DAERAH KAJIAN:
Disusun oleh:
FAKULTAS GEOGRAFI
YOGYAKARTA
2019
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Daerah Aliran Sungai adalah suatu wilayah daratan yang secara topografik
dibatasi punggung-punggung gunung yang menampung dan menyimpan air hujan
untuk kemudian menyalurkannya ke laut melalui sungai utama (Asdak, 2010).
Pembatasan DAS ditentukan melalui pembatasan zona tangkapan air hujan.
Batas-batas DAS ditentukan berdasarkan titik-titik puncak daerah punggungan
tertinggi yang membatasi daerah terluar, serta penentuan satu outlet pada ujung
hilir sungai utama. Fungsi DAS sendiri diantaranya; sebagai daerah resapan,
penampung, penyimpan, dan penangkap air hujan, serta daerah pengaliran air. DAS
dibagi menjadi 3 bagian meliputi; bagian hulu, tengah, dan hilir; dengan bagian
pesisir dapat berupa wilayah lindung dan budidaya, wilayah pemukiman dan
lain-lain. DAS sendiri memiliki fungsi lain sebagai ekosistem. Pada ekosistem
DAS terdapat unsur fisik dan makhluk hidup di dalamnya. Unsur fisik yaitu
topografi, iklim, geologi, dan tanah. Sedangkan unsur makhluk hidup adalah
vegetasi, hewan, dan manusia.
1
terhadap komoditas pertanian tertentu maupun bentuk pemanfaatan lainnya
(non-pertanian).
DAS Pesing merupakan bagian dari sistem DAS Opak. DAS Pesing yang
terletak pada lingkup 2 kabupaten dan 3 kecamatan diantaranya; Kabupaten Bantul
(Kecamatan Piyungan dan Pleret) dan Kabupaten Gunung Kidul (Kecamatan
Dlingo). DAS Pesing memiliki luas sebesar 14 km² dengan sungai utama yaitu
Sungai Pesing yang memiliki hulu di Perbukitan Nglanggeran dan Perbukitan
Semilir, serta hilir di pertemuan antara Sungai Opak dan Sungai Pesing. DAS
Pesing memiliki curah hujan berkisar antara 90-130 mm³/hari. Sebagian besar
penggunaan lahan DAS Pesing digunakan sebagai wilayah pemukiman dan lahan
sawah pertanian.
2
2.1.8. Bagaimana kerentanan pencemaran airtanah dan air permukaan di
Daerah Aliran Sungai Pesing?
3.1. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini antara lain:
3.1.1. Menentukan kemampuan lahan di Daerah Aliran Sungai Pesing.
3.1.2. Menentukan kesesuaian penggunaan lahan pertanian dan non-pertanian
di Daerah Aliran Sungai Pesing.
3.1.3. Menentukan ketimpangan lahan di Daerah Aliran Sungai Pesing.
3.1.4. Membuat rekomendasi penggunaan lahan di Daerah Aliran Sungai
Pesing.
3.1.5. Menentukan ketersediaan air meteorologis di Daerah Aliran Sungai
Pesing.
3.1.6. Menentukan ketersediaan air permukaan di Daerah Aliran Sungai Pesing.
3.1.7. Menentukan potensi airtanah di Daerah Aliran Sungai Pesing.
3.1.8. Membuat neraca air dan rekomendasi pengelolaan sumberdaya air di
Daerah Aliran Sungai Pesing.
3.1.9. Menentukan kerentanan pencemaran airtanah dan air permukaan di
Daerah Aliran Sungai Pesing.
4.1. Manfaat Penelitian
Manfaat dari dilakukannya penelitian ini yaitu untuk menambah keilmuan
kepada pembaca, serta dapat digunakan untuk acuan dalam melakukan penelitian
yang sejenis. Selain itu juga dapat dijadikan sebagai sumber informasi untuk
pemikiran dan pertimbangan dalam merencanakan penggunaan lahan yang sesuai
dan dalam pembuatan RTRW. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber
referensi dari penelitian yang serupa dan menjadi dasar penelitian lain.
3
penggunaannya. Termasuk didalamnya kegiatan manusia pada masa lalu
maupun masa kini (Hardjowigeno, 2007). Sedangkan menurut Puslittanak
(1993) lahan merupakan bagian dari bentang darat (landscape) yang
mencakup lingkungan fisik seperti iklim, topografi, vegetasi alami yang
semuanya secara potensial akan berpengaruh terhadap penggunaan lahan.
Lahan dengan kemampuan yang tinggi atau baik akan memiliki potensi
lebih besar untuk berbagai penggunaan dan sebaliknya lahan dengan
kemampuan yang rendah akan kurang berpotensi. Dengan demikian perlu
dilakukan evaluasi lahan untuk mengetahui sebaran kemampuan lahan untuk
memudahkan arah penggunaan lahan yang mungkin sesuai.
4
yang akan digunakan (Hardjowigeno, 2007). Sehingga dengan cara ini akan
diketahui potensi lahan atau kelas kemampuan/kesesuaian untuk tipe
penggunaan lahan tersebut. Sedangkan menurut FAO (1976) evaluasi lahan
adalah proses penilaian penampilan atau keragaman lahan yang akan
dipergunakan untuk tujuan tertentu, meliputi pelaksanaan dan interpretasi
survei serta studi bentuk lahan, tanah, vegetasi, iklim dan aspek lahan lainnya
agar dapat mengidentifikasi dan membuat perbandingan berbagai penggunaan
lahan yang dapat dikembangkan.
Tujuan dari evaluasi lahan yaitu untuk menentukan nilai suatu lahan untuk
tujuan penggunaan tertentu. Menurut Hardjowigeno (2007) dasar- dasar yang
perlu dikakuan dalam evaluasi lahan berupa :
1. Kesesuaian lahan harus didasarkan atas penggunaan lahan untuk tujuan
tertentu
2. Diperlukan perbandingan antara biaya dan keuntungan dalam penggunaan
lahan yang direncanakan
3. Diperlukan penghampiran multidisiplin
4. Harus relevan terhadap sifat-sifat fisik, ekonomi, dan sosial daerah yang
dimaksud
5. Berdasarkan atas penggunaan untuk waktu yang tidak terbatas, dan
6. Evaluasi meliputi lebih dari satu macam penggunaan lahan
5
Kelas I : Lahan kelas I mempunyai sedikit hambatan yang membatasi
penggunaannya. Lahan kelas I sesuai untuk berbagai pertanian, mulai dari
tanaman semusim (dan tanaman pertanian pada umumnya), tanaman rumput,
hutan dan cagar alam.
Kelas II : lahan dalam kelas II memiliki beberapa hambatan atau
mengakibatkan memerlukan tindakan konservasi tanah sedang. Lahan kelas II
memerlukaan pengelolaan yang hati-hati, termasuk didalamnya
tindakan-tindakan konservasi tanah untuk mencegah kerusakan atau
memperbaiki hubungan air dan udara jika lahan diusahakan untuk pertaninan.
Hambatan pada kelas II sedikit, dan tindakan yang dilakukan mudah
diterapkan. Lahan ini sesuai untuk penggunaan tanaman semusim, tanaman
rumput, padang pengembalaan, hutan produksi, hutan lindung dan cagar alam.
Kelas III : lahan kelas III mempunyai hambatan yang berat yang mengurangi
pilihan penggunaan atau memerlukan tindakan konservasi tanah, khusus dan
keduanya. Lahan dalam kelas III mempunyai pembatas yang lebih berat dari
lahan kelas II dan jika dipergunakan bagi tanaman yang memerlukan
pengelolaan tanah dan tindakan konservasi tanah yang diperlukan biasanya
lebih sulit diterapkan dan dipelihara. Lahan kelas III dapat dipergunakan untuk
tanaman semusim dan tanaman yang memerlukan pengolahan tanah, tanaman
rumput, padang rumput, hutan produksi, hutan lindung dan suaka margasatwa.
Kelas IV : lahan kelas IV dapat ditanami, tetapi pilihan tanaman yang dapat
ditanam sangat terbatas. Pengelolaan harus dilakukan dengan sangat hati-hati.
Pilihan tanaman yang sebaiknya diusahakan lebih terbatas dibandingkan
dengan kelas III. Lahan dikelas IV dapat dipergunakan untuk tanaman semusim
dan tanaman pertanian pada umumnya, tanaman rumput, hutan produksi,
padang penggembalaan, hutan lindung dan suaka alam.
Kelas V : Lahan kelas V tidak terancam erosi, akan tetapi mempunyai
hambatan lain yang tidak dihilangkan dan membatasi pilihan penggunaannya,
sehingga hanya sesuai untuk tanaman rumput, padang penggembalaan hutan
produksi atau hutan lindung dan suaka alam. Lahan didalam kelas V
mempunyai hambatan yang membatasi pilihan macam penggunaan dan
tanaman, dan menghambat pengolahan tanah bagi tanaman semusim.
6
Kelas VI : Lahan-lahan dalam kelas ini sangat terbatas pemakaiannya, hanya
cocok untuk padang rumput dan hutan. Pembatasannya sama seperti untuk
kelas V, tetapi lebih ketat, memerlukan usaha-usaha pencegahan erosi yang
lebih berat.
Kelas VII :lahan kelas VII tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Jika
digunakan sebagai padang rumput atau hutan produksi harus dilakukan usaha
pencegahan erosi yang berat. Lahan kelas VII yang solumnya dalam dan tidak
peka erosi jika dipergunakan untuk tanaman pertanian harus dibuat teras
bangku yang ditunjang dengan cara-cara vegetatif untuk konservasi tanah.
Kelas VIII : Lahan-lahan yang termasuk kedalam kelas ini tidak boleh dipakai
untuk produksi tanaman secara komersial. Penggunaannya terbatas pada hutan
lindung, hutan rekreasi dan cagar alam, suplai air dan tujuan keindahan.
7
merupakan kondisi yang diharapkan sesudah diberikan masukan sesuai dengan
tingkat pengelolaan yang akan diterapkan, sehingga dapat diduga tingkat
produktivitas dari suatu lahan serta hasil produksi per satuan luasnya.
8
utama untuk kelangsungan hidup manusia, disamping itu air juga mempunyai
arti penting dalam rangka meningkatkan taraf hidup manusia di bumi, bukan
hanya manusia tetapi air merupakan elemen yang sangat signifikan bagi
kehidupan mahluk hidup baik seperti hewan dan tumbuhan. Bisa di pastikan
bahwa kehidupan mahluk di bumi ini memerlukan air untuk kelangsungan
hidupnya. Manusia pun juga seperti itu entah sekarang atau pun kehidupan
yang akan datang pasti akan membutuhkan air untuk kehidupannya.
Kegunaan air selain untuk kelangsungan hidup mahluk hidup juga
digunakan untuk peruntukkan lainnya, seperti penggunaan di bidang pertanian,
industri, rumah tangga, dan aktivitas lingkungan. Manusia mungkin dapat
hidup beberapa hari akan tetapi manusia tidak akan bertahan selama beberapa
hari jika tidak minum karena sudah mutlak bahwa sebagian besar zat
pembentuk tubuh manusia itu terdiri dari 73% adalah air. Jadi bukan hal yang
baru jika kehidupan yang ada di dunia ini dapat terus berlangsung karena
tersedianya Air yang cukup. Dalam usaha mempertahankan kelangsungan
hidupnya, manusia berupaya mengadakan air yang cukup bagi dirinya sendiri.
Selain itu air juga di gunakan untuk keperluan rumah tangga, keperluan
pertanian dan peternakan, keperluan keperluan perdagangan dan lain
sebagainya
2.2.2. Ketersediaan Sumberdaya Air
Ketersediaan sumberdaya air merupakan jumlah air yang diperkirakan terus
menerus ada dalam DAS dengan jumlah tertentu dan jangka waktu tertentu
(Notodiharjo, 1982). Menurut Sutikno (1981), faktor-faktor yang
mempengaruhi ketersediaan air di bumi berupa iklim, geologi, geomorfologi,
hidrologi, dan vegetasi atau penggunaan lahan.
2.2.3. Kebutuhan Air
Kebutuhan air secara umum dapat dibagi dalam dua kategori yaitu
kebutuhan air yang digunakan untuk keperluan irigasi dan kebutuhan air yang
digunakan untuk keperluan non irigasi. Untuk kebutuhan air non irigasi sendiri
masih dibagi menjadi kebutuhan air untuk keperluan domestik, non domestik,
industri, peternakan, dan perikanan. Untuk memperkirakan kebutuhan air
9
terhadap keperluan-keperluan tersebut, digunakan pendekatan berdasarkan
batas administrasi.
2.2.4. Ketersediaan atau Potensi Air Meteorologis
Ketersediaan air meteorologis dihitung dengan menggunakan neraca air
metode Thorthwaite-Mather. Neraca air atau water balance merupakan bagian
dari keilmuan hidrogeometeorologi yang menggambarkan hubungan antara
inflow (aliran masuk) dengan outflow (aliran keluar) pada suatu wilayah
selama periode tertentu. Dalam perhitungannya, neraca air dapat
menggambarkan curah hujan yang tertampung dalam daerah recharge dan
penguapan kembali sebagai evapotranspirasi. Salah satu metode perhitungan
neraca air adalah metode Thornthwaite-Mather
10
keberadaan air tanah semakin berkurang. Selain itu, perubahan fungsi lahan
juga menyebabkan air yang seharusnya dapat terserap, menjadi run off yang
mengalir ke dalam sungai dan terus ke laut. Dampak langsungnya adalah
berkurangnya ketersediaan air tanah (kekeringan).
2.2.7. Kualitas Air dan Kerentanan Airtanah dan Air Permukaan terhadap Pencemaran
Secara terminologi, kerentanan merupakan kecenderungan suatu entitas
mengalami kerusakan (Kaly et al., 1999; Kaly, Pratt, & Mitchell, 2004).
Entitas dapat berupa fisik (manusia, ekosistem, garis pantai) atau konsep yang
abstrak (komunitas, ekonomi, negara dan sebagainya) yang dapat mengalami
kerusakan. Konsep kerentanan pada awalnya tidak diterapkan secara khusus
untuk air permukaan (sungai), namun karena mempunyai relevansi yang
tinggi, sehingga dapat diaplikasikan pada sungai. Adapun kerentanan air
permukaan terhadap pencemaran dapat diartikan sebagai kemudahan suatu
sistem air permukaan (sungai) mengalami kerusakan akibat pencemaran.
Daly et al. (2002) membagi kerentanan airtanah menjadi dua, yaitu intrinsik
dan spesifik. Kerentanan intrinsik (intrinsic vulnerability) didasarkan pada
karakteristik hidrogeologi suatu wilayah, tetapi tidak tergantung pada
pencemar alami maupun pencemar buatan. Kerentanan spesifik (spectfic
vulnerability) didasarkan pada karaketristik unsur dan kelompok unsur
pencemar dan keterkaitannya dengan sistem hidrogeologi. Konsep kerentanan
airtanah didasarkan pada origin pathway - target model (Goldscheider, 2002).
Origin diasumsikan sebagai tempat dilepaskannya kontaminan, pathway
merupakan alur aliran kontaminan potensial dari tempat dilepaskan hingga ke
titik atau tempat yang harus dilindungi, dan target adalah air yang harus
dilindungi.
11
Evaluasi sumberdaya lahan diperlukan untuk mengetahui potensi dan
kesesuaian lahan sesuai dengan kemampuan lahan. Evaluasi sumberdaya lahan
dilakukan dengan melakukan beberapa hal sebagai berikut:
3.1.1. Pembuatan Peta Satuan lahan
Penyusunan peta satuan lahan di Sub-DAS Pesing menggunakan
pendekatan geomorfologi melalui interpretai citra dan survey lapangan
untuk validasi. Kondisi geomorfologis yang diamati yaitu bentuklahan. Hal
ini digunakan karena faktor-faktor pembentuk bentuklahan memiliki
kemiripan dengan faktor-faktor pembentuk tanah yakni iklim, topografi,
batuan induk, dan waktu. Analisis yang digunakan yaitu analisis
morfometri, analisis morfogenesis, morfokronologi dan morfoaransemen.
Citra Digital Elevation Model digunakan untuk diturunkan menjadi
hillshade, kontur dan kelerengan yang digunakan untuk analisis morfologi
lahan. Peta aliran sungai digunakan untuk mengetahui kondisi aliran dari
titik hulu ke titik hilir. Bentuk aliran sungai menjadi pertimbangan dalam
pengklasifikasian bentuklahan dan proses geomorfologis yang terjadi. Peta
tanah digunakan untuk mengetahui material penyusun yang berpengaruh
terhadap kondisi lahan sebagai akibat dari proses-proses pembentuk lahan.
Peta geologi digunakan untuk mengetahui material batuan sehingga dapat
diketahui genesa masa lampau yang terjadi. Peta unit lahan sementara
dipadukan dengan hasil observasi lapangan untuk memvalidasi peta unit
lahan di Sub-DAS Pesing. Berikut merupakan bagan penyusunan peta
satuan lahan Sub-DAS Pesing :
12
3.1.2. Analisis Kemampuan Lahan
Analisis dalam penentuan kelas kemampuan lahan menggunakan 2
metode, yaitu metode weight factor matching dan aritmatic matching.
13
Metode weight factor matching adalah teknik pengelasan kemampuan lahan
berdasarkan faktor pembatas paling berat dari parameter kelas kemampuan
lahan. Parameter yang digunakan untuk menentukan kelas kemampuan
lahan antara lain lain kemiringan lereng, erosi, kepekaan erosi, kedalaman
tanah, tekstur tanah, permeabilitas, drainase, kerikil, dan banjir. Pengelasan
dilakukan dengan menggunakan indikator kemampuan lahan menurut FAO
(1976) yang telah dimodifikasi oleh Arsyad (2000). Metode ini
menekankan faktor paling berat atau dengan kelas kemampuan lahan paling
buruk dalam tiap satuan lahan. Metode ini kurang relevan dalam penentuan
kelas kemampuan lahan karena hanya faktor terberat yang dipertimbangkan
dan tidak menguntukan secara ekonomi (lahan tidak dapat digunakan untuk
budidaya). Namun metode ini baik digunakan untuk tujuan konservasi.
Metode ini digunakan untuk penyusunan peta kemampuan lahan aktual di
Sub-DAS Pesing.
Metode Arithmatic Matching merupakan metode yang
mempertimbangkan factor paling dominan sebagai penentu kelas
kemampuan lahan. Metode ini merupakan metode yang tepat diterapkan
dengan kelebihan memiliki nilai subyektivitas lebih rendah dibanding
Subjective Matching namun relatif lebih mudah diaplikasikan dibanding
dengan metode Weighting Factors. Metode aritmatik menganggap setiap
parameter memiliki pengaruh yang sama pada setiap kemampuan lahan
padahal beberapa beberapa parameter merupakan pembatas non permanen
yang masih dapat diperbaiki dengan perlakuan tertentu guna meningkatkan
produktivitas lahan. Metode ini digunakan dalam pembuatan peta
kemampuan lahan potensial di Sub-DAS Pesing. Adapun pendekatan yang
digunakan adalah deskriptif kuantitatif. Hasil penilaian kemampuan lahan
juga divalidasi melalui kegiatan observasi lapangan.
Berikut ini merupakan diagram alur penyusunan peta kemampuan
lahan aktual dan potensial di Sub-DAS Pesing :
14
3.1.3. Analisis Kesesuaian Lahan (Pertanian dan Non-Pertanian)
15
pencocokan antara kriteria kesesuaian lahan dengan data kualitas lahan yang
digambarkan melalui parameternya.
16
3.1.3.2 Analisis Kesesuaian Lahan Non-Pertanian
Kesesuaian lahan non-pertanian ditentukan dengan perbandingan
penggunaan lahan terbaru dengan parameter kesesuaian lahan untuk lahan permukiman
dan camping ground. Menurut Suprapto dan Sunarto (1990) kesesuaian lahan permukiman
berkaitan erat dengan syarat-syarat lokasi permukiman yang ditekankan pada variabel
relief (lereng, kerapatan aliran, dan kedalaman alur), proses geomorfologis (banjir, tingkat
erosi, dan gerakan massa batuan) dan variabel material batuan (pengatusan, tingkat
17
pelapukan, kekuatan batuan, daya dukung, dan kembang kerut). Parameter yang digunakan
untuk menentukan kesesuaian lahan permukiman adalah bencana. Bencana yang
digunakan dalam evaluasi kesesuaian lahan untuk permukiman di sub-DAS Pesing yakni
bahaya banjir dan bahaya tanah longsor. Parameter kedua yang digunakan untuk
menentukan kesesuaian lahan permukiman potensi airtanah yang dapat diketahui dengan
pengukuran dan observasi tinggi muka airtanah di lapangan. Indeks cole digunakan untuk
mengetahui kondisi kembang kerut tanah untuk permukiman. Analisis evaluasi dilakukan
dengan membandingkan kondisi saat ini dengan kriteria kesesuaian lahan yang telah
ditentukan.
Camping ground merupakan tempat yang digunakan untuk aktifitas
outdoor. Aktifitas tersebut memerlukan kondisi tanah yang cukup kuat untuk digunakan
sebagai aktifitas manusia dan kendaraan outdoor. Selain itu pertumbuhan tanaman di
sekitar area camping ground harus diperhatikan dalam perkembangannya. Kesesuaian
lahan camping ground ditentukan dengan kemiringan lereng sebagai parameter utama.
Kondisi kemiringan lereng yang terjal tidak ideal untuk penggunaan lahan camping
ground. Parameter kedua yakni drainase dan banjir yang digunakan untuk mengetahui
kondisi lahan yang aman untuk penggunaan camping ground. Permeabilitas dan tekstur
tanah untuk mengetahui kondisi tanah yang cukup untuk dilewati berulangkali oleh kaki
manusia dan secara terbatas oleh kendaraan.
Berikut merupakan diagram alur penyusunan peta kesesuaian lahan potensial dan
aktual untuk penggunaan lahan permukiman dan camping ground :
18
3.1.4. Analisis Ketimpangan Lahan
Ketimpangan lahan dilakukan melalui pencocokan data penggunaan lahan
dan peta arahan pengunaan lahan. SHP Penggunaan Lahan digunakan sebagai dasar dalam
penentuan pemanfaatan lahan tersebut sesuai atau bertolak belakang dengan arahan yang
telah dibuat. Metode yang dipakai adalah matching polygon arahan penggunaan lahan
19
dengan penggunaan lahan yang dimanfaatkan oleh masyarakat. Kelas ketimpangan
lahanhanya dibagi menjadi menjadi 2 yaitu:
1. Kelas Sesuai
Kelas ketimpangan lahan sesuai digolongkan terhadap satuan unit lahan yang
memiliki penggunaan lahan yang telah sesuai dengan peta arahan penggunaan
lahan.
2. Kelas Tidak Sesuai
Kelas ketimpangan lahan tidak sesuai terjadi pada satuan unit lahan yang memiliki
penggunaan lahan yang tidak sama dengan arahan penggunaan lahan.
3.1.5. Rekomendasi Penggunaan Lahan
Rekomendasi dilakukan dengan cara pengklasifikasian sesuai dengan
klasifikasi Arsyad. Rekomendasi dilakukan dengan mengacu pada arahan penggunaan
lahan. Setiap kelas lahan memiliki batas kemampuan yang berbeda sesuai dengan
klasifiksi Arsyad. Input yang digunakan untuk menggolongkan arahan atau rekomendasi
penggunaan lahan adalah sesuai dengan peta kelas kemampuan lahan.
3.2. Metode Analisis Sumberdaya Air
3.2.1. Analisis Ketersediaan Air Meteorologis
Analisis ketersediaan air meteorologis dilakukan untuk mengetahui kondisi input
curah hujan pada wilayah sub-DAS Pesing. Perhitungan hujan wilayah menggunakan
metode isohyet. Isohyet adalah garis yang menghubungkan titik-titik dengan ketebalan
hujan yang sama. Pada metode isohyet, dianggap bahwa pada suatu daerah di antara dua
garis isohyet adalah merata dan sama dengan nilai rerata dari kedua garis isohyet tersebut.
Secara matematis hujan rerata tersebut dapat ditulis :
Keterangan :
p : presipitasi
A(n) : Luas wilayah hujan n
I (n) : Ketebalan curah hujan n
20
Interpolasi isohyet menggunakan kernel smoothing karena memiliki RMS kurang
dari 1. Nilai RMS error ini lebih rendah jika dibandingkan krigging maupun idw.
P = RO + Ep + G
P = hujan (mm)
Ep = evapotranspirasi (mm)
PE = f * Pec
21
PEc = 16 (10T/I)a
I = 12 I
i = (T/5)1,154
a = 675*10-9*I3-77*10-6*I2+0.1792*I+0,4939
Keterangan :
Pergerakan air tanah pergerakan terjadi mulai dari recharge area (masuknya air
dalam tanah), bergerak menuju Discharge area (keluarnya air tanah dalam bentuk mata air,
rembesan atau limpasan pada sumur). Pola pergerakan airtanah dapat digambarkan dengan
peta flownets untuk mengetahui arah aliran berdasarkan kontur ketinggian muka airtanah.
Tinggi muka airtanah didapatkan dari pengukuran lapangan di Sub-DAS Pesing.
Pergerakan air tanah dapat didekati dengan Hukum Darcy sebagai berikut:
V= Ki = K ∆h/ L
Q = V.A = K.i.A
Keterangan :
22
Q = debit aliran (m3/det)
Berikut merupakan diagram alur penyusunan debit airtanah dengan metode Darcy :
23
3.2.4. Analisis Kebutuhan Air
Kebutuhan air adalah sejumlah air yang digunakan untuk berbagai
peruntukkan atau kegiatan masyarakat dalam wilayah tersebut. Dalam kasus ini
kebutuhan air yang diperhitungkan yaitu kebutuhan air untuk peruntukan
kegiatan rumah tangga (domestik), irigasi, peternakan, industri, serta pertanian.
24
Penentuan jumlah kebutuhan air dapat dihitung menggunakan rumus Standar
Nasional Indonesia (SNI) tahun 2002.
Keterangan:
Q(D) = kebutuhan air domestik
q(u) = kebutuhan air penduduk kota (120 L/orang/hari)
q (r) = kebutuhan air penduduk desa (60 L/orang/hari)
P (u) = jumlah penduduk kota
P (r) = jumlah penduduk desa
A = L x It x a
25
Keterangan :
A = Penggunaan air irigasi dalam
L = Luas daerah irigasi (ha)
It = Intensitas tanaman dalam prosen (%) musim/tahun
a = Standar penggunaan air ( 1L/ det/ ha) atau
A= 0,001 m/det/ha x 3600 x 24 x 120 hari/musim
26
1995 : 93). Dalam proses evaluasi lahan, pemetaan satuan lahan merupakan hal
dasar yang harus dilakukan untuk membagi dan mendefinisikan lahan
berdasarkan kriteria dan karakteristik yang dimiliki. Pembuatan peta satuan
lahan menggunakan pendekatan geomorfologi dengan memperhatikan faktor
lereng, bentuk lahan, tanah, dan penggunaan lahan.
Satuan lahan disusun untuk menunjukkan perbedaan proses yang terjadi.
Perbedaan proses yang terjadi dipengaruhi oleh bentuklahan, iklim, vegetasi dan
topografi. Penyusunan klasifikasi satuan lahan didasarkan pula pada perbedaan
proses geomorfologis. Proses geomorfologi menggambarkan kondisi
bentuklahan, proses, genesis dan stadia (Verstappen, 1983). Informasi
geomorfologi penting diketahui dan dipahami sebagai dasar untuk
mengidentifikasi permasalahan yang pernah terjadi dan kemungkinan
permasalahan yang akan terjadi.
Berdasarkan peta unit lahan DAS Pesing terdapat 10 klasifikasi unit lahan.
Klasifikasi unit lahan tersebut didasarkan pada kondisi geomorfologis yang
dilakukan dengan interpretasi citra. Kondisi geomorfologis yang diamati yaitu
bentuklahan. Hal ini digunakan karena faktor-faktor pembentuk bentuklahan
27
memiliki kemiripan dengan faktor-faktor pembentuk tanah. Analisis yang digunakan
yaitu analisis morfometri, analisis morfogenesis, morfokronologi dan
morfoaransemen. Hasil dari identifikasi bentuklahan divalidasi dengan pengamatan
di lapangan. Perbedaan bentuklahan memberikan informasi perbedaan proses dan
dominasi proses yang terjadi pada unit lahan. Proses geomorfologi diatas laju
rata-rata menandakan adanya masalah lingkungan yang serius dan diperhatikan
untuk analisis selanjutnya pada analisis kemampuan lahan dan kesesuaian lahan.
Dataran aluvial tersedimen dipengaruhi oleh proses fluvial. Proses fluvial
yang terjadi dipengaruhi oleh adanya sungai pesing yang membawa sedimentasi
material yang berasal dari perbukitan Semilir dan perbukitan Nglanggeran. Dataran
aluvial tersedimen ini memiliki kelerengan 0-2 % yang termasuk dalam klasifikasi
datar. Dataran aluvial tersedimen memiliki kondisi hidrologi baik air permukaan
maupun air tanah yang baik sehingga pada kondisi lapangan didominasi oleh
kegiatan pertanian oleh masyarakat.
Kaki lereng bergelombang nglanggeran tertransport dipengaruhi oleh
interaksi antara transport fluvial dari hulu dan sedimentasi fluvial dari dataran
aluvial. Bentuklahan ini memiliki kelerengan sebesar 2-8 % dengan proses utama
didominasi oleh sedimentasi dengan pengaruh transportasi sedang. Material trasnport
berupa material yang berasal dari perbukitan Nglanggeran.
Lereng bawah bergelombang nglanggeran tertransport merupakan unit
lahan yang didominasi oleh proses transportasi. Lereng ini memiliki kedalaman
tanah sedang yang tertransport dari lereng atas perbukitan Nglanggeran. Proses erosi
yang terjadi bersifat sedang hingga tinggi. Unit lahan ini memiliki kelerengan
berkisar 8-16 %.
Lereng atas hummocky nglanggeran tererosi memiliki proses erosi yang
dominan. Proses erosi tersebut membentuk gulli yang teridentifikasi di lapangan.
Unit lahan ini memiliki kelerengan lebih dari 32 % dengan ketinggian di atas 90
mdpl. Dominasi proses erosi menyebabkan pada unit lahan ini material-material
tanah memiliki risiko kehilangan unsur organik yang tinggi. Identifikasi lapangan
ditemukan singkapan-singkapan dengan ukuran sedang hingga besar.
Lereng atas bergelombang nglanggeran tertransport memiliki dominasi
proses transportasi. Unit lahan ini memiliki kelerengan berkisar 16-32% dengan
28
ketinggian diatas 90 mdpl. Unit lahan ini memiliki kondisi erosi yang tidak terlalu
signifikan sehingga kehilangan material organik tidak terjadi secara masif. Kondisi
lahan pada unit lahan ini didominasi oleh tanaman perkebunan.
Lereng bawah bergelombang semilir tertransport didominasi oleh proses
transportasi yang membawa material puncak perbukitan semilir menuju ke dataran
aluvial. Unit lahan ini memiliki tanah dengan ketebalan sedang hingga dalam. Hal ini
ditunjukkan adanya material singkapan yang teridentifikasi dari formasi semilir.
Namun terdapat pula tanah dengan ketebalan yang cukup dalam.
Lereng bawah bergelombang semilir tererosi memiliki kondisi proses erosi
yang cukup masif terlihat dengan kondisi singkapan batuan dan bentukan hasil erosi.
Meskipun demikian unit lahan ini memiliki tanah yang sedang hingga cukup tebal.
Kondisi ini dikarenakan waktu perkembangan tanah pada formasi semilir memiliki
waktu yang cukup lama.
Puncak perbukitan semilir tererosi berada di puncak perbukitan semilir.
Proses erosi dominan hingga pada unit lahan ini memiliki tanah dengan ketebalan
yang tipis. Kondisi ini terlihat di lapangan bahwasannya singkapan batuan
mendominasi pada unit lahan ini. Kondisi singkapan pada unit lahan ini memiliki
material dengan ukuran yang besar. Batuan tersingkap yang teridentifikasi berupa
batuan andesit tua.
29
karakteristik lahan dapat lebih sesuai, begitu pula dengan karakteristik airnya.
Kelemahannya terletak pada permasalahan administrasi dan wewenang
pengelolaannya. Hal ini karena dalam suatu DAS melewati daerah administrasi yang
berbeda dan tentunya setiap daerah administrasi memiliki kebijakan dan wewenang
yang berbeda-beda. Tumpang tindihnya pengelolaan DAS dan permasalahan
wewenang lainnya dapat terjadi dalam hal ini.
Kelas Kemampuan lahan I tersebar di unit lahan dataran alluvial, bagian ini
dimanfaatkan sebagai lahan petanian dengan komoditas padi dan cabai. Lahan
dengan kelas kemampuan lahan II terdapat di bagian unit lahan kaki lereng
30
bergelombang glanggeran dan lahan dengan kelas kemampuan lahan IV serta VI
tersebar di unit lahan lereng atas dimanfaatkan sebagai lahan pertanian hutan yang
ditanami jenis tanaman berkayu seperti sengon dan mahoni.
31
faktor pembatas lainnya. Faktor pembatas terberat menunjukkan prioritas untuk
dilakukan improvement atau peningkatan kualitas lahan (FAO,1976).
32
Lereng bawah breksi, tuff, D K2 T4 KE3 251
bergelombang semilir batu lempung
tererosi
33
tererosi
Tabel 4.1.1. Atribut Keadaan Faktor Pembatas Kemampuan Lahan di DAS Pesing
Menurut Satuan Unit Lahan
34
Lereng atas B4 0,29 P2 D4 O0 III
bergelombang
nglanggeran tererosi
35
tertransport
36
nglanggeran tertransport
Tabel 4.1.2. Atribut Keadaan Faktor Pembatas Kemampuan Lahan di DAS Pesing
Menurut Satuan Unit Lahan
Tabel diatas menunjukkan tabel atribut keadaan faktor pembatas di DAS Pesing
menurut satuan unit lahan. Faktor pembatas erosi, kepekaan erosi, kedalaman tanah,
dan banjir mengikuti kondisi kemiringan lereng yang memiliki relief berombak hingga
berbukit. Faktor pembatas drainase, permeabilitas, serta keberadaan kerikil dipengaruhi
oleh kondisi jenis tanah dan litologi. Berdasarkan validasi lapangan, jenis tanah yang
tersebar di DAS Pesing memiliki rata-rata tekstur lempung dan geluh berlempung.
Faktor pembatas drainase dan permeabilitas mengikuti kondisi tekstur tanah lempung
yang sulit meluluskan air.
Faktor pembatas erosi, kepekaan erosi kedalaman tanah, dan banjir mempengaruhi
kondisi penggunaan lahan untuk pertanian dan penggunaan lahan non pertanian,
sementara faktor pembatas yang dipengaruhi oleh tanah (drainase, permeabilitas dan
kerikil) secara lebih spesifik berpengaruh pada penggunaan lahan untuk pertanian, oleh
karena itu kemiringan lereng merupakan faktor pembatas yang bersifat lebih dominan
terhadap kemampuan lahan pada satuan unit lahan di DAS Pesing.
37
karena mayoritas lahan sawah di DAS Pesing tidak dialiri oleh irigasi secara
terus menerus dan pengairannya sangat ditentukan oleh curah hujan.
Persyaratan penggunaan/karakteristik lahan yang sesuai untuk padi tadah hujan
meliputi: temperatur (tc), ketersediaan air (wa), media perakaran (rc), retensi
hara (nr), toksisitas (xc), sodisitas (xn), bahaya sulfidik (xs), bahaya erosi (eh),
bahaya banjir (fh), dan penyiapan lahan (lp). Pada pembuatan Peta Kesesuaian
Lahan Aktual Untuk Pertanian Padi di DAS Pesing hanya menggunakan
persyaratan penggunaan/karakteristik lahan antara lain: temperatur (tc),
ketersediaan air (wa), media perakaran (rc), bahaya erosi (eh), dan bahaya
banjir (fh).
Dataran aluvial S1 S1 S1 S1 S1 S1
sistem sungai opak
Lereng bawah S1 S1 S1 S1 S1 S1
bergelombang
tererosi pada formasi
semilir
Lereng atas S1 S1 S1 S1 S1 S1
bergelombang
nglanggeran tererosi
Lereng bawah S1 S1 S1 S1 S1 S1
bergelombang
nglanggeran
tertransport
Puncak perbukitan S1 S1 S1 S1 S1 S1
nglanggeran tererosi
Lereng atas S1 S1 S1 S1 S1 S1
humocky
nglanggeran tererosi
Lereng bawah S1 S1 S1 S1 S1 S1
bergelombang
38
semilir tertransport
Lereng bawah S1 S1 S1 S1 S1 S1
bergelombang
semilir tererosi
Lereng bawah S1 S1 S1 S1 S1 S1
bergelombang
semilir tererosi
Puncak perbukitan S1 S1 S1 S1 S1 S1
semilir tererosi
Lereng bawah S1 S1 S1 S1 S1 S1
berombak semilir
tertransport
Lereng bawah S1 S1 S1 S1 S1 S1
berombak semilir
tertransport
Puncak perbukitan S1 S1 S1 S1 S1 S1
semilir tererosi
Puncak perbukitan S1 S1 S1 S1 S1 S1
semilir tererosi
Puncak perbukitan S1 S1 S1 S1 S1 S1
semilir tererosi
Puncak perbukitan S1 S1 S1 S1 S1 S1
semilir tererosi
Lereng bawah S1 S1 S1 S1 S1 S1
bergelombang
semilir tertransport
Lereng bawah S1 S1 S1 S1 S1 S1
bergelombang
semilir tertransport
Lereng bawah S1 S1 S1 S1 S1 S1
bergelombang
semilir tertransport
39
Lereng bawah S1 S1 S1 S1 S1 S1
bergelombang
semilir tererosi
Lereng bawah S1 S1 S1 S1 S1 S1
bergelombang
semilir tererosi
Lereng bawah S1 S1 S1 S1 S1 S1
bergelombang
semilir tererosi
Lereng bawah S1 S1 S1 S1 S1 S1
bergelombang
semilir tererosi
Lereng bawah S1 S1 S1 S1 S1 S1
bergelombang
semilir tererosi
Lereng bawah S1 S1 S1 S1 S1 S1
bergelombang
semilir tererosi
Lereng bawah S1 S1 S1 S1 S1 S1
bergelombang
semilir tererosi
Lereng bawah S1 S1 S1 S1 S1 S1
bergelombang
semilir tererosi
Lereng bawah S1 S1 S1 S1 S1 S1
bergelombang
semilir tertransport
Lereng bawah S1 S1 S1 S1 S1 S1
bergelombang
semilir tererosi
Lereng bawah S1 S1 S1 S1 S1 S1
bergelombang
semilir tererosi
Kaki lereng S1 S1 S1 S1 S1 S1
40
bergelombang
nglanggeran
tertransport
Lereng bawah S1 S1 S1 S1 S1 S1
bergelombang
nglanggeran
tertransport
Tabel 4.1.3. Atribut Karakteristik Lahan Padi Tadah Hujan di DAS Pesing Menurut
Satuan Unit Lahan
41
Lereng bawah berombak semilir N S2 S1 S1
tertransport
42
semilir tererosi
Tabel 4.1.4. Atribut Karakteristik Lahan Padi Tadah Hujan di DAS Pesing Menurut
Satuan Unit Lahan
Unit Lahan Retensi Hara Bahaya erosi Bahaya erosi Bahaya Banjir
(nr3) (eh1) (eh2) (fh1)
43
semilir tertransport
44
Lereng bawah bergelombang S1 N N S1
semilir tererosi
Tabel 4.1.5. Atribut Karakteristik Lahan Padi Tadah Hujan di DAS Pesing Menurut
Satuan Unit Lahan
45
Lereng bawah bergelombang N Nrc1 S2 S2rc2
nglanggeran tertransport
46
semilir tertransport
Tabel 4.1.6. Kelas Kesesuaian Lahan Padi Tadah Hujan di DAS Pesing Menurut
Satuan Unit Lahan
47
Gambar 4.1.3. Peta Kesesuaian Lahan Aktual Untuk Pertanian Padi
48
drainase yang cepat. Sementara itu, untuk bahaya erosi yang memiliki kelas
kesesuaian N berarti lahan tersebut memiliki bahaya erosi yang berat.
49
permasalahan ini maka pertanian padi tidak dapat dilakukan pada saat
pertengahan musim kemarau terjadi. Solusi dari permasalahan ini yaitu
penanaman komoditas yang tidak memerlukan sumber air yang banyak dalam
pengelolaannya yakni seperti tanaman buah dan rumput ternak.
Pada kesesuaian lahan potensial untuk pertanian padi tadah hujan di DAS
Pesing terdapat kelas kesesuaian S1 atau sangat sesuai. Lahan yang memiliki
kelas kesesuaian S1 terdapat pada unit lahan dataran aluvial tersedimen. Unit
lahan dataran aluvial memiliki karakteristik lahan yang memenuhi syarat
tumbuh padi sawah tadah hujan secara optimal dan tidak memiliki pembatas
serius.
Unit Lahan Temperatur ( C ) (tc) Ketersediaan air (mm) (wa1) Ketersediaan oksigen (oa)
50
Lereng bawah bergelombang S1 S3 S1
tererosi pada formasi semilir
51
Lereng bawah bergelombang S1 S3 S2
semilir tertransport
52
nglanggeran tertransport
Tabel 4.1.7. Atribut Karakteristik Lahan Cabai di DAS Pesing Menurut Satuan Unit
Lahan
Unit Lahan Media Perakaran (rc1) Media Perakaran (rc2) Media Perakaran (rc3)
53
Puncak perbukitan semilir S1 N N
tererosi
54
semilir tererosi
Tabel 4.1.8. Atribut Karakteristik Lahan Cabai di DAS Pesing Menurut Satuan Unit
Lahan
Unit Lahan Bahaya erosi (eh1) Bahaya erosi (eh2) Bahaya Banjir (fh1)
55
tertransport
56
Lereng bawah bergelombang S1 N S1
semilir tertransport
Tabel 4.1.9. Atribut Karakteristik Lahan Cabai di DAS Pesing Menurut Satuan Unit
Lahan
57
Lereng bawah bergelombang S3 S3wa S3 S3wa
semilir tererosi
58
Lereng bawah bergelombang N Neh2 S1 S1tc
semilir tererosi
Tabel 4.1.10. Kelas Kesesuaian Lahan Cabai di DAS Pesing Menurut Satuan Unit
Lahan
59
Berdasarkan Peta Kesesuaian Lahan Aktual Untuk Pertanian Cabai di DAS
Pesing dapat diketahui bahwa sebagian besar lahan di DAS Pesing memiliki
klasifikasi kesesuaian lahan N dan sebagian kecil sisanya memiliki klasifikasi
S3. Kondisi ini tidak berbeda jauh dengan kesesuaian pertanian padi sawah
tadah hujan. Klasifikasi kesesuaian lahan N memiliki arti bahwa lahan tersebut
tidak sesuai untuk dijadikan sebagai lahan pertanian cabai. Sementara itu,
klasifikasi S3 memiliki artian bahwa lahan yang ada hampir sesuai dengan
persyaratan kesesuaian lahan yang telah ditentukan dan memiliki pembatas
yang serius untuk mempertahankan tingkat pengelolaan. Faktor pembatas yang
ada dapat mengurangi produksi dan keuntungan.
Kesesuaian lahan aktual untuk pertanian cabai di DAS Pesing yang
didominasi oleh kelas kesesuaian N (tidak sesuai) disebabkan terutama karena
ketidaksesuaian pada dua syarat penggunaan yaitu drainase dan bahaya erosi.
Drainase masuk ke dalam kategori ketersediaan oksigen dengan kode oa,
sedangkan bahaya erosi masuk ke dalam kategori bahaya erosi dengan kode
eh2. Drainase yang berkelas N atau tidak sesuai berarti lahan tersebut memiliki
drainase yang cepat. Sementara itu, untuk bahaya erosi yang memiliki kelas
kesesuaian N berarti lahan tersebut memiliki bahaya erosi yang berat.
60
Berdasarkan Peta Kesesuaian Lahan Potensial Untuk Pertanian Padi di
DAS Pesing dapat diketahui bahwa terdapat tiga kelas kesesuaian yaitu S1, S2,
dan N (tidak sesuai). Kesesuaian lahan potensial untuk pertanian cabai di DAS
Pesing tidak berbeda jauh dengan pertanian padi. Kelas kesesuaian S1 atau
sangat sesuai memiliki artian lahan yang tidak memiliki pembatas yang serius
untuk menerapkan pengelolaan yang diberikan atau mempunyai pembatas
yang tidak berarti secara nyata berpengaruh pada produktivitas, Sementara itu,
kelas kesesuaian S2 atau cukup sesuai berarti lahan tersebut mempunyai
pembatas yang agak serius untuk mempertahankan tingkat pengelolaan yang
harus diterapkan.
Pada kesesuaian lahan potensial untuk pertanian padi tadah hujan di DAS
Pesing terdapat kelas kesesuaian S1 atau sangat sesuai. Lahan yang memiliki
kelas kesesuaian S1 terdapat pada unit lahan dataran aluvial tersedimen. Unit
lahan dataran aluvial memiliki karakteristik lahan yang memenuhi syarat
tumbuh padi sawah tadah hujan secara optimal dan tidak memiliki pembatas
serius.
61
Gambar 4.3.7. Peta Kesesuaian Lahan Aktual Untuk Permukiman
Unit Lahan Lereng Banjir Cole Air Longsor Kelas Sub- Kelas Subkelas
tanah Aktual kelas Potensial Potensial
Aktual
62
nglanggeran tererosi
63
bergelombang semilir
tertransport
64
tererosi
65
dipertimbangkan karena material tanah akan mempengaruhi kembang kerutnya dan
selanjutnya mempengaruhi kualitas bangunannya. Pengerutan tanah yang banyak
mengandung liat tipe 2:1 akan menyebabkan kerusakan pada pondasi bangunan yang
ringan (Jumikis, 1992). Selain itu, tanah liat tipe ini akan mengabsorbsi banyak air
(Hardjowgeno, 2007).
Permukiman memperhatikan kondisi topografi agar keberlanjutan penggunaan
lahan untuk permukiman dapat berlangsung lama. Satuan lahan lereng baik pada
lereng atas, lereng tengah, dan bawah memiliki masalah berupa lereng yang terjal
sekitar 8% hingga 15% bahkan ada yang mencapai >15% sehingga klasifikasi
kesesuaiannya menjadi tidak sesuai. Pada bagian puncak perbukitan serta pada
daerah lereng dengan topografi yang curam, tidak cocok digunakan sebagai
permukiman karena akan menyulitkan dalam pendirian bangunan serta sulit dalam
hal aksesibilitasnya.
Selain itu ketersediaan air juga merupakan faktor yang penting untuk
dipertimbangkan karena air merupakan kebutuhan dasar bagi manusia. Seperti yang
dapat dilihat pada Tabel 3.1, parameter airtanah cukup mempengaruhi kesesuaian
permukiman. Menurut tabel tersebut, lahan yang sesuai untuk permukiman berada
pada lereng bawah karena lebih mudah dalam mengakses air tanah serta dekat
dengan aliran sungai. Selain itu, dataran aluvial memiliki elevasi yang rendah dan
kemiringan lereng yang sesuai sehingga mudah dari segi aksesibilitasnya.
66
Gambar 4.3.9. Peta Kesesuaian Lahan Aktual Untuk Camping Ground
67
Gambar 4.3.11. Peta Kesesuaian Lahan Potensial Untuk Camping
Ground
Unit Lahan Drainase Banjir Permea- Kemiring- Tekstur Kelas Subkela Kelas Subkelas
bilitas an Aktual s Aktual Potensial Potensial
68
Lereng bawah S1 S1 S1 N N N Neh1 S1 S1wa1
bergelombang
tererosi pada
formasi semilir
69
semilir tererosi
70
semilir tererosi
71
mengetahui informasi fisik mengenai lahan yang sesuai untuk tempat perkemahan,
maka diharapkan dapat memaksimalkan pemanfaatan lahan di daerah DAS Pesing.
Menurut gambar 3.3 Peta Kesesuaian Lahan Aktual Untuk Camping Ground,
wilayah DAS Pesing tidak sesuai untuk dibuat menjadi tempat berkemah. Parameter
yang digunakan untuk menentukan kesesuaian tempat berkemah ini yaitu meliputi
drainase, ancaman banjir, batuan dan kerikil, lereng, dan tekstur tanah. DAS Pesing
memiliki topografi yang beragam, namun kebanyakan merupakan topografi dengan
tingkat kemiringan yang sedang hingga curam antara 8%-15%. Hal ini menyebabkan
daerah ini tidak sesuai untuk tempat berkemah karena tempat berkemah
membutuhkan daerah yang datar untuk mendirikan tenda atau parkir kendaraan
kemah. Selain itu, pada daerah yang curam, aksesibilitasnya terbatas sehingga
dianggap tidak cocok.
Lembah pada antar perbukitan juga tidak cocok digunakan untuk tempat
berkemah karena memiliki penghambat seperti tekstur tanah, drainase, permeabilitas,
dan ancaman banjir. Tekstur tanah yang berpasir atau terlalu liat membuat sulit untuk
menancapkan patok yang berfungsi menegakkan tenda. Faktor drainase juga cukup
menentukan karena lokasi tempat berkemah harus terbebas dari genangan air jika
terjadi hujan. Sehingga, kombinasi beberapa parameter ini membuat DAS Pesing
tidak cocok untuk dibangun tempat berkemah.
72
Gambar 4.3.13. Peta Ketimpangan Lahan Aktual DAS Pesing
Berdasarkan Peta Ketimpangan Lahan Aktual DAS Pesing diketahui bahwa sebagian
besar lahan di DAS Pesing termasuk ke dalam kelas tidak sesuai. Hal ini
menandakan bahwa penggunaan lahan sebagian besar lahan di DAS Pesing belum
sesuai dengan arahan penggunaan lahan sehingga penggunaannya kurang optimal.
Penggunaan lahan yang sudah sesuai terutama terdapat di unit lahan dataran aluvial
tersedimen, sehingga penggunaan lahan di unit lahan tersebut sudah optimal.
73
penggunaan lahan. Penerapan rekomendasi penggunaan lahan diterapkan terutama
pada lahan dengan kelas ketimpangan yang tidak sesuai.
Rekomendasi penggunaan lahan di DAS Pesing dibuat disusun sesuai dengan Peta
Arahan Penggunaan Lahan Aktual DAS Pesing. Arahan penggunaan lahan dibuat
sesuai dengan kelas kemampuan lahan. Arahan penggunaan lahan terbagi ke dalam
empat jenis penggunaan lahan yaitu cagar alam, pengembalaan intensif,
pengembalaan sedang, lahan garapan sedang, lahan garapan terbatas, dan lahan
garapan sedang.
Arahan penggunaan lahan yang berupa cagar alam direkomendasikan terutama pada
unit lahan lereng atas humocky Nglanggeran tererosi. Pada unit lahan tersebut
sebagian besar lahannya tergolong ke dalam kelas kemampuan lahan V peta
kemampuan lahan aktual, sehingga memiliki rentang penggunaan lahan dari yang
paling tinggi penggembalaan intensif hingga yang paling rendah cagar alam. Arahan
penggunaan lahan cagar alam dipilih sebagai rekomendasi pada unit lahan lereng
74
atas humocky Nglanggeran tererosi dengan mempertimbangkan kesesuaian lahan
pertanian dan non-pertanian.
Arahan penggunaan lahan yang berupa pengembalaan intensif direkomendasikan
terutama pada sebagian kecil unit lahan lereng bawah bergelombang Semilir tererosi.
Unit lahan tersebut memiliki rentang penggunaan lahan dari yang paling tinggi lahan
garapan terbatas hingga yang paling rendah cagar alam dan tergolong ke dalam kelas
kemampuan lahan IV menurut peta kemampuan lahan aktual. Sementara itu, arahan
penggunaan lahan yang berupa pengembalaan sedang terdapat pada unit lahan
puncak perbukitan semilir tererosi. Arahan penggunaan lahan pengembalaan intensif
dan sedang dipilih sebagai rekomendasi pada kedua unit lahan tersebut dengan
mempertimbangkan kesesuaian lahan pertanian dan non-pertanian.
Lahan garapan terbatas dipilih sebagai rekomendasi pada sebagian besar unit lahan
lereng bawah bergelombang Semilir tererosi. Unit lahan tersebut memiliki rentang
penggunaan lahan dari yang paling tinggi lahan garapan terbatas hingga yang paling
rendah cagar alam dan tergolong ke dalam kelas kemampuan lahan IV peta
kemampuan lahan aktual. Sementara itu, lahan garapan sedang dipilih sebagai
rekomendasi pada unit lahan dataran aluvial tersedimen. Unit lahan dataran aluvial
tersedimen merupakan unit lahan yang paling sesuai digunakan sebagai lahan
pertanian berdasarkan peta kesesuaian lahan pertanian padi dan cabai. Unit lahan
dataran aluvial tersedimen merupakan unit lahan yang paling potensial di DAS
Pesing karena memiliki kelas kemampuan lahan potensial I.
Penerapan rekomendasi dan arahan penggunaan lahan yang dibuat untuk wilayah
DAS Pesing tidak dapat diterapkan tanpa memperhatikan penggunaan lahan yang
telah ada. Penerapan rekomendasi dan arahan penggunaan lahan membutuhkan
proses yang bertahap untuk dapat diterapkan secara baik dan optimal. Selain itu,
penerapan rekomendasi dan arahan penggunaan lahan juga harus
mempertimbangkan biaya yang dibutuhkan.
75
ketersediaan air yang sumberdaya airnya berasal dari hujan dan dapat diketahui
melalui neraca air (Riverningtyas & Nurjani, 2016). Sehingga untuk dapat
mengetahui ketersediaan air meteorologis perlu diketahui curah hujan dan
evapotranspirasi di suatu wilayah.
CH Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec
60% 224.02 244.85 230.94 216.47 122.14 57.17 16.27 6.00 6.85 83.35 209.06 193.25
80% 169.36 206.99 182.66 166.67 83.37 31.36 6.26 2.28 22.85 34.86 124.96 144.35
Curah hujan di DAS Pesing secara umum termasuk ke dalam pola curah hujan
monsunal. Pola curah hujan monsunal memiliki ciri khas berupa curah hujan yang
bersifat unimodial atau satu puncak musim hujan yaitu pada bulan Juni, Juli, serta
Agustus terjadi musim kering, sedangkan bulan Desember, Januari, dan Februari
adalah bulan basah (Tjasyono, 2004). Pola curah hujan di DAS Pesing dapat dilihat
pada Tabel xx dan Gambar xx. Berdasarkan tabel dan gambar tersebut terlihat bahwa
pada bulan Juli, Agustus, dan September terjadi puncak musim kemarau, sementara
itu puncak musim hujan terjadi pada bulan Januari hingga April.
76
Ketersediaan air meteorologis di DAS Pesing diketahui melalui data curah
hujan yang ditunjukkan oleh Tabel xx dan Gambar xx dan neraca air yang pada tabel
xx dan gambar xx. Ketersediaan air meteorologis maksimum menurut data curah
hujan dan neraca air probabilitas 60% dan 80% terdapat pada bulan Februari.
Sementara itu, ketersediaan air meteorologis minimum menurut data curah hujan dan
neraca air probabilitas 60% terdapat pada bulan September serta menurut data curah
hujan dan neraca air probabilitas 80% terdapat pada bulan Agustus. Ketersediaan air
meteorologis maksimum terjadi pada bulan Februari karena pada bulan tersebut
terjadi puncak curah hujan, sedangkan ketersediaan air meteorologis minimum
terjadi pada bulan Agustus dan September karena kedua bulan tersebut merupakan
puncak musim kemarau sehingga curah hujan sangat sedikit dan evapotranspirasi
yang terjadi besar.
77
asumsi 60%, maka air yang mengalir akan lebih banyak dibandingkan yang masuk ke
tanah atau terinfiltrasi.
Gambar (...) menunjukkan grafik banyaknya runoff pada setiap bulan dari rata-rata
nilai hujan dari tahun 1979 hingga 2013. Menurut grafik tersebut, kenaikan nilai DRO
terjadi pada Bulan November hingga puncaknya di Bulan April. Nilai DRO tertinggi pada
probabilitas hujan 60 % yaitu sebesar 134 mm dan pada probabilitas 80% sebesar 69 mm.
Menurut analisis DRO ini dapat disimpulkan bahwa bulan November hingga April ini
merupakan bulan basah, sedangkan bulan sisanya merupakan bulan kering.
Nilai DRO terendah pada DAS Pesing terjadi di bulan Oktober pada probabilitas
60% yaitu sebanyak 2.78 mm. Sedangkan pada probabilitas 80%, nilai DRO terendah
didapat pada bulan November yaitu sebesar 0.68mm. Total DRO pada probabilitas 60%
sebanyak 686 mm per tahun, sedangkan pada probabilitas 80% sebanyak 311 mm/tahun.
Hasil dari analisis aliran permukaan ini selanjutnya dapat digunakan untuk menghitung
neraca air pada DAS Pesing.
DRO Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec Total
60% 43.56 105.03 132.88 134.57 88.94 44.47 22.24 11.12 5.56 2.78 33.87 61.23 686.25
80% 16.23 58.77 76.15 69.23 43.82 21.91 10.96 5.48 2.74 1.37 0.68 3.95 311.29
78
Gambar 4.2.2. Grafik DRO Probabilitas 60% dan 80%
2.9x10
−4 0.03 139734.76 1.15 dis
2.9x10
−4 0.02 311270.73 1.62 rec
Airtanah merupakan salah satu sumber air yang banyak dimanfaatkan oleh manusia
untuk menunjang kebutuhan sehari-hari, baik untuk keperluan rumah tangga (domestik),
maupun jasa (Widyastuti, Notosiswoyo, dan Anggayana, 2006). Pertambahan jumlah
79
penduduk dan meningkatnya kualitas hidup manusia akan mengakibatkan bertambahnya
kebutuhan air bersih (Purnama, 2000).
Airtanah adalah air permukaan yang mengalami infiltrasi di daerah isian sehingga
terdapat di bawah permukaan bumi (Juanda dan Hutasoit, 1999). Pemanfaatan airtanah
sebagai sumber air bersih menjadi solusi terbaik dan termurah. Hal ini menyebabkan
keberadaan airtanah semakin berkurang. Maka dari itu diperlukan adanya analisis untuk
mengetahui bagaimana potensi airtanah yang ada pada DAS Pesing untuk menjaga
keberlangsungan kehidupan pada DAS tersebut. Potensi airtanah pada dasarnya
merupakan jumlah air yang ada per kapita dalam kurun waktu tahunan
(Purnama, dkk, 2007).
Potensi air tanah pada DAS Pesing dapat dilihat dengan menggunakan debit
airtanah yang dilihat menggunakan flownetnya. Flownet digunakan karena dalam flownet
dapat diperoleh informasi arah aliran airtanah, daerah recharge, daerah discharge, debit
airtanah dan hydraulic gradient. Debit aliran airtanah merupakan volume aliran yang
mengalir melalui suatu penampang melintang per satuan waktu (Soewarno, 1995).
Dalam penelitian potensi ini, debit airtanah dihitung dengan menggunakan Metode
Darcy. Dalam metode ini, dicari debit air tanah yang dihitung dengan menggunakan rumus
Q=KIA. I adalah gradien kemiring DAS yang dicari dari dh/dl. K adalah konduktivitas
hidraulik yang dicari pada bagian hulu dan di hilir DAS dengan menggunakan data bor
tanah.
Berdasarkan perhitungan debit metode Darcy, didapatkan nilai debit airtanah pada
DAS Pesing sebesar 1,15 m³/hari pada discharge area dan 1,62 m³/hari pada recharge area.
Hasil besaran debit airtanah baik pada recharge dan discharge area ini menurut Kepmen
ESDM No. 1451 masuk ke kategori kecil karena nilainya <2 liter/detik. Debit yang kecil
ini dapat disebabkan karena pengukuran di lapangan dilakukan pada saat musim kemarau.
Berdasarkan perhitungan nilai darcy, diketahui bahwa debit pada daerah hilir
memiliki debit yang lebih besar daripada daerah hulu. Kondisi ini sangat
memungkinkan dimana daerah hilir memiliki lebih memiliki nilai debit airtanah yang
tinggi daripada daerah recharge yang merupakan daerah tangkapan air. Hal ini disebabkan
karena pada daerah hilir mendapatkan suplai aliran airtanah dari banyak recharge,
sehingga pada hilir menjadi zona akumulasi air-air yang terinfiltrasi dan kemudian
80
mengalir ke zona recharge. Sedangkan recharge area merupakan daerah tangkapan air
yang mana hanya bergantung pada air hujan yang kemudian terinfiltrasi ke dalam tanah.
Gambar XX menunjukkan peta potensi air tanah DAS Pesing yang dilihat dari
flownet dan kontur tinggi muka air tanahnya. Melalui peta tersebut dapat dilihat bahwa
aliran airtanah pada DAS Pesing berasal dari bagian utara dan selatan DAS yang
merupakan bagian pebukitan, menuju ke bagian barat DAS yang merupakan dataran
aluvial. Pada peta tersebut dapat dilihat juga persebaran tinggi muka air tanah melalui
kontur air tanahnya. Kedalaman muka air tanah yang terdapat di DAS Pesing ini
bervariasi, yaitu bernilai 80 m pada bagian dataran alivial hingga bernilai 280 m pada
bagian perbukitan.
81
peningkatan kebutuhan air domestik. Hasil peningkatan jumlah pengguna air ini dapat
digunakan sebagai dasar dalam perhitungan perencanaan sistem penyediaan air untuk
memenuhi kebutuhan air saat ini dan masa yang akan datang (Hasibuan 2013).
82
Gambar 4.2.5. Grafik Proyeksi Kebutuhan Air Domestik DAS Pesing 2019-2030
2. Kebutuhan Air Pertanian
Irigasi adalah kegiatan menyalurkan air yang diperlukan tanaman ke tanah yang
diolah, dimana penyalurannya didistribusikan secara sistematis (Sosrodarsono dan Takeda,
1997). Kebutuhan air irigasi merupakan total volume air yang diperlukan untuk memenuhi
kebutuhan evapontranspirasi, kehilangan air, kebutuhan air untuk tanaman dengan
memperhatikan jumlah air yang diberikan oleh alam melalui hujan dan kontribusi air tanah
(Hadihardjaja dkk,1997).
Penyediaan air irigasi ini paling umum dan penting digunakan dalam bidang
pertanian. Sumber air yang umum digunakan untuk irigasi pertanian adalah air permukaan,
terutama air sungai. Namun pada beberapa lahan pertanian di DAS Pesing, irigasi
dilakukan juga dengan menggunakan air tanah dengan cara membuat sumur pada lahan
pertaniannya.
Gambar XX menunjukkan grafik kebutuhan air pertanian di DAS Pesing selama
tahun 2008 hingga 2018. Menurut grafik tersebut, secara garis besar terlihat adanya
peningkatan kebutuhan air. Namun kebutuhannya terlihat fluktuatif setiap tahunnya.
Kenaikan kebutuhan tertinggi terjadi di tahun 2010 hingga 2011 yaitu dari sebesar 376
m3/tahun menjadi 2545 m3/tahun.
Peningkatan kebutuhan air irigasi dapat disebabkan oleh adanya pergantian jenis
tanaman atau pola pergantian tanaman yang dilakukan oleh petani. Jenis tanaman ini dapat
mempengaruhi peningkatan karena setiap tanaman memiliki nilai evapotranspirasi yang
berbeda sehingga akan menghasilkan kebutuhan air yang berbeda juga.
Penurunan kebutuhan air irigasi di DAS Pesing terjadi di tahun 2017 hingga 2018.
Kebutuhan air di tahun 2017 sebesar 2668 m3/tahun menurun menjadi 2091 m3/tahun di
tahun 2018. Penurunan ini dapat disebabkan oleh berkurangnya luas lahan pertanian yang
disebabkan oleh adanya alih fungsi lahan pertanian di DAS Pesing.
83
Gambar 4.2.6. Grafik Kebutuhan Air Pertanian DAS Pesing 2008-2018
84
Berdasarkan hasil perhitungan kebutuhan air untuk peternakan yang telah
dilakukan, terlihat pada Gambar (...) bahwa kebutuhan air pada tahun 2008 hingga tahun
2018 menunjukkan tren kebutuhan air yang fluktuatif. Kebutuhan air untuk peternakan
tertinggi terjadi pada tahun 2010 dan 2018 sebesar 250.069.676 m3/tahun. Kenaikan
jumlah hewan ternak ini dapat disebabkan oleh tingginya permintaan terhadap hewan
ternak pada tahun tersebut.
Populasi hewan ternak dari tahun 2008 hingga tahun 2018 secara keseluruhan
terus mengalami peningkatan. Meningkatnya jumlah populasi ternak ini yang kemudian
membuat nilai kebutuhan air untuk ternak-ternak semakin meningkat. Hal ini disebabkan
karena air pada peternakan digunakan untuk mencuci ternak, membersihkan kandang, serta
memberi minum hewan ternaknya.
Kebutuhan air pada peternakan dapat juga diproyeksi untuk tahun yang akan
datang. Proyeksi ini dilakukan untuk melihat seberapa besar kebutuhan air peternakan
beberapa tahun mendatang. Sehingga para peternak dapat melakukan persiapan serta
manajemen air untuk mencukupi kebutuhan air pada peternakannya.
Berdasarkan hasil proyeksi kebutuhan air pada Gambar (...) dapat diperkirakan
bahwa dari tahun 2019 hingga tahun 2030 terjadi peningkatan jumlah ternak yang
selanjutnya akan mempengaruhi kebutuhan airnya. Berdasarkan kondisi tersebut dapat
diperkirakan bahwa di tahun 2030 mendatang penduduk di daerah DAS Pesing banyak
yang lebih memiliih mengembangkan kegiatan usaha ternak dibandingkan pengembangan
industri dan pertanian. Selain itu, semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan
teknologi dapat mempermudah dalam melakukan kegiatan usaha ternak.
85
Gambar 4.2.7. Grafik Kebutuhan Air Ternak DAS Pesing 2008-2018
Gambar 4.2.7. Grafik Proyeksi Kebutuhan Air Ternak DAS Pesing 2019-2030
86
Air merupakan sumberdaya alam terbarukan yang dibutuhkan dalam semua sektor
kehidupan seperti sektor pariwisata, pertanian, dan industri. Sektor industri merupakan
salah satu sektor yang berperan penting dalam pembangunan suatu wilayah. Kegiatan
industri merupakan semua kegiatan ekonomi manusia yang mengolah barang mentah atau
bahan baku menjadi barang setengah jadi atau barang jadi atau disebut juga dengan
kegiatan manufacture.
Air merupakan kebutuhan primer dalam proses industri, sehingga dibutuhkan
penyediaan air bersih dengan kualitas serta kuantitas yang dapat memenuhi kebutuhan
industri sehingga kegiatan industri dapat berjalan dengan baik. Air mempunyai fungsi
yang berbeda sesuai dengan kebutuhannya di dalam suatu industri. Terdapat 3 jenis air
dalam suatu industri berdasarkan fungsinya yaitu air proses, air utilitas, dan air domestik
(Widjaja dan Rahardjo, 2013). Air dalam kegiatan industri digunakan untuk berbagai hal
seperti mencuci barang mentah, proses industri, bahan baku, pendingin dan lain
sebagainya.
Jumlah pelaku industri di DAS Pesing yang mencakup Kecamatan Pleret dan
Piyungan ini tergolong sedikit. Selain itu jumlahnya juga tidak mengalami banyak
peningkatan dari tahun 2008 hingga 2018. Industri yang terdapat di DAS Pesing berupa
industri olahan kulit sapi, serta beberapa pengolahan hasil perikanan. Hampir sebagian
besar industri yang ada di DAS Pesing merupakan industri skala kecil dan menengah.
Gambar XX menunjukkan kebutuhan air untuk industri di DAS Pesing selama
tahun 2008 hingga 2018. Pada tahun 2008 hingga 2010 kebutuhan air cukup stabil yaitu
sebesar 40269 m3/tahun. Kemudian mengalami penurunan hingga tahun 2012 menjadi
sebesar 28189 m3/tahun. Penurunan ini dapat disebabkan berkurangnya permintaan
terhadap hasil produk industi pada DAS Pesing. Namun kebutuhan air mengalami
peningkatan kembali hingga puncak tertingginya di tahun 2017 yaitu sebesar 45181
m3/tahun. Meskipun kebutuhan air untuk sektor industri di DAS Pesing masih tergolong
kecil dibandingkan dengan total seluruh kebutuhan airnya, namun tetap diperlukan
kebijakan pemerintah yang lebih ketat untuk mengatur mengenai penggunaan air oleh
industri sehingga penggunaannya tidak akan mengganggu pemenuhan kebutuhan air untuk
sektor lainnya.
87
Gambar 4.2.8. Grafik Kebutuhan Air Industri DAS Pesing 2008-2018
88
menggambarkan kondisi sumberdaya air, termasuk kondisi yang defisit atau surplus. Kedua
kondisi tersebut tergantung dari besar nilai P, EA, dan EP. Apabila nilai P lebih besar dibanding
nilai EA dan EP maka akan menghasilkan kondisi surplus. Sebaliknya apabila nilai P lebih
kecil dibanding EA dan EP maka akan menghasilkan kondisi defisit.
Penentuan kurva neraca air menggunakan perhitungan thornthwaite mather dengan
parameter nilai hujan, suhu, tanah, penggunaan lahan, dan besar nilai runoff. Pada kolom Sto,
penentuan Sto berdasarkan tipe penggunaan lahan dan tipe tekstur tanah. Penentuan nilai EP,
EA, Sto, APWL, S, dan Ro adalah dengan menggunakan perhitungan rumus teori thornthwaite
mather.
JAN FEB MAR APRIL MEI JUNI JULI AGU SEPT OKT NOV DES
P 224.02 244.85 230.94 216.47 122.14 57.17 16.27 6.00 6.85 83.35 209.06 193.25
EP 136.90 121.91 131.67 129.85 202.56 125.24 124.32 126.52 133.46 147.99 144.11 137.12
P-EP 87.11 122.94 99.27 86.62 -80.42 -68.07 -108.05 -120.52 -126.61 -64.63 64.95 56.13
APWL 0.00 0.00 0.00 0.00 80.42 148.50 256.55 377.07 503.67 568.31 0.00 0.00
Sto 139.73 139.73 139.73 139.73 139.73 139.73 139.73 139.73 139.73 139.73 139.73 139.73
St 139.73 139.73 139.73 139.73 78.59 48.28 22.28 9.41 3.80 2.39 139.73 139.73
∆St 0.00 0.00 0.00 0.00 -61.15 -30.31 -26.00 -12.88 -5.60 -1.41 0.00 0.00
EA 136.90 121.91 131.67 129.85 183.29 87.47 42.27 18.88 12.45 84.76 144.11 137.12
S 87.11 122.94 99.27 86.62 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 64.95 56.13
D 0.00 0.00 0.00 0.00 19.27 37.77 82.05 107.64 121.00 63.23 0.00 0.00
Untuk probabilitas 60% terdapat 5 bulan basah yakni november, januari, februari,
maret, dan april. Bulan lembab pada bulan november dan mei, dan bulan kering
ada 5 yakni dari bulan juni-oktober.
89
Gambar 4.2.8. Grafik Kurva Neraca Air 60%
JAN FEB MAR APRIL MEI JUNI JULI AGU SEP OKT NOV DES
P 169.36 206.99 182.66 166.67 83.37 31.36 6.26 2.28 22.85 34.86 124.96 144.35
EP 136.90 121.91 131.67 129.85 202.56 125.24 124.32 126.52 133.46 147.99 144.11 137.12
P-EP 32.46 85.08 50.99 36.83 -119.20 -93.88 -118.06 -124.24 -110.61 -113.13 -19.15 7.22
APWL 0.00 0.00 0.00 0.00 119.20 213.08 331.14 455.38 565.99 679.12 0.00 0.00
Sto 139.73 139.73 139.73 139.73 139.73 139.73 139.73 139.73 139.73 139.73 139.73 139.73
St 139.73 139.73 139.73 139.73 59.54 30.41 13.07 5.37 2.43 1.08 139.73 139.73
∆St 0.00 0.00 0.00 0.00 -80.19 -29.13 -17.35 -7.70 -2.94 -1.35 138.65 0.00
EA 136.90 121.91 131.67 129.85 163.56 60.49 23.61 9.97 25.79 36.21 144.11 137.12
S 32.46 85.08 50.99 36.83 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 7.22
D 0.00 0.00 0.00 0.00 39.01 64.75 100.71 116.55 107.67 111.78 0.00 0.00
Terdapat 1 bulan basah (ch >200) yakni bulan februari dengan curah hujan 206.99). Bulan
lembab (ch 100<ch<200) yakni bulan nov, desember, januari, maret dan april.
Bulan kering (ch<100) terjadi pada bulan mei-oktober.
90
Dari perhitungan yang dilakukan jumlah curah hujan 200mm/bulan dipandang cukup untuk
membudidayakan padi sawah. Untuk curah hujan sebesar 100mm/bulan dipandang cukup untuk
membudidayakan palawija. Oldeman (1975) dalam Tjasyono (2004) juga mendefinisikan bulan basah
sebagai bulan dengan total curah hujan > 200mm/ bulan dan bulan kering sebagai bulan dengan <
100mm/bulan, sedang bulan dengan curah hujan antara 100mm–200mm sebagai bulan lembab
Perbedaan probabilitas 60%dan 80% terletak pada pengasumsian nilai hujan yang jatuh
dan menjadi runoff. Ketika besar persentase probabilitas semakin besar maka besar nilai
air yang menjadi limpasan permukaan semakin kecil. Maka nilai Direct Runoff (DRo)
probabilitas 60% akan selalu lebih besar dibanding nilai DRo probabilitas 80%.
91
sedangkan jumlah kebutuhan air merupakan total jumlah kebutuhan air domestik, air
irigasi, perikanan, peternakan, dan industri.
Terjadinya krisis air dapat disebabkan oleh sikap dan perilaku masyarakat yang
berlebihan dalam memanfaatkan air karena air sebagai milik umum dan dianggap tidak
terbatas adanya serta dapat diperoleh secara cuma-cuma atau gratis. Gejala krisis air terjadi
karena adanya penurunan produksi air yang disebabkan oleh ketidak teraturan curah hujan
terutama serta musim kemarau panjang yang terjadi sebagai efek dari fenomena
pemanasan global. Sementara itu, kebutuhan air di DAS pada sektor domestik, pertanian,
peternakan, dan industri terus meningkat seiring dengan terjadinya peningkatan jumlah
penduduk.
Kekritisan DAS dapat diketahui untuk melakukan upaya optimalisai pemanfaatan
air serta menyusun strategi pengelolaan sumberdaya air. Kriteria kekritisan air didasarkan
pada klasifikasi dari Notodihardjo (1982) yaitu :
Kriteria Kekritisan
Hasil kekritisan air pada DAS Pesing dapat dilihat pada tabel XX. Menurut tabel
tersebut, dari tahun 2008 hingga 2018 DAS ini tidak mengalami kekritisan karena nilai
persentasnya dibawah 50%. Meskipun tidak termasuk kategori kritis, pada DAS Pesing
perlu dilakukan pengelolaan sumberdaya air yang lebih cermat, hemat, dan lebih bijak
dengan cara menghidupkan budaya hemat air, serta efisiensi penggunaan air pada jaringan
irigasi pertanian.
2008 19510 195108 390214 585322 136575 983500 964181 106253 0.78 Tidak
92
6014 022 036 059 0131 2.5 12.5 kritis
2009 66806 668068 133613 200420 467647 983500 964181 106253 0.23 Tidak
6020 029 4048 2077 0174 2.5 12.5 kritis
2010 18843 188434 376867 565301 131903 983500 964181 106253 0.81 Tidak
2609 619 228 846 6302 2.5 12.5 kritis
2011 19080 190805 381608 572414 133563 983500 964181 106253 0.80 Tidak
3348 359 706 065 1478 2.5 12.5 kritis
2012 83516 835169 167033 250550 584618 983500 964181 106253 0.18 Tidak
7820 832 7652 7485 2789 2.5 12.5 kritis
2013 15433 154339 308676 463016 108037 983500 964181 106253 0.98 Tidak
7465 478 943 421 0308 2.5 12.5 kritis
2014 21193 211932 423862 635794 148351 983500 964181 106253 0.72 Tidak
0081 095 175 270 8621 2.5 12.5 kritis
2015 10010 100103 200207 300311 700726 983500 964181 106253 0.15 Tidak
37260 9275 6534 5809 8877 2.5 12.5 kritis
2016 23723 237232 474463 711695 166062 983500 964181 106253 0.64 Tidak
0613 629 241 870 2353 2.5 12.5 kritis
2017 25297 252977 505952 758929 177083 983500 964181 106253 0.60 Tidak
5053 070 123 192 3438 2.5 12.5 kritis
2018 24030 240302 480603 720906 168211 983500 964181 106253 0.63 Tidak
0959 977 937 914 4787 2.5 12.5 kritis
BAB V PENUTUP
5.1. Kesimpulan
5.1.1. Berdasarkan Peta Kemampuan Lahan Aktual DAS Pesing terdapat lima
kelas kemampuan lahan di Daerah Aliran Sungai Pesing yaitu kelas
kemampuan lahan III, IV, V, VI, dan VIII dengan kelas kemampuan lahan V
merupakan kelas kemampuan lahan yang paling dominan. Sedangkan
berdasarkan Peta Kemampuan Lahan Potensial DAS Pesing terdapat lima
kelas kemampuan lahan di Daerah Aliran Sungai Pesing yaitu kelas
kemampuan lahan I, II, III, IV, dan VI dengan persebaran luas
masing-masing yang lebih merata dibandingkan kemampuan lahan aktual.
93
5.1.2. Berdasarkan Peta Kesesuaian Lahan Aktual di DAS Pesing dapat diketahui
bahwa sebagian besar wilayah DAS Pesing tidak sesuai untuk dijadikan
sebagai lahan pertanian padi, pertanian cabai, permukiman, dan camping
ground. Sementara itu, berdasarkan Peta Kesesuaian Lahan Potensial di
DAS Pesing dapat disimpulkan bahwa yang paling sesuai adalah
penggunaan lahan sebagai pertanian padi dan cabai.
5.1.3. Terjadi ketimpangan lahan di sebagian besar DAS Pesing karena terjadi
ketidaksesuaian antara penggunaan lahan yang ada dengan arahan
penggunaan lahan yang dibuat.
5.1.4. Rekomendasi penggunaan lahan di DAS Pesing dibuat sesuai dengan Peta
Arahan Penggunaan Lahan Aktual DAS Pesing.
5.1.5. Ketersediaan air meteorologis maksimum di DAS Pesing terjadi pada bulan
Februari, sedangkan ketersediaan air meteorologis minimum terjadi pada
bulan Agustus dan September.
5.1.6. Ketersediaan air permukaan di Daerah Aliran Sungai Pesing dapat diketahui
melalui nilai DRO dengan nilai DRO terendah terjadi pada bulan Oktober
dan November dan dari analisis DRO dapat disimpulkan bahwa bulan
November hingga April merupakan bulan basah karena terjadi kenaikan
nilai DRO.
5.1.7. Melalui Peta Aliran Airtanah DAS Pesing dapat dilihat bahwa aliran
airtanah pada DAS Pesing berasal dari bagian utara dan selatan DAS yang
merupakan bagian pebukitan, menuju ke bagian barat DAS yang merupakan
dataran aluvial. Pada peta tersebut dapat dilihat juga persebaran tinggi muka
air tanah melalui kontur air tanahnya. Kedalaman muka air tanah yang
terdapat di DAS Pesing ini bervariasi, yaitu bernilai 80 m pada bagian
dataran alivial hingga bernilai 280 m pada bagian perbukitan.
5.1.8. Neraca air DAS Pesing menunjukkan bahwa terjadi defisit ketersediaan air
pada bulan Mei hingga Oktober.
5.1.9. Dari tahun 2008 hingga 2018 DAS Pesing tidak mengalami kekritisan
karena nilai persentasenya dibawah 50%. Meskipun tidak termasuk kategori
kritis, pada DAS Pesing perlu dilakukan pengelolaan sumberdaya air yang
94
lebih cermat, hemat, dan lebih bijak dengan cara menghidupkan budaya
hemat air, serta efisiensi penggunaan air pada jaringan irigasi pertanian.
95
DAFTAR PUSTAKA
Adisasmita, Raharjo. (2010). Pembangunan dan Tata Ruang. Yogyakarta: Graha Ilmu
Arsyad, S. 2000. Konservasi Tanah dan Air. Bandung : IPB Press
Arsyad, S. 2006. Konservasi Tanah dan Air. Bandung : IPB Press.
Arsyad Sitanala, (2010). Konservasi Tanah dan Air. Edisi Kedua, IPB Press. Bogor
Asdak, C. 2010. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Yogyakarta : Gadjah
Mada University Press.
Djaenudin, D., Marwan, H., Subagjo, H., dan A. Hidayat. 2011. Petunjuk Teknis Evaluasi
Lahan Untuk Komoditas Pertanian. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan
Pertanian, Badan Litbang Pertanian, Bogor. 36p.
FAO (Food and Agriculture Organization). 1976. A Framework for Land Evaluation.
FAO Soil Bulletin 52. Soil Resources Management and Conservation Service Land
and Water Development Division.
Goldscheider, N., 2002. Hydrogeology and Vulnerability of Karst System: Examples from
the Northern Alps and Swabian Alb. Ph.D Thesis. Karlsruhe.
Hardjowigeno, S., dan Widiatmaka. 2001. Kesesuian Lahan dan Perencanaan Tata Guna
Lahan. Jurusan Tanah Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Hardjowigeno, S. dan Widiatmaka. 2007. Evaluasi Kesesuaian Lahan dan Perencanaan
Tataguna Lahan. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Hardjowigeno, Sarwono. 2007. Evaluasi Kesesuaian Lahan Dan Perencanan Tata Guna
Lahan. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Juanda, Deny dan Lambok Hutasoit. 1999. Panduan Hidrogeologi Umum. Edisi II.
Laboratorium Hidrogeologi Jurusan Teknik Geologi ITB.
Jumikis, Alfred. 1992. Soil Mechanics. Van Nostrand. Annual Book of ASTM Standard.
Kaly, U., Pratt, C., & Mitchell, J. (2004). The Environmental Vulnerability Index (EVI).
SOPAC Technical Report 384.
Notodihardjo, M. 1982. Pengelolaan Sumberdaya Air untuk Pengembangan Lingkungan
Hidup. Buletin Asosiasi Sumberdaya Air Indonesia. Jakarta : CV. Sarajaya.
Purnama, S., Suyono dan Sulaswono, B. 2007. Sistem Akuifer dan Potensi Airtanah
Daerah Aliran Sungai (DAS) Opak. Forum Geografi, Vol. 21, No. 2, Desember
2007: 111 - 122. D
96
Purnama. 2000. Bahan Ajar Geohidrologi.Yogyakarta: Fakultas Geografi Universitas
Gadjah Mada.
Riverningtyas, S.I., dan Nurjani, E. 2016. Analisis Ketersediaan Air Meteorologis dan
Kebutuhan Air Domestik di Kota Palu, Provinsi Sulawesi Tengah. Jurnal Bumi
Indonesia. 5 (1). Hal. 1-9.
Sitorus, S. R. P. 1995. Evaluasi Sumber Daya Lahan. Bandung : Tarsito.
Strahler, Arthur N. and Alan H. Strahler. 1984. Elements of Physical Geography, 3rd
Edition. John Wiley & Sons: New York.
Sutikno. 1981. Pattern of Water Resources Utilization for Domestic Purpose on Srayu
River Basin. Disertasi. Yogyakarta : Fakultas Geografi UGM.
Tjasyono, B. 2004. Klimatologi, Edisi Kedua. Bandung : Penerbit ITB
Whitton. 1984. Geomorphology and Environmental Impact Assessment. CRC Press.
Widyastuti, M., Notosiswoyo, S., dan Anggayana, K. (2006). Pengembangan Metode
‘Drastic’ untuk Prediksi Kerentanan Airtanah Bebas Terhadap Pencemaran di
Sleman. Majalah Geografi Indonesia.20 (1). Hal. 32-51.
Verstappen, H.Th, 1983. Applied Geomorphology. Geomorphological Surveys for
Environmental Development. New York.
97