Anda di halaman 1dari 82

Analisis Spasial Untuk Mendukung Penataan

Blok Pengelolaan Kawasan Konservasi Non


Taman Nasional

Nurman Hakim

0
PENGANTAR

Pedoman dan Modul GIS ini disusun melalui proses-proses komunikasi baik secara
formal dalam FGD analisis kebutuhan kompetensi GIS, diskusi informal tatap muka,
email maupun telfon. Terima kasih disampaikan kepada: Forum Pemerhati Macan
Tutul Jawa, Yayasan Konus, Ardi Andono, Asep Suganda, Kuswandi, Dani darmawan,
Sobirin dkk, Bambang Mulyawan, Sukato Susilo, Tim Biodiversity, yang telah
mendukung data sebaran flora dan fauna. Kepada Bapak Rifki Sirodjan Kasi
Perencanaan, Perlindungan dan Perpetaan (P3), bapak Siswoyo Kepala Seksi Wil. II
Soreang, Bapak Dedi Suryadi Kepala Resort CA Gunung Tilu, Bapak Abdulhalim
pengelola data GIS dan perpetaan dari BBKSDA Jawa Barat yang memberikan input
luar biasa dalam pemetaan partisipatif profil CA Gunung Tilu. Kepada Bapak Rudi
Rachmat Fadillah atas dukungan luar biasa dalam hal penyediaan data-data spasial
dan diskusi pendalaman metode dan gagasan transfer knowledge. Terima kasih
kepada Bapak Robbi Royana, Bapak Soeparno dan Bapak Agus Sriyanto atas diskusi
berkualitas disain pengelolaan kawasan.
Buku ini Modul SIG ini merupakan bagian dari dokumen “Analisis Spasial Untuk
Mendukung Penataan Blok Pengelolaan Kawasan Konservasi Non Taman Nasional”
yang berisi langkah demi langkah pembuatan peta indikatif penataan blok. Dengan
demikian prosesnya dapat dirunut kembali cara pembuatannya. Tehnik
penghitungan dalam membuat blok pengelolaan disusun sederhana sehingga
mudah diikuti. Diharapkan dapat menginspirasi untuk diterapkan di kawasan lainnya
dengan terlebih dahulu disempurnakan metodenya. Dalam modul ini, lokasi yang
menjadi contoh lokasi adalah Cagar Alam Gunung Tilu-Jawa Barat.
Buku ini merupakan bagian dari Annual Work Plan (AWP) dalam Consultant Firm
(CF) Citarum Watershed Management and Biodiversity Conservation (CWMBC) pada
progam investasi pengelolaan DAS Citarum secara terpadu (Integrated Citarum
Water Resources Management Investment Program–ICWRMIP). Salah satu
kegiatannya pada komponen 1 (1.5.7) adalah menyusun peta tematik untuk
Mendukung Perencanaan dan Tindakan Pengelolaan kawasan konservasi.
Karya ini InsyaAllah akan terus disempurnakan. Semoga memberikan faedah kepada
semua pihak yang menggunakannya. Nuun, Walqolami wama yasthuruun.

Bandung, Desember 2014


Daftar Isi

Lembar Persetujuan
Ringkasan Eksekutif
Kata Pengantar
Daftar Isi
Daftar Tabel
Daftar Gambar

I. Pendahuluan

II. Metodologi
2.1. Kerangka Pemikiran
2.2. Metode
A. Pemetaan Kepekaan Ekologi: Nilai Penting Kawasan
B. Analisis Kesenjangan: Tutupan/Penggunaan Lahan dan Intervensi
Pemanfaatan
C. Penataan Blok Pengelolaan

III. Hasil dan Pembahasan


III.1. Peta Kepekaan Ekologi
III.2. Peta Analisis Kesenjangan
III.3. Peta Indikatif Penataan Blok
III.4. Pembahasan

IV. Pembelajaran dan Rekomendasi


5.1. Pembelajaran
5.2. Rekomendasi

Daftar Pustaka

1
Daftar Tabel
Tabel 1.1. Sumber Data
Tabel 2.1. Blok Pengelolaan menurut PP No. 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan
KSA/KPA
Tabel 2.2. Bentuk Pemanfaatan menurut PP No. 28 Tahun 2011 tentang
Pengelolaan KSA/KPA
Tabel 2.3. Nilai Penting 8 (delapan) Kawasan Konservasi Berdasarkan Tujuan
Penunjukannya
Tabel 2.4. Peta Kriteria Penyusun Peta Kepekaan Ekologi
Tabel 2.5. Kriteria dan Kelas Penggunaan Lahan Berdasarkan SNI 19-6728.3-2002
tentang Penyusunan neraca sumber daya Bagian 3: Sumber daya lahan
spasial
Tabel 2.6. Kelas Utama Intervensi Pemanfaatan
Tabel 2.7. Tipologi Kawasan Berdasarkan Analisis Kesenjangan

Daftar Gambar
Gambar 2.1. Pengelolaan KSA/KPA menurut PP 28/2011 dan Ruang Lingkup
Penataan Blok/Zona.
Gambar 2.2. Contoh Mandat Pengelolaan Dalam Keputusan Penunjukan CA
Gunung Tilu
Gambar 2.3. Macan Tutul hasil kamera trap (erwin) dan foto Surili (Bayu) dalam
kegiatan Tim Biodiversity CWMBC-ICWRMIP.
Gambar 2.4. Kekayaan spesies dalam satu hektare di berbagai hutan pada
elevasi berbeda di Indonesia. Ternyata hutan pamah di Kalimantan
Timur adalah yangpaling kaya spesies di Indonesia. (Kuswata
Kartawinata, 2010).
Gambar 2.5. (Atas) Koridor CA Gunung Tilu memiliki nilai penting untuk ditata
sebagai blok perlindungan. Koridor 1 memiliki kemudahan
mengelola (baca: wewenang) yang lebih baik karena disangga oleh
hutan lindung, sementara batas luas Koridor 2 langsung
berhubungan dengan Tanah milik. Lebar koridor 2 berkisar 300-
1400 meter menghubungkan ke CA Gunung Simpang. (Bawah)
Koridor CA/TWA Kamojang dan CA Papandayan yang terancam
fragmentasi.
Gambar 2.6. Konsep penghitungan tool pemetaan kepekaan ekologi yang
dikembangkan Sergeyeva (2004) dan nilai-nilai penting pembentuk
kepekaan ekologi kawasan konservasi.
Gambar 2.7. Contoh Peta Tematik CA Gunung Tilu yang Dihasilkan berdasarkan
Diagram Alir pada gambar 2.5.

2
Gambar 2.8. Kepekaan Ekologi, Intervensi Pemanfaatan dan Analisis
Kesenjangan Dalam Penentuan Blok Pengelolaan Indikatif Kawasan
Konservasi.
Gambar 3.1. Peta Kriteria kawasan Lindung (kiri) dan Kriteria Kawasan
Konservasi (kanan) CA Gunung Tilu
Gambar 3.2. Peta Kepekaan Ekologi CA Gunung Tilu
Gambar 3.3. Peta Kriteria kawasan Lindung (atas) dan Kriteria Kawasan
Konservasi (bawah) CA/TWA Kawah Kamojang
Gambar 3.4. Peta Kepekaan Ekologi CA/TWA Kawah Kamojang
Gambar 3.5. Peta Kriteria kawasan Lindung (kiri) dan Kriteria Kawasan
Konservasi (kanan) TN Gunung Gede Pangrango
Gambar 3.6. Peta Kepekaan Ekologi TN Gunung Gede Pangrango
Gambar 3.7. Peta Analisis Kesenjangan CA Gunung Tilu
Gambar 3.8. Peta Analisis Kesenjangan TN Gunung Gede Pangrango
Gambar 3.9. Peta Analisis Kesenjangan CA/TWA Kawah Kamojang
Gambar 3.10. Alur Penentuan Blok Pengelolaan Indikatif
Gambar 3.11. Indikati blok Perlindungan 7.095 ha (95%) dan blok lainnya 384 ha
(5%) CA Gunung Tilu
Gambar 3.12. Indikatif Blok Perlindungan 7.408 ha (86%) dan Blok lainnya 1.228
ha (14%) di CA/TWA Kawah Kamojang

3
I. PENDAHULUAN

Terdapat 2 (dua) isu penting dalam penataan blok ataupun zona di kawasan
konservasi. Pertama, kepekaan ekologi. Kedua, Intervensi pemanfaatan.
Kata kunci pada saat merumuskan Kepekaan ekologi adalah nilai penting kawasan.
Nilai penting kawasan digali dari sejarah dan tujuan berdirinya kawasan, politik
konservasi yang dimandatkan, nilai perlindungan hidrologi dan yang lebih penting,
dinamika kawasan dan temuan-temuan baru yang yang tidak dimandatkan pada
saat berdirinya.
Kata kunci untuk isu intervensi pemanfaatan adalah konsep klasifikasi land use yang
argumentatif secara akademis, faktual memotret tapak dan relevan dengan visi/misi
manajemen. Sangat disarankan bagi pengelola kawasan untuk mengembangkan
konsep land use sendiri. Konsep land use yang kuat memudahkan dalam
menentukan jenis blok/zona mana yang tepat dipilih.

Penting untuk difahami bahwa kualitas analisis spasial sangat ditentukan oleh
kedalaman data survey lapangan. Setidaknya ada 2 tematik layer yang sedapat
mungkin harus baik kualitasnya: (1) Data sebaran satwa dan flora (2) Data
Penutupan/penggunaan lahan. Kedua layer ini sangat menentukan kualitas peta
kepekaan ekologi yang dihasilkan, apapun metode yang digunakan.

Hal yang tidak kalah pentingnya adalah kerendah-hatian terhadap penggunaan


metodologi spasial kuantitatif. Pendekatan GIS bertujuan mengantarkan pengelola
memperoleh gambaran indikatif penataan blok/zona. Para expert panel (intelektual
yang berasal dari internal pengelola atau yang diundang) akan memperkaya dan
menyempurnakannya sehingga diperoleh peta final yang siap dikomunikasikan
dengan parapihak.

Kawasan konservasi bukanlah kertas putih yang steril dari berbagai kepentingan.
Peta penataan blok hanyalah mewakili satu nilai. Ada banyak nilai yang dianut
parapihak dan semuanya memiliki alamat geografis- yang jika itu overlap- akan
melahirkan konflik. Bagian final dari proses penataan blok/zona pada akhirnya
adalah kesepakatan.

Dalam buku ini terdapat 13 modul. Dirancang secara berurut dalam konteks
persiapan menerjemahkan nilai penting kawasan secara spasial menjadi peta-peta
kriteria. 3 Modul terakhir modul mengenai kepekaan ekologi, intervensi
pemanfaatan dan penataan blok yang bersifat indikatif. Nilai-nilai penting kawasan
yang tidak dapat diterjemahkan secara spasial hendaknya didokumentasikan dalam
narasi-narasi kualitatif yang menjadi bagian utuh produk dari tahapan analisis
spasial.

4
1.4. Data
Sumber data dan referensi yang digunakan dalam penyusunan dokumen disajikan
sebagai berikut:

Tabel 1.1. Sumber Data


Sumber Data Tema Data
Rupa Bumi Indonesia (RBI) 1:25000 Kontur, Infrastruktur, Penggunaan lahan,
Jalan, Sungai
Direktorat Pengukuhan, Penggunaan dan Tenurial Peta Perkembangan kawasan hutan
Kawasan Hutan provinsi Jawa Barat
BPDAS-PS Batas DAS Citarum
Kementrian Dalam Negeri Batas Administrasi Wilayah
 Tim Biodiversity ICWRMIP Keanekaragaman Hayati
 Forum Pemerhati Macan Tutul Jawa (FPMTJ)
 Konus
 Hasil FGD bersama tim BBKSDA Jawa Barat
dan BBTN Gunung Gede Pangrango
 Balai Besar KSDA Jawa Barat, seksi
Perencanaan, Perlindungan dan Perpetaan
 http://usgs.gov Landsat 8 pathrow 121/65 dan 122/65,
 GoogleEarth akuisisi 2014. GoogleEarth digunakan
untuk konfirmasi interpretasi citra landsat
Direktorat Kawasan Konservasi dan Bina Hutan Naskah Dokumen Penunjukan/ Penetapan
Lindung Kawasan

5
II. METODOLOGI

2.1. Kerangka Pemikiran


Pengelolaan KSA/KPA menurut Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2011
tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam
(KSA/KPA) adalah Perencanaan, Perlindungan, Pengawetan, Pemanfaatan dan
Evaluasi (lihat gambar 2.1). Pada aspek perencanaan, secara berurutan hal yang
dilakukan adalah (1) inventarisasi potensi kawasan (2) Penataan blok/zona, dan (3)
menyusun rencana pengelolaan.

Penataan blok/zona adalah kegiatan untuk menentukan ruang-ruang yang


tepat bagi keperluan pengelolaan di tingkat tapak sekaligus mengakomodasi
berbagai kepentingan pemanfaatan kawasan. Penjelasan kriteria setiap blok
terutama blok lainnya diatur dengan peraturan menteri dan saat ini belum
diterbitkan. Oleh karena itu Blok pengelolaan pada KSA dan KPA terdiri dari blok
perlindungan, blok pemanfaatan dan blok lainnya (pasal 19). Berdasarkan PP
28/2011, jenis blok/zona dan bentuk pemanfaatannya disajikan dalam tabel 2.1. dan
2.2. berikut.

Tabel 2.1. Blok Pengelolaan menurut PP No. 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan
KSA/KPA
Blok Pengelolaan CA SM TWA TN THR
Blok Perlindungan √ √ √ √ √
Blok Pemanfaatan √ √ √ √ √
Blok koleksi tumbuhan dan/atau satwa - - - - √
Blok tradisional
Blok untuk kepentingan pemanfaatan tradisional oleh masyarakat
- - √ √ √
yang secara turun-temurun mempunyai ketergantungan dengan
sumber daya alam
Blok rehabilitasi
Blok yang mengalami kerusakan, sehingga perlu dilakukan kegiatan
- - √ √ √
pemulihan komunitas hayati dan ekosistemnya yang mengalami
kerusakan.
blok religi, budaya, dan sejarah
blok yang didalamnya terdapat situs religi, peninggalan warisan
budaya, dan/atau sejarah yang dimanfaatkan untuk kegiatan - - √ √ √
keagamaan, kegiatan adat-budaya, perlindungan nilai-nilai budaya,
atau sejarah.
Blok khusus
Blok yang diperuntukan bagi pemukiman kelompok masyarakat dan
aktifitas kehidupannya dan/atau bagi kepentingan pembangunan - - √ √ √
sarana telekomunikasi dan listrik, fasilitas transportasi, dan lain-lain
yang bersifat strategis.

Blok koleksi tumbuhan dan/atau satwa merupakan bagian dari


- - - - √
kawasan taman hutan rakyat yang terutama diperuntukkan untuk
koleksi tumbuhan dan/atau satwa
Blok perlindungan bahari √ √ √ √ √
Blok wilayah perairan laut yang ditetapkan sebagai tempat

6
Blok Pengelolaan CA SM TWA TN THR
perlindungan jenis tumbuhan, satwa dan ekosistem, serta sistem
penyangga kehidupan yang karena letak, kondisi dan potensinya
mampu mendukung kepentingan pelestarian.
*Taman Buru tidak diatur dalam PP.28/2011

Tabel 2.2. Bentuk Pemanfaatan menurut PP No. 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan
KSA/KPA
Jenis Pemanfaatan CA SM TWA TN THR
penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan √ √ √ √ √
pendidikan dan peningkatan kesadartahuan konservasi alam √ √ √ √ √
penyerapan dan/atau penyimpanan karbon √ √ √ √ -
pemanfaatan sumber plasma nutfah untuk penunjang
√ √ √ √ √
budidaya
penyimpanan dan/atau penyerapan karbon,
- √ √ √ √
pemanfaatan air serta energi air, panas, dan angin
wisata alam terbatas - √
wisata alam - - √ √ √
Pemanfaatan tradisional oleh masyarakat setempat berupa
kegiatan pemungutan hasil hutan bukan kayu, budidaya
- - √ √ √
tradisional, serta perburuan tradisional terbatas untuk jenis
yang tidak dilindungi.
pembinaan populasi dalam rangka penetasan telur dan/atau
- - √ - -
pembesaran anakan yang diambil dari alam
koleksi kekayaan keanekaragaman hayati - - - - √
pembinaan populasi melalui penangkaran dalam rangka
pengembangbiakan satwa atau perbanyakan tumbuhan secara - - - - √
buatan dalam lingkungan yang semi alami.
*Yang dimaksud pemanfaatan adalah pemanfaatan kondisi lingkungan atau pemanfaatan jenis
tumbuhan dan satwa liar
**Taman Buru tidak diatur dalam PP.28/2011

Box 1.
Strategi pengelolaan ekosistem menurut Odum (1969) didasarkan pada kebutuhan ruang
untuk kehidupan manusia yang terdiri dari (1) area perlindungan yang berkaitan dengan
lingkungan hidup, (2) Area pertanian yang berkaitan dengan produksi pangan, bahan bakar
dan serat, dan (3) area urban/industrial yang mendukung kegiatan ekonomi, industri dan
permukiman. Compromise environment adalah wilayah yang merukunkan kepentingan
produksi dan perlindungan. Dalam konteks politik alokasi ruang, konsep protective bersifat
taken for granted dimana pengelola tapak dimandatkan untuk menjaga batas kawasannya.
Namun demikian, tidak berarti kawasan tidak dapat digunakan untuk pemanfaatan
konsumtif. Peraturan membolehkannya dengan rambu-rambu. Rambu-rambu itu adalah
bernama blok atau zona. Inilah area kompromi antara kepekaan ekologi dengan intervensi
pemanfaatan []

7
Ruang Lingkup Penataan Blok (kotak biru) Dalam Strategi Pengelolaan Ekosistem Menurut
Odum (1969).

8
Gambar 2.1. Pengelolaan KSA/KPA menurut PP 28/2011 dan Ruang Lingkup
Penataan Blok/Zona.

9
2.2. Metode
Penyusunan Draft Penataan blok pengelolaan secara umum terdiri dari
tahapan sebagai berikut:
A. Pemetaan Kepekaan Ekologi Kawasan
B. Analisis Kesenjangan Ruang (Gap Analysis)
C. Panel ahli (Internal UPT dan ahli yang diundang) untuk Penentuan Blok
Pengelolaan

A. Pemetaan Kepekaan Ekologi : Nilai Penting Kawasan

Penentuan derajat kepekaan ekologi suatu kawasan konservasi didasarkan


kepada nilai penting suatu kawasan yang apabila terganggu mengakibatkan
turunnya atau hilangnya fungsi kawasan. Akumulasi nilai penting membentuk
spektrum kepekaan ekologi. Semakin banyak nilai penting yang dimiliki suatu lokasi
semakin tinggi derajat kepekaan ekologinya. Nilai penting kawasan konservasi dapat
digali dari beberapa sumber diantaranya sebagai berikut:
1. Nilai penting berdasarkan tujuan berdirinya kawasan.
2. Nilai penting sebagai kawasan lindung.
3. Berdasarkan kebijakan konservasi baik di tingkat nasional maupun lokal.
4. Nilai penting berdasarkan kajian penelitian lapangan yang menghasilkan temuan
baru atau pembaharuan data sebelumnya.

A.1. Nilai Penting Berdasarkan Tujuan Berdirinya Kawasan


Tujuan berdirinya kawasan biasanya tercantum dalam narasi SK
Penunjukannya, dalam kajian akademisnya, wawancara tokoh kunci yang terlibat
dalam proses pembentukan, atau dari keterangan masyarakat setempat. Semua
harus ter-recognize lengkap. Jangan sampai nilai penting kawasan tereliminasi oleh
nilai penting lainnya. Sebagai contoh (Gambar 2.2.) kompleks Hutan Gunung Tilu
Tanjaknangsi adalah hutan lindung dengan nilai penting hidrologi. Nilai itu tidak
boleh hilang atau diganti nilai penting biodiversity hanya karena berubah menjadi
Cagar Alam. Nilai penting suatu kawasan bersifat akumulatif dan berperan
mengidentifikasi derajat kepekaan ekologi.
Pada dasarnya kawasan hutan yang ada merupakan bagian dari kisah domein
verklaaring 1875 yang kemudian ditata oleh BoschInrichtings Brigade (sekarang
Planologi Kehutanan) kedalam register-register tanah kehutanan. Kawasan tersebut
dialokasikan untuk berbagai tujuan misalnya produksi jati (Djatibosch), hutan non
jati (Wildhoutbosch), hutan cadangan/tutupan hutan (bosch reserve) atau cagar
alam (natuurmonument). Banyak kawasan konservasi yang narasi penunjukannya
tidak spesifik menegaskan alasan, hanya menyebutkan sebagai perlindungan
keanekaragaman hayati (motif save it). Bagi pihak pengelola, ini merupakan
tanggung jawab untuk menggalinya lewat survey-survey intensif. Seiring
perkembangan tahap study it, boleh jadi muncul temuan nilai penting yang baru.

10
Gambar 2.2. Contoh Mandat Pengelolaan Dalam Keputusan Penunjukan CA Gunung
Tilu

Berdasarkan kajian terhadap sumber-sumber yang ada, 8 kawasan yang


menjadi lokasi kegiatan ICWRMIP sama-sama memiliki sejarah sebagai cagar alam
kecuali TB Masigit Kareumbi. Sebagian TN Gunung Gede Pangrango berlatar sebagai
Hutan Produksi dan Hutan Produksi Terbatas. Cagar Alam berkaitan dengan
keunikan suatu jenis, keanekaragaman, atau gejala alam. Tangkuban Parahu
memiliki latar sebagai Hutan Lindung (HL) yang menyiratkan nilai pentingnya sebagai
perlindungan air (nilai penting hidrologi).

Tabel 2.3. Nilai Penting 8 (delapan) Kawasan Konservasi Berdasarkan Tujuan


Penunjukannya
No Kawasan Fitur Konservasi bernilai penting
1 CA Gunung Fauna: Lutung, Kijang, Ayam Hutan, babi hutan, berbagai jenis
Burangrang burung
2700 ha Flora: Saninten, Pasang, Angrek-anggrekan
Purwakarta Gejala alam: -
Sejarah: Berasal dari hutan tutupan kompleks hutan Burangrang
Utara

11
No Kawasan Fitur Konservasi bernilai penting
2 CA Gunung Fauna: Konsideran tidak menyebut nama fauna
Tangkuban Flora:
Perahu 1290 ha/TWA Anaphalis javanica, Rhododendron, Vaccinium dll dan menyatakan
Kawah Gunung perlindungan sisa hutan alam
Tangkuban Gejala alam: Lansekap kawah gunung tangkuban perahu
Perahu 370ha.
CA/TWA Gunung Tangkuban Parahu dan CA Burangrang berada
dalam hamparan yang sama dipisahkan dengan koridor Hutan
Lindung.
2 CA Kawah Kamojang, Fauna: Kijang, Lutung, Macan Tutul, Belibis dll.
7.536 ha Flora: Saninten, Jamuju, Saninten, Pasang, Rasamala, Angrek-
TWA Kamojang, anggrekan
250ha Gejala alam: Lansekap alam, sumber air panas.
Garut  TWA berasal dari CA.
 Eksplisit menyebut sbg perlindungan flora endemik pulau Jawa.
 Eksplisit menyebut perlunya rehabilitasi vegetatif dan sipil
teknis untuk mitigasi kawasan wisata Cipanas Garut.
 satu hamparan bersama CA/TWA Gn. Papandayan.
4 Fauna: Habitat Macan kumbang (tutul), Owa, Kidang, Landak, Kancil
CA Gunung Tilu
Flora: Saninten, Jamuju, Pasang, Kiputri, Rasamala, Angrek-
8000 ha
anggrekan.
Bandung
Gejala alam:-
7 Taman Buru Tidak menyebutkan flora, fauna, gejala alam. Hanya menyebut
Gunung Masigit sebagai kelompok hutan pada KPH Garut.
Kareumbi, 12420.70
ha, Sumedang, Garut
8 Fauna: Macan tutul, Owa, Surili, berbagai jenis burung
Flora: Rasamala, Jamuju, Pasang
Gejala alam:
Taman Nasional Lansekap kawah gunung gede, air terjun Cibeureum, Danau
Gunung Gede Situgunung
Pangrango, 21.975 Berasal dari Botanical Boschreserve Gede, TWA Cimungkat, TWA
Situgunung dan kompleks Hutan Gunung Gede. Diluaskan dengan
merubah fungsi Hutan Produksi dan Hutan Produksi Terbatas
disekitarnya.
Catatan: Penyebutan nama spesies (flora/fauna) dalam konsideran SK penunjukan diawali
dengan “baik yang dilindungi maupun yang belum” dan diakhiri dengan “dan lain-lain”. Ini
dapat diartikan bahwa kawasan memiliki nilai penting karena merupakan habitat bagi
berbagai spesies. Eksistensi spesies yang disebut dalam SK bersifat flagship dan masih
memerlukan riset lebih dalam untuk mengetahui spesies apa merupakan keystone bagi
kawasan tersebut.

A.2. Nilai Penting Sebagai Kawasan Lindung


Seluruh kawasan yang menjadi lokasi kegiatan ICWRMIP berada di hulu DAS Citarum
yang berarti memiliki nilai penting hidrologi. CA Gunung Tilu secara tegas disebutkan
berfungsi Lindung. Sebgai contoh, kawasan Tangkuban Parahu awalnya merupakan
Hutan Lindung. Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan

12
Kawasan Lindung memberikan arahan untuk mengidentifikasi fungsi lindung
Terdapat 3 parameter yaitu: Kelerengan diatas 40%, Ketinggian diatas 2000 mdpl,
radius 100 meter dari situ/danau dan 50-100 meter sempadan sungai.

A.3. Nilai Penting berdasarkan Kebijakan Konservasi


Nilai penting dapat diambil dari sebuah kebijakan yang ditetapkan dalam skala
nasional maupun lokal baik yang dirilis oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan maupun dari lembaga lain. Sebgai contoh, Permenhut P.46/Menhut-
II/2014 tentang Rencana Kerja tahun 2015 salahsatunya adalah “meningkatkan
populasi 25 spesies terancam punah menurut redlist IUCN sebesar 2% sesuai
baseline data tahun 2013”. Nilai penting suatu kawasan menjadi bertambah ketika
menjadi habitat salah satu spesies yang masuk dalam redlist tersebut. Berdasarkan
kebijakan pusat, BBKSDA mendapat mandat untuk 3 spesies yakni Owa Jawa, Surili
dan Elang Jawa. UPT dapat menetapkan nilai penting tersebut seperti yang
dilakukan oleh TN Aketajawe Lolobata yang menetapkan Burung Bidadari sebagai
flagspesies melalui SK Kepala Balai. Contoh lain misalnya Balai TN Gunung Halimun
Salak dalam dokumen Rencana Pengelolaannya menetapkan salah satu prioritasnya
untuk menjaga kelestarian sisa hutan alam yang ada.

Gambar 2.3. Macan Tutul hasil kamera trap (erwin) dan foto Surili (Bayu) dalam
kegiatan Tim Biodiversity CWMBC-ICWRMIP.

A.4. Nilai penting berdasarkan kajian penelitian lapangan yang menghasilkan


temuan baru atau pembaharuan data sebelumnya
Seringkali tujuan berdirinya suatu kawasan tidak secara tegas menyebutkan
spesies tertentu. Kalimat yang dicantumkan bersifat umum sebagai perlindungan
keanekaragaman hayati saja. Hal ini perlu difahami secara arif atas keterbatasan
kemampuan inventory, teknologi penyimpanan arsip dan akses terhadapnya di
masa lalu. Selain itu, juga didorong oleh prioritas save it dengan harapan generasi
berikutnya melanjutkan study it dan use it. Oleh karena itu tidak menutup
kemungkinan ditemukannya fitur konservasi baru pada kawasan yang telah berdiri
sejak lama. TN Lorentz yang ditunjuk tahun 1919 untuk bescherming van primitive
rassen ternyata memiliki keanekaragaman flora paling tinggi di Indonesia
berdasarkan riset yang dilakukan oleh Kartawinata dkk. Selain itu, Kartawinata
(2010) menyatakan bahwa hutan pamah (lowland forest) melingkupi kawasan yang
paling luas di Indonesia dan merupakan vegetasi yang paling kaya spesies

13
dibandingkan dengan tipe vegetasi lain di Indonesia. Pernyataan ini jelas
memberikan kesimpulan bahwa apabila dalam kawasan konservasi terdapat tipe
vegetasi lowland, maka lokasi itu memiliki nilai penting tinggi.

Gambar 2.4. Kekayaan spesies dalam satu hektare di berbagai hutan pada elevasi berbeda
di Indonesia. Ternyata hutan pamah di Kalimantan Timur adalah yangpaling
kaya spesies di Indonesia. (Kuswata Kartawinata, 2010).

Hasil kajian tim Biodiversity ICWRMIP berhasil menghimpun informasi


keberadaan spesies Katak Merah Katak merah (Leptophryne cruentata) di TN
Gunung Gede Pangrango dan CA Gunung Tilu. Spesies ini merupakan endemik
Indonesia dan terdaftar dalam redlist IUCN sebagai critically endangered. Maka
lokasi ditemukannya spesies tersebut dengan sendirinya menjadi habitat yang
memiliki nilai penting.
Redlist IUCN merupakan hasil dari riset mendalam yang dapat menjadi rujuan
untuk menentukan nilai penting suatu lokasi habitat. Macan Tutul, Owa Jawa, Surili,
Elang Jawa yang ditemukan di lokasi kegiatan ICWRMIP termasuk dalam redlist IUCN
dengan status endangered. Dengan sendirinya lokasi yang menjadi habitat satwa
tersebut memiliki nilai penting.

Berdasarkan uraian diatas maka kepekaan ekologi yang berkaitan dengan


penataan kawasan bermuara kepada dua aspek. Pertama, aspek perlindungan yang
berkaitan dengan hidrologi yang meliputi kelerengan, elevasi dan perimeter sungai
dan danau/sumber mata air. Kedua, aspek konservasi yang berkaitan dengan
biodiversity dan gejala alam (keindahan lanskap, fenomena geologi dll). Faktor nilai
penting lain yang perlu dipertimbangkan adalah ancaman fragmentasi. Aspek
konektifitas merupakan hal penting dalam menjamin keberlangsungan proses
ekologi. Dalam kajian ini, daerah-daerah yang merupakan koridor diberi nilai penting
tersendiri agar menjadi area yang harus dilindungi.

14
Gambar 2.5. (Atas) Koridor CA Gunung Tilu memiliki nilai penting untuk ditata sebagai blok
perlindungan. Koridor 1 memiliki kemudahan mengelola (baca: wewenang)
yang lebih baik karena disangga oleh hutan lindung, sementara batas luas
Koridor 2 langsung berhubungan dengan Tanah milik. Lebar koridor 2
berkisar 300-1400 meter menghubungkan ke CA Gunung Simpang. (Bawah)
Koridor CA/TWA Kamojang dan CA Papandayan yang terancam fragmentasi.

Box 2. Salah satu panduan menata blok ada dalam Penjelasan Pasal 18(3) PP 28 Tahun 2011
Tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam Dan Kawasan Pelestarian Alam:
“Kriteria penetapan zonasi dilakukan berdasarkan derajat tingkat kepekaan ekologis
(sensitivity of ecology), urutan spektrum sensitivitas ekologi dari yang paling peka sampai
yang tidak peka terhadap intervensi pemanfaatan, berturut-turut adalah zona: inti,
perlindungan, rimba, pemanfaatan, koleksi, dan lain-lain. Selain hal tersebut juga
mempertimbangkan faktor-faktor: keterwakilan (representation), keaslian (originality) atau
kealamian (naturalness), keunikan (uniqueness), kelangkaan (raritiness), laju kepunahan
(rate of exhaution), keutuhan satuan ekosistem (ecosystem integrity), keutuhan sumber
daya/kawasan (intacness), luasan kawasan (area/size), keindahan alam (natural beauty),
kenyamanan (amenity), kemudahan pencapaian (accessibility), nilai sejarah/ arkeologi/
keagamaan (historical/archeological/religeous value), dan ancaman manusia (threat of

15
human interference), sehingga memerlukan upaya perlindungan dan pelestarian secara
ketat atas populasi flora fauna serta habitat terpenting.”

Penjelasan ini secara positif mengakui bahwa pengelolaan kawasan adalah bersifat dinamis,
berurusan dengan keragaman teramat tinggi dan memberikan kesempatan terhadap
berbagai pengembangan metode[]

Berdasarkan pertimbangan diatas, nilai penting kawasan disusun sebagai berikut


(Tabel 3.3).

Tabel 3.3. Pertimbangan Nilai Penting


Nilai penting Keterangan
Tujuan/sejarah 1. Sebagai Hutan Lindung (Hidrologi)
pembentukan 2. Melindungi Macan tutul, Owa Jawa, Surili
kawasan 3. Melindungi Puspa, Jamuju, Pasang, Saninten, Kiputri, Anggrek-anggrekan
4. perlindungan lansekap untuk tujuan wisata
Kebijakan BBKSDA mendapat mandat spesies Surili, Owa Jawa dan Elang Jawa
Update 1. Merupakan habitat Katak merah (Leptophryne cruentata), merupakan spesies
endemic Indonesia, masuk dalam redlist IUCN sebagai critically endangered.
2. Panthera pardus melas merupakan keystones species (Gunawan et al.,2009)
Redlist IUCN 1. Macan Tutul (Panthera pardus melas): critically endangered
2. Owa Jawa (Hylobates moloch): Endangered
3. Surili (Presbytis comata:) Endangered
4. Elang Jawa (Nisaetus bartelsi): Endangered
5. Katak Merah (Leptophryne cruentata): critically endangered
Keterwakilan Perlindungan ekosistem hutan pegunungan Pulau Jawa
Posisi geografis Merupakan hulu DAS Citarum
Struktur lansekap Terdapat koridor yang terancam fragmentasi.

Melalui pendekatan GIS, setiap nilai penting sebagaimana tabel 3.3. diterjemahkan
secara spasial menghasilkan sejumlah peta kriteria. Peta-peta ini kemudian menjadi
bahan dalam membuat peta kepekaan ekologi sebagaimana tabel 2.4.

Tabel 2.4. Peta Kriteria Penyusun Peta Kepekaan Ekologi


No Peta Kriteria Keterangan
1 Peta Ketinggian > 2000 mdpl Kriteria Kawasan
2 Peta Kelerengan >40% Lindung
3 Peta sempadan sungai 50m-100m kiri kanan sungai
4 Peta Tutupan Hutan (perlindungan sisa hutan alam) Kriteria Kawasan
5 Peta habitat satwa penting (delineasi titik perjumpaan Konservasi
satwa dengan Minimum Convex Polygon)
6 Peta sebaran flora penting (Puspa, Jamuju, Pasang,
Saninten, Kiputri, Anggrek-anggrekan)
*peta ini tidak dibuat karena data dinilai belum
memadai namun kriteria ini tetap dicantumkan untuk
bahan acuan)

16
No Peta Kriteria Keterangan
7 Peta konektifitas. Delineasi pada batas area yang
merupakan koridor (terancam fragmentasi)

Peta kepekaan ekologi memberikan informasi seberapa banyak atribut nilai


penting ekologi dimiliki suatu lokasi dalam kawasan konservasi. Amat sulit untuk
menentukan bobot nilai penting antara satu variabel dengan variabel lain, terlebih
jika hasil survey belum mendapatkan atribut yang secara fisik terbukti benar-benar
peka ekologi atau bersifat keystone. Untuk menghindarkan asumsi berlebihan maka
setiap nilai penting diasumsikan setara. Metode penilaian menggunakan logika
boolean (0 dan 1) dan penghitungan dengan operator “OR”. Apabila suatu lokasi
mengandung salah satu kriteria maka lokasi tersebut dinilai sebagai sangat peka
ekologis. Namun demikian, diharapkan beberapa tahun ke depan hasil data survey
intensif dapat meningkatkan presisi sehingga memungkinkan digunakannya
pendekatan yang lebih kompleks. Data dan metode tersebut tentunya akan sangat
dibutuhkan pada saat evaluasi reguler kawasan beberapa tahun yang datang. Dalam
kajian ini, derajat kepekaan ekologi kawasan dibagi kedalam 2 kelas yakni ekologi
sangat peka dan ekologi peka dengan skor sebagai berikut.

Gambar 2.6. Konsep penghitungan tool pemetaan kepekaan ekologi yang


dikembangkan Sergeyeva (2004) dan nilai-nilai penting
pembentuk kepekaan ekologi kawasan konservasi.

17
Penentuan Nilai Penting Kawasan (NPK) menggunakan logika boolean 0 dan 1. penghitungan
derajat Kepekaan Ekologi (KE) menggunakan operator “OR”.
Apabila suatu lokasi mengandung salah satu atau kedua kriteria (Kriteria Lindung (KL) atau
Kriteria Konservasi (KK)) maka lokasi tersebut dinilai sebagai ekologi sangat peka. Jika suatu
lokasi tidak mengandung kedua kriteria maka dinilai sebagai ekologi peka.

IF ‘(polygon_KL) = 1’ OR ‘[polygon_KK] = 1’ THEN ‘Ekologi Sangat Peka’


IF ‘(polygon_KL) = 1’ OR ‘[polygon_KK] = 0’ THEN ‘Ekologi Sangat Peka’
IF ‘(polygon_KL) = 0’ OR ‘[polygon_KK] = 1’ THEN ‘Ekologi Sangat Peka’
IF ‘(polygon_KL) = 0’ OR ‘[polygon_KK] = 0’ THEN ‘Ekologi Peka’

Sebaran poligon kriteria lindung, gabungan dari Area jelajah satwa berdasarkan Minimum Convex
kelerengan >40%, ketinggian >2000mdpl dan 50 ki-ka Polygon titik perjumpaan satwa dengan buffer
sungai 100m.

18
Koridor yang dianggap bernilai penting untuk Tutupan vegetasi hutan sebagai perwakilan hutan
menjamin konektifitas. hujan tropis yang harus dijaga sebagaimana mandat
penunjukannya
Gambar 2.7. Contoh Peta Tematik CA Gunung Tilu yang Dihasilkan berdasarkan
Diagram Alir pada gambar 2.6.

B. Analisis Kesenjangan : Tutupan/Penggunaan Lahan dan Intervensi Pemanfaatan

Analisis Kesenjangan dalam penataan blok diartikan sebagai perbandingan


spasial antara kepekaan ekologi kawasan dengan Intervensi pemanfaatan. Melalui
analisis kesenjangan dapat diketahui struktur dan komposisinya. Struktur berkaitan
dengan jumlah jenis dan luasan blok serta intervensi pemanfaatan yang ada.
Komposisi berkaitan dengan distribusi spasialnya. Yang lebih penting, area mana
yang masih sesuai atau tidak sesuai dengan tujuan pengelolaan. Lokasi-lokasi mana
saja yang mengalami intervensi pemanfaatan sehingga perlu dilakukan filling the
gap. Dalam konteks penataan blok, “filling the gap” adalah menentukan jenis blok
pengelolaan yang sesuai dengan urutan spektrum kepekaan ekologi dari yang paling
peka sampai yang tidak peka terhadap intervensi pemanfaatan.

Apabila dalam kepekaan ekologi terdapat isu nilai penting, maka dalam analisis
kesenjangan terdapat isu intervensi pemanfaatan. Tidak dapat dihindari
penggunaan teknologi penginderaan jauh untuk mengidentifikasi tutupan lahan
sebagai informasi awal sebelum melakukan groundcheck dan mendapatkan
informasi seutuh mungkin tentang penggunaan lahan. Hal yang paling sulit adalah
menentukan susunan kelas penggunaan lahan yang tepat untuk tujuan penataan
blok. Rujukan yang cukup mendekati kebutuhan ini dapat dilihat pada Standar
Nasional Indonesia Nomor SNI 19-6728.3-2002 tentang Penyusunan neraca sumber
daya Bagian 3: Sumber daya lahan spasial menyusun kelas penggunaan lahan ke
dalam 3 kriteria yakni: 1) jenis penggunaan, 2) Status penguasaan yang mengacu

19
kepada UU Pokok Agraria No.5 Tahun 1960, dan 3) Pola ruang mengacu kepada
Kepres No. 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung.

Tabel 2.5. Kriteria dan Kelas Penggunaan Lahan Berdasarkan SNI 19-6728.3-2002
tentang Penyusunan neraca sumber daya Bagian 3: Sumber daya lahan
spasial
Klasifikasi penggunaan Klasifikasi kawasan lindung
Klasifikasi status penguasaan lahan
lahan dan budidaya
1. Pemukiman 1) Tanah Negara (TN) : tanah negara 1) kawasan lindung : kawasan
2. Sawah bebas yang statusnya masih yang berfungsi lindung,
3. Pertanian Lahan dikuasai negara, 2) kawasan budidaya :
Kering 2) Tanah Negara dibebani Hak (TAH) : kawasan diluar kawasan
4. Kebun Tanah yang sudah dibebani hak lindung yang bisa
5. Perkebunan seperti Hak Milik, Hak Adat, Hak dibudidayakan
6. Pertambangan Guna Usaha (HGU), Hak Guna
7. Industri dan Bangunan (HGB), Hak Pakai, Hak Acuan: Kepres No. 32 Tahun
Pariwisata Pengelolaan. Hak Milik merupakan 1990 tentang Pengelolaan
8. Perhubungan tanah milik yang telah bersertipikat. Kawasan Lindung
9. Lahan Berhutan Hak Adat/Ulayat belum
10. Lahan Terbuka bersertipikat.
11. Padang
12. Perairan darat Acuan :UU No.5 Tahun 1960 tentang
13. Lain-lain Peraturan dasar pokok-pokok agraria
(Lembaran Negara RI No.104
Tahun1960).

Meskipun tidak secara khusus menjawab kebutuhan penyusunan kelas


penggunaan lahan, namun standar SNI diatas dapat diacu sebagai langkah awal
menyiapkan data untuk keperluan analisis kesenjangan. Jansen dan Gregorio (2002)
mengajukan pendekatan fungsi dan aktifitas sebagai cara mendeskripsikan
penutupan dan penggunaan lahan. Pendekatan fungsi menggambarkan penggunaan
lahan dalam konteks ekonomi yang menjawab tujuan atau untuk apa tanah
digunakan. Pendekatan ini biasanya digunakan untuk deskripsi sektoral penggunaan
lahan (misalnya pertanian, kehutanan, perikanan dan lain-lain).
Suatu jenis penggunaan lahan dapat digabung karena melayani tujuan yang
sama. Sebagai contoh, jenis penggunaan lahan "pertanian" dapat terdiri dari sawah,
tambak dan peternakan. Pendekatan aktifitas menjelaskan apa yang secara aktual
dan fisikal suatu lahan digunakan. Kegiatan ini didefinisikan sebagai "kombinasi dari
tindakan yang menghasilkan jenis produk tertentu" (United Nation, 1989 dalam
Jansen dan Gregorio, 2002). Pendekatan aktifitas mengacu pada suatu proses.
Beberapa jenis penggunaan lahan digabungkan dalam satu kelas karena ditujukan
untuk aktifitas tunggal. Sebagai contoh, komplek perumahan karyawan perkebunan
teh, jalan dan lahan terbangun lainnya serta lahan perkebunannya itu sendiri di
enclave perkebunan teh Cakra di CA Gunung Tilu dapat digabung sebagai kelas
”pertanian /industri” karena secara keseluruhan perkebunan teh tersebut adalah
pertanian komoditas berorientasi pasar murni yang dikelola suatu perusahaan
besar/lembaga berbadan hukum. Contoh lain terdapat di Kamojang pada area yang
digunakan oleh perusahaan Pertamina Geothermal Energy (PGE). Istilah Kelas

20
”pertanian/industri” terpaksa dibuat sebagai pembeda dengan kelas ”pertanian”
untuk tipe penggunaan lahan yang bersifat subsisten atau dikerjakan secara
perorangan. Mungkin terjadi perdebatan untuk menentukan kelas penggunaan
lahan pertanian sayur yang umumnya padat modal dan murni berorientasi pasar.
Namun demikian perdebatan yang lebih penting adalah menyusun kriteria apa saja
yang tepat untuk masing-masing blok penataan berdasarkan fakta eksisting dan
bersifat lokal spesifik. Dan ini berada pada tahapan berikutnya.
Berdasarkan uraian diatas dan berangkat dari kata kunci “intervensi
pemanfaatan”, disajikan kelas penggunaan lahan yang disusun untuk keperluan
penataan blok. Sebagai batasan, obyek-obyek yang tergambar adalah obyek yang
dapat teridentifikasi melalui interpretasi citra.

Tabel 2.6. Kelas Utama Intervensi Pemanfaatan


kelas Tutupan/Penggunaan Keterangan
Kategori
Lahan
Intervensi 1. Pertanian (ladang, kebun,
Pemanfaatan sawah)
2. Jalan
3. Lahan terbangun
(permukiman/fasos/fasum)
4. Pertanian/Industri
5. Fasilitas Wisata
6. Lahan terbangun untuk
fasilitas strategis
Bukan intervensi 1. Hutan Semak belukar atau area terbuka dapat berasal
Pemanfaatan 2. Semak belukar dari bekas pemanfaatan (gangguan) namun telah
3. Area terbuka ditinggalkan (bukan karena masa bera). Atas dasar
4. Tubuh air itu, tutupan semak belukar atau area terbuka
dimasukkan dalam kelas bukan pemanfaaatan
5. Lokasi
yang idealnya dikembalikan kepada fungsinya
6. restorasi/Rehabilitasi sebagai blok perlindungan misalnya dengan cara
rehabilitasi/restorasi

Berdasarkan perbandingan spasial antara kepekaan ekologi dengan intervensi pemanfaatan


maka rona kawasan dapat dikelompokkan dalam 4 tipologi sebagai berikut:

2.7. Tipologi Kawasan Berdasarkan Analisis Kesenjangan

Terganggu (G) Tidak terganggu (TG)

Ekologi peka Ekologi Peka-Terganggu Ekologi Peka- TidakTerganggu


(EP) (EP-G) (EP-TG)
Ekologi tidak Ekologi tidak peka-terganggu Ekologi Tidak Peka-Tidak Terganggu
peka (ETP) (EP-TG) (ETP-TG)

C. Penataan Blok Pengelolaan


Penentuan blok pengelolaan merupakan keputusan manajemen yang
pertimbangannya tidak hanya didasarkan pada analisis kuantitatif saja, namun juga

21
melibatkan faktor intuitif dan pertimbangan situasional. Tidak semua variabel dapat
dicover oleh metodologi karena alasan-alasan tertentu. Oleh karena itu peran panel
ahli atau expert judgement diperlukan. Secara formal, Seksi Perencanaan,
Perlindungan dan Perpetaan (Seksi P3) di UPT sangat memegang peranan
mengkoordinasikan.
Penggunaan metodologi lebih berperan pada penyediaan peta kepekaan
ekologi dan peta analisis kesenjangan ruang bagi panel ahli (dikoordinasikan oleh
Seksi P3) untuk mendiskusikan alokasi ruang dan dan memutuskan penataan blok.

Gambar 2.8. Kepekaan Ekologi, Intervensi Pemanfaatan dan Analisis Kesenjangan


Dalam Penentuan Blok Pengelolaan Indikatif Kawasan Konservasi.

22
III. Hasil dan Pembahasan

3.1. Peta Kepekaan Ekologi


Sebagaimana diuraikan pada bab II sebelumnya, Peta Kepekaan Ekologi
merupakan gabungan dari Peta Kriteria Kawasan Lindung dan Kriteria Kawasan
Konservasi. Peta kriteria kawasan lindung mengandung unsur penting elevasi, slope
dan sempadan sungai/danau. Peta kriteria kawasan konservasi mengandung nilai
penting habitat sebaran satwa, tutupan hutan dan koridor/konektifitas. Suatu lokasi
dinilai bernilai ekologi sangat peka jika mengandung salah satu untuk dari kriteria
tersebut. Berikut disajikan gambar kriteria lindung, kriteria konservasi dan kepekaan
ekologi masing-masing kawasan CA Gunung Tilu, CA/TWA Kamojang dan TN Gunung
Gede Pangrango (Peta kawasan ada dalam lampiran). Sebagai catatan, perhitungan
luasan didasarkan pada luas dijital GIS bukan menurut luas sebagaimana tercantum
dalam SK Penunjukan.

A. CA GUNUNG TILU

Sebagaimana Gambar 3.1. dan Gambar 3.2., Kawasan CA Gunung Tilu mengandung
Kriteria kawasan lindung seluas 5.383,56 ha (72%) dan mengandung kriteria
kawasan konservasi seluas 7.144,30 ha (95,53%). Hasil penggabungannya
menghasilkan gambaran luas kepekaan ekologi kawasan dengan rincian:

Luas (Ha) %
Peka 146.27 1.96
Sangat Peka 7.332,59 98.04
Jumlah 7.478,86 100

Gambar 3.1. Peta Kriteria kawasan Lindung (kiri) dan Kriteria Kawasan Konservasi
(kanan) CA Gunung Tilu

23
Gambar 3.2. Peta Kepekaan Ekologi CA Gunung Tilu

A.2. CA/TWA KAWAH KAMOJANG

Sebagaimana Gambar 3.3. dan Gambar 3.4., Kawasan CA/TWA Kawah Kamojang
mengandung Kriteria kawasan lindung seluas 5.482,90ha (63,49 %) dan
mengandung kriteria kawasan konservasi seluas 6.250,81 ha (72,38%). Hasil
penggabungannya menghasilkan gambaran luas kepekaan ekologi kawasan dengan
rincian:

Luas (Ha) %
Peka 936.79 10.85
Sangat Peka 7,699.49 89.15
Jumlah 8,636.29 100

24
Gambar 3.3. Peta Kriteria kawasan Lindung (atas) dan Kriteria Kawasan Konservasi
(bawah) CA/TWA Kawah Kamojang

25
Gambar 3.4. Peta Kepekaan Ekologi CA/TWA Kawah Kamojang
TN GUNUNG GEDE PANGRANGO

Kawasan TN Gunung Gede Pangrango mengandung Kriteria kawasan lindung seluas


13.828,57 ha (56,7 %) dan mengandung kriteria kawasan konservasi seluas 19.510
ha (80 %). Hasil penggabungannya menghasilkan gambaran luas kepekaan ekologi
kawasan dengan rincian:

Luas (Ha) %
Peka 2.075,77 85,1
Sangat Peka 22.311,59 91,49
Jumlah 24.387,36 100

Gambar 3.5. Peta Kriteria kawasan Lindung (kiri) dan Kriteria Kawasan Konservasi
(kanan) TN Gunung Gede Pangrango

26
Gambar 3.6. Peta Kepekaan Ekologi TN Gunung Gede Pangrango

27
3.2. Peta Analisis Kesenjangan

Selanjutnya Berdasarkan analisis tumpang susun antara Peta Kepekaan Ekologi


dengan Peta Penutupan/Penggunaan Lahan, diperoleh peta analisis kesenjangan
pada masing-masing kawasan sebagai mana gambar 3.7, 3.8 dan 3.9.

TIPOLOGI Luas (ha) %


Ekologi Peka - Terganggu 146.27 1,96
Ekologi Peka - Tidak Terganggu - -
Ekologi Sangat Peka - Terganggu 237,40 3,17
Ekologi Sangat Peka - Tidak Terganggu 7.095,19 94,87
Jumlah 7.478,86 100

Gambar 3.7. Peta Analisis Kesenjangan CA Gunung Tilu

28
TIPOLOGI Luas (ha) %
Ekologi Peka - Terganggu 2.069,91 8,49
Ekologi Peka - Tidak Terganggu 5,87 0,02
Ekologi Sangat Peka - Terganggu 3.519,62 14,43
Ekologi Sangat Peka - Tidak Terganggu 18.791,99 77,06
Grand Total 24.387,39 100

Gambar 3.8. Peta Analisis Kesenjangan TN Gunung Gede Pangrango

29
TIPOLOGI Luas (ha) %
Ekologi Peka - Terganggu 433,04 5,01
Ekologi Peka - Tidak Terganggu 503,76 5,83
Ekologi Sangat Peka - Terganggu 795,38 9,21
Ekologi Sangat Peka - Tidak Terganggu 6.904,11 79,94
Grand Total 8.636,29 100

Gambar 3.9. Peta Analisis Kesenjangan CA/TWA Kawah Kamojang

3.3. Peta Indikatif Penataan Blok


Berdasarkan perbandingan spasial antara peta kepekaan ekologi dan peta
intervensi pemanfaatan (land use/land cover), dihasilkan peta analisis kesenjangan
yang berisi 4 tipologi yang digunakan sebagai arahan indikatif penataan blok
pengelolaan. Sebagaimana diagram alir pada Gambar 2.7, berikut disajikan kembali
potongan diagram alir untuk menjelaskan konsep menyusun indikatif blok
pengelolaan (gambar 3.10).

30
Gambar 3.10. Alur Penentuan Blok Pengelolaan Indikatif
Berdasarkan alur diatas, berikut disajikan gambaran indikatif blok pengelolaan pada
Gambar 3.11 dan 3.12. Khusus TN Gunung Gede Pangrango tidak dibuat karena
telah memiliki penataan zonasi dan secara aturan telah memiliki pedomannya
tersendiri (P.56/Menhut-II/2009).

Gambar 3.11. Indikati blok Perlindungan 7.095 ha (95%) dan blok lainnya 384 ha
(5%) CA Gunung Tilu

31
Gambar 3.12. Indikatif Blok Perlindungan 7.408 ha (86%) dan Blok lainnya 1.228 ha
(14%) di CA/TWA Kawah Kamojang

3.4. Pembahasan

Dari hasil pengolahan data didapatkan kesimpulan bahwa hampir seluruh


lokasi CA Gunung Tilu dan CA/TWA Kawah Kamojang merupakan blok perlindungan.
Kondisi tutupan hutan yang relatif masih utuh dan bervegetasi harus dilindungi
sebagaimana mandat pendiriannya.

Distribusi Indikatif Blok Pengelolaan


Indikatif Blok Perlindungan Blok lainnya

CA Gunung Tilu 7.095 ha (95%) 384 ha (5%)

CA/TWA Kawah Kamojang 7.408 ha (86%) 1.228 ha (14%)

Konsep blok perlindungan dalam dokumen ini adalah: (1)Seluruh kawasan


yang masih utuh dan tidak terganggu harus dipertahankan dan dijadikan Blok
Perlindungan (2) lokasi yang mengalami intervensi pemanfaatan dan memiliki
kepekaan ekologi tinggi harus dikembalikan fungsinya sehingga perlu dijadikan blok
perlindungan.

Istilah ”Terganggu” untuk intervensi pemanfaatan mungkin tidak tepat benar


dan lebih mewakili pandangan dari aspek ekologi. Perlu dicarikan dan disepakati
istilah lain yang lebih dapat diterima terutama pada tahap sosialisasi kepada
parapihak.

Terdapat kelas tutupan lahan yang tidak sepenuhnya dapat disebut sebagai
intervensi pemanfaatan karena terdapat unsur fenomena alam, misalnya yakni
lahan terbuka atau semak belukar yang telah lama ditinggalkan (bukan masa bera).
Jenis kelas tutupan ini perlu dibuatkan kategori land use-nya karena penting untuk
mengarahkan jenis penentuan bloknya.

32
IV. Pembelajaran dan Rekomendasi

4.1. Pembelajaran

Beberapa pembelajaran yang diambil dalam proses ini adalah sebagai berikut:
1. Penataan blok pengelolaan tidak dapat sepenuhnya menggunakan pendekatan
analisis spasial kuantitatif, namun penggunaannya dapat membantu
menyiapkan informasi yang sistematik dan terunut, yang akan menjadi bahan
masukan bagi unsur manajemen dalam menentukan penataan blok.
2. Adanya fakta-fakta lapangan yang tidak bisa diidentifikasi oleh citra satelit.
Jawaban untuk ini adalah mengimbangi dengan groundcheck yang memadai.
Namun ada hal yang paling substantif yakni kompleksitas dalam konsep
landuse. Bagaimana menyusun kelas penggunaan lahan untuk fakta-fakta
penggunaan kawasan untuk tujuan non konservasi seperti instalasi militer,
tempat latihan tempur, jalur pipa mikrohidro, atau batas yang disebut gejala
alam lansekap wisata. Tanpa klasifikasi landuse maka penggunaan metodologi
tidak akan banyak membantu dan penentuan blok akan cenderung didominasi
intuisi, subyektif dan tidak ada rekam jejak yang bisa dirunut.

4.2. Rekomendasi

Beberapa rekomendasi yang perlu diangkat adalah sebagai berikut:


1. Penataan blok KSA/KPA non TN tidak seleluasa penataan zonasi taman
nasional. Hanya tersedia 3 alternatif yakni blok perlindungan, blok
pemanfaatan dan blok lainnya, yang ketiganya belum tersedia pedomannya.
Perlu inisiatif bersama dari pengelola tapak dan program ICWRMIP untuk
mendorong Pusat agar segera mengesahkan peraturan Menteri dan
turunannya (juklak/juknis/edaran yang dikeluarkan Direktur Jenderal) terkait
pedoman penataan blok di KSA/KPA non TN.
2. Penyusunan draft penataan blok dalam project ini masih memerlukan
penyempurnaan terutama dalam menghimpun praktek-praktek penggunaan
dan pemanfaatan kawasan. Diperlukan dukungan fasilitasi dalam kegiatan
groundcheck dan FGD untuk menyusun metode yang disepakati bersama.

33
BAGIAN II MODUL

34
Analisis Spasial Untuk Mendukung
Penataan Blok Pengelolaan
Kawasan Konservasi Non Taman Nasional
(Modul Sistem Informasi Geografi)

Nurman Hakim, Risa Desiana Syarif, Rudi Rachmat Fadillah

Bandung, Desember 2014

CWMBC-ICWRMIP merupakan bagian dari proyek yang lebih luas


dan dalam lingkup pengelolaan DAS Citarum yang terpadu yaitu
Integrated Citarum Water Resource Management Investment
Program (ICWMRIP). Dengan dukungan dana hibah (Grant) dari
Global Environment Facility (GEF) yang dikelola oleh Asian
Decvelopment Bank (ADB) kepada pemerintah Indonesia cq.
Kementerian
Kehutanan, Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan
Konservasi Alam Direktorat Kawasan Konservasi dan Bina

Alamat: Jl. Sanggar Kencana XXIII, No. 19, Perum Sanggar Hurip
Bandung
Telp./Fax. 022-7317232
Email: management@cwmbc.org
http//:www.cwmbc.org

35
| 36
| 37
DAFTAR MODUL

1. MEMBUAT DATA DEM ............................................................................. 3


2. MEMBUAT KELAS KETINGGIAN ............................................................... 7
3. MEMBUAT KELAS KELERENGAN .............................................................. 12
4. MEMBUAT BUFFER .................................................................................. 15
5. MEMBUAT PETA AREA JELAJAH SATWA................................................... 16
6. MEMBUAT PETA DAERAH TANGKAPAN AIR............................................. 17
7. MEMBUAT DATA KOMPOSIT CITRA.......................................................... 19
8. PENAFSIRAN CITRA TUTUPAN LAHAN (UNSUPERVISED CLASSIFICATION) 22
9. BEKERJA DENGAN TABEL.......................................................................... 26
10. PETA KEPEKAAN EKOLOGI ....................................................................... 29
11. PETA INTERVENSI PEMANFAATAN ........................................................... 35
12. PETA ANALISIS KESENJANGAN RUANG.................................................... 37
13. PETA INDIKATIF PENATAAN BLOK ............................................................ 39

| 38
Modul 1. MEMBUAT DATA DEM

DEM (Digital Elevation Model) adalah data raster yang masing-masing selnya
memiliki nilai ketinggian. Gambar (a) adalah data raster yang masing-masing selnya
memiliki ketinggian yang ditampilkan secara 3-d seperti dalam gambar (b). Misalnya
pada gambar (b) kita tarik garis untuk mengidentifikasi sebuah “mangkok” yang
berfungsi sebagai penampung air permukaan. Data DEM menolong kita
mendapatkan sebuah peta DAS.

Gambar 1.1. Digital Elevation Model.

Selain itu, data DEM juga membuat kita memungkinkan menampilkan peta CA
Gunung Tilu dalam tampilan menarik seperti gambar 2. Data DEM membantu
menentukan jalur terlandai, analisis hidrologi/geomorfologi, cut & fill, jalur terbang
dan lain-lain, tergantung imajinasi. Apa yang akan anda lakukan dengan data X,Y,Z?

Gambar 1.2. Tampilan 3D CA Gunung Tilu.

| 39
Cara 1. TopotoRaster
Data DEM dapat diperoleh dengan mendownload data SRTM resolusi 90m (Shuttle
Radar Topography Mission). Atau membuatnya dari data kontur. Modul ini
menjelaskan langkah pembuatan DEM dari data kontur RBI skala 1:2500 (Gambar 3).

Gambar 1.3. Langkah Pembuatan DEM dari data kontur.

1. Buka file kontur CA Gunung Tilu (disini bernama cagt_kontur.shp)


2. Buka tool TopotoRaster.
3. Seret layer cagt_kontur ke kotak input. Beri nama.
4. Output ukuran sel disini diisi dengan 30 meter (Dalam penataan blok CAGT
menggunakan citra Landsat 8 yang memiliki resolusi 30x30 m. Agar setara,
output cellsize DEM diisi dengan angka 30).
5. Tekan OK. Tunggu proses selesai.

| 40
Cara 2. Create TIN dan TinToRaster
Cara lain dengan membuat TIN (Triangle Irregulate Network) kemudian
mengkonversinya menjadi raster. TIN sendiri adalah DEM dalam format vektor.
Gunakan tool Create/modify TIN pada menu bar 3D analyst.

Gambar 1.4. Membuat TIN

| 41
Gambar 1.5. Mengkonversi TIN menjadi DEM Raster

Catatan: Jika proses ini gagal, mungkin karena komputer tidak mampu mengeksekusi beban
kerja akibat resolusi yang digunakan terlalu tinggi (cellsize terlalu kecil).

Sekarang Anda telah memiliki data DEM yang akan digunakan untuk membuat peta
zona ekosistem hutan dan peta kawasan lindung. Mari kita lanjut ke tahap
berikutnya.

| 42
Modul 2. MEMBUAT KELAS KETINGGIAN
(Peta Zona Ekosistem dan Peta Kawasan Lindung Kriteria Ketinggian)

Peta kelas ketinggian akan kita sandarkan pada dua konsep sekaligus output.
Pertama, zona ekosistem hutan menurut ketinggian di atas permukaan laut menurut
Van Steenis. Kedua, Kriteria kawasan dinyatakan sebagai daerah perlindungan apabila
diatas 2000 mdpl (lihat Kepres 32/1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung).

Parameter yang akan digunakan untuk zona ekosistem hutan adalah:


1. Zona lowland : 0 – 1000 mdpl (zona Collin 500-1000 mdpl)
2. Zona Sub Montana : 1000 – 1500 mdpl
3. Zona Montana : 1500 – 2400 mdpl
4. Zona Sub Alpin : > 2400 mdpl

Parameter yang akan digunakan untuk kriteria kawasan lindung adalah:


1. Non Lindung : 0 – 2000 mdpl
2. Kawasan Lindung : > 2000 mdpl

Tool yang digunakan adalah Reclassify

Mari kita mulai:


1. Panggil kembali file DEM CA Gunung Tilu. Di modul ini nama filenya
cagt_dem.img
2. Pada Menu Bar 3D Analyst, klik tool Reclassify...untuk memanggil jendela
Reclassify. Pilih file cagt_dem.img sebagai input raster.
3. Ketikkan parameter nilai kelas ketinggian.
4. Tentukan nama file, lokasi folder tempat menyimpan file dan tipe
rasterfilenya. Pilihan apapun tidak masalah. Tergantung kebiasaan atau
kebutuhan.
5. Klik OK dan tunggu prosesnya.

Ulangi prosedur ini dengan paramater 0 – 2000 mdpl dan > 2000 mdpl untuk
membuat Peta Kawasan Lindung menurut kriteria ketinggian.

| 43
Langkah 1. Mengklasifikasi Ketinggian

Gambar 2.1. Membuat Peta Zona Ekosistem Berdasarkan Ketinggian.

| 44
Langkah 2. Menambahkan atribut

Gambar 2.2. Mengedit Tabel

1. Klik Kanan layer  open attribute table untuk memunculkan jendela tabel
layer tersebut.
2. Klik Option di kanan bawah Jendela Tabel.
3. Klik Add Field untuk memunculkan jendela menambahkan field (kolom) baru.
4. Beri nama fieldnya. Disini diberi nama “kelerengan”
5. Type data field dipilih Text. Panjang karakter maksimal dibiarkan sesuai
defaultnya (50 karakter). Tekan OK maka muncul field baru dengan nama
keterangan yang masih kosong.
6. Klik editor  Start Editing agar layer/tabel dapat diedit.
7. Mulailah mengetikkan keterangan sesuai kelasnya seperti terlihat dalam
gambar 2.7. Apabila sudah selesai, klik Save edits... dan Klik Stop Editing.

Langkah 3. Mengkonversi Raster ke Vektor


Terakhir, karena kita akan bekerja berbasis file vektor, maka kedua file raster hasil
prosedur diatas kita konversi menjadi file vektor (shapefiles). Langkahnya
sebagaimana gambar 2.8.

| 45
Gambar 2.3. Konversi Format Raster ke Vektor

Ulangi prosedur seperti gambar 2.1. untuk membuat Peta Kawasan Lindung
berdasarkan ketinggian (> 2000 mdpl). Paramater yang digunakan seperti gambar 7
berikut:

Gambar 2.4. Parameter reclassify untuk kriteria kawasan lindung menurut elevasi

| 46
Gambar 2.5. Hasil Prosedur Pembuatan Kelas Ketinggian (zona ekosistem dan
kawasan lindung)

Ditahap ini anda telah memiiki 2 shapefiles peta zona ekosistem dan peta kawasan
lindung (kriteria ketinggian > 2000 mdpl).

| 47
Modul 3. MEMBUAT KELAS KELERENGAN
(Peta Kawasan Lindung Kriteria Kelerengan > 40%)

Konsep kelerengan didasarkan pada Perpres 32 Tahun 1990 tentang


Pengelolaan Kawasan Lindung yang menyatakan suatu daerah merupakan kawasan
Lindung apabila kelerengannya diatas 40%. Peta kelerengan diekstraksi dari DEM
seperti halnya peta kelas ketinggian. Tool yang digunakan adalah Slope kemudian
Reclassify.

Langkah 1. Slope
Pastikan outputnya adalah “Persen Kelerengan” bukan derajat kelerengan (lihat
langkah 5 dalam gambar 3.1). Tetapkan cellsize yang diinginkan (langkah 6). Disini
diisi 30 m agar sama dengan penggunaan citra Landsat 8 yang berresolusi 30 m.
Tentukan nama dan lokasi penyimpanan output. Disini output file dipilih tipe file
Erdas imagine (*.img).

Gambar 3.1. Tahap Membuat Peta Kelerengan

| 48
Langkah 2. Reclassify
Seperti modul sebelumnya pada gambar 2.1., lakukan klasifikasi kelerengan dengan
parameter dua saja: (1) kurang dari 40% (2) Lebih dari 40%.

Gambar 3.2. Tahap Membuat Reklasifikasi kawasan Lindung dan Non Lindung

| 49
Langkah 3. Memberi atribut
Hingga langkah 2, anda telah selesai. Namun sebagai persiapan untuk analisis
selanjutnya, buatlah field baru dengan nama “Kelerengan”.

Gambar 3.3. Peta Kelas Kelerengan. Warna merah menunjukkan kawasan lindung
menurut kriteria lereng > 40%.

Langkah 4. Mengkonversi Raster ke Vektor


Terakhir, karena kita akan bekerja berbasis file vektor, maka file Kelas Kelerengan
yang baru saja dihasilkan dikonversi menjadi file vektor (shapefiles).

Gambar 3.4. Konversi Raster ke Vektor Peta Kelerengan

| 50
Modul 4. MEMBUAT BUFFER
(Peta Kawasan Lindung Kriteria Sempadan Sumber Air)

Menurut Kepres 32 Tahun 1990 Tentang Kriteria Kawasan Lindung, Yang disebut
Sempadan meliputi :
1. Sempadan Sungai (100 m kiri kanan sungai besar, 50 meter kiri kanan anak sungai
yang berada di luar pemukiman.
2. Kawasan Sekitar Danau/Waduk (radius 100 meter)
3. Kawasan Sekitar Mata Air (radius 200 meter)
4. Sempadan Pantai (100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat)

Dalam Modul ini akan dibuat peta sempadan sungai CA Gunung Tilu dengan lebar 50
kiri kanan sungai. Langkah pembuatannya sebagaimana gambar 4.1.

Gambar 4.1. langkah membuat buffer.

| 51
Modul 5. MEMBUAT PETA AREA JELAJAH SATWA

Peta area jelajah satwa dapat diindentifikasi secara indikatif berdasarkan data titik
perjumpaan satwa (data tipe point). Titik terluar dari tiap point dihubungkan
membentuk garis dengan sudut berbentuk Konveks (sudut > 180 0). Tehnik ini
merupakan metode poligon yang disebut Minimum Konveks Polygon (MCP). Tool
MCP yang digunakan dalam modul ini dikembangkan Hawthorne Beyer yang diunduh
dari http://www.spatialecology.com. Adapun langkahnya disajikan dalam gambar 5.1.

Gambar 5.1. Peta Area Jelajah Satwa menggunakan Minimum Convex Polygon
Modul 6. MEMBUAT PETA DAERAH TANGKAPAN AIR

| 52
Tujuan utama dari peta DTA adalah mendukung penyediaan peta untuk perencanaan
survey mata air. Peta DTA dapat dibuat secara manual dengan mengoverlaykan peta
sungai dan kontur kemudian mendelineasi daerah yang menjadi ”wadah” tampungan
air. Konsepnya adalah mendelineasi titik-titik cekungan sebagai boundary daerah
tangkapan air dan menandai titik terendah sebagai titik curah (pour point). Secara
digital peta DTA dibuat berdasarkan ekstraksi DEM dan tool flow direction dan tool
basin yang berada dalam toolbox Hydrology (Spatial Analyst tool).

Gambar 6.1. Langkah membuat peta Daerah Tangkapan Air (DTA)

| 53
Gambar 6.2. Peta vektor DTA CA Gunung Tilu yang telah diklip

| 54
Modul 7. MEMBUAT DATA KOMPOSIT CITRA

Diasumsikan anda telah mendownload citra satelit landsat path 122 row 65 yang
mengcover sebagian kawasan konservasi di wilayah Balai Besar KSDA Jawa Barat
dari :
1. http://earthexplorer.usgs.gov/
2. http://glovis.usgs.gov/
3. ftp://ftp.glcf.umd.edu/glcf/Landsat/WRS2/p121/r065/
4. ftp://ftp.glcf.umd.edu/glcf/Landsat/WRS2/p122/r065/

Untuk kebutuhan analisis visual yang menampilkan tutupan lahan (vegetasi), anda
memerlukan data komposit yang merupakan gabungan dari band 4-3-2 dan 6-5-3
(untuk Landsat 8) atau band 3-2-1 dan 5-4-3 (untuk landsat 7). Banyak cara untuk
membuat citra composite (aplikasi Erdas menggunakan istilah layer stack). Salah satu
cara disajikan dalam gambar 7.1. dan 7.2.

Langkah 1: Membuat Data Komposit Band

Gambar 7.1. Membuat Data Komposit Band Landsat 8 di ArcGIS.

Langkah 2: Mengatur Visualisasi Komposisi Band

| 55
Gambar 7.2. Mengatur Kombinasi Band untuk berbagai tujuan. Untuk mempelajari
berbagai kombinasi band bisa diakses di http://blogs.esri.com/esri/
arcgis/2013/ 07/24/band-combinations-for-landsat-8/

| 56
Langkah 3: Memotong Citra dengan Extract by mask
Kita akan memotong citra sesuai batas CA Gunung Tilu. Aturlah komposisi Band 653
atau 543.

Gambar 7.3. Proses memotong citra oleh batas kawasan

| 57
Modul 8. PENAFSIRAN CITRA TUTUPAN LAHAN (UNSUPERVISED CLASSIFICATION)

Penafsiran citra adalah langkah awal dalam mengidentifikasi tutupan/penggunaan


lahan. Salah satu tehniknya adalah klasifikasi tidak terbimbing (unsupervised
classification). Sederhananya, komputer akan menghitung jumlah piksel menurut
kelompok warna yang kita tafsirkan sebagai sebuah jenis tutupan lahan. ArcGIS
menyediakan tool ISOCluster dan Maximum Likelihood Classification. Kita akan
mencoba cara ini.
Ada 3 langkah:
1. Amati citra, ada berapa kelas tutupan lahan yang mungkin ada dengan
memperhatikan warna-warnanya. Buat catatan nama kelas dan kodenya.
Misal: (1) Hutan (2) Perkebunan (3) Sawah/Ladang (4) Lahan terbuka (5) Area
terbangun (6) Tubuh air (7) awan.
2. Buat File signature. Tool yang digunakan adalah ISOcluster. Hasil pengamatan
disimpulkan ada 7 kelas warna yang ditafsirkan sebagai kelas tutupan.
Masukkan angka 7 sebagai parameternya. Mesin komputer akan
mengelompokkan citra kedalam 7 cluster warna. Output tahapan ini adalah
file berextensi *.GSG.
3. Mengklasifikasikan kelas tutupan. Tool yang digunakan adalah Maximum
Likelihood Classification (MLC). Masukkan file *.gsg sebagai input
signaturenya. Mesin akan meng-generate hasilnya.
4. Rapikan hasilnya dengan berbagai tehnik editing poligon (clip, merge, cut,
reshape, delete, eliminate dll).

Berikut adalah langkah-langkahnya.


Langkah 1: Amati citra, Buat catatan nama kelas dan kodenya.

Gambar 8.1. Perhatikan warna-warna gambar citra ini. Ada berapa warna yang
merupakan jenis tutupan lahan. Misalnya 7 kelas.

| 58
Langkah 2: Membuat file signature (*.gsg) dengan Tool ISOcluster

Gambar 8.2. Langkah pembuatan file signature penanda warna/kelas tutupan

Langkah 3: Klasifikasi Tutupan Lahan dengan Maximum Likelihood Classification

Gambar 8.3. Langkah Klasifikasi tutupan lahan berdasarkan file signature

| 59
Gambar 8.4. Peta Tutupan Lahan yang dihasilkan dalam tehnik MLC. Dapat
disimpulkan bahwa tehnik ini cukup membantu mengidentifikasi kelas
hutan dan non hutan.

MENGHITUNG LUAS TUTUPAN: PERIKSA CELLSIZE

Citra satelit yang digunakan adalah landsat 8 yang memiliki resolusi 30 meter. Pada
layer file hasil klasifikasi tutupan lahan, klik kanan Properties dan sorot pada Tab
Source. Periksa cellsize-nya. Pada gambar 8.5 tampak bahwa ukuran piksel adalah 30
meter. Maka luas setiap piksel adalah 30 m x 30 m = 900 m2.

Gambar 8.5. Propertis untuk melihat ukuran piksel

 Bukalah tabel cagt_mlc (Klik kanan pada layer open atribute table).
Tambahkan field baru dengan nama “luas_ha” dan tipe data double.
 Kemudian klik kanan pada field “luas_ha” yang baru dibuat itu, lalu pilihlah
Field Calculator.
 Masukkan rumusnya untuk menghitung luas tutupan.

Luas_ha = ([COUNT]*900)/10000
Count = field berisi jumlah sel dalam tiap kelas tutupan
900 = luas individu sel dalam m2
10000 = Pembagi untuk mengkonversi menjadi hektar.

| 60
Gambar 8.6. Menghitung Luas Tutupan

| 61
Modul 9. BEKERJA DENGAN TABEL

Modul mengenai pengelolaan tabel berhubungan dengan konsep database relasional


dan berbagai logika operator yang agak sulit difahami tanpa “membiasakan diri
berlatih”.
Dalam modul ini hanya disampaikan beberapa kata-kata kunci dasar yang sering
digunakan dan berkaitan dengan peta penataan blok. Sekali lagi, modul ini tidak
menjanjikan anda akan faham dengan cepat tanpa memaksa diri terus berlatih.

1. Add Field

Gambar 9.1. Add Field

2. Field Calculator

Gambar 9.2. Field Calculator

| 62
3. Select by Attribute

Gambar 9.3.Select by Atribute

4. Membuat Kamus Data


Jangan dipusingkan dengan definisi formal kamus data. Intinya adalah, bahwa anda
memerlukan sejumlah tabel dan fieldname tertentu yang akan digunakan untuk
perhitungan. Kerap anda memerlukan field berisi kode numerik untuk menggantikan
field yang berisi teks agar bisa dilakukan perhitungan. Misalnya anda perlu
menjumlahkan record yang berlereng < 40% dengan dengan ketinggian kurang dari
1000 mdpl. Anda tidak bisa menjumlahkan kecuali anda menggantinya dengan simbol
angka. Anda pun tak bisa menghindari penggunaan singkatan. Kadang anda pun harus
membuat beberapa diagram alir. Masalahnya anda berurusan dengan banyak tabel,
nama file, nama field yang berresiko anda lupa atau diorientasi. Itu sebabnya anda
perlu membuat kamus data agar bisa di-manage, bisa dirunut (tracking), mudah
dikomunikasikan sehingga orang lain bisa ikut membantu mengerjakan.

Bentuk kamus data sederhana saja, dan sekali lagi, jangan dipusingkan dengan definisi
atau aturan formal basisdata. Prioritas utama adalah kenyamanan bekerja. Berikut
adalah contoh “kamus data” yang disimpan sebagai catatan:

| 63
A. Contoh Pedoman

Kelas ketinggian untuk kawasan lindung Nilai


< 2000 mdpl 0
> 2000 mdpl 1

Kelas kelerengan untuk kawasan lindung Nilai


< 40% 0
> 40% 1

Kelas kelerengan Keterangan Kode


0-8% Landai 1
8-15% Bergelombang 2
15-25% Agak curam 3
25-40% Curam 4
> 40% Sangat curam 5

Kelas ketinggian (zona ekosistem) Keterangan Kode


0-1000 lowland 1
1000-1500 Zona sub montana 2
1500-2400 Zona montana 3
> 2400 Zona alpin 4

Sempadan (buffer) Keterangan


Sungai besar 100 m
Anak sungai/musiman 50 m
Danau 100 m
Mata air 200 m
Pantai 100 m ke arah barat

B. Contoh Nama File

Nama file Keterangan


cagt_batas file batas luar ca gunung tilu
cagt_fauna file ca gunung tilu berisi data perjumpaan fauna
cagt_konektifitas file ca gunung tilu berupa poligon koridor/terancam fragmentasi
tbmk_mcp file minimum convex polygon tb masigit kareumbi
twakk_slope file twa kawah kamojang berisi data kelerengan
tnggp_kontur file kontur tn gunung gede pangrango
cagb_dta file sebaran daerah tangkapan air ca gunung burangrang
all_jalan file jaringan jalan untuk semua kawasan

| 64
C. Contoh Nama Field Umum
Nama field Keterangan
luas_ha Luas dalam hektar, tipe doube
kelas Tutupan lahan, tipe text(50)
desa Nama desa, tipe text(50)
species Nama spesies, tipe text(50)

D. Contoh Nama Field untuk Analisis


Nama field Keterangan
n_slope nilai kelerengan, integer (0 atau 1)
n_elevasi nilai ketinggian, integer (0 atau 1)
n_buffer nilai buffer sumber air, integer (0 dan 1)
n_mcp nilai mcp, integer (0 dan 1)
n_konektifitas nilai konektifitas, integer (0 dan 1)
n_forest nilai tutupan hutan, integer (0 dan 1)

Gambar 9.4. Setiap layer yang akan digunakan untuk proses analisis tumpang susun
ditambahkan field analisis untuk membantu dalam penghitungan.

Demikian beberapa contoh yang dimaksud kamus data untuk kebutuhan praktis ini.
Catatan ini akan sangat membantu mendisiplinkan data sehingga integritasnya
terjaga dan terrunut.

| 65
Modul 10. PETA KEPEKAAN EKOLOGI

Peta Kepekaan Ekologi terdiri dari penggabungan layer nilai penting kawasan. Peta
nilai penting yang digunakan dalam modul ini adalah:
1. Peta Kelas Kelerengan
2. Peta Kelas Ketinggian
3. Peta Sempadan Sungai
4. Peta Indikatif Jelajah Satwa
5. Peta Tutupan Hutan
6. Peta Lokasi Terancam Fragmentasi

Penggabungan layer menggunakan tool Union yang terdapat dalam toolbox Analysis
Tools. Atribut dari masing-masing file akan digabung.

Langkah 1. UNION: Menggabungkan Poligon Nilai Penting Kawasan

Gambar 10.1. langkah Pembuatan Peta Kepekaan Ekologi Tool Union

| 66
Gambar 10.2. Hasil Penggabungan Layer Nilai Penting Kawasan CA Gunung Tilu

Penggabungan polygon seringkali menghasilkan tampilan tabel yang tidak nyaman


dilihat atau diolah karena seluruh field dari masing-masing file ikut serta (join
attributes). Salahsatu cara yang disarankan adalah dengan mengatur field mana yang
perlu ditampilkan dan disembunyikan. Buka jendela properties  tab Fields. Aturlah
dengan memberi atau menghilangkan tanda centang pada checkbox setiap field.

| 67
Langkah 2. UNION: Penghitungan Pada Tabel Atribut

Untuk merefresh kembali, disajikan kembali rumus penghitungan kepekaan ekologi:

Penentuan Nilai Penting Kawasan (NPK) menggunakan logika boolean 0 dan 1.


penghitungan derajat Kepekaan Ekologi (KE) menggunakan operator “OR”.
Apabila suatu lokasi mengandung salah satu atau kedua kriteria (Kriteria Lindung (KL)
atau Kriteria Konservasi (KK)) maka lokasi tersebut dinilai sebagai ekologi sangat peka.
Jika suatu lokasi tidak mengandung kedua kriteria maka dinilai sebagai ekologi peka.

IF ‘(polygon_KL) = 1’ OR ‘[polygon_KK] = 1’ THEN ‘Ekologi Sangat Peka’


IF ‘(polygon_KL) = 1’ OR ‘[polygon_KK] = 0’ THEN ‘Ekologi Sangat Peka’
IF ‘(polygon_KL) = 0’ OR ‘[polygon_KK] = 1’ THEN ‘Ekologi Sangat Peka’
IF ‘(polygon_KL) = 0’ OR ‘[polygon_KK] = 0’ THEN ‘Ekologi Peka’

Intinya, apabila penjumlahan ke-enam nilai penting menghasilkan angka 0 maka


bernilai “Ekologi Peka”. Apabila menghasilkan angka 1-6 maka bernilai “Ekologi
Sangat Peka”.

Langkah 1.
Buka Tabel hasil union yang bernama cagt_kepekaan_ekologi.shp, Klik kanan pada
nama kolom n_peka untuk memanggil jendela field calculator. Ketikkan rumusnya:

[n_konektif] + [n_buffer] + [n_mcp] + [n_slope] + [n_forest]

| 68
Langkah 2.
Kemudian, buat Field baru bernama “Kepekaan” dengan tipe data Text. Field ini
nantinya diisi teks “Ekologi Sangat Peka” untuk nilai n_peka antara 1-6, dan “Ekologi
Peka” untuk nilai n_peka = 0.

| 69
Lakukan prosedur yang sama untuk n_peka = 0 dan diisi dengan teks “ekologi Peka”.
Cara lain dengan menggunakan rumus berikut. Terlebih dulu centang checkbox
advance.

if [n_konektif] =1 OR [n_buffer] =1 or [n_mcp] =1 or [n_slope] =1 or
[n_elevasi] =1 or [n_forest] =1 then
peka = "Ekologi Sangat Peka"
else
peka = "Ekologi Peka"
end if

| 70
Modul 11. PETA INTERVENSI PEMANFAATAN

Modul ini lebih bersifat diskusi mengenai konsep land use dan klasifikasinya.
Data tutupan lahan (land cover) diasumsikan telah diperoleh melalui interpretasi
visual citra. Tinggal kemudian mengelompokkannya kedalam jenis-jenis land use.
Kenapa ini penting ? karena kepastian konsep landuse dibutuhkan dalam proses
analisis. Secara teknis, konsep ini akan digunakan untuk memberi atribut, memberi
kode kemudian diolah menjadi Peta Intervensi Pemanfaatan.

Konsep land use jauh lebih kompleks dibanding tutupan lahan. Mengapa?
Karena untuk memaknai tutupan lahan Dibutuhkan pemahaman terhadap visi dan
tujuan kawasan, penguasaan kondisi lapangan, dan terutama, kemampuan
memutuskan apakah suatu tutupan lahan masuk kategori pemanfaatan atau bukan.
Sebagai contoh, apakah aktifitas pemanfaatan lahan untuk sayuran yang padat modal
dan berorientasi pasar akan digabung dalam kelas yang sama dengan perladangan
subsisten sebagai landuse bernama “pertanian” atau digabung dengan perkebunan
teh dalam kelas “pertanian industri” ?

Bagaimana melakukannya ?
Beberapa teori yang berkaitan dengan konsep landuse dan nilai penting spesifiknya
berguna untuk pengkayaan wacana di tahap awal. Beberapa ditawarkan dalam
Ecosystem Development Strategy (Odum, 1969), Vegetation-Impervious Surface-Soil
(Ridd,1995), Economic & activity context (Jansen & Di Gregorio, 2002), Neraca
sumberdaya lahan spasial (SNI 19-6728.3, 2002), LUCIS (Carr&Zwick, 2007) dan
Landscape Structure/metric (pemerhati fragmentasi). Namun sangat penting untuk
ditegaskan bahwa penyusunan konsep land use mencirikan 2 hal:
1. harus bersifat faktual berdasarkan kondisi lapangan, specific site.
2. Mencerminkan tujuan berdirinya kawasan dan visi pengelolaannya.

Tabel 11.1. Contoh Konsep Kelas Tutupan Lahan, Kelas Penggunaan Lahan dan
Intervensi Pemanfaatan
Kategori
kelas Tutupan Penggunaan Lahan Intervensi Kode
Pemanfaatan
Sawah, ladang Pertanian subsisten Ya 1
Perkebunan Teh Pertanian industri Ya 1
Pertanian sayuran Pertanian industri Ya 1
Jalan Lahan terbangun Ya 1
Permukiman Lahan terbangun Ya 1
Terminal Fasilitas Wisata Ya 1
Lahan terbangun x Bangunan kepentingan strategis Ya 1
Hutan Hutan tidak 0
Semak belukar x Restorasi/Rehabilitasi Tidak 0
Semak belukar x Semak belukar Tidak 0
Area terbuka x Restorasi/Rehabilitasi Tidak 0
Area terbuka x Area terbuka Tidak 0

| 71
Gambar 11.1. Peta Pemanfaatan Lahan Berdasarkan Konsep Landuse yang
digunakan dalam analisis Kesenjangan Ruang. Konsep landuse
diterjemahkan menjadi kode dalam pengolahan atribut tabel dan
digunakan untuk analisis spasial berikutnya (analisis kesenjangan).

Gambar 11.2. Tabel atribut file tutupan lahan CA Gunung Tilu. Semak belukar tidak
dapat diisi menunggu konsep land use yang jelas, argumentatif,
mewakili visi pengelolaan dan disepakati.

| 72
Modul 12. PETA ANALISIS KESENJANGAN RUANG

Peta Analisis Kesenjangan ruang adalah perbandingan ruang antara kepekaan ekologi
dengan intervensi pemanfaatan yang menghasilkan tipologi yang akan digunakan
sebagai salah satu input dalam penataan blok pengelolaan.

TIPOLOGI Ekologi Peka Ekologi Sangat Peka

Ekologi Sangat Peka Tidak


Bukan Pemanfaatan Ekologi Peka- Tidak Terganggu
Terganggu

Intervensi Pemanfaatan Ekologi Peka Terganggu Ekologi Sangat Peka Terganggu

* untuk sementara Semak/terbuka dikategorikan sebagai intervensi pemanfaatan.

Gambar 12.1. Analisis dan Tipologi Kesenjangan Ruang

| 73
Langkah 1. Union-kan file intervensi pemanfaatan dengan kepekaan ekologi.

Gambar 12.2. Penggabungan Polygon dengan tool union.

Langkah 2. Mengelola Tabel Atribut.

Buat field baru tipe data text bernama misalnya “tipologi”. Field ini untuk
menampung nilai penggabungan field “kepekaan” (baca: kepekaan ekologi) dan field
“pemanfaata” (baca: intervensi pemanfaatan). Sesuai tipologi yang telah dirancang,
maka disusun sintaks untuk diketikkan dalam Field Calculator seperti ini:

if [pemanfaata]="Bukan Pemanfaatan" then
tipologi = [kepekaan] & " ­ Tidak terganggu"
else
tipologi= [kepekaan] & " ­ Terganggu"
end if

Hasil penghitungan field dan tampilan petanya disajikan pada gambar 12.3 dan 12.4
di bawah ini.

| 74
Gambar 12.3. Sintaks dalam Field Calculator

Gambar 12.4. Tampilan peta dan tabel atribut hasil penghitungan

| 75
Modul 13. PETA INDIKATIF PENATAAN BLOK PENGELOLAAN

Berdasarkan dokumen laporan sebelumnya, berikut disajikan kembali diagram alir


penataan blok indikatif pengelolaan kawasan. Dalam diagram tersebut setiap tipologi
yang dihasilkan dalam analisis kesenjangan (modul 12) mengarahkan kepada
penentuan jenis blok.

Gambar 13.1. Diagram alir Penataan Blok Indikatif

Proses SIG-nya sangat sederhana. Yang harus dilakukan hanyalah menambahkan field
baru tipe data text bernama ”blok” kemudian mengetikkan nama bloknya.

Gambar 13.2. Editing tabel atribut

| 76
Gambar 13.3. Pengaturan Tampilan pada properties

Gambar 13.4. Peta Indikatif Penataan Blok Pengelolaan CA Gunung Tilu. Siap untuk
didiskusikan dan disempurnakan.

| 77
Daftar Pustaka

Buku dan Jurnal

British Columbia-Ministry Of Water, Land And Air Protection Ecosystem Standards


and Planning Biodiversity Branch. 2004. Environmental Best Management
Practices For Urban And Rural Land Development. 2004. Diunduh di
http://www.env.gov.bc.ca/wld/documents/bmp/urban_ebmp/urban_ebmp
.html
[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2002. Penyusunan neraca sumber daya –Bagian
3: Sumber daya lahan spasial. SNI 19-6728.3-2002.
Carr MH. Zwick PD.2007. Smart land Use Analysis: The LUCIS model land use
Identification Strategy. ESRI Press.
Gunawan H. Prasetyo LB. Mardiastuti A. Kartono AP. 2009. Habitat Macan Tutul Jawa
(Panthera pardus melas Cuvier 1809) Di Lanskap Hutan Produksi Yang
terfragmentasi. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi VI(2):95-114. [ID]:
Bogor
Jansen LJM. Di Gregorio A. 2002. Parametric land cover and land-use classifications
as tools for environmental change detection. Agriculture, Ecosystems and
Environment (91): 89–100.
Kartawinata K. 2010. Dua Abad Mengungkap Kekayaan Flora dan Ekosistem
Indonesia. LIPI. Kuliah Sarwono Prawirohardjo Memorial Lecture X, Senin 23
Agustus 2010.
Moeliono M. Limberg G. Pam Minnigh P. Mulyana A. Indriatmoko Y. Utomo NA.
Saparuddin. Hamzah. Iwan R. Purwanto E. 2010. Meretas kebuntuan
Konsep dan panduan pengembangan zona khusus bagi Taman Nasional di
Indonesia. CIFOR (ID): Bogor.
[NOAA] National Oceanic and Atmospheric Administration. 2002. Environmental
Sensitivity Index Guidelines Version 3.0. Technical Memorandum NOS OR&R
11. (US): Seattle, Washington.
Odum EP. 1969. The Strategy of Ecosystem Development. Science, New Series, 164
(3877): 262-270. American Association for the Advancement of Science.
Sergeyeva O. 2004. Environmental Sensitivity Mapping. 2004 Ocean Biodiversity
Informatics Hamburg, Germany: 29 November to 1 December 2004
Strand H, Höft R, Strittholt J, Miles L, Horning N, Fosnight E, Turner W, eds. 2007.
Sourcebook on Remote Sensing and Biodiversity Indicators. Secretariat of
the Convention on Biological Diversity, Montreal, Technical Series no. 32.
Vogt, P., K. Riitters, C. Estrenguil, J. Kozak, T. Wade, J. Wickham. 2007. Mapping
spatial patterns with morphological image processing. Landscape Ecology
22: 171-177.

Dokumen resmi dan Peraturan Perundang-undangan

1. Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 68/Kpts/Um/2/1978 tanggal 7


Februari 1978 tentang penunjukan Cagar Alam Gunung Tilu seluas 8.018,63 ha.

| 78
2. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka
Alam Dan Kawasan Pelestarian Alam.
3. Keputusan Presiden Republik Indonesia No 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan
Kawasan Lindung.
4. Peraturan Menteri Kehutanan No. P41/Menhut-II/2008 tentang Pedoman
Penyusunan Rencana Pengelolaan KSA-KPA.
5. Peraturan Menteri Kehutanan No. P56/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Zonasi
Taman Nasional.

PUSTAKA

Rujukan Buku dan Jurnal

Jansen LJM. Di Gregorio A. 2002. Parametric land cover and land-use classifications
as tools for environmental change detection. Agriculture, Ecosystems and
Environment (91): 89–100.
Ridd MK. 1995. Exploring a V-I-S (vegetation-impervious surface-soil) model for urban
ecosystem analysis through remote sensing: a comparative anatomy for cities.
International Journal of Remote Sensing 16(12):2165–2185.
Uuemaa E. Antrop M. Roosaare J. Marja R. Mander U. 2009. Landscape Metrics and
Indices: An Overview of Their Use in Landscape Research. Living Review
Landscape Research (3)1.
Mc Garigal K. Marks. BJ. 1995. Fragstats: spatial pattern analysis program for
quantifying landscape structure. Gen. Tech. Rep. PNW-GTR-351. Portland. OR:
U.S. Department of Agriculture. Forest Service. Pacific Northwest Research
Station.
Forman RTT. Godron M. 1981. Patches and Structural Components for a Landscape
Ecology. American Institute of Biological Sciences. BioScience 31(10): 733-740.
[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2002. Penyusunan neraca sumber daya –Bagian
3: Sumber daya lahan spasial. SNI 19-6728.3-2002.
[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2010. Klasifikasi Penutup Lahan. SNI 7645-2010.
Carr MH. Zwick PD.2007. Smart land Use Analysis: The LUCIS model land use
Identification Strategy. ESRI Press.
Di Gregorio A, Jansen LJM. 1998. Land Cover Classification System (LCCS):
Classification Concepts and User Manual. Environment and Natural Resources
Service, GCP/RAF/287/ITA Africover - East Africa Project and Soil Resources,
Management and Conservation Service. Rome (IT): FAO.
Odum EP. 1969. The Strategy of Ecosystem Development. Science, New Series, 164
(3877): 262-270. American Association for the Advancement of Science.
Sergeyeva O. 2004. Environmental Sensitivity Mapping. 2004 Ocean Biodiversity
Informatics Hamburg, Germany: 29 November to 1 December 2004
Strahler AN.1957. Quantitative Analysis of Watershed Geomorphology. Transactions,
American Geophysical Union 38(6):913-920.
Steiniger S. Hunter AJS. 2010. OpenJUMP HoRAE – A free GIS and toolbox for home.
Department of Geography and Department of Geomatics Engineering,
University of Calgary Canada (unpublished).

| 79
Strand H, Höft R, Strittholt J, Miles L, Horning N, Fosnight E, Turner W, eds. 2007.
Sourcebook on Remote Sensing and Biodiversity Indicators. Secretariat of the
Convention on Biological Diversity, Montreal, Technical Series no. 32.
Vogt, P., K. Riitters, C. Estrenguil, J. Kozak, T. Wade, J. Wickham. 2007. Mapping
spatial patterns with morphological image processing. Landscape Ecology 22:
171-177

Dokumen resmi dan Peraturan Perundang-undangan

6. Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 68/Kpts/Um/2/1978 tanggal 7


Februari 1978 tentang penunjukan Cagar Alam Gunung Tilu seluas 8.018,63 ha.
7. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka
Alam Dan Kawasan Pelestarian Alam.
8. Keputusan Presiden Republik Indonesia No 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan
Kawasan Lindung.
9. Peraturan Menteri Kehutanan No. P41/Menhut-II/2008 tentang Pedoman
Penyusunan Rencana Pengelolaan KSA-KPA.
10. Peraturan Menteri Kehutanan No. P56/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Zonasi
Taman Nasional.

File Elektronik
1. Peta Perkembangan Kawasan Hutan Jawa Barat, Ditjen Planologi
2. Peta Rupa Bumi Indonesia skala 1:25000
3. Peta Daerah Aliran Sungai,
4. Peta Indikatif Habitat Macan Tutul (Panthera pardus melas), Forum Pemerhati
Macan Tutul Jawa
5. Peta Perjumpaan Satwa, Tim Biodiversity ICWRMIP
6. Peta Perjumpaan Satwa dan Flora, Tim BBTNGGP
7. Peta Partisipatif Potensi Cagar Alam Gunung Tilu

Sedang susun file latihan

| 80

Anda mungkin juga menyukai