Anda di halaman 1dari 4

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI..................................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ............................................................................................................................................. 2
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Tanah merupakan sumberdaya alam yang bersama-sama dengan hutan dan air membentuk
suatu ekosistem yang sangat mempengaruhi aktivitas manusia. Pendayagunaan sumberdaya alam
melalui eksploitasi, pemanfaatan pada suatu komponen dalam suatu ekosistem khususnya lahan,
pada hakekatnya akanmenimbulkan perubahan dalam ekosistem tersebut yang akan berimplikasi
pada seluruh jaringan sistem kehidupan.
Setiap pembangunan ekonomi selalu menuntut alokasi sumberdaya, terutama sumberdaya
alam. Pertumbuhan penduduk yang sangat pesat mengakibatkan tindakan pemanfaatan
sumberdaya alam untuk mencukupi kebutuhan pangan, sandang, papan meningkat dengan pesat
pula. Dalam prakteknya upaya untuk mencapai target tersebut seringkali menimbulkan masalah-
masalah lingkungan yang kompleks, salah satunya sebagai akibat dari penggunaan lahan untuk
kegiatan pertambangan. Hal ini merupakan pemicu timbulnya permasalahan degradasi ekosistem
yang berawal dari terdegradasinya lahan yang ditunjukkan dengan tingginya tingkat erosi dan
menurunnya kemampuan peresapan air yang lebih lanjut mengakibatkan penurunan kesuburan
tanah.
Pembangunan berwawasan lingkungan menjadi suatu kebutuhan penting bagi setiap
bangsa dan negara yang menginginkan kelestarian sumberdaya alam. Oleh sebab itu, sumberdaya
alam perlu dijaga dan dipertahankan untuk kelangsungan hidup manusia kini, maupun untuk
generasi yang akan datang. Manusia merupakan posisi kunci penyebab utama terjadinya kerusakan
lingkungan (ekosistem). Dengan semakin bertambahnya jumlah populasi manusia, kebutuhan
hidupnya pun meningkat, akibatnya terjadi peningkatan permintaan akan lahan seperti pertanian
dan pertambangan. Sejalan dengan hal tersebut dan dengan semakin hebatnya kemampuan
teknologi untuk memodifikasi alam, maka manusialah yang merupakan faktor yang paling penting
dan dominan dalam merestorasi ekosistem rusak.
Salah satu konsekuensi dari pembangunan aktifitas adalah penambangan yang akan
mengakibatkan adanya lahan bekas tambang. Lahan pasca tambang dapat dianalisis secara fisik,
kimia dan hidrologis. Secara fisik, lahan telah mengalami kerusakan, kedalaman efektif tanah
menjadi dangkal, terdapat berbagai lapisan penghambat pertumbuhan tanaman seperti pasir,
kerikil, lapisan sisa-sisa tailing dan pada kondisi yang parah dapat pula terlihat lapisan cadas.
Bentuk permukaan tanah biasanya secara topografis sangat ekstrem, yaitu antara permukaan tanah
yang berkontur dengan nilai rendah dan berkontur dengan nilai tinggi pada jarak pendek bedanya
sangat menonjol. Dengan kata lain terdapat perbedaan kemiringan tanah yang sangat mencolok
pada jarak pendek. Secara kimia, lahan tidak dapat lagi memberikan dukungan positif terhadap
penyediaan unsur hara untuk pertumbuhan tanaman.
Tambang Ramah Lingkungan (green mining) merupakan komitment baru yang dibuat dan
dilaksanakan oleh perusahaan tambang karena perusahaan tambang sudah waktunya
mempertimbangkan kelestarian lingkungan dalam setiap aktivitas penambangan. Hal ini untuk
mendorong keinginan perusahaaan mewujudkan perusahaan sebagai perusahaan Green Mining,
yaitu perusahaan pertambangan hijau yang tidak merusak tetapi justru membantu mewujudkan
kelestarian fungsi hutan di Indonesia. Sehingga perusahaan tersebut juga layak mendapat predikat
“green company” karena komitmennya dalam melestarikan dan memelihara lingkungan hidup.
Upaya tersebut dilakukan dengan melakukan perbaikan pada teknik reklamasi bekas tambang yang
selesai ekploitasinya. Meskipun komitmen untuk mewujudkan Green Mining telah dilaksanakan
perusahaan pertambangan, namun banyak pula perusahaan yang baru mulai melakukannya dengan
mempelajari pelaksanaan penanaman yang baik di Departemen Kehutanan.
Ada beberapa hal penting yang perlu mendapatkan perhatian perusahaan pertambangan
agar dapat menjadi perusahaan yang ramah lingkungan. Tahapan untuk menjadi perusahaan
tambang “Green Mining” adalah: (1) perusahaanpertambangan harus mengelola sumber daya alam
dengan baik dan memelihara dayadukungnya agar bermanfaat bagi peningkatan kesejahteraan
rakyat dari generasi ke generasi; (2) perusahaan pertambangan perlu meningkatkan pemanfaatan
potensi sumber daya alam dan lingkungan hidup dengan melakukan konservasi, rehabilitasi dan
penghematan penggunaan, dengan menerapkan teknologi ramah lingkungan, (3) perusahaan
pertambangan perlu mendayagunakan sumber daya alam untuk sebesarbesarnya kemakmuran
rakyat dengan memperhatikan kelestarian fungsi lingkungan dan keseimbangan lingkungan hidup,
pembangunan yang berkelanjutan, kepentingan ekonomi dan budaya masyarakat lokal, serta
penataan ruang, yang pengusahaannya diatur dengan undang-undang. Perusahaan pertambangan
perlu menerapkan indikator-indikator yang memungkinkan pelestarian kemampuan keterbaharuan
dalam pengelolaan sumber daya alam yang dapat diperbaharui untuk mencegah kerusakan yang
tidak dapat pulih.
Reklamasi lahan bekas tambang bertujaun untuk mengembalikan manfaat hutan sesuai
dengan fungsinya. Pemahaman kondisi ekologi sangat penting dalam reklamasi bekas tambang,
karena reklamasi bekas tambang diharapkan menghasilkan kondisi ekologis tapak sama dengan
kondisi hutan alam sebelumnya. Kunci keberhasilan reklanasi lahan bekas tambang sangat
bergantung pada kondisi ekologi daerah reklamasi. Ilmu ekologi dapat dengan baik menjelaskan
karakteristik tapak bekas tambang dan hidupan yang ada di dalamnya termasuk jenis vegetasi yang
tumbuh. Dengan menguasai ilmu tersebut, dapat digunakan untuk menentukan dan mencari jenis-
jenis lokal pioner di dalam daerah eks tambang. Kemampuan pengetahuan ekologi dapat
digunakan untuk mengamati sekitar terutama terkait nanti ketika mencari benih atau bibit lokal
yang tidak tersedia di lokasi. Kemiripan sifatsifat ekologi area tambang dapat dijadikan dasar
menentukan bahwa suatu jenis tertentu dapat ditanaman pada kondisi ekologis yang mirip
meskipun secara geografis berjauhan.
Degradasi lahan didefinisikan sebagi kehilangan atau penurunan kegunaan atau perubahan
kemampuan lahan yang tidak tergantikan. Degradasi lahan berimplikasi pada menurunnya status
sumberdaya alam yang berakibat dari berubahnya kondisi tanah, rusaknya sistem tata air dan
berkurangnya keanekaragaman flora dan fauna atau pergantian suatu bentuk organisma oleh
bentuk lain. Dengan demikian terdegradasinya lahan dalam suatu ekosistem pada akhirnya akan
membuat terdegradasinya ekosistem secara keseluruhan.
Degradasi ekosistem disebabkan oleh faktor-faktor alamiah seperti adanya bencana alam
dan faktor-faktor antropogenik seperti pertambahan penduduk yang kemudian meningkatkan
interaksi manusia dengan lingkungannya. Revegetasi merupakan salah satu teknik vegetatif yang
dapat diaplikasikan dalam upaya merestorasi lahan-lahan yang mengalami kerusakan kritis.
Kegiatan ini bertujuan untuk memperbaiki kondisi iklim mikro, memulihkan biodiversitas dan
memulihkan kondisi lahan. Pada areal bekas pertambangan, revegetasi diperlukan untuk
menstabilisasi tanah, mencegah peningkatan asam baru dari pengeksposan.
Disamping itu untuk menunjang keberhasilan dalam merehabilitasi lahan rusak akibat
pertambangan, maka dapat dilakukan berbagai upaya seperti perbaikan lahan pra tanam dengan
memperbaiki aplikasi prinsip ekologi yang tepat dengan kondisi lingkungan.
Restorasi ekosistem merupakan inovasi baru dalam pelestarian sumber daya alam. Dalam UU No.
5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya belum dikenal model
konservasi melalui restorasi ekosistem. Demikian juga dalam UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Kebijakan restorasi ekosistem diluncurkan Pemerintah pada tahun 2004 melalui Surat Keputusan Menteri
Kehutanan Nomor 159 Tahun 2004 tentang Restorasi Ekosistem di Kawasan Hutan Produksi dan Peraturan
Menteri Kehutanan Nomor 18 Tahun 2004 tentang Kriteria Hutan Produksi yang Dapat Diberikan Izin
Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam dengan Kegiatan Restorasi Ekosistem. Kebijakan
ini dilatarbelakangi adanya degradasi sumber daya hutan yang terus meningkat dan telah menimbulkan
dampak negatif yang sangat luas, baik aspek lingkungan/ekologi, ekonomi, kelembagaan, sosial dan
budaya.
Kebijakan restorasi ekosistem merupakan terobosan baru dalam sejarah kehutanan Indonesia,
dengan memungkinkan hutan produksi tidak ditebang dalam jangka waktu tertentu. Melalui restorasi
ekosistem, hutan produksi di hutan alam diharapkan akan berfungsi kembali sebagai penyeimbang
ekosistem, baik biotik maupun abiotik. Selain itu, juga akan memberikan kontribusi dalam upaya
menyelamatkan keragaman hayati dan mitigasi perubahan iklim. Pelaksanaan kegiatan restorasi
ekosistem dilakukan melalui mekanisme dan prosedur pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan
Kayu-Restorasi Ekosistem (IUPHHK-RE).
IUPHHK-RE merupakan izin usaha yang diberikan untuk membangun kawasan dalam hutan alam
pada hutan produksi yang memiliki ekosistem penting sehingga dapat dipertahankan fungsi dan
keterwakilannya melalui kegiatan pemeliharaan, perlindungan dan pemulihan ekosistem hutan termasuk
penanaman, penjarangan, penangkaran satwa, pelepasliaran flora dan fauna untuk mengembalikan
unsur hayati (flora dan fauna) serta unsur non-hayati (tanah, iklim dan topografi) pada suatu kawasan
kepada jenis yang asli sehingga tercapai keseimbangan hayati dan ekosistemnya (PP No. 6 Tahun 2007
tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan juncto
Permenhut No. 61/ Menhut-II/2008 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem dalam Hutan Alam pada Hutan Produksi Melalui
Permohonan). Usaha ini akan memberikan peluang bagi pengelolaan hutan dengan multi-produk dan jasa,
mempertahankan konektivitas bentang alam dan pelestarian keragaman hayati, mempertahankan ragam
manfaat hutan bagi masyarakat, dan mengurangi laju deforestasi dan emisi karbon dari hutan produksi
(Prasetyo dkk, 2015:14).

1.2. Masalah
1.3. Latar Belakang

Anda mungkin juga menyukai