tersebut tanpa melakukan pembukaan lahan di daerah-daerah lain
yang cukup rawan untuk dapat terjadi erosi. Selain itu pemerintah diharapkan juga
dapat memberikan perhatian khusus terutama bagi lingkungan dimana selain
aspek lingkungan tersebut, aspek ekonomi dan sosial dapat tercakup dengan
terjadinya kelestarian lingkungan terutama di Kabupaten Lumajang.
5.2 Saran
Saran yang disampaikan oleh kelompok kami berdasarkan studi kasus dan
pembahasan serta kesimpulan diatas adalah sebagai berikut:
1. Masyarakat sekitar harus lebih memperhatikan masalah besar dan kecil
terkait perusakan dan konservasi tanah dan air di Area tersebut.
2. Pemerintah kabupaten Lumajang dapat memperhatikan area-area yang
terkena dampak dari terjadinya degradasi lahan agar dapat dilakukan
rehabilitasi terhadap lokasi tersebut.
3. Pemerintah dan masyarakat harus dapat menjaga kelestarian lingkungan
dengan tidak terus menerus melakukan pembukaan lahan dan pergantian
hutan menjadi kebun monokultur dimana hal tersebut akan merusak
lingkungan.

DAFTAR PUSTAKA

Artaka, T. 2012. Action Plan: JICA Training and Dialogue Program: Sustainable
Natural Resource Management though Japanese System of Natural Park.
Community Capacity Building for Tourism Village at Ranu Pani Village; An
Enclave Village of Bromo Tengger Semeru National Park, East Java –
Indonesia; 2012 – 2015. Lumajang.

13
Hakim, L. 2011. Cultural Landscape of the Tengger Highland, East Java. In: Hong
et. All (eds). Landscape Ecology in Asian Culture. Ecological Research
Monograph. 001.10.1007/978-4-431-87799-8-6. Springer.
Muanah, S., Rahmawati, T., Andayani, S. 2016. Strategi Pengembangan Desa
Wisata di Kawasan Hinterland Gunung Bromo Jawa Timur. Jurnal Hasil
Penelitian LPPM Untag Surabaya. 1(1): 33-52.
Reza, Adhe, and Adjie Pamungkas. (2014). “Faktor-Faktor Kerentanan Yang
Berpengaruh Terhadap Bencana Banjir Di Kecamatan Manggala Kota
Makassar.” Jurnal Teknik Pomits 3 (2): 3–8.
Wahyunto dan Ai. D. 2014. Degradasi Lahan di Indonesia: Kondisi Existing,
Karakteristik, dan Penyeragaman Definisi Mendukung Gerakan Menuju
Satu Peta. Jurnal Sumberdaya Lahan. 8(2): 81-93.

14

Anda mungkin juga menyukai