Aliran permukaan dari lahan pertanian mengandung pupuk dantanah yang mampu
menyebabkaneutrofikasi dan pendangkalan sungai
Dampak aktivitas pertanian terhadap lingkungan sifatnya sangat bervariasi dari pencemaran
air, perubahan iklim, hingga pencemaran genetika. Solusi untuk menghindari dampak ini
beragam muali dari penerapan pertanian berkelanjutan hingga kembali ke sistem pertanian
subsisten.
Daftar isi
[sembunyikan]
1Perubahan iklim
2Deforestasi
3Pencemaran genetik
4Irigasi
5Polutan
6Lihat pula
7Referensi
8Pranala luar
Kontroversi dari bahan pangan termodifikasi secara genetika (genetically modified, GM)
melibatkan berbagai pihak dari konsumen, perusahaan bioteknologi, pembuat
kebijakan, organisasi nirlaba, dan ilmuwan. Bidang yang diperdebatkan diantaranya apakah
makanan GM harus diberikan label, peran pemerintah sebagai pembuat kebijakan, dampak
makanan GM pada kesehatan dan lingkungan, efek resistansi pestisida,
dampak tanaman pertanian GM terhadap petani, dan peran tanaman pertanian GM sebagai
penghasil bahan pangan bagi populasi dunia.
Organisme termodifikasi secara genetik juga mengundang risiko terjadinya pencemaran
genetika akibat penyerbukan antara tanaman GM dan tanaman non GM di lokasi pertanian.
Selain itu, benih tanaman GM yang tersebar ke alam liar juga mengundang keresahan serupa.
Fenomena ini disebut dengan kontaminasi benih. Sebagian besar proses penyerbukan terjadi
oleh angin dan serangga yang tidak mampu dikendalikan secara penuh oleh manusia.
Berkurangnya akuifer air tanah secara drastis karena pengambilan air tanah berlebihan
Subsiden tanah karena ruang di antara bebatuan di bawah tanah yang seharusnya diisi
air tanah, menjadi kosong sehingga berpotensi runtuh
Tanah yang tidak diirigasi secara cukup dapat menyebabkan meningkatnya kadar garam
tanah yang mengakibatkan salinisasi tanah. Tanah dengan kadar garam yang tinggi sulit
untuk ditanami kembali.
Irigasi dengan air asin akan menyebabkan tanah rusak
Irigasi berlebihan menyebabkan polusi air karena tercucinya pupuk dan pestisida dari
tanah pertanian ke ekosistem sekitar
Aliran permukaan yang tidak ditata dengan baik mampu menyebabkan pencemaran air
tanah dan air permukaan
4 Votes
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Usaha peternakan mempunyai prospek untuk dikembangkan karena tingginya
permintaan akan produk peternakan. Usaha peternakan juga memberi
keuntungan yang cukup tinggi dan menjadi sumber pendapatan bagi banyak
masyarakat di perdesaaan di Indonesia. Namun demikian, sebagaimana usaha
lainnya, usaha peternakan juga menghasilkan limbah yang dapat menjadi
sumber pencemaran. Oleh karena itu, seiring dengan kebijakan otonomi, maka
pemgembangan usaha peternakan yang dapat meminimalkan limbah
peternakan perlu dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota untuk menjaga
kenyamanan permukiman masyarakatnya. Salah satu upaya kearah itu adalah
dengan memanfaatkan limbah peternakan sehingga dapat memberi nilai tambah
bagi usaha tersebut.
Kebijakan otonomi daerah perlu diantisipasi oleh aparat pemerintah daerah,
khususnya di kabupaten/kota yang menjadi ujung tombak pembangunan,
sehingga kabupaten/kota dapat berbenah diri dalam menggali segala potensi
baik potensi sumber daya alam maupun potensi sumber daya manusia. Dengan
demikian potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia yang ada di
daerah tersebut dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin untuk kepentingan
pembangunan daerah dan kesejahteraan masyarakat.
Kebanyakan masyarakat yang berada di pedesaan semuanya menyatu dengan
kegiatan-kegiatan yang ada kaitannya dengan pertanian secara luas kerena
memang itulah keahlian mereka yang dapat digunakan untuk mempertahankan
kehidupannya. Tidak heran seorang petani selain mengolah sawahnya, mereka
juga memelihara ternak misalnya ternak bebek, ayam kampung atau yang sering
dikenal ayam buras, ada juga yang memelihara domba, kambing, sapi ataupun
kerbau.
Dilain pihak krisis ekonomi yang telah melanda bangsa Indonesia sejak
pertengahan tahun 1997 telah memberikan pelajaran yang sangat berharga bagi
kita semua, dimana betapa rapuhnya pondasi perekonomian yang tidak dilandasi
oleh potensi sumber daya lokal.
Sejauh ini kebijakan pemerintah yang lebih berorentasi pada sistem pertanian
konvensional di mana banyak mengandalkan input produksi seperti pupuk
organik ataupun pestisida dalam jumlah tinggi untuk memacu target produksi.
Dalam kenyataan hal tersebut justru telah memberikan dampak negatif terhadap
ekosistem lahan pertanian yang ada sehingga lambat laun akan menurunkan
produktivitas pertanian dan akibatnya akan berdampak pada pendapatan dan
kesejahteraan petani. Namun pada kenyataannya sektor pertanian ternyata
telah mampu menunjukan ketangguhannya dalam mengahadapi badai krisis.
Negara kita adalah negara agraris, di mana sebagian besar penduduknya
mengandalkan sektor pertanian, namun rata-rata kepemilikan penduduk atas
lahan pertanian kurang dari 0,3 hektar, terutama di pulau Jawa. Dari kondisi
kepemilikan lahan yang sempit ditambah dengan sistem pertanian yang masih
mengandalkan input produksi tinggi menyebabkan petani berada dalam
lingkaran kemiskinan yang tiada putus-putusnya. Petani dengan pendapatan
rendah tidak akan mampu menabung, meningkatkan pendidikan dan
keterampilan apalagi meningkatkan investasinya guna meningkatkan produksi.
Dalam keterbatasan yang dilematis tersebut diperlukan jalan keluar yang
bijaksana dengan membangun paradigma baru, yaitu sistem pertanian yang
berwawasan ekologis, ekonomis dan berkesinambungan, ini sering juga disebut
sustainable mix farming atau mix farming.
Sistem mix-Farming, ini diarahkan pada upaya memperpanjang siklus biologis
dengan mengoptimalkan pemanfaatan hasil samping pertanian dan peternakan
atau hasil ikutannya, dimana setiap mata rantai siklus menghasilkan produk baru
yang memiliki nilai ekonomi tinggi, sehingga dengan sistem ini diharapkan
pemberdayaan dan pemanfaatan lahan marginal di seluruh daerah
(kabupaten/kota) dapat lebih dioptimalkan. Hal tersebut dimaksudkan untuk
mendukung kebijakan pemerintah dalam hal kecukupan pangan dengan cara
mengembangkan sistem pertanian yang terintegrasi misalnya tanaman pangan
pakan dan ternak, juga dapat memanfaatkan hasil samping atau hasil ikutan
peternakan seperti kompos (manure), dimana dapat digunakan sebagai bahan
baku pupuk organik dan limbah pertaniannya dapat dipakai sebagai pakan
ternak.
Sehubungan hal tersebut di atas konsep pertanian masa depan harus
dirumuskan secara komprehenship, dimana dapat mengantisipasi berbagai
tantangan, seperti pasar global dan otonomi daerah, salah satu model yang
dapat mengantisipasi tantangan pasar global adalah pengembangan sistem
pertanian yang berkelanjutan (sustainable mixed farming) dengan berbagai
industri peternakan. Bagi masyarakat pedesaan ternak-ternak seperti kerbau,
sapi potong, sapi perah, kambing, domba, itik, bebek ataupun ayam buras
memilki peranan strategis karena ternak-ternak tersebut dapat digunakan
sebagai tabungan hidup, sumber tenaga kerja bagi ternak kerbau dan sapi
potong. Ternak juga dapat dipakai sebagai penghasil pupuk organik dimana
sangat baik untuk meningkatkan produksi pertanian, selain itu ternak juga dapat
dijadikan dalam meningkatkan status sosial.
Dalam presfektif ekonomi makro, peternakan merupakan sumber pangan yang
berkualitas, misalnya daging ataupun susu merupakan bahan baku industri
pengolahan pangan, di mana dapat menghasilkan abon, dendeng, bakso, sosis,
keju, mentega ataupun krim dan juga dapat menghasilkan kerajinan-kerajinan
kulit tanduk ataupun tulang. Jadi dari semua kegiatan-kegiatan yang ada
kaitannya dengan pertanian dan peternakan dapat menciptakan lapangan kerja.
Pembangunan pertanian dalam konteks otonomi daerah yang disesuaikan
dengan permintaan pasar global sehingga pengembangan sistem pertanian
terpadu sangatlah menjanjikan, meskipun tetap harus memperhatikan aspek
agro ekosistem wilayah dan sosio kultur masyarakatnya (Sofyadi, 2005).
Selama ini banyak keluhan masyarakat akan dampak buruk dari kegiatan usaha
peternakan karena sebagian besar peternak mengabaikan penanganan limbah
dari usahanya, bahkan ada yang membuang limbah usahanya ke sungai,
sehingga terjadi pencemaran lingkungan. Limbah peternakan yang dihasilkan
oleh aktivitas peternakan seperti feces, urin, sisa pakan, serta air dari
pembersihan ternak dan kandang menimbulkan pencemaran yang memicu
protes dari warga sekitar. Baik berupa bau tidak enak yang menyengat, sampai
keluhan gatal-gatal ketika mandi di sungai yang tercemar limbah peternakan.
Berkenaan dengan hal tersebut, maka upaya mengatasi limbah ternak yang
selama ini dianggap mengganggu karena menjadi sumber pencemaran
lingkungan perlu ditangani dengan cara yang tepat sehingga dapat memberi
manfaat lain berupa keuntungan ekonomis dari penanganan tersebut.
Penanganan limbah ini diperlukan bukan saja karena tuntutan akan lingkungan
yang nyaman tetapi juga karena pengembangan peternakan mutlak
memperhatikan kualitas lingkungan, sehingga keberadaannya tidak menjadi
masalah bagi masyarakat di sekitarnya.
1.2. Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk menelaah lebih jauh tentang
pencemaran yang diakibatkan oleh limbah usaha peternakan serta upaya
penanganan yang dapat dilakukan untuk mengatasinya.
1.3. Metode Penulisan
Penulisan dilakukan secara diskriptif dengan mengambil bahan dari pustakan
maupun dari sumber lain yang berkaitan dengan judul makalah.
II. LIMBAH TERNAK
2.1. Jenis Limbah Usaha Peternakan
Limbah ternak adalah sisa buangan dari suatu kegiatan usaha peternakan
seperti usaha pemeliharaan ternak, rumah potong hewan, pengolahan produk
ternak, dan sebagainya. Limbah tersebut meliputi limbah padat dan limbah cair
seperti feses, urine, sisa makanan, embrio, kulit telur, lemak, darah, bulu, kuku,
tulang, tanduk, isi rumen, dan lain-lain (Sihombing, 2000). Semakin
berkembangnya usaha peternakan, limbah yang dihasilkan semakin meningkat.
Total limbah yang dihasilkan peternakan tergantung dari species ternak, besar
usaha, tipe usaha dan lantai kandang. Kotoran sapi yang terdiri dari feces dan
urine merupakan limbah ternak yang terbanyak dihasilkan dan sebagian besar
manure dihasilkan oleh ternak ruminansia seperti sapi, kerbau kambing, dan
domba. Umumnya setiap kilogram susu yang dihasilkan ternak perah
menghasilkan 2 kg limbah padat (feses), dan setiap kilogram daging sapi
menghasilkan 25 kg feses (Sihombing, 2000).
Menurut Soehadji (1992), limbah peternakan meliputi semua kotoran yang
dihasilkan dari suatu kegiatan usaha peternakan baik berupa limbah padat dan
cairan, gas, maupun sisa pakan. Limbah padat merupakan semua limbah yang
berbentuk padatan atau dalam fase padat (kotoran ternak, ternak yang mati,
atau isi perut dari pemotongan ternak). Limbah cair adalah semua limbah yang
berbentuk cairan atau dalam fase cairan (air seni atau urine, air dari pencucian
alat-alat). Sedangkan limbah gas adalah semua limbah berbentuk gas atau
dalam fase gas.
Pencemaran karena gas metan menyebabkan bau yang tidak enak bagi
lingkungan sekitar. Gas metan (CH4) berasal dari proses pencernaan ternak
ruminansia. Gas metan ini adalah salah satu gas yang bertanggung jawab
terhadap pemanasan global dan perusakan ozon, dengan laju 1 % per tahun dan
terus meningkat. Apppalagi di Indonesia, emisi metan per unit pakan atau laju
konversi metan lebih besar karena kualitas hijauan pakan yang diberikan rendah.
Semakin tinggi jumlah pemberian pakan kualitas rendah, semakin tinggi produksi
metan (Suryahadi dkk., 2002).
2.2. Dampak Limbah Peternakan
Limbah ternak masih mengandung nutrisi atau zat padat yang potensial untuk
mendorong kehidupan jasad renik yang dapat menimbulkan pencemaran. Suatu
studi mengenai pencemaran air oleh limbah peternakan melaporkan bahwa total
sapi dengan berat badannya 5.000 kg selama satu hari, produksi manurenya
dapat mencemari 9.084 x 10 7 m3 air. Selain melalui air, limbah peternakan
sering mencemari lingkungan secara biologis yaitu sebagai media untuk
berkembang biaknya lalat. Kandungan air manure antara 27-86 % merupakan
media yang paling baik untuk pertumbuhan dan perkembangan larva lalat,
sementara kandungan air manure 65-85 % merupakan media yang optimal
untuk bertelur lalat.
Kehadiran limbah ternak dalam keadaan keringpun dapat menimbulkan
pencemaran yaitu dengan menimbulkan debu. Pencemaran udara di lingkungan
penggemukan sapi yang paling hebat ialah sekitar pukul 18.00, kandungan debu
pada saat tersebut lebih dari 6000 mg/m3, jadi sudah melewati ambang batas
yang dapat ditolelir untuk kesegaran udara di lingkungan (3000 mg/m3)
Salah satu akibat dari pencemaran air oleh limbah ternak ruminansia ialah
meningkatnya kadar nitrogen. Senyawa nitrogen sebagai polutan mempunyai
efek polusi yang spesifik, dimana kehadirannya dapat menimbulkan konsekuensi
penurunan kualitas perairan sebagai akibat terjadinya proses eutrofikasi,
penurunan konsentrasi oksigen terlarut sebagai hasil proses nitrifikasi yang
terjadi di dalam air yang dapat mengakibatkan terganggunya kehidupan biota air
(Farida, 1978).
Hasil penelitian dari limbah cair Rumah Pemotongan Hewan Cakung, Jakarta
yang dialirkan ke sungai Buaran mengakibatkan kualitas air menurun, yang
disebabkan oleh kandungan sulfida dan amoniak bebas di atas kadar maksimum
kriteria kualitas air. Selain itu adanya Salmonella spp. yang membahayakan
kesehatan manusia.
Tinja dan urine dari hewan yang tertular dapat sebagai sarana penularan
penyakit, misalnya saja penyakit anthrax melalui kulit manusia yang terluka atau
tergores. Spora anthrax dapat tersebar melalui darah atau daging yang belum
dimasak yang mengandung spora. Kasus anthrax sporadik pernah terjadi di
Bogor tahun 2001 dan juga pernah menyerang Sumba Timur tahun 1980 dan
burung unta di Purwakarta tahun 2000 (Soeharsono, 2002).
III. PENANGANAN LIMBAH PETERNAKAN
Limbah peternakan dapat dimanfaatkan untuk berbagai kebutuhan, apalagi
limbah tersebut dapat diperbaharui (renewable) selama ada ternak. Limbah
ternak masih mengandung nutrisi atau zat padat yang potensial untuk
dimanfaatkan. Limbah ternak kaya akan nutrient (zat makanan) seperti protein,
lemak, bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN), vitamin, mineral, mikroba atau
biota, dan zat-zat yang lain (unidentified subtances). Limbah ternak dapat
dimanfaatkan untuk bahan makanan ternak, pupuk organik, energi dan media
pelbagai tujuan (Sihombing, 2002).
3.1. Pemanfaatan Untuk Pakan dan Media Cacing Tanah
Sebagai pakan ternak, limbah ternak kaya akan nutrien seperti protein, lemak
BETN, vitamin, mineral, mikroba dan zat lainnya. Ternak membutuhkan sekitar
46 zat makanan esensial agar dapat hidup sehat. Limbah feses mengandung 77
zat atau senyawa, namun didalamnya terdapat senyawa toksik untuk ternak.
Untuk itu pemanfaatan limbah ternak sebagai makanan ternak memerlukan
pengolahan lebih lanjut. Tinja ruminansia juga telah banyak diteliti sebagai
bahan pakan termasuk penelitian limbah ternak yang difermentasi secara
anaerob.
Penggunaan feses sapi untuk media hidupnya cacing tanah, telah diteliti
menghasilkan biomassa tertinggi dibandingkan campuran feces yang ditambah
bahan organik lain, seperti feses 50% + jerami padi 50%, feses 50% + limbah
organik pasar 50%, maupun feses 50% + isi rumen 50% (Farida, 2000).
3.2. Pemanfaatan Sebagai Pupuk Organik
Pemanfaatan limbah usaha peternakan terutama kotoran ternak sebagai pupuk
organik dapat dilakukan melalui pemanfaatan kotoran tersebut sebagai pupuk
organik. Penggunaan pupuk kandang (manure) selain dapat meningkatkan unsur
hara pada tanah juga dapat meningkatkan aktivitas mikrobiologi tanah dan
memperbaiki struktur tanah tersebut.
Kotoran ternak dapat juga dicampur dengan bahan organik lain untuk
mempercepat proses pengomposan serta untuk meningkatkan kualitas kompos
tersebut .
3.3. Pemanfaatan Untuk Gasbio
Permasalahan limbah ternak, khususnya manure dapat diatasi dengan
memanfaatkan menjadi bahan yang memiliki nilai yang lebih tinggi. Salah satu
bentuk pengolahan yang dapat dilakukan adalah menggunakan limbah tersebut
sebagai bahan masukan untuk menghasilkan bahan bakar gasbio. Kotoran ternak
ruminansia sangat baik untuk digunakan sebagai bahan dasar pembuatan
biogas. Ternak ruminansia mempunyai sistem pencernaan khusus yang
menggunakan mikroorganisme dalam sistem pencernaannya yang berfungsi
untuk mencerna selulosa dan lignin dari rumput atau hijauan berserat tinggi.
Oleh karena itu pada tinja ternak ruminansia, khususnya sapi mempunyai
kandungan selulosa yang cukup tinggi. Berdasarkan hasil analisis diperoleh
bahwa tinja sapi mengandung 22.59% sellulosa, 18.32% hemi-sellulosa, 10.20%
lignin, 34.72% total karbon organik, 1.26% total nitrogen, 27.56:1 ratio C:N,
0.73% P, dan 0.68% K .
Gasbio adalah campuran beberapa gas, tergolong bahan bakar gas yang
merupakan hasil fermentasi dari bahan organik dalam kondisi anaerob, dan gas
yang dominan adalah gas metan (CH4) dan gas karbondioksida (CO2)
(Simamora, 1989). Gasbio memiliki nilai kalor yang cukup tinggi, yaitu kisaran
4800-6700 kkal/m3, untuk gas metan murni (100 %) mempunyai nilai kalor 8900
kkal/m3. Produksi gasbio sebanyak 1275-4318 I dapat digunakan untuk
memasak, penerangan, menyeterika dan mejalankan lemari es untuk keluarga
yang berjumlah lima orang per hari.
Pembentukan gasbio dilakukan oleh mikroba pada situasi anaerob, yang meliputi
tiga tahap, yaitu tahap hidrolisis, tahap pengasaman, dan tahap metanogenik.
Pada tahap hidrolisis terjadi pelarutan bahan-bahan organik mudah larut dan
pencernaan bahan organik yang komplek menjadi sederhana, perubahan
struktur bentuk primer menjadi bentuk monomer. Pada tahap pengasaman
komponen monomer (gula sederhana) yang terbentuk pada tahap hidrolisis akan
menjadi bahan makanan bagi bakteri pembentuk asam. Produk akhir dari gula-
gula sederhana pada tahap ini akan dihasilkan asam asetat, propionat, format,
laktat, alkohol, dan sedikit butirat, gas karbondioksida, hidrogen dan amoniak.
Model pemroses gas bio yang banyak digunakan adalah model yang dikenal
sebagai fixed-dome. Model ini banyak digunakan karena usia pakainya yang
lama dan daya tampungnya yang cukup besar. Meskipun biaya pembuatannya
memerlukan biaya yang cukup besar.
Untuk mengatasi mahalnya pembangunan pemroses biogas dengan model
feixed-dome, tersebut sebuah perusahaan di Jawa Tengah bekerja sama dengan
Balai Pengkajian dan Penerapan Teknolgi Ungaran mengembangkan model yang
lebih kecil untuk 4-5 ekor ternak, yang siap pakai, dan lebih murah karena
berbahan plastic yang dipendam di dalam tanah.
Di perdesaan, gasbio dapat digunakan untuk keperluan penerangan dan
memasak sehingga dapat mengurangi ketergantungan kepada minyak tanah
ataupun listrik dan kayu bakar. Bahkan jika dimodifikasi dengan peralatan yang
memadai, biogas juga dapat untuk menggerakkan mesin.
3.4. Pemanfaatan Lainnya
Selain dimanfaatkan untuk pupuk, bahan pakan, atau gasbio, kotoran ternak juga
dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar dengan mengubahnya menjadi briket
dan kemudian dijemur/dikeringkan. Briket ini telah dipraktekkan di India dan
dapat mengurangi kebutuhan akan kayu bakar.
Pemanfaatan lain adalah penggunaan urin dari ternak untuk campuran dalam
pembuatan pupuk cair maupun penggunaan lainnya.
IV. KESIMPULAN
1. Limbah usaha peternakan berpeluang mencemari lingkungan jika tidak
dimanfaatkan. Namun memperhatikan komposisinya, kotoran ternak masih
dapat dimanfaatkan sebagai bahan pakan, media pertumbuhan cacing, pupuk
organik, gas bio, dan briket energi.
2. Pemanfaatan limbah ternak akan mengurangi tingkat pencemaran lingkungan
baik pencemaran air, tanah, maupun udara. Pemanfaatan tersebut juga
menghasilkan nilai tambah yang bernilai ekonomis.
DAFTAR PUSTAKA
Farida E. 2000. Pengaruh Penggunaan Feses Sapi dan Campuran Limbah Organik
Lain Sebagai Pakan atau Media Produksi Kokon dan Biomassa Cacing Tanah
Eisenia foetida savigry. Skripsi Jurusan Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak. IPB,
Bogor.
Sofyadi Cahyan, 2003. Konsep Pembangunan Pertanian dan Peternakan Masa
Depan. Badan Litbang Departemen Pertanian. Bogor.
Sihombing D T H. 2000. Teknik Pengelolaan Limbah Kegiatan/Usaha Peternakan.
Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Lembaga Penelitian, Institut Pertanian Bogor
Soehadji, 1992. Kebijakan Pemerintah dalam Industri Peternakan dan
Penanganan Limbah Peternakan. Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen
Pertanian. Jakarta.
Widodo, Asari, dan Unadi, 2005. Pemanfaatan Energi Biogas Untuk Mendukung
Agribisnis Di Pedesaan. Publikasi Balai Besar Pengembangan Mekanisasi
Pertanian Serpong.
Soeharsono, 2002. Anthrax Sporadik, Tak Perlu Panik. Dalam kompas, 12
September 2002, http://www.kompas.com/kompas-
cetak/0209/12/iptek/anth29.htm
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah penulis uraikan
dari BAB 1 BAB 2 ada
beberapa kesimpulan
yaitu :
1. Bahwa
boleh
apalagi
Untuk
peranannya
diharapkan
menymbang
energi
2. kita
membuang
disekitar
lingkungan. tidak
peternak,
untuklimbah
sumber
alternative
seharusnya
dan
3. Pihak
pedesaan
untuk puskesmas
meneliti lebih
sekitar
menuju peka
lingkungan
Indonesia
sehat yang berawal dari
lingkungan.
pedesaan
Peranan
tatasangat
dibutuhkan,
untuk
lingkungan
4.
yang lebih aparatur
letak
karena
baik.
B. Saran
Untuk para peternak
diharapkan bisa
meminimalisisr limbah
peternakan yang berada
di daerah lingkungan
masyarakat. Minimalisir
sekecil mungkin akibat
limbah tersebut
agar tidak ada pihak
yang dirugikan.
Terhadap
7 Makalah
Oleh Lingkungan
Dampak
Dwi Nur Peternakan
Halimah XII IPA 5
Daftar Pustaka
-
kimhyahya.blogspot.co
m/2013/05/karya-ilmiah-
b-indonesia-kelas-
9.html!?m=1
8
Terhadap
Makalah
Oleh Lingkungan
Dampak
Dwi Nur Peternakan
Halimah XII IPA 5
of 8
MAKALAH DAMPAK PETERNAKAN TERHADAP LINGKUNGAN
by ninik-idayanti
Report
Category:
DOCUMENTS
Download: 16
Comment: 0
317
views
Comments
Description
Transcript
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Pencemaran lingkungan adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat
energi, dan atau komponen lain ke dalam lngkungan atau berubahnya tatanan lingkungan oleh
kegiatan manusia atau oleh proses alam sehingga kualitas lingkungan turun sampai ke tingkat
tertentu yang menyebabkan lingkungan menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai
dengan peruntukannya
Pencemaran dapat timbul sebagai akibat kegiatan manusia ataupun disebabkan oleh
alam (misal gunung meletus, gas beracun akibat penggunaan pestisida dalam pertanian). Ilmu
lingkungan biasanya membahas pencemaran yang disebabkan perbuatan manusia yang sulit
untuk dicegah, Pencemaran lingkungan tersebut tidak dapat dihindari, Yang dapat dilakukan
adalah mengurangi pencemaran, mengendalikan pencemaran, dan meningkatkan kesadaran
dan kepedulian masyarakat terhadap lingkungannya agar tidak mencemari lingkungan
terkhusus dalam sektor pertanian.
4.1 Simpulan
Demikianlah salah satu dampak dari kegiatan pertanaian yang tidak secara
berkesinambungan dan bertanggung jawab.Sebaliknya bila kegiatan pertanian dilakukan
secara berkesinambungan dan bertanggung jaeab,maka penggunaan lahan pertanian pun akan
semakin lama dan panjang.Tingkat kesuburan tanah bisa dipertahankan lebih lama karena
tidak tergrogoti dengan pengaruh atau dampak penggunan berbagai macam yang
mengandung komponen kimia.Namun sekali lagi hal ini harus dilakukan serentak dan
menjadi tanggung jawab bersama.
http://kuliaharsitekturlanskap.blogspot.co.id/2015/04/agronomi.html