Anda di halaman 1dari 32

TUGAS TEKNOLOGI KONSERVASI SUMBERDAYA LAHAN

ISU-ISU KONSERVASI SUMBERDAYA LAHAN DI KAWASAN


PEGUNUNGAN/PERBUKITAN DAN SOLUSI MANAGEMENNYA

Disusun Oleh :

NAMA : ERIKE GESAB AGNESI

NIM : 195040200111146

KELAS :B

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

2021
DAFTAR ISI
COVER

DAFTAR ISI ............................................................. Error! Bookmark not defined.

BAB I. PENDAHULUAN ..................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang.......................................................................................... 1

1.2 Dampak Degradasi Lahan ........................................................................ 3

BAB II. ANALISIS MASALAH DEGRADASI LAHAN .................................. 6

BAB III. TEKNOLOGI KONSERVASI TANAH DAN AIR YANG TEPAT


SASARAN ............................................................................................................ 14

BAB IV. STRATEGI MANAGEMEN KAWASAN


PEGUNUNGAN/PERBUKITAN ...................................................................... 21

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................. 27

5.1 Kesimpulan ............................................................................................. 27

5.2 Saran ....................................................................................................... 27

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 28

ii
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Keberadaan sumberdaya alam di Indonesia sangat melimpah. Sumberdaya
alam tersebut dapat dimanfaatkan oleh manusia untuk memenuhi segala aspek
dikehidupan manusia. Salah satu potensi sumberdaya alam yang dimanfaatkan oleh
masyarakat Indonesia adalah hutan. Indonesia merupakan negara dengan luas hutan
tertinggi ketiga. Winarwan (2011) menyatakan bahwa luas hutan di Indonesia yaitu
sebesar 143 juta ha. Luas lahan tersebut menjadikan Indonesia memiliki posisi
diurutan ketiga pada negara dengan luas hutan terbesar setelah Brazil dan Kongo.
Namun, luasan hutan di Indonesia kian berkurang. Hal tersebut adalah akibat
adanya deforestrasi yang masih sering terjadi. Lahan hutan banyak dialih fungsikan
menjadi lahan kawasan budidaya yang ditanami oleh tanaman tahunan dan tanaman
musiman. Pemanfaatan sumberdaya alam di Indonesia jarang menerapkan prinsip
konservasi, sehingga menyebabkan terjadinya kerusakan atau degradasi lahan.
Degradasi lahan menurut Wahyunto dan Dariah (2014) adalah suatu proses
menurunnya produktivitas pada suatu lahan, baik yang bersifat sementara atau
tetap. Luasan lahan yang mengalami degradasi juga makin meningkat disetiap
tahunnya. Total luas lahan yang telah mengalami degradasi pada tingkat berat di
Indonesia saat ini telah mencapai 48,3 juta ha atau sekitar 25,1% dari total luas
wilayah Indonesia. Awal mula dari adanya proses degradasi lahan yaitu terjadinya
konversi hutan yang tidak dapat terkontrol dan semakin meluas. Akibat dari
degradasi lahan tentunya akan berdampak negatif bagi keberlangsungan kehidupan
manusia.
Degradasi lahan umumnya terjadi akibat banyaknya lahan hutan yang
dikonversikan atau dialih fungsikan menjadi penggunaan lainnya, seperti menjadi
kawasan lahan pertanian. Pengelolaan lahan pertanian yang kurang memperhatikan
terkait konservasi lahan dapat menyebabkan lahan menjadi rusak. Pada lahan
pertanian yang dilakukan di lahan kering, umumnya degradasi lahan dapat terjadi
disebabkan karena beberapa hal, yaitu diantaranya adalah erosi tanah, penggunaan
bahan kimia berlebihan pada lahan, serta pemakaian mesin-mesin pertanian juga
kadang kala dapat menyebabkan degradasi lahan. Contoh yang terjadi di
lingkungan sekitar adalah pada wilayah pertambangan. Pada wilayah tersebut,

1
terjadinya degradasi lahan disebabkan karena dampak akibat adanya pembuangan
limbah yang dilakukan secara sembarangan. Proses penambangan yang dilakukan
juga tidak mengikuti peraturan sehingga tingkat degradasi lahan yang terjadi
semakin meningkat dan semakin sulit untuk dilakukan perbaikan. Pertambangan di
Indonesia sebagian besar dilakukan pada lahan terbuka. Kegiatan pertambangan
seperti itu tidak hanya berdampak pada terjadinya degradasi lahan seperti hilangnya
kandungan bahan organik pada tanah, namun juga dapat menyebabkan terjadinya
pencemaran logam berat. Selain dari sektor pertambangan, sektor industri juga
dapat menjadi penyumbang dalam degradasi lahan yang terjadi. Contohnya adalah
dari kegiatan pembuangan limbah, dapat berupa limbah cair, padat, maupun gas
yang dapat berbahaya bagi lingkungan sekitar. Adanya tutupan lahan akan sangat
berperan dalam menangani atau mencegah terjadinya degradasi lahan. Adanya
tutupan lahan akan berperan dalam proses filter.
Penerapan konservasi lahan perlu dilakukan agar luasan lahan yang
mengalami degradasi, khususnya di Indonesia tidak semakin meluas. Konservasi
merupakan upaya pelestarian atau perlindungan. Sehingga konservasi lahan dapat
diartikan sebagai upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk melakukan pelestarian
atau perlindungan pada sumberdaya lahan. Arsyad (2000) menyatakan bahwa
konservasi lahan merupakan cara dalam penggunaan lahan yang sesuai dengan
kemampuannya serta berusaha untuk menghindari terjadinya berbagai macam
kerusakan pada tanah, sehingga tanah tetap mampu untuk berfungsi secara lestari.
Konsep dari kegiatan melakukankonservasi lahan adalah bertujuan untuk dapat
mencegah kerusakan tanah yang disebabkan oleh erosi, untuk memperbaiki tanah
yang telah terdegradasi, dan mampu memelihara serta meningkatkan produktivitas
pada lahan agar tetap dapat digunakan secara lestari. Akibat pemanfaat sumberdaya
lahan yang tidak menerapkan konsep dari konservasi lahan menyebabkan lahan
yang terdegradasi semakin meningkat. Degradasi lahan menurut Wahyunto dan
Dariah (2014) merupakan suatu proses penurunan produktivitas pada lahan yang
sifatnya dapat sementara maupun tetap. degradasi lahan umumnya dicirikan dengan
adanya penurunan sifat fisik, kimia dan biologi pada tanah. Contoh terjadinya
degradasi lahan secara fisik adalah terjadinya kekerasan atau pemadatan pada tanah,
air yang tidak setimbang, serta adanya kerusakan pada struktur tanah. Degradasi

2
lahan secara kimia contohnya adalah terjadinya pengurasan atau pencucian hara dan
tanah yang beracun. Sementara degradasi lahansecara biologi contohnya adalah
menurunnya kandungan karbon organik pada tanah dan keanekaragaman hayati
serta vegetasi menurun.
Sejumlah bencana alam masih sering terjadi di Indonesia. Mulai dari longsor,
kekeringan hingga banjir bandang. Bencana kekeringan atau kesulitan air bersih
masih menjadi langganan tiap musim kemarau di Kabupaten Kediri. Selain itu,
bencana banjir dan longsor yang dipicu oleh intensitas curah hujan yang tinggi.
Namun terdapat pula faktor lain yakni alih fungsi lahan. Berkurangnya tutupan
lahan dan bertambahnya bangunan membuat beban lahan kian meningkat.
Penebangan pohon untuk pembukaan lahan dan perumahan serta kebutuhan kayu
merupakan beberapa penyebab dari bencana ini
Perlu dilakukannya upaya untuk dapat mengurangi terjadinya peningkatan
lahan terdegradasi di Indonesia, baik dilakukan pengendalian maupun pencegahan
sebelum melakukan peralihan fungsi lahan. Upaya untuk melakukan konservasi
lahan perlu didukung dan dilakukan oleh pihak-pihak terkait, baik itu masyarakat
setempat ataupun pemerintah. Mengingat telah meningkatnya luas lahan
terdegradasi, maka upaya perlu dilakukan agar angka peningkatan tersebut tidak
terus terjadi. Daerah dataran tinggi yang mana pengelolaan lahan pertaniannya
masih kurang memperhatikan konsep dari konservasi lahan juga perlu diarahkan
agar masalah seperti itu harus segera ditindak. Berkaitan dengan masalah degradasi
yang banyak terjadi di Indonesia, khususnya pada daerah dataran tinggi yang
dampaknya terjadi di dataran rendah Kabupaten Kediri maka perlu dilakukannya
analisis permasalahan yang terjadi seperti penyebab permasalahan, dampak yang
akan ditimbulkan, serta upaya-upaya yang mampu dilakukan akan dibahas pada
makalah ini.

1.2 Dampak Degradasi Lahan


Pengelolaan sumberdaya lahan menjadi lahan pertanian pada daerah dataran
tinggi seperti kawasan perbukitan atau pegunungan kerap kali tidak menerapkan
prinsip konservasi, sehingga menyebabkan terjadinya kerusakan pada lahan di
daerah tersebut. Daerah yang semula hutan telah dikonversikan secara bebas
menjadi lahan praktek budidaya dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan dalam

3
aspek kehidupan manusia sehari-hari. Namun, disamping sisi positif yang diberikan
oleh tanah dalam memenuhi kebutuhan aspek kehidupan, bila ditinjau kembali
terdapat kesalahan manusia dalam mengelola lahan tersebut. Hal tersebut dapat
berdampak pada menurunnya kualitas lahan sehingga lahan mengalami degradasi.
Terjadinya degradasi lahan jika dibiarkan tanpa melakukan tindakan dalam
penanganan dapat menyebabkan kerusakan lainnya yang dapat menimbulkan
kerugian bagi masyarakat.
Praktek budidaya pada daerah dataran tinggi jika tidak menerapkan konsep
konservasi lahan dapat menyebabkan kerusakan atau degradasi lahan berupa erosi.
Dampak yang terjadi akibat erosi pada bidang pertanian diantaranya adalah
kesuburan pada tanah dan tingkat produktivitas lahan akan menurun, sehingga
jumlah lahan kritis di Indonesia akan semakin meluas. Lahan budidaya tanaman
semusim pada daerah dataran tinggi memiliki resiko yang harus dihadapi yaitu
faktor pembatas biofisik berupa kelerengan yang tinggi, curah hujan yang relatif
lebih tinggi, dan tanah yang lebih peka terhadap erosi. Menurut Idjudin (2011),
lahan pada daerah dataran tinggi meskipun memiliki peluang untuk dijadikan lahan
pertanian namun juga rentan terhadap terjadinya kerusakan biofisik seperti
degradasi pada kesuburan tanah dan ketersediaan air. Hal tersebut tidak hanya
berdampak pada bagian hulu, namun juga dampak yang terjadi dapat dirasakan pula
oleh masyarakat pada daerah hilir. Tidak adanya tutupan lahan seperti pohon pada
lahan budidaya juga menjadi salah satu sumber kerusakan bagi tanah. Saat terjadi
hujan, air akan langsung jatuh mengenai tanah dan dapat menyebabkan kerusakan
tanah. Tanah yang terkena hujan secara langsung dan dalam jangka waktu yang
lama dapat terjadi pemadatan sehingga ruang pori menjadi pada tanah semakin
berkurang. Pengelolaan lahan pertanian di dataran tinggi yang ditanami tanaman
semusim tanpa menerapkan konsep dari konservasi tanah dan air dapat juga
berdampak pada terjadinya longsor akibat pengolahan tanah yang dilakukan secara
intensif.
Akibat terjadinya degradasi lahan pada daerah dataran tinggi juga berdampak
pada daerah-daerah yang terletak pada dataran rendah. Dampak yang dirasakan
pada daerah dataran rendah diantaranya adalah terjadinya bencana alam seperti
banjir. Dewi et al. (2012) menyatakan bahwa tanah yang terangkut pada saat proses

4
erosi mengakibatkan terjadinya pengendapan pada aliran-aliran air seperti sungai,
waduk, dan saluran irigasi. Akibat hal tersebut maka berdampak pada sungai yang
menjadi semakin dangkal, sehingga pada saat musim hujan akan terjadi banjir dan
pada saat musim kemarau akan terjadi kekeringan. Pencemaran air juga sering
terjadi pada areal pemukiman akibat dampak dari degradai lahan. Menurut Sutrisno
dan Nani (2013) degradasi lahan yang disebabkan oleh aktivitas manusia telah
menyebabkan pencemaran air sungai yang berdampak pada aktivitas kehidupan
manusia yang menggunakan sungai sebagai sumber air dalam kehidupannya.
Berkurangnya tutupan lahan akibat pengalifungsian hutan menjadi lahan budidaya
pertanian menyebabkan hilangnya fungsi hutan dalam melakukan filter air.
Sehingga air yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari menjadi
tercemar.
Dampak yang terjadi akibat degradasi lahan juga berkaitan pada aspek
ekonomi. Akibat terjadinya bencana alam seperti longsor dan banjir maka perlu
adanya upaya perbaikan yang memerlukan biaya tidak sedikit. Kerugian secara
ekonomi akan dirasakan oleh masyarakat yang mengalami dampak dari degradasi
lahan tersebut. Menurunnya produktivitas lahan berdampak pada hasil panen yang
diperoleh para petani. Menurunnya tingkat kesuburan tanah juga akan
menyebabkan hasil panen menurun dan berdampak pada kesejahteraan para petani.
Pada daerah dataran rendah yang terkena dampak berupa bencana alam seperti
banjir akan mengalami kerugian secara ekonomi karena terjadinya kerusakan pada
lingkungan tempat tinggal.

5
BAB II. ANALISIS MASALAH DEGRADASI LAHAN
Berdasarkan dari studi kasus mengenai penurunan tingkat produktivitas suatu
lahan pertanian yang disebabkan oleh lahan yang terdegradasi, ada banyak faktor
yang mempengaruhi hal tersebut. Salah satunya bisa terjadi karena hilangnya
lapisan bagian atas tanah yang memiliki lebih banyak kandungan bahan organik
untuk memenuhi kebutuhan tanaman. Menurut Yusuf dan Wijaya (2019) bahwa
lahan yang terdegradasi akan mengalami terjadinya penurunan tingkat
produktivitas dan stabilitas lahan tersebut. Hal tersebut menggambarkan bahwa
lahan berada pada kondisi yang tidak baik sebab tidak dapat menjalankan fungsinya
sebagai lahan pertanian yang baik. Lahan yang terdegradasi merupakan kondisi
lahan yang mengalami kerusakan baik kualitas maupun manfaatnya. Adapun dua
faktor penyebab terjadinya kerusakan lahan diantaranya adalah faktor alam (letusan
gunung berapi, gempa bumi, dan longsor) dan faktor ulah manusia (ekploitasi yang
tidak terkendali) (Pranowo et al., 2015). Kerusakan yang disebabkan akibat ulah
manusia dapat menyebabkan jumlah lahan yang mengalami kerusakan semakin
meningkat seiring berjalannya waktu seperti kondisi lahan terdegradasi akibat
bekas tambang yang dapat menjadikan lahan tersebut berubah dan memiliki kondisi
tanah yang bersifat masam dan memiliki kandungan unsur hara dan bahan organik
dalam jumlah yang sangat sedikit sehingga menyebabkan sulitnya tanah dalam
menahan air, dan rendahnya jumlah organisme tanah (biodiversitas tanah) yang
sebenarnya sangat menguntungkan dan membantu dalam pemenuhan unsur hara
yang diperlukan tanaman untuk tumbuh sehingga kesuburan tanah tetap terjaga.

Dari pengamatan yang dilaksanakan di beberapa sungai di kabupaten Kediri,


terjadinya erosi dan sedimentasi tanah khususnya saat musim penghujan yang
menyebabkan pendangkalan di beberapa daerah. Hal tersebut dikarenakan tanah
saat terkena air hujan tidak dapat menginfiltrasi air ke dalam tanah sehingga terjadi
limpasan air permukaan yang cukup besar dan mengakibatkan terkikisnya lapisan
permukaan tanah yang sebenarnya lapisan tersebut merupakan lapisan tanah yang
subur dan kaya akan unsur hara. Tentulah hal tersebut dapat menimbulkan ancaman
pada kegunaan utamanya yang dimanfaatkan sebagai kawasan pertanian. Apalagi
air mengalir terus ke hilir dan membawa tanah hasil kikisan tadi nantinya akan
menyebabkan erosi dan pengendapan. Menurut Putra et al. (2018) bahwa erosi

6
merupakan proses pengikisan tanah pada suatu lahan yang disebabkan faktor seperti
hujan, angin, limpasan permukaan, jenis tanah, kemiringan lereng, penutup lahan,
dan juga tindakan konservasi. Sedangkan, sedimentasi merupakan proses
pengendapan yang terjadi secara terus menerus sehingga menyebabkan terjadinya
penumpukkan substrat yang terbawa. Terlebih lagi jika aliran air mengarah ke
daerah perairan maka akan menyebabkan pendangkalan area perairan tersebut dan
menyebabkan air menjadi keruh. Hal tersebut sesuai dengan Sihombing et al.
(2021) bahwa sedimentasi merupakan pengendapan material sedimen yang terbawa
hingga menuju pada dasar perairan sehingga menimbulkan penumpukkan dan
pendangkalan akibat substrat sedimen.

Gambar 1. Sungai di Kabupaten Kediri

Hilangnya lapisan atas tanah dapat menyebabkan penurunan tingkat


kesuburan tanah yang dimiliki. Biasanya lapisan ini mengandung banyak sekali
bahan organik seperti humus yang menyuburkan tanah. Bila lapisan ini terkikis,
akibatnya adalah unsur hara dan bahan organik yang tersisa di lahan tersebut tidak
mampu mencukupi kebutuhan dari tanaman budidaya yang menyebabkan
pertumbuhan tanaman budidaya terhambat bahkan bisa menyebabkan tanaman
tidak dapat tumbuh. Tanah di lahan tersebut juga akan mengalami degradasi
sehingga bila datang musim penghujan, tanah tidak dapat menginfiltrasi air yang
turun dengan baik dan pada saat musim kemarau, tanah akan mengalami kekeringan
karena tidak memiliki kelembapan yang cukup baik dan biasanya akan
menyebabkan tanah tersebut memiliki rekahan. Hal tersebut juga berarti lama
kelamaan tanah akan semakin padat dan akan menyulitkan dalam hal pengolahan

7
tanahnya untuk budidaya tanaman. Menurut Sakti (2021) bahwa dampak dari
kerusakan tanah akibat erosi dapat menyebabkan hilangnya kandungan unsur hara,
bahan organik di dalam tanah, menurunnya kemampuan tanah tanah dalam
menahan air, meningkatkan kepadatan tanah sehingga berdampak pada
memburuknya produktivitas tanaman, dan juga menimbulkan terjadinya degradasi
lahan.

Kediri

Gambar 2. Tingkat sensitivitas lahan terhadap erosi di wilayah Jawa Timur

Berdasarkan dari hasil penelitian, tingkat sensitivitas lahan terhadap erosi


pada wilayah Kediri tergolong sangat rendah. Menurut Harjadi (2018) tingkat
sensitivitas (kemudahan tanah tererosi) diperoleh dari hasil perhitungan nilai K
(erodibilitas lahan). Kategori dari tingkat sensitivitas lahan terhadap erosi terbagi
menjadi lima, yaitu sangat tinggi (skor >4.3), tinggi (skor > 3.4-4.3), sedang (skor
> 2.5-3.4), rendah (skor 1.7-2.5), dan sangat rendah (skor < 1.7) (Auliyani, 2020).

Berdasarkan dari informasi yang diperoleh bahwa masyarakat yang


bertempat tinggal di dekat daerah sungai di Kabupaten Kediri sebagian besar
menanam beberapa tanaman semusim pada lahan yang digunakan sebagai lahan
pertanian. Kegiatan budidaya masyarakat di sana dilakukan dengan diimbangi
usaha konservasi tanah dan air dan mempertimbangkan tingkat dari sensitivitas
(kemudahan tanah tererosi) dan fungsi kawasan. Menurut Maria et al. (2012) bahwa

8
upaya konservasi dapat dilakukan seperti melakukan pembuatan teras bangku,
saluran pembuangan dan juga pembuatan bangunan lain yang bertujuan untuk dapat
menekan sedimentasi, namun pemilihan konservasi yang akan diterapkan perlu
disesuaikan dengan faktor-faktor penyebabnya. Adapun lima faktor yang dapat
digunakan sebagai penentu besarnya erosi yang terjadi yaitu jumlah dan intensitas
hujan (erosivitas), kepekaan tanah terhadap erosi (erodibilitas), bentukan lahan
(kemiringan dan panjang lereng), bentuk vegetasi penutup tanah, serta pola
pengelolaan tanah (Sallata, 2014).

Dari gambar 2. tersebut dapat diketahui bahwa tingkat sensitivitas lahan


terhadap erosi termasuk kategori sangat rendah yang berarti konservasi yang
dilakukan sudah sangat baik. Konservasi yang tepat dapat mengurangi ancaman
terjadinya degradasi lahan dan juga dapat meningkatkan kemampuan tanah dalam
menyerap air hujan (infiltrasi air) agar dapat mengisi akuifer menjadi air tanah
sebagai sumber air bagi tanaman saat memasuki musim kemarau sehingga tanah
memiliki cukup kelembapan saat tidak terjadi hujan. Dengan begitu dapat
mengurangi terjadinya pemadatan dan kekeringan serta rekahan–rekahan tanah. Hal
ini juga dapat mengurangi kemungkinan terjadinya limpasan aliran air permukaan
yang besar saat musim penghujan. Menurut Pratiwi dan Salim (2013) bahwa upaya
yang dapat dilakukan untuk dapat mengurangi tingkat degradasi yang terjadi pada
suatu lahan adalah dengan menerapkan teknik konservasi tanah dan air (KTA)
melalui metode vegetatif dan dikombinasikan dengan metode mekanis, hal tersebut
dilakukan agar kegiatan yang dilakukan lebih efektif dalam menekan aliran
permukaan, erosi, serta kehilangan unsur hara.

Pencegahan dengan teknik konservasi yang tepat sangat diperlukan dengan


mempertimbangkan faktor-faktor penyebab erosi. Kondisi sosial ekonomi dan
sumber daya masyarakat juga menjadi pertimbangan sehingga tindakan konservasi
yang dipilih diharapkan dapat meningkatkan produktivitas lahan, menambah
pendapatan petani serta memperkecil risiko degradasi lahan. Pada dasarnya teknik
konservasi dibedakan menjadi tiga yaitu vegetatif, mekanik, dan kimia. Teknik
konservasi tanah secara vegetatif segala bentuk pemanfaatan tanaman ataupun sisa-
sisa tanaman untuk mengurangi erosi. Tanaman ataupun sisa-sisa tanaman
berfungsi sebagai pelindung tanah terhadap daya pukulan butir air hujan maupun

9
terhadap daya angkut air aliran permukaan (run off), serta meningkatkan peresapan
air ke dalam tanah. Beberapa contohnya adalah pengaplikasian sistem tanam
Lorong, tanaman sela ataupun tanaman tutupan lahan lainnya. Sedangkan Teknik
konservasi tanah secara mekanis atau disebut juga sipil teknis adalah upaya
menciptakan fisik lahan atau merekayasa bidang olah lahan pertanian hingga sesuai
dengan prinsip konservasi tanah sekaligus konservasi air. Teknik ini meliputi:
guludan, pembuatan teras gulud, teras bangku, teras individu, teras kredit, pematang
kontur, teras kebun, barisan batu, dan teras batu. Khusus untuk tujuan pemanenan
air, teknik konservasi secara mekanis meliputi pembuatan bangunan resapan air,
rorak, dan embung. (Agus et al., 2016).

Gambar 3. Teknik Konservasi Vegetatif

Gambar 4. Teknik Konservasi Mekanik

Teknik konservasi mekanik dan vegetatif telah banyak diteliti dan


dikembangkan. Namun mengingat teknik mekanik umumnya mahal, maka teknik
vegetatif berpotensi untuk lebih diterima oleh masyarakat. Teknik konservasi tanah
secara vegetatif mempunyai beberapa keunggulan dibandingkan dengan teknik

10
konservasi tanah secara mekanis maupun kimia, antara lain karena penerapannya
relatif mudah, biaya yang dibutuhkan relatif murah, mampu menyediakan tambahan
hara bagi tanaman, menghasilkan hijauan pakan ternak, kayu, buah maupun hasil
tanaman lainnya. Inti dari beberapa Teknik konservasi yang diterapkan adalah
sebagai upaya agar mengurangi dampak dari air hujan yang langsung memukul
permukaan tanah apalagi di daerah yang memilki kemiringan. Di daerah yang
memiliki kemiringan tertentu (berlereng) berbeda dengan daerah yang datar karena
daerah berlereng memiliki tingkat resiko erosi yang lebih besar. Menurut Kurnia et
al. (2018), Tanah-tanah di daerah berlereng mempunyai risiko tererosi yang lebih
besar daripada tanah di daerah datar. Selain tidak stabil akibat pengaruh
kemiringan, air hujan yang jatuh akan terus-menerus memukul permukaan tanah
sehingga memperbesar risiko erosi. Berbeda dengan daerah datar, selain massa
tanah dalam posisi stabil, air hujan yang jatuh tidak selamanya memukul
permukaan tanah karena dengan cepat akan terlindungi oleh genangan air. Air yang
terus menerus memukul tanah inilah yang menyebabkan pori – pori tanah tertutup
sehingga terjadi limpasan aliran air permukaan yang cukup besar dan membawa
material lapisan permukaan tanah. Dari penjelasan tersebut maka dapat diketahui
bahwa tujuan dari dilakukannya konservasi tanah adalah untuk mengendalikan
tingkat erosi yang terjadi pada suatu lahan melalui penyesuaian macam penggunaan
tanah dengan menyesuaikan kemampuan tanah. Selain itu air hasil infiltrasi ke
dalam tanah dapat digunakan sebagai sumber air saat musim kemarau, ketersediaan
air tersebut dapat berfungsi dalam menjaga kelembaban tanah.

Dari beberapa literatur menyebutkan bahwa tanah yang mengalami erosi dari
daerah yang lebih tinggi seperti pegunungan atau perbukitan ke daerah yang lebih
rendah seperti hilir akan membentuk sedimen yang dapat menyebabkan terjadinya
sedimentasi dan juga pendangkalan di daerah perairan, seperti sungai dan waduk.
Peristiwa pendangkalan daerah perairan tersebut berdampak pada menurunnya
kapasitas tampung yang dimiliki. Hal tersebut dapat mengakibatkan volume
peluapan air menjadi lebih besar sehingga akan terjadi banjir. Sedimentasi
merupakan proses pengendapan material ke dalam daerah perairan (sungai maupun
waduk) yang diakibatkan oleh kerusakan lingkungan serta erosi yang terjadi di
daerah perbukitan atau pegunungan ke area aliran sungai. Hal seperti ini dapat

11
memberikan dampak terhadap pengangkutan lapisan atas tanah (top soil) yang
terdiri dari fosfor, logam berat, dan juga pestisida yang mungkin masih berada di
atas permukaan tanah juga terangkut yang mana hal tersebut dapat menyebabkan
terjadinya pencemaran air (Dian et al., 2012). Selain itu dampak yang ditimbulkan
adalah air menjadi keruh dan menyebabkan ekosistem yang terdapat di air tersebut
juga menjadi tidak seimbang.

Dampak penurunan daya tampung air akibat dari sedimentasi menjadi salah
satu ancaman bagi sektor pertanian, hal tersebut berkaitan karena pemanfaatan
lahan pertanian akan cenderung menggunakan sungai ataupun waduk sebagai
sumber air yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan air tanaman. Namun
apabila akibat dari sedimentasi menyebabkan pencemaran air, maka hal tersebut
dapat mempengaruhi kondisi dari tanaman dan tanah pada lahan budidaya menjadi
tidak optimal. Debit air yang menurun akibat pendangkalan area perairan juga
mengakibatkan kurangnya pasokan air ke lahan – lahan pertanian sekitar. Menurut
Du et al. (2011) bahwa selain berdampak pada topografi, kesuburan tanah, dan
aktivitas manusia, terjadinya sedimentasi juga berpengaruh terhadap kondisi sosial
ekonomi masyarakat yang juga akan menyebabkan penurunan hasil produksi
pertanian. Hal tersebut menggambarkan bila lahan di daerah dataran tinggi bila
diolah menjadi lahan pertanian maka lahan tersebut kurang subur untuk tanaman
karena top soil tanah sudah tergerus dan terbawa air ke bawah. Sedangkan pada
daerah yang terdampak oleh sedimentasi yaitu daerah yang berada di bawahnya,
tanah yang di bawa air ke bawah akan menyebabkan perusakan tanaman – tanaman
budidaya dan pada daerah perairan akan terjadi pendangkalan yang akan
menyebabkan banyak masalah pada pengairan air ke lahan – lahan sekitar.

Berdasarkan pernyataan tersebut, jika dikaitkan dengan pengamatan maka


tentu terjadinya sedimentasi memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap
kondisi sosial ekonomi masyarakat. Hal tersebut dikarenakan sebagian besar
kawasan tersebut dimanfaatkan sebagai lahan pertanian oleh masyarakat setempat.
Tentu saja hal ini mempengaruhi besar pendapatan yang diterima oleh petani akibat
menurunnya hasil produksi pertanian yang disebabkan kurangnya pasokan air yang
diterima oleh tanaman. Selain itu, dampak terjadinya sedimentasi bagi lingkungan
adalah rusaknya lokasi persawahan, perkebunan, serta hutan yang terdapat di

12
sekitar daerah aliran sungai (Dian et al., 2012). Kerusakan tanah tersebut tidak bisa
hanya dengan melakukan perbaikan melalui konservasi tanah dan air dalam jangka
pendek untuk dapat memberi keuntungan secara finansial, namun waktu yang
dibutuhkan untuk memperoleh keuntungan tersebut membutuhkan jangka panjang.

13
BAB III. TEKNOLOGI KONSERVASI TANAH DAN AIR YANG TEPAT
SASARAN
Peningkatan jumlah penduduk telah menciptakan kondisi dimana jumlah
produksi dengan permintaan terhadap pangan tidak lagi seimbang. Kondisi ini
mendorong pemerintah untuk melakukan impor beberapa komoditas pangan, agar
kebutuhan tetap dapat terpenuhi. Namun, peningkatan jumlah impor pangan akan
mengancam ketahanan pangan nasional, sehingga upaya peningkatan produksi
pangan di dalam negeri perlu mendapat perhatian khusus untuk mencegah
terjadinya kelangkaan pangan. Selain itu, perubahan iklim yang terus terjadi seperti
penurunan curah hujan, kenaikan permukaan laut dan suhu udara, serta berbagai
bencana alam menjadi dampak serius yang dihadapi Indonesia. Sektor pertanian
menjadi salah satu sektor penting yang mendapatkan dampak besar akibat kondisi
ini. Salah satu upaya yang dapat dilakukan ialah dengan memanfaatkan lahan
kering berlereng di pegunungan. Pemanfaatan lahan kering berlereng untuk
produksi pangan perlu dilakukan secara tepat, yaitu dengan penerapan teknologi
konservasi tanah dan air untuk meningkatkan produktivitas lahan secara
berkelanjutan dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan. Penerapan teknologi
konservasi tanah dan air melalui pendekatan agroekosistem dapat meningkatkan
keuntungan usaha tani, memperbaiki ketahanan pangan, dan meningkatkan
produktivitas lahan secara berkelanjutan (FAO 2011).

Pada pemanfaatan lahan kering berlereng sering ditemui banyak


permasalahan, terutama dalam hal kesuburan tanah yang diperparah oleh degradasi
dan erosi lahan. Aktivitas manusia yang terus meningkat mengakibatkan terjadinya
degradasi lahan yang diikuti oleh krisis air global. Hal tersebut menyebabkan
perubahan pada sistem air alamiah, pencemaran air, tanah, bahkan laut dan
meningkatkan resiko terjadinya berbagai bencana alam. Untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari, manusia telah menggunakan lebih dari separuh ketersediaan
air bersih, termasuk air tanah yang terus dieksploitasi. Penggunaan air tanah tidak
boleh dilakukan terlalu berlebihan dan harus mempertimbangkan keseimbangan,
sehingga tidak menimbulkan dampak negative kepada lingkungan sekitar (Ulfah,
2018). Permasalahan air yang ada juga berakibat pada terjadinya erosi lahan
pertanian. Menurut Sutrisno dan Heryani (2013), terjadinya erosi tanah dapat

14
menimbulkan kerusakan yang signifikan pada tanah, berupa kerusakan sifat fisik,
kimia, dan biologi tanah yang mengakibatkan penurunan kapasitas infiltrasi,
penurunan kemampuan tanah dalam menampung air, pemadatan tanah, penurunan
kualitas tanah, serta penurunan jumlah bahan organik dan organisme tanah.

Degradasi lahan dan erosi tanah tidak hanya menjadi permasalahan nasional,
berbagai negara di seluruh dunia juga merasakan dampak dan permasalahan yang
sama. Sebanyak 40% lahan pertanian telah mengalami degradasi dan menyebabkan
menurunya produktivitas lahan secara signifikan, 9% diantaranya tidak dapat lagi
dipulihkan melalui upaya perbaikan di tingkat usaha tani (Sutrisno dan Heryani,
2013). Menurut Adimihardja (2008), Pulau Jawa mengalami kegruian akibat erosi
tanah mencapai US$341-406 juta dalam setahun. Selain itu, selama periode 1998-
2004 telah terjadi 402 kali banjir dengan 294 kali tanah longsor di Indonesia,
akibatnya kerugian materi sebagai tangable product atau produk nyata diperkirakan
mencapai Rp668 miliar (Sutrisno dan Haryono, 2013). Di Indonesia, penyebab
utama degradasi lahan ialah erosi yang melebihi ambang toleransi, lapisan tanah
atas (top soil) yang hilang dapat memperburuk produktivitas tanah, Degradasi lahan
yang disebabkan oleh penurunan sifat fisik dan kimia tanah terjadi akibat
pemadatan tanah karena penggunaan alat-alat berat dan mesin pertanian atau proses
eluviasi, banjir, dan genangan.

Penggunaan lahan miring untuk menanam tanaman hortikultura tentunya


akan meningkatkan resiko terjadinya erosi serta rusaknya tanaman akibat ukuran
tanaman hortikultura yang kecil. pembangunan arah guludan sangat berpengaruh
terhadap pertumbuhan tanaman dan limpasan permukaan. Beberapa kesalahn
teknik budidaya yang dilakukan pada lahan kering, seperti pembuatan bedengan
dilakukan searah lereng, lahan dibiarkan terbuka, tidak membuat teras pada lahan
pertanian, pengelolaan tanah dilakukan secara intensif, serta tutupan pohon semakin
berkurang. Sutrisno dan Haryono (2013) menjelaskan bahwa arah guludan yang
dibuat mengikuti arah kelerengan dibuat bertujuan agar kondisi aerasi disekitar akar
tanaman menjadi baik sehingga pertumbuhan akar menjadi baik. Namun, penerapan
sistem ini akan menimbulkan bahaya yang lebih besar yakni menyebabkan aliran
permukaan menjadi semakin banyak sehingga kecepatannya meningkat.
Peningkatan erosi yang terjadi di lahan akan menyebabkan peningkatan sedimen,

15
apalagi di daerah aliran sungai, yang kemudian berdampak pada penurunan
kesuburan tanah.

Gambar 5. Contoh penanaman searah lereng (Balitbang, 2020)

Degradasi yang dibiarkan terus-menurus akan memberikan dampak negatif


bagi sektor pertanian. Degradasi tidak hanya akan berdampak buruk pada hasil dan
produktivitas lahan, tetapi juga akan mengakibatkan kerusakan atau gangguan
fungsi lahan pertanian (Adimihardja, 2008). Teknologi pengelolaan lahan yang
mampu mengurangi atau menghambat degradasi pada lahan pertanian berlereng
adalah teknologi yang mampu menghambat aliran permukaan dan erosi tanah.
Penerapan teknologi konserasi tanah dan air menjadi kunci usaha tani yang
berkelanjutan dalam upaya meningkatkan produksi pangan melalui pemanfaatan
lahan kering berlereng. Undang-undang RI. No. 37 tahun 2014, tentang Konservasi
Tanah dan Air, menjelaskan bahwa konservasi tanah dan air adalah upaya
perlindungan, pemulihan, peningkatan dan pemeliharaan fungsi tanah pada lahan
sesuai dengan kemampuan dan peruntukan lahan untuk mendukung pembangunan
yang berkelanjutan dan kehidupan yang lestari. Menurut Haryati et al., (2004),
konservasi tanah dan air merupakan penempatan setiap bidang tanah berdasarkan
kemampuanya sehingga tanah dapat digunakan secara lestari. Teknologi konservasi
tanah dan air tidak hanya dapat menghambat terjadinya erosi, tetapi juga mampu
meningkatkan perakaran efektif, kemampuan tanah dalam menyimpan air, serta
ketersediaan C-organik tanah (Erfandi, 2016). Terdapat 3 prinsip konservasi tanah
dan air menurut FAO (2010), yaitu olah tanah yang minimum, penggunaan
penutupan tanah permanen berupa sisa-sisa tanaman ataupun tanaman penutup
tanah (cover crop), serta rotasi tanaman. Penggunaan penutup tanah dapat

16
membantu mengurangi terjadi aliran permukaan, sehingga tanah tidak mudah
mengalami erosi. Tanaman penutup tanah yang sudah dikenal adalah Dolichus
lablab, Crotalaris sp., Canavalia sp., Vigna sp., Tephrosia sp., Dioscroea sp.,
Ipomea batatas, Mucuna sp., dan A. Pintoi.

Gambar 6. Mucuna munaneae ditanam sebagai tanaman penutup (Santoso et al., 2004)

Teknik konservasi tanah dan air dibagi ke dalam 3 kategori yaitu mekanik,
vegetatif, dan kimiawi. Salah satu teknik yang dianggap paling efektif adalah teknik
konservasi tanah dan air secara vegetatif. Teknik konservasi tanah dan air secara
vegetatif mencakup semua tindakan konservasi yang menggunakan tumbuh-
tumbuhan atau vegetasi, yang ditujukan untuk mengendalikan erosi dan aliran air
permukaan pada suatu lahan (Santoso et al., 2004). Tindakan konservasi tanah dan
air vegetatif, mencakup budi daya lorong, wanatni, penutup tanah, penanaman
rumput, pupuk hijau, mulsa, pola tanam, dan pematah angin. Teknik konservasi
tanah vegetatif ini sangat direkomendasikan pada pemanfaatan lahan kering
berlereng sebagai pemasukan unsur hara tambahan bagi tanah. Budidaya Lorong
atau alley cropping system merupakan teknik penanaman dimana tanaman pangan
(semusim) menjadi tanaman utama yang ditanam pada lorong-lorong antara
tanaman pagar berupa semak berkayu atau tanaman legume, yang secara berkala
dipangkas untuk mengurangi naungan dan sebagai sumber bahan organik (Santoso
et al., 2004). Penggunaan tanaman pagar legum lebih disenangi karena juga dapat
menyediakan nitrogen bagi sistem pertanian yang ada. Keuntungan budidaya
lorong baru dapat dirasakan dalam jangka panjang. Kenyataan ini sering membuat
petani kurang tertarik untuk menerapkan sistem ini pada lahan pertaniannya. Petani
cenderung untuk mendapat keuntungan berjangka pendek dan kemudahan

17
pengerjaannya di lapangan. Selain itu, teknik ini juga memiliki beberapa
kekurangan, seperti luas bidang yang berkurang, perlu tambahan tenaga kerja untuk
pemeliharaan dan pemangkasan, dan adanya sifat alelopati pada jenis tanaman
tertentu.

Gambar 7. Konsep sistem budi daya lorong pada lahan kering berlereng
(Santoso et al., 2004)

Pada pelaksanaanya, sering dilakukan kombinasi antara 2 teknik, seperti


teknik vegetatif dengan teknik mekanik agar upaya konservasi dapat lebih efektif
dan efisien. Konservasi tanah mekanik merupakan semua perlakuan fisik mekanis
yang diaplikasikan terhadap tanah, termasuk juga pembuatan bangunan yang
ditujukan untuk mengurangi aliran permukaan dan erosi, serta dapat meningkatkan
kelas kemampuan tanah (Dariah et al., 2004). Penerapan teknik mekanis terhadap
tanah tetap diperlukan meskipun metode ini bukan menjadi pilihan utama. Namun,
meskipun konservasi tanah vegetatif telah menjadi pilihan utama, perlakuan
mekanis tetap diperlukan. Teknik konservasi mekanik juga perlu dipertimbangkan
bila masalah erosi sangat serius (Agus dan Widianto, 2004), dan/atau teknik
konservasi vegetatif dinilai sudah tidak efektif lagi untuk menanggulangi erosi yang
terjadi. Beberapa bentuk konservasi tanah mekanis berupa pembuatan teras bangku
dan berbagai bentuk teras lainya, rorak, mulsa vertikal, barisan batu, saluran
drainase, dan sebagainya (Dariah et al., 2004). Salah satu bentuk konservasi tanah
mekanis yang dapat diterapkan pada pertanian lahan kering berlereng ialah
pembuatan teras. Penerapan teras pada lahan kering berlereng ditujukan untuk
mengurangi panjang lereng, menahan air sehingga mengurangi kecepatan dan

18
jumlah aliran air permukaan, serta meningkatkan penyerapan air oleh tanah. yang
relatif banyak dikembangkan pada lahan pertanian di Indonesia adalah teras bangku
atau teras tangga (bench terrace) dan teras gulud (ridge terrace) (Dariah et al.,
2004).

Gambar 8. Bentuk teras bangku pada lahan berlereng (Erfandi, 2016)

Teras bangku dibuat dengan cara memotong panjang lereng dan meratakan
tanah di bagian bawahnya, sehingg terbentuk bangunan yang seperti tangga. Teras
bangku sudah banyak diaplikasian pada lahan persawahan di daerah perbukitan.
Pada usaha tani lahan kering, fungsi utama dari teras bangku adalah memperlambat
aliran permukaan, menampung dan menyalurkan aliran permukaan dengan
kekuatan yang tidak merusak, meningkatkan laju infiltrasi, dan mempermudah
pengolahan tanah (Erfandi, 2016). Dipandang dari segi teknis, teras bangku
merupakan suatu teknik pengendalian erosi yang efektif (Abdurachman dan
Sutono, 2002). Efektivitas teras bangku akan meningkat bila ditanami tanaman
penguat teras pada pinggiran teras. Jenis tanaman yang biasa digunakan sebagai
tanaman penguat teras adalah tanaman legum seperti hahapaan (Flemingia
congesta), gamal (Gliricidia sepium) dan rumput seperti bahia (Paspalum notatum),
bede (Brachiaria decumbens), setaria (Setaria sphacelata), gajah (Penisetum
purpureum) atau akar wangi (Vetiveria zizanioides). Selain teras bangku, teras
gulud juga merupakan bentuk teras yang banyak digunakan pada lahan pertanian
berlereng di Indonesia. Teras gulud berbentuk guludan yang dilengkapi saluran air
di bagian belakang guludnya. Fungsi dari teras gulud hampir sama dengan teras
bangku, yaitu untuk menahan laju aliran permukaan dan meningkatkan penyerapan
air ke dalam tanah. Jenis tanaman yang dapat digunakan sebagai penguat teras
bangku, dapat juga digunakan sebagai tanaman penguat teras gulud. Untuk
menggantikan kehilangan luas bidang olah, bidang teras gulud dapat juga ditanami

19
cash crops misalnya tanaman katuk, cabai rawit, dan jenis cash crops lainnya
(Dariah et al., 2004). Hasil penelitian di berbagai lokasi pada berbagai jenis tanah
menunjukkan bahwa pembentukan teras merupakan metode konservasi tanah yang
efektif dalam menanggulangi aliran permukaan dan erosi.

Gambar 9. Penampang samping teras gulud (Dariah et al., 2004)

Teknik konservasi tanah yang terakhir adalah konservasi tanah secara


kimiawi, menurut Roni (2015), teknik ini merupakan semua penggunaan
bahanbahan kimia baik organik maupun anorganik bertujuan untuk memperbaiki
sifat tanah dan menekan laju erosi. Teknik ini jarang digunakan oleh petani karena
keterbatasan modal dan sulitnya teknik yang digunakan, tetapi hasil yang
didapatkan tidak terlalu berbeda dari penggunaan bahan-bahan alami. Aplikasi
metode kimia umumnya jarang digunakan, hanya ditempat–tempat tertentu seperti
kawasan lapangan golf yang disebabkan karena metode ini memerlukan materi atau
biaya yang sangat banyak (Sukasah et al., 2018). Kemantapan struktur tanah
merupakan salah satu sifat tanah yang menjadi indikator dalam menentukan tingkat
kepekaan tanah terhadap erosi. Penggunaan teknik kimia ini dimaksudkan sebagai
pencegahan erosi dengan pemanfaatan soil conditioner atau bahan-bahan pemantap
tanah untuk memperbaiki struktur tanah sehingga tanah tidak mudah mengalami
erosi. Teknik ini memiliki manfaat jangka panjang jika diaplikasikan pada tanah.
Bahan kimiawi yang termasuk dalam kategori ini adalah pembenah tanah (soil
conditioner) seperti polyvinil alcohol (PVA), urethanised (PVAu), sodium
polyacrylate (SPA), polyacrilamide (PAM), vinylacetate maleic acid (VAMA)
copolymer, polyurethane, polybutadiene (BUT), polysiloxane, natural rubber latex,
dan asphalt (bitumen) (Roni, 2015).

20
BAB IV. STRATEGI MANAGEMEN KAWASAN
PEGUNUNGAN/PERBUKITAN
Lahan pegunungan ataupun perbukitan memiliki potensi yang besar sebagai
kawasan pertanian produktif. Banyak petani bermukim dan memanfaatkan kawasan
ini. Dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari dan menopang ekonomi keluarga,
mereka mengusahakan berbagai macam tanaman, antara lain tanaman hortikultura,
perkebunan, dan tanaman pangan. Pada kawasan pegunungan banyak terjadi tanah
longsor yang sering kali menimbulkan korban jiwa dan kerugian harta benda. Selain
itu, pada kawasan pegunungan sering terjadi erosi yang menyebabkan degradasi
lahan, pedangkalan sungai, dan terganggunya sistem hidrologi daerah aliran sungai
(DAS) yang mendorong terjadinya banjir dan kekeringan di bagian hilir. Hal ini
disebabkan oleh pemanfaatan kawasan yang melebihi ambang batas daya dukung
lahan dan tanpa memperhatikan aspek kelestariannya.

Kawasan pegunungan memiliki peranan terhadap kelestarian sumberdaya


tanah maupun air. Menurut Suryana (2006), kawasan pegunungan yang merupakan
hulu DAS berguna sebagai penyangga tata air daerah hilir. Oleh karena itu,
pengelolaan yang tepat di daerah hulu berdampak positif terhadap kelestarian
sumberdaya lahan dan lingkungan di kawasan hilir. Penerapan konsep pertanian
yang baik (good agricultural practices) di kawasan pegunungan memegang
peranan penting dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat setempat, keasrian
pedesaan, perluasan lapangan kerja, pelestarian lingkungan melalui fungsi menahan
air hujan, pengendali erosi, pendaur ulang sampah organik, dan penghasil oksigen
yang menjadi bagian penting dalam kehidupan makhluk hidup terutama manusia.

Pertanian di lahan pegunungan seringkali dituding sebagai penyebab


terjadinya erosi dan tanah longsor. Hal ini karena pengelolaan di kawasan
pegunungan yang tidak mengikuti kaidah pertanian yang baik. Dalam upaya untuk
memberikan manfaat ekonomi dan lingkungan yang sebesar-besarnya bagi
masyarakat luas, lahan pegunungan perlu dikelola secara optimal dengan sentuhan
teknologi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian telah melaksanakan
berbagai penelitian yang berkaitan dengan teknologi budidaya lahan pegunungan,
namun belum dimanfaatkan dan bahkan belum diketahui oleh sebagian besar

21
masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan strategi manajemen kawasan pegunungan
atau perbukitan yang baik dan benar.

Peran penting kawasan pergunungan/perbukitan yang berhubungan dengan


dinamika sosial ekonomi, budaya, serta regulasi pada wilayah sekitarnya, maka
dibutuhkan analisis terhadap faktor-faktor yang diduga mempengaruhi proses
degradasi lahan. Hal ini diperlukan untuk menyusun strategi yang tepat dan
beradaptasi terhadap berbagai faktor yang ada, sehingga mampu mengendalikan
atau menekan laju degradasi.

Permasalahan pertama yang perlu diketahui sebelum menjalankan strategi


manajemen adalah permasalahan pada kawasan pegunungan atau perbukitan.
Lahan pada kawasan pegunungan memiliki sifat yang rentan terhadap longsor dan
erosi. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain tingkat kemiringan, curah
hujan relatif lebih tinggi, dan tanah tidak stabil, Bahaya longsor dan erosi akan
meningkat apabila lahan pegunungan yang semula tertutup hutan dibuka menjadi
areal pertanian tanaman semusim yang tidak menerapkan praktek konservasi tanah
dan air, serta tidak mengacu pada prinsip ramah lingkungan (Suryana, 2006).

Alternatif penanganan yang efektif dengan berbasis vegetasi tanaman adalah


sistem pertanaman lorong, penanaman rumput pada teras dan penanaman tanaman
dengan kombinasi perakaran dalam dan dangkal. Penanaman tanaman dengan
kombinasi perakaran sangat diperlukan. Menurut Setiawan (2018), tanaman keras
yang ditanam pada lahan dan berfungsi sebagai tanaman pagar pada pertanaman
semusim selain bermanfaat sebagai penghambat aliran permukaan dan erosi,
perakarannya sebagai pengikat struktur tanah yang dapat memperbesar ketahanan
geser tanah.

Kasus degradasi lahan terjadi pada beberapa kawasan pegunungan. Faktor


penghambat utama biasanya adalah faktor kelerengan. Pada faktor ini dapat
dilakukan tindakan konservasi mekanik berupa pembuatan teras. Pembuatan teras
yang bersifat permanen dengan penguat tebing juga dapat dikategorikan sebagai
tindakan teknis memperbaiki kualitas lahan yang ada. Sudut lereng dapat
memperbesar kecepatan aliran permukaan sehingga juga dapat memperbesar energi
angkut air. Semakin besar sudut maka semakin besar pula erosi. Menurut Setiawan

22
(2018) pemanfaatan lahan di wilayah pegunungan atau perbukitan seharusnya
untuk hutan kayu dengan sistem tebang pilih namun masyarakat telah
memanfaatkan wilayah ini sebagai lahan pertanian sehingga telah banyak terjadi
berbagai jenis tanah longsor. Selain itu, faktor penyebab degradasi lahan yang dapat
menyebabkan tanah longsor adalah jenis tanah yang didominasi tanah lempungan
dan curah hujan yang tinggi.

Gambar 10. Tanah longsor di kawasan pegunungan

Berdasarkan gambar tersebut, tanah longsor dapat terjadi akibat air hujan
yang tidak dapat terinfiltrasi kedalam tanah yang disebabkan tidak adanya akar-
akar tanaman hutan, sehingga terjadi longsor. Selain itu, dapat juga terjadi limpasan
permukaan (surface run-off) yang dapat berpotensi menyebabkan erosi dan banjir.
Perubahan bentuk penggunaan lahan untuk pertanian menjadi lahan perkebunan
juga sangat dianjurkan agar tingkat pengusikan terhadap tanah dapat dikurangi.
Strategi manajemen kawasan pebukitan atau pegunungan dapat dilakukan dengan
menanam tanaman yang dapat mendukung besarnya pendapatan bagi masyarakat
sekitar serta bermanfaat pula dalam mencegah adanya degradasi lahan, seperti
kelapa dan tanaman buah–buahan berupa manggis, duku, dan durian.

Lahan perkebunan yang masih bersisa dapat dimanfaatkan semaksimal


mungkin untuk perekonomian kedepannya dengan manajemen yang baik.
Permasalahan yang diakibatkan oleh lereng yang curam juga dapat di minimalisir
dengan penampungan hujan yang turun sehingga dapat di simpan dan dimanfaatkan
saat terjadi kekeringan sehingga cadangan air pada daerah tersebut tidak habis. Hal
ini sesuai dengan Setiawan (2018) bahwa pemilihan tanaman tepat dapat menjadi
solusi terhadap permasalahan konservasi lahan dan kebutuhan masyarakat petani.

23
Tanaman yang ditanam harus memiliki nilai ekonomis yang tinggi serta aman
terhadap kerusakan lahan. Selain itu, kriteria kesesuaian lahan untuk komoditas
yang akan ditanam harus sesuai dengan kondisi di lokasi penelitian.

Pemerintah dan masyarakat perlu meningkatkan perannya dalam melakukan


penataan dan pemulihan kawasan pegunungan yang disusun berdasarkan kaidah
ekosistem dan konservasi. Hal ini diharapkan dapat menjaga keseimbangan antara
produktivitas, kelestarian dan kesejahteraan masyarakat sehingga dapat
dipergunakan untuk mengembalikan peranan dan fungsi kawasan tersebut secara
optimal ditinjau dari berbagai segi ekologis, sosial budaya, ekonomi dan kebijakan.
Pihak yang berperan seperti masyarakat yang harusnya sadar untuk melindungi dan
melestarikan lingkungan yang ada. Selain itu peran dari pemerintah juga
dibutuhkan untuk mengatasi masalah di daerah tersebut. Menurut Setiawan (2018),
perbaikan lahan harus diprakarsai dan dipelopori oleh pemerintah daerah dengan
melibatkan petani yang mempunyai lahan. Pemerintah daerah berperan dalam
mengoptimalkan kegiatan promosi wisata, pembangunan sarana prasarana
penunjang pariwisata, sedangkan masyarakat dan swasta berperan dalam
menambah nilai kualitas kunjungan wisata.

Peran berbagai pihak dibutuhkan dalam upaya untuk mendukung adanaya


konservasi pada kawasan pegunungan. Petani dilibatkan secara langsung agar
mendapat pelajaran dan pengalaman mengenai pentingnya serta manfaat menjaga
dan memelihara lingkungan. Hal ini bertujuan untuk menghentikan proses
degradasi lahan atau meperlambat proses degradasi. Menurut Amalia (2017),
strategi manajemen yang baik harus memiliki tingkatan keputusan yang tepat.
Strategi yang pertama dapat berupa planning atau perencanaan. Perencanaan adalah
memikirkan apa yang akan dikerjakan dengan sumber yang dimiliki. Perencanaan
dilakukan untuk menentukan tujuan apa yang akan dilakukan. sebelum mengambil
tindakan dan kemudian melihat apakah rencana yang dipilih cocok dan dapat
digunakan untuk memenuhi tujuan perusahaan. Perencanaan merupakan proses
terpenting dari semua fungsi manajemen karena tanpa perencanaan, fungsi-fungsi
lainnya tak dapat berjalan.

24
Strategi selanjutnya dapat berupa organizing atau pengoranisasian.
Pengorganisasian dilakukan dengan tujuan membagi suatu kegiatan besar menjadi
kegiatan-kegiatan yang lebih kecil. Pengorganisasian dapat dilakukan dengan cara
menentukan apa saja yang harus diperbaiki, pihak siapa saja yang harus
berpartisipasi, dan bagaimana hal-hal tersebut dapat dikerjakan. Selain itu, strategi
yang dapat dilakukan berupa directing atau pengarahan. Pengarahan dilakukan agar
semua pihak yang terkait benar-benar dapat ikut mengendalikan kerusakan yang
ada. Ikut melestarikan dan melindungi pertanian yang masih tersisa.

Tingkat manajemen suatu kawasan dapat berupa beberapa tingkatan


keputusan. Hal tersebut sesuai dengan Suryana (2006), tindakan manajemen
memiliki empat tingkat keputusan, yaitu keputusan otomatis, keputusan yang
bedasarkan informasi, keputusan berdasarkan pertimbangan, dan keputusan
berdasarkan ketidakpastian ganda. Keputusan otomatis merupakan bentuk
keputusan yang dibuat dengan sangat sederhana, contohnya adalah keputusan untuk
menemukan informasi permasalahan yang ada pada lahan pegunungan ataupun
perbukitan. Keputusan selanjutnya adalah keputusan bedasarkan informasi yang
diharapkan merupakan tingkatan keputusan yang telah mempunyai informasi yang
sedikit kompleks, contohnya adalah permasalahan yang timbul akibat pengalihan
fungsi lahan sehingga lahan pertanian mengalami penyempitan, jika tidak segera
ditindak lanjuti maka lahan resapan air akan semakin berkurang dan akan
menimbulkan permasalahan lainnya seperti banjir dan lain sebagainya. Namun
permasalahan ini masih harus dipelajari terlebih dahulu.

Keputusan berdasarkan berbagai pertimbangan merupakan tingkat keputusan


yang lebih banyak membutuhkan informasi dan informasi tersebut dikumpulkan
serta dianalisis untuk dipertimbangkan agar menghasilkan keputusan. ontohnya
adalah pertimbangan tanaman yang dapat ditanam di daerah pegunungan untuk
mengendalikan deradasi lahan yang terjadi. Lalu akan dibandingkan beberapa
tanaman sampai mendapatkan tanaman yang dirasa cocok untuk ditanami di daerah
tersebut. Keputusan bedasarkan ketidakpastian ganda, merupakan tingkat
keputusan yang paling kompleks. Jumlah informasi yang diperlukan semakin
banyak dan dalam informasi yang sudah ada terdapat ketidakpastian. Keputusan
semacam ini lebih banyak mengandung risiko dan terdapat keraguan dalam

25
pengambilan keputusannya, contohnya adalah keputusan untuk memanajemen
secara nyata mengelola lahan pegunungan yang terkena masalah degradasi lahan.

26
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan isu-isu yang telah dianalisis, dapat disimpulkan bahwa degradasi
lahan dapat terjadi karena berbagai macam faktor. Pada Kawasan pegunungan atau
perbukitan, faktor yang paling utama adalah adanya erosi tanah oleh air yang
mengakibatkan terkikisnya lapisan tanah atas yang banyak mengandung bahan
organik sehingga tanah mengalami penurunan kesuburan tanah. Konservasi tanah
adalah upaya untuk mempertahankan atau memperbaiki daya guna lahan termasuk
kesuburan tanah dengan teknik konservatif vegetatif. Teknik ini dilakukan karena
tanaman tersebut ataupun sisa tanaman tersebut dapat digunakan sebagai pelindung
tanah aliran permukaan (run-off) dan menjadi tambahan bahan organik bagi tanah.
Untuk mengatasi segala macam isu degradasi lahan, diperlukan manajemen sumber
daya lahan yang sesuai dan peran dari berbagai macam pihak yang terlibat agar
dapat konservasi lahan dapat terlaksana dengan baik dan optimal.

5.2 Saran
Diharapkan baik masyarakat, pemerintah, maupun stakeholder yang terlibat
agar selalu memperhatikan kelestarian lingkungan terutama kelestarian
sumberdaya lahan yang ada. Selain itu, upaya konservasi lahan berupa teknologi
konservasi tanah dan air sangat diperlukan karena merupakan kunci utama pada
pertanian berlanjut melalui pencegahan terjadinya erosi dan degredasi lahan.

27
DAFTAR PUSTAKA
Abdurachman, A., dan S. Sutono. 2002. Teknologi Pengendalian Erosi Lahan
Berlereng: 103-145.
Adimihardja, A. 2008. Teknologi dan Strategi Konservasi Tanah dalam Kerangak
Revitalisasi Pertanian. Jurnal Pengembangan Inovasi Pertanian, 1(2): 105-
124.
Agus, F., A. Abdurachman, A. Rachman, S.H. Tala’ohu, A Dariah, B.R.
Prawiradiputra, B. Hafif, dan S. Wiganda. 1999. Teknik Konservasi Tanah
dan Air. Sekretariat Tim Pengendali Bantuan Penghijauan dan Reboisasi
Pusat. Jakarta.
Agus, F. dan Widianto. 2004. Petunjuk Praktis Konservasi Pertanian Lahan Kering.
World Agoforestry Centre. ICRAF Southeast Asia.
Amalia, Dina. 2017. Pengertian, Fungsi, dan Unsur-Unsur Manajemen. Jurnal
Manajemen, 1(3).
Arsyad, S. 2000. Konservasi Tanah Dan Air. Upt Produksi Media Informasi.
Lembaga Sumberdaya Informasi. Institut Pertanian Bogor IPB Press: Bogor.
Auliyani, Diah. 2020. Upaya Konservasi Tanah dan Air pada Daerah Pertanian
Dataran Tinggi di Sub-Daerah Aliran Sungai Gandul. Jurnal Ilmu Pertanian
Indonesia, 25(3): 382-387.
Dariah, A., Haryati, U., dan Budhyastoro, T., 2004. Teknologi Konservasi Tanah
Mekanik. Jurnal Teknologi Konservasi Tanah Kering: 107-135.
Dewi, I.G.A.S.U., Trigunasih, N.M., dan Kusmawati, T. 2012. Prediksi Erosi Dan
Perencanaan Konservasi Tanah Dan Air Pada Daerah Aliran Sungai Saba.
Jurnal Agroekoteknologi Tropika 1(1): 12–23.
Dian, S., A.B. Setiawan, dan Karsinah. 2012. Dampak Sedimentasi Bendungan
Soedirman terhadap Kehidupan Ekonomi Masyarakat. Journal of Economics
and Policy, 5(2): 117-229.
Du, J., C. Shi, X. Fan, dan Y. Zhou. 2011. Impacts of Socio-Economics Factors on
Sediment Yield in The Upper Yangtze River. Journal of Geograpical
Sciences, 21(2): 359-371.
Erfandi, D. 2016. Aspek Konservasi Tanah dalam Mencegah Degradasi Lahan pada
Lahan Pertanian Berlereng. Prosiding Seminar Nasional Pengembangan
Teknologi Pertanian Politeknik Negeri Lampung.
Harjadi, Beny. 2018. Sebaran Tingkat Kepekaan Tanah Tererosi pada Daerah
Tangkapan Waduk Kedung Ombo di Boyolali. Prosiding Seminar Nasional
Geografi UMS IX. pp. 51-57.
Haryati, U., Subagyono, K., dan Tala’ohu, S. H. 2004. Teknologi Konservasi Tanah
dan Air untuk Usahatani Berbasis Tanaman Hias di Lahan Kering. Pusat
Penelitian dan Penelitian Tanah dan Agroklimat: Bogor.24

28
Idjudin, A.A. 2011. Peranan Konservasi Lahan Dalam Pengelolaan Perkebunan.
Jurnal Sumberdaya Lahan 5(2): 103 – 116.
Kurnia, U., Ai Dariah, Suwarto, dan K. Subagyono.2018. Degradasi lahan dan
konservasi tanah di Indonesia: Kendala dan pemecahannya. hlm. 27-45 dalam
Prosiding Pertemuan Pembahasan dan Komunikasi Hasil Penelitian Tanah
dan Agroklimat: Makalah Review. Cisarua-Bogor, 4-6 Maret 1997. Pusat
Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Maria, R., H. Lestiana, dan A. Mulyono. 2012. Upaya Konservasi Tanah dan Air
dengan Agroforestri di Subang Selatan. Prosiding Pemaran Hasil Penelitian
Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI. Roni, K. G. N. 2015. Bahan Ajar:
Konservasi Tanah dan Air. Fakultas Peternakan, Univeristas Udayana: Bali.
Pranowo, D., M. Herman, dan Syafaruddin. 2015. Potensi Pengembangan Kemiri
Suunan (Reutalis trisperma (Blanco) Airy Shaw) di Lahan Terdegradasi.
Perspektif, 14(2): 87-101.
Pratiwi dan A.G. Salim. 2013. Aplikasi Teknik Konservasi Tanah dengan Sistem
Rorak pada Tanaman Gmelina (Gmelina arborea Roxb.) di KHDTK Carita,
Banten. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi, 10(3): 273-282.
Putra, A., Triyatno, A. Syarief, dan D. Hermon. 2018. Penilaian Erosi Berdasarkan
Metode USLE dan Arahan Konservasi pada DAS Air Dingin Bagian Hulu
Kota Padang-Sumatera Barat. Jurnal Geografi, 10(1): 1-13.
Roni, K. G. N. 2015. Bahan Ajar: Konservasi Tanah dan Air. Fakultas Peternakan,
Univeristas Udayana: Bali.
Sakti, Putra. 2021. Analisis Tingkat Erosi pada Sungai Konaweha di Kabupaten
Konawe. Jurnal Perencanaan dan Rekayasa Sipil, 4(1): 46-52.
Sallata, M. Kudeng. 2014. Paradigma Konservasi Tanah dan Air: Hubungannya
Kerusakan Lingkungan. Info Teknis EBONI, 11(2): 81-94.
Santoso, D., Purnomo, J., Wigena, I. G. P., dan Tuberkih, E. 2004. Teknologi
Konservasi Tanah Vegetatif. Jurnal Teknologi Konservasi Tanah Kering: 71-
102.
Setiawan, Bayu, Prapto Yudono, dan Sriyanto Waluyo. 2018. Evaluasi Tipe
Pemanfaatan Lahan Pertanian dalam Upaya Mitigasi Kerusakan Lahan Di
Desa Giritirta, Kecamatan Pejawaran, Kabupaten Banjarnegara. Jurnal
Vegetalika. 7(2): 1-15.
Sihombing, D.Y.S., M. Zainuri, L. Maslukah, S. Widada, dan W. Atmodjo. 2021.
Studi Sebaran Ukuran Butir Sedimen di Muara Sungai Jajar, Demak, Jawa
Tengah. Indonesian Journal of Oceanography, 3(1).
Sukasah, G. M., Rahmadiningrat, A., dan Ningrum, A. H. 2018. Konservasi Tanah
dan Air Di Lahan Pertanian Bandung Timur. Fakultas Sains dan Teknologi,
UIN Sunan Gunung Djati Bandung: Bandung.
Suryana, Achmad. 2006. Pedoman Umum Budidaya Pertanian Pada Lahan
Pegunungan. Jakarta : Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

29
Sutrisno, N. dan Heryani Nani. 2013. Teknologi Konservasi Tanah Dan Air Untuk
Mencegah Degradasi Lahan Pertanian Berlereng. Jurnal Litbang Pertanian
32(3): 122–130.
Ulfah, M. 2018. Pemanfaatan Air Permukaan dan Air Tanah. Prosiding Seminar
Nasional Hari Air Dunia 2018: Palembang.
Wahyunto dan A. Dariah. 2014. Degradasi Lahan Di Indonesia: Kondisi Existing,
Karakteristik, Dan Penyeragaman Definisi Mendukung Gerakan Menuju Satu
Peta. Jurnal Sumberdaya Lahan, 8(2): 81-93.
Winarwan, D., Awang, S.A., Keban, Y.T., dan Semedi, P. 2011. Kebijakan
Pengelolaan Hutan, Kemiskinan Struktural Dan Perlawanan Masyarakat.
Jurnal Kawistara 1(3): 213–320.
Yusuf, G. dan N. Wijaya. 2019. Alternatif Teknik Rehabilitasi Lahan Terdegradasi
pada Lahan Bekas Galian Industri Sekitar Tambah di Kabupaten Magelang,
Jawa Tengah. ReTII. pp. 103-106.

30

Anda mungkin juga menyukai