Anda di halaman 1dari 9

POTENSI DAN PEMANFAATAN LAHAN GAMBUT UNTUK

PERTANIAN DI KALIMANTAN TENGAH

A. PENDAHULUAN
Hutan gambut di Kalimantan Tengah mengalami degradasi
(kemerosotan) akibat kegiatan yang kurang bahkan tidak berwawasan
lingkungan, salah satunya seperti pembakaran untuk tujuan membuka
lahan, mengancam keanekaragaman hayati di daerah itu. Degradasi yang
terjadi pada hutan gambut berdampak pada risiko hilangnya
keanekaragaman hayati di kawasan tersebut. Lahan gambut merupakan
lahan yang rapuh, sehingga setiap bentuk pengelolaan lahan akan
menimbulkan dampak baru yang berpengaruh terhadap komponen-
komponen di dalamnya.
Untuk menjaga dan memelihara hutan gambut dari degradasi yang
semakin meningkat, diperlukan aksi konservasi maupun restorasi di semua
tingkatan mulai dari lokal, nasional hingga internasional. Namun, kegiatan
konservasi maupun restorasi tidak akan berjalan maksimal jika tidak
didukung dengan penelitian dan kerjasama multi pihak dan pendanaan
yang memadai. Lahan gambut tropis berperan penting dalam sistem biosfir
dan berpengaruh besar pada keseimbangan iklim dunia. Salah satu hutan
gambut terbesar di Indonesia, yakni hutan rawa gambut di Sebangau.
Hutan rawa ini merupakan kawasan hutan gambut tropik yang luas
dengan keanekaragaman hayati yang tinggi dan unik serta memiliki ciri
tertentu. Beberapa jenis flora dan fauna endemik tidak ditemukan pada
habitat lain serta tercatat sebagai pendukung populasi kekayaan dunia flora
dan fauna yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Flora dan fauna itu seperti,
ramin (gonystylus bancanus), jelutung rawa (dyera costulata) serta satwa
dilindungi seperti orang utan, bekantan, owa serta beberapa jenis burung
langka (Hooijer, A., Silvius, M., Wösten, H. & Page, 2006).
Badan Restorasi Gambut segera melakukan restorasi lahan gambut
seluas 679.573 hektare di Kalimantan Tengah. Restorasi yang akan
dilakukan dalam kurun lima tahun itu diutamakan di daerah yang tingkat
kerusakan lahan gambutnya paling parah, seperti Kabupaten Pulang Pisau.
Kalimantan Tengah merupakan satu dari tujuh provinsi di Indonesia yang
mendapat prioritas pemulihan fungsi hidrologis gambutnya. Pemulihan
atau restorasi itu dilakukan selama kurun waktu 2016-2020.
Berdasarkan data Badan Restorasi Gambut, dari total 2.681.441
hektare lahan gambut yang akan direstorasi, selain Kalimantan Tengah,
yang terluas adalah Sumatera Selatan, yakni 1.972.749 hektare dan Riau
938.485 hektare. Ada pula di Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat,
Jambi, dan Papua. Kegiatan awal akan dilakukan sosialisasi di Pulang
Pisau, terutama pertemuan dengan masyarakat Desa Garung, Kecamatan
Jabiren Raya. Bersamaan dengan restorasi lahan gambut di Pulang Pisau,
Kalimantan Tengah. Pada tahun 2016 juga dilakukan restorasi di
Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau; serta Kabupaten Ogan Komering Ilir
dan Musi Banyu Asin, Sumatera Selatan.
Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah juga merancang
pemulihan ekosistem gambut agar bisa masuk dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah. Lahan gambut adalah bentangan
lahan yang tersusun dari dekomposisi tidak sempurna dari vegetasi
pepohonan yang tergenang air sehingga kondisinya anaerobic. Sebagian
besar lahan gambut masih berupa hutan yang menjadi habitat tumbuhan
dan satwa langka.
Ekosistem gambut sangat unik dan memiliki fungsi hidrologis
yang sangat penting. Apabila lahan gambut dibuka dan didrainase tanpa
aturan yang bijaksana akan menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan,
diantaranya terjadi subsiden (penurunan muka tanah), kebakaran, emisi
CO2, hilangnya biodiversitas dan banjir. Permasalahan sosial juga kerap
terjadi seperti konflik antara masyarakat dengan pelaku industri yang
biasanya berhubungan dengan status lahan (Abdulrachman, 2013).
Pemerintah sudah memberi perhatian serius pada upaya untuk
mencegah terjadi kerusakan gambut, diantaranya dengan mengeluarkan
Instruksi Presiden (Inpres) tentang Penundaan Izin Baru Pembukaan Hutan
Alami dan Lahan Gambut melalui Inpres No. 10/2011, yang diperbaharui
dengan Inpres No. 6/2013 dan Inpres No. 8/2015 yang berlaku hingga
tahun 2017. Selain itu, pemerintah juga telah mengesahkan Perpres No.
71/2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut.
Namun hingga kini peraturan tersebut masih terhambat oleh polemik yang
terjadi diantara para pemangku kepentingan. Hal ini menjadi kendala
dalam pelaksanaannya di lapangan. Permasalahan pemanfaatan lahan
gambut masih terus berlangsung. Untuk itu masih perlu dilakukan kajian
tentang pengelolaan gambut sebagai lahan budidaya tanaman pangan dan
sayuran yang berkelanjutan dengan memperhatikan kondisi lingkungan
yang sesuai bagi tanaman tersebut dan tata kelola yang tidak menimbulkan
kerusakan gambut. Hal ini dirasa sangat penting agar upaya mewujudkan
Ketahanan Pangan Indonesia dapat terwujud tanpa merusak ekosistem
gambut (Paiman, 2017).
B. ISI
Tanah gambut memiliki kemampuan menyimpan air hingga hingga
13 kali dari bobotnya. Tanah gambut ini banyak dijumpai di daerah-
daerah jenuh air seperti rawa, cekungan atau tepi pantai. Tanah gambut
terdiri dari sisa-sisa pohon, rerumputan, lumut dan binatang yang telah
mati. Tanah gambut biasanya terbentuk di lingkungan yang basah. Proses
dekomposisi di tanah gambut terhambat karena kondisi anaerob yang
menyebabkan sedikitnya jumlah organisme pengurai.
Sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk dan permintaan
terhadap produk pertanian maka kebutuhan akan perluasan lahan pertanian
juga meningkat. Lahan gambut yang dulunya dianggap sebagai lahan
marjinal, sekarang malah menjadi salah satu perluasan lahan pertanian.
Indonesia memiliki luas lahan gambut 14,91 juta hektar yang tersebar di
Sumatera seluas 6,44 juta hektar (43%), Kalimantan seluas 4,78 juta
hektar (32%) dan Papua seluas 3,9 juta hektar (25%).
Menurut UU No. 26 Tahun 2007 ada lima faktor yang harus
dipertimbangkan dalam pemanfaatan lahan gambut mulai dari sisi
ekonomi, sosial dan lingkungan. Cara mengolah tanah gambut menjadi
lahan pertanian yang baik dan benar adalah dengan mematuhi semua
kebijakan-kebijakan dari pemerintah, selalu menjaga kelestarian
lingkungan dan tanah. Berikut tata cara pengolahan lahan gambut menjadi
lahan pertanian (Afni, 2017):
1. Lakukan Pembakaran Lahan Dengan Benar
Ternyata dengan membakar lahan maka abu hasil
pembakaran akan sangat membantu menurunkan keasaman tanah
dan dapat menyuburkan tanah. Tidak semua lahan gambut bisa
dibakar, ada kriteria tertentu tanah gambut yang bisa dibakar. Jika
salah membakar lahan gambut akan berakibat sangat fatal mulai dari
pencemaran udara, asap dan tentunya akan berpengaruh terhadap
kesehatan manusia.
2. Membuat Saluran Air
Membuat saluran air salah satunya adalah dengan membuat
irigasi, drainase serta menggenangi lahan dengan air secara benar.
3. Memberikan Pupuk
Pemberian pupuk pada tanah gambut sangat penting sekali,
karena lahan gambut minim unsur hara. Dengan memberikan pupuk
yang tepat akan membuat lahan gambut menjadi subur.
Pemerintah memanfaatkan lahan gambut di sejumlah provinsi
Indonesia untuk budi daya, mulai dari pertanian, perikanan dan
peternakan. Lahan gambut dalam pertanian biasanya digunakan untuk budi
daya kelapa sawit, padi, nanas, lidah buaya, jelutung rawa, punak, resak,
kapur naga, gaharu, sagu, karet, kelapa, bawang (termasuk bawang
merah), cabai, jagung, bunga kol, pare dan akasia.
Jika ingin menanam tanaman pada lahan gambut, sebaiknya perlu
diperhatikan jenis gambutnya, apakah dangkal atau dalam. Biasanya Dinas
Pertanian Propinsi atau Kabupaten sudah mempunyai sejumlah hasil riset
tanaman apa yang paling bernilai ekonomis di lahan gambut di daerahnya.
Namun apapun yang mau ditanam di lahan gambut, tidak ada salahnya
mempertimbangkan juga tanaman yang sesuai letak ketinggiannya,
karakteristik tanahnya dan pilihan tanaman yang sesuai dengan
karakteristik lahan gambut.
Pemanfaatan lahan gambut untuk usaha pertanian, didahului
dengan tindakan reklamasi, dilakukan dengan pembuatan saluran drainase
untuk membuang air berlebih sehingga tercipta lingkungan tanah yang
cocok untuk tanaman tertentu. Tetapi jika tidak terkontrol dengan baik
lahan gambut bisa berakibat kekeringan (over drained) inilah awal dari
kerusakan lahan gambut yang berakibat kekeringan besar pada lahan
pertanian kering tersebut.
Lahan gambut tropis memiliki sifat fisik dan kimia yang sangat
beragam. Karakteristiknya sangat ditentukan oleh ketebalan gambut,
substratum, tanah mineral yang ada di bawahnya, kematangannya, dan ada
atau tidak pengayaan yang berasal dari luapan sungai yang ada di
sekitarnya. Karakteristik lahan gambut biasanya dijadikan acuan dalam
pemanfaatannya untuk mencapai produktivitas yang tinggi dan
berkelanjutan. Sesuai dengan Keppres No. 32/1990 tentang pengelolaan
kawasan lindung, gambut dengan ketebalan >3 m diperuntukkan sebagai
kawasan konservasi. Hal ini disebabkan semakin tebal lapisan gambut,
maka gambut tersebut akan semakin rapuh (fragile). Gambut dengan
kedalaman <3 m dapat dimanfaatkan untuk pertanian dengan syarat
lapisan mineral yang ada di bawah gambut bukan pasir kuarsa atau liat
berpirit, dan tingkat kematangan gambut bukan fibrik. Departemen
Pertanian merekomendasikan bahwa gambut yang dapat digunakan untuk
tanaman pangan dan hortikultura adalah gambut dangkal (<100 cm) dan
gambut yang direkomendasikan untuk tanaman tahunan adalah gambut
yang memiliki ketebalan 2–3 m (Sabiham, Wahyunto, Nugroho, Subiksa,
& Sukarman, 2009). Hal ini karena gambut dangkal memiliki tingkat
kesuburan relatif lebih tinggi dan risiko lingkungan lebih rendah
dibandingkan gambut dalam (Subiksa, Hartatik, & Fahmuddin, 2011).
Pembuatan saluran drainase atau kanal-kanal yang melintasi
lapisan gambut tebal, akan berdampak negatif dalam jangka panjang.
Contoh nyata adalah Proyek Lahan Gambut Sejuta Hektar yang dibangun
pada tahun 1996, dengan program kanalisasi dan mencincang habis
hamparan gambut diantara sungai besar Sabangau, Kahayan, Kapuas dan
Barito. Kondisi ini berakibat pada perubahan drastis neraca air pada daerah
aliran sungai (DAS) tersebut, sehingga kawasan eks Proyek Lahan Gambut
Sejuta Hektar menjadi penghasil asap terbesar di Kalimantan Tengah.
Ditambah lagi, akibat hal tersebut ternyata terjadi perubahan ekosistem di
area tersebut yang menyebabkan usaha tradisional yang sudah ditekuni
petani secara turun-temurun sebagai sumber pendapatan menjadi
terganggu akibat produktivitas lahannya mengalami penurunan hingga
tidak dapat diusahakan lagi (Suwido & Limin, 2006).
Lahan gambut dapat dijadikan sebagai lahan budidaya. Ada
beberapa hal yang harus mendapatkan perhatian agar kegiatan budidaya di
lahan gambut dapat memberikan hasil yang maksimal tanpa merusak
gambutnya, yakni: (1) gambut harus senantiasa tertutup vegetasi, (2)
persiapan pembukaan lahan diupayakan tanpa bakar, dan (3) pengaturan
pola tanam dengan menyesuaikan penempatan tanaman sesuai toleransinya
terhadap kelebihan air.
Pengembangan lahan gambut untuk tanaman pangan dan sayuran
harus memperhatikan komoditas tanaman yang akan dibudidayakan. Hal
ini sangat penting untuk mendapatkan produktivitas tanaman yang tinggi.
Pemilihan komoditas disesuaikan dengan daya adaptasi tanaman terhadap
karakteristik lahan gambut yang akan digunakan sebagai media tanam,
nilai ekonomi, kemampuan modal, keterampilan, dan skala usaha. Berikut
adalah hal-hal yang harus diperhatikan dalam memanfaatkan lahan gambut
sebagai lahan budidaya tanaman pangan dan sayuran.
Tanaman pangan memerlukan drainase dangkal (sekitar 20–30 cm).
Tanaman padi tidak memerlukan drainase, tetapi tetap memerlukan
sirkulasi air. Usahatani padi pada lahan gambut dapat ditata dengan sistem
surjan yang merupakan teknologi kearifan lokal yang sudah turun menurun
dan ramah lingkungan. Bagian tabukan surjan (sunken bed atau bagian
sawahnya) ditanami padi dengan pola tanam padi-padi atau padi-bera,
sedangkan bagian guludannya (raised bed atau bagian lahan keringnya)
ditanami palawija/hortikultura.
C. PENUTUP
Lahan gambut adalah ekosistem marginal dan fragile, sehingga
dalam pemanfaatannya harus didasarkan atas penelitian dan perencanaan
yang matang, baik dari segi teknis, sosial ekonomis maupun analisis
dampak lingkungannya. Dari sudut pandang ekonomis kita harus bisa
menghitung untuk bisa mengelola lahan gambut karena perlu biaya yang
cukup besar untuk pembukaan lahan. Karena jika lahan perkebunan yang
luas otomatis kita menggunakan alat berat untuk pembukaan irigasinya.
Kalau di tinjau dari segi teknis pengelolaan tidak sulit karena hanya
berdasarkan mekanisasi pertanian.
Lahan gambut adalah lahan dengan kondisi anaerob atau kondisi
lahan yang tergenang air. Lahan gambut banyak mengandung serasah dan
kaya akan bahan organik tapi belum terdekomposisi secara sempurna.
Gambut berpotensi untuk dikelola menjadi lahan budidaya tanaman
pangan dan sayuran. Pengelolaan gambut sebagai lahan budidaya secara
berkelanjutan dapat dilakukan dengan: (1) menjaga agar gambut tetap
lembab, (2) penggunaan bahan amelioran, (3) mengatur pola tanam, (4)
menjaga agar gambut tetap tertutup dengan menggunakan tanaman
penutup, dan (5) menggunakan jenis tanaman yang toleran dengan kondisi
gambut. Pemanfataan gambut sebagai lahan budidaya tanaman pangan
atau sayuran dapat dilakukan dengan sistem surjan, bagian guludan
ditanami tanaman yang tidak toleran dengan kelebihan air misalnya jeruk
dan bagian lembah ditanam dengan tanaman yang toleran dengan
kelebihan air misalnya padi.
Pengaturan pola tanam harus disesuaikan dengan kondisi gambut.
Agar budidaya tanaman pangan dan sayuran dapat dilakukan secara
berkelanjutan, maka jenis tanaman yang ditanam adalah tanaman yang
mampu beradaptasi dengan kondisi gambut. Bukan sebaliknya, gambut
dipaksa mengikuti keinginan hati yang menggunakan lahan. Pengelolaan
gambut harus berorientasi pada upaya tetap menjaga ekosistem alami
gambut.
Ekosistem gambut dapat dipelihara dengan cara mempertahankan
kelembaban gambut. Gambut jangan diberikan perlakuan yang
membuatnya mengalami kekeringan karena dapat berdampak pada
terjadinya emisi Gas Rumah Kaca, gambut menjadi hidrofobik dan rawan
terjadi kebakaran lahan. Pembangunan pertanian berbasis kesesuaian
lahandi lahan gambut harus melibatkan partisipasi masyarakat. Dalam hal
ini, gambut harus dijadikan “kawan bukan lawan” dan dalam pelaksanaan
pengembangannya harus bersifat koeksistensi. Pemanfaatan lahan gambut
sangat penting agar suapay mewujudkan Ketahanan Pangan Indonesia
dapat terwujud tanpa merusak ekosistem gambut. Hal ini sesuai dengan
tujuan SDGs ke 15, yaitu memelihara ekosistem darat.
D. DAFTAR PUSTAKA

Abdulrachman, T. (2013). Penggunaan Lumpur Laut Cair dan Pupuk


Kotoran Sapi Dalam Meningkatkan Pertumbuhan dan Hasil Jagung
di Gambut. Indonesian Journal of Applied Sciences, 78–83(3), 3.
Afni, A. . (2017). Pengembangan Sayuran di Lahan Gambut. Indonesian
Journal of Applied Sciences, 2(2).

Hooijer, A., Silvius, M., Wösten, H. & Page, S. (2006). Peat-CO2,


Assessment of CO2 emissions from drained peatlands in SE Asia.
Paiman, A. (2017). Efek Pemberian Berbagai Jenis Amelioran dan Abu
Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Kedelai Pada Lahan Gambut.
Jurnal Agronomi, 10(2), 85-92.
Sabiham, S., Wahyunto, Nugroho, Subiksa, I.G.M. & Sukarman (2009).
Laporan tahunan 2008. Bogor: Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian.

Subiksa, I.G.M., Hartatik W., & Fahmuddin A. (2011). Pengelolaan lahan


gambut berkelanjutan. Jakarta: Balai Penelitian Tanah, Balai Besar
Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Badan
Litbang Pertanian, Kementerian Pertanian.

Sabiham, S., Wahyunto, Nugroho, Subiksa, I.G.M. & Sukarman (2009).


Laporan tahunan 2008. Bogor: Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian

Anda mungkin juga menyukai