Anda di halaman 1dari 8

UJIAN MATA KULIAH KONSERVASI SDA-EKOSISTEM

PASCASARJANA ILMU LINGKUNGAN

Dosen : Dr. Ir. Tengku Nurhidayah, M.Sc

oleh :

Amalia Prafitra Harman

NIM : 1510248383

PROGRAM STUDI ILMU LIGNKUNGAN

PROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS RIAU

PEKANBARU

2017
1. Jelaskan penyebab penurunan fungsi ekologis agroekosistem dan jelaskan manfaat
ekologis yang dapat diperoleh dari konservasi agroekosistem menggunakan konsep
LEISA dengan sistem pertanian terpadu
Jawaban :
Agroekosistem merupakan kesatuan tumbuhan dan hewan serta lingkungan kimia dan
fisiknya yang telah dimodifikasi oleh manusia untuk menghasilkan makanan, serat, bahan
bakar, dan produk lainnya bagi konsumsi dan pengolahan umat manusia. Suatu wilayah yang
digunakan untuk produksi pertanian, misalnya suatu lahan, dipandang sebagai suatu sistem
yang kompleks di mana proses ekologi yang terjadi dalam kondisi alami juga ditemukan,
misalnya daur unsur hara, interaksi pemaangsa-mangsa, persaingan, simbiosis, dan
perubahan turun-temurun. Agroekosistem bisa dimanipulasi untuk memperbaiki produksi
dan bereproduksi secara lebih berkelanjutan dengan dampak negatif yang lebih sedikit
terhadap lingkungan dan masyarakat serta kebutuhan akan input luar yang lebih sedikit.
Penyebab Penurunan fungsi ekologis Agroekosistem
a) Pembukaan Hutan (Alih Guna Lahan)
Laju pertumbuhan penduduk Indonesia yang cukup tinggi mendorong bertambahnya
permintaan akan lahan baik untuk pemukiman ataupun untuk usaha, akibatnya terjadi
konversi lahan hutan. Konversi lahan untuk pemenuhan kebutuhan pemukiman ataupun
industri tidak jarang dilakukan pada lahan pertanian yang subur. Alih guna lahan terus
terjadi, menyebabkan lahan potensial untuk pertanian menjadi berkurang. Dan terjadi
degradasi lahan dan perluasan lahan kritis.
Kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh eksploitasi lahan yang berlebihan,
perluasan tanaman, penggundulan hutan, telah berdampak pada keberlangsungan hidup
biota yang berada di bumi ini. Bila kondisi tersebut diatas terus berlangsung dengan cara
tidak terkendali, maka dikhawatirkan akan bertambahnya jumlah lahan kritis dan
kerusakan dalam suatu wilayah daerah aliran sungai (DAS). Kerusakan ini dapat berupa
degradasi lapisan tanah (erosi), kesuburan tanah, longsor dan sedimentasi yang tinggi
dalam sungai, bencana banjir, disribusi dan jumlah atau kualitas aliran air sungai akan
menurun.
b) Degradasi Tanah
Degradasi tanah yang paling dominan adalah erosi. Proses ini telah berlangsung lama
dan mengakibatkan kerusakan pada lahan-lahan pertanian. Jenis degradasi yang lain
adalah pencemaran kimiawi, kebakaran hutan, aktivitas penambangan dan industri, serta
dalam arti luas termasuk juga konversi lahan pertanian ke nonpertanian.
Proses degradasi tanah sebagai akibat kebakaran hutan terjadi setiap tahun, terutama
di Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, dan Papua. Selain tanaman dan sisa-sisa tanaman
yang ada di permukaan tanah, berbagai material turut hangus terbakar, seperti humus dan
gambut. kebakaran hutan mengakibatkan hilangnya serasah dan lapisan atas gambut.
Kerugian lainnya berupa gangguan terhadap keanekaragaman hayati, lingkungan hidup,
kesehatan manusia dan hewan, serta kelancaran transportasi (Musa dan Parlan 2002).
Degradasi lahan pertanian juga sering disebabkan oleh banjir dan longsor, yang
membawa tanah dari puncak atau lereng bukit ke bagian di bawahnya. Proses ini
menimbulkan kerusakan pada lahan pertanian baik di lokasi kejadian maupun areal yang
tertimbun longsoran tanah, serta alur di antara kedua tempat tersebut. Proses degradasi
lahan pertanian (dalam makna yang sebenarnya), yang tergolong sangat cepat
menurunkan bahkan menghilangkan produktivitas pertanian adalah konversi ke
penggunaan nonpertanian.

Manfaat LEISA
Petani tradisional telah menemukan cara-cara untuk memperbaiki struktur tanah,
kapasitas menahan air serta keberadaan unsur hara dan air tanpa pemanfaatan input buatan.
Dalam banyak kasus, sistem pertanian mereka kini (atau pada masa lalu) merupakan bentuk-
bentuk pertanian ekologis yang lebih canggih dan tepat bagi kondisi-kondisi lingkungan yang
khusus. Evaluasi teknik dan sistem pertanian lokal setempat menunjukkan pilihan-pilihan
bagi peningkatan LEISA.
Kekuatan utama sistem pertanian terletak pada integrasi fungsional dari beragam sumber
daya dan teknik pertanian. Dengan mengintegrasikan beragam fungsi pemanfaatan lahan
(misalnya memproduksi bahan pangan, kayu, dan sebagainya; mengkonservasi tanah dan air;
melindungi tanaman; mempertahankan kesuburan tanah) serta pemanfaatan beragam
komponen biologis (ternak besar dan ternak kecil, tanaman pangan, hijauan makanan ternak,
padang rumput alami, pohon,rempah-rempah, pupuk hijau, dan sebagianya), stabilitas dan
produktivitas sistem usaha tani sebagai suatu keseluruhan bisa ditingkatkan dan basis
sumber daya alam bisa dikonservasikan.
LEISA (Low external input sustainable agriculture) merupakan suatu pilihan yang layak
bagi petani dan bisa melengkapi bentuk-bentuk lain produksi pertanian. Karena sebagian
besar petani tidak mampu untuk memanfaatkan input buatan itu atau hanya dalam jumlah
yang sangat sedikit, maka perhatian perlu dipusatkan pada teknologi yang bisa
memanfaatkan sumber daya lokal secara efisien. Petani yang kini menerapkan HEIA, bisa
saja mengurangi pencemaran dan biaya serta meningkatkan efisiensi input luar dengan
menerapkan beberapa teknik LEISA.
Metode LEISA mengacu pada bentuk-bentuk pertanian untuk mencapai optimalisasi
pemanfaatan sumber daya lokal yang ada dengan mengkombinasikan berbagai macam
komponen sistem usaha tani, yaitu tanaman, ternak, ikan, tanah, air, iklim, dan manusia
sehingga saling melengkapi dan memberikan efek sinergi yang paling besar. Pemanfaatan
input luar dilakukan hanya bila diperlukan untuk melengkapi unsur-unsur yang kurang dalam
agroekosistem dan meningkatkan sumber daya biologi, fisik, dan manusia. Dalam
memanfaatkan input luar, perhatian utama diberikan pada mekanisme daur ulang dan
minimalisasi kerusakan lingkungan.
Metode LEISA tidak bertujuan memaksimalkan produksi dalam jangka pendek, namun
untuk mencapai tingkat produksi yang stabil dan memadai dalam jangka panjang. LEISA
berupaya mempertahankan dan sedapat mungkin meningkatkan potensi sumber daya alam
serta memanfaatkannya secara optimal.
Sistem pertanian berkelanjutan harus dibangun dengan fondasi sumber daya yang
dapat diperbaharui yang berasal dari lingkungan usaha tani dan sekitarnya. Pengklasifikasian
sumber daya internal dan eksternal akan sangat membantu dalam memahami dan
mengembangkan pertanian dengan model LEISA. Dengan model LEISA, kekhawatiran
penurunan produktivitas secara drastis dapat dihindari,sebab penggunaan input-input luar
masih diperkenankan, sebatas hal tersebut sungguh-sungguh penting atau mendesak dan
tidak ada pilihan lain. Model LEISA masih menjaga toleransi keseimbangan antara
pemakaian input internal dan input eksternal, misalnya penggunaan pupuk organik diimbangi
dengan pupuk TSP, pemakaian pestisida hayati dilakukan bersama-sama dengan pestisida
sintesis.
Beberapa contoh teknologi pertanian yang potensial untuk mendukung sistem
pertanian berkelanjutan, antara lain sebagai berikut: Tumpang sari (intercroping). Rotasi
tanaman Agroforestri Silvi-pasture. Merupakan perpaduan antara tanaman hutan atau kayu-
kayuan dan rerumputan hijauan pakan ternak sehingga konservasi lebih terjamin dan
kebutuhan hijauan pakan ternak tercukupi tanpa merusak lingkungan. Pupuk hijau (green
manuring). Konservasi lahan (conservation tillage). Pengendalian biologi (biological
control). Pengelolaan hama terpadu (integrated pest management).

2. Jelaskan upaya konservasi yang dapat dilakukan pada species dengan populasi yang
berukuran kecil yang terancam kepunahan ekologis. Menggunakan metoda
konvensional dan bioteknologi, sehingga species tersebut bisa hidup kembali pada
habitat alaminya dan dapat menjalankan hubungan fungsionalnya dalam ekosistem.
berikan contoh.
Jawaban :
Upaya dasar konservasi bagi populasi berukuran kecil secara umum, suatu rencana
konservasi yang baik untuk spesies terancam punah bertujuan agar sebanyak mungkin
individu spesies tersebut dapat dilestarikan dalam habitat yang berkualitas, dan agar seluas
mungkin habitat tersebut dapat terlindungi. Griffiths and Schaick mengemukakan istilah
Minimum Valiable Population (MVP) untuk mendefinisikan jumlah individu minimal yang
diperlukan untuk menjaga keberlangsungan hidup suatu spesies. MVP merupakan ukuran
terkecil dari suatu populasi yang terisolir dalam suatu habitat tertentu, yang memiliki peluang
99% untuk bertahan hidup selama 1000 tahun, di tengah berbagai resiko bencana yang
ditimbulkan oleh faktor-faktor tertentu, termasuk demografi, peluang acak perubahan
lingkungan, peluang acak genetik, dan bencana alam.
MVP merupakan ukuran populasi terkecil yang diperkirakan memiliki peluang yang
sangat tinggi untuk bertahan hidup di masa mendatang. Sebagai contoh, peluang bertahan
hidup dapat ditetapkan (dan diperkirakan) pada berbagai nilai, misalnya 95% atau 99%.
Demikian pula kerangka waktu, yang dapat disesuaikan dengan rencana perkiraan yang akan
dilakukan, misalnya 100 tahun atau 500 tahun. Dengan demikian, MVP merupakan
pendekatan yang memungkinkan dilakukannya perkiraan secara kuantitatif mengenai
banyaknya jumlah individu yang diperlukan untuk melestarikan suatu spesies.
Untuk mendapatkan ukuran MVP yang tepat bagi spesies terancam punah terkait
dibutuhkan penelitian terinci tentang demogarafi populasi dan disertai analisis lingkungan.
Setelah menetukan MVP, langkah berikut dalam penelitian konservasi spesies adalah
memperkirakan Minimum Dynamic Area (MDA). MDA merupakan luasan atau jumlah
habitat yang cocok dihuni agar MVP dapat dicapai atau dipertahankan. MDA dapat dihitung
dengan mempelajari luasan daerah jelajah individu maupun kelompok atau koloni spesies
terancam punah tersebut.
Pada umumnya, untuk melindungi sebagian besar spesies diperlukan populasi yang besar.
Spesies dengan ukuran populasi yang kecil akan menghadapi resiko besar berupa kepunahan.
Terdapat tiga sebab mengapa populasi kecil terancam oleh berkurangnya jumlah individu dan
kepunahan lokal, yaitu :
a) Hilangnya keragaman genetik dan timbulnya masalah dalam tekanan silang, dalam
atau perkawinan sedarah (Inbreeding depession) serta hanyutan genetik (genetic
drift).
b) Perubahan demografik, ketika laju kelahiran dan laju kematian akan mengalami
variasi acak dan mengakibatkan perubahan pada struktur dan komposisi populasi.
c) Perubahan lingkungan, yang dapat disebabkan oleh bermacam ragam peristiwa
termasuk pemangsaan, kompetisi, penyakit, persediaan pangan, maupun bencana
alam yang terjadi sewaktu-waktu, seperti kebakaran, banjir maupun musim kering
berkepanjangan.
Pada beragam spesies satwa, populasi kecil dapat menjadi tidak stabil karena struktur
sosialnya tidak berfungsi dengan baik ketika populasimenurundibawah jumlah individu
tertentu. Ketidakstabilan populasi kecil karena hambatan struktur sosial dikenal sebagai efek
Allee. Contohnya sering ditemukan pada burung dan mamalia yang hidup berkelompok
sosial. Bila jumlah mereka telah turun di bawah ambang batas, kawanan mamalia maupun
kelompok burung tersebut akan kesulitan mendapatkan makanan yang cukup dan akan
menemui kesulitan dalam melindungi serta mempertahankan kelompoknya. Hewan seperti
beruang ataupun laba-laba yang hidup dengan sebaran luas, namun memiliki kepadatan yang
rendah, akan kesulitan untuk mendapatkan pasangannya. Hal ini akan menyebabkan angka
kelahiran menurun dan populasi semakin mengecil. Pada spesies tumbuhan, seiring dengan
menurunnya populasi maka jarak antarindividu akan meningkat. Kunjungan serangga
penyerbuk pada individu yang jauh dan terisolasi menjadi semakin jarang, sehingga,
mengakibatkan turunnya jumlah produksi biji. Kombinasi berbagai faktor termasuk fluktuasi
populasi secara acak, perbandingan jenis kelamin yang tidak berimbang, kekacauan tingkah
laku sosial, dan menurunnya kepadatan populasi akan menyebabkan ketidakstabilan
populasi. Kepunahan lokal pun lebih mungkin terjadi.
Ada tiga faktor utama yang memengaruhi ketahanan populasi terhadap kepunahan, yaitu:
- variasi lingkungan,
- variasi demografik, dan
- variasi genetik.
Ketiga faktor tersebut seling bekerja sama, sehingga penurunan populasi akibat satu faktor
akan mengakibatkan kerentanan populasi terhadap dua faktor lainnya. Semakin kecil ukuran
populasi, maka semakin rentan pula populasi tersebut terhadap pengaruh ketiga faktor.
Ketiga faktor dapat menurunkan keberhasilan reproduksi, menaikkan tingkat kematian, dan
akhirnya mendorong kepunahan.
Contoh upaya konservasi pada species dengan populasi yang berukuran kecil yang terancam
kepunahan ekologis adalah :
 Konservasi Badak Sumatera.
Badak Sumatera, adalah satu-satunya badak Asia yang memiliki dua cula. Badak
Sumatera juga dikenal memiliki rambut terbanyak dibandingkan seluruh sub-spesies
badak di dunia, sehingga sering disebut hairy rhino (badak berambut). Ciri-ciri lainnya
adalah telinga yang besar, kulit berwarna coklat keabu-abuan atau kemerahan - sebagian
besar ditutupi oleh rambut dan kerut di sekitar matanya.
Badak sumatera adalah badak yang memiliki ukuran terkecil dibandingkan semua sub-
spesies badak di dunia. Menurut Rencana Aksi dan Strategi Konservasi Departemen
Kehutanan populasinya di alam saat ini diperkirakan kurang dari 300 ekor. Satwa ini
termasuk dalam klasifikasi satwa kritis yang terancam punah (critically endangered) -
dalam daftar mrah spesies terancam lembaga konservasi dunia, IUCN. Populasi terbesar
dan mungkin paling memadai untuk berkembang biak (viable) saat ini terdapat di
Sumatera, sementara populasi yang lebih kecil terdapat di Sabah dan Semenanjung
Malaysia.
Upaya Konservasi yang dilakukan oleh WWF
WWF bekerja di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) yang berlokasi
di Propinsi Lampung dan Bengkulu dan merupakan salah satu dari areal konservasi
penting bagi badak Sumatera yang tersisa di Sumatera. Diperkirakan sekitar 60-80 ekor
badak Sumatera berada di taman nasional tersebut dan merupakan populasi terbesar
kedua di dunia. Bersama dengan Departemen Kehutanan, Balai Taman Nasional, fokus
kegiatan WWF Indonesia di TNBBS mencakup upaya-upaya perlindungan habitat,
pengelolaan kawasan, pengembangan masyarakat, advokasi dan kebijakan, serta
pendidikan dan penyadartahuan.
WWF bersama mitranya saat ini berupaya merehabilitasi habitat badak Sumatera
di TNBBS khususnya di beberapa lokasi yang dikonversi secara ilegal untuk
pengembangan perkebunan kopi dan beberapa produk pertanian lainnya. Beberapa
pembeli dan pedagang biji kopi internasional saat ini bekerjasama untuk memastikan
bahwa hanya kopi yang ditanam secara berkelanjutan yang masuk ke dalam rantai suplai
kopi global mereka. Beberapa di antaranya juga bekerjasama dengan WWF untuk
meningkatkan pendapatan petani di areal penyangga taman nasional dengan cara
meningkatkan teknik produksi kopi mereka. Patroli bersama antara masyarakat dan
jagawana setempat dalam menjaga kawasan juga sangat membantu upaya
penyadartahuan masyarakat di desa-desa di sekitar taman nasional. Tujuan dari upaya ini
adalah supaya kawasan di taman nasional yang telah menjadi kebun kopi dapat
direhabilitasi sehingga dapat berfungsi kembali sebagai hutan habitat badak Sumatera.
WWF juga membantu memperkuat upaya-upaya anti-perburuan satwa dilindungi
di TNBBS. Tim patroli terlatih dikenal dengan nama Rhio Protection Unit (RPU) - yang
dikelola oleh mitra LSM Yayasan Badak Indonesia dan International Rhino Foundation
bersama dengan balai TNBBS - dengan dukungan dari WWF - secara regular berpatroli
di areal-areal kunci di TNBBS dan terbukti efektif menstabilkan populasi badak
Sumatera dari perburuan. Sejak tahun 2002, tidak pernah lagi ditemukan kasus perburuan
badak Sumatera di TNBBS.
 Kantong semar (Nepenthes sp.) merupakan salah satu tumbuhan unik kebanggaan
Indonesia. Keunikan Nepenthes berada pada kantongnya. Kantong dari Nepenthes
memiliki ukuran, bentuk dan corak warna yang indah. Kantong tersebut dapat berfungsi
sebagai perangkap bagi beberapa jenis binatang kecil dan serangga yang tertarik pada
kelenjar madu di bawah penutup kantong. Alat penutup kantong letaknya miring dan
memiliki lapisan kelenjar yang sangat licin, sehingga serangga dan binatang kecil lainnya
akan jatuh dan masuk ke dalam kantong yang berisi cairan enzim proteolitik.
Nepenthes termasuk tumbuhan langka yang dilindungi berdasarkan UU No 5 tahun 1990
tentang konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, serta Peraturan
Pemerintah No. 7 tahun 1999 tentang jenis-jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi.
Semua jenis Nephenthes masuk dalam daftar Convention on International Trade in
Endangered Spesies of Flora Fauna (CITES). Berdasarkan kriteria International Union of
Conservation of Nature (IUCN) dan World Conservation Monitoring, Nepenthes
digolongkan sebagai tumbuhan langka.
Potensi ancaman terhadap kelangsungan hidup Nepenthes lebih banyak berasal dari
gangguan manusia. Aktivitas ilegal masyarakat di sekitar habitat alami dapat
mengganggu keberadaan Nepenthes secara tidak langsung, seperti kegiatan penebangan
pohon. Penebangan pohon menyebabkan Nepenthes tertimpa oleh pohon atau tercabut
secara tidak sengaja. Pola pembukaan ladang dengan sistem sonor (dibakar) yang umum
dilakukan masyarakat tradisional juga dapat mengganggu kehidupan Nepenthes di habitat
alaminya. Pembukaan lahan atau konversi hutan dalam skala kecil atau besar dengan cara
tradisional maupun modern yang dilakukan oleh masyarakat dan perusahaan juga
mengancam keberadaan Nepenthes.
Konservasi Nepenthes di Indonesia harus dilakukan.. Keberadaan beberapa spesies
Nepenthes sangat kritis. Sebagai contoh, salah satu spesies endemik Sintang Kalimantan
Barat yang sangat diminati yaitu Nepenthes clipeata. N. clipeata termasuk dalam daftar
merah IUCN 2009, yang bearti kritis atau terancam punah. Para kolektor rela merogoh
saku dalam-dalam demi mendapatkan tumbuhan ini.
Konservasi ex-situ adalah metode konservasi terhadap makhluk hidup yang terancam
punah. Metode ini dilakukan dengan cara melindungi spesies di luar distribusi alami dari
populasi tetuanya. Konservasi secara ex-situ merupakan proses perlindungan spesies
tumbuhan dan hewan langka dengan mengambilnya dari habitat yang tidak aman atau
terancam dan menempatkannya di bawah perlindungan manusia. Perlindungan yang
dilakukan berlandaskan asas ekologi konservasi.
Konservasi ex-situ dilakukan dalam upaya pengawetan spesies di luar kawasan. Upaya
ini dilakukan dengan menjaga dan mengembangbiakan jenis tumbuhan Nepenthes.
Kegiatan konservasi ex-situ dilakukan untuk menghindari adanya kepunahan beberapa
jenis Nepenthes. Hal ini perlu dilakukan mengingat terjadi berbagai tekanan terhadap
populasi maupun habitat Nepenthes di alam.
Kultur jaringan sangat mudah untuk dilakukan. Kita hanya mengambil jaringan
Nepenthes untuk memperbanyak jumlah individunya. Kemungkinan bertahan individu
baru hasil dari kultur jaringan sangat besar, karena sifat anakan yang hampir menyerupai
induknya. Metode kultur jaringan ini memungkinkan satu jenis Nepenthes dapat terhindar
dari kepunahan karena jumlah individunya dapat diperbanyak.
Hasil dari kultur jaringan selanjutnya dapat dikembangkan di arboretum. Arboretum
merupakan salah satu tempat pengembangan konservasi ex-situ konvensional yang dapat
dilakukan. Fasilitas ini menyediakan tempat terlindung dari spesimen Nepenthes langka
dan memiliki nilai pendidikan. Arboretum memberikan informasi bagi masyarakat
mengenai status ancaman pada Nepenthes dan faktor-faktor yang menimbulkan ancaman
kehidupan spesies.
Arboretum dapat dikatakan taman informasi untuk beberapa tumbuhan yang terancam
punah. Arboretum biasanya ditanam berbagai jenis tumbuhan khas dari suatu daerah.
Dengan adanya arboretum, informasi mengenai jenis-jenis Nepenthes mudah untuk
diketahui. Penyebarluasan informasi mengenai Nepenthes kepada masyarakat penting
dijalankan agar mereka mengetahui keberadaan populasi, status jenis, dan status hukum
yang melindungi tumbuhan dari kepunahan. Upaya ini harus disertai dengan disiplin
tinggi dari penerapan hukum bagi ancaman-ancaman yang ada terhadap kelangsungan
hidup Nepenthes.
Metode kultur jaringan merupakan solusi yang dapat dijalankan dalam upaya konservasi
Nepenthes secara ex-situ. Dukungan dari berbagai pihak tentu sangat diperlukan untuk
pengembangan metode tersebut. Dengan upaya konservasi yang berhasil maka para
kolektor tumbuhan hias tetap bisa memenuhi ambisi, masyarakat menikmati keuntungan
secara ekonomi, pemerintah tidak perlu repot mengurusi status kelangkaan, dan
keberadaan Nepenthes tetap terjaga sehingga keseimbangan ekologi bertahan
sebagaimana mestinya..

Anda mungkin juga menyukai