Anda di halaman 1dari 14

TEKNOLOGI KONSERVASI SUMBERDAYA LAHAN

“REVIEW IMPLEMENTATIF
REGULASI KONSERVASI SUMBERDAYA LAHAN”

Disusun Oleh:
Kelas B
Kelompok 7
Rifky Alfariz Novansyah (205040200111184)
Heskiel Valentino Napitu (205040200111185)
Siwi Anugrah Dewanti (205040200111223)
Bias Feny Adelia (205040200111312)
Lembayung Ghando Nur Azzahra Lubis (205040207111048)

Dosen : Istika Nita, S.P., M.P.

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2022
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Suatu wilayah yang berada di permukaan bumi yang mencakup seluruh komponen
biosfer termasuk atmosfer, tanah, batuan induk, relief, hidrologi, tumbuhan serta hewan
dan segala suatu yang timbul diakibatkan adanya aktivitas manusia di masa lalu disebut
dengan lahan. Lahan ini dimanfaatkan oleh para masyarakat sekitar untuk keperluan
bercocok tanam, membangun rumah, dan lainnya. Hal ini tentu meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Namun, pada beberapa daerah justru berdampak penurunan
kualitas sumberdaya lahan atau disebut degradasi lahan. Terjadinya peningkatan
pertumbuhan penduduk akan berdampak pada kecenderungan penurunan sumberdaya
lahan atau degradasi lahan. Indonesia merupakan negara yang memiliki hamparan hutan
yang luas sehingga menjadikan Indonesia menjadi salah satu negara penyumbang oksigen
paling besar di dunia. Akan tetapi, luasan hutan yang ada di Indonesia semakin berkurang
setiap tahunnya seiring dengan peningkatan jumlah penduduk. Kegiatan alih fungsi lahan
yang dilakukan oleh masyarakat tidak semuanya memperhatikan kelestarian dan
kesehatan lahan. Oleh karena itu, banyak lahan yang ditinggalkan begitu saja karena telah
mengalami kerusakan dan mengakibatkan penurunan produktivitas yang bersifat
sementara maupun tetap. Lahan yang dibiarkan terbuka pada masa awal pengolahan tanah
hingga tanaman yang berusia muda menyebabkan terkikisnya lapisan tanah atas dan
menyebabkan penurunan tingkat kesuburan tanah.
Pemanfaatan sumber daya lahan dalam pengembangan usaha pertanian harus
memperhatikan kondisi serta potensi agar dapat diperoleh hasil yang maksimal tanpa
merusak kesehatan tanah. Pemanfaatan tanah sebagai tempat budidaya tanaman harus
memperhatikan aspek ekologi, Hal ini penting dilakukan untuk menjaga kelestarian tanah
sehingga manfaat yang diperoleh secara maksimum. Pemanfaatan lahan harus
memperhatikan sisi ekologi dan kesehatan lingkungan agar dapat berjalan secara
berlanjut.Keberlanjutan suatu lahan akan memastikan ketersediaannya pangan bagi
generasi selanjutnya. Selain memperhatikan kesehatan lahan teknik budidaya yang
digunakan oleh masyarakat juga harus memperhatikan aspek-aspek ekologi agar
produktivitas tanaman yang diperoleh dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat
sendiri (Daswir, 2010). Praktek budidaya pertanian pada daerah pegunungan memiliki
tantangan pada berbagai faktor pembatas yakni kelerengan, bahaya erosi serta curah hujan
yang relatif tinggi. Seringkali terjadi kesalahan dalam pengelolaan sumberdaya lahan di
daerah pegunungan / perbukitan yang kemudian menyebabkan rusaknya faktor biofisik
seperti degradasi lahan menjadi lahan kritis, maupun berkurangnya ketersediaan air yang
kemudian dirasakan oleh masyarakat di daerah hulu dan daerah hilir. Lahan di Indonesia
sering kali terjadi adanya degradasi lahan dan terus meluas. Degradasi lahan merupakan
suatu proses penurunan produktivitas suatu lahan yang bersifat sementara maupun tetap
namun dicirikan juga dengan penurunan sifat fisik, kimia dan biologi. Hal ini merupakan
hal yang buruk tetunya. Apabila lahan terus menerus terdegradasi maka akan berdampak
pada produktivitas lahan yang menurun dan juga akan berdampak pada menurunnya
kebutuhan pokok serta sumber penghasilan masyarakat sekitar. Lahan yang terdegradasi
bukan hanya berupa lahan yang tidak produktif kembali, namun dengan adanya lahan
terdegradasi ini akan berdampak pada berbagai bencana alam. Menurut Wahyunto dan
Dariah (2014), lahan yang terdegradasi ini berdampak besar terhadap bencana alam
seperti kekeringan, banjir, tanah longsor, hingga kebakaran yang akan berdampak pada
pemanasan global. Lahan yang dianggap telah terdegradasi adalah lahan yang tidak bisa
memberikan manfaat, keuntungan yang diharapkan. Keuntungan ini mencakup bidang
ekonomi, ekologi, sosial, dan kultural. Degradasi lahan umumnya terjadi.
1.2 Dampak Degradasi Lahan
Degradasi lahan merupakan proses dimana kondisi lingkungan biofisik berubah akibat
adanya aktivitas manusia (Lastiantoro, 2015). Menurut Keesstra et al. (2018), degradasi
lahan dapat dibagi kedalam tiga jenis, yaitu degradasi fisik, degradasi kimiawi dan
degradasi biologis. Degradasi fisik terjadi dalam bentuk penurunan agregasi tanah,
pemadatan, pergerakan, ketidakseimbangan air, terhalangnya aerasi dan drainase, dan
kerusakan struktur tanah. Degradasi kimia terjadi akibat dari asidifikasi, pengurasan dan
pencucian hara, ketidakseimbangan unsur hara dan keracunan, penurunan kapasitas tukar
kation serta tingginya salinitas di dalam tanah. Sedangkan degradasi biologis disebabkan
oleh minimnya biota dan bahan organik tanah serta penurunan karbon biomas. Terdapat
beberapa faktor yang menjadi pengaruh terjadinya degradasi tanah ya itu faktor manusia
dan faktor alam. Perubahan tutupan lahan oleh deforestasi, budidaya berlebihan dan
penggembalaan, dan reklamasi berlebihan padang rumput untuk pertanian merupakan
faktor terjadinya degradasi lahan yang disebabkan oleh aktivitas manusia. Sedangkan
penyebab terjadinya degradasi suatu lahan yang dipengaruhi oleh faktor alam dapat terdiri
dari kemiringan curam yang tinggi dan besarnya hujan badai berkontribusi terhadap hasil
sedimen dan limpasan yang tinggi, karena proses erosi tanah menyebabkan degradasi
lahan (Lestariningsih et al., 2018). Akibat lanjut dari adanya proses degradasi lahan
adalah timbulnya areal-areal yang tidak produktif atau turunnya fungsi lahan untuk
bereproduksi secara lestasi yang disebut lahan kritis. Puslitbang Tanah dan Agroklimat
(2004) dalam Wahyunto dan Dariah (2014) mendefinisikan lahan kritis sebagai kondisi
lahan yang terjadi akibat penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuannya
sehingga mengalami kerusakan fisik, kimia, dan biologis tanah karena berkurangnya
penutupan vegetasi dan adanya gejala erosi (ditandai oleh adanya aluralur
drainase/torehan) yang akan berpengaruh terhadap fungsi hidrologis di sekitarnya.
Drainase/torehan) yang akan berpengaruh terhadap fungsi hidrologis di sekitarnya.
Erosi merupakan salah satu faktor penyebab utama terjadinya degradasi lahan di
Indonesia yang disebabkan oleh tingginya alih fungsi lahan akibat tekanan populasi
penduduk yang melebihi tingkat kemampuannya, sehingga kebutuhan akan lahan semakin
meningkat. Adanya erosi dan lahan kritis bukanlah masalah yang bersifat setempat,
namun merupakan masalah yang menyangkut kawasan DAS (Daerah Aliran Sungai) baik
dibagian hulu maupun hilir DAS itu sendiri. Lahan di kawasan hulu DAS memiliki
potensi yang besar sebagai kawasan pertanian produktif. Sejak dahulu kala telah banyak
petani yang bermukim dan memanfaatkan kawasan ini untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari dan menopang ekonomi keluarga. Namun, adanya upaya ekstensifikasi lahan
perhanian kurang memperhatikan karakteristik dan kualitas lahan, sehingga
kecenderungannya mengarah pada degradasi lahan akibat adanya faktor pembatas, seperti
lereng yang curam, kepekaan tanah terhadap erosi tinggi, curah hujan yang tinggi dan
evapotranspirasi rendah (Sutrisna et al., 2010). Terjadinya erosi mengakibatkan
terkikisnya atau terhanyutnya lapisan tanah permukaan/atas yang banyak mengandung
bahan organik serta unsur hara yang penting sebagai “bahan makanan” bagi tanaman,
seperti fosfor, potassium dan nitrogen, sehingga dalam waktu yang relatif singkat dapat
berdampak pada kemerosotan produktivitas tanah, daya dukung tanah, dan lingkungan 4
hidup (Simbolon et al., 2016). Berdasarkan Abdurachman et al. (2003) diketahui bahwa
terjadinya erosi telah berdampak pada hilangnya tanah lapisan atas (top soil) setebal 10
cm yang mengakibatkan terjadinya penurunan produksi sebesar lebih dari 50%, meskipun
telah dilakukan pemupukan lengkap. Hal tersebut menunjukkan bahwa degradasi lahan
telah berdampak terhadap penurunan kesuburan tanah yang dapat menimbulkan kerugian
terhadap aspek ekonomi. Menurut Sutrisno dan Heryani (2013), degradasi lahan yang
disebabkan oleh adanya erosi tanah berdampak pada penurunan kualitas atau kesuburan
tanah yang mengarah pada menurunnya mutu hasil serta produksi pertanian. Akibatnya
akan mengancam keberlanjutan usaha tani dan ketahanan pangan, sebab telah terjadi
penurunan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat petani yang dapat menimbulkan
masalah kemiskinan. Degradasi lahan juga menimbulkan kerugian yang tak ternilai
harganya karena untuk memperbaiki dan mengganti kerusakan yang ada memerlukan
biaya yang besar dan mahal.
BAB II. REKOMENDASI KEPADA PETANI ATAU PEMILIK LAHAN
Ranu Pane merupakan suatu wilayah yang berada di kawasan taman nasional bromo,
tengger, semeru, secara administratif Desa Ranu Pane berada di Kecamatan Senduro,
Kabuparen Lumajang, Jawa Timur. Wilayah ini memiliki tanah yang sangat subur karena
tanahnya berasal dari material vulkanik letusan gunung-gunung sekitarnya. Sebagian besar
masyarakat Desa Ranu Pane menggeluti bidang pertanian karena didukung dengan
sumberdaya lahan yang memadai. Tanah subur yang dimiliki Desa Ranu Pane dimanfaatkan
secara intensif oleh masyarakat desa tersebut, namun jika ditinjau dari topografi wilayah
lahan di Desa Ranu Pane memerlukan perhatian serta teknis khusus dalam pemanfaatannya.
Salah satu faktor pembatasa lahan yang dimiliki oleh lahan-lahan di Desa Ranu Pane yaitu
kemiringan lereng. Kondisi lahan yang miring tersebut dimanfaatkan sebagai lahan pertanian
semusim dengan komoditasnya yaitu kentang. Kegiatan penanaman tanaman semusim pada
lahan-lahan miring dalam jangka panjang memicu terjadinya erosi.
Dewasa ini lahan-lahan kentang di Desa Ranu Pane sudah mulai mengalami
degradasi, terjadinya degradasi lahan ini disebabkan karena peristiwa erosi. Erosi yang terjadi
selain menyebabkan degradasi lahan juga menimbulkan sedimentasi pada danau Ranu Pane
sehingga terjadi pendangkalan, selain itu peristiwa erosi juga menyebabkan terjadi banjir.
Lahan-lahan yang mengalami degradasi tidak hanya berada pada Desa Ranu Pane itu sendiri,
karena degradasi lahan ini sudah terjadi hampir di seluruh DAS Ranu Pane. Fakta ini
mengartikan bahwa upaya konservasi tanah dan air harus segera diterapkan pada DAS Ranu
Pane supaya keberlanjutan lahan tetap terjaga. Upaya konservasi yang akan dilakukan harus
melibatkan seluruh stake holder terkait, salah satu stake holder penting pada upaya
menerapkan konservasi yaitu petani penggarap lahan ataupun pemiliki lahan.
Upaya konservasi sumberdaya lahan yang berlaku dan dapat diterapkan di Indonesia
diatur dalam beberapa regulasi, baik dari undang-undag sampai peraturan Menteri. Salah satu
pasal pada undang-undang nomor 37 tahun 2014 yang mengatur tentang konservasi tanah dan
air menyebutkan bahwa setiap orang mempunyai hak atas tanah di kawasan hutan
lindung/serta ataupun di kawasan budi energi harus melakukan konservasi tanah serta air
pada tiap tipe pemakaian lahan. Beberapa penerapan yang tepat dan sesuai dnegan UU diatas
yaitu :
a. Perlindungan fungsi tanah pada lahan
b. Peningkatan fungsi tanah pada lahan
c. Pemulihan fungsi tanah pada lahan
d. Pemeliharaan fungsi tanah pada lahan
Petani atau pemilik lahan sebagai stakeholder yang keberadaanya dekat sendiri
dengan lahan maka sudah seharusnya dalam melakukan kegiatan harus berpikir mengenai
keberlanjutan lahan yang dimilikinya. Upaya konservasi yang dapat dilakukan petani yaitu
upaya konservasi vegetatif, konservasi secara sipil teknis/mekanis, serta konservasi kimia.
Upaya konservasi vegetatif merupakan konservasi yang cukup mudah dan memiliki banyak
opsi yang nantinya bisa disesuaikan dengan kondisi aktual dan kelas kemampuan lahannya.
Konservasi vegetatif merupakan sebuah metode penataan atau modifikasi tanaman dengan
tujuan khusus salah satunya yaitu mengurangi erosi (Yuliningsih dan Khotimah, 2018).
Upaya konservasi lain yang dapat diterapkan yaitu pengaplikasian mulsa organik dari sisa-
sisa tanaman pada lahan. Pengaplikasia sisa-sisa tumbuhan Konservasi tanah dan air juga
dapat dilakukan dengan sipil teknis atau mekanis, upaya ini merupakan sebuah upaya yang
cukup sulit diterapkan mengingat jika diterapkan upaya konservasi sipil teknis akan merubah
tatanan yang sudah ada pada kawasan tersebut. Penerapan konservasi secara kimia juga
kurang ramah lingkungan, namun jenis konservasi ini dapat diterapkan jika konservasi
vegetatif dan konservasi sipil teknis/mekanis tidak menunjukkan hasil karena faktor pembatas
atau vektor kerusakan tanah sudah berat.
Teknik konservasi vegetatif meliputi penanaman cover crop, pengaplikasian mulsa
organik, modifikasi pola tanam, penanaman sejajar kontur, dan agroforestry. Jenis konservasi
vegetatif yang akan diterapkan harus memperhatikan kearifan lokal masyarakat daerah
tersebut. Upaya konservasi vegetatif yang tepat diterapkan pada kawasan tersebut jika
ditinjau dari tujuan produksi petani yaitu modifikasi pola tanam, penanaman cover crop, dan
penggunaan mulsa organik.
1. Pola Tanam
Pola tanam merupakan sistem pengaturan tata tanam tanaman pada suatu bentang
lahan, dalam menerapkan konservasi tanah dan air dengan pola tanam maka pemilihan
tanaman harus sesuai dengan syarat-syarat yang telah ada. Pengaturan pola tanam dapat
menambah tutupan tanah dan meminimalisir erosi. Sistem pola tanam ini diterapkan pada
pertanaman majemuk atau kombinasi beberapa tanaman dengan tujuan mengoptimalkan
produktivitas lahan dan bermanfaat untuk konservasi tanah dan air. Pola tanam memiliki
fungsi untuk menambah tutupan tanah oleh tanaman sehingga tumbukan air hujan juga
berkurang (Wahyudi, 2014). Contoh pola tanam yang dapat diterapkan untuk konservasi
yaitu pergiliran tanaman (crop rotation), tumpang sari (intercropping), dan tumpang gilir
(relay cropping). Rotasi tanaman dan tumpangsari dapat diterapkan pada tanaman yang
memiliki family berbeda (Utami et al., 2015). Contoh rotasi yang dapat diterapkan yaitu
kentang dan kubis, sedangkan untuk tumpangsari yaitu penanaman kunyit dan kentang, dan
tumpangsari kentang dengan jagung. Penerapan pola tanam sebagai upaya konservasi ini
masih memiliki kekurangan yaitu kurangnya tutupan vegetasi dari tanaman-tanaman tahunan
sehingga lahan masih cenderung terbuka dan potensi erosi masih sedang sampai besar.
2. Cover crop dan mulsa organik
Cover crop atau tanaman penutup tanah merupakan salah satu upaya konservasi
vegetatif yang dapat dilakukan. Cover crop akan berfungsi sebagai pelindung tanah dari
butir-butir air hujan, keberadaan cover crop tentunya akan mengurangi laju limpasan
permukaan karena permukaan cover crop menyebabkan air sulit terlimpas dan akhirnya
mengalami perkolasi. Cover crop dapat dijadikan pilihan untuk melakukan konservasi tanah
dan air karena morfologi tanamannya yang rendah dan menempel pada tanah akan
meminimalisir erosi pada lahan (Husaini dan Iswahyudi, 2019). Berbagai jenis tanaman
legume dapat dimanfaatkan sebagai cover crop. Pengaplikasian mulsa organik merupakan
salah satu upaya mengurangi limpasan permukaan selain itu mulsa organik yang berasal dari
sisa tanaman akan terdekomposisi menjadi bahan organik tanah sehingga meningkatkan
kesuburan tanah.
3. Penanaman sejajar kontur
Salah satu teknologi konservasi secara vegetative yaitu penanamtanaman sejajar kontur,
upaya ini sering diterapkan pada lahan-lahan yang berada di fisiografi pegunungan.
Penanaman tanaman sejajara kontur atau menyilang lereng dpaat mengurangi erosi yang
terjadi (Safira et al., 2017). Penanaman sejajar kontur juga berfungsi untuk meningkatkan
infiltrasi air ke dalam tanah sehingga aliran permukaan akan turun sehingga laju erosi juga
menurun. Penerapan upaya konservasi tanah dan air dengan penanaman sejajar kontur harus
memperhatikan irigasi dan drainase pada kawasan tersbeut supaya larikan tanaman
terlindungi dari aliran permukaan.
4. Pengembangan hutan produksi dan agroforestry
Hutan produksi dapat dikembangkan pada daerah lereng atas dibawah taman nasional
dan hutan lindung yang ada, pengembangan hutan produksi ini mampu menekan terjadinya
erosi dihilir karena tanaman-tanaman tahunan yang ditanam pada hutan lindung memiliki
kanopi yang rapat dan akar yang kuat sehingga erosi yang terjadi juga berkurang. Hal penting
yang harus diperhatikan dalam pengembangan hutan produksi yaitu terkait umur panen
tanaman. Agroforestry merupalan sistem penggunaan lahan dengan cara memadukan
tanaman berkayu dengan tanaman pertanian semusim, pada beberapa kondisi agroforestry
juga dipadu-padankan dengan hewan yang bertujuan untuk mengoptimalkan interkasi ekologi
dan ekonomi pada komponen yang bersangkutan (Wibowo et al., 2020). Upaya konservasi
secara agroforestry ini sering diterapkan pada kawasan hutan yang lerengnya agak curam
sampai curam, namun seiring berjalannya waktu dapat diterapkan juga pada kawasan
pertanian lainnya. Tanaman berkayu atau tanaman tahunan pada agroforestry memiliki akar
yang dalam sehingga berdampak terhadap tata kelola air pada kawasan tersebut, sedangkan
penanaman tanaman semusim bertujuan untuk mengurangi limpasan permukaan sehingga
laju erosi akan berkurang.
Upaya konservasi sipil teknis/mekanis juga dapat diterapkan jikalau dirasa upaya
konservasi secara vegetatif ini lama hasilnya. Lereng yang menjadi faktor penghambat pada
lahan di DAS Ranu Pane harus dimodifikasi sedemikian rupa supaya keberlanjutan lahan
serta siklus hidrologi tetap terjaga. Pembuatan teras merupakan salAH satu upaya konservasi
mekanis yang dapat diterapkan pada lahan miring. Teras merupakan sesuatu bangunan
pengawetan tanah serta air yang bertujuan untuk memperpendek lereng ataupun
memperkecil kemiringan dan menjadi salah satu metode pengendalian erosi.
Teras yang bisa diaplikasikan terdiri dari sebagian tipe antara lain teras datar, teras
guludan serta teras bangku. Tipe teras yang biasa digunakan untuk konservasi
tanah dan air merupakan teras bangku serta teras guludan. Upaya lain yang dapat diterapkan
petani yaitu pembuatan rorak dan pembuatan saluran drainase. Berbagai upaya konservasi
yang akan diterapkan harus dirancang secara matang supaya hasil konservasi akan dirasakan
secara berkelanjutan, untuk mengoptimalkan fungsi upaya yang diterapkan harus melalui
Kerjasama para stake holder yang terlibat secara langsung.
BAB III. REKOMENDASI KE KEPALA DESA (APARAT DESA)
Kepala desa atau perangkat desa di Kabupaten Lumajang dapat memberikan
rekomendasi dengan pengendalian sumber daya air, yang didasarkan pada Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air. Sumber Daya Air (SDA) adalah air,
sumber air, dan daya air yang terkandung di dalamnya. Konsep kemaslahatan umum,
keterjangkauan, keadilan, keseimbangan, kemandirian, kearifan lokal, pemahaman
lingkungan, keberlanjutan, keberlanjutan, keterpaduan dan keserasian, transparansi dan
akuntabilitas digunakan untuk memandu pengelolaan sumber daya air (SDA). Pengaturan
sumber daya air (SDA) yang dilaksanakan oleh perangkat desa bertujuan untuk melindungi
dan menjamin pemenuhan hak masyarakat atas air, menjamin keberlanjutan ketersediaan air
dan sumber air, menjamin perlindungan dan pemberdayaan masyarakat, serta mengendalikan
daya rusak air sebagai sumber daya air. keseluruhan melalui pencegahan, pengendalian dan
pencegahan, dan pemulihan. Siklus hidrologi, yang terkait erat dengan cuaca dan iklim suatu
daerah, mempengaruhi keberadaan air di suatu lokasi tertentu. Ketersediaan air akan
bervariasi tergantung pada cuaca di setiap wilayah. Kekurangan air akan mengakibatkan
beberapa masalah. Terbatasnya pasokan sumber daya air yang dikombinasikan dengan
meningkatnya permintaan masyarakat akan air dapat mengakibatkan masalah di berbagai
industry, karena persaingan dan konflik atas sumber daya air yang langka. Dengan demikian,
untuk menguasai sumber daya air diperlukan kepala desa atau perangkat desa.
Dengan adanya peraturan perundang-undangan, nantinya alokasi tugas antar
perangkat desa dalam pengelolaan sumber daya air dan mengikutsertakan masyarakat dalam
pengelolaan sumber daya air dapat dipermudah. Pola pengelolaan sumber daya air meliputi
struktur kewenangan dan tanggung jawab yang terkoordinasi dalam pengelolaan sumber daya
air. Rencana pengelolaan sumber daya air nantinya akan dibuat dengan menggunakan
paradigma pengelolaan ini. Konsep dasar untuk memutuskan bagaimana sumber daya air
akan digunakan untuk pertanian dan kebutuhan dasar akan menjadi rencana pengelolaan
sumber daya air. Izin diperlukan bagi kelompok individu yang akan menggunakan sumber
daya air yang sangat dibutuhkan, termasuk kelompok yang membutuhkan banyak air dan
petani yang mengairi sawahnya. Batas penggunaan air akan dimasukkan dalam izin sehingga
air dapat didistribusikan lebih adil ke kota-kota tetangga yang juga membutuhkannya.
Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang mengakibatkan terganggunya kondisi
tata air Daerah Aliran Sungai, kerusakan sumber air dan prasarananya, terganggunya upaya
pengawetan air dan pencemaran air. Konservasi sumber daya air dilaksanakan pada mata air,
sungai, danau, waduk, rawa, daerah imbuhan air tanah, cekungan air tanah, daerah tangkapan
air, kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, kawasan hutan, dan kawasan pantai.
Tahapan pengelolaan sumber daya air meliputi perencanaan pengelolaan sumber daya air,
pelaksanaan konstruksi prasarana SDA dan pelaksanaan non konstruksi, pelaksanaan operasi,
pemeliharaan, pemantauan dan evaluasi pengelolaan sumber daya air. Setiap orang yang lalai
dan sengaja merusak sumber air dan prasarananya sehingga terjadi pencemaran air maka akan
dipidanakan dan wajib membayar denda, sehingga kepala desa atau aparat desa harus lebih
tegas lagi terhadap permasalahan sumber daya air karena kepala desa atau aparat desa
memiliki peranan yang sangat penting. Untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas sistem
informasi sumber daya air, maka tiap institusi sesuai dengan kewenangannya melakukan
beberapa hal, yaitu Optimalisasi pemanfaatan data dan informasi terkait sumber daya air
termasuk Sistem Informasi Hidrologi, Hidrometeorologi, dan Hidrogeologi. Selanjutnya,
pengelolaan yang terintegrasi, Pembagian peran yang jelas dan proporsional antar institusi,
Pengaturan akses data, Pengaturan alur data, dan Pengaturan pemanfaatan data.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia menerbitkan
Peraturan No. P105/MENLK/Setjen/Kum.1/12/2018 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kegiatan
Pendukung, Pemberian Insentif, dan Pembinaan dan Pengendalian Kegiatan Rehabilitasi
Hutan dan Lahan, yang merupakan rekomendasi lain yang dapat dibuat oleh kepala desa atau
perangkat desa. RHL adalah singkatan dari Rehabilitasi Hutan dan Lahan. Tujuan dari
Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) adalah untuk mempertahankan daya dukung,
produktivitas, dan peran hutan dan lahan dalam mendukung sistem penyangga kehidupan
dengan memulihkan, mempertahankan, dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan. Kebijakan
yang dikenal sebagai Insentif Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) dapat mendorong
tercapainya maksud dan tujuan rehabilitasi hutan dan lahan serta menghentikan degradasi
sumber daya hutan dan lahan di ekosistem daerah aliran sungai (DAS). Lahan kritis baik di
dalam maupun di luar kawasan hutan dikenakan RHL. meliputi penyusunan rencana kegiatan
penanaman RHL dan strategi penerapan metode konservasi tanah, RTn RHL, atau Rencana
Tahunan Rehabilitasi Hutan dan Lahan. Langkah-langkah penyiapan bahan, analisis dan
identifikasi peta, inspeksi lapangan, inventarisasi dan identifikasi sosial ekonomi,
pemasangan sempadan atau blok terluar, pembagian petak, pembuatan peta, dan penyusunan
naskah desain penanaman RHL terdiri dari kegiatan penanaman RHL. rencana. Kegiatan
penanaman RHL yang dilakukan dengan cara penghijauan dan penghijauan merupakan salah
satu rekomendasi yang perlu dilakukan oleh kepala desa atau perangkat desa. Dalam kawasan
hutan dan lahan, rehabilitasi hutan dan lahan dilakukan melalui upaya penghijauan,
pemeliharaan tanaman, pengayaan tanaman, atau penggunaan metode konservasi tanah.
Adapun dua metode yang digunakan untuk reboisasi, yaitu dengan agroforestri dan ekstensif.
Penghijauan berupaya untuk melestarikan dan meningkatkan fungsi pengamanan tata
air, mencegah tanah longsor dan bencana alam lainnya, serta meningkatkan produksi lahan.
Adapun pernyataan menurut Arifin et al. (2017), yang menyatakan bahwa ada tiga metode
untuk menerapkan teknik konservasi tanah: secara vegetatif, kimia, dan mekanis.
Rerumputan ditanam, tanaman gang ditanam, sungai kanan dan kiri ditanam, dan tanaman
penutup tanah lainnya ditanam sebagai bagian dari strategi konservasi tanah vegetatif.
Dengan pemberian amelioran berupa bitumen, kapur, dan dolomit, teknik konservasi tanah
secara kimiawi diterapkan pada tanah. Baik struktur struktural maupun non-struktural dapat
menggunakan strategi konservasi tanah mekanis. Agar operasional RHL berjalan lancar,
sesuai rencana, dan mendapat dukungan dari masyarakat dan pihak terkait, diperlukan
tindakan prakondisi. Prakondisi dilakukan dengan sosialisasi, koordinasi, kegiatan
pengecekan lokasi potensi RHL, dan penyiapan kelembagaan. Pengenalan insentif RHL
memiliki kemampuan untuk menghentikan tingkat degradasi agar tidak meningkat. Kepala
desa atau perangkat desa dapat melaksanakan RHL dengan memberikan arahan, memberikan
arahan, atau dengan memberikan pelatihan secara langsung.
Rekomendasi selanjutnya yang dapat dilakukan oleh kepala desa atau aparat desa
yaitu dengan kegiatan perlindungan, pemeliharaan, pemulihan, serta peningkatan fungsi lahan
budidaya hortikultura khususnya untuk pertanaman kentang yang mana berdasarkan
Peraturan Menteri Pertanian Nomor 58/Permentan/OT.140/9/2012. Lahan budidaya
hortikultura seharusnya dilindungi dan dikembangkan secara konsisten, yang mana di
dalamnya terdapat kesatuan bercocok tanam yang disatukan oleh faktor alamiah, sosial
budaya, infrastruktur fisik buatan. Perlindungan lahan budidaya menjadi upaya untuk
mempertahankan fungsi dan kualitas, pemulihan dan peningkatan fungsi lahan. Lahan
budidaya hortikultura harus sesuai agroekosistem hortikultura yang meliputi kesesuaian
lahan, iklim, sosial ekonomi, dan lingkungan, serta lahan memiliki potensi untuk
dikembangkan. Perlindungan lahan budidaya hortikultura melalui pemetaan dengan cara
inventarisasi dan identifikasi, serta hasilnya diregistrasi oleh Dinas penyelenggara tugas
pokok dan fungsi hortikultura serta diintegrasikan ke dalam rencana tata ruang wilayah untuk
ditetapkan sebagai kawasan hortikultura secara tematik. Pemerintah wajib melindungi
kawasan yang telah ditetapkan demi pengembangan secara berkelanjutan. Kegiatan
pemulihan lahan budidaya hortikultura dilakukan pada lahan yang terdegradasi dengan cara
merehabilitasi secara mekanik, biologi, dan kimia. Cara rehabilitasi secara mekanik yaitu
dengan pemberian mulsa, guludan, dan terasering (Hardika, 2018). Sementara itu, cara
rehabilitasi yang dapat dilakukan secara biologi yakni dengan pemberian pupuk organik,
hayati, dan pembenah tanah. Kegiatan rehabilitasi secara kimia meliputi pemberian pupuk
anorganik yang berimbang. Peningkatan fungsi lahan budidaya hortikultura dilakukan pada
lahan non budidaya hortikultura dengan mempertimbangkan agroekosistem.
BAB IV. REKOMENDASI KE PEMERINTAH KABUPATEN LUMAJANG
Masyarakat Suku Tengger Ranu Pani pada umumnya memiliki mata pencaharian
sebagai petani dan buruh tani dengan hasil pertanian berupa sayur-sayuran yaitu kentang,
bawang dan kubis. Tanpa adanya tindakan konservasi tanah dan air yang memadai, tingkat
erosi yang tinggi dan banjir dapat rawan terjadi. Erosi dan kerusakan lahan umumnya terjadi
akibat penggunaan lahan pertanian yang melampaui daya dukung lahan, Pemerintah daerah
mempunyai peran penting untuk meningkatkan pemahaman kepada masyarakat mengenai
konservasi tanah dan air. Rekomendasi yang perlu dilakukan Pemerintah Kabupaten
Lumajang agar lahan tersebut dapat dimanfaatkan secara maksmial adalah dengan sebagai
berikut.
1. Pemerintah harus membuat regulasi yang berkaitan dan mendukung konservasi
Tindakan KTA membutuhkan regulasi yang mengikat semua pihak terutama pada
pembagian tata ruang dan wilayah, dimana dapat mempermudah daerah mana saja yang
melaksanakan kegiatan konservasi tersebut. Adapun langkah-langkah yang dapat dilakukan
adalah dengan menentukan arah pengembangan yang akan dicapai, mengidentifikasi berbagai
potensi dan masalah pembangunan dalam suatu wilayah perencanaan, perumusan
perencanaantataruang, dan penetapan rencana tata ruang.
2. Pemerintah melaksanakan pemberdayaan kepada masyarakat
Tujuan pemberdayaan masyarakat untuk memampukan dan memandirikan masyarakat
agar dapat menyelesaikan kebutuhan dan kepentingan hidupnya. Pemberdayaan masyarakat
lebih menekankan pada inisiatif dan otonomi pengambilan keputusan oleh masyarakat.
Tahapan penting dalam pelaksanaan pemberdayaan masyarakat, yaitu tahap penyadaran,
tahap peningkatan kapasitas yang meliputi peningkatan kapasitas manusia, organisasi, dan
sistem nilai, tahap pemberian daya yaitu pemberian kekuasaan, otoritas, atau peluang
(Indrawati, 2016).
3. Pemerintah melaksanakan pengawasan dengan melibatkan masyarakat
Pengawasan menjadi salah satu fungsi dalam manajemen yang penting, pengawasan
terdiri dari penentuan apa yang akan dilaksanakan, menilai dan menerapkan tindakan
perbaikan yang dilakukan. Penerapan kawasan bertujuan untuk menjamin ketepatan waktu
pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan rencana yang dilakukan untuk mencapai kebijaksanaan
perintah, menjamin terwujudnya kepuasan masyarakat atas jasa yang dihasilkan (Lusiah,
2015).
4. Pemerintah memberikan insentif kepada penyelenggara KTA
Dapat dilakukan dengan memberikan penghargaan kepada setiap orang yang
menyelenggarakan konservasi tanah dan air. Berdasarkan Lestari dan Satria (2015)
menyatakan bahwa pengelolaan berbasis masyarakat dengan memberikan insentif bagi
masyarakat yang berpartisipasi terbukti lebih efektif dan semakin kuat dilakukan oleh
masyarakat dan juga lembaga. Tolak ukur timbal jasa berdasarkan pada kinerja dapat
dikaitkan dengan komitmen masyarakat sekitar dalam upaya konservasi, seperti komitmen
masyarakat sekitar dalam mengurangi deforestrasi dan degradasi hutan.
BAB V. PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Pemberian rekomendasi bagi petani harus disesuaikan dengan peraturan pemerintah
yang sudah ada, salah satunya yaitu dengan menyarankan supaya mulai melakukan
tindakan inventarisasi dan identifikasi mengenai lahan yang diolahuntuk melihat
kecocokan dengan penggunaan pengolahan lahan. Selain itu, petani sebagai pengolah
lahan kentang harus memegang teguh mengenai wilayah-wilayahdi aliran DAS.
Rekomendasi yang dapat diberikan untuk Aparat Desa yakni perlu dilakukan kegiatan
konservasi lahan yang cenderung memiliki tingkat erosi tinggi melalui beberapa tahapan
seperti planning (perencanaan), organizing (pengorganisasian), actuating (tindakan) dan
juga controlling (pengendalian). Pemerintah yang berwenang dapat membuat
perencanaan terkait upaya rekomendasi yang dapat dilakukan. Sehingga kegiatan
konservasi dapat lebih terarah. Beberapa rekomendasi yang dapat dilakukan dalam
mengatasi permasalah lahan di daerah Lumajang adalah dengan pembuatan rorak, teras,
saluran drainase, guludan, pemeliharaan lahan, dan rehabilitasi lahan.
5.2 Saran
Saran yang dapat dilakukan sebagai usaha mempertahankan lahan di Kabupaten
Lumajang agar tidak terjadi degradasi adalah dengan selalu mengutamakan adanya
konservasi lahan dalam setiap penggunaan lahan. Seluruh rekomendasi tentunya
memerlukan seluruh komponen masyarakat sehingga diperlukan kerja sama dan tujuan
yang selaras supaya mudah tercapai tanpa adanya kontroversi atau permasalahan baru.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurachman, A., A.A. Id., Soelaeman, Y. 2003. Keragaan dan Dampak Penerapan Sistem
Usaha Tani Konservasi Terhadap Tingkat Produktivitas Lahan Perbukitan
Yogyakarta. Jurnal Litbang Pertanian. 22 (2): 49–56.
Adisukma, D., Rusadi, E. Y., dan Hayuni, N. 2014. Dampak Degradasi Lingkungan Terhadap
Potensi Pengembangan Ekowisata Berkelanjutan di Delta Mahakam: Suatu
Tinjauan. Jurnal Wilayah dan Lingkungan. 2 (1) : 11–24.
Ali, M., dan Aida, S. N. 2017. Kualitas Fisika dan Kimia Air Waduk Batutegi Lampung.
KINETIKA. 8 (2) : 25–32. Alie, M. E. R. 2015. Kajian Erosi Lahan Pada DAS
Dawas Kabupaten Musi BanyuasinSumatera Selatan. Doctoral dissertation.
Sriwijaya University. Palembang.
Arsyad, S. 2010. Konservasi tanah dan Air. Bogor: IPB Press.
Daswir, D. 2010. Peran Seraiwangi Sebagai Tanaman Konservasi Pada Pertanaman Kakao Di
Lahan Kritis. Buletin Littro, 21 (2) : 117–128.
FAO. 2010. What is conservation agriculture? http://www.fao.org/ ag/ca. [Retrieved 14th
August 2010].
FAO. 2011. Socio-economic analysis of conservation agriculture in Southern Africa. REOSA
Network Paper 02. Johannesburg, South Africa
Heryani, N., B. Kartiwa, Nasrullah, dan G. Jayanto. 2008. Analisis fungsi hidrologi berbagai
penggunaan lahan di DAS mikro. Laporan Penelitian. Balai Penelitian Agroklimat
dan Hidrologi, Bogor.
Husnaini, A., dan Iswahyudi, H. 2019. Konservasi Tanah pada Perkebunan Kelapa
Sawit (Elaeis guineensis Jacq). di PT. Hasnur Citra Terpadu. J. Agrisains. 5(1):
29-37.
Karyati dan S. Sarminah. 2018. Teknologi Konservasi Tanah dan Air. Mulawarman
University Press
Keesstra, S., Mol, G., de Leeuw, J., Okx, J., Molenaar, C., de Cleen, M., and Visser, S. 2018.
Soil-related Sustainable Development Goals: Four Concepts to Make Land
Degradation Neutrality and Restoration Work. Journal Land. 7 (4) : 1–20.
Lahmar, R., B.A. Bationo, N. Lamso, Y. Guéro, dan P. Tittonell. 2011. Tailoring
conservation agriculture technologies to West Africa Semi-Arid Zones: Building on
traditional local practices for soil restoration. Field Crops Research.
http://dx.doi.org/ 10.1016/j.fcr.2011.09.013
Lestari, E., dan Satria, A. 2015. Peranan Sistem Sasi dalamMenunjangPengelolaan
Berkelanjutan pada Kawasan Konservasi Perairan DaerahRajaAmpat. Marina. 1(2):
67-76.
Lusiah, Siti. 2015. Pengawasan Pelestarian Hutan Lindung oleh Dinas Kehutanandan
Perkebunan Kabupaten Indragiri Hilir. JOM Fisip. 2(2): 1-11.
Safira, G. C., Wulandari, C., dan Kaskoyo, H. 2017. Kajian Pengetahuan Ekologi Lokal
dalam Konservasi Tanah dan Air di Sekitar Taman Hutan Raya Wan Abdul
Rachman. J. Sylva Lestari. 5(2): 23-29.
Utami, G. R., Rahayu, M. S., dan Setiawan, A. 2015. Penanganan Budidaya Kentang
(Solanum tubersocum L.) di Bandung, Jawa Barat. Bul. Agrohorti. 3(1): 105-
109.
Wahyudi. 2014. Teknik Konservasi Tanah serta Implementasinya pada Lahan
Terdegradadi dalam Kawasan Hutan. J. Sains dan Teknologi Lingkungan.
6(2): 71-85.
Wibowo, F. A. C., Triwanto, J., Kurniawain, E. T., dan Muttaqin, T. 2020. Strategi
Perbaikan Sistem Agroforestri dan Konservasi Lahan di Desa Pondokagung,
Kecamatan Kasembon, Kabupaten Malang. Wahana Forestra: Jurnal
Kehutanan. 15(1): 36-47.
Yuningsih, L., dan Khotimah, K. 2018. Peningkatan kesuburan tanah melalui teknik
konservasi vegetatif dengan penambahan pupuk kandang. Sylva: Jurnal
Penelitian Ilmu-Ilmu Kehutanan. 7(1): 9-13.

Anda mungkin juga menyukai