Anda di halaman 1dari 26

TEKNOLOGI KONSERVASI SUMBERDAYA LAHAN

TUGAS TM-2

Studi Kasus Kerusakan Lahan Akibat Erosi Tanah dan Langkah-Langkah


Teknis Penanggulannya

Dosen Pengampu :

Dr. Kurniawan Sigit Wicaksono, S.P., M.Sc.

Disusun Oleh :

Kelompok 2

Anggota Kelompok :

Insyirah Rahman Nisa (195040201111082)

Sindi Puspita Sari (195040201111193)

Hatta Gumilang (195040201111201)

Listya Dian Nurfitasari (195040201111205)

Romzul Islami Alfarisi (195040207111127)

Kelas : J

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2021
DAFTAR ISI
Cover ................................................................................................................... i
Daftar Isi ............................................................................................................. ii
Daftar Gambar ....................................................................................................iii
Bab I Pendahuluan ............................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang ..................................................................................................... 1
Bab II Rekomendasi Strategi Konservasi Tanah dan Air ................................ 8
2.1 Rekomendasi Strategi konservasi tanah dan air menguraikan tentang baik
tindakan managemen tanah ...................................................................................... 8
2.2 Teknologi konservasi secara vegetatif maupun mekanis (sipil teknis)
dengan deskripsi detailnya ...................................................................................... 11
2.3 Langkah Penerapan Teknologi Konservasi Tanah dan Air di Lapangan . 16
Bab III Kesimpulan dan Saran......................................................................... 20
3.1 Kesimpulan ......................................................................................................... 20
3.2 Saran ................................................................................................................... 20
Daftar Pustaka ................................................................................................. 21

ii
DAFTAR GAMBAR
No. Teks Halaman
1. Kondisi Degradasi Lahan di Sumberjaya Lampung .......................................... 2
2. Peta Laju Deforestasi di Indonesia 2016-2017 ................................................. 4
3. Sistem Tanam Lorong.................................................................................... 12
4. Teras Batu ..................................................................................................... 13
5. Teras Tembok................................................................................................ 14
6. Teras Kayu .................................................................................................... 14
7. Teras Karung ................................................................................................. 15
8. Teknik Konservasi Campuran Metode Vegetatif dan Mekanik ....................... 15
9. Strategi konservasi tanah untuk lahan budidaya ............................................ 16

iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumberdaya alam dan
merupakan negara agraris yang memiliki pembangunan ekonominya sangat
berkaitan erat dengan sektor pertanian. Indonesia berada dalam Kawasan
wilayah yang hampir sekitar 45% merupakan wilayah perbukitan dan
pegunungan dengan ciri topo-fisiografi beragam. Kegiatan pertanian di wilayah
perbukitan dan pegunungan merupakan daerah strategis untuk budidaya
tanaman karena berada di dataran tinggi yang memiliki suhu normal hingga
dingin. Akan tetapi, keberhasilan praktik budidaya tanaman di daerah perbukitan
dan pegunungan harus memperhatikan faktor-faktor lingkungan tumbuh sekitar
agar tidak terjadi kegagalan saat pengolahan dimulai. Pentingnya menerapkan
prinsip konservasi diperlukan agar pemanfaatan sumberdaya dapat dilakukan
dengan tepat agar tidak terjadi kerusakan lahan yang lebih serius sehingga
menimbulkan bertambahkan kerusakan lahan yang ada di Indonesia.
Lahan merupakan salah satu tempat tumbuh tanaman yang memiliki
peranan penting dalam memenuhi kebutuhan manusia. Lahan juga memiliki
lingkungan biofisik seperti topografi, bentuk lahan hingga vegetasi yang ada di
atas permukaan tanah maupun di dalam tanah. Menurut Mokodompit et al.,
(2019) lahan merupakan suatu daerah yang ada di atas permukaan bumi yang
cirinya mencakup suatu atribut yang bersifat cukup teguh atau dapat diduga
bersifat mendaur dari biosfer, atmosfer, tanah, geologi, hidrologi, populasi
tumbuhan dan hewan, serta hasil perlakuan manusia yang terhitung dari masa
lampau hingga masa kini yang berpengaruh terhadap penggunaan lahan pada
waktu sekarang maupun pada waktu mendatang. Pada dasarnya, semua
kegiatan pertanian dilakukan diatas permukaan tanah atau disebut dengan
lahan. Wilayah perbukitan dan pegunungan juga dapat dimanfaatkan sebagai
daerah pemukiman, namun memiliki faktor pembatas yang cukup tinggi karena
rawan terjadi longsor. Kegiatan yang ada di atas permukaan lahan untuk
pertanian, pemukiman, hingga pariwisata harus memperhatikan sifat-sifat lahan
dalam penggunaannya. Sifat-sifat lahan merupakan keadaan unsur-unsur lahan
yang dapat diukur atau diperkirakan, seperti tekstur tanah, struktur tanah,
distribusi hujan, jumlah curah hujan, drainase tanah, temperature tanah dan
lingkungan, jenis vegetasi dan lainnya yang segala sesuatunya terdapat di lahan
tersebut untuk pembeda dari suatu lahan lainnya (Mokodompit et al., 2019).
Pada lahan di wilayah perbukitan dan pegunungan juga memiliki tingkat
konservasi atau upaya penanggulangan dari berbagai bahaya yang tinggi karena
memiliki tingkat kelerengan yang curam dibandingkan dengan dataran rendah.
Praktik budidaya tanaman di daerah perbukitan dan pegunungan memiliki
banyak faktor pembatas yang diakibatkan oleh lingkungan biofisik pada daerah
perbukitan/pegunungan seperti tingkat kelerengan yang cenderung sangat
curam, tingkat terjadinya erosi yang tinggi, hingga berada dalam tingkat hujan
yang relative tinggi sehingga sangat besar terjadinya longsor atau erosi pada
daerah perbukitan/pegunungan. Lahan perbukitan/pegunungan yang tidak
dilakukan upaya perbaikan atau konservasi lahan tentunya akan merusak
lingkungan sekitar bahkan lingkungan yang ada di atasnya. Kerusakan lahan
yang ada di perbukitan/pegunungan di Indonesia semakin meluas akibat adanya
upaya pemanfaatan sumberdaya alam yang tidak menerapkan prinsip-prinsip
konservasi, seperti pemanfaatan kawasan hutan yang dibiarkan terbuka tanpa
adanya penanaman vegetasi kembali. Terdapat pula kecenderungan
2

berkurangnya luasan hutan di Indonesia karena masih banyak dilakukan


kegiatan deforestasi hutan yang beralih fungsi menjadi kawasan budaya.
Lahan yang tidak dimanfaatkan dengan baik tanpa adanya konservasi
akan menyebabkan kerusakan lahan atau degradasi lahan. Degradasi lahan
merupakan penurunan produktivitas lahan baik yang ada di dalam tanah maupun
di permukaan tanah sehingga memerlukan adanya upaya perbaikan dengan
menerapkan prinsip konservasi. Menurut Wahyunto dan Dariah (2014),
degradasi lahan merupakan proses menurunnya produktivitas lahan berdasarkan
sifat fisik, kimia dan biologi tanah yang bersifat sementara maupun tetap yang
nantinya menjadi lahan kritis. Luas lahan terdegradasi di Indonesia selalu
bertambah luas, jika pada tahun 1968 dilaporkan luas lahan terdegradasi di
Indonesia 20 juta ha, tahun 1990-an sekitar 40 juta ha, dan pada tahun 2008
mencapai 77,8 ha (Dirjen Pengelolaan DAS dan Perhutan Sosial, Kementerian
Kehutanan, 2011). Di kawasan budidaya pertanian, lahan terdegradasi dan
menjadi kritis (rusak, tandus, gundul) pada tahun 1993 seluas 18 juta ha
(Puslitbangtanak 2004), dan pada tahun 2003 telah mencapai 23,2 juta ha (Baja
2005). Sehingga dapat disimpulkan bahwa selama kurun waktu 10 tahun terjadi
peningkatan kerusakan lahan/lahan kritis sebesar 5,2 juta ha.

Gambar 1. Kondisi Degradasi Lahan di Sumberjaya Lampung


Kondisi lahan di Sumberjaya Lampung menunjukkan kondisi geografis
yang berbukit dan berada di daerah dataran tinggi. Berdasarkan kondisi lahan
yang ada di Sumberjaya Lampung, praktik budidaya yang diterapkan pada
daerah tersebut yaitu adanya deforestasi hutan, lahan dibiarkan terbuka,
pertanian tanpa teras, dan tutupan lahan yang kurang. Praktik manajemen yang
salah pada daerah berlereng akan menyebabkan terjadinya erosi. Erosi
merupakan proses pengikisan permukaan bumi meliputi proses penghancuran,
pengangkutan, dan pengendapan oleh material erosi. Hal ini didukung oleh
pernyataan Fauzi dan Maryono (2016), erosi merupakan berpindahnya atau
terangkutnya materi yang berasal dari tanah dari suatu tempat ke tempat lain
oleh media lain yang dipengaruhi oleh faktor iklim, struktur dan jenis tanah,
vegetasi, topografi, dan faktor pengelolaan tanah. Erosi tanah menimbulkan
kerusakan yang sangat luas dan mahal, baik di tempat kejadian erosi maupun
ditempat pengendapan sedimen. Kerusakan sifat fisik, kimia dan tanah yang
disebabkan erosi berupa terjadinya penurunan kapasitas infiltrasi dan
kemampuan tanah menahan air, penurunan kualitas struktur tanah,
meningkatnya kepadatan dan ketahanan penetrasi tanah, hingga adanya
penurunan ketersediaan bahan organic dan organisme tanah. Pada tanah yang
mengalami erosi 47,6 t/ha, unsur hara N yang terangkut mencapai 104,2 kg/ha, P
32,3 kg/ha, dan K 358,7 kg/ha, dan pada aliran permukaan 3.320 m3 , unsur
3

hara N yang terangkut mencapai 1,02 kg/ha, P 0,28 kg/ha, dan K 14,3 kg/ha
(Sutrisno dan Heryani, 2013).
Lahan yang memiliki kondisi terdegradasi ringan akibat deforestasi, lahan
dibiarkan terbuka dan tutupan lahan yang kurang masih berfungsi sebagai
penyeimbang hidro-oorlogi di daerah Kawasan perbukitan/pegunungan tersebut,
namun jika terjadi kesalahan dalam pengelolaannya atau lahan menjadi terbuka
akan cepat terjadi degradasi dan menjadi lahan kritis. Hal tersebut dapat terjadi
karena wilayah Sumberjaya, Lampung memiliki lereng curam, litologi dan sifat
tanah tidak stabil sehingga tanah tersebut menjadi peka terhadap erosi dan
mudah terjadi longsor. Lahan yang tergolong degradasi sedang hingga berat
pada umumnya tidak produktif untuk usaha pengembangan usaha pertanian
pangan karena unsur hara yang tersedia pada lahan tersebut sudah berkurang
akibat lahan yang berlereng curam dan memiliki potensi longsor dapat membawa
material-material organic ke tempat yang lebih rendah. Lahan berlereng yang
tidak dilakukan upaya penghijauan kembali pada lahan yang terdegradasi
menyebabkan lahan tidak bisa digunakan untuk kegiatan bercocok tanam
kembali (Wahyunto dan Dariah, 2014).
Lahan terdegradasi yang ada di wilayah berlereng seperti perbukitan dan
pegunungan dapat terjadi kerusakan seperti erosi, banjir dan sedimentasi lahan.
Erosi dapat terjadi akibat wilayah yang berlereng terjadi hujan yang jatuh ke
permukaan tanah dan memiliki energi sehingga tanah bergerak jatuh ke bawah.
Erosi dapat terjadi dengan 3 proses yaitu proses penghancuran, pengangkutan
dan pengendapan, dimana air hujan yang mengenai permukaan tanah dan
diberikan energi tertentu dapat menghancurkan agregat tanah. Agregat tanah
yang hancur karena air hujan akan menutup pori-pori tanah yang dapat
menurunkan kemampuan tanah dalam menyerap air hujan (infiltrasi).
Peningkatan intensitas hujan dapat mengakibatkan peningkatan aliran
permukaan juga, sehingga daya angkut partikel tanah yang telah terlepas dari
asalnya semakin banyak dan menyebabkan hasil sedimentasi tinggi. Kemiringan
lereng yang dibarengi dengan intensitas hujan yang tinggi dapat meningkatkan
aliran permukaan. Kecepatan aliran akan meningkat sejalan dengan semakin
besarnya tingkat kemiringan lereng dan daya angkut partikel-partikel tanah yang
sudah hancur akibat air hujan akan semakin tinggi dan menyebabkan proses
erosi yang tinggi (Tarigan dan Mardiatno, 2013). Proses erosi dapat
menyebabkan adanya sedimentasi lahan. Sedimentasi lahan dapat terjadi karena
material tanah yang terbawa oleh aliran air pada proses erosi akan diendapkan
pada suatu tempat yang kecepatan airnya melambat atau terhenti sehingga
dapat menyebabkan naiknya dasar sungai atau pendangkalan kemudian dapat
terjadi bahaya banjir.
Permasalahan degradasi lahan di daerah perbukitan/pegunungan
Sumberjaya Lampung diakibatkan karena lahan yang dibiarkan terbuka,
deforestasi hutan dan kurangnya tutupan lahan. Deforestasi merupakan proses
penghilangan hutan alam dengan cara menebang pohon untuk diambil kayunya
atau mengubah peruntukan lahan hutan menjadi non-hutan. Pada umumnya,
deforestasi juga dapat terjadi karena adanya desakan konversi lahan sebagai
lahan non-pertanian seperti pemukiman, infrastruktur, perkebunan, peternakan
hingga pertambangan. Faktor yang dapat menyebabkan deforestasi yaitu illegal
loging, alih fungsi lahan dan kebakaran hutan. Deforestasi akan mengurangi
tajuk pohon yang berada di bawah ambang batas minimum tumbuhnya pohon
sekitar 10%. Sehingga dapat disimpulkan bahwa deforestasi merupakan
penggundulan hutan atau penebangan hutan sehingga hutan beralih fungsi untuk
hal lainnya. Dampak yang terjadi akibat deforestasi yang didukung oleh kondisi
wilayah yang berlereng akan merugikan bagi manusia, hewan dan tumbuhan
4

yang ada di sekitarnya. Dampak dari kegiatan deforestasi yaitu dapat


mengurangi keanekaragaman flora dan fauna karena habitat tempat tinggalnya
terganggu, serta menyebabkan bencana banjir dan erosi atau longsor jika
keadaan hutan mengalami deforestasi di daerah perbukitan/pegunungan (Putri,
2020).

Gambar 2. Peta Laju Deforestasi di Indonesia 2016-2017 (Putri, 2020)


Deforestasi pada lahan berlereng dapat menyebabkan kurangnya tutupan
lahan atau lahan terbuka di lahan perbukitan/pegunungan Sumberjaya Lampung.
Kurangnya tutupan lahan juga dapat terjadi akibat perubahan tata guna lahan
atau yang sering disebut dengan konversi lahan. Konversi lahan dan deforestasi
dapat mengakibatkan banyaknya tutupan lahan yang kurang baik untuk
meminimalisir terjadinya erosi di daerah berlereng. Menurut Kunarso et al.
(2018), tutupan vegetasi yang ada di lahan berlereng dapat berfungsi sebagai
penahan energi kinetic akibat tetesan air hujan sebelum air jatuh ke permukaan
tanah. Oleh karena itu, adanya tutupan lahan seperti vegetasi dan system tanah
memiliki pengaruh besar pada tingkat limpasan dan erosi. Selain itu, erosi tanah
dapat dikurangi dengan pengelolaan yang optimal baik dengan menggunakan
manfaat vegetasi maupun dengan pengolahan tanah. Wilayah yang berlereng
tanpa adanya tutupan lahan berupa vegetasi memiliki tingkat bahaya erosi yang
tinggi sehingga lahan mudah mengalami degradasi. Tutupan lahan mampu
meminimalisir adanya erosi karena vegetasi memiliki banyak manfaat untuk
menopang tanah agar tidak terjadi pergerakan tanah yang akan menimbulkan
bahaya erosi. Tutupan lahan dapat menggunakan sisa-sisa tumbuhan yang ada
di wilayah tersebut maupun dengan penanaman pohon yang memiliki akar
tunggang yang mampu menahan pergerakan tanah. Namun, akibat adanya
deforestasi yang mengakibatkan tidak adanya vegetasi yang berfungsi sebagai
penahan erosi, wilayah berlereng mudah mengalami erosi dan degradasi lahan.
Degradasi lahan yang ada di perbukitan/pegunungan Sumberjaya Lahan
disebabkan oleh deforestasi. Dimana deforestasi dapat mengakibatkan hilangnya
kehidupan flora dan fauna yang ada di lingkungan sekitar. Hilangnya tanaman
atau penggundulan hutan akibat deforestasi pada lahan berlereng dapat
meningkatkan bahaya erosi dan degradasi lahan, sehingga lahan di Sumberjaya
Lampung menjadi menurun tingkat produktivitas maupun kualitasnya. Deforestasi
juga dapat menyebabkan lahan terbuka, dimana lahan tidak ada tanaman-
tanaman sebagai tutupan lahan sehingga degradasi lahan juga lebih besar.
Lahan yang sudah terdegradasi akibat konversi lahan dan deforestasi diperlukan
adanya upaya perbaikan (konservasi lahan) agar lahan dapat ditanami kembali
oleh tanaman yang dibutuhkan oleh bahan pangan manusia. Lahan yang
terdegradasi ringan hingga sedang tentunya memiliki tingkat konservasi lahan
yang berbeda, karena faktor pembatasnya juga berbeda-beda. Konversi lahan
dan deforestasi tidak hanya berpengaruh terhadap sektor pertanian, namun
5

dapat berpengaruh terhadap sektor iklim hingga menimbulkan masalah global


yang serius.
Degradasi lahan yang terjadi di Sumberjaya, Lampung, tersebut akan
semakin parah apabila tidak terdapat penyelesaian dalam memperbaiki kondisi
lahan yang terdegradasi tersebut. Oleh karena itu, diperlukan solusi-solusi untuk
menyelesaikan permasalahan degradasi lahan berdasarkan akar masalah yang
muncul yang menyebabkan terjadinya degradasi lahan. Penyelesaian akar
masalah pada degradasi lahan tersebut dapat dilakukan dengan memperbaiki
penyebab-penyebab dari terjadinya degradasi lahan dan mengambil langkah-
langkah tepat seperti pemilihan metode atau teknik untuk diterapkan pada
permasalahan degradasi lahan serta menetapkan indikator keberhasilan dari
permasalahan degradasi lahan. Adapun penyebab-penyebab dari terjadinya
degradasi lahan tersebut dapat diperbaiki dengan melakukan pengelolaan lahan
secara tepat. Pengelolaan lahan secara tepat dapat dilakukan dengan
melakukan olah tanah seminimal mungkin, menghindari penggunaan mesin-
mesin berat, mengurangi penggunaan bahan-bahan kimia, mengaplikasikan
sistem pertanian yang berkelanjutan, melakukan reboisasi, serta mengatur tata
lahan yang berlereng dengan penerapan terasering.
Pada lahan berlereng, umumnya banyak dibuka lahan hutan menjadi
lahan pertanian. Dengan didukungnya pengelolaan lahan pertanian yang tidak
tepat, menyebabkan meningkatnya tingkat erosi. Terjadinya erosi menjadi salah
satu penyebab terjadinya degradasi lahan. Erosi perlu dikendalikan agar tidak
menyebabkan terjadinya degradasi lahan. Menurut Dariah et al. (2004),
pengendalian erosi pada lahan miring dapat dilakukan dengan penerapan teknik
konservasi tanah menggunakan teknik-teknik pengendalian erosi secara mekanik
dan vegetatif yang bertujuan untuk mengurangi derajat kemiringan dan
panjangnya lereng. Dalam prakteknya, teknik pengendalian erosi secara mekanik
dan vegetatif tidak dapat dipisahkan. Di mana, penerapan teknik pengendalian
erosi secara mekanik akan lebih efisien dan efektif apabila disertai penerapan
secara vegetatif, dan sebaliknya perlakuan fisik mekanis tetap dibutuhkan untuk
mendukung pengendalian secara vegetatif. Teknik-teknik ini dapat dilakukan
dengan penggunaan teknologi seperti teras bangku atau teras gulud dengan
menggunakan berbagai tanaman penguat teras pada bibir teras untuk stabilisasi
teras dan sumber pakan, penanaman lorong dengan menggunakan jenis
tanaman pagar yang sesuai, penggunaan mulsa baik mulsa konvensional
maupun vertikal, penerapan strip rumput dengan berbagai jenis rumput yang
efektif untuk mencegah terjadinya erosi dengan memperhatikan faktor
persaingan antara rumput dan tanaman utama. Selain itu, dilakukan olah tanah
konservasi yang memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah yang dapat
menekan dampak negative dari pengolahan tanah. Konservasi air juga perlu
dilakukan pada lahan miring untuk mencegah terjadinya erosi. Konservasi air
yang dapat dilakukan yakni dengan mengembangkan teknik pemanenan air,
meningkatkan kemampuan tanah menahan air, serta penerapan irigasi yang
tepat.
Degradasi lahan juga dapat terjadi karena penggunaan lahan tidak sesuai
dengan kemampuannya. Seperti contohnya lahan yang seharusnya
dipergunakan untuk cagar alam, hutan lindung, atau pertanian tidak intensif
dialihfungsikan menjadi lahan pertanian intensif. Bahkan lahan dengan
kemiringan lereng lebih dari 30% banyak yang dijadikan lahan pertanian intensif
(Tarigan et al., 2008). Hal ini menyebabkan adanya ketidakmampuan lahan untuk
melakukan fungsinya. Untuk mengatasi permasalahan ini, dapat dilakukan
perbaikan lahan dengan mengubah fungsi lahan sesuai dengan kemampuannya.
Perbaikan lahan dapat dilakukan dengan mengubah lahan pertanian menjadi
6

lahan agroforestri yang memanfaatkan tanaman tahunan pada penanaman


tanaman pertanian semusim. Pemanfaatan tanaman tahunan seperti pepohonan
ini akan meningkatkan penahanan air dalam tanah dan memperbaiki kualitas
tanah seperti struktur tanah. Menurut Widianto et al. (2003), agroforestri memiliki
peranan dan fungsi yang dekat dengan peranan dan fungsi hutan baik dalam
aspek biofisik, sosial, dan ekonomi. Sistem agroforestri dapat mempertahankan
sifat-sifat fisik tanah lapisan atas melalui tajuk tanaman dan pepohonan yang
relative rapat sepanjang tahun dapat menghalang sebagian besar air hujan tidak
langsung jatuh ke permukaan tanah sehingga mencegah terjadinya erosi, sistem
agroforestri mampu mempertahankan kandungan bahan organik tanah karena
terdapat banyaknya seresah yang dihasilkan oleh pepohonan yang jatuh ke
tanah, sistem agroforestri memiliki kanopi yang dapat menutupi sebagian besar
permukaan tanah sehingga pelapukan seresah dapat berjalan lebih cepat karena
kondisi tanah lebih lembab dan memudahkan perkembangbiakan organisme
tanah, sistem agroforestri juga memiliki fungsi hidrologi yang mirip dengan
kawasan hutan yang mana sistem agroforestri dapat menjaga kemantapan dan
kontinyuitas ruang pori tanah dan mampu mendorong laju infiltrasi yang tinggi
karena adanya perakaran pohon yang banyak dan lebih dalam, serta dapat
menjaga kekasaran permukaan bentang lahan dengan mempertahankan
cekungan-cekungan yang bermanfaat dalam meningkatkan kapasitas menahan
air sementara di permukaan tanah dan memfilter sedimen yang terangkut dalam
limpasan permukaan dengan mengendapkan pada saat air menggenang.
Penggunaan tanaman penutup tanah dapat menjadi solusi lain dalam
mengatasi permasalahan penyebab degradasi lahan. Tanaman penutup tanah ini
dapat ditanam pada saat awal penanaman. Tanaman penutup tanah berfungsi
melindungi permukaan tanah dari air hujan yang turun dan menumbuk
permukaan tanah, memperlambat aliran permukaan, meningkatkan bahan
organik di dalam tanah, meningkatkan porositas tanah, melembabkan tanah,
memperbaiki struktur tanah, serta mengontrol terjadinya erosi. Tanaman penutup
tanah yang dapat dimanfaatkan adalah jenis tanaman legume karena mampu
menghaslkan hijauan, memiliki kandungan nitrogen yang tinggi, serta tidak
berpotensi melakukan kompetisi dengan tanaman utama (Masfia dan Rahmadi).
Degradasi lahan akan menimbulkan berbagai dampak yang
mempengaruhi produksi tanaman dan kesehatan lingkungan. Pada lahan yang
terdapat di Sumberjaya, terjadinya degradasi lahan menyebabkan lahan tidak
produktif. Hal ini dapat dilihat dari gambar tersebut bahwa lahannya terbuka dan
hanya ada sedikit tanaman yang tumbuh pada lahan tersebut. Hal ini dapat
disebabkan karena kondisi lahannya mengalami kekeringan. Pada umumnya,
tanaman tidak mudah untuk tumbuh pada lahan yang mengalami kekeringan.
Kekeringan pada lahan tersebut dapat terjadi karena adanya erosi. Erosi yang
terjadi akibat adanya air hujan yang tidak terinfiltrasi ke dalam tanah karena
kurangnya perakaran yang kuat sebagai penahan air berdampak pada
menurunnya ketersediaan air di dalam tanah atau bahkan tidak ada sehingga
pada lahan tersebut akan terjadi kekurangan air (Budiyanto, 2014). Selain
terjadinya kekeringan, adanya erosi mengakibatkan menurunnya kualitas tanah
dan produktivitas tanaman. Pasaribu et al. (2010) menjelaskan bahwa erosi
dapat dipercepat oleh kegiatan manusia seperti pengelolaan lahan yang tidak
tepat. Terjadinya erosi berdampak pada penurunan kualitas dan produktivitas
tanah. Erosi yang disebabkan oleh air hujan yang tidak dapat terinfiltrasi karena
kurangnya perakaran yang kuat sebagai penahan air menyebabkan terjadinya
limpasan air permukaan sehingga tanah lapisan atas yang relative subur hilang
karena terbawa oleh limpasan air permukaan menuju daerah hilir. Tanah lapisan
atas ini umumnya mengandung banyak bahan organik dan unsur hara yang
7

dibutuhkan oleh tanaman. Terjadinya erosi yang membawa tanah ke daerah hilir
juga akan mengangkut bahan-bahan organik dan unsur hara yang terkandung di
dalam tanah. Hilangnya bahan organik dan unsur hara ini menyebabkan tanah
pada lahan tersebut kehilangan kesuburannya dan menurunkan kualitas tanah
sehingga apabila dilakukan kegiatan pertanian, produktivitas tanaman akan
menurun.
Degradasi lahan juga berdampak terhadap lingkungan sekitar. Dampak
yang terjadi salah satunya yakni banjir. Banjir akibat degradasi lahan dapat
terjadi karena adanya erosi yang mengangkut tanah pada lahan di daerah hulu
menuju daerah hilir yang umumnya akan sampai ke daerah aliran sungai. Tanah
yang terangkut akan mengendap dan mengalami sedimentasi pada daerah aliran
sungai, sehingga terjadi pendangkalan sungai. Selain banjir, juga akan terjadi
longsor karena tanah pada lereng bagian atas tidak tertahan oleh akar tanaman
sehingga terjadi tanah longsor (Thaib, 2007). Tak hanya banjir dan longsor,
degradasi lahan menimbulkan dampak lain pada lingkungan. Degradasi lahan
dapat menyebabkan terjadinya kekeringan sehingga ketersediaan air terbatas,
kualitas air menurun akibat adanya sedimentasi tanah dan bahan-bahan organik
pada daerah hilir, adanya kerusakan mata air, terjadinya pendangkalan waduk
sehingga memperpendek umur penggunaan waduk, saluran dan badan air lain
menjadi tersumbat, terjadi kerusakan ekosistem pada perairan, serta banyaknya
habitat keanekaragaman spesies yang hilang sehingga biodiversitas hilang
(Sutrisno dan Heryani, 2013).
BAB II
REKOMENDASI STRATEGI KONSERVASI TANAH DAN AIR
2.1 Rekomendasi Strategi konservasi tanah dan air menguraikan tentang
baik tindakan managemen tanah
Lahan merupakan bagian dari bentang lahan atau lanscape yang meliputi
lingkungan fisik termasuk iklim, topografi / relief, hidrologi tanah dan keadaan
vegetasi alami yang semuanya secara potensial akan berpengaruh terhadap
penggunaan lahan. Menurut pendapat Arsyad (1989) bahwa konservasi tanah
diartikan sebagai penempatan setiap bidang tanah yang sesuai dengan cara
penggunaannya dengan kemampuan tanah tersebut dan memperlakukannya
sesuai syarat yang diperlukan supaya tidak terjadi kerusakan tanah. Adanya sifat
fisik, kimia tanah, dan topografi lapangan yang menentukan kemampuan tanah
untuk penggunaan dan perlakuan yang diperlukan. Adanya sistem penilaian
tanah bertujuan untuk mencegah kerusakan lahan akibat adanya erosi,
memperbaiki tanah yang telah rusak, dan meningkatkan produktifitas tanah
supaya dapat digunakan dan terjaga kelestariannya. Kelerengan dapat menjadi
salah satu parameter besarnya tingkat erosi yang terjadi. Jika terdapat lereng
permukaan menjadi dua kali lebih curam maka terdapat erosi persatuan luas
menjadi 2,0-2,5 atau bisa disebut bahwa semakib besar erosi maka curam juga
semakin lereng. Besarnya erosi menjadi lebih dua kali curamnya lereng, dengan
jumlah aliran yang sedikit dan mendatar. Menurut pendapat Arsyad (1989)
bahwa jumlah aliran permukaan dibatasi oleh banyaknya aliran hujan yang jatuh.
Adanya kerusakan pada sifat fisik tanah yang disebabkan oleh terjadinya
erosi dan pengolahan tanah yang kurang intensif, hal tersebut dapat
menyebabkan turunnya kualitas dan produksi lahan. Oleh karena itu, dibutuhkan
adanya penanggulangan untuk mengurangi dampak adanya erosi, pengelolaan
lahan yang intensif, dan adanya kekeringan yang menyebabkan kadar bahan
organik tanah meningkat. Untuk dapat menanggulanginya diperlukan cara untuk
pelestarian tanah, karena tanah tersebut menjadi salah satu sumberdaya lahan
pangan. Dilakukan pencegahan tersebut dengan memperhatikan strategi
konservasi yang tepat untuk mempertimbangkan faktor penyebab terjadinya
erosi. Selain itu, adanya kondisi sosial ekonomi masyarakat menjadi salah satu
pertimbangan adanya tindakan konservasi yang dharapkan dapat meningkatkan
pendapatan petani, meningkatkan produktivitas lahan, dan memperkecil resiko
terjadinya degradasi. Konservasi lahan yang ada di Indonesia mengarah pada
tiga prinsip antara lain melindungi permukaan tanah terhadap adanya hujan,
mengurangi lau aliran yang menghambat material tanah, dan meningkatkan
kapasitas infiltrasi tanah contohnya pemberian organik pada tanah.
Pada prinsipnya konservasi air adalah menggunakan air hujan yang jatuh
ke tanah seefisien mungkin untuk proses pertanian, dan mengatur waktu aliran
agar tidak terjadi banjir yang akan merusak dan menerima air yang cukup pada
musim kemarau. Konservasi tanah erat kaitannya dengan konservasi air. Setiap
perlakuan yang dilakukan pada sebidang tanah akan mempengaruhi tata air di
tempat tersebut dan di hilirnya. Oleh karena itu, konservasi tanah dan konservasi
air merupakan dua hal yang sangat erat hubungannya. Konservasi tanah dan air
mengarah pada terwujudnya sistem pertanian berkelanjutan yang didukung oleh
teknologi dan kelembagaan yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat
dan melindungi sumber daya lahan dan lingkungan. Lereng yang curam tanpa
tindakan perlindungan akan mengurangi kapasitas infiltrasi tanah, meningkatkan
kecepatan limpasan dan limpasan, sehingga meningkatkan energi yang dibawa
oleh limpasan dan menyebabkan erosi yang parah. Pemanfaatan lahan
berlereng untuk produksi pangan memerlukan penerapan teknik konservasi
9

tanah dan air yang tepat untuk meningkatkan produktivitas lahan dan menjaga
lingkungan secara berkelanjutan. Menurut FAO (2011), bahwa konservasi tanah
dan air melalui pendekatan agroekosistem dapat meningkatkan keuntungan
pertanian, meningkatkan ketahanan pangan, dan meningkatkan produktivitas
lahan secara berkelanjutan.
Tanah dan air sebagai sumberdaya alam terbarukan harus dapat dikelola
dan dimanfaatkan secara bijaksana agar diperoleh manfaat yang berkelajutan
dan produktifitasnya tetap lestari. Setiap macam penggunaan tanah serta aliran
permukaan. Teknologi yang digunakan dalam pengelolaan lahan akan diperoleh
pemanfaatan dan produktifitas yang berkelanjutan atau sebaliknya (Mawardi,
2013). Upaya penyelamatan bumi dalam bentuk Konservasi Tanah dan Air,
sangat mendesak untuk mengembalikan ekosistem tanah dan air demi
keselamatan kehidupan yang menyertainya. Konservasi Tanah dan Air adalah
dua hal yang saling berkaitan. Tindakan konservasi atau perlindungan alam
terhadap tanah, berdampak pada ketersediaan kuantitas dan kualitas air yang
berkelanjutan. Usaha konservasi atau perlindungan alam terhadap air, akan
melibatkan suatu tindakan untuk pengelolaan daerah tangkapan air secara
terpadu, yang berarti juga tindakan konservasi tanah. Berhubungan dengan
adanya hubungan yang erat sekali antara tanah dan air, bahwa setiap perlakuan
yang diberikan kepada permukaan sebidang tanah akan mempengaruhi pula tata
air di tempat itu (hulu) dan daerah hilirnya, maka masalah konservasi tanah dan
air merupakan dua hal yang berhubungan erat sekali (Triwanto, 2012). Terdapat
beberapa metode yang dapat digunakan dalam melakukan konservasi tanah dan
air. Menurut pendapat Roni (2015) menyatakan bahwa metode-metode tersebut
adalah metode mekanik, metode teknis, metode vegetatif, serta metode kimia.
Berikut adalah penjabaran dari masing-masing metode:
a. Metode Mekanik
Beberapa tujuan dari penerapan metode mekanik adalah agar aliran air
pada permukaan tanah menjadi lambat, dapat menghambat erosi, serta mampu
menampung dan mengalirkan aliran air pada permukaan tanah. Contoh dari
metode mekanik adalah pada pengolahan tanah di lahan budidaya.
b. Metode Teknis
Metode teknis dapat diterapkan dalam mengatur aliran permukaan pada
tanah sehingga tidak merusak lapisan tanah pada bagian atas atau topsoil, yang
mana bagian lapisan atas tanah merupakan media atau tempat bagi tumbuhnya
tanaman.
c. Metode Vegetatif
Metode vegetatif biasanya berupa penerapan konservasi dengan
menanam berbagai jenis tanaman dengan tujuan untuk menjaga tutupun tanah.
Hal tersebut dilakukan agar dapat mengurangi erosi, aliran pada permukaan
tanah menurun, serta menjaga dan memperbaiki sifat-sifat pada tanah.
Contohnya adalah penerapan tanaman lorong, tumpang sari, tumpang bergilir,
dan penggunaan tanaman penutup tanah.
d. Metode Kimia
Penerapan konservasi tanah dengan menggunakan metode kimia dapat
dilakukan dengan menambahkan bahan-bahan organik. Tujuan dilakukannya
langkah tersebut adalah untuk mengurangi laju erosi pada permukaan tanah dan
memperbaiki sifat-sifat tanah.
Aspek penting dari konservasi tanah dan air di lahan kering tropis yang
terdegradasi adalah penutup tanah organik, karena dapat mempengaruhi
keseimbangan air tanah, aktivitas biologis tanah, dan meningkatkan bahan
organik dan kesuburan tanah (Lahmar et al., 2011). Residu dari tanaman dapat
menahan adanya partikel tanah serta menjaga dan memelihara kandungan hara
10

dalam tanah dari terjadinya erosi erosi. Dalam waktu yang lama, dilakukannya
konservasi tanah dan air sangat bermanfaat dalam upaya mitigasi perubahan
iklim maupun pada degradasi. Erosi memiliki berbagai dampak yang diwujudkan
dalam penurunan produktivitas tanah yang terkikis, pengurangan ekosistem hilir
akibat banjir, kekeringan, dan pendangkalan sungai dan danau. Laju erosi tanah
pada lahan pertanian dengan kemiringan 30% relatif tinggi, berkisar antara 60-
625 ton/ha/tahun. Mengurangi degradasi lahan dapat dilakukan dengan
menerapkan model agroforestri, tumpangsari dan pertanian terpadu serta model
pengolahan tanah konservasi lainnya. Selain itu juga menerapkan model
pertanian organik yang ramah lingkungan, menjaga teknik konservasi tanah dan
air, dan mencegah penurunan kesuburan tanah. Serta dapat meningkatkan
partisipasi kelembagaan petani. Pengolahan tanah konservasi terbaik adalah
kombinasi teknik konservasi tanah yang mengurangi panjang lereng dan
pengelolaan tanaman, karena dapat mengurangi erosi dan limpasan. Sementara
Arsyad (2006) berpendapat bahwa upaya-upaya yang dilakukan dalam
konservasi tanah dan air bertujuan untuk mencegah terjadinya kerusakan pada
tanah akibat erosi, memperbaiki tanah yang telah rusak agar tidak semakin
parah, dan memelihara serta meningkatkan produktivitas pada tanah agar dapat
dipergunakan secara lestari.
Dalam penerapan kegiatan konservasi tentunya terdapat tantangan yang
harus dihadapi. Terjadinya degradasi pada lahan saat ini tidak hanya berupa
erosi pada tanah, namun juga dapat menyebabkan hal-hal yang tidak diinginkan
lainnya seperti banjir, pencemaran air, dan longsor. Hal tersebut semakin
menjadi ancaman bagi keberlangsungan kegiatan pertanian dan menjadi
tantangan bagi kegiatan konservasi. Menurut pendapat Suryani (2019)
menyatakan bahwa permasalahan yang dihadapi dalam konservasi tanah dan air
berkaitan dengan aspek lain seperti masalah kebijakan, sosial, serta ekonomi.
Terkait kebijakan yang berasal dari pemerintah sangat menentukan keberhasilan
dalam upaya pengendalian yang dilakukan dalam kegiatan konservasi. Sesuai
dengan tantangan yang dihadapi, selama ini prioritas dari program pertanian
sangat ditujukan dalam peningkatan produksi bahan pangan dan pertumbuhan
ekonomi secara makro, sehingga aspek pada kelestarian sumberdaya lahan
menjadi tertinggal. Pada aspek sosial juga sering ditemui tantangan atau
hambatan, yaitu antara lain adalah sistem kepemilikan dan hak atas lahan,
sempitnya lahan garapan yang dimiliki oleh para petani, fragmentasi lahan
pertanian, serta tekanan penduduk.
Kondisi ekonomi yang umumnya rendah dialami oleh para petani,
sehingga hal tersebut sering menjadi alasan bagi petani dalam mengabaikan
konservasi lahan. Adanya diseminasi dari teknologi konservasi tanah dan air
yang sangat lambat. Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh para lembaga
ataupun perguruan tinggi tidak dapat diadopsi langsung oleh petani dalam
melakukan upaya konservasi. Tantangan lain yang dihadapi oleh pemerintah
yang cenderung lebih besar adalah hukum yang menaungi untuk konservasi
tanah dan air perlu disediakan, tidak hanya berupa undang-undang namun juga
berbagai peraturan pelaksananya wajib untuk dilaksanakan secara tegas dan
adil. Undang-undang mengenai konservasi tanah dan air mengamanatkan bahwa
berbagai peraturan pemerintah, antara lain yaitu dalam hal perencanaan,
penyelenggaraan, serta pendanaan. Pemerintah juga seharusnya dapat
mendorong serta mendukung program-program yang berkaitan dengan
konservasi tanah dan air misalnya adalah peningkatan kesadaran pada
masyarakat tentang pentingnya menjaga lingkungan dengan multifungsinya,
penguatan pada lembaga penyuluhan pertanian, termasuk dalam pengadaan
11

tenaga khusus untuk penyuluh konservasi tanah dan air, penegakan hukum
dalam permasalahan yang berkaitan dengan perlindungan lahan.
Dengan demikian konservasi tanah tidaklah berarti penundaan
penggunaan tanah atau pelarangan penggunaan tanah, tetapi menyesuaikan
macam penggunaannya dengan kemampuan tanah dan memberikan perlakuan
sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan, agar tanah dapat berfungsi secara
lestari. Hidayat dan Mulyani (2002) menyatakan bahwa tingginya desakan
kebutuhan terhadap lahan pertanian menyebabkan tanaman semusim tidak
hanya dibudidayakan pada lahan datar, tetapi juga pada lahan yang berlereng
lebih dari 16%, yang seharusnya digunakan untuk tanaman tahunan atau hutan.
Secara keseluruhan, lahan kering datar sampai berombak meliputi luas 31,5 juta
ha dan penggunaannya diperebutkan oleh pertanian, pemukiman, industri,
pertambangan, dan sektor lainnya. Laju erosi tanah meningkat dengan
berkembangnya budi daya pertanian yang tidak disertai penerapan teknik
konservasi, seperti pada sistem perladangan berpindah yang banyak dijumpai di
luar Jawa. Bahkan pada sistem pertanian menetap pun, penerapan teknik
konservasi tanah belum merupakan kebiasaan petani dan belum dianggap
sebagai bagian penting dari pertanian. Sehingga penerapan dari kegiatan
konservasi tanah dan air bukan berarti melakukan penundaan atas penggunaan
tanah atau pelarangan penggunaan tanah, namun menyesuaikan macam
penggunaannya dengan kemampuan yang dimiliki oleh tanah dengan tujuan
untuk menjaga fungsi tanah agar dapat berfungsi secara lestari.
Penggunaan lahan yang tidak sesuai kemampuannya dapat
menyebabkan erois dan akan mengalami penurunan produktivitas tanah atau
menjadi tidak subur karena lapisan atas tanah atau solum terkikis. Lahan yang
mengalami kerusakan sehingga kemampuannya atau kesesuaiannya terhadap
penggunaan lahan menurun disebut dengan lahan kritis. Menurut Wahyudi
(2014), Lahan kritis dapat diartikan sebagai lahan yang semula baik untuk
pertanian kemudian berubah menjadi tidak cocok setelah adanya kegiatan di
lahan tersebut. Salah satu cara untuk memperbaiki kondisi tanah tersebut adalah
dengan konservasi tanah dan air. Menurut pendapat Wahyudi (2014)
menyatakan bahwa pada lahan yang tidak berhutan atau lahan kritis, metode
konservasi tanah yang dipakai dapat menggunakan bangunan teknik sipil atau
cara mekanis dan teknik vegetatif. Teknik sipil dilakukan dengan pembuatan
terassering, bangunan penahan, bangunan drainase, penutupan dan lain-lain.
Sedangkan teknik vegetatif dilakukan dengan menggunakan tumbuhan atau
tanaman. Pada lahan sangat kritis yang berada di daerah kelerengan curam,
teknik sipil didahulukan sebelum penanaman dilakukan.
2.2 Teknologi konservasi secara vegetatif maupun mekanis (sipil teknis)
dengan deskripsi detailnya
Manfaat positif yang dihasilkan dari kegiatan konservasi pertanian cukup
banyak, antara lain mengurangi erosi tanah, retensi air tanah, ketersediaan hara
tanaman dan peningkatan akuimulasi bahan organik tanah (Arsyad,2010).
Secara garis besar teknik konservasi tanah dan air pada kawasan pertanian
antara lain :
a. Metode Vegetatif
Teknik konservasi dengan metode vegetatif adalah pemanfaatan vegetasi
maupun sisa-sisa tanaman sebagai media pelindung tanah dari erosi,
mengambat laju aliran permukaan, meningkatkan kandungan lengas tanah dan
memperbaiki sifat-sifat tanah baik fisik, kimia maupun biologis. Tanaman dan
sisa-sias tanaman berfungsi sebagai pelindung permukaan tanah terhadap
energi kinetik butiran air hujan dan daya angkut air aliran permukaan, dan
12

meningkatkan kemampuan tanah meresap air. Contoh dari konservasi metode


vegetatif adalah sebagai berikut:
1. Penghutanan Kembali
Penghutanan kembali dilakukan dengan tujuan mengembalikan fungsi tata
air. Metode ini efektif dilakukan pada tanah dengan kedalaman >3 meter dan
aliran limpasan permukaan yang tinggi. Penghutanan kembali memerlukan
waktu yang lama untuk dilakukan karena efek positif baru dapat dirasakan
saat tajuk pohon terbentuk sempurna yaitu pada 20 tahun-50 tahun.
2. Agroforestri
Agroforestri merupakan bentuk usaha konservasi tanah yang
menggabungkan penanaman tanaman tahunan dengan tanaman komoditas
lain yang ditanam secara bersamaan atau bergantian. Pengggunaan
tanaman tahunan dilakukan karena kemampuan tanaman tahunan dalam
mengurangi erosi lebih baik daripada tanaman semusim. Sistem agroforestri
di indonesia dibagi menjadi:
a) Sistem tanam lorong
Sistem tanam lorong atau alley cropuing adalah sistem dimana tanaman
pagar berfungsi sebagai pengontrol erosi. Sistem ini membentuk lorong
dimana tanaman semusim berada ditengah lorong tanaman pagar.
Sistem ini dapat mengendalikan erosi dan limpasan permukaan tanah
dan mempertahankan produktifitas lahan.

Gambar 3. Sistem Tanam Lorong

b) Kebun campuran
Tanaman yang ditanam merupakan tanaman tahunan yang dimanfaatkan
hasil buah, daun, dan kayunya. Kadang juga ditanam dengan tanaman
semusim. Apabila proporsi tanaman semusim lebih besar daripada
tanaman tahunan, maka lahan tersebut disebut tegalan. Kebun campuran
ini mampu mencegah erosi dengan baik karena kondisi penutupan tanah
yang rapat sehingga butiran air hujan tidak langsung mengenai
permukaan tanah.
c) Tanaman penutup tanah
Penggunaan tanaman penutup tanah merupakan tanaman yang biasa
ditanam pada lahan kering dan dapat menutup seluruh permukaan tanah.
Tanaman penutup tanah dapat berupa legume dan rumput.
d) Penanaman strip rumput
Teknik strip rumput dilakukan dengan menggunakan rumput yang segaja
ditanamn dan dikelola menurut garis kontur lahan dengan tujuan
mengurangi aliran limpasan permukaan dan erosi yang terjadi di lereng.
13

b. Metode mekanik (sipil teknis)


Konservasi tanah dan air dengan metode sipil teksin atau mekanik
merupakan teknik konservasi yang pembuatannya melibatkan perlakuan fisik
mekanik terhadap tanah dan pembuatan bangunan untuk mengurangi aliran
permukaan dan erosi. Menurut Delvi Yanti (2016) teknik ini dapat meningkatkan
kemampuan tanah dalam menopang pertumbuhan tanaman. Contohnya:
1. Teras gulud
Teras gulud adalah barisan guludan yang dibuat memotong lereng (searah
kontur) dengan jarak tertentu (sesuai dengan vertikal interval yang
diinginkan) dan dilengkapi dengan saluran pembuangan air (SPA). Teras
gulud berfungsi untuk memendekkan panjang lereng, mengurangi erosi
permuakaan dan erosi alur, mencegah erosi parit, menurunkan laju aliran
permukaan pada daerah dengan curah hujan tinggi, dan memperbesar
infiltrasi air sehingga kandungan air tanah meningkat. Teras gulud dapat
diterapkan pada lahan dengan kemiringan 15%.
2. Teras batu
Teras batu merupakan teras penahan yang terbuat dari batu. Kekuatan
menahan dari teras batu lebih rendah daripada tembok penahan namun
biayanya lebih murah. Penggunaan teknik teras batu dapat ditambahkan
dengan penanaman bambu, rumput dan tanaman keras agar kestabilan
tanah dapat terjaga.

Gambar 4. Teras Batu

3. Teras tembok
Teras tembok atau tembok penahan dibangun dengan tujuan menghambat
aliran air dan erosi. Bangunan ini terbuat dari konstruksi beton dan dilengkapi
dengan sodetan untuk aliran air serta tanaman rumput. Bangunan teras
tembok digunakan untuk menahan tekanan yang cukup besar baik dari tanah
maupun air, sehingga tingkat kekokohannya tinggi. Syarat dari bangunan
tembok penahan haruslah mencapai tinggi minimal 3 meter dengan
kemiringan mengikuti kelerengan, adanya kerikil pada bagian belakang
dinding beton untuk permeabilitas tanah, dan saluran pembuangan air dibuat
per 3 meter persegi demi mencegah genangan air.
14

Gambar 5. Teras Tembok


4. Pemasangan kawat bronjong
Kawat bronjong dapat ditambahkan pada bangunan teras batu untuk
menambah tingkat kekokohannya dengan mengikat batu. Pemasangan
kawat bronjong harus dilakukan apabila teras batu dibuat bertingkat.
Syaratnya yaitu pondasi berupa tancapan kayu, tinggi maksimal 2 meter,
batu yang digunakan harus lebih besar daripada mata kawat, batu harus
disusun mengunci untuk mengurangi bergeraknya pondasi dan harus disertai
dengan penanaman tanaman yang memiliki perakaran kuat dan dalam.
5. Teras kayu
Teras kayu digunakan untuk menahan longsor dalam skala kecil. Bangunan
ini cenderung berumur pendek, sehingga penanaman vegetasi tambahan
juga harus tetap dilakukan.

Gambar 6. Teras Kayu


15

6. Teras karung
Teras karung merupakan karung yang diisi tanah dan bahan organik. Baham
organik yang ada didalam karung dapat mempercepat pertumbuhan vegetasi.

Gambar 7. Teras Karung

c. Teknik Konservasi Metode Vegetatif dan Mekanik (sipil teknis)


Teknik ini merupakan kombinasi antara teknik konservasi mekanik atau
sipil teknis berupa guludan dan rorak dengan teknik konservasi vegetatif berupa
penanaman penguat teras. Tanaman penguat teras ditanam pada guludan, agar
guludan tidak mudah rusak, dan dipanen secara berkala untuk pakan ternak.
Tanaman penguat teras dapat menggunakan tanaman lain seperti kacang hiris,
kacang merah atau jenis sayuran lainnya yang hasilnya bukan dalam bentuk
umbi. Teknik konservasi tanah dan air bersifat spesifik lokasi. Tidak semua teknik
konservasi tanah dan air dapat diterapkan pada semua kondisi tanah/lokasi.

Gambar 8. Teknik Konservasi Campuran Metode


Vegetatif dan Mekanik
16

2.3 Langkah Penerapan Teknologi Konservasi Tanah dan Air di Lapangan


Erosi dapat terjadi dengan cepat pada lahan budidaya yang
menghilangkan tanaman penutup di lahannya mulai dari pohon, semak, rumput
dan seresah. Erosi akan diperparah dengan mencoba mengolah lereng yang
terlalu curam, mengolah bukit yang memiliki kontur naik turun, penggunaan lahan
yang terus menerus tanpa rotasi tanaman yang berbeda, input bahan organik
yang tidak memadai, pemadatan tanah karena jalan setapak atau mesin berat
yang digunakan untuk pengolahan tanah dan pemindahan hasil panen, dll.
Pengendalian erosi tergantung pada pengelolaan yang baik, yang berarti
membangun tutupan tanaman yang cukup dan memilih praktik yang tepat untuk
mempertahankan infiltrasi dengan atau tanpa pengolahan tanah. Jadi konservasi
tanah sangat bergantung pada metode agronomi yang dikombinasikan dengan
pengelolaan tanah yang realistis sementara tindakan mekanis hanya memainkan
peran pendukung (van Noordwijk, M dan B.Verbist, 2000), Skema strategi dapat
dihat di gambar 1.

Gambar 9. Strategi konservasi tanah untuk lahan budidaya (Diadaptasi dari


Morgan, 1986)

Berbagai teknik konservasi tanah yang diilustrasikan dengan baik dapat


ditemukan di FAO-IIRR, 1995. Contoh dari tiga kelompok utama strategi
konservasi tanah antara lain:
a. Agronomi atau perlakuan biologis memanfaatkan peran vegetasi dalam
membantu meminimalkan erosi dengan meningkatkan penutup permukaan
tanah, kekasaran permukaan, penyimpanan depresi permukaan dan infiltrasi
tanah. Beberapa contohnya adalah:
 Pola tanam strip/lorong/tumpangsari tanaman pagar
Sistem kontur tanaman pagar menggunakan pohon/semak-semak
pengikat nitrogen yang telah dikenal secara luas dapat meminimalkan
erosi tanah, memulihkan kesuburan tanah, dan meningkatkan
produktivitas tanaman (Kang dan Wilson 1987, Young 1997; Sanchez,
1995; Garrity, 1996, Friday KS, Drilling ME dan Garrity DP. 1999).
Tanaman pagar atau semak (biasanya pagar ganda) ditanam dengan
interval 4-6 m di sepanjang kontur. Jalur atau lorong di antara tanaman
pagar ditanami tanaman pangan. Pohon-pohon tanaman pagar dipangkas
17

secara teratur untuk meminimalkan naungan tanaman pangan, biomassa


yang dipangkas dapat digunakan sebagai pupuk hijau atau sebagai
mulsa. Seiring waktu, teras alami dapat terbentuk di dasar pohon pagar,
dan dengan demikian meminimalkan erosi tanah dan limpasan
permukaan. Pembentukan teras bisa cepat jika tanah dibajak, tetapi lebih
lambat dalam sistem tanpa pengolahan tanah atau manual.
Teknik ini telah direkomendasikan sebagai unggulan dari program
penyuluhan pertanian berkelanjutan di Asia. Tapi inovasi ini belum
diadopsi secara luas di luar wilayah intervensi proyek langsung oleh
petani dataran tinggi meskipun hasil positif dilaporkan di sejumlah lokasi
percobaan. Namun, masalah utama dalam praktiknya adalah banyaknya
tenaga kerja yang dibutuhkan untuk memangkas dan memelihara
tanaman pagar kayu. ICRAF (1996) memperkirakan bahwa jumlah tenaga
kerja yang dibutuhkan untuk memangkas tanaman leguminosa tanaman
pagar adalah sekitar 31 hari per hektar, atau 124 hari tenaga kerja
tahunan untuk empat kali pemangkasan di Filipina. Dibutuhkan cara yang
lebih sederhana, lebih sedikit tenaga kerja tetapi efektif untuk sistem
kontur tanaman pagar.
Dapat dikatakan bahwa tumpangsari tanaman pagar di lahan
datar tidak menarik karena tingginya tingkat input tenaga kerja yang
dibutuhkan. Di lahan miring, peningkatan kesuburan tanah, menstabilkan
produksi tanaman, pada prinsipnya dapat membayar input tenaga kerja,
tetapi petani sebenarnya mungkin berminat pada kesuburan tanah yang
terdapat di tanaman pagar digunakan untuk pohon, tanaman, atau pakan
ternak yang menguntungkan.
 Sistem peningkatan lahan kosong (Improved fallow systems (IFS))
Di dataran tinggi, areal lahan ditanami tanaman pangan selama
beberapa tahun dan kemudian lahan tersebut dibajak untuk beberapa
waktu agar tanah dapat diremajakan. Untuk mempersingkat waktu
kosong, areal tersebut dapat ditanami tanaman polong-polongan. Setelah
tanah diremajakan, pohon-pohon ditebangi untuk ditanami. Ini dapat
dianggap sebagai versi perbaikan dari praktik perladangan berpindah
tradisional.
Contohnya tanaman lokal Leucaena digunakan dalam sistem ini di
Naalad, Naga, Cebu (Filipina). Pohon-pohon ditebang dan cabang-
cabangnya ditumpuk di sepanjang kontur untuk membentuk struktur
penghalang yang dikenal secara lokal sebagai balabag, yang menjebak
tanah yang terkikis. Seiring waktu, teras alami secara bertahap terbentuk,
sehingga menstabilkan lereng yang curam. Keuntungan lain dari sistem
ini adalah pengurangan jumlah nitrogen (N2) yang dibutuhkan dari pupuk
karena fiksasi N oleh Leucaena. Daun dan cabang yang dipangkas dapat
digunakan sebagai pakan ternak.
 Lajur vegetatif alami (Natural vegetatif strips (NVS))
Penggunaan lajur vegetatif alami (NVS) telah terbukti menjadi
alternatif yang menarik karena sangat mudah untuk dibuat dan dipelihara.
NVS menarik karena sebagian besar terdiri dari 'tidak adanya intervensi'.
Ketika tanah dibajak di sepanjang garis kontur, beberapa garis lahan
tertentu dengan lebar 40-50 cm dibiarkan tidak dibajak, melintasi
lapangan pada kontur. Lajur ini diberi jarak pada interval yang diinginkan
menuruni lereng dan dapat ditandai sebelumnya. Praktik yang
direkomendasikan untuk jarak lajur penyangga kontur adalah
menempatkannya pada setiap penurunan ketinggian satu meter, tetapi
18

jarak yang lebih lebar mungkin dapat diterima. Garis kontur dapat
ditentukan dengan menggunakan Sebuah bingkai. Vegetasi alami dari
lajur menyaring tanah yang terkikis, memperlambat laju aliran air, dan
meningkatkan infiltrasi air, membuatnya sangat efektif untuk konservasi
tanah dan air. Para peneliti menemukan bahwa garis kontur vegetatif
alami ini memiliki banyak kualitas yang diinginkan (Garrity, 1993). Sistem
ini hampir tidak membutuhkan perawatan pemangkasan dibandingkan
dengan rumput pakan ternak atau tanaman pagar, dan sedikit bersaing
dengan tanaman tahunan yang berdekatan. Sistem ini efisien dalam
meminimalkan kehilangan tanah dan tidak menunjukkan kecenderungan
untuk menyebabkan masalah gulma yang lebih besar untuk tanaman
tahunan terkait (Moody, 1992 seperti dikutip dalam Garrity, 1996), setelah
suksesi tanaman mendukung kelangsungan hidup spesies semusim akan
lebih panjang dibandingkan dengan pertumbuhan jangka pendek 'gulma'
yang khas. Terutama di Filipina, ICRAF telah bekerja dengan sejumlah
lembaga untuk menyempurnakan dan memperluas penggunaan praktik
pertanian konservasi ini ke wilayah yang lebih luas yang mungkin cocok.
b. Pengelolaan tanah berkaitan dengan cara mempersiapkan tanah untuk
mendorong pertumbuhan vegetatif yang padat dan memperbaiki struktur
tanah sehingga lebih tahan terhadap erosi. Beberapa teknik yang termasuk
dalam metode ini adalah: pengolahan tanah minimum, rotasi tanaman
(tanaman pangan/tanaman penutup), pupuk kandang, lapisan sub-soil dan
drainase (van Noordwijk, M dan B.Verbist, 2000).
 Pengolahan tanah minimal/tanpa pengolahan tanah. Dalam sistem ini,
peralatan pertanian sederhana seperti cangkul dan tongkat penggali
dapat digunakan untuk menyiapkan lahan dan menanam tanaman
pangan. Penyemprotan herbisida pembunuh gulma, dan semua sisa
tanaman (termasuk gulma) dimasukkan kembali ke tanah. Petani dalam
sistem perladangan berpindah secara tradisional sudah terbiasa dengan
praktik pengolahan tanah minimum. Sementara pengolahan tanah yang
lebih intensif umumnya meningkatkan porositas tanah lapisan atas dan
mengurangi hambatan infiltrasi permukaan tanah, hal ini biasanya
mengganggu kontinuitas pori-pori makro di dalam tanah dan dapat
mengurangi infiltrasi dalam, terutama jika 'bekas bajakan' terbentuk.
Sistem tanpa olah tanah yang diterapkan pada tanah yang belum pernah
dibajak atau dipadatkan dengan menggunakan mesin berat umumnya
mempertahankan laju infiltrasi yang tinggi pada tanah hutan.
 Rotasi tanaman adalah praktik umum bagi petani kecil di Asia Tenggara.
Sistem ini adalah penanaman berbagai spesies tanaman secara
berurutan pada plot yang sama. Contoh: jagung yang ditanam pada
musim pertama dan kacang tanah pada musim kedua. Kacang tanah
dapat mengisi kembali N (melalui fiksasi N) yang diekstraksi oleh jagung.
Pola perakaran yang berbeda dari spesies tanaman yang berbeda yang
ditanam dapat membantu pembentukan struktur tanah dan meningkatkan
perkolasi air. Pola tanam ini dapat bervariasi dari tahun ke tahun
tergantung pada harga pasar atau kondisi tanah/cuaca, tetapi dipilih untuk
tujuan yang sama yaitu kondisi fisik dan nutrisi tanah yang lebih baik,
memutus siklus hidup gulma/hama/penyakit tanaman.
19

c. Metode mekanis atau metode fisik dapat dilihat sebagai upaya untuk
mengontrol energi yang tersedia untuk erosi (percikan hujan, limpasan).
Metode ini bergantung pada manipulasi topografi permukaan dengan
memasang terasering, parit. Contohnya adalah:
Teras bangku, yang terdiri dari rangkaian rak dan tanggul yang
berselang-seling dan digunakan pada lahan miring hingga 40% dengan tanah
yang relatif dalam untuk menahan air dan mengendalikan erosi. Tanggul rentan
terhadap erosi dan dilindungi oleh tutupan vegetasi seperti (Cajanus cajan,
Sesbania grandiflora, Sesbania sesban, Gliricidia sepium atau pohon buah-
buahan seperti pisang (Musa) dan terkadang dihadapkan dengan batu atau
beton. Jarak tanam (6 x 6 m) pohon buah-buahan yang lebih besar seperti
mangga (Mangifera indica), nangka (Artocarpus sp.) dll.) umumnya terlalu lebar
untuk perlindungan tanggul, tetapi dapat meningkatkan pendapatan ekonomi di
teras tersebut. Teras biasanya dibangun dengan memotong tanah untuk
menghasilkan serangkaian anak tangga atau bangku datar, yang memungkinkan
air meresap perlahan ke dalam tanah. Teras bangku terutama cocok untuk
sistem tanam berbasis padi beririgasi (van Noordwijk, M dan B.Verbist, 2000).
Perangkap tanah (lebih dikenal sebagai perangkap sedimen) adalah
struktur yang dibangun untuk memanen tanah yang terkikis dari lereng atas
daerah tangkapan. Jenis perangkap tanah yang umum adalah memeriksa
bendungan dan parit. Perangkap ini memperlambat aliran air dan memungkinkan
partikel tanah yang lebih berat mengendap. Hal ini mencegah pelebaran dan
pendalaman parit dan mendorong pengendapan sedimen yang kaya nutrisi dan
sangat subur. Setelah itu daerah ini dapat digunakan untuk bercocok tanam.
Tanah yang terakumulasi juga dapat dikembalikan ke lapangan, tetapi itu cukup
melelahkan.
Ukuran bendungan tergantung pada ukuran drainase atau selokan yang
akan dilindungi. Bendungan dapat dibangun dari pohon (misalnya dari Glirisidia),
bambu, batu lepas, kayu gelondongan atau bahan lokal lainnya yang tersedia.
Bahan tersebut harus permeabel, karena dimaksudkan untuk memperlambat
kecepatan air untuk meningkatkan sedimentasi, bukan dimaksudkan untuk
menghentikan atau mengalihkan aliran air.
Kombinasi antara tindakan agronomi dan pengelolaan tanah yang baik
dapat mempengaruhi detasemen dan fase transportasi proses erosi, sedangkan
metode mekanis efektif dalam mengendalikan transportasi fase tetapi hanya
sedikit mencegah detasemen tanah.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1 Kesimpulan
Sekitar 45% wilayah Indonesia berupa perbukitan dan pegunungan. Pada
wilayah ini banyak kegiatan pertanian yang dilakukan karena kondisinya yang
mendukung untuk pertumbuhan berbagai tanaman. Akan tetapi, banyak lahan
yang tidak dimanfaatkan dengan baik dengan tanpa adanya konservasi sehingga
menimbulkan terjadinya degradasi lahan. Pada lahan di Sumberjaya Lampung
tersebut yang berlereng curam memiliki kondisi terdegradasi akibat adanya
deforestasi, lahan dibiarkan terbuka, dan kurangnya tutupan lahan. Kondisi ini
menyebabkan terjadinya erosi. Degradasi lahan akan berdampak negatif pada
produksi tanaman dan kesehatan lingkungan. Produksi tanaman pada lahan
yang terdegradasi akan menurun karena lahan mengalami penurunan
produktivitasnya sebagai akibat terjadinya erosi yang menghilangkan kesuburan
tanah. Selain itu, dampak pada kesehatan lingkungan yakni terjadinya banjir,
longsor, permasalahan air, kekeringan, kerusakan ekosistem, dan hilangnya
habitat berbagai spesies. Terjadinya degradasi lahan harus diperbaiki dengan
beberapa strategi konservasi tanah dan air di antaranya tindakan manajemen
tanah meliputi metode mekanis, teknik, vegetatif dan kimia. Metode yang sering
digunakan adalah metode mekanis dan vegetatif dengan menerapkan
penggunaan teknologi seperti penghutanan kembali, penerapan sistem
agroforestri (sistem tanam lorong, kebun campuran, tanaman penutup tanah, dan
penanaman strip rumput), dan penggunaan teras (teras gulud, teras batu, teras
tembok, pemasangan kawat bronjong, teras kayu, dan teras karung). Dapat pula
dilakukan penerapan teknik konservasi campuran antara metode mekanis dan
vegetatif. Adapun langkah penerapan teknologi konservasi tanah dan air di
lapangan dapat dilakukan dengan perlakuan agronomi atau biologis dengan
memanfaatkan peran vegetasi seperti contohnya mengatur pola tanam strip,
lorong, atau tumpangsari tanaman pagar, penerapan sistem peningkatan lahan
kosong, dan penggunaan lajur vegetatif alami. Langkah lain yakni dengan
melakukan pengelolaan tanah seperti pengolahan tanah minimal atau tanpa
pengolahan tanah dan melakukan rotasi tanaman. Selain itu, terdapat langkah
penerapan konservasi tanah dan air dengan metode mekanis atau fisik seperti
pembuatan teras bangku dan perangkap tanah.
3.2 Saran
Konservasi tanah dan air sangat penting untuk mencegah dan
memperbaiki terjadinya degradasi lahan. Oleh karena itu, dalam pelaksanaannya
diperlukan strategi konservasi tanah dan air yang tepat agar terhindar dari
dampak negatif seperti yang terlihat pada lahan di Sumberjaya Lampung, yang
mana keadaan tersebut dapat merugikan petani, masyarakat, dan lingkungan
sekitar.
21

DAFTAR PUSTAKA
Arsyad, S. 1989. Konservasi Tanah dan Air, Bogor: Penerbit Institut Pertanian
Bogor (IPB)
Arsyad, S. 2000. Pengawetan Tanah dan Air. Departemen Ilmu-llmu Tanah.
Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Arsyad, S. 2006. Konservasi Tanah dan Air. Institut Pertanian Bogor Press:
Bogor.
Arsyad, S. 2010. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press. Bogor
Budiyanto, G. 2014. Pengelolaan Lahan Kering, sebuah Model Pertanian
Konservasi di Kawasan Hulu DAS Jratunseluna Jawa Tengah. Makalah
Seminar. Program Studi Agroteknologi, Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta.
Dariah, A., A. Rachman, dan U. Kurnia. 2004. Erosi dan Degradasi Lahan Kering
di Indonesia. Dalam Teknologi Konservasi Tanah pada Lahan Kering.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor, 11-34.
Delvi Yanti, Stp, Mp. 2016. Panduan Praktikum Teknik Konservasi Tanah Dan
Air. Panduan Praktikum Teknik Konservasi Tanah Dan Air
Dirjen Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutan Sosial, Kementerian
Kehutanan. 2011. UNCCD Asia Pacific Regional Consultation Meeting
Prepatory to COP-10 di Bali pada tanggal 14 September 2011. (http://
www.tnbabul.org/index.php?option=com_ content&view=article&id=346)
FAO Food and Agricultural Organization of the United Nations. 2011. State of the
World’s Forests2011. Food and Agriculture Organization of United Nations,
Roma (IT)
Fauzi, R. M. Z., dan Maryono. 2016. Kajian Erosi dan Hasil Sedimen untuk
Konservasi Lahan DAS Kreo Hulu. J. Pengembangan Wilayah & Kota,
12(4): 429-445.
Friday KS, Drilling ME and Garrity DP. 1999. Imperata Grassland Rehabilitation
using Agroforestri and Assisted Natural Regeneration. Bogor: ICRAF,
Southeast Asian Regional Program. p 167.
Garrity DP. 1993. Sustainable land-use systems for sloping uplands in Southeast
Asia. In: Technologies for Sustainable Agriculture in the Tropics. American
Society of Agronomy Special Publication 56 Madison, Wisconsin, USA
Garrity DP. 1996. Tree-Soil-Crops interaction on slopes. In: Ong CK , Huxley P.
eds. Tree-Crops interactions: a physiological approach: CAB-International.
p 299-318.
Hidayat, A. dan A. Mulyani. 2002. Lahan Kering untuk Pertanian. Dalam
Teknologi Pengelolaan Lahan Kering. Penyunting: A. Adimihardja,
Mappaona dan A. Saleh. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan
Agroklimat, Badan Litbang Deptan, Bogor. Hal. 1-34
ICRAF. 1996. Annual Report for 1995. International Centre for Research in
Agroforestri, Nairobi, Kenya.
Kunarso, A., dan Syabana, T. A. A. 2018. Arahan Konservasi Tanah
Berdasarkan Tingkat Bahaya Erosi di Sub DAS Perapau, Sumatera
Selatan. J. Penelitian Kehutanan Sumatrana, 1(2): 13-26.
22

Lahmaret, R., B.A. Bationo, N. Lamso, Y. Guéro, dan P. Tittonell. 2011. Tailoring
conservation agriculture technologies to WestAfrica Semi-Arid Zones:
Building on traditional local practicesfor soil restoration. Field Crops
Research. http://dx.doi.org/10.1016/j.fcr.2011.09.013
Masfia A. dan A. Rahmadi. Pengaruh Menurunnya Kualitas Lahan Pertanian
terhadap Aktivitas Pertanian Bernuansa Organik di Wilayah Bandung dan
Sekitarnya. Program Studi Agroteknologi, UIN Sunan Gunung Djati,
Bandung.
Mawardi. 2013. Analisis Faktor Konservasi Kombinasi Teras Nikolas dan
Tanaman Kacang (Faktor CP untuk Teras Nikolas + Kacang Tanah). J.
Wahan Teknik Sipil, 18 (2).
Mokodompit, P. I. S., Kindangen, J. I., dan Tarore, R. Ch. 2019. Perubahan
Lahan Pertanian Basah di Kotambagu. J. Spasial, 6(3): 792-799.
Morgan RPC. 1986. Soil erosion and conservation. Longman Group UK. p 296.
Noordwijk, M And B.Verbist, 2000. Soil And Water Conservation. Icraf Bogor
Pasaribu, S. M., K. Suradisastra, B. Sayaka, dan A. Dariah. 2010. Pengendalian
dan Pemulihan Degradasi Ekosistem Pertanian. Dalam Buku Membalik
Kecenderungan Degradasi Sumber Daya Lahan dan Air. Bogor: PT
Penerbit IPB Press.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. 2004. Teknologi
konservasi tanah pada lahan kering berlereng. Puslitbang Tanah dan
Agroklimat. Bogor.
Putri, D. H. 2020. Analisis Deforestasi pada Kawasan Lereng Barat Seulawah
Dara Sebagai Referensi MataKuliah Ekologi dan Problematika Lingkungan.
Skripsi. Fakultas Tarbiyah dan Keguruan. UIN Ar-Raniry Darussalam.
Banda Aceh.
Roni, N.G.K. 2015. Konservasi Tanah Dan Air. Universitas Udayana. Denpasar.
Sanchez PA. 1995. Science in agroforestri. Agroforestri systems 30(1):5-55.
Suryani, A.S. 2019. Permasalahan dan Tantangan Konservasi Tanah dan Air.
Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI: Jakarta Pusat.
Sutrisno, N. dan N. Heryani. 2013. Teknologi Konservasi Tanah dan Air untuk
Mencegah Degradasi Lahan Pertanian Berlereng. J. Litbang Pert, 32(3):
122-130.
Tarigan, D. R., dan Mardiatno, D. 2013. Pengaruh Erosivitas Dan Topografi
Terhadap Kehilangan Tanah Pada Erosi Alur di Daerah Aliran Sungai
Secang Desa Hargotirto Kecamatan Kokap Kabupaten Kulonprogo. J.
Bumi Indonesia, 1(3): 411-420.
Tarigan, S. D., N. Sinukaban, dan K. Murtilaksono. 2008. Analisis dan Strategi
Penanganan Lahan Terdegradasi dalam Mendukung Penyediaan Lahan
Pangan dan Ketersediaan Air. Prosiding Semloka Nasional, Departemen
Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan.
Thaib, H. D. 2007. Alih Fungsi Lahan dan Dampak Lingkungan yang
Ditimbulkannya. Mediastima, (2): 12-23.
Triwanto J, 2012. Konservasi Lahan Hutan dan Pengelolaan Daerah Aliran
Sungai. UMM Press. Malang.
23

van Noordwijk, M dan B.Verbist, 2000. Soil And Water Conservation. Icraf Bogor
Wahyudi. 2014. Teknik Konservasi Tanah serta Implementasinya pada Lahan
Terdegradasi dalam Kawasan Hutan. Jurnal Sains dan Teknologi
Lingkungan 6(2): 71–85.
Wahyunto, dan Dariah, A. 2014. Degradasi Lahan di Indonesia: Kondisi Existing,
Karakteristik, dan Penyeragaman Definisi Mendukung Gerakan Menuju
Satu Peta. J. Sumberdaya Lahan, 8(2): 81-93.
Widianto, K. Hairiah, D. Suharjito, dan M. A. Sardjono. 2003. Fungsi dan Peran
Agroforestri. Bogor: World Agrofrestry Centre (ICRAF).
Young A. 1997. Agroforestri for soil management. CAB Int.Wallingford, UK. p
320.

Anda mungkin juga menyukai