Anda di halaman 1dari 45

LAPORAN PROYEK

TEKNOLOGI KONSERVASI SUMBER DAYA LAHAN

“ANALISIS KONDISI PENGGUNAAN LAHAN DAN UPAYA KONSERVASI


PERTANIAN KAWASAN DESA SUMBER GONDO, KOTA BATU, JAWA TIMUR”

DISUSUN OLEH :

KELAS : E

KELOMPOK : E2

ASISTEN : NIDHA PERMATA FADILLAH

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2023
LEMBAR PENGESAHAN

Judul Proyek : Analisis Kondisi Penggunaan Lahan Dan Upaya Konservasi


Pertanian Kawasan Desa Oro-Oro Dowo, Kota Batu, Jawa Timur

Lokasi Proyek : Desa Oro-oro Ombo, Kecamatan Batu, Kota Batu, Provinsi Jawa
Timur.

Penyusun: E/E2

Ketua Kelompok: Lingga Floristanti (215040201111109)

Anggota Kelompok: 1. Arin Khurota A’yun (215040200111195)

2. Shakira Maulidia (215040207111025)

3. Muhammad Abdul Lativ (215040207111080)

4. Cutnyak Namira Mumtaz (215040207111138)

Disetujui Oleh

Nidha Permata Fadillah


(Nim)
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
ABSTRAK
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Suatu kawasan di permukaan bumi yang mencakup semua materi baik di dalam
maupun di atas kawasan tersebut dapat disebut dengan lahan. Setiap lahan memiliki ciri dan
karakter yang khas satu sama lain, sehingga harus dilakukan suatu kajian agar pemanfaatan
lahan dapat dilakukan dengan tepat dan optimal sesuai dengan daya dukung lahan (Firdaus
dan Yuliani, 2022). Penggunaan lahan dengan melebihi daya dukungnya serta tidak
mengikuti kaedah-kaedah konservasi dapat menyebabkan penurunan produktifitas lahan
baik bersifat sementara maupun bersifat tetap. Penurunan tersebut berakibat pada
perubahan ekosistem yang mengarah kepada degradasi atau kerusakan lingkungan bahkan
memicu terjadinya lahan kritis (Munzir et al., 2019). Lahan kritis adalah lahan yang telah
mengalami kerusakan baik secara fisik, kimia, dan biologis. Lahan kritis bersifat
membahayakan fungsi hidrologis, sosial ekonomi, produksi pertanian ataupun bagi
pemukiman sekitar karena dapat menimbulkan bencana di daerah hulu berupa erosi dan
longsor sedangkan terjadi sedimentasi dan banjir di daerah hilir (Purwadi dan Siswanto,
2020). Oleh karena itu, arahan penggunan lahan berdasarkan klasifikasi kemampuan lahan
yang ada perlu dilakukan sebagai upaya tindakan konservasi sehingga diharapkan akan bisa
menekan nilai erosi ataupun mencegah erosi yang mungkin terjadi (Suarsana et al., 2016).
Lokasi field trip adalah Desa Sumbergond di Kecamatan Bumiaji, Kota Batu, Jawa
Timur. Kecamatan Bumiaji memiliki topografi yang terdiri dari dataran dan perbukitan dengan
ketinggian antara 760 hingga 2.000 meter di atas permukaan laut. Wilayah ini memiliki jenis
tanah yang subur seperti andosol, ambisol, latosol, dan aluvial. Kecamatan ini memiliki iklim
dengan suhu berkisar antara 18,3 hingga 24,9 derajat Celsius dan kelembapan udara sekitar
94%. Curah hujan diperkirakan antara 1.501 hingga 2.000 milimeter selama musim hujan
2019/2020 (Farid dan Purnomo, 2022). Dengan karakteristik tersebut, Kecamatan Bumiaji
memiliki potensi yang baik untuk pengembangan hortikultura dan peternakan. Wilayah
pertanian yang terletak di dataran berbukit, umumnya memerlukan perlakuan khusus karena
memiliki faktor erosi lebih banyak. Oleh karena itu, lahan tersebut harus dievaluasi dan
diterapkan tindakan konservasi agar lahan terjaga kesuburannya dan terhindar dari degrasi
sehingga tetap dapat mempertahankan daya dukung lahannya.
Dalam rangka mewujudkan kondisi lahan yang optimal, diperlukan penerapan sistem
pertanian konservasi yaitu sistem pertanian yang mengintegrasikan tindakan/teknik
konservasi tanah dan air ke dalam sistem pertanian yang telah ada. Diterapkannya hal
tersebut bertujuan untuk meningkatkan pendapatan petani, meningkatkan kesejahteraan
petani dan menekan erosi (Firman, 2014). Metode konservasi tanah dan air dibagi menjadi 3
yaitu : metode vegetatif, mekanik dan kimia. Tiga prinsip utama konservasi tanah dan air
yaitu melindungi permukaan tanah dari pukulan butir hujan, mengurangi laju aliran
permukaan dan meningkatkan kapasitas infiltrasi tanah (Rahmadani, 2018). Nilai
perbandingan erosi aktual dengan erosi yang diperbolehkan menjadi dasar suatu tindakan
konservasi, jika nilai erosi aktual lebih kecil daripada nilai erosi yang diperbolehkan (A <
EDP), maka lahan tersebut perlu dipertahankan sehingga kondisinya tetap optimum.
Sedangkan apabila nilai erosi aktual melebihi erosi yang diperbolehkan (A > EDP), maka
dengan mempertimbangkan antara faktor tanaman dan pengelolaannya (C) serta faktor
teknik konservasinya (P), perencanaan konservasi tanah dan air perlu dilakukan. Pemilihan
tindakan konservasi juga didasarkan kepada kelas kemampuan lahan yang didapatkan dari
hasil klasifikasi kemampuan lahan dan evaluasinya (Siregar et al., 2017). Pemilihan tindakan
konservasi juga memperhatikan faktor lain seperti biaya yang dibutuhkan agar tindakan
konservasi menjadi efisien. Oleh karena itu, identifikasi dan analisis permasalahan dilakukan
agar dapat mengetahui rekomendasi yang tepat untuk konservasi tanah dan air di lahan
tersebut.
1.2 Tujuan
Tujuan dibuatnya laporan proyek praktikum teknologi konservasi sumberdaya lahan
adalah sebagai berikut:
a. Mengidentifikasi kondisi lahan di Desa Sumbergondo, Kota Batu
b. Menganalisis permasalahan degradasi lahan di Desa Sumbergondo, Kota Batu
c. Menentukan rekomendasi tindakan konservasi tanah dan air yang sesuai pada lahan
Sumbergondo, Kota Batu.
1.3 Manfaat
Manfaat dari dilakukannya proyek teknologi konservasi sumberdaya lahan di Desa Oro
Oro Dowo ini ialah agar mahasiswa dapat mengidentifikasi kondisi lahan sehingga dapat
menganalisis permasalahan degradasi lahan yang ada di lahan tersebut. Berdasarkan
analisi masalah tersebut maka mahasiswa dapat menentukan rekomendasi tindakan
konservasi tanah dan air yang sesuai dan tepat pada lahan tersebut.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 KKL sebagai Upaya Mitigasi Erosi
Kelas Kemampuan lahan merupakan kegiatan melakukan klasifikasi lahan yang
dilakukan berdasarkan kemampuan lahan yang diperuntukan untuk mendukung pertanian,
perkebunan, hutan, dan penggunaan lahan lainnya. Menurut Herwanto et al. (2013), Mitigasi
erosi dengan menggunakan metode kelas kemampuan lahan (KKL) adalah upaya
pengelolaan lahan yang didasarkan pada karakteristik dan kemampuan lahan dalam
menahan erosi. Kemampuan lahan meruapakan potensi lahan untuk pengggunaan sistem
pertanian secara umum tanpa menjelaskan peruntukan untuk jenis tanaman tertentu dan
termasuk tindakan-tindakan pengelolaannya. Menurut Sitohang et al. (2013), tujuan
menggunakan mitigasi pencegahan kelas kemampuan lahan adalah untuk mengelompokan
lahan yang dapat digunakan bagi pertanian yang berdasarkan potensi dan pembatasnya
untuk mendapat produksi yang baik. Pengelompokan kemampuan lahan dapat didasarkan
pada besarnya faktor kendala atau pembatas (penghambat).
Penentuan kelas kemampuan lahan dapat dilakukan dengan membandingkan nilai
faktor penghambat pada unit lahan. Faktor penghambat tersebut meliputi kemiringan lereng,
tingkat erosi, kedalaman tanah, tekstur tanah, permeabilitas, drainase, presentase
batuan/kerikil, serta ancaman banjir (Osok et al., 2018). Kelas kemampuan lahan dapat
digunakan dalam menentukan upaya konservasi yang dapat dilakukan pada suatu lahan.
Kelas kemampuan lahan dapat dikelompokkan menjadi 8 kelas. Arahan penggunaan lahan
pada setiap kelas kemampuan lahan berbeda satu dengan lainnya. Setelah penentuan kelas
kemampuan lahan dilakukan evaluasi penggunaan lahan. Menurut Duwila (2019) evaluasi
kemampuan lahan merupakan kegiatan penilaian atas potensi lahan, dapat dilakukan
dengan cara mengidentifikasi karakteristik lahan suatu daerah. Dengan informasi yang
akurat mengenai kualitas suatu lahan, data tersebut dapat dijadikan dasar dalam rencana
pemanfaatan lahan yang optimal dan lestari. Arahan penggunaan lahan berdasarkan kelas
kemampuan lahan menurut DPIE (2012) adalah sebagai berikut:
1. Kelas I
Lahan dengan kelas kemampuan lahan I merupakan lahan yang hanya sedikit atau
bahkan tidak memiliki faktor pembatas. Pada kelas I praktik pengelolaan lahan khusus tidak
diperlukan, bebas dari batu–batu besar, kelerengan <1%, dan tidak memiliki masalah erosi.
Lahan yang termasuk dalam kelas I cocok digunakan sebagai lahan pertanian.
2. Kelas II
Kelas kemampuan lahan II memiliki sedikit faktor pembatas dan dapat dikelola
menggunakan praktik manajemen yang mudah diterapkan. Tindakan konservasi tanah yang
dapat dilakukan pada kelas ini seperti rotasi tanaman dan pengolahan tanah yang tepat.
Lahan dalam kelas II dapat digunakan untuk pertanian tanaman semusim, padang rumput,
padang penggembalaan, hutan produksi, hutan lindung, dan cagar alam.
3. Kelas III
Kelas kemampuan lahan III memiliki faktor pembatas sedang – tinggi dimana perlu
adanya tindakan konservasi untuk mencegah degradasi tanah. Tanah pada kelas III cukup
baik digunakan untuk kegiatan pertanian tetapi dengan pengelolaan lahan yang tepat. Rotasi
tanaman dapat diterapkan untuk mengatasi faktor pembatas pada kelas ini. Arahan
penggunaan lahan yang direkomendasikan untuk lahan dengan kelas kemampuan III yaitu
tanaman semusim, padang penggembalaan, hutan produksi, hutan lindung, dan suaka
margasatwa.
4. Kelas IV
Tanah pada kelas kemampuan lahan IV memiliki faktor pembatas yang besar.
Penggunaan untuk lahan pertanian pada kelas ini dapat dilakukan tetapi terbatas pada
pemilihan komoditas dan memerlukan pengelolaan dengan manajemen yang tepat.
Kemiringan lahan pada tanah ini berkisar 15-30% dengan drainase yang buruk dan
kedalaman efektif yang dangkal. Oleh karena itu, arahan penggunaan lahan pada kelas ini
cocok digunakan sebagai padang rumput.
5. Kelas V
Faktor pembatas pada tanah dengan kelas kemampuan lahan V yaitu tergolong parah.
Pada kelas ini lahan sudah tidak dapat digunakan untuk pertanian tanaman semusim. Hal ini
dikarenakan pada kelas ini kondisi lahan tergenang oleh air, kedalaman dangkal, pH rendah,
dan memiliki kemiringan 10–20%. Lahan pada kelas V dapat ditanami rumput ataupun
pepohonan dengan pengelolaan yang tepat. Oleh karena itu, arahan penggunaan lahan
pada kelas V lebih cocok digunakan sebagai padang rumput, padang penggembalaan, hutan
produksi, dan suaka alam.
6. Kelas VI
Tanah dengan kelas kemampuan lahan VI memiliki pfaktor pembatas sangat parah
sehingga hanya sedikit praktik pengelolaan yang dapat dilakukan. Lahan dengan kelas ini
tidak cocok untuk kegiatan budidaya. Akan tetapi lebih direkomendasikan terbatas untuk
padang rumput, padang penggembalaan, hutan produksi, hutan lindung, atau cagar alam.
7. Kelas VII
Pada kelas kemampuan VII keterbatasan yang ada sangat parah karena memiliki
tngkat degradasi yang parah, curam, berbatu, dan pengendalian erosi cukup sulit. Oleh
karena itu pada kelas ini tidak cocok untuk semua jenis tanaman. Akan tetapi pada kelas ini
5 sangat terbatas untuk padang rumput, hutan produksi, dan suaka alam dengan usaha
pencegahan erosi yang berat.
8. Kelas VIII
Tanah dengan kelas kemampuan lahan VIII membatasi penggunaan lahan hanya
untuk pariwisata dan suaka alam. Tanah ini tidak cocok untuk produksi pertanian karena
faktor pembatas sangat parah. Tanah ini memiliki kemiringan hingga 50% dan Sebagian
besar merupakan area batuan singkapan.
2.2 Faktor Penyebab Terjadinya Erosi
Erosi dapat disebabkan oleh banyak hal, mulai dari curah hujan, minimny tutupan
lahan, kurangnya kemampuan tanah memegang air, dan banyak lagi. Berdasarkan (Wibowo
et al., 2016) Erosi dipengaruhi oleh faktor iklim yaitu hujan, topografi yaitu kemiringan serta
pajang lereng yang nantinya berhubungan dengan terjadinya aliran permukaan dan erosi,
vegetasi yaitu tanaman sebgai pelindung permukaan tanah terhadap hujan, serta akibat
manusia, yaitu terjadinya perubahan kondisi lingkungan dari lahan pertanian menjadi lahan
non-pertanian seperti pemukiman warga, dan lainnya. Terjadiny konversi atau perubahan
fungsi lahan diakari oleh nilai sewa pemukiman yang lebih tinggi dibnading harga sewa
hutan ataupun pertanian. Hal tersebut akhirnaya berakibat kurangnya vegetasi atau tanaman
di suatu daerah sehingga tanahnya cendurung tidak mampu mmegang air dan air yang
terserap pun akan sia sia karena tidak ada tanaman yang menyerap. Perubahan yang dapat
terjadi pada laju erosi bergantung pada beberapa faktior, yaitu erosivitas hujan, faktor
tutupan lahan, serta pengelolaan dari tanama. Nilai erosivitas didapati dari curah hujan yang
terjaid pad daerah tersebut, dan faktor tutupan lahan beserta pengelolaannya didapatkan
dari dakondisi keraatan vegetasinya dan pengolahan lahannya. Dikutip dari Huda et al.
(2019) faktor yang mempengaruhi perubahan laju erosi adalah curah hujan atau erosvitas
hujan, jenis tutupan lahan besertcara pengelolaannya. Namun yang sangat memberikan
dmapak besar adalah adany aperubahan lahan dimana mempengerahui kenaikan
persentase erosi yang terjadi.
Pertama, hujann menjadi salah satu faktor terjadinya erosi karena adanya energi
kinetik hujan yang saat jatuh, memliki kecepan dan kekuatan yang mampu menimbulkan
kerusakan pada tanah. saat Hujan jatuh ke bumi, tepatnya permukaan tanah, terdapat
energi kinetik besar padanya yang mampu menghancurkan partikel-partikel tanah serta
nantinya dapat membuat kondisi tanah tidak stabil (Sitepu et al., 2017). Kedua, jenis tutupan
serta pengelolaannya pada lahan dapat mempengaruhi erosi yang terjadi karena adanya
perbedaan atas tajuk tanaman yang menutupi tanah, ataupun tinggi tanaman yang mampu
memperlambat jatuhnya air hujan langsung ke tanah. Morfologi setiap tanaman, seperti
kerapatan kanopi, tinggi pohon, kerapatan tanaman, diameter batang, bentuk percabangan,
hingga sistem perakaran mempengaruhi proses erosi secara berbeda. Vegetasi dapat
mengakumulasi serta menahan air hujan yang jatuh sebelum sampai ke permukaan tanah
(Rokhmaningtyas & Setiawan, 2017).
2.3 Erosi Diperbolehkan
Erosi terjadi diawali dengan proses benturan sehingga muncul gaya-gaya tarikan yang
bekerja pada partikel orang tanah di permukaan. Siklus pergantian udara, semacam siklus
panas-dingin, basah-kering menyebabkan batuan menjadi lebih mudah pecah mejadi partikel
kecil serta tarikan antar partikel tanah menjadi lemah. Saat air hujan mengenai permukaan
tanah hingga secara langsung dapat menimbulkan hancurnya agregat tanah. Agregat tanah
yang hancur akan menutup pori-pori tanah sehingga kemampuan infiltrasi tanah akan
menurun. Apabila dibiarkan, maka dapat menyebabkan aliran di permukaan tanah cukup
untuk melimpas bahan-bahan permukaan (surface runoff). Limpasan permukaan yang
muncul akan membawa partikel-partikel tanah bagian atas yang memiliki kandungan bahan
organik tinggi. Akibatnya, tanah kehilangan bahan organik yang penting dan menyebabkan
kualitas tanah menurun.
Erosi yang diperbolehkan (EDP) merupakan jumlah tanah tererosi yang diperbolehkan
per tahun supaya produktivitas lahan tidak menurun sehingga tanah senantiasa produktif
secara lestari. Besar laju erosi (A) dihitung menggunakan tata cara USLE dengan
mengalikan nilai dari tiap parameter, yaitu aspek erosivitas hujan (R), aspek erodibilitas
tanah (K), aspek panjang serta kemiringan lereng (LS), aspek pengelolaan tumbuhan (C)
serta aspek konservasi tanah (P) yang dinyatakan dalam ton/ ha/ tahun. Unit analisis dalam
perhitungan besar laju erosi merupakan satuan lahan.
A = R x K x LS x CP
Wischmeier serta Smith (1978 dalam Arsyad, 2010) menyatakan bahwa untuk
menghitung erosi yang diperbolehkan wajib mempertimbangkan:
1. Ketebalan susunan tanah atas;
2. Sifat fisik tanah;
3. Pencegahan terbentuknya erosi (gully);
4. Penyusutan kandungan bahan organik;
5. Kehilangan zat hara tumbuhan.
Tanah yang memiliki solum tebal, mempunyai nilai Edp lebih besar dari tanah yang
bersolum tipis. Nilai Edp di daerah dengan proses pembuatan tanah yang cepat akan lebih
besar daripada di wilayah dengan proses pembentukan tanah yang lambat (Sarwono, 2013).
Dalam memastikan sesuatu unit lahan apakah membutuhkan aksi konservasi ataupun tidak,
hingga dicoba perbandingan antara laju erosi yang diperbolehkan(EDP) dengan laju erosi
aktual( A). Laju erosi yang diperbolehkan, dihitung dengan persamaan Hammer (Hammer,
1981 dalam Arsyad, 2010) dengan rumus:
[ Kedalamanefektif (mm) x Faktor kedalaman]
EDP =
Umur tanah
Konservasi tanah serta air didasarkan atas perbandingan antara erosi aktual dengan
erosi yang diperbolehkan. Apabila erosi aktual lebih kecil daripada erosi yang
diperbolehkan(A<EDP) hingga wilayah tersebut butuh dipertahankan supaya kondisinya
senantiasa lestari. Sebaliknya apabila erosi aktual melampaui erosi yang
diperbolehkan(A>EDP), hingga wilayah ini butuh perencanaan konservasi tanah serta air
dengan memikirkan antara aspek tumbuhan serta pengelolaannya (C) dan aspek metode
konservasinya (P). Perencanaan konservasi dicoba dengan memilah sebagian alternatif
aspek C serta P, sehingga erosi aktual jadi lebih kecil dibanding dengan erosi yang
diperbolehkan.
2.4 Rekomendasi Erosi
Tingkat erosi pada suatu lahan akan membutuhkan tindakan konservasi apabila nilai
erosi aktual yang didapat di lapang sudah melebihi nilai erosi yang diperbolehkan pada lahan
tersebut. Tindakan konservasi dapat dilakukan dengan menyesuaikan permasalahn yang
ada di lapangan dan memperhatikan bagaimana kondisi sosial ekonomi serta lingkungan
yang ada disekitar lahan tersebut. terdapat 3 jenis metode tindakan konservasi, yang terdiri
dari konservasi metode mekanik, konservasi metode vegetatif, dan konservasi metode kimia.
2.4.1 Konservasi Metode Mekanik
Konservasi dengan metode mekanik merupakan salah satu cara pengendalian erosi
lahan dengan perlakuan secara mekanis. Menurut Karyati dan Sarminah (2018) metode
mekanik ini dapat diartikan sebagai perlakuan fisik mekanis yang diberikan terhadap tanah
dengan membuat suatu bangunan sebagai tindakan mengurangi erosi serta meningkatkan
kemampuan penggunaan tanah. Konservasi dengan metode mekanik umumnya terdiri dari
beberapa tindakan, seperti pengaturan pengolahan tanah, pembuatan teras, pembuatan
saluran pembuangan air, dan pembuatan bendungan pengendali. Erosi dapat disebabkan
karena ketidaktepatan pengeolahan tanah pada suatu lahan, seperti pengolahan tanah yang
terlalu sering dapat mengakibatkan tanah akan menjadi lebih gembur dan terbuka dalam
waktu lama, sehingga laju evapotransporasi akan meningkatkan dan daya pegang tanah
terhadap air berkurang. Menurut Ariska et al. (2016) untuk mengurani dampak olah tanah
dapat diatasi dengan olah tanah konservasi yang merupakan pengolahan tanah atau sistem
tanam dimana terdapat 30% atau lebih penutup tanah dengan residu tanaman sisa panen.
Penerapan jangka panjang tindakan olah tanah konservasi dipercaya dapat memberikan
dampak positif terhadap keberlanjutan suatu lahan. Keuntungan yang diberikan dari sistem
pengolahan tanah konservasi yaitu meningkatkan kandungan bahan dan ketersediaan air
dalam tanah, memperbaiki kegemburan dan porositas tanah, mengurangi erosi,
memperbaiki kualitas air, meningkatkan jumlah fauna tanah, menghemat tenag, waktu, dan
mengurangi penggunaan alat berat seperti traktor (Jambak et al., 2017). Tindakan lain dalam
metode konservasi secara mekanik yaitu pembuatan teras. Pengendalain dengan
pembuatan teras memiliki peran dalam mengurangi panjang lereng dan sebagai penahan air,
sehingga dapat mengurangi aliran permukaan dan air dapat diserap oleh tanah (Fatimah &
Dibyosaputro, 2015). Pembuatan teras banyak dilakukan pada pertanian yang berada pada
daerah dataran tinggi dengan berbagai macam bentuk. Karyati dan Sarminah (2018)
menjelaskan bahwa terdapat 4 macam terasa berdasarkan bentuk dan fungsinya, yaitu teras
datar, teras kridit, teras pematang/guludan, dan teras bangku. Menurut Rismayanti (2018)
teras datar ini juga dapat diartikan sebagai teras sawah berupa bangunan konservasi tanah
dengan tanggul sejajar kontur. Tujuan dari pembuatan teras datar ini yaitu dapat menahan
air, menyerap air, pembasahan tanah, dan pengaliran air. Teras kridit umumnya dibuat pada
lahan dengan kemringan 3-10% yang dimulai dengan pembuatan jalur penguat teras
guludan yang sejajar dengan garis kontur dan ditanami tanaman seperti lontoroagung atau
yang lainnya dengan jarak antara jalur 512 m.Teras pematang/guludan umumnya dibuat
pada lahan dengan kemiringan 10-40% dengan bentuk teras berupa pematang yang dibuat
sejajar garis kontur dan berjajar dari atas kebawah. Kemiringan pematang dibuat sekitar
0,1% ke arah saluran pembuangan air atau datar apabila tanahnya bertekstur lepas dan
memiliki daya serap air yang tinggi. Pematang pada bagian puncak diusahakan agar tidak
dapat dijangkau air (luapan air), karena beresiko terhadap rusaknya pematang (Karyati dan
Sarminah, 2018).Menurut Monde (2010) teras gulud yang dibangun akan lebih efektif dalam
menekan erosi, apabila jarak antara guludan 4 m pada lereng 8% serta
mengkombinasikannya dengan mulsa secara vertikal. Teras bangku biasanya dibuat pada
lahan dengan keiringan 10-30%, menurut Karyati dan Sarminah (2018) Teras bangku dapat
diartikan sebagai serangkaian bidang datar atau hampir datar yang miring ke sebelah dalam
sekitar 3%. Anau et al.(2022) juga menjelaskan bahwa sejak tahun 1975, teras bangku telah
menjadi bagian dari kegiatan penghijauan sejak diberlakukannya inpres pengahijauan
dengan perannya dalam mengurangi panjang lereng, menahan air, dan mengurangi
terjadinya limpasan permukaan.
Selain pembuatan teras, tindakan konservasi dengan metode mekanik dapat dilakukan
dengan tindakan pembuatan saluran pembuangan air. Saluran pembuangan ini digunakan
untuk menampung air permukaan yang tidak dapat diserap oleh tanah, sehingga air tidak
terkumpul pada sembarang tempat dan tidak dapat menimbulkan erosi. Menurut Karyati dan
Sarminah (2018) pembuatan aluran pembuangan dilakukan dengan menyesuaikan arah
lereng dan air aliran permukaan berasal dari saluran diversi atau saluran air yang ada di
dalam teras. Saluran diversi ini dapat berperan dalam menangkap air aliran permukaan dan
membelokkannya ke saluran pembuangan. Terdapat beberapa struktru saluran pembuangan
dalam pengendalian genangan air menurut Agusri dan Jonizar (2016), antara lain:
1. Stormwater Ponds
Saluran pembuangan air ini memiliki struktur penampungan air berbentuk kolam
permanen dengan ukuran kecil, nantinya limpasan air hujan dapat ditampung dan dioalh
ke dalam kolam. Air yang diolah merupaka air yang melalui pengendapan dan mekanisme
pengambilan secara biologi
2. Stormwater Wetlands
Konstruksi jenis ini umumnya digunakan dalama manajemen genangan air. Volume air
lipmasan disimpan serta diolah dalam sarana wetland
3. Bioretention Areas
Konstruksi jenis ini berbentuk kolam genangan air yang dangkal atau berupa area
pertanaman yang menggunakan pengolahan lahan serta vegetasi untuk menahan dan
mengolah limpasan.
4. Sand Filters
Konstruksi jenis ini merupakan struktru multi-ruang yang didesain agar dapat
menyaring air limpasan. Nantinya limpasan yang sudah tersaring dapat dipakai
pengendapan sedimen dengan dasar pasir sebagai saran filter utama. Salah satu
konstruksi ini merupaka sistem penumpul drainase bawh permukaan.
5. Infiltration Trench
Konstruksi ini mengisi galian saluran dengan agregat batuan sehingga dapat menahan
dan memperlancar infiltrasi limpasan genangan ke dalam tanah secara merata dari
bawah dan sisi saluran.
6. Enhanced Swales
Konstruksi ini memiliki saluran vegetasi terbuka yang didesain serta dibangun untuk
menahan dan mengolahlimpasan genangan. Struktur ini menahan genangan dengan cara
kering atau basah terbentuk chech dams atau lainnya.
Kegiatan konservasi mekanik yang lainnya yaitu pembuatan bendungan pengendali
(check dam). Bendungan ini dapat diartikan sebagai waduk kecil yang memiliki konstruksi
khusus dan dibuat di daerah berbukit dengan kemiringan lapisan dibawah 30%.
Konstruksinya digunakan untuk menampung aliran permukaan dan sedimen hasil erosi,
meningkatkan jumlah resapan air ke tanah, dan mendekatkan permasalahannya pada
masyarakat. Bendungan yang tepat dapat dilihat dari luas bendungan pengendali dengan
daerah alirannya, serta karakteristik dari aliran permukaan yang terjadi di daerah tersebut.
(Karyati dan Sarmina, 2018).
2.4.2 Konservasi Metode Vegetatif
Umumnya konservasi dengan metode mekanik akan selalu diikuti oleh metode
vegetatif. Metode ini juga dapat diartikan sebagai suatu tindakan pengendalian erosi secara
biologi dengan memanfaatkan vegetasi yang ada pada sekitar lahan. Menurut Prima et al.,
(2021) terdapat beberapa teknik dalam konservasi dengan metode vegetatif, antara lain.
1. Tumpang Gilir
Teknik tumpang gilir yang dilakukan sepanjang tahun, mampu meningkatkan intensitas
tanam, sehingga tidak hanya produktivitas lahan yang meningkat, tetapi juga tindakan
konservasi secara vegetatif.
2. Tumpang Sari
Teknik ini merupakan cara pengendalain dengan menggabungkan dua jenis vegetasi
dalam satu petak lahan. Pola tanam jenis ini dipercaya mampu meningkatkan prosuktvitas
tanaman dan juga kualitas tanahnya. Pemilihan tanaman tumpang sari dapat disesuaikan
dengan kondisi lahan dan perlu dengan tepat memilih vegetasi yang akan ditanam agar
tidak terjadi persaingan.
3. Tanaman Penutup Tanah
Tanaman penutup ini dampat memberikan dampak positif yang cukup besar terhadap
kualitas tanah. Erosi tanah dapat direduksi karena tanah tidak secara langsung terkikis
oleh air hujan.
4. Mulsa Bahan Hijauan
Mulsa umumnya dihasilan dari sisa-sisa tanaman atau sisa panen. Mulsa dapat
diaplikasikan ketika tahap persiapan penanaman. Fungsi dari pemakaian mulsa ini hampir
sama dengan fungsi dari tanaman penutup tanah, yaitu mengurangi terjadinya erosi
tanah.
2.4.3 Konservasi Metode Kimia
Selain konservasi secara mekanik dan vegetatif, terdapat metode lain yang
memanfaatkan aspek kimia dalam kegiatan konservasi tanah dan air. Umumnya
pengendalain menggunakan metode kimia ini memanfaatkan bahan pemantap tanah (soil
conditioner) untuk memperbaiki struktur tanah sehingga tanah akan tetap tahan terhadap
erosi. Menurut Mulyani (2018) zat perekat dan memberikan ketersediaan unsur hara yang
tanaman butuhkan dan mampu memperbaiki tanah selama proses pertumbuhan tanaman
merupakan manfaat dari bahan pembenah tanah. Berdasarkan peraturan menteri pertanian
no.28 Tahun 2009, bahan pemantap tanah adalah bahan-bahan sintesis atau alami, organik,
atau mineral yang memiliki bentuk padat maupun cair yang dapat memperbaiki sifat fisika,
kimia, dan biologi tanah.
III. METODE PENELITIAN
3.1 Tempat dan Waktu
Kegiatan fieldwork teknik konservasi sumberdaya lahan (TKSDL) dilaksanakan pada
hari Sabtu, 11 Maret 2023. Kegiatan fieldwork bertempat di Desa Oro-oro Ombo, Kecamatan
Batu, Kota Batu, Provinsi Jawa Timur. Dilihat dari letak geografisnya luas wilayah desa
ini adalah 999 Ha, tinggi tempat dari permukaan laut 900 meter. Dari Astronomi berada
pada posisi 7 0 55’70 57’ BT dan 1150 17’1180 19’ LS. Kondisi iklim yang meliputi curah
hujan rata-rata per tahun antara 2000 - 3000 mm dengan suhu sekitar 24 – 26°C, serta bulan
basah sekitar 7 bulan dan bulan kering 5 bulan (Nurhayati, 2022).
3.2 Alat dan Bahan
Kegiatan fieldwork Teknik Konservasi Sumberdaya Lahan (TKSDL) dibutuhkan
beberapa alat dan bahan beserta fungsinya, Adapun alat yang digunakan dalam kegiatan
fieldwork disajikan pada

No. Alat Fungsi

1 Meteran Sebagai pengukur luasan SPL

2 Gunting Untuk memotong kertas label dan tali rafia

3 Balok Penekan Sebagai media untuk menekan block spot agar masuk kedalam
tanah

4 Ring Sampel Sebagai alat untuk mendapatkan sampel tanah utuh

5 Cetok Sebagai alat untuk mengambil sampel tanah

6 Ring Master Sebagai alat untuk mendapatkan sampel tanah utuh dan
membantu ring sampel

7 Karet Sebagai pengikat plastic sampel tanah

8 Spidol Untuk memberikan keterangan sampel pada label


Permanen

9 Ayakan Sebagai alat penyaring tanah komposit

10 Oven Untuk mengeringkan tanah

11 Penggaris Alat untuk mengukur ring sampel

12 Klinometer Sebagai alat berupa aplikasi untuk mengukur kemiringan lereng

13 Stopwatch Sebagai alat untuk menghitung durasi permeabiltas

14 Kompas Sebagai alat untuk menentukan arah

15 Palu Sebagai alat untuk menekan balok penekan pada box plot

16 Alat tulis Untuk mencatat hasil kegiatan praktikum


17 Erlenmeyer Sebagai tempat untuk pencampuran larutan

18 Gelas Ukur Sebagai wadah pengukur volume larutan

19 Mekser Untuk mencampur sampel dan larutan

20 Pipet Untuk mengambil sampel

21 Cawan Untuk tempat peletakan sampel dari pipet


Aluminium

22 Corong Sebagai alat untuk membantu menuang sampel tanah ayakan 0,5
mm

23 Mortal dan Pistil Untuk menghaluskan sampel tanah

Sedangkan bahan yang digunakan dalam kegiatan fieldwork disajikan pada Tabel

No Bahan Fungsi

1 Plastik Sebagai wadah sampel tanah

2 Karet Sebagai pengikat plastic sampel tanah

3 Air Sebagai bahan percobaan untuk permeabilitas

4 Aquades Untuk membasahi tanah komposit

5 Lakban Untuk menempelkan kertas label

6 Tali Rafia Untuk membuat plot

7 Kertas Label Untuk memberikan keterangan pada sampel

8 Kain Kasa Sebagai penutup dua sisi ring sampel tanah

9 Larutan H2O2 Untuk menghilangkan ikatan organic dengan cara membakat atau
oksidasi

10 Larutan Untuk menghilangkan ion atau senyawa perekat


Na4P2O7

11 Larutan HCl Untuk menghilangkan ion atau senyawa perekat

3.3 Metode
3.3.1 Metode Analisis Permasalahn
Metode analisis masalah yang digunakan dalam pengamatan adalah metode analisis
akar masalah. Dengan menggunakan analisis akar masalah akan diketahui akar
permasalahan di tiap-tiap SPL setelah dilakukan pengamatan. Jika telah diketahui akar
masalah, maka dapat dilakukan tindakan perbaikan atau pencegahan secara efektif dengan
harapan tindakan konservasi lahan yang tepat dapat dilakukan sesuai dengan karakter
masing-masing SPL.
3.3.2 Metode Klasifikasi Kemampuan Lahan
Pada penelitian ini, metode yang digunakan untuk menganalisis kelas kemampuan
lahan yaitu metode matching. Dalam metode ini, menggunakan perbandingan antara nilai
faktor penghambat pada unit lahan dengan tabel konversi. Faktor-faktor yang menjadi
penghambat diantaranya yaitu kemiringan lereng, kepekaan erosi tanah, tingkat erosi,
kedalaman efektif tanah, tekstur tanah, drainase, bahan kasar dalam tanah batuan/kerikil
dan ancaman banjir. Pengelompokan kelas kemampuan lahan memerlukan
kelompok/kriteria yang menempatkan lahan kedalam pengelompokan satuan kelas atau
pengelompokan sub kelas. Setelah dianalisis kemudian lahan dicocokan ke dalam kelas
kemampuan yang sesuai berdasarkan tabel konversi yang ada (Supriadi et al., 2017).
3.3.3 Metode Penentuan Batas Lahan (SPL)
Pengamatan yang dilakukan mencakup analisis terhadap 2 SPL, dimana penentuan
SPL-nya dilakukan dengan mencari lahan dengan kemiringan lereng yang berbeda. Maka,
untuk mengetahui hal tersebut dilakukan pengukuran kemiringan lereng menggunakan
klinometer. Menurut Dermawan et al. (2018), lahan dengan persamaan kemiringan
umumnya menjadi satuan lahan yang sama atau satuan lahan homogen (SLH). Selain
kemiringan yang berbeda, penggunaan lahan juga dapat menjadi acuan, seperti penutupan
lahan dengan tanaman berbeda dan/atau pengelolaan berbeda. Berdasarkan Hikmatullah et
al. (2014) satuan lahan berarti suatu hamparan dengan keseragaman atau kemiripan
karakteristik, seperti landform, bahan induk, dan lereng. Dalam membedakan satuan lahan,
dasar penentuannya komponen satuan lahan, yang mana memiliki pengaruh atas proses
pembentukan tanah serta sifat-sifatnya.
3.3.4 Metode Pengambilan Contoh Tanah
Terdapat 2 contoh tanah yang diambil dari kegiatan fieldwrok, yaitu sampel tanah utuh
dan sampel tanah komposit. Sample tanah utuh digunakan untuk menetapkan sufat-sifat fisik
tanh, sedangkan sampel tanah komposit digunakan untuk menetapkan tekstur dan sifat-sifat
kimia tanah (Handayani dan Karmilasanti, 2013) . Sampel tanah utuh diambil menggunakan
ring sampel dan ring master. Sedangkan, sampel tanah komposit diambil secara acak pada
5 titik pada taip SPL secara diagonal atau zigzag. Pada pengambil sampel tanah utuh,
posisikan ring sampel berada dibagian bawah dan ring master berada diposisi atas. Terlebih
dahulu tekan ring sampel ke dalam tanah hingga ¾ bagian terisi pada ring, kemudian letakan
ring master diatasnya dan balok untuk membantu agar ring sampel dapat masuk ke lapisan
yang lebih dalam. Tekan ring sampel menggunakan palu hingga kedua ring sudah masuk
secara penuh ke dalam tanah. Ambil ring dengan cara menggali secara hati-hati tanah yang
berada disekitar ring agar tanah pada ring tidak rusak. Kemudian, simpan ring sampel
beserta tanah yang ada di dalamnya dengan menggunakan plastik dan simpan secara rapat.
Pengambial sampel tanah komposit dilakukan dengan mengambil secara acara sampel
tanah pada 5 titik pada setiap SPL. Pola pengambilan sampel yang digunkana pada kegiatan
fieldwork ialah dengan pola diagonal. Tanah yang diambil merupakan tanah pada bagian
permukan dengan kedalamn 0-10 cm dari atas permukaan tanah serta berat tanah total + 2
Kg.
3.3.5 Metode Analisis Tanah
Langkah pertama dilakukan untuk analisa tekstur tanah yaitu menyiapkan alat dan
bahan. Kemudian, menyiapkan preparasi sampel dengan tanah dikering anginkan.
Kemudian tanah dihaluskan dengan mortal dan pistil. Selanjutnya tanah disaring ayakan 2
mm dan tanah dikompositkan. Setelah itu, menimbang tanah yang sudah dikompositkan
sebanyak 20 g. Kemudian dimasukkan ke dalam Erlenmeyer 250 ml. Lalu, dimasukkan ke
ruang asam sebelum diberi bahan kimia. Selanjutnya, ditambahkan air aquades 50 ml dan
peroksida (H2O2) 10 ml 30%, tunggu sampai tidak ada reaksi (1 jam). Kemudian
menambahkan larutan Na4P2O7 (Calgon) 20 ml konsentrasi 5% dan dihomogenkan. Setelah
itu, didiamkan 1 malam, supaya terjadi despresi secara kimia. Selanjutnya, memindahkan
hasil dispersi ke dalam tabung dispersi mekanik dan menambahkan aquades secukupnya.
Dispersi dilakukan selama 5 menit dan tuangkan pada ayakan 0,05 mm. Larutan yang lolos
ayakan ditampung dalam gelas ukur 1 liter dan ditambahkan aquades sampai batas garis.
Tanah yang tertinggal pada saringan dikumpulkan dalam cawan dan dioven 110 oC 24 jam
sebagai massa pasir. Lalu meletakkan gelas berisi cairan pada meja pipet dan kocong
dengan tiang pengaduk karet. Kemudian mengambil 16 ml dengan pipet kedalaman 10 cm
maksimal 40 detik setelah diaduk dan ulangi setelah 6 jam 52 menit (jangan diaduk) dan
ditampung dalam cawan (cawan ditimbang terlebih dahulu). Setelah itu, dikeringkan dalam
oven 110oC 24 jam/Hot plate 3 jam suhu tinggi. Kemudian menimbang masing-masing
cawan dan isinya sebagai berat debu dan liat pada pipet I dan berat liat pada pipet II.
Selanjutnya, mengeringkan dalam oven 110oC 24 jam/Hot plate 3 jam suhu tinggi. Setelah
itu, mengambil 14 sampel di dalam oven dan mengayak sampel 1 mm; 0,5 mm; 0,25 mm;
0,125 mm; 0,05 mm. Terakhir memasukkan data ke dalam tabel pengamatan.
Analisis berat isi tanah bertujuan untuk mengetahui kepadatan tanah dan kemampuan
akar tanaman menembus tanah. Untuk menganalisis kadar air dan berat isi tanah, alat dan
sampel tanah utuh harus disiapkan terlebih dahulu. Sampel tanah utuh ditutup dengan kain
kasa kemudian diikat dengan karet gelang. Setiap sampel tanah kemudian ditandai dengan
label. Selanjutnya, timbang sampel tanah yang berada di ring sampel dan kain kasa dengan
menggunakan timbangan analitik. Kemudian catat dan dokumentasikan beratnya.
Selanjutnya masukkan sampel tanah tersebut ke dalam oven dengan suhu 105°C selama 1
x 24 jam. Setelah 1 x 24 jam sampel tanah dan ring dikeluarkan dari oven dan ditimbang,
kemudian hasilnya dicatat dan didokumentasikan. Sampel tanah kemudian dikeluarkan dari
ring sampel dan ditimbang pada timbangan analitik. Setelah penimbangan, timbang kembali
setiap ring sampel, kain kasa dan limbah karet yang digunakan dengan timbangan analitik
dan catat serta dokumentasikan hasilnya. Setelah itu, didapatkan informasi yang diperlukan.
Lalu menghitung berat isi (BI) tanah.
3.3.6 Metode Penentuan Erosi (USLE)
Setelah pengambilan semua data, tahap selanjutnya ialah menentukan erosi dengan
metode USLE. Erosi yang ditentukan merupakan erosi aktual dan eros yang diperbolehkan
agar dapat diketahui apakah erosi pada lahan tersebut dapat menjadi suatu permasalahn
atau tidak. Penentuan erosi aktual dan erosi yang diperbolehkan menggunakan rumus yang
berbeda. Penentuan erosi aktual menggunakan rumus sebagai berikut.
A=R x Kx L x S x C x P
Dimana:
A = Besarnya erosi (ton/ha/tahun)
R = Indeks erosivitas hujan
K = Faktor erodibilitas tanah
L = Faktor panjang lereng (m)
S = Faktor kemiringan lereng (%)
C = Faktor vegetasi
P = Faktor pengelolaan tanaman.
Indeks erosivitas hujan didapat dari perhitungan menggunakan rumus indeks erosivitas
bulanan.terdapat dua rumus yang dapat digunakan untuk menghitung indek erosivitas hujan
yaitu menggunakan rumus Bols (1978) atau menggunakan rumus Utomo dan Mahmud
(1984). Penggunaan rumus tersebut dapat disesuaikan dengan kondisi aktual di lapangan.
Keduanya memiliki rumus sebagai berikut,
 Bols (1978)
Rb=6,119 ¿
Dimana:
Rb = indeks erosivitas bulanan
CHb = curah hujan bulanan (cm)
HHb = jumlah hari hujan dalam satu bulan
CH 24 = curah hujan maksimum 24 jam dalam bulan tersebut (cm)
 Utomo dan Mahmud (1984)
Rb=10,80+ 4,15 CHb

Dimana:
Rb = indeks erosivitas bulanan
CHb curah hujan bulanan (cm)
Faktor erodibilitas merupakan faktor pada tanah yang menunjukkan resistensi partikel
tanah terhadap penghancuran dan transportasi partikel-partikel tanah akibat adanya energi
kinetik air hujan. Penentuan faktor erodibilitas dilakukan dengan perhitungan menggunakan
rumus sebagai berikut,

100 K=1,292 [ 2,1 M 1,14 ( 10−4 ) ( 12−a ) + ( b−2 ) 3,25+ ( c−3 ) 2,5 ]
Dimana:
K = erodibilitas tanah
M = parameter ukuran butiran tanah = (%debu + %pasir sangat halus) (100-%liat)
a = % bahan organik tanah
b = kode struktur tanah
c = kode permeabilitas tanah
Selanjutnya, pada penentuan panjang dan kemiringan lereng perlu dilakukan
perhitungan dengan menggunakan rumus pada kedua data tersebut. terdapat dua rumus
yang berbeda, disesuaikan dengan kemiringan lereng. Rumus tersebut yaitu, rumua Morgan
(1979) digunakan apabila kemiringan lereng < 22% dan rumus Gregory et al. (1977)
digunakan apabila kemiringan lereng >22. Kedua rumus tersebut yaitu sebagai berikut
 Morgan (1979)

√ λ
100
¿¿

Dimana:
LS = faktor panjang dan kemiringan lereng
S = kemiringan lereng (persen)
λ = panjang lereng (meter)
 Gregory et al. (1977)
¿
Dimana:
LS = faktor panjang dan kemiringan lereng
λ = panjang lereng (meter)
m = 0,5 untuk lereng > 5%
0,4 untuk lereng 3,5% - 4,9%
0,3 untuk lereng <3,5%
C = 34,7046
α = kemiringan lereng (derajat)
Menentukan nilai faktor tanaman/vegetasi (C) dan faktor pengelolaan lahan (P) dapat
didapat dari tabel yang sudah berisikan nilai-nilai indeks faktor C dan P. Faktor C diambila
berdasarkan data vegetasi dalam satu tahun dan dapat diamati jenis-jenis tanaman yang
dominan. Apabila dalam satu tahun terakhir terdapat lebih dari satu vegetasi yang dominan,
untuk mendapatkan nilainya, masing-masing indek vegetasi dapat di rata-rata. Nilai dari
faktor P harus disesuaikan berdasarkan kondisi aktual yang ada dilapangan dengan tabel
indeks faktor P. Penentuan nilai erosi yang lain yaitu menghitung nilai erosi yang
diperbolehkan untuk dijadikan pembanding dengan erosi aktual di lapangan. Rumus dari
erosi yang diperbolehkan yaitu sebagai berikut,
kedalaman tanah x faktor kedalaman
erosi diperbolehkan=
umur kelestarian
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Kondisi Lahan
4.1.1 Kondisi umum lahan
Kegiatan fieldwork Teknologi Konservasi Sumber Daya Lahan dilakukan pada lahan
pertanian yang berada di Desa Sumbergondo Kecamatan Bumiaji, Kota Batu, Provinsi Jawa
Timur. Desa Sumergondo merupakan desa yang berada di kaki lereng Gunung Arjuna
dengan suhu udara yang sejuk. Menurut Witjaksono et al. (2022), secara astronomis Kota
Batu terletak diantara 122o 17’10,90” – 122o 57’11” Bujur Timur (BT) serta diantara 7 o
44’55,11”- 8 o 26’35,45” Lintang Selatan (LS). Kota Batu terbagi ke dalam tiga kecamatan
yaitu Kecamatan Batu, Kecamatan Bumiaji, dan Kecamatan Junrejo. Kecamatan Bumiaji
memiliki luas kurang lebih 127,978 km2 atau sekitar 64,28% dari total luas Kota Batu.

Gambar X. Peta Wilayah Kota Batu


Secara Topografi Kota Batu terutama Kecamatan Bumiaji termasuk dalam daerah
datarang tinggi dengan ketinggian sekitar 950 mdpl (Badan Pusat Statistik, 2022). Kondisi
iklim Kota Batu memiliki suhu udara minimum sekitar 18-22oC dan suhu udara maksimum
sekitar 29- 32oC. Kelembaban udara Kota Batu berkisar antara 72-81% dengan curah hujan
rata-rata 153,92 mm/bulan (Witjaksono et al., 2022). Berdasarkan kondisi iklim tersebut
maka di Kota Batu cocok untuk dilakukan kegiatan pertanian tanaman gsub tropis
hortikultura.
Gambar X.Peta Lereng Kota Batu
Berdasarkan peta lereng pada kota batu dapat diketahui pada tanah di sekitas Sub
DAS Brantas memiliki kelerengan yang beragam. Wilayah landau/datar ditunjukkan yang
ditunjukkan oleh warna hijau digunakan sebagai wilayah pemukiman. Sedangkan wilayah
lain yang ditunjukkan oleh warna kuning hingga orange kemerahan merupakan daerah untuk
pertanian, perkebunan, maupun hutan. Hasil pengamatan yang dilakukan di lapangan
menunjukkan bahwa pada daerah dengan kemiringan lahan sangat curam berkisar antara
45–80% penggunaan lahan digunakan sebagai lahan agroforestry dengan tanaman tahunan.
Dimana pada sekitar lahan agroforestry tersebut merupakan lahan pertanian semusim dan
daerah landau di sekitarnya merupakan wilayah pemukiman.
Gambar x Kondisi Aktual Lahan
Pengamatan dilakukan pada lahan pertanian dengan membuat dua SPL
pengamatan. Pada masing-masing SPL memiliki vegetasi yang sama yaitu tanaman
musimam pada SPLpertama yaitu Wortel. Pada SPL kedua tanaman yang dominan adalah
bunga Daisy. SPL pengamatan berada pada lahan dengan panjang lereng yang berbeda.
SPL1 memiliki panjang lereng sebesar 22,40 m dan SPL 2 memiliki panjang lereng 46,40 m.
Berikut merupakan dokumentasi plot pengamatan pada lahan agroforestry di Desa Sumber
Brantas.SPLpengamatan pada lahan Subergondo memiliki kemiringan lahan yang sedang.
Pada SPL1 kemiringan lahan sebesar 28%, sedangkan pada SPL2 kemiringan lahan
sebesar 10%. Berdasarkan kondisi tersebut maka pengelolaan lahan yang dilakukan yaitu
dengan pembuatan teras bangku. Teras bangku ini sebagai salah satu bentuk konservasi
lahan untuk mengurangi laju erosi yang dilakukan pada lahan agroforestry
4.1.2 Analisis erosi yang dierbolehkan (EDP)

Data SPL 1 SPL 2


Kedalaman Tanah (mm) 1500 mm 1500 mm
Jenis Tanah Udands Udands
Faktor Kedalaman 1,00 1,00
Umur Kelestarian (Tahun) 300 Tahun 300 Tahun
Berat Isi Tanah (kg/dm3) 1,36 g/cm3 1,00 g/cm3
EDP (ton/ha/tahun) 68 ton/ha/tahun 50 ton/ha/tahun
Berdasarkan data diatas kedua SPL memiliki nilai EDP yang berbeda, pada SPL 1
memiliki nilai EDP lebih besar yaitu 68 ton/ha/tahun dibandingkan SPL 2 yang memiliki nilai
ED 50 ton/ha/tahun. Perbedaan nilai EDP pada masing-masing SPL berdasarkan data yang
digunakan untuk perhitungan, dipengaruhi oleh faktor berat isi tanah tiap SPL. Semakin
besar berat isi tanah pada suatu lahan maka semakin besar nilai EDPnya pada lahan
tersebut. Berat isi tanah dengan nilai lebih besar 1,2 g/cm3 menandakan tanah telah
mengalami proses pemadatan (Saputra et al, 2018). Semakin padat suatu tanah maka
semakin kecil peluang lahan tersebut untuk terjadi erosi sehingga nilai EDP akan semakin
besar.

4.1.3 Analisis erosi aktual

Kriteria SPL 1 SPL 2


Nilai R 1037,72375 1037,72375
Nilai K 0,155 0,155
Nilai LS 6,095 7,85
Nilai C 0,7 0,1
Nilai P 0,15 0,6
Potensi erosi aktual (A) 102,938 75,65
(ton/ha/tahun)
Berdasarkan hasil perhitungan potensi erosi aktual maka dapat disimpulkan bahwa
nilai erosi aktual yang didapatkan melebihi nilai erosi yang yang diperbolehkan. Praktik
budidaya di lahan SPL 1 dan 2 belum memenuhi kaidah konservasi tanah dan air sehingga
berpotensi menimbulkan kerusakan lingkungan. Oleh karena itu, dibutuhkan usaha untuk
menurunkan nilai erosi aktual dengan menerapkan konservasi mekanis maupun vegetatif.
Upaya yang dilakukan adalah mengantisipasi terjadinya limpasan permukaan akibat erosi,
seperti memperbaiki teras yang sudah ada, menambah kekasaran permukaan dan
menambahkan beberapa tanaman penutup (cover crop) sehingga dapat memperkecil
potensi nilai kinetik air hujan saat mengenai permukaan tanah.

4.1.4 Potensi Lahan


SPL 1

Faktor Pembatas Data Kelas


Tekstur tanah Lemung berliat (t2) IV
Lereng 28.% (l3) IV
Drainase baik (d0) I
Kedalaman efektif >90CM (k0) I
Tingkat erosi ringan (e1) II
Batu/kerikil sedikit (b1) IV
Bahaya banjir kadang-kadang (o1) II
Klasifikasi KKL IV l, b, t

SPL 2

Faktor Pembatas Data Kelas


Tekstur tanah Lempung berliat IV
Lereng 10% (l2) III
Drainase baik (d0) I
Kedalaman efektif >90CM (k0) I
Tingkat erosi ringan (e1) II
Batu/kerikil sedikit (b1) IV
Bahaya banjir kadang-kadang (o1) II
Klasifikasi KKL IV b, t
Berdasarkan data hasil analisis KKL kedua lahan, diketahui bahwa kedua SPL memiliki
kelas yang sama, yaitu kelas IV, dengan faktor pembatas pada SPL 1 adalah lereng dan
batuan dan SPL 2 adalah batuan. Lahan yang memiliki KKL kelas IV termasuk ke dalam
kategori lahan yang dianjurkan untuk digunakan sebagai lahan pertanian tanaman semusim,
lahan gembala, hutan lindung, maupun hutan cagar alam. Berdasarkan Budiarta (2014),
lahan dengan KKL kelas IV sangat membutuhkan pemeliharaan kesuburan serta kondisi fisik
tanah. Lahan tersebut boleh digunakan untuk lokasi penanaman tanaman semusim,
pertanian, dan rumput, serta bisa digunakan sebagai hutan produksi, padang
penggembalaan, hutan lindung, dan cagar alam.Maka dari itu, dapat diketahui bahwa
penggunaan lahan pada SPL 1 dan SPL 2 telah sesuai dengan potensi dan kemampuan
lahannya.

4.1.5 Permasalahan
Permasalahan yang ada pada SPL 1 serta SPL 2 yakni kelerengan yang tinggi dengan
kelereng pada SPL 1 yakni sebesar 28% dan pada SPL 2 yakni sebesar 10%. Lereng 22
yang semakin curam memiliki potensi erosi yang semakin besar. Hal ini didukung oleh
pendapat Putra et al (2018) mengatakan semakin besar nilai lereng maka semakin besar
pula potensi erosi yang terjadi. Lereng yang curam akan menyebabkan air hujan lebih
mudah mengalami limpasan permukaan (runoff) dimana limpasan permukaan menjadi salah
satu penyebab erosi. Sehingga semakin besar nilai lereng, maka limpasan permukaan akan
semakin besar pula. Kelerengan menurut Dewi (2012) akan menyebabkan air memiliki
kesempatan lebih kecil untuk masuk kedalam tanah sehingga potensi limpasan permukaan
semakin besar dan erosi semakin mudah terjadi. Kecepatan dari limpasan permukaan juga
dipengaruhi oleh besarnya nilai lereng. Lereng yang semakin curam akan membuat laju
aliran dari limpasan permukaan semakin cepat. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sihombing
(2013) bahwasannya kelerengan yang curam akan memperbesar kecepatan aliran air dari
limpasan permukaan (runoff). Sehingga erosi yang terjadi lebih besar dan lebih cepat.
Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan pada SPL 1 dan SPL 2,
didapatkan bahwa lahan terletak didataran berbukit, umumnya memerlukan perlakuan
khusus karena mempunyai faktor erosi lebih banyak. Pada lahan yang diamati terlihat
terdapat bedengan-bedengan teras tetapi tidak konsisten. SPL 1 memiliki kelas IV dengan
faktor pembatas kelrangan dan batu kerikil. Penggunaan lereng tersebut dengan vegetasi
tanaman semusim termasuk kategori agak sesuai lahan karena jika digunakan untuk
tanaman semusim diperlukan pembuatan teras, saluran drainase, penutup tanah, dan
pergiliran tanaman (Dewi, 2012). Kondisi aktual di lapangan, lahan telah dibuat teras namun
tidak ada saluran drainase dan kurang tanaman penguat (pohon), serta aliran air irigasi yang
kering karena dibendung di area hulu. Rendahnya permeabilitas yang diikuti oleh rendahnya
laju infiltrasi air menurut Arifin (2010) memiliki kemampuan untuk mengakibatkan limpasan
permukaan (runoff) yang tinggi. Limpasan permukaan sendiri akan menyebabkan
pengangkutan material-material pada permukaan tanah atau dengan kata lain
mengakibatkan erosi
5.1 Rekomendasi Konservasi
5.1.1 Rekomendasi Konservasi Masing-Masing SPL
SPL Kondisi Aktual Akar Masalah Rekomendasi Indikator
Lahan Keberhasilan
1 Teras guludan Teras dibuat tanpa Rekomendasi Penurunan nilai
dengan pohon jeruk tanaman penguat konservasi pada erosi aktual pada
sebagai tanaman teras dan aliran air SPL 1 dilakukan lahan sehingga
penguat teras pada lahan tidak dengan 2 metode tidak lagi
terarahkan karena yaitu secara melampaui nilai
tidak ada vegetatif dan EDP. Tanaman
pembuatan mekanis. penguat teras
saluran drainase.  Vegetatif berupa diharapkan dapat
tanaman mempertahankan
penguat teras bentuk teras
dengan dengan
tanaman yang menambah
digunakan kekasaran
adalah rumput permukaan tanah
gajah. sehingga tidak
 Mekanis yaitu terjadi limpasan
pembuatan tanah oleh air.
saluran teras. Adapun saluran
air dibuat agar air
mengalir sesuai
dengan jalurnya.
2 Drainase pada Pada lahan SPL 2, Rekomendasi Indikator
saluran alami dan gulud pembatas konservasi pada keberhasilan
tanpa pembuatan antara SPL 2 SPL 2 dilakukan rekomendasi
teras. dengan SPL secara olah tanah pada SPL 2
dibawahnya tidak minumum. Bibit adalah lahan
ada tutupan tanah tanaman di tanam tidak lagi
sehingga tanah tanpa olah tanah, memerlukan
berpotensi dan seresah input nutrisi dari
mengalami tanaman dibiarkan luar karena
limpasan ke lahan di permukaan bahan organik
bagian bawah. tanah. Gangguan tanah berasal
Selain itu, mekanis terhadap dari seresah
drainase pada tanah diupayakan tanaman.
lahan masih seminimal mungkin.
berupa drainase Pengolahan lahan,
alami. penggludan dibuat
searah garis kontur.
Pembuatan saluran
pembuangan air
yaitu saluran yang
dialirkan searah
dengan kemiringan
lereng sehingga air
yang mengalir dari
teras selanjutnya
diarahkan dan
dialirkan melalui
saluran tersebut.
Pada SPL 1, lahan memiliki faktor pembatas lereng karena memiliki kemiringan lebih
dari 20 derajat sehingga dibutuhkan konservasi mekanis untung memotong lereng atau
mengurangi kemiringan tersebut. Kondisi aktual dilapangan menunjukkan bahwa lahan telah
diberi perlakuan teras bangku. Hal tersebut merupakan tindakan yang tepat. Namun, untuk
memaksimalkan kinerja teras, perlu ditambahkan tanaman penguat teras dan saluran air
sehingga bentuk teras akan terjaga, aliran air terarah dan tidak terjadi limpasan.
Rekomendasi yang diberikan berupa penanaman rumput gajah pada pematang teras dan
pembuatan saluran teras. Saluran teras merupakan saluran yang terletak dekat perpotongan
antara bidang olah dengan tampingan (dinding) teras. Saluran ini mengalirkan air dari bidang
olah ke saluran pembuangan air. Saluran ini ditutupi dengan rumput yang rapat supaya
aman untuk penyaluran air.
Pada SPL 2, lahan memiliki kemiringan >6 dan tidak memiliki faktor pembatas lainnya
kecuali batuan sehingga konservasi mekanis dapat menjadi pilihan terakhir. Adapun
rekomendasi konservasi, dapat dilakukan adalah olah tanah minimum. Dengan olah tanah
minimum, gangguan mekanis pada tanah akibat pengolahan tanah akan diminimalisir
sehingga agregat dan bahan organik tanah terlindungi dari kerusakan. Bahan organik tanah
yang digunakan tanaman budidaya akan dikembalikan dengan seresah yang dibiarkan
terdekomposisi sehingga tanah tidak memerlukan lagi input nutrisi dari luar. Selain itu, pada
lahan terdapat saluran air alami sehingga pembuatan SPA akan mengarahkan air dari bidang
olah menuju saluran tersebut. Dengan demikian air tidak akan menggerus lahan
dibawahnya. Pada SPL 2 juga dibutuhkan tanaman penguat teras pematang sehingga tanah
akan tertahan dari aliran air yang dapat menyebakan limpasan permukaan. Tanaman
penguat dapat berupa rumput-rumputan sehingga rumput gajah merupakan salah satu
tanaman yang dapat ditanam di area tersebut.
Tanaman penguat teras dapat menjadi pencegah longsor dan erosi, rontokan daun
yang dihasilkan juga bisa menjadi penutup lahan nantinya yang akan mengurangi pukulan
air hujan saat jatuh ke tanah, salah satu yang dapat menjadi tanaman penguat teras adalah
tanaman pakan, seperti rumput gajah. Tanaman rumput gajah atau tanaman pakan lainnya
dikenal dengan peran besar nya saat ditanam di lereng dalam mengatasi erosi. Rumput
ditanam sebagai penguat teras karena memiliki akar dengan tipe akar serabut yang dapat
membentuk jaring-jaring alami di tanah, yang kemudian memperkuat tanah dan mencegah
partikel tanah tererosi atau terbawa oleh air yang melimpas atau run off. Pada tiap sisi
guludan biasanya diperkuat oleh tanaman berakar serabut sebagai penguat teras, demi
mengurangi potensi terjadinya longsor, adapun tanaman yang biasa digunakan adalah
rumput gajah (Mardiatno dan Marfai, 2021).
5.1.2 Mekanisme penerapan rekomendasi
SPL Rekomendasi Timeline Kegiatan Kegiatan
1 April 2023 Survei lokasi dan pengambilan
sampel tanah
5 April 2023 Analisis laboratorium
6 April 2023 Tabulasi data dan perhitungan nilai
EDP dan erosi aktual
10 April 2023 Penetapan rekomendasi
Tanaman Penguat
1 konservasi
Teras dan Saluran
11 April 2021 Evaluasi kelayakan usaha
Pembuangan Air
konservasi dengan menghitung
EDP dan erosi aktual setalah diberi
perlakuan.
12 April 2023 Pembuatan visualisasi rancangan
konservasi
14 April 2023 Finalisasi penerapan rekomendasi.
1 April 2023 Survei lokasi dan pengambilan
sampel tanah
5 April 2023 Analisis laboratorium
6 April 2023 Tabulasi data dan perhitungan nilai
Olah tanah minimum, EDP dan erosi aktual
Saluran pembuangan 10 April 2023 Penetapan rekomendasi
2
air dan tanaman konservasi
penguat teras. 11 April 2021 Evaluasi kelayakan usaha
konservasi dengan menghitung
EDP dan erosi aktual setalah diberi
perlakuan.
14 April 2023 Finalisasi penerapan rekomendasi.

5.2 Analisis Kelebihan Rekomendasi


SPL Rekomendasi EDP A actual A pasca Kelebihan Analisis
(ton/h (ton/ha/t konservasi Rekomend Keberlanjutan
a/th) h) (ton/ha/th) asi Konservasi
1 Pembuatan 68 102,93 19,60 -mengatur Dalam
saluran air arah aliran pembuatan
air saluran air
-mengurangi akan
potensi mengatur
banjir di aliran air,
lahan dimana
nantinya
dapat
disimpan/dita
mpung dan
menerapkan
pemakaian
air yang
bijak. hal
tersebut
akan menjadi
salah satu
cara untuk
menjaga
ketersediaan
air bagi
masa
sekarang
ataupun
masa yang
akan datang.
Tanaman 68 102,93 19,60 -hemat biaya Penanaman
penguat Teras -mudah, tanaman
(rumput gajah) karena tidak penguat
butuh teras
modifikasi dilakukan di
fisik tanah bagian
(penggalian, dinding-
etc.) dinding teras
-memperkuat agar bisa
dan mendukung
menstabilkan bangunan
agregat teras tetap
tanah kokoh dan
-menjadi menjadi
lintasan media
intersepsi air penyerapan
hujan air.
-sebagai Penanaman
pakan ternak rumput gajah
sebagai
tanaman
penguat
teras untuk
jangka waktu
yang lama
juga bisa
bermanfaat
sebagai
penyedia
pakan
ternak.
rumput gajah
yang
semakin
lebat juga
bisa menjadi
penutup
lahan yang
bisa menjadi
lintasan
intersepsi
tetesan air
hujan
sebelum
masuk ke
tanah.
2 Tanaman 50 75,76 25,26 -hemat biaya Penanaman
penguat Teras -mudah, tanaman
(rumput gajah) karena tidak penguat
butuh teras
modifikasi dilakukan di
fisik tanah bagian
(penggalian, dinding-
etc.) dinding teras
-memperkuat agar bisa
dan mendukung
menstabilkan bangunan
agregat teras tetap
tanah kokoh dan
-menjadi menjadi
lintasan media
intersepsi air penyerapan
hujan air.
-sebagai Penanaman
pakan ternak rumput gajah
sebagai
tanaman
penguat
teras untuk
jangka waktu
yang lama
juga bisa
bermanfaat
sebagai
penyedia
pakan
ternak.
rumput gajah
yang
semakin
lebat juga
bisa menjadi
penutup
lahan yang
bisa menjadi
lintasan
intersepsi
tetesan air
hujan
sebelum
masuk ke
tanah.
Pada SPL 1, direkomendasikan untuk membangun saluran air hal tersebut bertujuan
untuk mengurangi erosi yang terjadi pada SPL 1. Pembuatan saluran air akan mengarahkan
air ke titik pembuangan atau penampungan tanpa atau seminim mungkin melebarkan luasan
aliran air yang bisa membawa partikel tanah. Maka dari itu, penggunaan saluran air sesuai
untuk mengatasi masalah erosi di lahan tersebut. pengelolaan saluran air yang bijak akan
membantu mengurangi erosi tanah dan mengurangi potensi banjir. selain itu, dengan adanya
pembangunan saluran air, akan terjadi pengelolaan sumber daya air. Pengelolaan ini akan
menciptakan efisiensi dan keberlanjutan sumber daya air. adapun langkah-langkah yang
diterapkan dalam pengelolaan sumber daya air ini akan mampu mengurangi tekanan sumber
daya air dan mencegah terjadinya kekurangan air. Sedangkan pada SPL 2,
direkomendasikan untuk menambah tanaman penguat teras, berupa rumput gajah. Hal
tersebut direkomendasikan karena kemudahan dalam aplikasinya dan biaya yang relatif
murah untuk penerapannya. tanaman penguat teras termasuk salah satu teknik konservasi
yang mampu mengurangi kemiringan lereng. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan
Handayani dan Hani (2021) bahwa kemiringan lereng bisa diatasi dengan beberapa teknik,
contohnya pembuatan teras sederhana atau teras gulud, tanaman penguat teras,
pengaturan pola tanam dan pemilihan jenis tanaman yang sesuai. Selain itu, penggunaan
rumput gajah sebagai tanaman penguat teras bisa menjadi suplai makanan bagi hewan
ternak, juga bisa menjadi masukan tambahan bagi para petani jika menjual rumput gajahnya.
di Desa Beruk, rerumputan digunakan sebagai penekan erosi serta pakan ternak pula
(Wijayanto et al., 2021).
VI. PENUTUP
6.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa kondisi SPL 1 dan
SPL 2 di Desa Sumbergondo, Kota Batu memiliki perbedaan. Tingkat kelerengan SPL 1 lebih
tinggi dibandingkan SPL 2 sehingga bentuk konservasi lahan yang dilakukan berbeda
berkaitan dengan dampak erosi yang kemungkinan terjadi. Praktik budidaya yang telah
dilakukan di kedua SPL tidak menunjukkan kerusakan lingkungan yang berarti sehingga
upaya rekomendasi yang dapat dilakukan cukup dengan memperbaiki teras yang sudah ada
dan menambahkan beberapa tanaman penutup (cover crop). Pembuatan saluran drainase
diperlukan dalam upaya budidaya yang ada di area lahan dengan memperhatikan kontur
wilayah SPL.

6.2 Saran

Dalam praktikum berikutnya diharapkan bahwa pengambilan lokasi SPL dapat


dilakukan di tempat dengan jarak yang tidak terlalu berdekatan dan komoditas pertanian
yang sebaiknya dapat lebih beragam.
DAFTAR PUSTAKA

Agusri, E. 2017. Konsep Konservasi Lahan Dan Air Di Daerah Puncak Sekuning Kelurahan
Lorok Pakjo Palembang. Bearing: Jurnal Penelitian Dan Kajian Teknik Sipil, 4(3): 100-
106. 10.32502/jbearing.721201643.
Ardiansyah, T., Lubis, K. S., & Hanum, H. S. 2013. Kajian Tingkat Bahaya Erosi Di Beberapa
Penggunaan Lahan Di Kawasan Hilir Daerah Aliran Sungai (DAS) Padang. Jurnal
Agroekoteknologi Universitas Sumatera Utara, 2(1): 435-446.
10.32734/JAET.V2I1.5861.
Arifin, M. 2010. Kajian Sifat Fisik Tanah Dan Berbagai Penggunaan Lahan Dalam
Hubungannya Dengan Pendugaan Erosi Tanah. Mapeta, 12(2).
Ariska, N. D., Nurida, N. L., & Kusuma, Z. 2016. Pengaruh Olah Tanah Konservasi Terhadap
Retensi Air Dan Ketahanan Penetrasi Tanah Pada Lahan Kering Masam Di Lampung
Timur. Jurnal Tanah Dan Sumberdaya Lahan, 3(1): 279-283.
Arsyad, S. 2010. Konservasi Tanah dan Air. Bogor. IPB Press.
Budiarta, I. G. 2014. Analisis kemampuan lahan untuk arahan penggunaan lahan pada
lereng timur laut gunung agung kabupaten Karangasem-Bali. Media Komunikasi
Geografi, 15(1): 19-32. 10.23887/mkg.v15i1.11420
Budiarta, I. G. Nuarsa, I. W., & Adhika, I. M. 2014. Analisis Kemampuan Lahan Untuk
Arahan Penggunaan Lahan Pada Lereng Timur Laut Gunung Agung Kabupaten
Karangasem-Bali. Media Komunikasi Geografi, 9(2):
6-13.10.24843/EJES.2015.v09.i02.p02.
Dermawan, S. T., Mega, I. M., & Kusmiyarti, T. B. 2018. Evaluasi Kesesuaian Lahan Untuk
Tanaman Kopi Robusta (Coffea Canephora) Di Desa Pajahan Kecamatan Pupuan
Kabupaten Tabanan. E-Jurnal Agroekoteknologi Tropika, 7(2): 230-241.
Dewi, I. G. A. S. U., Trigunasih, N. M., & Kusmawati, T. 2012. Prediksi erosi dan
perencanaan konservasi tanah dan air pada Daerah Aliran Sungai Saba. E-Jurnal
Agroekoteknologi Tropika, 1(1): 12-23.
Duwila, R., Tarore, R. C., & Takumansang, E. D. 2019. Analisis Kemampuan Lahan Di Pulau
Sulabesi Kabupaten Kepulauan Sula. Spasial, 6(3): 703-713. 10.35793/sp.v6i3.26014
Erfandi, D. 2016. Aspek Konservasi Tanah dalam Mencegah Degradasi Lahan pada Lahan
Pertanian Berlereng. In Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Teknologi
Pertanian.
Fatimah, S., & Dibyosaputro, S. 2015. Evaluasi Praktek Konservasi Tanah Cara Teras Di Das
Secang Kecamatan Kokap Kabupaten Kulonprogo Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurnal
Bumi Indonesia, 4(4): 1-10
Firdaus, M. I., & Yuliani, E. 2022. Kesesuaian Lahan Permukiman Terhadap Kawasan
Rawan Bencana Longsor. Jurnal Kajian Ruang, 1(2): 216-237.
Firman, H. 2014. Alternatif Penggunaan Lahan Yang Optimal Untuk Pengembangan Sumber
Daya Air Di Das Mahat Hulu (The Alternative Optimalisation Land Use To Develop
Water Resources At Mahat Hulu Watershed). Food And Agriculture Organization Of
The United Nations.
Handayani, R., & Karmilasanti, K. 2013. Sifat Tanah Pada Areal Aplikasi Tebang Pilih Tanam
Jalur (Tptj) Di Pt. Intracawood, Bulungan, Kalimantan Timur. Jurnal Penelitian
Ekosistem Dipterokarpa, 7(1): 35-42. 10.20886/jped.2013.7.1.35-42.
Handayani, W., & Hani, A. (2021). Kesesuaian lahan jenis-jenis tanaman untuk
pembangunan agroforestri pada lahan bekas perkebunan teh di Desa Cukangkawung,
Kabupaten Tasikmalaya. Jurnal Agroforestri Indonesia, 4(2), 115-130.
Hardjowigeno, Sarwono. 2013. Ilmu Tanah. Bogor. Akademika Pressindo.
Herwanto, J. E., Sudarsono, A., & Hadi, B. S. 2013. Pemenfaatan Sistem Informasi
Geografis Untuk Evaluasi Kemampuan Lahan Dan Arahan Penggunaan Lahan Di
Kecamatan Samigaluh Kabupaten Kulon Progo. Geo Media: Majalah Ilmiah Dan
Informasi Kegeografian, 11(1): 42-51. 10.21831/gm.v11i1.3567
Hikmatullah, S., Tafakresnanto, C., Sukarman, S., & Nugroho, K. 2014. Petunjuk Teknis
Survei Dan Pemetaan Tanah Tingkat Semi Detail Skala 1: 50,000. Jakarta. Bppp
Kementerian Pertanian.
Huda, A. S., Nugraha, A. L., & Bashit, N. 2019. Analisis Perubahan Laju Erosi Periode Tahun
2013 Dan Tahun 2018 Berbasis Data Pengindraan Jauh Dan Sistem Informasi
Geografis (Studi Kasus: Das Garang). Jurnal Geodesi Undip, 9(1):
106-114.10.14710/jgundip.2020.26109.
Idjudin, A. A. 2013. Peranan konservasi lahan dalam pengelolaan perkebunan. Jurnal
sumberdaya lahan, Jurnal Sumberdaya Lahan,5(2), 103-116.
Irmasari, I., Pasaru, F., & Made, U. 2018. Pengembangan Desa Konservasi Berbasis
Pendayagunaan Potensi Lokal Untuk Meningkatkan Pendapatan Masyarakat Di
Sekitar Kawasan Taman Nasional Lore Lindu Sulawesi Tengah. Jurnal Pengabdian
Pada Masyarakat, 6(11) 91-100.
Jambak, M. K. F. A., Baskoro, D. P. T., & Wahjunie, E. D. 2017. Karakteristik Sifat Fisik Tanah
Pada Sistem Pengolahan Tanah Konservasi (Studi Kasus: Kebun Percobaan
Cikabayan). Buletin Tanah Dan Lahan, 1(1): 44-50.
Karyati, S., & Sarminah. 2018. Teknologi Konservasi Tanah Dan Air. Samarinda.
Mulawarman University Press.
Mardiatno, D., & Marfai, M. A. 2021. Analisis bencana untuk pengelolaan daerah aliran
sungai (das): studi kasus kawasan hulu das Comal. UGM PRESS.
Mulyani, S. Y. 2018. Studi Komparasi Pemanfaatan Bahan Pemantap Tanah Jenis Lateks
Dan Polyacrilamide (Pam) Dalam Campuran Hydroseeding Terhadap Pertumbuhan
Vegetasi Jenis Rumput Dan Cover Crop. Jurnal Soshum Insentif, 1(1): 8-21.
10.36787/jsi.v1i1.30
Munzir, T., Akbar, H., & Rafli, M. 2019. Kajian Erosi Tanah Dan Teknik Konservasi Tanah Di
Sub Das Krueng Pirak Kabupaten Aceh Utara. Jurnal Agrium, 16(2): 126-134.
10.29103/agrium.v16i2.1941
Nurhayati, A. P. D., Ghaissani, S. S., Sa’adah, N. N., Setiawan, E., Ashuri, N. M., Abdulgani,
N., & Prasetyo, D. 2022. Produk Herbal Ramah Lingkungan Di Desa Oro-Oro Ombo-
Batu Malang, Provinsi Jawa Timur Dalam Upaya Peningkatan Produktivitas
Masyarakat. Sewagati, 6(4): 405-418. 10.12962/j26139960.v6i4.98
Osok, R.M., Talakua, S., Supriadi, D. 2018. Penetapan Kelas Kemampuan Lahan Dan
Arahan Rehabilitasi Lahan Das Wai Batu Merah Kota Ambon Provinsi Maluku. Jurnal
Agrologia, 7(1): 32-41. 10.30598/a.v7i1.355
Prima, J., Rumambi, I. D. P., & Kamagi, I. Y. E. 2021. Identifikasi Teknik Konservasi Tanah
Dan Air Di Kawasan Persawahan Untuk Menunjang Pengembangan Agrowisata
Kabupaten Minahasa Tenggara. In Cocos, 6(6): 21-30. 10.35791/cocos.v6i6.35693
Purwadi, P., & Siswanto, S. 2020. Evaluasi Status Degradasi Lahan Dataran Tinggi Akibat
Produksi Biomasa Di Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur. Agrovigor: Jurnal
Agroekoteknologi, 13(1): 1-9. 10.21107/agrovigor.v13i1.5837
Putra, A., Triyatno, T., Syarief, A., & Hermon, D. 2018. Penilaian erosi berdasarkan metode
usle dan arahan konservasi pada das air dingin bagian hulu Kota Padang-Sumatera
Barat. Jurnal Geografi, 10(1), 1-13. 10.24114/jg.v10i1.7176
Rahmadani. 2018. Penerapan Teknik Konservasi Tanah Dan Air Oleh Masyarakat Di Desa
Bonto Somba Hulu Das Maros. Doctoral Dissertation. Universitas Hasanuddin.
Rismayanti, A. 2018. Identifikasi Teknik Konservasi Tanah Dan Air Di Desa Bonto Somba
Hulu Das Maros. Skripsi. Universitas Hasanuddin.
Rokhmaningtyas, R. P., & Setiawan, M. A. 2017. Estimasi Kehilangan Tanah Aktual Terkait
Pengaruh Vegetasi Di Das Bompon Kabupaten Magelang. Jurnal Bumi Indonesia,
6(2):1-8.
Saputra, D. D., Putrantyo, A. R., & Kusuma, Z. 2018. Hubungan Kandungan Bahan Organik
Tanah Dengan Berat Isi, Porositas Dan Laju Infiltrasi Pada Perkebunan Salak Di
Kecamatan Purwosari, Kabupaten Pasuruan. Jurnal Tanah Dan Sumberdaya
Lahan, 5(1), 647-654.
Sihombing, E. 2013. Indeks Erosi Berdasarkan Kemiringan dan Panjang Lereng Di Desa
Sipangan Bolon Kecamatan Girsang Sipangan Bolon Kecamatan Girsang Sipangan
Bolon. Doctoral dissertation. UNIMED.
Siregar, M. M., Sabrina, T., & Hanum, H. 2017. Prediksi Tingkat Bahaya Erosi Dengan
Metode Usle Di Perkebunan Kelapa Sawit Di Desa Balian Kecamatan Mesuji Raya
Kabupaten Ogan Komering Ilir Palembang. Jurnal Agroekoteknologi, 5(3): 607-615.
Sitepu, F., Selintung, M., & Harianto, T. 2017. Pengaruh Intensitas Curah Hujan Dan
Kemiringan Lereng Terhadap Erosi Yang Berpotensi Longsor. Jurnal Penelitian
Enjiniring, 21(1): 23-27. 10.25042/jpe.052017.03.
Sitohang, J. L., Sitorus, S., & Sembiring, M. 2013. Evaluasi Kemampuan Lahan Desa
Sihiong, Sinar Sabungan Dan Lumbun Lobu Kabupaten Toba Samosir.
Agroekoteknologi, 1(3): 842-852. 10.32734/jaet.v1i3.3179.
Suarsana, I. W., Merit, I. N., Adnyana, S., & Wayan, I. 2016. Prediksi Erosi, Klasifikasi
Kemampuan Lahan Dan Arahan Penggunaan Lahan Di Kecamatan Baturiti Kabupaten
Tabanan Provinsi Bali. Ecotrophic, 10(2): 148-158. 10.24843/EJES.2016.v10.i02.p11
Supriadi, D., Osok, R. M., & Talakua, S. M. 2017. Penetapan Kelas Kemampuan Lahan Das
Wae Batu Merah Kota Ambon Provinsi Maluku. Jurnal Budidaya Pertanian, 13(1): 17-
29.
Wibowo, A., Soeprobowati, T. R., & Sudarno, S. 2016. Laju Erosi Dan Sedimentasi Daerah
Aliran Sungai Rawa Jombor Dengan Model Usle Dan Sdr Untuk Pengelolaan Danau
Berkelanjutan. Indonesian Journal Of Conservation, 4(1): 16-27.
Wijayanto, H. W., Anantayu, S., & Wibowo, A. (2021). Perilaku dalam pengelolaan lahan
pertanian di kawasan konservasi daerah aliran sungai (DAS) hulu Kabupaten
Karanganyar. AgriHumanis: Journal of Agriculture and Human Resource Development
Studies, 2(1), 25-34.
Witjaksono, A., Gai, A. M., & Poerwati, T. 2022. Tinjauan Kebijakan Pengembangan
Pertanian Berwawasan Lingkungan di Kota Batu. Bioma: Jurnal Biologi Makassar. 7(1):
1-11. 10.20956/bioma.v7i1.18703
LAMPIRAN

Lampiran 1. Peta Jenis Tanh Sub DAS Brantas

Lampiran 2. Data Curah Hujan

Curah Hujan (mm3)


Bulan
2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017
Jan 0 236 315 389 415 282 361 419 340 168 223 371
Feb 70 443 273 438 456 114 337 231 254 255 658 349
Mar 227 316 646 309 282 339 362 387 260 247 237 352
Apr 132 336 183 134 430 372 75 256 169 224 164 340
Mei 218 10 79 140 227 220 75 157 55 54 217 121
Jun 2 5 7 5 68 39 7 195 71 9 95 102
Jul 0 3 0 0 61 13 17 74 67 0 47 40
Agt 0 7 45 0 128 0 0 27 36 0 140 12
Sep 0 0 8 46 222 0 0 0 0 0 108 46
Okt 0 72 197 125 262 49 57 39 2 2 169 99
Nov 3 170 230 270 179 450 315 268 236 80 372 398
Des 431 502 424 201 306 337 510 515 457 475 255 301

Lampiran 3. Data Laboratorium

%Pasir
BI Permeabilita
SPL %Pasir Sangat %Debu %Liat BO
(gr/cm3) s (cm/jam)
Halus
1 31 3 41 28 1,36 3,20 5,64
2 31 3 41 28 1,00 9,47 2,96
A. Perhitungan Erodibilitas
Diketahui : M = 44 (100-28) = 3168
Struktur Tanah =2
Permeabilitas =2
SPL 1 dan 2
Nilai K
100 K=1,292 [ 2,1 M ( 10−4 ) ( 12−a ) + ( b−2 ) 3,25+ ( c−3 ) 2,5 ]
1,14

100 K=1,292 [ 2,1 31681,14 ( 10−4 ) ( 12−5,64 ) + ( 2−2 ) 3,25+ ( 2−3 ) 2,5 ]
100 K=1,292 [ 2,28 ( 6,36 ) + (−2,5 ) ]
100 K=1,292 [ 12,0008 ]
100 K=15,5
K=¿ 0,155

Lampiran 4. Perhitungan LS dan CP

 SPL 1
Nilai LS
Lereng = 28% = 15,64 derajat
m
λ
LS=¿ ( ) ×C × ¿¿
22,1

( )
0,5
19,60
LS= × 34,7046× ¿ ¿
22,1
LS=0,94 ×34,7046 × 0.95× 0,5 ×0,195+ 0,0524
LS=6,095
Nilai CP
• Nilai C = 0,7
• Nilai P = 0,15
 SPL 2
Nilai LS

LS=
√ λ
100
¿¿

LS=
√ 10
100
2
(1,38+0,965 . 10+0,138 . 10 ¿ )¿

LS=7,85
Nilai CP
• Nilai C = 0,1
• Nilai P = 0,6
Lampiran 5. Perhitungan Erosi Aktual

 SPL 1
Nilai erosi Aktual
A=RxKxLxSxCxP
= 1037,72375 x 0,155 x 6,095 x 0,7 x 0,15
= 102,938 ton/ha/tahun
 SPL 2
Nilai erosi Aktual
A=RxKxLxSxCxP
= 1037,72375 x 0,155 x 7,85 x 0,1 x 0,6
= 75,65 ton/ha/tahun
Lampiran 6. Perhitungan Erosi diperbolehkan

SPL 1
KEDALAMAN TANAH : 150 CM
SUB ORDO TANAH : UDANDS
FAKTOR KEDALAMAN TANAH : 1,00
UMUR DIHARAPKAN : 300 tahun
BERAT ISI : 1,36 g/cm3
KedalamanTanah x Faktor kedalaman
EDP =
Umur Diharapkan
150 cm x 1,00 cm
EDP = =0,5
300 tahun tahun
0,5 cm /tahun x 1,36 g/cm3 = 0,68 g/cm2
0,68 g/cm2 x 10-6 ton / 10-8 ha= 0,68 x 100 ton / ha
Maka EDP adalah 68 ton / ha / tahun

SPL 2
KEDALAMAN TANAH : 150 CM
SUB ORDO TANAH : UDANDS
FAKTOR KEDALAMAN TANAH : 1,00
UMUR DIHARAPKAN : 300 tahun
BERAT ISI : 1,00 g/cm3
SPL 2
KedalamanTanah x Faktor kedalaman
EDP =
Umur Diharapkan
150 cm x 1,00 cm
EDP = =0,5
300 tahun tahun
0,5 cm /tahun x 1,00 g/cm3 = 0,5 g/cm2
0,5 g/cm2 x 10-6 ton / 10-8 ha= 0,5 x 100 ton / ha
Maka EDP adalah 50 ton / ha / tahun

Lampiran 7. Perhitungan Erosi Pasca Konservasi

SPL 1
A=RxKxLxSxCxP
= 1037,72375 x 0,155 x 6,095 x 0,5 x 0,04
= 19,60 ton/ha/tahun
SPL 2
A=RxKxLxSxCxP
= 1037,72375 x 0,155 x 7,85 x 0,5 x 0,04
= 25,26 ton/ha/tahun
Lampiran 8. Dokumentasi Kegiatan

Anda mungkin juga menyukai