Anda di halaman 1dari 26

TUGAS KULIAH M2

TEKNOLOGI KONSERVASI SUMBERDAYA LAHAN


STUDI KASUS KERUSAKAN LAHAN AKIBAT EROSI TANAH DAN
LANGKAH-LANGKAH TEKNIS PENANGGULANGANNYA

Disusun Oleh :
Nama : Muhammad Yusuf Budi Prakoso
NIM : 225040200111233
Kelas : Agroekoteknologi Q
Dosen Pengampu : Istika Nita, SP., MP

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2024

1
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ............................................................................................. i


DAFTAR ISI ........................................................................................................ ii
BAB I LATAR BELAKANG ................................................................................... 3
2.1 Kondisi Umum ............................................................................................ 3
2.2 Rumusan Masalah ...................................................................................... 4
2.3 Alur Pikir Terjadinya Masalah ..................................................................... 4
2.4 Analisis Penyebab Masalah ........................................................................ 6
2.5 Solusi Akar Masalah ................................................................................... 6
2.6 Dampak terhadap Produksi Tanaman dan Kesehatan Lingkungan............. 8
BAB II REKOMENDASI STRATEGI KONSERVASI TANAH DAN AIR............... 10
2.1 Tindakan Managemen Tanah dan Air ....................................................... 10
2.2 Teknologi Konservasi secara Vegetatif ..................................................... 13
2.3 Teknologi Konservasi secara Mekanis ...................................................... 17
2.4 Langkah Penerapan di Lapangan ............................................................. 20
BAB III PENUTUP ............................................................................................... 23
3.1 Kesimpulan ............................................................................................... 23
3.2 Saran ........................................................................................................ 23
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 24

2
BAB I
LATAR BELAKANG

2.1 Kondisi Umum


Indonesia memiliki sumberdaya alam yang melimpah. Sumber
daya alam merupakan hal penting dalam kehidupan, tanpa adanya sumber
daya alam maka keberlangsungan hidup tidak akan berjalan. Melimpahnya
sumber daya ini dapat dilihat dari luas lahan Indonesia yang besar. Lahan
merupakan salah satu sumber daya yang dikelola manusia untuk
memenuhi kebutuhan dalam kehidupan. Pemanfaatan lahan sebagai salah
satu sumberdaya, perlu dilakukan pertimbangan yang tepat dalam
mengambil keputusan, hal ini dikarenakan tingginya persaingan dalam
penggunaan lahan (baik dari sektor pertanian maupun sektor non
pertanian). Bertambahnya jumlah populasi manusia yang kian meningkat
dari tahun ke tahun, menjadikan sektor pertanian sebagai salah satu sektor
yang terdampak akibat kenaikan jumlah populasi manusia. Dimana, sektor
pertanian akan terus dituntut agar dapat menghasilkan produk hasil
pertanian untuk memenuhi kebutuhan pangan Dalam kegiatan budidaya
pertanian, sangat berkaitan dengan peran lahan untuk menunjang aktivitas
budidaya pertania. Namun aktivitas pertanian yang terlalu intensif atau
praktik yang kurang tepat dalam upaya peningkatan hasil pertanian, dapat
menimbulkan permasalah pada lahan seperti perubahan atau penurunan
kualitas sumberdaya. Salah satunya adalah terjadi degradasi lahan.
Degradasi lahan merupakan suatu kondisi dimana lahan tersebut
mengalami penurunan kualitas yang menyebabkan penurunan
produktivitas hasil dari budidaya pertanian atau dicirikan dengan adanyan
penurunan dari sifat fisik, kimia, dan biologi tanah.
Menurut Lubis (2021), menyebutkan bahwa, di Indonesia luas
lahan terdegradasi mencapai 4.477.459 ha, seluas 1.777.679 mengalami
degradasi bobot dan sisanya terdegradasi ringan-sedang. Sedangkan data
dari BPS (2013), luas lahan kritis di Indonesia adalah 27 juta ha termasuk
sangat kritis seluas 5 juta ha. Degradasi lahan disebabkan karena adanya
konversi (alih fungsi lahan) seperti dari lahan pegunungan atau lahan hutan
untuk penggunaan lahan lain. Alih fungsi lahan hutan di daerah yang
berlereng, meningkatkan resiko terjadinya degradasi lahan akibat dari
adanya penggunaan lahan yang kurang tepat (tidak berdasarkan
kemampuan ataupun kesesuaian lahan).

Gambar 1. Kondisi Lahan Terdegradasi yang terjadi di Sumberjaya,


Lampung

3
Salah satu contoh kasus degradasi lahan yaitu lahan degradasi
yang terletak di Sumberjaya, Lampung. Berdasarkan gambar yang telah
disajikan, dapat dilihat bahwa lahan di Sumberjaya, Lampung ini memiliki
bukit-bukit berlereng dengan 4 tanah yang menyembul di permukaannya
dan tidak terdapat tegakan di atasnya. Puncak-puncak bukit terlihat sangat
tajam dan menukik ke bawah. Pada lahan tersebut juga sangat minim
sekali vegetasi. Hal inilah yang menyebabkan tanah tersebut mengalami
degradasi. Lahan terbuka di lereng yang curam tersebut rawan mengalami
degradasi yang disebabkan oleh beberapa faktor salah satunya yaitu erosi.
Menurut Alie (2015), erosi merupakan proses penghanyutan tanah oleh
desakandesakan air dan angin yang disebabkan oleh beberapa faktor yaitu
iklim, sifat tanah, topografi dan vegetasi penutup tanah. Bahaya erosi
menjadi ancaman yang serius yang akan mempengaruhi penurunan
kualitas dari suatu lahan. Terjadinya erosi dapat disebabkan oleh minimnya
tanaman tahunan pada suatu lahan. Hal ini dapat menjadi parah apabila
ditambah dengan intensitas curah hujan yang tinggi. Indonesia sebagai
negara tropis umumnya memiliki intensitas curah hujan yang tinggi.
Tanaman tahunan memiliki sistem perakaran yang luas sehingga daya
cengkeraman terhadap tanah lebih kuat sehingga tanah tidak mudah
mengalami erosi. Dengan minimnya vegetasi pada lahan, ketika curah
hujan yang intensif air tidak dapat menyerap ke dalam tanah karena tidak
adanya daya cengkeraman terhadap tanah.

2.2 Rumusan Masalah


1. Apa penyebab permasalahan lahan yang terjadi di Sumberjaya,
Lampung?
2. Bagaimana dampak permasalahan kondisi lahan yang terdegradasi
tersebut terhadap produksi tanaman dan kesehatan lingkungan sekitar?
3. Bagaimana solusi yang harus diterapkan untuk mengendalikan
masalah degradasi lahan yang terjadi di Sumberjaya, Lampung?

2.3 Alur Pikir Terjadinya Masalah


Jumlah penduduk saat ini semakin meningkat karena seiring
berjalannya waktu, menyebabkan banyaknya alih fungsi lahan mulai dari
daerah hutan hingga daerah persawahan yang mengakibatkan beberapa
permasalahan baru, seperti yang diungkapkan oleh Suprianto et al., (2019)
bahwa, karena alih fungsi lahan hutan seperti hilangnya fungsi hutan yang
berperan sebagai hidrologi air, pengatur keseimbangan hama, pengatur
kelembaban dan pengatur dalam proses pembuahan tanaman merupakan
permasalahan lingkungan yang baru, hal tersebut didorong oleh beberapa
faktor untuk pengalihan fungsi lahan yang dibagi menjadi faktor eksternal
dan faktor internal. Faktor internal terdiri dari faktor teknis, ekonomis, dan
sosial, sedangkan untuk faktor eksternal sendiri terdiri dari migrasi,
kebijakan pembangunan pemerintah daerah spasial dalam tata guna ruang
wilayah dan laju pertumbuhan penduduk. Analisis kondisi lahan di
Sumberjaya Lampung yang diamati, dapat di diambil hipotesis terjadi
degradasi lahan yang disebabkan karena inovasi teknis, konservasi tanah
dan air, pembangunan jalan dan infrastruktur, dan pengaturan penguasaan
tanah. Akan tetapi keberadaan hutan dianggap kurang memberikan
manfaat secara langsung untuk masyarakat sekitar yang membutuhkan
lahan untuk digarap, karena hal itu konflik kepentingan antar kelestarian

4
sumberdaya alam sebagai kelestarian untuk ekologi dengan kebutuhan
ekonomi pun terjadi di Kecamatan Sumberjaya, Lampung. Sehingga
diperlukan solusi dengan alih fungsi lahan kawasan hutan untuk
menghasilkan komposisi tutupan lahan yang optimal yang berfungsi
sebagai penyedia jasa lingkungan sekaligus peningkatan pendapatan
masyarakat yang perlu dilakukan untuk mencapai keberlanjutan ekonomi,
sosial dan ekologi dari ekosistem hutan yang lebih baik lagi. Lahan Hutan
di Sumberjaya Lampung setelah diamati menunjukkan kondisi yang kritis
lahan yang jika tidak dilakukan konservasi segera akan ditakutkan terjadi
penurunan daya dukung tanah. Tanah yang mengalami penurunan fungsi
atau 5 degradasi jika penurunan kualitas lahan tersebut masih berlanjut.
Wahyunto dan Dariah (2014) menyatakan gejala penurunan kualitas lahan
di lapangan dapat dicirikan dengan berkurangnya vegetasi yang menutupi
lahan dan gejela erosi yang dapat ditandai dengan banyaknya torehan atau
alur drainase yang mempengaruhi fungshidrologi dan daerah di sekitarnya.
Kerusakan yang diakibatkan tersebut dapat berupa erosi pada skala
tertentu yang merugikan mulai dari segi ekonomi, kemampuan lahan dalam
produksi tanaman pada kondisi optimum, dan tanah akan mengalami
degradasi unsur hara. Ketidakmampuan lahan pada pemberian hasil
produksi tanaman yang optimal akan menyebabkan kerugian pada petani
dari segi pendapatannya yang berkurang. Akan tetapi, petani juga
terkadang melakukan tindakan yang malah mengakibatkan degradasi lahan
yang berupa penggunaan bahan kimia yang berlebih, alih fungsi lahan
hutan menjadi area perumahan (non pertanian),dan degradasi lahan
karena pengelolaan pertanian yang intensif. Verbist et al. (2004)
berpendapat bahwa alih fungsi lahan hutan menjadi lahan pertanian yang
berupa sistem tanam yang terbuka dari aspek lingkungan mengakibatkan
lahan menjadi tidak dapat diolah untuk lahan berkelanjutan yang
merupakan faktor utuma dari menurunnya ketersediaan air di hilir sungai
dan hilangnya fungsi perlindungan DAS. Sedimentasi pada saluran irigasi
dapat menyebabkan pendangkalan saluran sehingga kapasitas saluran
menjadi berkurang dan tidak mampu menampung depit limpasan yang
terjadi, dampak yang sering terlihat karena alih fungsi lahan tersebut
seperti menurunnya tingkat kesuburan lahan pertanian yang terjadi pada
jangka pendek maupun jangka panjang, meningkatnya erosi tanah dan
sedimentasi pada sungainya. Erosi sendiri berawal dari penghancuran
agregat tanah oleh air hujan sehingga menyebabkan aliran air pada
permukaan yang akhirnya akan mengikis lapisan tanah dan menuju ke
tempat yang lebih rendah dan terjadi pengendapan berupa sedimentasi di
sungai, waduk, dan juga laut. Hal ini juga menyebabkan unsur hara yang
terkandung pada tanah juga menghilang, sehingga petani berusaha
mengembalikan unsur hara tersebut dengan penambahan bahan kimia ke
dalam tanah dengan tujuan tanah dapat kembali menyediakan unsur hara
dan dapat mengembalikan kondisi tanah seperti semula. Apabila hal
tersebut dilakukan secara intensif makan dapat mengakibatkan kerusakan
ekosistem secara tidak langsung dan merugikan petani karena biaya
perawatan juga akan bertambah, sedimentasi pada sungai juga sama
kondisinya pada daerah hulu yang tanahnya terbawa oleh aliran air yang
menyebabkan luapan air sungai hingga menyebabkan banjir.

5
2.4 Analisis Penyebab Masalah
Penyebab terjadinya masalah pada suatu lahan yaitu adanya
kemiringan lereng yang dapat menyebabkan terjadinya suatu erosi.
Kemiringan lereng memiliki pengaruh yang signifikan terhadap terjadinya
erosi dan semakin tinggi nilai kemiringan lereng maka laju sedimentasinya
semakin meningkat (Yusuf et al., 2018). Berdasarkan gambar pada lahan
yang berada di Sumberjaya Lampung, lahan tersebut mengalami
kerusakan berat yang mengakibatkan terjadi suatu erosi. Erosi yang terjadi
secara terus menerus seperti pada gambar dapat menyebabkan terjadinya
bencana alam yaitu tanah longsor ataupun bahkan dapat terjadi bencana
alam yang lebih parah lainnya. Selain kemiringan terjadinya erosi pada
gambar tersebut juga dapat disebabkan karena kurangnya tutupan pada
lahan. Lahan yang terbuka tanpa ditutupi kanopi dapat meningkatkan
kemungkinan terjadinya erosi yang tinggi dibandingkan dengan lahan yang
memiliki penutup.
Tutupan lahan atau vegetasi memiliki peran penting dalam aliran
permukaan dan laju erosi tanah yaitu melindungi tanah dari daya rusak
yang ditimbulkan air terutama saat hujan Pitaloka et al., (2019). Kegiatan
manusia juga menjadi penyebab masalah terbesar dalam kerusakan lahan
yang dapat menyebabkan menurunnya kualitas fisik, kimia maupun biologi
tanah, berkurangnya hasil tanaman serta kurangnya unsur hara akibat
terbawa aliran air akibat terjadinya hujan. Contoh kegiatan manusia yang
dapat menjadi penyebab masalah yaitu kegiatan ekploitasi besar besaran,
hal tersebut berpengaruh pada kondisi tanah yang mengakibatkan
penurunan pada kualitas lahan. Selain terjadinya penurunan kualitas tanah
pada lahan juga terlihat bahwa lahan pada daerah sumberjaya tersebut
mengalami kekurangan air. Hal tersebut dapat diketahui dari gambar
dimana lahan terlihat sangat kering.
Penyebab masalah tersebut tidak hanya menjadi penyebab
kerusakan pada satu daerah saja, melainkan dapat menjadi suatu masalah
mulai dari daerah hulu hingga daerah hilir. Erosi yang terjadi di daerah hulu
akan mengalir terbawa oleh aliran arus sungai menuju daerah hilir dengan
membawa berbagai unsur hara. Kemudian pada daerah hilir akan terjadi
pengendapan yang dibawa arus sungai dari daerah hulu. Dengan adanya
sedimentasi dapat menyebabkan sungai menjadi dangkal dan adanya
penurunan kualitas air. Erosi tidak bisa dihilangkan sama sekali atau tingkat
erosinya nol, khususnya untuk lahan-lahan pertanian. Budidaya
perkebunan di dataran tinggi dihadapkan pada faktor pembatas biofisik
seperti lereng yang relatif curam, kepekaan tanah terhadap erosi dan
longsor dan curah hujan yang tinggi (Idjudin, 2011). Kesalahan dalam
pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya lahan di dataran tinggi dapat
menimbulkan kerusakan biofisik berupa degradasi kesuburan tanah dan
ketersediaan air yang dampaknya tidak hanya dirasakan oleh masyarakat
di lahan dataran tinggi, tetapi juga di bagian hilirnya.

2.5 Solusi Akar Masalah


Degradasi lahan akan berdampak buruk terhadap produktivitas
lahan serta ekonomi masyarakat. Lahan yang terdegradasi tidak hanya
berdampak terhadap produktivitas lahan, tetapi juga akan berpengaruh
terhadap perubahan iklim global. Degradasi lahan menjadikan suatu lahan
memiliki tingkat kesuburan (baik fisik, kimia, dan/atau biologi) yang rendah
sehingga tidak dapat mendukung pertumbuhan tanaman secara optimal,

6
juga bisa dikategorikan sebagai lahan suboptimal. Laju degradasi lahan
yang tinggi menandakan bahwa bahan organik yang sangat rendah (<1%)
yang terdapat di beberapa kondisi lahan yang miring dan kering. Kondisi
lahan pada sumberjaya Lampung yakni miring dan kering menjadikan
degradasi lahan menjadi suatu permasalahan yang umum. Erosi
merupakan salah satu penyebab utama degradasi lahan miring dan kering.
Upaya dalam menghindari kemungkinan terjadinya degradasi pada suatu
lahan, makan dilakukan konservasi untuk mengelola suatu lahan agar tetap
lestari (Dariah dan Heryani, 2014).
Pemanfaatan lahan kering berlereng untuk produksi pangan
memerlukan penerapan teknologi konservasi tanah dan air yang tepat
untuk meningkatkan produktivitas lahan secara berkelanjutan dan menjaga
kelestarian lingkungan. Konservasi tanah dan air melalui pendekatan
agroekosistem dapat meningkatkan keuntungan usaha tani, memperbaiki
ketahanan pangan, dan meningkatkan produktivitas lahan secara
berkelanjutan (FAO, 2011). Aspek penting dalam konservasi tanah dan air
pada lahan kering terdegradasi di daerah tropis ialah penutup tanah
organik karena dapat memengaruhi aktivitas biologi tanah, serta
peningkatan bahan organik dan kesuburan tanah (Lahmar et al., 2011).
Kondisi lahan yang terjadi pada Sumberjaya Lampung kering
berlereng menjadikan erosi pada saat musim hujan dan kekeringan pada
musim kemarau menjadi suatu masalah utama. Maka dari itu untuk
menanggulangi masalah ini, perlu dilakukan tindakan-tindakan konservasi
tanah. Keberhasilan pengendalian erosi sangat ditentukan dari
pengelolaan tanah yang baik dan tindakan-tindakan argronomis.
Menurut pendapat Idjudin (2011), tindakan konservasi tanah
dalam mengendalikan erosi tanah dapat dilakukan dengan beberapa cara
adalah sebagai berikut:
1. Mengatur aliran permukaan sehingga dapat mengalir dengan kekuatan
yang tidak merusak. Tujuan utama pembuatan saluran drainase sendiri
yaitu untuk mencegah genangan dengan mengalirkan air aliran
permukaan, sehingga kekuatan air mengalir tidak merusak tanah,
tanaman, dan/atau bangunan konservasi lainnya. Di area yang rawan
longsor, pembuatan saluran drainase ditujukan untuk mengurangi laju
infiltrasi dan perkolasi, sehingga tanah tidak terlalu jenuh air, sebagai
faktor utama pemicu terjadinya longsor.
2. Memperbaiki dan menjaga keadaan tanah agar memiliki ketahanan
terhadap penghancuran agregasi tanah dan pengangkutan, kemudian
meningkatkan dayaserap air di permukaan tanah.

Gambar 2. Daya serap air

3. Membuat tanah sedapat mungkin tertutup dari energi perusak. Tanaman


penutup tanah pada umumnya adalah jenis legum menjalar yang
ditanam di antara tanaman tahunan, secara bergilir dengan tanaman
semusim atau tanaman tahunan dan sebagai tanaman pemula (pionir)
7
untuk rehabilitasi lahan kritis. Fungsi tanaman penutup adalah untuk
menutupi tanah dari terpaan langsung air hujan, rehabilitasi lahan kritis,
menjaga kesuburan tanah, dan menyediakan bahan organik.
Setelah pendekatan konservasi yang telah disarankan diatas,
maka dapat diketahui hal yang perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya
degradasi lahan pada lahan Sumberjaya tersebut. Berdasarakan pendapat
Sutrisno dan Heryani (2013) yang berpendapat bahwa untuk mengurangi
degradasi lahan juga dapat dilakukan beberapa upaya, seperti penerapan
pola usaha tani konservasi seperti agroforestri, tumpang sari, dan
pertanian terpadu, penerapan pola pertanian organik ramah lingkungan
untuk menjaga kesuburan tanah, serta peningkatan peran serta
kelembagaan petani. Usaha tani konservasi terbaik yaitu kombinasikan
teknologi konservasi tanah dengan mengurangi panjang lereng dan
pengelolaan tanaman karena dapat menurunkan erosi dan aliran
permukaan. Agar dapat diadopsi masyarakat, teknologi konservasi tanah
dan air harus sederhana dan merupakan hasil perbaikan dari teknik
konservasi yang biasa diterapkan petani setempat.
Lahan Sumberjaya Lampung yang memiliki kondisi kering
diperlukannya juga upaya melakukan konservasi air. Konservasi air pada
prinsipnya adalah penggunaan air yang jatuh ke tanah seefisien mungkin
dan pengaturan waktu aliran yang tepat, sehingga tidak terjadi banjir yang
merusak pada musim hujan dan terdapat cukup air pada musim kemarau.
Perbaikan drainase akan meningkatkan efisiensi pemakaian air oleh
tanaman, karena hilangnya air yang berlebih (excess water) akan
memungkinkan akar tanaman berkembang lebih luas ke lapisan tanah
yang lebih dalam daripada hanya terbatas di lapisan atas yang dangkal
yang akan cepat kering jika permukaan air tanah menurun. Efisiensi
penggunaan air dinyatakan dalam banyaknya hasil yang di dapat per satuan
air yang digunakan, yang dapat dinyatakan dalam kilogram bahan kering
per meter kubik air. Efisiensi penggunaan air irigasi dapat ditingkatkan
dengan cara mengurangi banyaknya air yang diberikan, mengurangi
kebocoran-kebocoran saluran irigasi, meningkatkan produktivitas, pergiliran
pemberian air, serta pemberian air secara terputus. Berdasarkan pendapat
Sutrisno dan Heryani (2013), konservasi air juga dapat dilakukan dengan
cara membuat embung dan waduk-waduk sejenisnya pada umumnya
dilakukan untuk meningkatkan ketersediaan air, yang berdampak terhadap
produksi pertanian, produktivitas lahan, dan pendapatan petani. Panen
hujan dan aliran permukaan selain dapat meningkatkan keberlanjutan
sistem usahatani lahan kering juga dapat menekan laju erosi, sedimentasi,
dan bahkan risiko banjir apabila aliran permukaan yang dipanen cukup
signifikan.

2.6 Dampak terhadap Produksi Tanaman dan Kesehatan Lingkungan


Degradasi lahan merupakan suatu proses atau tahapan penurunan
produktivitas suatu lahan yang bersifat sementara maupun tetap. Lahan
terdegradasi biasa disebut dengan lahan yang sudah tidak produktif, lahan
kritis, atau lahan yang dibiarkan untuk tidak dikelola sehingga ditumbuhi
semak belukar. Umumnya degradasi lahan disebabkan karena adanya
penggunaan dan/atau pengelolaan lahan yang kurang tepat. Degradasi
lahan biasanya akan terjadi dengan adanya konversi (alih fungsi)
penggunaan lahan dari lahan hutan menjadi keperluan lainnya. Pada lahan
pertanian (khususnya pertanian di lahan kering), degradasi lahan utamanya

8
terjadi karena adanya erosi tanah yang dipercepat, penggunaan mesin-
mesin pertanian, dan pemakaian bahan kimia pertanian yang berlebihan.
Dampak dari degradasi lahan pada daerah perbukitan yaitu dapat
mempengaruhi fungsi serta manfaat lahan bagi manusia dan bagi
lingkungan. hilangnya berbagai vegetasi pada daerah perbukitan menjadi
gerbang dari berbagai dampak negatif yang akan dirasakan oleh manusia
serta lingkungan. Kerusakan yang terjadi pada daerah perbukitan ini dapat
menurunkan fungsi hidrologis dari lahan tersebut (Tutuarima et al., 2021).
Kemudian apabila terjadi kerusakan hutan di bagian hulu akibat degradasi
lahan, maka pasokan air juga akan terganggu. Gangguan tersebut antara
lain meningkatnya aliran permukaan ketika musim penghujan dikarenakan
hilangnya pohon dan tutupan lahan lainnya yang memiliki fungsi menahan
air atau intersepsi air hujan, serta berkurangnya air ketika musim kemarau
disebabkan berkurangnya pasokan air tanah yang semakin berkurangnya
kemampuan tanah untuk menginfiltrasi air yang jatuh ke tanah. Dampak
pasokan air yang terganggu akibat dari menurunnya fungsi hidrologi dari
lahan adalah lahan menjadi kering dan kurang produktif yang disebabkan
oleh berkurangnya kandungan dan pasokan air dalam tanah.
Dampak degradasi lahan lainnya adalah hilangnya lapisan tanah
atas yang subur yang disebabkan oleh erosi. Tutupan tanah seperti
berbagai semak, seresah, dan juga pohon yang membantu menghambat
jatuhnya air hujan yang beresiko tinggi membawa tanah bagian atas atau
top soil menuju hilir melalui limpasan permukaan, apabila tutupan lahan ini
menghilang yang diakibatkan oleh menghilangnya tutupan lahan dan
vegetasi, maka air hujan dan limpasan permukaan akan dengan mudah
mencapai tanah sehingga dapat menyebabkan erosi. Selain itu, bila
kemiringan dari lahan atau lereng tersebut terbilang cukup curam dan tidak
ada vegetasi yang berguna untuk menahan tanah di lahan tersebut maka
akan menimbulkan bencana tanah longsor yang merugikan.
Kerusakan struktur tanah diawali dengan penurunan kestabilan
agregat tanah sebagai akibat dari pukulan air hujan dan kekuatan limpasan
permukaan. Penurunan kestabilan agregat tanah berkaitan dengan
penurunan kandungan bahan organik tanah, aktivitas perakaran tanaman
dan mikroorganisme tanah. Penurunan ketiga agen pengikat agregat tanah
tersebut selain menyebabkan agregat tanah relatif mudah pecah sehingga
menjadi agregat atau partikel yang lebih kecil juga menyebabkan
terbentuknya kerak di permukaan tanah (soil crusting) yang mempunyai
sifat padat dan keras bila kering. Agregat atau partikel-partikel yang halus
akan terbawa aliran air ke dalam tanah sehingga menyebabkan
penyumbatan pori tanah. Pada saat hujan turun kerak yang terbentuk di
permukaan tanah juga menyebabkan penyumbatan pori tanah. Akibat
proses penyumbatan pori tanah ini porositas tanah, distribusi pori tanah,
dan kemampuan tanah untuk mengalirkan air mengalami penurunan dan
limpasan permukaan akan meningkat. Menghilangnya bagian top soil yang
disebabkan oleh erosi akan menyebabkan lahan semakin tidak produktif,
sehingga tanaman yang ditanam pada lahan tersebut menjadi tidak dapat
tumbuh dengan optimal sehingga dapat menyebabkan hasil yang didapat
tidak maksimal. Hal ini mendorong para petani untuk melakukan
pemupukan pada tanaman mereka, namun dengan semakin mahalnya
harga pupuk serta rendahnya hasil yang didapatkan dari ladang atau lahan
pertanian mereka menyebabkan semakin berkurangnya kesejahteraan
para petani tersebut.

9
BAB II
REKOMENDASI STRATEGI KONSERVASI TANAH DAN AIR

2.1 Tindakan Managemen Tanah dan Air


Konservasi air pada prinsipnya adalah penggunaan air yang jatuh
ke tanah untuk pertanian seefisien mungkin dan pengaturan waktu aliran air
dengan cara meresapkan air ke dalam tanah agar pada musim hujan tidak
terjadi banjir dan pada musim kemarau air untuk kebutuhan hidup masih
tersedia. Konservasi tanah dan air sebagaimana dijelaskan di awal artikel
merupakan suatu hal yang sangat penting. Intinya KTA ini bertugas untuk
memelihara tanah dan air dari kerusakan. Kerusakan yang dapat terjadi
pada tanah di antaranya seperti hilangnya unsur hara dan bahan organik di
daerah perakaran tanah, terakumulasinya garam di daerah perakaran
(salinisasi) atau secara sederhana disebut juga pengumpulan senyawa
beracun bagi tanaman, jenuhnya air tawar pada akar atau batang bagian
bawah suatu tanaman, serta erosi. Kerusakan juga dapat terjadi pada
badan air seperti mengeringnya mata air akibat volme air tanah yang
semakin sedikit, menurunnya kualitas air akibat adanya sedimen hasil erosi,
tercampurnya limbah, serta masuknya unsur hara pada badan air sehingga
terjadi eutrofikasi
Tanah merupakan sumber daya alam yang ada dan sangat
dibutuhkan bagi makhluk hidup. Tanah dimanfaatkan dan dikelola dengan
sedemikian rupa agar dapat memenuhi kebutuhan hidup. Namun, didalam
pemanfaatan dan pengelolaannya masih ditemukan bahwa adanya
ketidaksesuaian dengan ketentuan dan potensi yang dimiliki tanah tersebut,
sehingga tanah yang ada pun mengalami penurunan kualitas dan
produktivitasnya. Tanah yang mengalami hal tersebut perlu dilakukan upaya
pengelolaan dan pemanfaatan yang tepat. Adapun beberapa upaya yang
dapat dilakukan dengan tujuan mempertahankan produktivitas tanah serta
kualitasnya, yaitu seperti melakukan pengolahan tanah konsevasi yang
tepat dan sesuai. Pengolahan tanah merupakan perlakuan atau kegiatan
yang dilakukan pada tanah agar terciptanya keadaan tanah yang baik untuk
pertumbuhan tanaman (Indria, 2005). Pengolahan tanah yang diterapkan
yakni Olah Tanah Konservasi (OTK), pada teknik ini dilakukan pengolahan
tanah untuk meminimalkan gangguan terhadap tanah. Olah tanah
konservasi merupakan sistem pengolahan yang tetao memeprtahankan
setidaknya 30% sisa tanaman menutup permukaan tanah.
Pengolahan tanah pada dasarnya dilakukan untuk memperbaiki
tanah. Pengolahan tanah merupakan suatu kegiatan yang dilakukan yang
bertujuan untuk memperbaiki struktur tanah dengan menggunakan alat
sehingga tanah menjadi gembur, serta memiliki aerasi dan drainase
tanah yang menjadi lebih baik agar tanaman yang ditanam pada tanah
tersebut dapat tumbuh serta mampu berproduksi secara maksimal.
Pengolahan tanah konservasi ialah sistem pengolahan tanah dengan
menggunakan tanaman dan memanipulasi gulma atau sisa tanaman
sebagai mulsa yang dilakukan sedemikian rupa agar kemudian dapat
meminimalisir laju erosi dengan cara mengurangi daya rusak air hujan
yang jatuh serta aliran permukaan (Jambak et al., 2017). Ciri olah
tanah konservasi yaitu dengan berkurangnya pembongkaran atau
pembalikan tanah dan penggunaan sisa tanaman sebagai mulsa serta
terkadang disertai dengan penggunaan herbisida untuk menekan
pertumbuhan gulma. Menurut pernyataan Adrina et al., (2012), terdapat

10
beberapa cara olah tanah secara konservasi, yaitu Tanpa Olah Tanah (zero
tillage), Olah Tanah Seperlunya (reduced tillage), dan Olah Tanah Strip (strip
tillage).Pengolahan lahan Tanpa Olah Tanah merupakan cara penanaman
tanpa memerlukan persiapan lahan, kecuali membuka lubang kecil
untuk meletakkan benih. Tanpa olah tanah biasanya dicirikan oleh sangat
sedikitnya gangguan terhadap permukaan tanah dan adanya penggunaan
sisa tanaman sebagai mulsa yang menutupi sekitar 60-80% permukaan
lahan. Gulma dihilangkan dengan menggunakan herbisida. Pengolahan
tanah Olah Tanah Seperlunya (reduced tillage) yaitu pengolahan tanah
yang dilakukan dengan mengurangi frekuensi pengolahan. Pengolahan
tanah dilakukan sekali dalam setahun atau sekali dalam dua tahun. Hal ini
bergantung pada tingkat kepadatan tanah dan sisa tanaman disebarkan di
atas permukaan tanah sebagai mulsa setelah pengolahan tanah. Pada
tanah- tanah yang cepat padat seperti pada tanah bertekstur berat,
pengolahan tanah dapat dilakukan sekali dalam setahun, sedangkan pada
tanah-tanah bertekstur sedang pengolahan tanah dapat dilakukan sekai
dalam dua tahun.
Pengolahan tanah yakni dengan Olah Tanah Strip (strip tillage)
merupakan pengolahan tanah yang dilakukan hanya pada strip-strip atau
alur-alur yang akan ditanami, umumnya strip-strip tersebut dibuat mengikuti
kontur. Bagian lahan diantara dua strip dibiarkan tidak terganggu atau tidak
diolah, kemudian sisa tanaman disebar sebagai mulsa diantara dua strip
dan menyisakan zona sekitar strip tanpa adanya mulsa (Sari, 2022).
Pengolahan tanah secara OTS merupakan metode yang sangat efektif
dalam mengurangi erosi dan run offserta dapat meningkatkan produktifitas
tanah pada tanah-tanah yang bergelombang atau miring. Kemudian untuk
menambah keefektifan metode ini, dapat disertai dengan pembuatan alur-
alur pendek yang dibuat searah dengan kontur agar dapat menangkap air
run offyang nantinya akan digunakan untuk penyimpanan cadangan air
yang dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan lain.
Praktik konservasi yang diperlukan guna mengendalikan erosi
dapat dilakukan dengan tindakan agronomis dan mekanik. Adapun
tindakan agronomis meliputi tanaman penutup (cover crop), rotasi
tanaman, pertanaman jalur, pertanaman ganda, pertanaman dengan
kerapatan tinggi, pemberian mulsa, wanatani, dan penghutanan kembali.
Pertanaman dengan kerapatan tinggi dapat menambah beban mekanik
pada lereng, maka untuk kawasan rawan longsor lahan dalam penghijauan
atau reboisasi tidak boleh terlalu rapat dan bukan ditanami pohon besar-
besar. Tindakan mekanik yaitu seperti pengolahan tanah seperlunya,
pengolahan tanah menurut kontur (strip), dan saluran menurut kontur,
pembuatan teras, dan atau pembuatan jalur-jalur air. Tindakan pengolahan
lahan yang dapat mengurangi daya dukung lereng seperti pertanaman
dengan kerapatan tinggi, penerasan, pembuatan jalur aliran air. Tindakan
reboisasi secara bertahap dan perubahan pola pertanian dari pertanian
semusim menjadi pertanian tanaman tahunan yang memiliki fungsi lindung
perlu dilakukan guna mencegah erosi dan longsor meliputi pembuatan teras,
pembuatan guludan, dan pengembangan tanaman penyubur serta penutup
tanah sangat perlu dilakukan untuk upaya peningkatan konservasi tanah
dan air.
Konservasi tanah dan air diketahui sebagai upaya yang sangat
penting dan perlu dilakukan dalam melaksanakan kegiatan pertanian. Tidak
adanya konservasi tanah yang efektif hanya akan mempengaruhi
keberlangsungan produktivitas suatu lahan dalam pemanfaatannya untuk
11
menunjang sektor pertanian. Konservasi tanah memiliki arti luas yaitu
penempatan setiap bidang tanah pada metode penggunaan yang sesuai
dengan kemampuan tanah tersebut dan memperlakukannya sesuai dengan
syarat-syarat yang diperlukan agar tidak terjadi kerusakan tanah, sedangkan
dalam arti sempit konservasi tanah adalah upaya yang dilakukan untuk
mencegah kerusakan tanah akibat erosi dan memperbaiki tanah yang telah
rusak. Adapun konservasi air merupakan usaha penyimpanan air secara
maksimal pada musim penghujan dan pemanfaatannya secara efisien
pada musim kemarau.Konservasi tanah dan konservasi air selalu berjalan
beriringan dimana saat melakukan tindakan konservasi tanah juga
dilakukan tindakan konservasi air (Raka et al., 2011). Menurut Roni (2015),
terdapat tujuan dari koservasi tanah dan air yaitu untuk mencegah
kerusakan tanah oleh erosi, memperbaiki tanah yang rusak, dan
menetapkan kelas kemampuan tanah, serta tindakan-tindakan atau
perlakuan agar tanah tersebut dapat dipergunakan untuk waktu yang
berkelanjutan.
Konservasi dibagi menjadi tiga metode, yaitu konservasi secara
mekanis, vegetatif, dan kimia. Teknik konservasi tanah di Indonesia
diarahkan pada tiga prinsip utama yaitu perlindungan permukaan tanah
terhadap pukulan butir-butir hujan, meningkatkan kapasitas infiltrasi tanah
seperti pemberian bahan organik atau dengan cara meningkatkan
penyimpanan air, dan mengurangi laju aliran permukaan sehingga
menghambat material tanah dan hara terhanyut. Dalam perencanaan
konservasi maka harus disertakan pertimbangan yaitu seperti nilai batas
erosi yang masih dapat diabaikan (tolerable soil loss). Apabila besarnya
erosi pada tanah dengan sifat-sifat tersebut lebih besar daripada angka
erosi yang masih dapat diabaikan, maka sangat diperlukan tindakan
konservasi.
Konservasi mekanis metode sipil teknis ialah semua perlakuan
fisik mekanis yang diberikan terhadap tanah dan pembuatan bangunan
yang bertujuan untuk meminimalisir aliran permukaan dan erosi serta
meningkatkan kelas kemampuan tanah. Konservasi secara mekanis
meliputi pembuatan teras gulud, teras kebun, teras kredit, dan teras
individu, roral, mulsa vertikal, barisan batu, saluran drainase (saluran
pengelak, saluran pembuangan air dan bangunan terjunan), pembuatan
bedengan searah kontur. Olah tanah konservasi (olah tanah seperlunya,
tanpa olahtanah, pengolahan tanah menurut kontur) (Muhardiono, 2019).
Konservasi vegetatif merupakan pemanfaatan tanaman atau
vegetasi maupun sisa- sisa tanaman sebagai media pelindung tanah dari
erosi, penghambat laju aliran permukaan, peningkatan kandungan lengas
tanah, serta perbaikan sifat fisik, biologi dan kimia tanah. Tanaman yang
dimanfaatkan berfungsi sebagai pelindung tanah terhadap daya pukulan
butir air hujan maupun terhadap daya angkut air aliran permukaan (run off),
serta meningkatkan peresapan air ke dalam tanah. Konservasi vegetatif
meliputi reforestation, agroforestry, seperti alley cropping, strip cropping,
grass strip, barisan sisa tanaman, tanaman penutup tanah (cover crop),
penerapan pola tanam yaitu pergiliran tanaman (crop rotation), tumpang sari
(intercropping), dantumpang gilir (relay cropping).
Konservasi kimiawi merupakan setiap penggunaan bahan-bahan
kimia baik organik maupun anorganik yang bertujuan untuk memperbaiki
sifat tanah dan menekan laju erosi, seperti dengan dengan pemanfaatan soil
conditioneratau bahan- bahan pemantap tanah dalam hal memperbaiki

12
struktur tanah sehingga tanah akan tetap resisten terhadap erosi.
Konservasi kimiawi meliputi pembenah tanah (soil conditioner) seperti
polyvinil alcohol (PVA), urethanised (PVAu), sodium polyacrylate (SPA),
polyacrylamide (PAM), vinylacetate maleic acid (VAMA) copolymer,
polyurethane, polybutadiene (BUT), polysiloxane, natural rubber latex, dan
asphalt (bitumen) untuk meningkatkan stabilitas agregat tanah (Roni,
2015).
2.2 Teknologi Konservasi secara Vegetatif
Teknologi konservasi tanah dan air secara vegetatif adalah
teknologi yang digunakan dalam memelihara dan memperbaiki kondisi
tanah serta air tanah agar tidak mengalami kerusakan maupun yang telah
mengalami kerusakan agar dapat digunakan kembali sesuai dengan
kemampuan serta daya guna yang lebih produktif dalam jangka waktu yang
tidak terbatas. Konservasi tanah dan air secara vegetatif dilakukan untuk
melindungi bagian permukaan tanah dengan cara memanfaatkan tanaman.
Tanaman yang digunakan pada upaya konservasi ini dapat berupa
tanaman legum yang menjalar, tumbuhan semak belukar, tanaman
pepohonan, rerumputan, maupun jenis-jenis tanaman lainnya yang
memiliki fungsi sebagai penutup tanah dan mengendalikan adanya aktivitas
erosi dan aliran air permukaan dari permukaan tanah yang menjadi bagian
dari lahan pertanian.
Konservasi tanah dan air yang dilakukan secara vegetatif dapat
berperan dalam menanggulangi masalah erosi dan limpasan aliran
permukaan, memperbaiki kondisi sifat fisik tanah, dapat memelihara kondisi
kelembaban tanah, dapat mengurangi pengaruh dari terjadinya cekaman
air terhadap tanaman sehingga produktivitas tanaman pada suatu lahan
dapat dipertahankan. Menurut Roni (2015), teknik konservasi tanah dan air
secara vegetatif adalah penggunaan tanaman atau vegetasi dan sisa
tanaman sebagai media pelindung tanah terhadap erosi, mencegah
percepatan aliran permukaan, meningkatkan kelembaban tanah dan
memperbaiki sifat-sifat tanah baik secara fisik, kimia, dan biologi.Tanaman
atau sisa tanaman memiliki fungsi sebagai pelindung terhadap pengaruh
tetesan air hujan dan daya angkut air yang mengalir ke permukaan (run-off)
dan meningkatkan penyerapan air kedalam tanah.
Berdasarkan kondisi lahan di Daerah Sumberjaya, Lampung yang
terdegradasi terdapat beberapa teknik konservasi tanah dan air yang dapat
dilakukan secara vegetatif menggunakan tanaman sebagai tanaman
penutup maupun melindungi permukaan. Adapun teknik konservasi tanah
dan air secara vegetatif yang dapat diterapkan pada lahan tersebut yaitu
meliputi penggunaan tanaman penutup, melakukan budidaya dengan
sistem lorong, menggunakan tanaman pagar, menggunakan mulsa organik
dari bahan hijauan maupun sisa panen, penanaman tumbuhan rumput, dan
menggunakan sistem tanam agroforestri. Berikut adalah pejelasan detail
dari masing-masing strategi konservasi tanah dan air yang dapat
diterapkan di Daerah Sumberjaya, Lampung.
1. Pengunaan Tanaman Penutup
Salah satu penerapan teknik secara vegetatif adalah dengan
menggunakan tanaman penutup tanah. Tanaman penutup tanah
(cover crop) merupakan tanaman semusim maupun tahunan yang
berasal dari jenis tanaman legume yang memiliki kemampuan tumbuh
yang baik dan cepat meskipun dalam kondisi lahan yang kering,

13
sehingga secara umum tanaman penutup ditanam di lahan kering agar
dapat menutup dan melindungi permukaan tanah. Tanaman penutup
tanah memiliki peran efektif yang dapat mengurangi erosi dan
kecepatan aliran air permukaan pada tanah terdegradasi, sehingga
tanah yang terangkut akibat hujan dapat berkurang. Menurut Budiwati
(2014), tanaman penutup tanah memiliki fungsi menahan atau
mengurangi daya rusak dari butiran hujan yang jatuh dan aliran air
diatas permukaan tanah, memasok bahan organik tanah melalui
batang, ranting, dan daun mati yang jatuh, dan dapat menyerap air dan
melakukan transpirasi. Tanaman penutup yang ditanam pada lahan
kering atau terdegradasi akibat erosi seperti pada Daerah Sumberjaya,
Lampung mempunyai kemampuan untuk memperbaiki sifat fisik tanah
baik secara fisik, kimia, maupun biologi. Menurut Chozin et al., (2018),
Dengan terbaikinya kondisi pada tanah maka menyebabkan kondisi
tanah tersebut memiliki ketersediaan air tanah yang berada didalamnya
juga akan terbaiki dikarenakan pada permukaan tanah yang ditanami
tanaman penutup (covercrop) maka kemampuan tanah dalam
menyerap dan menahan air juga semakin baik.

Gambar 3. Arachis pintoi sebagai tanaman penutup.

Tanaman penutup tanah memiliki banyak ragam jenis, adapun


beberapa jenis tanaman penutup yang sudah banyak diketahui untuk
mengendalikan erosi dan memperbaiki kerusakan akibat degradasi
lahan yaitu Dolichus lablab, Crotalaris sp., Canavalia sp., Vigna sp.,
Tephrosia sp., Dioscroea sp., Ipomea batatas, Mucuna sp., dan
Arachis pintoi. Tanaman Arachis pintoi biasa digunakan sebagai rumput
atau tanaman penutup yang memiliki fungsi sebagai untuk
mengendalikan erosi dan juga dapat memperbaiki tanah (Erfandi,
2016). Berdasarkan kondisi yang terjadi di Daerah Sumberjaya,
Lampung dapat dilakukan langkah penerapan di lapangan dengan
membiarkan populasi rerumputan, semak belukar atau menanami
tanaman Arachis pintoi yang ada pada kawasan sampai populasinya
tinggi dan mampu menutup sebagian besar kawasan yang
terdegradasi. Selain itu dapat dilakukan dengan menanami tanaman
tahunan.

14
2. Budidaya dengan Sistem Tanam Lorong

Gambar 4. Budidaya dengan Sistem Tanam Lorong

Budidaya dengan sistem tanam lorong (alley cropping)


merupakan sistem budidaya dengan menggunakan tanaman pagar
yang ditanam sesuai dengan garis kontur untuk mengontrol tingkat
erosi yang terjadi pada suatu lahan dan antara tanaman pagar tersebut
ditanami dengan tanaman semusim. Menurut Ariani et al. (2018),
Budidaya dengan sistem lorong dapat meningkatkan unsur hara di
dalam tanah, memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah, serta
meningkatkan kesuburan tanah melalui aktifitas fauna dalam tanah
sehingga dengan sistem ini dapat menurunkan erosi dan
memperlambat air hujan yang mengalir diatas permukaan tanah.
Pengendalian erosi melalui sistem tanam lorong sangat tergantung
pada jenis tanaman pagar yang ditanam, jenis tanah, kemiringan
lereng, jarak tanam yang digunakan serta waktu penanaman.
Budidaya dengan sistem tanam lorong (alley cropping) paling
dominan diterapkan pada kondisi lahan berlorong dan di areal humid
dan subhumid tropic. Langkah penerapan sistem pertanaman lorong
diiringi dengan penanaman tanaman pagar yang berupa tanaman
pohon maupun leguminosa yang dapat mengikat nitrogen. Setelah
tanaman pagar tumbuh dengan baik, tanaman pagar sebaiknya
dipangkas secara teratur agar tidak menimbulkan naungan bagi
tanaman utama (Ariani et al., 2018)

3. Penggunaan Mulsa Organik dari Bahan Hijauan

Gambar 5. Mulsa Organik dari Sisa Panen

Mulsa merupakan bahan-bahan yang terbuat dari sisa


tanaman, serasah, sampah, plastik atau bahan-bahan lain yang
disebar atau menutup permukaan tanah untuk melindungi tanah dari
kehilangan air melalui evaporasi. Mulsa organik sendiri adalah mulsa
yang berasal dari sisa panen atau bahan hijauan yang dihasilkan dari

15
pemangkasan tanaman pagar dan strip rumput. Pemberian mulsa
organik pada lahan terdegradasi seperti pada lahan di Sumberjaya,
Lampung dapat berpotensi dalam memperbaiki tata udara tanah serta
ketersediaan air untuk mencukupi kebutuhan tanaman. Bahan-bahan
organik yang dapat digunakan sebagai mulsa organik cukup beragam
diantaranya dari daun, pelepah, dan jerami yang kemudian ditutupkan
pada bagian permukaan tanah secara merata. Dengan kondisi tata
udara tanah yang lebih baik sehingga aktivitas erosi tanah juga lebih
mudah untuk ditekankan. Menurut Antari et al., 2014) dalam upaya
konservasi tanah dan air, mulsa memiliki peranan sebagai pelindung
permukaan tanah dari butiran-butiran air hujan yang mampu membawa
partikel di permukaan tanah, menurunkan laju pemadatan tanah,
mengurangi laju penguapan (evaporasi) yang dapat menimbulkan
kandungan atau simpanan air di dalam tanah menurun, mendukung
aktivitas mikroorganisme di dalam tanah dan hasil pelapukannya dapat
meningkatkan kandungan sumber bahan organik tanah.

4. Sistem Tanam Agroforestri

Gambar 6. Sistem Tanam Agroforestri

Sistem tanam agroforestri merupakan strategi konservasi


dengan penggabungan budidaya tanaman semusim dan tanaman
tahunan berupa tanaman pohon. Tujuan tanaman tahunan dalam
upaya konservasi ini adalah untuk meminimalkan laju erosi melalui
kanopi yang dapat membantu mengurangi pengaruh dari tetesan air
hujan. Tanaman tahunan yang memiliki luas cakupan lebih luas jika
dibandingkan tanaman semusim akan membuat air hujan yang jatuh
tidak langsung bersentuhan dengan permukaan tanah melainkan
mengalir melalui batang. Pada daerah Sumberjaya, Lampung dapat
diterapkan sistem tanam agroforestri dikarenakan memiliki permukaan
yang berlereng sehingga dengan penanaman penggabungan tanaman
semusim dan tanaman tahunan dapat menurunkan tingginya laju erosi
dan aliran air pada permukaan tanah. Selain dipengaruhi oleh tutupan
dari atas permukaan tanah, penekanan laju erosi juga dipengaruhi oleh
sistem perakan di dalam tanah dalam penahan aliran alir (Mardiatno
dan Marfaiet, 2021).
Menurut Maria et al. (2012) sistem agroforestri juga akan lebih
efektif apabila dikolaborasikan dengan strategi konservasi yang lain
seperti misalnya dengan konservasi mekanis seperti membuat teras
bangku, membuat saluran pembuangan untuk sedimentasi. Selain
mengurangi laju erosi dan aliran permukaan pada suatu lahan,
ternyata sistem agroforestri masih memiliki peran seperti meningkatkan
kawasan resapan air tanah, menurunkan laju evapotranspirasi,

16
meningkatkan kandungan unsur hara di dalam tanah, menjaga tanah
dari base flowsaat musim kemarau, dan melindungi ekologi di kawasan
hulu.

2.3 Teknologi Konservasi secara Mekanis


Teknik konservasi tanah secara mekanis atau disebut juga sipil
teknis adalah upaya menciptakan fisik lahan atau merekayasa bidang olah
lahan pertanian hingga sesuai dengan prinsip konservasi tanah sekaligus
konservasi air.Teknik ini meliputi: guludan, pembuatan teras gulud, teras
bangku, teras individu, teras kredit, pematang kontur, teras kebun, barisan
batu, dan teras batu. Tujuan dari konservasi tanah dan air adalah menjaga
dan memelihara agar tanah dan lahan tidak rusak dan produktivitasnya
sesuan dengan perundukan ekologis, ekonomi, dan sosial secara
berkesinambungan untuk jangka waktu yang tidak terbatas. Selain itu
konservasi tanah dan air dikhususkan untuk menurunkan atau mencegah
dampak negatif dari erosi, sedimentasi dan juga banjir. Beberapa fungsi
metode mekanik dalam konservasi tanah menurut Karyati dan Sarminah
(2018), yaitu memperlambat terjadinya aliran permukaan (run off),
menampung dan menyalurkan aliran permukaan dengan kekuatan yang
tidak merusak, memperbaiki ataupun memperbesar ilfiltrasi air ke dalam
tanah dan memperbaiki aerasi tanah, serta penyedia air bagi tanaman.
Adapun penerapan konservasi secara mekanis yang dapat dilakukan yaitu
sebagai berikut.
1. Pembuatan Teras pada Lahan dengan Lereng Curam

Gambar 7. Pembuatan Teras pada Lahan dengan Lereng Curam

Pada lahan pertanian yang berada di daerah dengan


kemiringan lebih dari 8% biasa dilakukan pembuatan teras. Teras ini
dibuat untuk tanaman-tanaman petanian produktif dikarenakan
pembuatannya yang memerlukan waktu yang lama dan teknik yang
sulit. Lama jika dilakukan pada tanaman semusim akan menjadi tidak
ekonimis. Menurut Karyati dan Sarminah (2018), merupakan jenis-jenis
teras untuk konservasi tanah dan air yaitu teras datar, teras kridit, teras
pematang/ guludan, serta teras bangku.
a. Teras Datar
Teras datar merupakan teras yang dibuat pada tanah
dengan kemiringan kurang dari 3 %. adapun manfaat dari teras
datar ini adalah untuk menahan dan menyerap air. Teras ini dibuat
sejajar kontur dengan jalan membuat tanggul yang diberi saluran
baik di atas maupun dibawahnya. Tanah untuk pembuatan tanggul
diambil dari kedua sisi tanggul. Teras datar dirancang dengan jalan

17
menggali tanah dari garis tinggi serta tanah galiannya ditimbunkan
ke tepi luar, sehingga air dapat tertahan serta terkumpul.

Gambar 8. Sketsa Teras Datar (Karyati dan Sarminah, 2018)


b. Teras Kridit
Merupakan teras yang dibuat pada tanah dengan kemiringan
3-10 %. tujuannya adalah untuk mempertahankan kesuburan tanah.
Pembuatan teras ini dimulai dengan membuat jalur penguat teras
guludan sejajar garis kontur dan ditanami tanaman seperti
lontorogung dan lain-lain. Jarak antar jalur 512 m. Tanaman
penguat teras sebaiknya dibuat rapat, namun bila tidak mungkin
maka guludan sebaiknya ditanami rumput atau diberi batu.

Gambar 9. Sketsa Teras Kridit (Karyati dan Sarminah, 2018)

c. Teras Pematang/ Guludan


Merupakan teras yang dibuat pada tanah dengan kemiringan
10-40% untuk mencegah terjadinya kehilangan lapisan tanah. Teras
pematang ini adalah teras dengan bentuk pematang, dibuat sejajar
garis kontur, berjajar dari atas ke bawah dengan kemiringan sekitar
0,1% ke arah saluran pembuangan air (water way) atau datar bila
tanahnya bertekstur lepas dan daya menyerap airnya tinggi. Puncak
pematang diusahakan agar tidak dilampaui air (luapan air) karena
mampu mengakibatkan rusaknya pematang.

Gambar 10. Sketsa Teras Pematang/Guludan (Karyati dan

18
Sarminah, 2018)
Berdasarkan kondisi lahan di Sumberjaya Lampung, penerapan
jenis teras yang tepat ada teras bangku. Teras bangku pada
umumnya dibuat pada tanah- tanah dengan kemiringan 10-30%
yang gunanya untuk mencegah hilangnya lapisan tanah akibat erosi
yang menimbulkan penurunan kualitas tanah (degradasi).
Pembuatan teras dilakukan dengan jalan jalan memotong lereng dan
meratakan tanah di bagian bawah sehingga menjadi suatu deretan
bentuk
bangku. Langkah pertama ditentukan batas lapangan yang akan di
teras dan saluran airnya. Teras bangku merupakan serangkaian
bidang datar atau hampir datar yang miring ke sebelah dalam
sekitar 3%. Bidang-bidang tersebut dibatasi oleh bidang tegak
dengan kemiringan 2:1 agar air permukaan tidak mengalir ke arah
tepi teras. Pada tepi teras dibuat pematang dengan lebar sekitar 20
cm dan tinggi 30 cm, ditanami penguat seperti lamtoro gung,
kaliandra atau rumput untukmakanan ternak.
Penerapan kombinasi penanaman beberpa jenis tanaman dan
teras menghasilkan aliran permukaan dan erosi tanah berbeda.
Pembuatan teras yang disertai dengan tanaman penguat teras yang
rapat juga dapat menekan laju erosi antara 16-20 ton.ha/tahun. Dan
dengan pengaplikasian konservasi dengan baik pada lahan
berlereng 15-45 % dapat mengendalikan erosi sampai mendekati
batas laju erosi yang diperbolehkan sebesar 6-8 ton/ha/tahun.

Gambar 11. Sketsa Teras Bangku (Karyati dan Sarminah, 2018)

2. Saluran Pembuangan Air dan Terjunan Air


Pembuatan saluran pembungan air (water way) ditujukan untuk
menghindarkan aliran permukaan tidak terkumpul pada sebarang
tempat sehingga nantinya pembuangan air ini akan mengarahkan
aliran air ketampat yang lebih aman dari erosi jurang serta
meresapkan air ke dalam tanah. Sedangkan manfaat terjunan air yang
merupakan kelengkapan dari saluran pembuangan air adalah agar air
yang jatuh di saluuran pembuangan air tidak menyebabkan erosi dan
menimicu terjadinya longsor. Pembangunan saluran pembuangan air
dilakukan menurut arah lereng yang merupakan saluran pembuangan
air aliran permukaan yang berasal dari saluran air yang ada di dalam
teras. Beberapa tahapan pelaksanaan pembuatan saluran
pembuangan air menurut adalah Karyati dan Sarminah (2018) adalah:
a. Persiapan lapangan
Persiapan ini dibuat lakukan dalam dua tahap yaitu yang
pertama adalah pembuatan saluran air yang meliputi penyiapan
rancangan teknis, pemancangan patok induk tegak lurus kontur
19
yang merupakan as/poros saluran pembuangan air dengan jarak
maksimum antara dua patok 5 m. serta pemancangan patok
pembantu di kanan/kiri patok induk untuk menggambarkan lebar
atas saluran pembuangan air. Persiapan kedua adalah pembuatan
banguan terjunan yang meliputi pemancangan patok-patok
disepanjang saluran pembuangan air untuk menentukan letak
terjunan, jarak antara dua patok disesuaikan dengan lebar bidang
olah teras. Kemudian letak bangunan terjunan harus lebih ke
dalam dari pada talud teras dan pada tanah asli (bukan tanah
urugan). Setelah itu adalah penggalian tanah menurut patok yang
telah dipancang dengan arah tegak lurus ke bawah sedalam 0,5-
1,5 m diukur dari bidang olah.
b. Pembuatan
1) Pembuatan bangunan saluran pembuangan air Hal pertama
yang digunakan penggalian tanah sesuai dengan profil,
kemudian dasar SPA (saluran pembuangan air) pada teras
bangku dibuat dengan kemiringan 0,1- 0,5 % ke arah luar
sehingga perbedaan tinggi sasar saluran yang berjarak 5 m
adalah 0,5-2,5. Setiap jarak 1 meter sepanjang saluran
pembungan air ditanami gebalan rumput selebar 20 cm
melintang saluran pembuangan air.
2) Pembuatan bangunan terjunan Hal pertama yang perlu
dilakukan adalah dua atau tiga potong bambu bulat ditanam ke
dalam tanah 0,5 meter, sedangkan yang berada dipermukaan
saluran dipasangan setinggi bangunan terjunan. Kemudian
bambu dibelah dan dipasang melintang terjunan dan kulit
bagian luar bambu diletakkan di bagian luar. Setelah itu,
pemasangan bambu disusun mulai dari bawah dengan kedua
ujungnya yang dimasukkan ke dalam bagian kanan kiri dinding
saluran pembuanganair dan diikatkan pada bambu bulat.
3) Pemeliharan Pemeliharaan dapat dilakukan dengan
pembersihan saluran dari endapan dan perbaikan bambu
apabila terjadi kerusakan karena sudahlapuk atau karena akibat
yang lainnya
3. Bangunan Terjunan Air (BTA)
Pembuatan bangunan terjunan air dilakukan selain pembuatan
saluran pembuangan air. Bangunan terjunan air merupakan suatu
bangunan terjunan yang dibuat jika kemiringan permukaan lebih curam
daripada kemiringan maksimum pada jarak jarak tertentu pada saluran
pembuangan air bergantung pada kemiringan lahan yang biasanya
terbuat dari batu, kayu, maupun bambu (Sistem Informasi Komunikasi
Penataan Ruang DIY, 2020). Adapun tujuan pembuatan BTA adalah
sebagai alat bantu dalam mengarahkan aliran air dari ketinggian yang
lebih tinggi menuju yang lebih rendah guna menekan terjadinya erosi,
memperkecil aliran permukaan yang terjadi, serta meningkatkan
peresapan air ke dalam tanah.

2.4 Langkah Penerapan di Lapangan


Masalah konservasi tanah dan air di Indonesia merupakan tugas
berat bagi Bangsa Indonesia mengingat luasnya lahan kritis dan menuju
kritis, yang bahkan bertambah setiap tahun, dan tingkat kesulitan
penanganan yang tinggi termasuk dalam upaya perbaikan kehidupan tani di

20
wilayah tersebut. Dalam melakukan upaya konservasi tanah dan air harus
diketahui terlebih dahulu masalah yang ditimbulkan dari adanya degradasi
tersebut. Setelah diketahui permasalahanya kemudian dapat diidentifikasi
apasaja permaslahan yang dapat muncul dalam upaya konservasi tanah
dan air ini. Contoh dari permasalahan yang biasanya muncul menurut Sihite
(2001) antara lain yaitu :
1. Faktor alami penyebab erosi.
Kondisi sumber daya lahan Indonesia cenderung mempercepat
laju erosi tanah, terutama tiga faktor yaitu curah hujan yang tinggi, baik
kuantitas maupun intensitasnya, lereng yang curam, dan tanah yang
peka erosi. Curah hujan merupakan faktor pendorong terjadinya erosi
berat, dan mencakup areal yang luas. Lereng merupakan penyebab erosi
alami yang dominan di samping curah hujan.
2. Praktik pertanian yang kurang bijak
Tingginya desakan kebutuhan terhadap lahan pertanian
menyebabkan tanaman semusim tidak hanya dibudidayakan pada lahan
datar, tetapi juga pada lahan yang berlereng > 16%, yang seharusnya
digunakan untuk tanaman tahunan atau hutan. Secara keseluruhan, lahan
kering datarberombak meliputi luas 31,5 juta ha namun penggunaannya
diperebutkan oleh pertanian, pemukiman, industri, pertambangan, dan
sektor lainnya. Pada umumnya, daya saing petani dan pertanian lahan
kering jauh lebih rendah dibanding sektor lain, sehingga pertanian terdesak
ke lahan-lahan berlereng curam. Laju erosi tanah meningkat dengan
berkembangnya budi daya pertanian yang tidak disertai penerapan teknik
konservasi, seperti pada sistem perladangan berpindah yang banyak
dijumpai di luar Jawa. Bahkan pada sistem pertanian menetap pun,
penerapan teknik konservasi tanah belum merupakan kebiasaan petani
dan belum dianggap sebagai bagian penting dari pertanian.
3. Faktor kebijakan dan social ekonomi
Rendahnya adopsi teknologi konservasi bukan karena
keterbatasan teknologi, tetapi lebih kuat disebabkan oleh masalah
nonteknis. Kondisi seperti initidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di
negara-negara lain. Walaupun masih ada kekurangan dalam teknologi
konservasi dan masih ada ruang untuk perbaikan teknis, hambatan yang
lebih besar adalah masalah politik, sosial, dan ekonomi.Kebijakan dan
perhatian pemerintah sangat menentukan efektivitas dan keberhasilan
upaya pengendalian degradasi tanah. Namun, berbagai kebijakan yang
ada belum memadai dan efektif, baik dari segi kelembagaan maupun
pendanaan. Selaras dengan tantangan yang dihadapi, selama ini prioritas
utama pembangunan pertanian lebih ditujukan pada peningkatan produksi
dan pertumbuhan ekonomi secara makro, sehingga aspek keberlanjutan
dan kelestarian sumber daya lahan agak tertinggalkan. Padahal aspek
tersebut berdampak jangka panjang bagi pembangunan pertanian di
masa mendatang. Selain kurangnya dukungan kebijakan pemerintah,
masalah sosial juga sering menghambat penerapan konservasi tanah,
seperti sistem kepemilikan dan hak atas lahan, fragmentasi lahan,
sempitnya lahan garapan petani, dan tekanan penduduk. Kondisi
ekonomi petani yang umumnya rendah sering menjadi alasan bagi
mereka untuk mengabaikan konservasi tanah.Konversi lahan pertanian
sering disebabkan oleh faktor ekonomi petani, yang memaksa mereka
menjual lahan walaupun mengakibatkan hilangnya sumber mata
pencaharian. Selain faktor alami, terjadinya kebakaran hutan dan lahan
terutama terkait dengan lemahnya peraturan dan sistem
21
perundangundangan. Selain itu, faktor teknis dan ekonomi juga menjadi
pemicu utama kebakaran hutan dan lahan dengan alasan mudah dan
murah.
Strategi konservasi yang telah dirancang sedemikian rupa tidak
akan berdampak bagi lingkungan apabila tidak diterapkan di lapangan.
Penerapan strategi konservasi tanah dan air membutuhkan tahapan agar
masyarakat atau pihak yang berkepentingan dapat menerima
rekomendasi yang diberikan. Tahapan penerapan konservasi yang telah
dirancang menurut Wahyudi (2014) adalah :
1. Identifikasi lokasi-lokasi yang terdampak erosi dan lokasi-lokasi yang
tergolong dalam areal potensial kritis erosi. Tahapan ini merupakan
tahapan yang penting dikarenakan dalam tahapan ini dapat diketahui
bukan saja lokasi yang telah mengalami degradasi lahan atau erosi
namun juga lokasi-lokasi yang memiliki kemungkinan akan mengalami
erosiapabila tidak segera dilakukan konservasi.
2. Sosialisasi rancangan rekomendasi konservasi tanah dan air. Metode
pelaksanaan tahapan sosialisasi dengan melibatkan partisipasi
kelompok tani/Gapoktan/ kelompok lainnya yang memiliki peran dalam
mengelola sumber daya alam pada lahan di Sumberjaya Lampung.
Sosialisasi juga akan mendapat pendampingan dari Dinas Pertanian
Lampung sehingga partisipan akan lebih mudah untuk menerima.
Pemaparan sosialisasi akan disertai dengan pemaparan bahaya yang
ditimbulkan akibat degradasi lahan.
3. Pelaksanaan konservasi tanah dan air Rancangan yang telah dibuat
diterapkan secara bertahap dibimbing oleh Dinas Pertanian Lampung.
Tahapan ini harus disertai dengan bimbingan teknis pelaksanaan pada
setiap prosesnya sehingga masyarakat terus mendapatkan bimbingan.
Tahapan pelaksanaan akan dilanjutkan dengan tahap monitoring
dan evaluasi yang bertujuan untuk memantau bagaimana jalannya
konservasi, berikut merupakan tahapan monitoring dan evaluasi.
1. Monitoring pelaksanaan kegiatan oleh staf Dinas Pertanian Lampung.
Kegiatan ini dilaksanakan selama pelaksanaan agar rancangan yang
dibuat dapat diterapkan dengan sebaik mungkin. Tahapan monitoring
dilakukan agar dapat mengetahui dampak dari konservasi yang dilakukan
terhadap lingkungan.
2. Laporan monitoring mingguan. Laporan berisi informasi perkembangan
tahapan konservasi dan keuangan disertai dengan dokumentasi kegiatan.
3. Evaluasi kegiatan konservasi. Tahapan berupa penilaian kesesuaian
antara rancangan dengan hasil pelaksanaan yang ada di lapangan.
Output yang dihasilkan dari tahapan ini adalah solusi atas setiap kendala
yang terdapat di lapangan agar pelaksanaan berikutnya dapat lebih baik.
Hasil evaluasi juga akan menjadi bahan dalam menyusun rancangan
konservasi selanjutnya.

22
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Lahan yang berada di Sumberjaya, Lampung mengalami degradasi
lahan yang diakibatkan oleh alih fungsi lahan. Kerusakan yang terjdai ini
mengakibatkan tanah menjadi longsor dan juga erosi. Terjadinya hal ini
dikarenakan adanya pola pemanfaatan lahan yang kurang memperhatikan
penerapan kelestarian lingkunganyang baik seperti dengan melakukan sebuah
konservasi. Tindakan konservasi yang baik akan mengurangi besaran dan
dampak erosi yang terjadi. Penerapan konservasi tanah yang mencakup
konservasi secara mekanis dan vegetatif berupa rekayasa kondisi lahan dan
penanaman tanaman dengan perakaran yang kuat disesuaikan dengan
kemampuan lahan mamp membuat tanah menjadi kokoh kembali dan tidak
mudah mengalami erosi. Konservasi air juga sangatlah berdampak pada
pengendalian kondisi lahan miring seperti ini. Sehingga konservasi tanah dan
air berhubungan satu sama lain. Pemilihan tindakan konservasi juga perlu
diperhatikan agar tidakan yang dilakukan tidak memperbesar kerusakan tahan
yangmuncul akibat adanya erosi.

3.2 Saran
Pemilihan strategi konservasi tanah dan air harus memperhatikan
kondisi lahan agar tindakan konservasi yang dilakukan berjalan dengan
optimal sehingga mampu menurunkan tingkat erosi dan tetap menjaga
kelestarian tanah. Pada kasus ini, selain para petani peran dari masyarakat
sangatlah diperlukan untuk bersama-sama mengelola dan mengkonservasi
lingkungannya.

23
DAFTAR PUSTAKA

Adrinal, A., Saidi, A., dab Gusmini, G. 2012. Perbaikan Sifat Fisiko-Kimia Tanah
Psamment dengan Pemulsaan Organik dan Olah Tanah Konservasi
Pada Budidaya Jagung. Jurnal Solum, 9(1): 25-35.
Alie, M. E. R. 2015. Kajian Erosi Lahan Pada DAS Dawas Kabupaten Musi
Banyuasin- Sumatera Selatan (Doctoral dissertation, Sriwijaya
University).
Antari, R. Wawan, dan Manarung, G. M.E. 2014. Pengaruh Pemberian Mulsa
Organik Terhadap Sifat Fisik dan Kimia Tanah serta Pertumbuhan Akar
Kelapa Sawit. Fakultas Pertanian Universitas Riau
Ariani, R., dan Haryati, U. 2018. Sistem Alley Cropping: Analisis SWOT dan strategi
implementasinya di lahan kering DAS hulu. J. Sumberd. Lahan, 12, 13-
31.
Budiwati, B. 2014. Tanaman Penutup Tanah Untuk Mencegah Erosi. Jurnal Ilmiah
WUNY, 16(4).
Chozin, M. A., Guntoro, D., dan Murtilaksono, K. 2018. Perbandingan Arachis pintoi
dengan Jenis Tanaman Penutup Tanah Lain sebagai Biomulsa di
Pertanaman Kelapa Sawit Belum Menghasilkan. Jurnal Agronomi
Indonesia. 4(2): 215-221.
Dariah, A. dan Heryani, N., 2014. Pemberdayaan lahan kering suboptimal untuk
mendukung kebijakan diversifikasi dan ketahanan pangan.
Erfandi, D. 2016. Aspek Konservasi Tanah dalam Mencegah Degradasi Lahan
pada Lahan Pertanian Berlereng. In Prosiding Seminar Nasional
PengembanganTeknologi Pertanian.
Erfandi., dan Nurjaya. 2014. Potensi Jerami Padi Untuk Perbaikan Sifat Fisik Tanah
Pada Lahan Sawah Terdegradasi, Lombok Barat. Prosiding Seminar
Nasional Pertanian Organik.
FAO. 2011. Socio-economic analysis of conservation agriculture in Southern
Africa.
REOSA Network Paper 02. Johannesburg, South Africa.
Habibah, E.G., Farhan, N.G., dan Hazmi, H. 2012. Perubahan Sifat Kesuburan
Tanah dan Akibatnya pada Pertumbuhan Tanaman. UIN Sunan Gunung
Jati.
Idjudin, A. A., 2011. Peranan konservasi lahan dalam pengelolaan perkebunan.
Jurnal sumberdaya lahan, 5(2): 103-116.
Indria, A. T. 2005. Pengaruh Sistem Pengolahan Tanah dan Pemberian Macam
Bahan Organik Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Kacang Tanah (Arachis
hypogaeaL.).
Jambak, M. K. F. A., Baskoro, D. P. T., dan Wahjunie, E. D. 2017. Karakteristik
Sifat Fisik Tanah Pada Sistem Pengolahan Tanah Konservasi (Studi
Kasus: Kebun
Percobaan Cikabayan). Buletin Tanah dan Lahan, 1(1): 44-50.
Karyati dan Sarminah, S. 2018. Teknologi Konservasi Tanah dan Air. Samarinda:
Mulawarman Uni
Lahmar, R., B.A. Bationo, N. Lamso, Y. Guéro, dan P. Tittonell. 2011. Tailoring
conservation agriculture technologies to West Africa Semi-Arid Zones:
Building on traditional local practices for soil restoration. Field Crops

24
Research.
Lubis, N. 2021. Pengaruh Mikoriza dan Mikroba Pelarut Fosfat Terhadap Serapan P
dan Pertumbuhan dan Produksi Kacang Hijau (Vigna radiataL.) Pada
Bekas Lahan Sawah. Juripol (Jurnal Institusi Politeknik Ganesha Medan),
4(2): 179-189.
Mardiatno, D., dan Marfai, M. A. 2021. Analisis bencana untuk pengelolaan daerah
aliran sungai (das): studi kasus kawasan hulu das Comal. UGM PRESS.
Maria, R., Lestiana, H., dan Mulyono, A. 2012. Upaya Konservasi Tanah dan Air
dengan Agroforestri di Subang Selatan. Prosiding Pemaparan Hasil
Penelitian Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI. 167-176.
Muhardiono, I. 2019. Konservasi Tanah dan Air Lahan Miring dengan Metode
Mekanik (Countour Farming).
Pitaloka, D., Talifatim, M., Nurrohman, R., dan Safitri, E. D. 2019. Teknik
Konservasi Lahan Menggunakan Metode Kanopi Tanaman Labu Siam
(Sechium Edule) Di Desa Sumber Brantas Batu Malang. Viabel: Jurnal
Ilmiah Ilmu-Ilmu Pertanian. 13(2): 36-40
Raka, I. D. N., Wiswasta, I. A., dan Budiasa, I. M. 2011. Pelestarian Tanaman
Bambu Sebagai Upaya Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah di
Daerah Sekitar Mata Air Pada Lahan Marginal di Bali Timur. Jurnal
Agrimeta, 1(01).
Roni, N. G. K. 2015. Konservasi tanah dan air. dalam Buku Ajar, Bali: Fakultas
Peternakan Universitas Udayana.
Sari, W. W. 2022. Olah Tanah dan Bermacam Tekniknya. Materi Lokalita. Diakses
pada 24 Februari 2024. http://cybex.pertanian.go.id/artikel/100312/olah-
tanah-dan- bermacam- tekniknya/
Sihite, J. 2001. Evaluasi Dampak erosi Tanah Model Pendekatan Ekonomi
Lingkungandalam Perlindungan DAS. IPB.
Sistem Informasi Komunikasi Penataan Ruang Daerah Istimewa Yogyakarta. 2020.
Bangunan Terjunan Air. [Online]: http://www.sipr.jogjaprov.go.id/ Diakses
pada 25 Februari 2024.
Suprianto., Eri Cahrial dan Hendar Nuryaman. 2019. Faktor-Faktor Pendorong Alih
Fungsi Lahan Sawah Di Kota Tasikmalaya. Jurnal Agristan. 1(1): 1-11.
Sutrisno, N. and Heryani, N., 2013. Teknologi konservasi tanah dan air untuk
mencegahdegradasi lahan pertanian berlereng.
Tutuarima, C. T., Talakua, S. M., dan Osok, R. M. 2021. Penilaian Degradasi Lahan
dan Dampak Sedimentasi terhadap Perencanaan Bangungan Air di
Daerah Aliran Sungai Wai Ruhu, Kota Ambon. Jurnal Budidaya
Pertanian, 17(1): 43-51.
Verbist, B., dan Pasya, G., 2004. Perspektif Sejarah Status Kawasan Hutan, Konflik
dan Negosiasi Di Sumberjaya, Lampung Barat - Propinsi Lampung.
Agrivita. 26 (1): 20- 27.
Wahyudi, 2014. Teknik Konservasi Tanah serta Impelementasinya pada Lahan
Terdegradasi dalam Kawasan Hutan. Jurnal Sains dan Teknologi
Lingkungan. 6(2):71-85.
Wahyunto dan Dariah. 2014. Degradasi Lahan di Indonesia: Kondisi Existing,
Karakteristik, dan Penyeragaman Definisi Mendukung Gerakan Menuju
Satu Peta. Jurnal Sumberdaya Lahan. Vol 8(2): 81-93.
Yusuf, M. F., Yakub, S., Emi, S., Agung, M., Aton, P., Zufianldi, Z., 2018. Pengaruh

25
Kemiringan Lereng terhadap Laju Sedimentasi pada Rencana Bendungan
Parigi.Bulletin of Scientific Contribution, 16(2): 89-100.

26

Anda mungkin juga menyukai