Anda di halaman 1dari 25

i

TEKNOLOGI KONSERVASI SUMBERDAYA LAHAN


TUGAS TM-1
Isu-isu Konservasi Sumberdaya Lahan di Kawasan Pegunungan/Perbukitan

Dosen Pengampu :
Dr. Kurniawan Sigit Wicaksono, S.P., M.Sc.
Disusun Oleh :
Kelompok 2

Anggota Kelompok :
Insyirah Rahman Nisa (195040201111082)
Sindi Puspita Sari (195040201111193)
Hatta Gumilang (195040201111201)
Listya Dian Nurfitasari (195040201111205)
Romzul Islami Alfarisi (195040207111127)

Kelas : J

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG

2021
ii

Daftar Isi
Cover i
Daftar Isi .................................................................................................................. ii
Bab I Pendahuluan ................................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................................ 1
1.2 Dampak Degradasi Lahan ............................................................................... 4
Bab II Analisis Masalah Degradasi Lahan ............................................................. 6
2.1 Ciri-Ciri Lahan Terdegradasi ........................................................................... 6
2.2 Karakteristik dan Permasalahan Degradasi Lahan .......................................... 6
2.3 Penyebab Degradasi Lahan di Kawasan Pegunungan/Perbukitan .................. 9
Bab III Teknologi Konservasi Tanah dan Air yang Tepat Sasaran .................... 11
Bab IV Strategi Managemen Kawasan Pegunungan/Perbukitan ....................... 16
Bab V Kesimpulan dan Saran .............................................................................. 20
5.1 Kesimpulan ................................................................................................... 20
5.2 Saran ............................................................................................................ 20
Daftar Pustaka ...................................................................................................... 21

ii
Bab I
Pendahuluan

1.1 Latar Belakang


Indonesia merupakan Negara yang kaya akan sumberdaya alam dan
merupakan Negara agraris yang pembangunan ekonominya sangat erat berkaitan
dengan pembangunan pertanian. Indonesia memiliki kawasan wilayah yang berupa
perbukitan dan pegunungan sekitar 45% yang memiliki ciri topo-fisiografi yang
beragam. Keberagaman tersebut membuat praktek budidaya pertanian pada lahan
pegunungan terletak pada posisi yang strategis dalam pembangunan pertanian.
Keberhasilan pembangunan pertanian sangat ditentukan oleh komoditas tanaman
pangan, hortikulturan maupun perkebunan. Akan tetapi keberhasilan tersebut juga
harus memperhatikan lingkungan tumbuh komoditas yang ditanami. Namun dengan
adanya pemanfaatan sumberdaya lahan yang tidak menerapkan prinsip konservasi,
maka hal inilah yang menyebabkan terjadinya kerusakan lahan. Pentingnya
kesadaran masyarakat terhadap lingkungan sekitar. Agroekosistem sekitar juga
perlu diperhatikan seperti jenis tanah dan iklim yang erat kaitannya dengan masalah
pengelolaan lahan terutama di lahan pegunungan atau dataran tinggi.
Lahan sebagai salah satu sumberdaya alam memiliki peranan penting dalam
kehidupan manusia. Lahan membunyai beberapa lingkungan biofisik seperti
vegetasi, topografi, bentuk lahan dan lainnya yang memiliki aktivitas di dalam tanah
ataupun di atas tanah. Sejalan dengan pendapat Baja (2012), bahwa lahan ialah
luasan yang berada dipermukaan bumi yang mempunyai penciri terjadinya siklus
baik di atas maupun di bawah luasan tersebut yang meliputi atmosfer, tanah,
geologi, hidrologi, populasi, tumbuhan dan hewan dan dipengaruhi oleh kegiatan
manusia pada masa lampau, saat ini, dan masa mendatang yang dapat
mempengaruhi potensi penggunaannya. Selain digunakan untuk bercocok tanam,
lahan juga digunakan manusia sebagai tempat tinggal dan beberapa aktivitas lain
seperti pemukiman masyarakat, kehutananan, kegiatan pertanian, dan lainnya.
Tidak lepas dari hal tersebut lahan memiliki berbagai bidang kehidupan dimana
kondisi lahan juga harus tetap terjaga dengan baik. Dalam pemanfaatan lahan harus
sesuai dengan karakteristik lahan tersebut agar kelestarian lingkungan dapat terjaga
dengan baik. Pada lahan pegunungan selain memberikan manfaat kepada petani,
juga bermanfaat dalam menjaga lingkungan dasar aliran sungai maupun penyangga
yang ada dibawahnya. Untuk daerah pegununggan atau dataran tinggi banyak
penanaman tanaman tahunan untuk pemanfaatan lahan yang sesuai. Sehingga
pada dataran tinggi sangat cocok dimanfaatkan untuk menggulangi adanya
bencana. Selain itu juga bermanfaat sebagai daerah konservasi yang memberikan
perlindungan maupun keberlangsungan pada daerah sekitarnya.
Budidaya komoditas tanaman pertanian di lahan pegunungan dihadapkan
pada beberapa faktor pembatas biofisik. Faktor pembatas tersebut antara lain
memiliki kelerengan yang relatif curam, tanah yang rawan terhadap terjadinya
longsor maupun erosi, dan memiliki curah hujan relatif curam. Apabila pada
pengelolaan lahan maupun sumberdaya alamnya dilakukan dengan kurang baik
maka akan menimbulkan kerusakan berupa degradasi maupun ketersediaan air. Hal
tersebut tidak hanya berdampak pada masyarakat yang berada pada lahan
pegunungan, tetapi masyarakat pada daerah dataran rendah juga terkena
dampaknya. Sumberdaya lahan dapat mengalami perubahan karena aktivitas
2

manusia maupun proses alam itu sendiri. Adanya proses alam ini disebabkan oleh
perubahan permukaan bumi karena adanya proses geomorfologis, dimana proses
ini dapat menyebabkan degradasi lahan akibat menurunnya kualitas daya dukung
pada lahan. Sejalan dengan pendapat Wahyunto (2014) bahwa, degradasi lahan
merupakan proses penurunan produktivitas lahan yang sifatnya sementara maupun
tetap.
Seiring dengan meningkatnya populasi pertambahan penduduk maka
kebutuhan sumber daya alam juga akan meningkat yang dapat menyebabkan
penurunan sumberdaya lahan. Luasan lahan yang terdegradasi di Indonesia
semakin meningkat, sejalan dengan pendapat Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
dan Tata Perhutanan Sosial, Kementerian Kehutanan (2011) bahwa, pada tahun
1968 luas lahan terdegradasi di Indonesia sebesar 20 juta hektar, sekitar 40 juta
hektar pada tahun 1990-an, dan mencapai 77,8 hektar pada tahun 2008. Pada areal
tanaman budidaya, luas lahan kritis dan lahan yang terdegradasi adalah 18 juta
hektar pada tahun 1993 (Puslitbangtanah, 2004), sedangkan pada tahun 2003
mencapai 23,2 juta hektar (Baja 2005). Berdasarkan data tersebut dapat
disimpulkan bahwa dalam luas tanam pertanian saja kerusakan lahan meningkat 5,2
juta hektar dalam 10 tahun. Lahan terdegradasi bukan hanya lahan non produktif,
tetapi juga dapat menjadi sumber bencana seperti mulai dari kekeringan, banjir,
tanah longsor hingga kebakaran dan berdampak pada pemanasan global. Dampak
negatif lahan terdegradasi tidak hanya tercermin dari letak lahan terdegradasi, tetapi
juga meluas.
Lahan terdegradasi yang lebih luas, baik di dalam maupun di luar kawasan
hutan, akan menyebabkan kerusakan lingkungan yang lebih parah, yang berujung
pada bencana alam. Dengan mempertimbangkan keragaman penyebab degradasi
lahan, tingkatan dan jenis degradasi lahan, serta kompleksnya kondisi lingkungan
tempat terjadinya degradasi lahan, maka teknologi rehabilitasi lahan yang digunakan
tentunya harus disesuaikan dengan kondisi setempat. Oleh karena itu, data dan
informasi mengenai sebaran dan karakteristik lahan terdegradasi diperlukan untuk
mendukung upaya perlindungan masyarakat yang mendiami dan memanfaatkan
lahan serta mencegah kerusakan lahan dan lingkungan lebih lanjut. Informasi ini
sangat berguna untuk merumuskan arah rencana tata ruang wilayah, sehingga
rencana pembangunan tidak menyebabkan penurunan kualitas sumberdaya lahan
dan lingkungan.
Banyaknya kasus sumberdaya alam yang menyebabkan lahan terdegradasi
sebagai contoh pemukiman di wilayah lereng pegunungan. Wilayah lereng gunung
beralihfungsi menjadi lahan pemukiman, yang seharusnya digunakan sebagai lahan
konservasi. Pembukaan lahan diwilayah yang memiliki kelerengan curam jika
dimanfaatkan sebagai lahan pemukiman maka akan berdampak resiko erosi yang
tinggi. Adanya hal tersebut yang menyebabkan ketidaksesuaian prinsip konservasi
tanah sebagai kegiatan menjaga dan melestarikan. Tanah merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari lingkungan dan mutlak harus dilindungi atau dicegah agar
tidak terkena dampak yang merugikan, oleh karena itu konservasi tanah merupakan
syarat yang diperlukan agar lingkungan dapat hidup (Idjudin, 2006). Oleh karena itu,
perlindungan sumber daya lahan merupakan upaya manusia untuk mencegah
kerusakan sumber daya lahan, termasuk tanah, air, karbon, dan keanekaragaman
hayati. Adanya konservasi sumberdaya lahan berupaya untuk mencegah terjadinya
erosi atau tanah longsor, gangguan keanekaragaman hayati dan pemadatan tanah
yang mengancam manusia (Arsyad dan Rustiadi, 2008).
3

Dieng merupakan salah satu daerah yang terletak dikawasan dataran tinggi
yang berada di Jawa Tengah. Dieng memiliki kawasan hutan-hutan yang
kelestariannya tetap dijaga. Banyak masyarakat di daerah Dieng yang
memanfaatkan lahannya sebagai lahan budidaya tanaman pangan maupun
hortikultura sebagai sumber kebutuhan sehari-hari. Kasus yang terjadi di Dieng
dikarenakan tingginya populasi penduduk dengan 100 jiwa/km² yang memiliki lahan
sempit rata-rata sebesar 0,1 ha. Tingginya jumlah penduduk menyebabkan
sempitnya kepemilikan lahan yang mengakibatkan hilangnya kepedulian terhadap
kawasan hutan lindung karena beralih menjadi wilayah atau kawasan budidaya
pertanian. Adanya perubahan lahan inilah yang menyebabkan munculnya degradasi
lahan yang semakin luas. Hal tersebut dikarenakan adanya perubahan kawasan
pegunungan menjadi kawasan budidayapertanian secara besar-besaran sehingga
lahan kritis semakin tinggi. Kawasan tersebut telah mengalami kerusakan yang
sangat besar, sehingga jika dimanfaatkan untuk produksi pertanian fungsinya kurang
optimal. Pada umumnya para petani Dieng mengelola lahannya dengan dibuat
bedengan dan guludan, tetapi arahnya sama dengan lereng teras bangku.
Kemungkinan masih bisa terjadi erosi karena memiliki posisi miring dan pada ujung
teras tidak ditanami tanaman penguat bertingkat. Seharusnya daerah perbukitan
harus ditanami tanaman yang kuat dan berumur panjang untuk menjaga kestabilan
tanah dan daya serap air. Akibat erosi ini, sedimen di dasar aliran sungai semakin
meluas dan berbanding terbalik terhadap kesuburan di dataran tinggi. Hal ini karena
unsur hara tanah yang terkandung di permukaan tanah tersapu oleh air yang
menyebabkan penurunan produktivitas lahan pertanian.
Selain itu di daerah Bali juga terdapat kasus degradasi pada tahun 2015 yang
cukup menghawatirkan. Adanya degradasi lahan, mengakibatkan kurangnya
produktivitas lahan pertanian. Hal tersebut erat kaitannya dengan perubahan lahan
yang dialihfungsikan menjadi pembangunan Hotel dan Villa seperti di Ubud dan
Gianyar. Selain itu, adanya pembangunan fasilitas pariwisata dapat mengganggu
sistem pengairan. Adanya pembangunan tersebut dilakukan tanpa memperhatikan
kelestarian lingkungan untuk kawasan pertanian. Jika luas lahan pertanian menurun
maka juga akan berdampak pada perolehan hasil pertanian untuk pasokan beras,
sehingga bali mengimpor dari luar bali. Maka dari itu pihak yang terlibat sebagai
stakeholder harus lebih memperhatikan kelestarian lingkungan agar tetap terjaga
dengan baik. Dalam hal ini, Pemerintah dinilai yang menghancurkan sistem subak
sebagai suatu budaya Bali. Pemerintah dinilai lambat untuk membuat keputusan
untuk memetakan antara pariwisata dengan pertanian.
Banyak kasus alihfungsi lahan yang terjadi disekitar kita, seperti lahan
pertanian menjadi lahan pemukiman atau non pertanian. Adanya alih fungsi lahan
yang menyebabkan lahan pertanian menjadi sempit. Semakin bertambahnya
populasi penduduk maka kebutuhan akan sumberdaya juga akan ikut meningkat.
Meningkatnya kebutuhan pokok harian penduduk akan sandang, pangan, dan
papan. Kekayaan akan sumberdaya juga memiliki keterbatasan. Banyak terjadi
kasus-kasus yang berkaitan dengan degradasi lahan. Kita sebagai manusia harus
memiliki kesadaran mengenai kasus-kasus lahan terdegradasi. Kasus tersebut
bukanlah kasus yang ringan, melainkan kasus yang memiliki dampak besar bagi
kelangsungan hidup dan kelestarian lingkungan sekitar kita. Untuk menghindari atau
menanggulangi kasus-kasus degradasi lahan maka perlu diadakannya penghijauan
hutan kembali dan mengolah tanah sesuai dengan kebutuhan. Supaya
kelestariannya tetap terjaga dengan baik.
4

1.2 Dampak Degradasi Lahan


Degradasi lahan merupakan salah satu penyebab turunnya produktivitas
lahan. Lahan terdegradasi sering disebut dengan lahan kritis yang mengalami
kerusakan dan berkurangnya fungsi lahan tersebut. Degradasi lahan ini dapat terjadi
akibat tidak terkontrolnya konversi hutan. Selain itu adanya pengolahan lahan yang
kurang tepat yang dapat menjadikan lahan tersebut menjadi lahan terdegradasi.
Sejalan dengan pendapat Direktorat Bina Rehabilitasi dan Pengembangan Lahan,
Departemen Pertanian (1993) yang mengartikan lahan kritis sebagai lahan yang
dimana penggunaannya tidak sesuai dengan kemampuan lahan itu sendiri, sehingga
dapat terjadi kerusakan secara fisik, kimia, dan biologi dalam lahan. Oleh karena itu,
pada prinsipnya degradasi lahan dibagi dalam tiga aspek yaitu kimia, fisika, dan
biologi. Pada aspek kimia terjadi karena ketidakseimbangan unsur hara dan
pencucian hara dalam tanah. Pada aspek fisika terjadi karena adanya kerusakan
pada tanah dala bentuk padatan, drainasenya tidak berimbang, dan dapat merubah
struktur tanah. Pada aspek biologi terjadi karena kurangnya keanekaragaman hayati
yang berada di tanah, kurangnya vegetasi tananaman, dan karbon biomas. Dampak
degradasi lahan ini ukan hanya berdampak pada masyarakat yang berada didaerah
dataran tinggi saja, tetapi juga berdampak pada masyarakat yang berada didaerah
dataran rendah. Adanya hal tersebut maka perlu diadakannya kesadaran
masyarakat akan pengelolaan dan penggunaan lahan secara baik dan benar,
sehingga kelestariannya dapat terjaga dengan baik. Adanya degradasi lahan
bukanlah kasus yang ringan, melainkan kasus yang memiliki dampak besar bagi
kelangsungan hidup dan kelestarian lingkungan sekitar kita. Degradasi lahan tidak
hanya berdampak merugikan pada bidang biofisik / ekologi, tetapi juga merugikan
dalam bidang sosial ekonomi dan pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat.
Dalam bidang biofisik yang dimaksud adalah berubahnya kondisi lingkungan
menjadi aktivitas manusia. Adanya perubahan lingkungan tersebut dapat merusak
dan mengakibatkan bencana alam secara langsung maupun tidak. Dampak tersebut
seperti kebakaran hutan, banjir, dan longsor akibat aktivitas manusia yang tidak
memperhatikan pengelolaan lahan lahan yang kurang tepat. Selain itu, degradasi
lahan juga akan berdampak pada kualitas tanah dalam lahan yang erat kaitannya
dengan produksi pertanian. Selain itu alifungsi lahan menjadi pembangunan
pariwisata juga menjadi salah satu penyebab adanya degradasi lahan.banyaknya
luasan lahan yang dialihfungsikan, berdampak pada sulitnya upaya konservasi dan
rehabilitasi lahan. Keguatan konservasi dan rehabilitasi lahan dilakukan secara
terpadu dan merata. Tetapi banyak konservasi dan rehabilitasi lahan yang ada di
indonesia belum dilakukan secara merata dan menyeluruh. Upaya manusia yang
diharapkan dapat memperbaiki dan mempertahankan kondisi lahan supaya lahan
tetap berfungsi secara optimal seperti adanya unitunit untuk pelaksanaan pengjiauan
kembali. Sejalan dengan pendapat Nugroho et al., (2000) bahwa ada beberpa
tempat yang telah terbentuk adanya unit-unit untuk pelaksanaan penghijauan, tetapi
belum terkoordinaasi secara efektif.
Selain itu, dilihat dari dampak ekologinya yang sangat berpengaruh besar
terhadap kerusakan lahan. Kurangnya pemanfaatan dan pengelolaan lahan yang
tepat sehingga terjadi pembukaan tutupan lahan yang dampaknya besar kepada
masyarakat sekitar. Adanya hal itu juga akan menyebabkan isu timbulnya kejadian
degradasi lahan dan erosi. Menurut pendapat Maijer et al., (2013) bahwa kerentanan
terhadap erosi dipengaruhi oleh pengelolaan tanah secara signifikan, yang dapat
5

memicu adanya erosi. Perlu adanya sistem olah tanah konservasi untuk
menanggulangi aliran permukaan maupun erosi. Pengelolaan tanah bertujuan untuk
menciptakan kondisi tanah yang baik untuk tanaman maupun perakarannya.
Menurut pendapat Njurumana (2008), bahwa zat kimia dan non kimia memiliki
dampak bagi kesuburan tanah, kelembaban, suhu, dan aerasi terhadap aspek
produksi perlu diperhatikan berdasarkan jenis batuan. Olah tanah yang dilakukan
secara terus menerus juga tidak disarankan karena dapat menurunkan tingkat
kesuburan tanah.
Lahan pertanian banyak memiliki manfaat dalam segi sosial dan ekonomi.
Banyak lahan yang sudah dikonversi sehingga lahan pertanian sempit dan
berdampak pada sosial maupun ekonomi. Jika konversi atau alihguna lahan
pertanian menjadi non pertanian semakin banyak dilakukan maka tidak hanya
berdampak pada petani, tetapi bisa menjadi masalah besar bagi Negara Indonesia
(Dwipradnyana, 2014). Adanya pertabahan pendusuk dan pengelolaan lahan yang
tidak berkelanjutan mengakibatkan terjadinya lahan terdegradasi sehingga para
petani susah bercocok tanam. Dan mengakibatkan meningkatnya angka kemiskinan
karena kurangnya lahan yang dapat digunakan oleh petani sebagaimana mestinya.
Menurut pendapat Alghifari (2014) bahwa jika dibandingkan dengan pencemaran air
dan udara, luas lahan kritis per kapita memiliki dampak negatif yang lebih besar
terhadap perekonomian, karena karakteristik kerusakannya meliputi gangguan
keseimbangan ekosistem. Peningkatan degradasi menyebabkan turunnya
pertumbuhan ekonomi masyarakat. Cara menanggulangi dampak adanya degradasi
yaitu melakukan penghijauan atau penanaman kembali, menjadikan lahan sebagai
hutan, dan juga mengolah tanah dengan cara olah tanah seperlunya guna
meminimalisir terjadinya kerusakan tanah pada lahan.
Bab II
Analisis Masalah Degradasi Lahan

2.1 Ciri-Ciri Lahan Terdegradasi


Degradasi lahan merupakan permasalahan serius pada pemanfaatan lahan.
Degradasi lahan dicirikan dengan terjadinya penurunan sifat fisik, kimia, dan biologi.
Terjadinya penurunan sifat fisik ditunjukkan oleh terjadinya pemadatan dan
pergerakan tanah, ketidakseimbangan air, aerasi dan drainase terhalang, dan terjadi
rusaknya struktur tanah. Penurunan sifat kimia terjadi dengan adanya asidifikasi,
ketidakseimbangan unsur hara sehingga mengakibatkan keracunan ataupun
kekurangan unsur hara, pencucian unsur hara, salinisasi, alkalinisasi, pengasaman,
dan pencemaran. Penurunan sifat biologi seperti penurunan jumlah dan
keanekaragaman hayati tanah serta vegetasi, penurunan karbon dari biomassa, dan
penurunan karbon organik dalam tanah. Penurunan sifat-sifat tersebut mengartikan
bahwa lahan yang mengalami degradasi akan kehilangan fungsinya dan berkurang
manfaatnya karena terjadi penurunan kualitas lahan. Manfaat dari lahan di
antaranya manfaat ekologi, sosial, budaya, dan ekonomi. Manfaat ekologi seperti
menjadi habitat bagi spesies-spesies dan pengatur sistem tata air. Manfaat sosial
seperti meningkatkan hubungan antar masyarakat dengan memanfaatkan lahan.
Manfaat budaya seperti pendidikan dan kegiatan-kegiatan spiritual bagi masyarakat
adat. Manfaat ekonomi seperti penghasil produk pangan, sandang, dan papan
(Wahyunto dan Dariah, 2014).

2.2 Karakteristik dan Permasalahan Degradasi Lahan


Degradasi lahan dapat terjadi pada semua jenis lahan terutama lahan yang
berada di kawasan pegunungan atau perbukitan. Lahan yang berada di kawasan
pegunungan atau perbukitan umumnya adalah jenis lahan kering yang memiliki
topografi yang tidak rata. Lahan ini sangat berpotensi untuk terjadi degradasi lahan
karena keberadaan solum tanah atas yang terganggu oleh erosi dan deforestasi
yang menyebabkan produktifitas dan daya dukung lahan menurun pada bagian hulu.
Sedangkan pada bagian hilir akan terjadi proses sedimentasi, pendangkalan, banjir,
serta fungsi tanahnya menurun (Budiyanto, 2014). Indonesia memiliki banyak lahan
yang terdegradasi dengan total jumlah lahan terdegradasi atau lahan kritis pada
tahun 2008 adalah sebesar 77,9 juta ha. Total lahan terdegradasi ini terdiri atas tiga
tingkatan degradasi lahan yakni lahan yang terdegradasi berat atau sangat kritis
sejumlah 48,2 juta ha, lahan terdegradasi sedang atau kritis sejumlah 22,8 juta ha,
dan lahan terdegradasi ringan atau agak kritis sejumlah 6,8 juta ha (Kementerian
Kehutanan, 2011). Lahan yang terdegradasi berat dan sangat kritis tersebut
ditunjukkan oleh kondisi existing penutupan dan status lahan yang mana sebagian
besar penutupan lahannya adalah semak belukar dan sebagian kecil adalah padang
rumput dan lahan terbuka. Lahan yang terdegradasi berada di kawasan Area
Penggunaan Lain sebesar hampir 8 juta ha dan berada di kawasan hutan lindung,
hutan produksi, hutan produksi konversi, dan hutan suaka marga satwa sebesar 15
juta ha (Agus et al., 2013).
Degradasi yang terjadi pada lahan memiliki tingkatan-tingkatan yang
dikaslifikasikan dalam tiga kelas. Tingkatan-tingkatan degradasi pada lahan kering
ini digunakan untuk mengetahui seberapa parah lahan yang mengalami degradasi
sehingga dapat ditentukan pengelolaan lahan yang tepat untuk lahan yang
7

mengalami degradasi. Menurut Sitorus et al. (2011), klasifikasi tingkatan degradasi


lahan memiliki dua jenis berdasarkan skala lahannya, yakni skala tinjau dan semi-
detail. Kedua klasifikasi berdasarkan skala lahannya tersebut dibedakan
berdasarkan kriteria yang diamati. Pada skala tinjau, variabel yang diamati yakni
bahan induk, lereng, tindakan konservasi tanah, tekstur fraksi debu, dan jenis
penggunaan lahan atau vegetasinya. Pada skala semi-detail, variabel yang diamati
sedikit lebih banyak daripada skala tinjau, variabel tersebut di antaranya bahan
induk, lereng, tindakan konservasi tanah, tekstur fraksi debu, penggunaan lahan
atau jenis vegetasi, P-tersedia, Al-dd, dan H-dd. Variabel-variabel tersebut memiliki
kriterianya masing-masing dan menghasilkan skor yang selanjutnya dihitung
berdasarkan fungsi diskriminan pada analisis diskriminan berganda dengan metode
stepwise.
Klasifikasi tiga kelas tingkat degradasi lahan pada skala tinjau di antaranya
sebagai berikut.
1. Lahan terdegradasi tingkat ringan
Degradasi lahan pada tingkat ringan ini memiliki skor diskriminan yakni <16.
Kriteria pada tingkat ini di antaranya :
- Tanah yang berkembang berasal dari bahan induk yang lebih tahan terhadap
degradasi seperti granit, kuarsa, pegmatite, profir, sienit, granodiorit
berkapur, gabbro, serpentin, obsidian, andesit, porfirit berkapur, diorite
sedimen, tonalit, dolorit, diabas alluvium, peridorit, piroksenit, norit alluvium,
riolit, dasit, liparit, tefrit, leucirit, dan basalt
- Memiliki lereng yang landai hingga agak miring, maksimal kelerengan 15%
- Terdapat tindakan konservasi tanah yakni maksimal teras tradisional, nilai P
maksimal yakni 0,40
- Tekstur tanah dengan fraksi debu maksimal sebesar 20%
- Jenis penggunaan lahan atau vegetasi adalah semak belukar atau berupa
padang rumput maksimal nilai C sebesar 0,30
2. Lahan terdegradasi tingkat sedang
Degradasi tingkat sedang memiliki skor diskriminan yakni 16-39. Kriterianya
di antaranya :
- Tanah yang berkembang berasal dari bahan induk yang agak tahan terhadap
degradasi seperti sedimen, batulumpur, diatomit, konglomerat, batukapur
kerang, liat alluvium, filit, kuarsit, gneiss, amfibolit, zeolite, batuliat, batulanau,
breksi batu kapur, batusabak, horenfels, marmer, dan skis
- Memiliki lereng miring hingga agak curam, kelerengan berkisar 15-25%
- Terdapat tindakan konservasi tanah seperti pengolahan tanah serta
penanaman kontur di lereng yang memiliki kelerengan <20, nilai P sebesar
0,40 – 0,60
- Tekstur tanah dengan fraksi debu sebesar 20 - 40%
- Jenis penggunaan lahan atau vegetasi adalah perladangan, nilai C sebesar
0,30 – 0,40
3. Lahan terdegradasi tingkat berat
Degradasi tingkat berat memiliki skor diskriminan yakni >39. Kriterianya di
antaranya :
- Tanah yang berkembang berasal dari bahan induk yang peka atau tidak
tahan terhadap degradasi seperti batuapung, pasir volkanik, napal, kapur,
shale, kerikil, debu alluvium, abu volkanik, batupasir, batuliat, tuf berkapur,
kerakal, dan pasir aluvium
8

- Memiliki lereng curam, kelerengan minimal 25%


- Terdapat tindakan konservasi tanah seperti pengolahan tanah serta
penanaman kontur di lereng yang memiliki kelerengan >20, nilai P minimal
0,60
- Tekstur tanah dengan fraksi debu minimal sebesar 40%
- Jenis penggunaan lahan atau vegetasi adalah pola tanam tumpang gilir, nilai
C minimal sebesar 0,40
Klasifikasi tiga kelas tingkat degradasi lahan pada skala semi-detail di
antaranya sebagai berikut.
1. Lahan terdegradasi tingkat ringan
Degradasi lahan pada tingkat ringan ini memiliki skor diskriminan yakni <15.
Kriteria pada tingkat ini di antaranya :
- Tanah yang berkembang berasal dari bahan induk yang lebih tahan terhadap
degradasi seperti granit, kuarsa profir, pegmatite, profir, sienit, granodiorit
berkapur, gabro, serpentin, obsidian, andesit, porfirit berkapur, diorite
sedimen, tonalit, dolorit, diabas alluvium, peridorit, piroksenit, norit alluvium,
riolit, dasit, liparit, tefrit, leucirit, dan basalt
- Memiliki lereng yang landai hingga agak miring, maksimal kelerengan 15%
- Terdapat tindakan konservasi tanah yakni maksimal teras tradisional, nilai P
maksimal yakni 0,40
- Tekstur tanah dengan fraksi debu maksimal sebesar 20%
- Jenis penggunaan lahan atau vegetasi adalah semak belukar atau berupa
padang rumput maksimal nilai C sebesar 0,30
- Kadar P-tersedia di tanah maskimal sebesar 6 ppm
- Kadar Al-dd maksimal sebesar 3 meq/100 gr
- Kadar H-dd maksimal sebesar 0,2 meq/100 gr
2. Lahan terdegradasi tingkat sedang
Degradasi tingkat sedang memiliki skor diskriminan yakni 15-38. Kriterianya di
antaranya :
- Tanah yang berkembang berasal dari bahan induk yang agak tahan terhadap
degradasi seperti sedimen, batulumpur, diatomit, konglomerat, batukapur
kerang, liat alluvium, filit, kuarsit, gneiss, amfibolit, zeolite, batuliat, batulanau,
breksi batu kapur, batusabak, horenfels, marmer, dan skis
- Memiliki lereng miring hingga agak curam, kelerengan berkisar 15-25%
- Terdapat tindakan konservasi tanah seperti pengolahan tanah serta
penanaman kontur di lereng yang memiliki kelerengan <20, nilai P sebesar
0,40 – 0,60
- Tekstur tanah dengan fraksi debu sebesar 20 - 40%
- Jenis penggunaan lahan atau vegetasi adalah perladangan, nilai C sebesar
0,30 – 0,40
- Kadar P-tersedia di tanah sebesar 3 - 6 ppm
- Kadar Al-dd maksimal sebesar 3 - 5 meq/100 gr
- Kadar H-dd maksimal sebesar 0,2 – 0,4 meq/100 gr
3. Lahan terdegradasi tingkat berat
Degradasi tingkat berat memiliki skor diskriminan yakni >38. Kriterianya di
antaranya :
- Tanah yang berkembang berasal dari bahan induk yang peka atau tidak
tahan terhadap degradasi seperti batuapung, pasir volkanik, napal, kapur,
9

shale, kerikil, debu alluvium, abu volkanik, batupasir, batuliat, tuf berkapur,
kerakal, dan pasir aluvium
- Memiliki lereng curam, kelerengan minimal 25%
- Terdapat tindakan konservasi tanah seperti pengolahan tanah serta
penanaman kontur di lereng yang memiliki kelerengan >20, nilai P minimal
0,60
- Tekstur tanah dengan fraksi debu minimal sebesar 40%
- Jenis penggunaan lahan atau vegetasi adalah pola tanam tumpang gilir, nilai
C minimal sebesar 0,40
- Kadar P-tersedia di tanah minimal sebesar 6 ppm
- Kadar Al-dd minimal sebesar 5 meq/100 gr
- Kadar H-dd minimal sebesar 0,4 meq/100 gr
Berdasarkan hasil kajian lapang oleh Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan
pada 2007 dalam Wahyunto dan Dariah (2014), terdapat empat tingkatan lahan
terdegradasi berdasarkan ciri-ciri di lapang. Empat tingkatan tersebut di antaranya :
1. Lahan potensial terdegradasi
Lahan potensial terdegradasi memiliki ciri-ciri lahannya masih tertutup dengan
vegetasi baik vegetasi permanen atau pepohonan, namun kondisi topografinya
memiliki lereng yang curam yakni sebesar >25%, tanah atau batuannya mudah
longsor, peka terhadap erosi, sehingga berpotensi terjadi erosi yang berat jika
vegetasinya dibuka.
2. Lahan terdegradasi ringan
Lahan terdegradasi ringan memiliki ciri-ciri produktivitas lahannya masih cukup
baik, namun jika penggunaannya tidak sesuai kemampuan lahan dan tidak adanya
usaha konservasi tanah dan air maka akan cepat mengalami degradasi.
3. Lahan terdegradasi sedang
Lahan terdegradasi sedang memiliki ciri-ciri terjadi erosi ringan atau sedang
seperti erosi permukaan dan erosi alur pada lahan pada horizon A <5 cm namun
produktivitas rendah. Sedangkan apabila lahannya masih produktif, tingkat bahaya
erosinya yang tinggi menyebabkan fungsi hidrologi menurun, bila tidak terdapat
usaha perbaikan maka dalam waktu dekat lahan akan menjadi kritis. Solum tanah
pada lahan yang terdegradasi sedang ini memiliki solum tanah sedang dengan
ketebalan 60 – 90 cm dan ketebalan lapisan atasnya yakni pada horizon A
umumnya <5 cm.
4. Lahan terdegradasi berat
Lahan terdegradasi berat memiliki ciri-ciri produktivitas lahannya rendah
karena lahan sudah tidak berproduktif, terjadi erosi berat seperti erosi parit atau
terjadi erosi permukaan di mana seluruh horizon A dan sebagian horizon B hilang
pada lahan, dan persentase tutupan lahan <50%.

2.3 Penyebab Degradasi Lahan di Kawasan Pegunungan/Perbukitan


Lahan yang terletak di lereng pegunungan atau perbukitan memiliki kemiringan
lahan yang relatif besar. Kemiringan lahan dapat mempengaruhi terjadinya
degradasi lahan. Tingkat kemiringan lahan yang besar menyebabkan adanya aliran
limpasan permukaan atau yang biasa disebut dengan runoff. Aliran limpasan
permukaan yang terjadi di lahan dengan kemiringan lahan yang besar dapat
menyebabkan massa tanah terangkut sehingga menimbulkan terjadinya erosi.
Selain massa tanah, unsur-unsur hara juga akan terangkut oleh aliran air yang
menuju ke lahan bagian bawah sehingga terjadi pencucian hara pada lahan di
10

lereng atas dan terjadi pengendapan hara pada lahan di lereng bawah. Kemiringan
lahan juga dapat menyebabkan fungsi tanah sebagai tempat penyimpan air tidak
berjalan dengan baik karena tidak terdapat air yang terinfiltrasi ke dalam tanah
sebaliknya aliran limpasan permukaan yang menuruni lereng lebih besar
dibandingkan infiltrasi air ke dalam tanah (Budiyanto, 2014).
Degradasi lahan juga dapat terjadi akibat adanya pembukaan lahan hutan
menjadi lahan dengan penggunaan lain seperti pemukiman, pertanian, atau
penggunaan lainnya atau yang biasa disebut dengan alih fungsi lahan. Alih fungsi
lahan ini dilakukan dengan membuka lahan hutan menjadi lahan baru baik dengan
cara penebangan liar maupun pembakaran. Hasil dari adanya alih fungsi lahan ini
menyebabkan lahan menjadi terbuka. Lahan yang terbuka mengindikasikan bahwa
kurangnya atau bahkan tidak ada tanaman yang menutup tanah. Hal ini dapat
menyebabkan terjadinya erosi. Erosi merupakan proses berpindah, terangkut, atau
terhanyutnnya tanah oleh aliran air atau angin menuju tempat lain. Proses erosi
terjadi secara berurutan dari pengelupasan, pengangkutan, dan pengendapan.
Faktor-faktor penentu terjadinya erosi yakni iklim seperti curah hujan yang tinggi
menyebabkan laju erosi semakin tinggi, topografi seperti kemiringan lereng yang
curam maka berpotensi terjadinya erosi, tanah seperti ketahanan tanah dan
kemampuan tanah untuk menyerap air berkurang menimbulkan terjadinya erosi, dan
vegetasi yang kurang juga berpotensi terjadinya erosi (Alie, 2015). Seperti halnya
pada lahan di kawasan Pegunungan Dieng, berdasarkan penelitian oleh Ngabekti
(2007) lahan di kawasan ini telah mengalami degradasi akibat adanya
pengalihfungsian hutan menjadi lahan pertanian kentang. Penerapan pertanian oleh
petani menggunakan mulsa plastik dapat menyebabkan indeks keanekaragaman
jenis menjadi menurun karena tumbuhan liar terhalang pertumbuhannya. Kondisi ini
menyebabkan lahan terbuka dan hanya sebagian kecil lahan yang memiliki penutup
tumbuhan sehingga pada saat hujan turun akan terjadi erosi dan pelumpuran. Selain
itu, erosi dan pelumpuran ini dapat terjadi karena pembuatan terasering yang kurang
tepat yakni membuat jalan mengalirnya air langsung menuju arah kemiringan lahan
karena tanaman kentang tidak dapat tumbuh dengan adanya genangan air dan
naungan tanaman lain sehingga tidak adanya tanaman yang menahan air. Dengan
adanya erosi maka lapisan permukaan tanah yang subur akan hilang dan
produktivitas kentang semakin menurun.
Degradasi lahan juga dapat disebabkan karena adanya kegiatan
penambangan di kawasan pegunungan. Kegiatan penambangan juga menyebabkan
lahan hutan menjadi gundul dan terbuka. Lahan yang terbuka ini mengakibatkan
kualitas air menurun karena tidak adanya tanaman penutup dan air mengalir dengan
bebas. Selain itu, hasil akhir dari kegiatan penambangan menyebabkan tanah
menjadi tidak rata dan banyak lubang bekas galian. Tanah-tanah yang tidak rata dan
banyaknya lubang ini menimbulkan terjadinya genangan air pada lubang. Adanya
genangan air ini menunjukkan infiltrasi tidak berjalan dengan baik sehingga dapat
menyebabkan terjadinya erosi. Erosi yang terjadi pada lokasi penambangan di
kawasan pegunungan mengakibatkan partikel tanah hanyut yang mempengaruhi
struktur dari tanah tersebut yang awalnya remah menjadi lepas sehingga stabilitas
tanah berkurang. Selain itu, penambangan yang tidak menggunakan sistem berteras
menyebabkan sudut lerengnya terjal dan mudah longsor (Arimbawa, 2019).
Bab III
Teknologi Konservasi Tanah dan Air yang Tepat Sasaran
Pemanfaatan sumberdaya alam yang melebihi daya dukung lingkungan serta
tekanan penduduk terhadap lahan yang tidak dibarengi dengan usaha konservasi
tanah dan air akan menimbulkan ketidakseimbangan lingkungan yaitu terus
bertambahnya luas lahan kritis. Konservasi sumber daya tanah dan air sangat
penting artinya untuk menjaga kelangsungan produksi bahan makanan dan fiber,
guna memenuhi kebutuhan hidup manusia yang semakin meningkat, di samping
juga untuk mengamankan lingkungan (Suripin, 2002). Menurut Syam (2003),
penerapan teknik konservasi tanah selayaknya mempertimbangkan tiga hal yaitu
curah hujan, kondisi tanah (kemiringan, ketebalan solum, sifat tanah) dan
kemampuan petani (biaya, waktu dan tenaga kerja yang tersedia). Dengan adanya
metode yang tepat maka dapat disusun strategi rehabilitasi lahan kritis.
Pelaksana kegiatan konservasi tanah dan air sangat kompleks dan
multidisiplin. Hal ini memerlukan kerjasama yang erat antar berbagai disiplin ilmu
pengetahuan seperti ilmu tanah, biologi, hidrologi, dan mekanisasi. Selain itu,
penerapan kegiatan ini tidak terlepas dari masalah manusia dengan berbagai aspek
sosial ekonominya. Suripin (2002) menyebutkan bahwa pendekatan dasar dalam
konservasi tanah dan air adalah:
1. Menyediakan penutup tanah dengan tanaman atau mulsa agar tanah terlindung
dari pukulan hujan langsung.
2. Memperbaiki dan menjaga kondisi tanah agar tanah tahan terhadap
penghancuran dan pengangkutan, serta meningkatkan kapasitas infiltrasi.
3. Mengatur aliran permukaan sedemikian rupa sehingga mengalir dengan energi
yang tidak merusak, dengan cara (a) mengurangi aliran permukaan (b) menahan
aliran permukaan, dan (c) mengendalikan aliran permukaan.
4. Meningkatkan efisiensi penggunaan air.
5. Menjaga kualitas air.
6. Mendaur ulang air.
Tujuan kegiatan konservasi adalah untuk mencegah terjadinya degradasi
lahan lebih lanjut, menghindari hilangnya lahan produktif, meningkatkan
produktivitas usahatani dan pendapatan petani, menurunkan laju erosi serta
meningkatkan partisipasi petani dalam pelestarian sumber daya tanah dan air
(Syam, 2003). Persoalan konservasi tanah dan air adalah kompleks dan
memerlukan kerjasama yang erat antara berbagai disiplin ilmu pengetahuan seperti
ilmu tanah, biologi, hidrologi, dan sebagainya. Konservasi tanah dan air yang tepat
sasaran dapat menggunakan tiga metode pendekatan yaitu metode vegetatif,
mekanik dan kimia.
a. Metode Vegetatif
Pengertian metode vegetatif adalah mengendalikan atau memanfaatkan
peranan dan fungsi tanaman. Metode vegetatif juga dapat diartikan sebagai upaya
rehabilitasi dan konservasi lahan dengan menanam beberapa jenis tanaman pohon
dan/atau tanaman lainnya untuk menjaga penutupan tanah agar dapat mengikat
butir tanah secara lebih kuat. Metode vegetatif sering juga disebut cara
pengendalian erosi secara biologi (biological erosion control). Jenis-jenis metode
atau tindakan vegetatif dalam pelaksanaan kegiatan rehabilitasi lahan dan
konservasi antara lain adalah penanaman pada areal terbuka di kawasan
12

pembangunan jalan dan pemukiman. Selain itu juga dapat membuat areal terbuka
pada kawasan pertanian dan perladangan, perkebunan dan kehutanan. Edison et al.
(2012) merekomendasikan teknologi konservasi lahan pada secara vegetatif
disarankan pada daerah hulu berupa lahan produksi tegalan dan atau hutan
produksi tanaman keras serta pada daerah hilir berupa tegalan di konservasi
menjadi perkebunan.
Penggunaan tanaman penutup tanah (cover crop) juga dapat mempengaruhi
peningkatan konservasi tanah dan air (Daigh et al., 2014). Kartasapoetra et al.
(2000) menyebutkan tanaman-tanaman penutup permukaan tanah berperan untuk
melindungi permukaan tanah dari daya dispersi dan daya penghancuran oleh butir-
butir hujan. Tanaman penutup permukaan besar pula sumbangannya dalam
memperkaya bahan-bahan organik tanah serta memperbesar porositas tanah.
Idjudin (2011) menjelaskan tanaman penutup tanah pada umumnya adalah jenis
legum menjalar yang ditanam di antara tanaman tahunan, secara bergilir dengan
tanaman semusim atau tanaman tahunan dan sebagai tanaman pemula (pionir)
untuk rehabilitasi lahan kritis.
Selain itu, konservasi tanah dan air dapat diatasi dengan cara kontur (contour
cropping system) adalah penanaman tanaman yang searah/sejajar dengan garis
kontur atau dengan secara menyilang lereng tanah, bukan menjurus searah dari
atas ke bawah lereng. Penanaman secara kontur sangat sesuai pada tanah-tanah
dengan kemiringan 3-8%., namun urang efektif pada tanah-tanah dengan
kemiringan <3% dan >8-25%. Menurut Bermanakusumah (1978) dalam
Kartasapoetra et al. (2000), terdapat korelasi antara kemiringan dan panjang lereng
yang digunakan. Pembuatan panjang lereng pada tanah-tanah dengan kemiringan
3-6% jangan melampaui 100 meter. Sedangkan pada tanah-tanah dengan
kemiringan >8%, panjang lereng jangan melampaui 65 meter. Hal ini dilakukan
untuk menghindari peluapan air dan pada keadaan demikian harus dilengkapi
dengan saluran pembuangan. Menanami lereng sebidang tanah dengan cara
contour system ganti berganti dengan cara strip cropping merupakan tindakan
melindungi lapisan top soil setempat.
Kelas kelerengan tanah sangat berpengaruh terhadap jumlah limpasan
permukaan dan massa tanah tererosi. Sarminah et al. (2018) melaporkan
penanaman sengon (Falcataria moluccana) dan kacang tanah (Arachis hypogaea)
pada kelas kelerengan 15-25% menghasilkan limpasan permukaan sebesar 794,55
m3/ha/tahun dan massa tanah tererosi sebesar 20,05 ton/ha/tahun, sedangkan pada
kelas kelerengan 25-40% mempunyai limpasan permukaan dan massa tanah
tererosi masing-masing sebesar 846,61 m3/ha/tahun dan 45,50 ton/ha/tahun.
Penanaman dalam strip/larikan (strip cropping) adalah suatu cara bercocok
tanam dengan satu atau beberapa tanaman, dimana masing-masing jenis tanaman
ditanam dalam strip-strip yang berselang-seling, pada sebidang tanah dan disusun
berdasarkan garis kontur atau memotong arah lereng. Pertanaman dalam strip
cocok untuk tanah dengan drainase bagus, karena sistem ini dapat menurunkan
kecepatan aliran, sehingga jika diterapkan pada lahan dengan drainase jelek dan
laju infiltrasi rendah akan berakibat terjadinya pengisian air tanah yang berlebihan
(water logging). Dalam prakteknya seringkali sistem dalam strip/larikan
dikombinasikan dengan penanaman menurut garis kontur (contour strip cropping).
Penanaman strip menurut garis kontur adalah bercocok tanam dengan beberapa
jenis tanaman semusim dalam strip–strip yang berselang–seling menurut garis
kontur.
13

Penggunaan mulsa dapat dilakukan dalam konservasi tanah dan air,


pemulsaan (mulching) adalah menutupi permukaan tanah dengan serasah atau
sisa-sisa tanaman benar-benar berkemampuan mencegah erosi, karena melindungi
tanah dari daya timpa butir-butir hujan dan daya kikis aliran air di permukaan. Arsyad
(1989) dalam Karyati dan Sri (2018) menambahkan bahwa penggunaan sisa
tanaman untuk konservasi tanah dapat berbentuk mulsa atau pupuk hijau. Cara
pemulsaan dilakukan dengan menyebarkan daun atau batang tumbuhan di atas
permukaan tanah, sedangkan pupuk hijau menggunakan sisa-sisa tanaman yang
dibenamkan ke dalam tanah.
Menurut Juhaeti et al. (2005), tumbuhan yang mampu tumbuh dengan baik di
lahan kritis berarti mempunyai toleransi yang baik untuk hidup pada lahan marginal.
Daswir (2010) mengungkapkan bahwa salah satu teknik konservasi yang murah dan
mudah dilaksanakan oleh petani adalah sistem budidaya lorong (alley cropping).
Sistem ini pada dasarnya adalah menanam tanaman semusim dan atau tahunan di
suatu lahan. Adanya tanaman tahunan akan menciptakan kondisi iklim mikro yang
lebih baik. Karyati (2014a) menambahkan jenis-jenis tanaman tahunan memerlukan
kisaran curah hujan 500-3000 mm/tahun, suhu udara rata-rata 15-34°C, kelembaban
udara rata-rata 70-90%, dan pH 4,0-8,5. Sedangkan kebutuhan iklim yang sesuai
untuk jenis sayur-sayuran adalah pada kisaran curah hujan 500-2500 mm/tahun,
suhu udara 15-30°C, kelembaban udara 50-80%, dan pH antara 4,5-8,0 (Karyati,
2014b).
b. Metode Mekanik
Pengertian metode mekanik (teknik sipil) adalah semua perlakuan fisik
mekanis yang diberikan terhadap tanah dan pembuatan bangunan untuk
mengurangi aliran permukaan dan erosi, dan meningkatkan kemampuan
penggunaan tanah. Usaha pengendalian erosi dapat juga dilakukan dengan cara
teknis mekanis walaupun pada kenyataannya cara ini membutuhkan pembiayaan
yang besar dibanding cara vegetatif. Walaupun jelas cara ini memerlukan biaya
yang cukup besar, namun demi terhindarnya erosi yang akan mengakibatkan
kerugian yang jauh lebih besar, maka cara ini sebaiknya diperhatikan. Secara umum
yang termasuk metode mekanik dalam strategi konservasi tanah dan air antara lain
adalah pengaturan sistem pengolahan tanah, pembuatan teras. pembuatan saluran
pembuangan air (water way). pembuatan bendungan pengendali (check dam).
Pengolahan tanah adalah setiap manipulasi mekanik terhadap tanah yang
bertujuan untuk menciptakan kondisi tanah yang baik untuk pertumbuhan tanaman
(Baver et al., 1972 dalam Karyati & Sri, 2018). Dalam upaya untuk memperkecil
kemungkinan terjadinya kerusakan tanah sebagai akibat pengolahan tanah,
disarankan agar tanah diolah seperlunya (minimum tillage). Pengolahan tanah
dilakukan pada saat kandungan air yang tepat. Pengolahan tanah dilakukan
menurut/sejajar garis kontur. Pengolahan tanah hendaknya dikuti dengan pemberian
mulsa.
Penerapan kombinasi penanaman beberapa jenis tanaman dan teras
menghasilkan aliran permukaan dan erosi tanah berbeda. Penelitian Pramono dan
Wahyuningrum (2009) menunjukkan plot yang ditanami tanaman jati, mangga, dan
jambu mente dengan teras bangku tak terawat menghasilkan aliran permukaan
berkisar 114-243 mm dan erosi berkisar 1-11 ton/ha/bulan. Sedangkan plot yang
ditanami tanaman jati, mangga, jambu mente, pete dengan teras gulud
menyebabkan aliran permukaan sebesar 6-24 mm dan erosi sebesar 0,5-5
14

ton/ha/bulan. Hafif et al. (1995) melaporkan pembuatan teras disertai dengan


penanaman tanaman penguat teras yang rapat di Banjarsari (pada kelerengan 20-
40%) dan Nawungan (pada kelerengan 15-30%) dapat menekan laju erosi antara
16-20 ton/ha/tahun. Selain itu, adopsi teknologi konservasi denganbaik pada lahan
berlereng 15-45% dapat mengendalikan erosi sampai mendekati batas laju erosi
yang diperbolehkan (permissible rate of erosion) sebesar 6-8 ton/ha/tahun.
Pembuatan saluran pembuangan air (water way) dimaksudkan untuk
menghindarkan agar air aliran permukaan tidak terkumpul pada sembarang tempat.
Manfaat saluran pembuangan air adalah mengarahkan aliran air ke tempat yang
aman dari erosi jurang sekaligus meresapkan air ke dalam tanah. Manfaat terjunan
air kelengkapan saluran pembuangan air agar air yang jatuh di saluran pembuangan
air tidak menyebabkan erosi dan menimbulkan longsor. Pembangunan saluran
pembuangan air dilakukan menurut arah lereng dan merupakan saluran
pembuangan air aliran permukaan yang berasal dari saluran diversi dan saluran air
yang ada di dalam teras. Persyaratan lokasi dibangunnya saluran pembuangan air
adalah lahan usaha atau lahan terbuka lainnya terutama yang terletak di lereng
dengan tingkat kelerengan curam dan jenis tanah mudah tererosi dan longsor.
Pembangunan bendungan guna mengendalikan bendungan pengendali
(check dam) adalah waduk kecil dengan konstruksi khusus yang dibuat di daerah
berbukit dengan kemiringan lapisan dibawah 30%. Bangunan bendungan
pengendali digunakan untuk menampung air aliran permukaan ekonomi dan
sedimen hasil erosi, meningkatkan jumlah air yang meresap (infiltrasi) ke dalam
tanah dan mendekatkan permasalahannya pada masyarakat. Pelaksanaan
pembuatan daerah aliran bendungan pengendali di lapangan biasanya tidak lebih
dari 150 ha dan tinggi bendungan tanggul maksimal 10 m. Tempat dimana
bendungan akan dibuat harus mempunyai kecekungan dengan daya tampung air
yang besar. Perlu diketahui dengan pasti perbendungan yang tepat antara luas
bendungan pengendali dengan daerah alirannya serta karakteristik dari aliran
permukaan yang terjadi di daerah tersebut.
c. Metode Kimia
Pengertian metode kimia dalam konservasi tanah dan air adalah pemanfaatan
bahan pemantap tanah (soil conditioner) dalam hal memperbaiki struktur tanah
sehingga tanah akan tetap resisten terhadap erosi (Winata et al., 1998). Sedangkan
Arsyad (1989) mendefinisikan metode kimia merupakan penggunaan preparat kimia
sintesis atau alami. Penggunaan preparat kimia tersebut secara umum disebut soil
conditioner (pemantap struktur tanah) akan mempunyai pengaruh dalam jangka
lama. Beberapa keuntungan yang akan diperoleh dengan penggunaan bahan
pemantap tanah tersebut adalah tahan terhadap serangan mikroba tanah,
permeabilitas tanah dipertinggi dan erosi berkurang, memperbaiki pertumbuhan
tanaman semusim pada tanah liat yang berat.
Penggunaan bahan kimia dalam upaya konservasi tanah dan air sebaiknya
dilakukan pada keadaan yang sangat mendesak saja. Hal ini disebabkan harga
bahan kimia sangat mahal. Namun walaupun harganya mahal, hasil yang diperoleh
dari pemanfaatan bahan kimia sangat signifikan dalam upaya memperbaiki dan
memantapkan struktur tanah. Bahan kimia ini pertama kali digunakan oleh Van
Bavel (1950) antara lain yaitu campuran dimethyl dichlorosilane dan methyl
trichlorosilane yang disebut MCS. Perusahaan Monsato Chemmical Company pada
15

tahun 1952 mengumumkan pembuatan bahan pemantap ini dengan merek dagang
Krilium.
Hasil penelitian menunjukkan mulsa serutan kayu dan pemantap
polyacrylamide (PAM) yang digunakan sebagai bahan campuran hydroseeding
dapat memperbaiki sifat kimia tanah C organik, N-total, C/N rasio, dan KTK
(kemampuan Tukar Kation). Kombinasi perlakuan mulsa serutan kayu 28,30
gram/pot dan polyacrylamide 0,19 gram/pot mampu memberikan hasil terbaik
terhadap C-organik (2,65 %), N total (0,35 %), C/N rasio (7,66), dan KTK tanah
(21,23 cmol/kg) (Sunandar & Mulyani, 2018). Septiawan (1987) menjelaskan bahwa
pengaruh soil conditioner terhadap tanah tergantung kepada bobot molekul, jumlah
dan jenis kandungan unsur-unsur dalam bahan tersebut, dan konsentrasi emulsi,
serta mudah tidaknya bahan terurai dalam tanah.
Pelaksanaan teknik pencegahan erosi perlu memperhatikan beberapa faktor
yang mempengaruhi erosi, seperti faktor iklim, tanah, bentuk wilayah (misal
kemiringan), vegetasi penutup tanah, dan kegiatan manusia. Prinsip-prinsip teknik
pencegahan erosi adalah memperbesar resistensi permukaan tanah, sehingga
lapisan permukaan tanah tahan terhadap pengaruh tumbukan butir-butir air hujan.
Memperbesar kapasitas infiltrasi tanah, sehingga laju aliran permukaan dapat
dikurangi. Memperbesar resistensi tanah sehingga daya rusak dan daya hanyut
aliran permukaan terhadap partikel-partikel tanah dapat diperkecil.
Usaha pengendalian erosi dan atau usaha pengawetan tanah dapat
dilaksanakan dengan teknologi atau cara vegetatif (biologi), mekanik dan kimiawi.
Teknik pencegahan erosi yang paling efektif untuk kombinasi dari teknik atau cara
vegetatif dan cara mekanik. Cara-cara konservasi tanah dan air tersebut dapat
bersifat preventif (pencegahan), jika keadaan tanah yang tererosi belum begitu
parah. Bersifat represif yaitu tindakan-tindakan yang perlu dilakukan oleh pihak
pemerintah, mengingat demikian parahnya kerusakan tanah atau lahan, misalnya
bukit yang menjadi gundul, tanah-tanah kritis pada DAS, pendangkalan-
pendangkalan sungai, dan lain-lain.
Penerapan rehabilitasi lahan dan konservasi tanah (RLKT) perlu dilakukan
dengan memperhatikan beberapa aspek, seperti silvikultur, hidro-orologis, sosial,
dan ekonomi. Informasi manfaat beberapa aspek tersebut dapat dijadikan data
dasar untuk menentukan berbagai kebijakan terkait konservasi tanah dan air secara
khusus, dan konservasi sumberdaya alam dan lingkungan secara umum. Pada
umumnya orang-orang yang terlibat dalam perencanaan dan evaluasi kebijakan
bukanlah orang-orang pengambil keputusan, melainkan orang-orang khusus yang
mampu memberikan informasi kepada pengambil keputusan untuk melakukan
pilihan.
Bab IV
Strategi Managemen Kawasan Pegunungan/Perbukitan
Untuk mencapai keberlanjutan produktifitas lahan perlu tindakan konservasi
tanah dan air, serta mencegah terjadinya kerusakan lahan yang semakin kritis
pada kondisi saat ini. Oleh karena itu perlu ada strategi managemen konservasi
tanah. Tujuan ini dapat dicapai dengan menerapkan teknologi yang tepat seperti
konservasi secara vegetatif dan mekanik. Konservasi tanah pada lahan pertanian
tidak hanya terbatas pada usaha untuk mengendalikan erosi atau aliran
permukaan, tetapi termasuk usaha untuk mempertahankan kesuburan tanah.
Untuk mencapai hasil maksimum dalam mengendalikan erosi dan aliran
permukaan, sebaiknya tindakan konservasi tanah vegetatif
dikombinasikan dengan teknik konservasi tanah mekanik. Konservasi tanah
menurut Sitanala Arsyad (1989) dibagi sebagai berikut :
A. Metode Vegetatif.
Metode vegetatif adalah penggunaan tanaman atau tumbuhan dan sisanya
untuk mengurangi daya rusak hujan dan daya rusak aliran permukaan dan erosi.
Yang termasuk dalam metode vegetatif adalah sebagai berikut:
1. Penanaman dalam strip (strip cropping)
Metode ini adalah suatu sistem bercocok tanam dengan beberapa jenis
tanaman yang ditanam dalam strip yang berselang-seling dalam sebidang tanah
dan disusun memotong lereng atau menurut garis kontur. Dala m sistem ini
semua pengolahan tanah dan penanaman dilakukan menurut kontur
dandikombinasikan dengan pergiliran tanaman dan penggunaan sisa-sisa
tanaman.
Cara ini pada umumnya dilakukan pada kemiringan lereng 6 sampai 15 %.
Terdapat tiga tipe penanaman dalam strip, yaitu:
(1) penanaman dalam strip menurut kontur, berupa susunan strip-strip yang
tepat menurut garis kontur dengan urutan pergiliran tanaman yang tepat,
(2) penanaman dalam strip lapangan, berupa strip-strip tanaman yang lebarnya
seragam dan disusun melintang arah lereng, dan
(3) penanaman strip yang berpenyangga berupa stripstrip rumput atau
leguminosa yang dibuat diantara strip -strip tanaman pokok menurut kontur.
2. Pemanfaatan sisa-sisa tanaman dan tumbuhan
Pemanfaatan sisi-sisa tanaman dalam konservasi tanah berupa mulsa, yaitu
daun atau batang tumbuhan disebarkan di atas tanah dan dengan pupuk hijau
yang dibenamkan di dalam tanah dengan terlebih dahulu diproses menjadi
kompos. Cara ini mengurangi erosi karena meredam energi hujan yang jatuh
sehingga tidak merusak struktur tanah, mengurangi kecepatan dan jumlah aliran
permukaan, selain itu cara ini akan meningkatkan kegiatan biologi tanah dan
dalam proses perombakannya akan terbentuk senyawa organic yang penting
dalam pembentukan tanah.
3. Pergiliran tanaman
Pergiliran tanaman adalah sistem bercocok tanam secara bergilirdalam
urutan tertentu pada suatu bidang lahan. Pada lahan yang miring pergiliran efektif
berfungsi untuk mencegah erosi. Pergiliran tanaman memberikan keuntungan
untuk membrantas hama dan gulma juga mempertahankan sifat-sifat dan
kesuburan selain mampu mencegah erosi.
17

4. Tanaman penutup tanah


Tanaman penutup tanah adalah tumbuhan yang khusus ditanam untuk
melindungi tanah dari kerusakan oleh erosi dan atau memperbaiki sifat-sifat fisik
dan kimia tanah. Tanaman penutup tanah dapat ditanam tersendiri atau besama-
sama dengan tanaman pokok.
5. Sistem pertanian hutan
Sistem pertanian hutan adalah suatu sistem usaha tani atau pengguna
tanah yang mengintegrasikan tanaman pohon-pohonan de ngan tanaman rendah.
Berbagai sistem pertanian hutan ini antara lain.
a. Kebun pekarangan
Kebun pekarangan berupa kebun campuran yang terdiri dari campuran yang
tidak teratur antara tanaman tahunan yang menghasilkan buah-buahan, sayuran
dan tanaman meramba t, sayuran dan herba yang menghasilkan dan
menyediakan karbohidrat, protein, vitamin dan mineral serta obat-obatan
sepanjang tahun.
b. Talun kebun
Talun kebun adalah suatu sistem pertanian hutan tradisional dimana
sebidang tanah ditanami dengan berbagai macam tanaman yang diatur secara
spasial dan urutan temporal. Fungsi talon kebun adalah:
a) produksi subsistemkarbohidrat, protein, vitamin, dan mineral,
b) produksi komersil komoditiseperti bambu, kayu, ketimun, ubi kayu,
tembakau dan bawang merah,
c) sumber genetic dan koservasi tanah dan
d) kebutuhan social seperti penyediaan kayu baker bagi penduduk desa
c. Tumpang sari
Tumpang sari adalah sistem perladangan dengan reboisasi terencana. Pada
sistem ini petani menanam tanaman semusim seperti padi, jagung, ubi kayu dan
sebagainya selama 2 sampai 3 tahun setelah tanaman pohon-pohonan hutan dan
membersihkan gulma. Setelah tiga tahun mereka dipindah ke tempat baru.
B. Metode Mekanik
Metode mekanik adalah semua perlakuan fisik mekanik yang diberikan
terhadap tanah dan pembuatan bangunan untuk mengurangi aliran permukaan
dan erosi dan meningkatkan kemampuan penggunaan tanah. Termasuk dalam
metode mekanik adalah :
1. Pengolahan tanah
Pengolahan tanah adalah setiap manipulasi mekanik terhadap tanah yang
diperlukan untuk menciptakan keadaan tanah yang baik bagi pertumbuhan
tanaman.
2. Pengolahan tanah menurut kontur
Pengolahan tanah menurut kontur dilakukan dengan pembajakan
membentuk jalur-jalur menurut kontur atau memotong lereng, sehingga
membentuk jalur-jalur tumpukan tanah dan alur yang menurut kontur atau
melintang lereng. Pengolahan tanah menurut kontur akan lebih efektif jika diikuti
dengan penanaman menurut garis kontur. Pengolahan menurut kontur antara lain:
a. Guludan
Guludan adalah tumoukan tanah yang dibuat memanjang menurut garis
kontur atau memotong arah garis lereng. Jarak guludan dibuat tergantung pada
18

kecuraman lereng. Sistem ini biasa diterapkan pada tanah yang kepekaan
erosinya rendah dengan kemiringan sampai 6%.
b. Guludan bersaluran
Guludan bersaluran memanjang menurut arah garis kontur atau memotong
lereng di sebelah atas guludan dibuat saluran yang memanjang mengikuti
guludan. Pada metode ini guludan diperkuat dengan tanaman rumput, perdu atau
pohon-pohonan yang tidak tinggi. Guludan bersaluran dapat dibuat pada tanah
dengan kemiringan lereng 12%.
c. Parit pengelak
Parit pengelak adalah semacam parit yang memotong arah lereng dengan
kemiringannya yang kecil sehingga kecepatan alir tidak lebih dari 0,5 m/detik.
Cara ini biasa dibuat pada tanah yang berlereng panjang dan seragam yang
permeabilitasnya rendah. Fungsi parit ini untuk menampung dan menyalurkan
aliran permukaan dari bagian atas lereng dengan kecepatan rendah ke saluran
pembuangan yang ditanami oleh rumput.
d. Teras
Teras berfungsi mengurangi panjang lereng dan menahan air sehingga
mengurangi kecepatan dan jumlah aliran permukaan dan memungkinkan
penyerapan air oleh tanah. Ada empat macam bentuk teras, yaitu:
(1) Teras bangku atau tangga
Dibuat dengan jalan memotong lereng dan meratakan tanah di bagian
bawah sehingga terjadi deretan berbentuk tangga. Teras bangku atau tangga
dapat dibuat pada tanah dengan lereng 20-30%.
(2) Teras berdasar lebar
Merupakan suatu saluran yang permukaannya lebar atau galengan yang
dibuat memotong lereng pada tanah-tanah yang berombak dan bergelombang.
Teras berdasar lebar dapat dapat digunakan pada tanah antara 2-8%. Pada
daerah yang lerengnya sangat panjang, teras dipergunakan pada tempat yang
berlereng 0-5%. Teras ini dapat digunakan pula pada tanah tanah berlereng
hingga 20%.
(3) Teras berlereng
Teras berlereng dipakai pada tanah berlereng antara 1-6%.
(4) Teras datar
Teras datar dapat diterapkan pada lereng sekitar 2%.
Selain melakukan konservasi secara vegetatif dan mekanik adapun menurut
Hajroon Jameela (2011) alternatif kebijakan yang dapat diambil bisa berupa
kebijakan fisik maupun kebijakan sosial ekonomi. Berikut adalah alternatif kebijakan
yang dapat diambil:
1. Alternatif kebijakan fisik:
1. Melaksanakan kegiatan budidaya yang sesuai dengan kaidah konservasi dan
karakteristik, serta pengelolaan tanaman yang dapat mengendalikan erosi. Hal ini
dilakukan dengan menanam jenis tanaman keras lokal yaitu kemlandingan
gunung, cemara gunung dan kaliandra pada batas-batas kepemilikan lahan.
2. Pemerintah bersama masyarakat dan stakeholder melaksanakan kegiatan
perbaikan kawasan secara berkesinambungan dan terintegrasi, dalam bentuk
pemberian proyek-proyek rehabilitasi lahan baik secara vegetatif maupun sipil
teknis. Jenis tanaman yang budidayakan merupakan tanaman yang cocok dan
19

sesuai untuk dikembangkan di kawasan tersebut, bukan sekedar jenis yang


ditentukan oleh juklak juknis suatu proyek.
2. Alternatif Kebijakan Sosial ekonomi dan budaya:
1. Melaksanakan kegiatan sosialisasi dan pembelajaran mengenai pemahaman
lingkungan hidup pada masyarakat di kawasan Sindoro-Sumbing melalui
lembaga-lembaga yang ada di masyarakat.
2. Pemerintah dalam hal ini Dinas teknis terkait yaitu Dinas Pertanian dan
Perkebunan memberikan alternatif komoditas/ jenis tanaman pengganti dari
budidaya komoditas yang tidak ramah lingkungan dengan komoditas yang ramah
lingkungan.
3. Melakukan kegiatan rehabilitasi lahan tanpa menunggu program/ proyek dari
pemerintah
4. Penyusunan rencana pengelolaan kawasan Sindoro-Sumbing berdasarkan
potensi sumberdaya yang tersedia oleh pemerintah daerah dengan
mengikusertakan seluruh stakeholders
5. Peningkatan partisipasi masyarakat melalui pelibatan aktif dan pengawasan
pelaksanaan sampai kepada pengawasan dan evaluasi oleh semua stakeholders
sesuai dengan peranan dan fungsi masing-masing dalam upaya pengelolaan
kawasan
6. Penegakan hukum terhadap masyarakat/ anggota masyarakat yang melanggar
peraturan yang ada.
Berdasarkan sasaran strategi prioritas, alternatif kebijakan yang dipilih adalah
sebagai berikut:
1. Melaksanakan kegiatan budidaya yang sesuai dengan kaidah konservasi yaitu
dengan membuat sistem terasering yang searah kontur serta pengelolaan
tanaman yang dapat mengendalikan erosi, yaitu dengan penanaman secara
tumpangsari antara tanaman semusim dengan tanaman tahunan.
2. Pemerintah bersama masyarakat dan stakeholder melaksanakan kegiatan
perbaikan kawasan secara berkesinambungan dan terintegrasi, dalam bentuk
pemberian proyek-proyek rehabilitasi lahan baik secara vegetatif maupun sipil
teknis.
3. Melaksanakan kegiatan sosialisasi dan pembelajaran mengenai pemahaman
lingkungan hidup pada masyarakat di kawasan Sindoro-Sumbing melalui
lembaga-lembaga yang ada di masyarakat.
4. Pemerintah memberikan alternatif komoditas/ jenis tanaman pengganti dari
budidaya komoditas yang tidak ramah lingkungan dengan komoditas yang ramah
lingkungan.
5. Peningkatan partisipasi masyarakat melalui pelibatan aktif dan pengawasan
pelaksanaan sampai kepada pengawasan dan evaluasi oleh semua stakeholders
sesuai dengan peranan dan fungsi masing-masing.
6. Memadukan sistem pertanian dan pelestarian sumberdaya alam, dengan memilih
tanaman semusim dan tanaman tahunan yang saling menguntungkan.
7. Melibatkan petani dan penyuluh dalam identifikasi masalah di lapangan,
perencanaan, serta pemilihan dan penerapan teknik konservasi tanah dan air.
8. Meningkatkan peran Departemen Pertanian dalam konservasi tanah dan
rehabilitasi lahan, karena konservasi tanah memerlukan penanganan yang
terintegrasi antarsektor.
Bab V
Kesimpulan dan Saran

5.1 Kesimpulan
Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumberdaya alam dan
merupakan negara agraris yang memiliki kawasan wilayah perbukitan dan
pegunungan sekitar 45%, sehingga diperlukan adanya manajemen pengolahan
lahan yang baik dan benar. Sumberdaya lahan dapat mengalami perubahan karena
aktivitas manusia dan proses alam yang menyebabkan degradasi lahan sehingga
kualitas lahan dapat menurun. Dampak yang ditimbulkan dari degradasi lahan yaitu
penurunan kualitas tanah, berubahnya kondisi lingkungan yang mengakibatkan
bencana alam, dan menurunnya pertumbuhan ekonomi masyarakat. Degradasi
lahan dapat dicirikan dengan terjadinya penurunan sifat fisik, kimia dan biologi
tanah. Degradasi yang terjadi pada lahan memiliki tingkatan-tingkatan yang
diklasifikasikan dalam tiga kelas yaitu ringan, sedang, dan berat, dimana dalam
klasifikasinya ditentukan berdasarkan skala tinjau dan semi-detail yang memiliki
karakteristik dan permasalahan masing-masing dalam tingkatannya. Degradasi
lahan dapat disebabkan karena kondisi kemiringan lahan, pembukaan lahan hutan
menjadi lahan non-pertanian, dan kegiatan penambangan di kawasan pegunungan.
Oleh karena itu, diperlukan adanya teknologi konservasi tanah dan air yang tepat
dengan metode vegetative yaitu memanfaatkan peranan dan fungsi tanaman,
metode mekanik yaitu dengan perlakua fisik mekanis dan pembuatan bangunan,
serta metode kimia yang menggunakan bahan-bahan kimia. Konservasi dilakukan
untuk mengendalikan erosi, mempertahankan kesuburan tanah, dan meminimalisir
degradasi tanah. Konservasi yang dapat dilakukan yaitu dengan metode vegetative
seperti rotasi tanam, strip cropping, pemanfaatan sisa-sisa tanaman, dan tanaman
penutup tanah, sedangkan metode mekanik dilakukan dengan pengolahan tanah
seperti pembuatan teras dan guludan.
5.2 Saran
Diperlukan adanya teknik pengelolaan yang benar dan tepat di kawasan
pegunungan/perbukitan dengan memperhatikan konservasi tanah dan air yang tepat
sasaran agar tidak menimbulkan dampak negatif terhadap lahan pertanian sekitar
serta dapat meningkatkan hasil produksi yang berkesinambungan.
21

Daftar Pustaka
Agus, F., I. E. Henson, B. H. Sahardjo, N. Harris, M. V. Noordwijk, dam T. J. Killen.
2013. Review of Emission Factors for Assessment of CO2 from Landuse
Change to Oil Palm in SouthEast Asia. Roundtable on Sustainable Palmoil
(RSPO). http://www.rspo.org.
Alghifari, Ahmad Rouf, Lelis Dinul Dzakiah, dan Lulu Khulwatul Jannah Asrin. 2014.
Erosi Sebagai Penyebab Utama Degradasi Lahan. Bandung : Program
Sarjana Agroteknologi, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Islam Negeri
Sunan Gunung Djati.
Alie, M. E. R. 2015. Kajian Erosi Lahan pada DAS Dawas Kabupaten Musi
Banyuasin – Sumatera Selatan. J. Teknik Sipil dan Lingkungan, 3(1): 749-754.
Arimbawa, I. K. S. 2019. Dampak Penambangan Pasir di Kawasan Pegunungan
Perspektif Tri Hita Karana. J. Sphatika, 10(2): 100-110.
Arsyad, S dan E. Rustiadi. 2008. Penyelamatan Tanah Air dan Lingkungan. Bogor :
Crespent Press dan Yayasan Obor Indonesia.
Arsyad, S. 1989. Konservasi Tanah dan Air. Bogor: IPB Press.
Arsyad, Sitanala. 1989. Konservasi Tanah dan Air. Bogor: Penerbit Institut
Pertanian Bogor (IPB)
Baja, S. 2012. Tataguna Lahan dalam Pengembangan Wilayah dengan Pendekatan
Spasial dan Aplikasinya. Yogyakarta.
Baja, S. 2005. The Use of remote sensing technology for agricultural development
planning. South Celebes case study. Space Technology and Application
Conference towards Competitive ASEAN. Badan Pengkajian dan Penerapan
Technology, Jakarta, 5-6 August 2005.
Budiyanto, G. 2014. Pengelolaan Lahan Kering, sebuah Model Pertanian Konservasi
di Kawasan Hulu DAS Jratunseluna Jawa Tengah. Makalah Seminar. Program
Studi Agroteknologi, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Daigh, A.L., Helmers, M.J., Kladivko, E., Zhou, X., Goeken, R., Cavdini, J., Barker,
D. dan Sawyer, J. 2014. Soil Water During the Drought of 2012 as Affected by
Rye Cover Crops in Fields in Iowa and Indiana. J. of Soil and Water
Conservation, 69(6): 564-573.
Daswir. 2010. Peran Seraiwangi sebagai Tanaman Konservasi pada Pertanaman
Kakao di Lahan Kritis. Buletin Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, 21(2):
117-128.
Direktorat Bina Rehabilitasi dan Pengembangan Lahan. 1993. Laporan Inventarisasi
dan Identifikasi lahan marginal/kritis pada kawasan lahan usaha tani seluruh
Indonesia. Departemen Pertanian Jakarta.
Dirjen Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutan Sosial, Kementerian
Kehutanan. 2011. UNCCD Asia Pacific Regional Consultation Meeting
Prepatory to COP-10 di Bali pada tanggal 14 September 2011.
Dwipradayana Mide. 2014. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan
Pertanian serta Dampak Terhadap Kesejahteraan Petani. J. Manajemen
Agribisnis, Vol. 3 No.1.
22

Edison, Bisri, M. dan Suhartanto, E. 2012. Studi Teknologi Konservasi untuk


Menurunkan Laju Erosi pada Sub DAS Sombe Lewara Provinsi Sulawesi
Tengah. J. Teknik Pengairan, 3(2): 204–210.
Hafif, B., Maswar, Suhardjo, M., Supriadi dan Idjudin A.A. 1995. Potensi dan
Efektivitas Beberapa Teknik Stabilisasi Lahan pada Kawasan Perbukitan Kritis
Nawungan Yogyakarta. Dalam Prosiding Lokakarya dan Ekspose Teknologi
Sistem Usahatani Konservasi dan Alat Mesin Pertanian. Yogyakarta, 17–19
Januari 1995. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor. Hal. 37-48
Hajroon J. 2011. https://meelaisme.wordpress.com/2011/10/19/konservasi-
sumberdaya-lahan-di-kawasan-pegunungan-sindoro-sumbing-dan-solusi-
managemennya. Diakses pada tanggal 27 Agustus 2021 pukul 23.33 WIB.
Idjudin, A.A. 2006. Dampak Penerapan Teknik Konervasi di Lahan terhadap
Produktivitasnya. Disertasi Doktor Sekolah Pasca Sarjana.
Idjudin, A.A. 2011. Peranan Konservasi Lahan dalam Pengelolaan Perkebunan. J.
Sumberdaya Lahan, 5(2): 103-116.
Juhaeti, T., Syarif, F. dan Hidayati, N. 2005. Inventarisasi Tumbuhan Potensial untuk
Fitoremediasi Lahan dan Air Terdegradasi Penambangan Emas. Biodiversitas,
6(1): 31-33.
Kartasapoetra, G., Kartasapoetra, A.G. dan Sutedjo, M.M. 2000. Teknologi
Konservasi Tanah dan Air. Rineka Cipta. Jakarta.
Karyati & Sri Taminah. 2018. Teknologi Konservasi Tanah dan Air. Samarinda:
Universitas Maulana Press.
Karyati. 2014a. Persyaratan Faktor Iklim dan Tanah Beberapa Jenis Sayur-sayuran.
Lembusuana, XIV (59): 41-46.
Karyati. 2014b. Interaksi antara Iklim, Tanah dan Tanaman Tahunan. Magrobis,
14(2): 39-45.
Kementerian Kehutanan. 2011. Penutupan Lahan di Indonesia. Kementerian
Kehutanan. Jakarta.
Meijer, A.D., J.L. Heitman, J.G. White, and R.E. Austin. 2013. Measuring Erosion in
Long Term Tillage Plots Using Grounds Based Lidar. J. Soil and Erosion. Vol.
126 : 1 – 10.
Ngabekti, S., D. L. Setyowati, dan R. Sugiyanto. 2007. Tingkat Kerusakan
Lingkungan di Dataran Tinggi Dieng sebagai Database Guna Upaya
Konservasi. J. Manusia dan Lingkungan, 14(2): 93-102.
Njurumana, Gerson ND. 2008. Kajian Degradasi Lahan Pada Daerah Aliran Sungai
Kambaniru, Kabupaten Sumba Timur (Study of Land Degradation on
Kambaniru Watershed, East Sumba Regency). Kupang : Balai Penelitian
Kehutanan Kupang.
Nugroho, SP, Mastur dan Donie. 2000. DAS merupakan Unit Pengelolaan
Sumberdaya Alam Yang Lestari dan Berkeadilan. Ekspose Hasil-Hasil
Penelitian BTP DAS Surakarta. Surakarta.
Pramono, I.B. dan Wahyuningrum, N. 2009. Model Pengendalian Run-off dan Erosi
dengan Metode Vegetatif (Studi Kasus Sub DAS Dungwot). J. Balai
PenelitianKehutanan Solo, 13(1): 23-32.
23

Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. 2004. Teknologi


Konservasi Tanah pada Lahan Kering Berlereng. Puslitbang Tanah dan
Agroklimat. Bogor.
Septiawan, G.W. 1987. Pengaruh Pemberian Soil Conditioner terhadap Kemantapan
Agregat Tanah, Dlfusivitas dan Hantaran Hidrolik Tidak Jenuh pada Tanah
Labil Lapisan Atas dari Daerah Pagelaran, Cianjur Selatan. Jawa Barat.
Skripsi. Sarjana Fakultas Pertanian, IPB, Bogor.
Sitorus, S. R. P., B. Susanto, dan O. Haridjaja. 2011. Kriteria dan Klasifikasi Tingkat
Degradasi Lahan di Lahan Kering (Studi Kasus : Lahan Kering di Kabupaten
Bogor). J. Tanah dan Iklim, No. 34.
Sunandar, A. dan Mulyani, S.Y. 2018. Pengaruh Mulsa Serutan Kayu dan
Polyacrylamide dalam Campuran Hydroseeding terhadap Perubahan Sifat
Kimia Tanah Inceptisol. J. Agrotek Indonesia, 3(1): 6-16.
Suripin. 2002. Pengelolaan Sumber Daya Tanah dan Air. Yogyakarta: Andi Offset.
Syam, A. 2003. Sistem Pengelolaan Lahan Kering di Daerah Aliran Sungai Bagian
Hulu. J. Litbang Pertanian, 22(4): 162-171.
Wahyunto dan A. Dariah. 2014. Degradasi Lahan di Indonesia: Kondisi Existing,
Karakteristik, dan Penyeragaman Definis Mendukung Gerakan Menuju Satu
Peta. J. Sumberdaya Lahan, 8(2): 81-93.
Wahyunto, Ai Dariah. 2014. Degradasi Lahan di Indonesia : Kondisi Existing,
Karakteristik, dan Penyeragaman Definisi Mendukung Gerakan Menuju Satu
Peta [online]. http://eJ..litbang.pertanian.go.id. Diakses pada 28 Agustus 2019.
Winata, A., Rusdiyanto, E. dan Deliyanto, B. 1998. Konservasi Sumber Daya Alam
dan Buatan. Universitas Terbuka. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai