DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI i
DAFTAR TABEL iii
DAFTAR GAMBAR iv
BAB I
PENDAHULUAN I-1
BAB II
GAMBARAN UMUM WILAYAH DKI JAKARTA II - 1
BAB III
METODOLOGI III - 1
BAB IV
SURVEY DAN PEMETAAN EKOREGION JAKARTA IV - 1
BAB V
WILAYAH EKOREGION DKI JAKARTA V-1
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR GAMBAR
BAB I
PENDAHULUAN
BAB I
PENDAHULUAN
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta I-1
LAPORAN AKHIR
bersinergi dengan penataan ruang, perlindungan sumber daya alam non hayati,
perlindungan sumber daya buatan, konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya, cagar budaya, keanekaragaman hayati dan perubahan iklim.
Pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang tidak dilakukan sesuai
dengan daya dukungnya dapat menimbulkan krisis pangan, air, energi dan
lingkungan. Secara umum dapat dikatakan bahwa hampir seluruh jenis
sumberdaya alam dan komponen lingkungan hidup di kota Jakarta cenderung
mengalami penurunan kualitas dan kuantitasnya dari waktu ke waktu. Dalam era
otonomi daerah, pengelolaan lingkungan hidup mengacu pada Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
yang diundangkan pada tanggal 3 Oktober 2009 mengamanatkan pengelolaan
sumber daya alam dan lingkungan hidup yang lebih baik.
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta I-2
LAPORAN AKHIR
air, flora dan fauna asli, serta pola interaksi manusia dengan alam yang
menggambarkan integritas sistem alam dan lingkungan hidup. Penepatan
wilayah ekoregion sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan
mempertimbangkan kesamaan (pasal 7 ayat 2):
a. Karakteristik bentang alam;
b. Daerah aliran sungai;
c. Iklim
d. Flora dan fauna
e. Sosial budaya
f. Ekonomi
g. Kelembagaan masyarakat; dan
h. Hasil inventarisasi lingkungan hidup.
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta I-3
LAPORAN AKHIR
1.3. Sasaran
1.4. Manfaat
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta I-4
LAPORAN AKHIR
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta I-5
LAPORAN AKHIR
RPPLH provinsi sebagai suatu telaah dan pendekatan baru dalam perumusan
kebijakan publik dan perencanaan formal yang berkaitan dengan kepentingan
masyarakat luas, RPPLH harus mencakup komponen yang mendasar. UU
No.32/2009 menganggap sumberdaya alam sebagai komponen mendasar dan
secara gamblang dinyatakan bahwa RPPLH ditujukan untuk mengendalikan
pemanfaatan sumberdaya alam.
Sumberdaya alam yang tersedia di DKI Jakarta begitu beraneka regam tetapi
tidak semuanya tersedia dan menjadi sandaran kehidupan dan perkembangan
DKI Jakarta. Oleh karena itu inventarisasi lingkungan yang antara meliputi jenis,
potensi, penguasaan dan tingkat kerusakan sumberdaya alam di DKI Jakarta
perlu difokuskan pada sumber daya alam yang paling mempengaruhi hajat hidup
masyarakat DKI Jakarta. Kajian yang telah dilakukan sebelumnya
mempertimbangkan air sebagai sumberdaya alam yang memang paling
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta I-6
LAPORAN AKHIR
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta I-7
LAPORAN AKHIR
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta I-8
LAPORAN AKHIR
BAB II
GAMBARAN UMUM WILAYAH
DKI JAKARTA
BAB II
GAMBARAN UMUM WILAYAH
DKI JAKARTA
Provinsi DKI Jakarta berada pada posisi geografis antara 106.2242 dan
106.5818 Bujur Timur, serta antara 5.1912 dan 6.2354 Lintang Selatan
dengan keseluruhan luas wilayah 7.659,02 km2, meliputi 662,33 km2 daratan,
termasuk 110 pulau di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu dan 6.977,5
km2 lautan.
Provinsi DKI Jakarta terbagi dalam lima Kota Administrasi dan satu Kabupaten
Administrasi. Kota Administrasi Jakarta Pusat memiliki luas 48,13 km2; Kota
Administrasi Jakarta Utara dengan luas 146,66 km2; Kota Administrasi Jakarta
Barat dengan luas 129,54 km2; Kota Administrasi Jakarta Selatan dengan luas
141,27 km2; dan Kota Administrasi Jakarta Timur dengan luas 188,03 km2, serta
Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu dengan luas 8,70 km2.
Tabel 2.1.
Pembagian Wilayah Administrasi Provinsii DKI Jakarta
Kabupaten/ Kota Jumlah
No
Administrasi Kecamatan Kelurahan
1 Jakarta Pusat 8 44
2 Jakarta Utara 6 31
3 Jakarta Timur 10 65
4 Jakarta Selatan 10 65
5 Jakarta Barat 8 56
6 Kep. Seribu 2 6
Sumber : Jakarta Dalam Angka, 2012
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta II - 1
LAPORAN AKHIR
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta II - 2
LAPORAN AKHIR
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta II - 3
LAPORAN AKHIR
Kecamatan : (1) Tanah Abang 9,3 km; (2) Menteng 6,5 km; (3) Senen
4,2 km; (4) Johar Baru 2,38 km; (5) Cempaka Putih 4,69 km; (6)
Kemayoran 7,25 km; (7) Sawah Besar 6,16 km; (8) Gambir 7,29 km
Batas Wilayah
Selatan : Jl. Pramuka, Kali Ciliwung/Banjir Kanal, Jl. Jend
Sudirman, Jl. Lekir
Timur : Jl. Jend. Ahmad Yani/By Pass
Barat : Kota adm. Jakarta Barat dan Selatan
Utara : Jl. Duri Raya, Jl. KH Zainul Arifin. Jl. Wiryopranoto,
Jl.Mangga Dua, Jl. Rajawali Selatan 12, Jl. Eks Pelud
Kemayoran, Jl. Sunter Kemayoran
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta II - 4
LAPORAN AKHIR
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta II - 5
LAPORAN AKHIR
Provinsi DKI Jakarta termasuk dalam satuan morfologi dengan kemiringan lereng
0-0,5% dan ketinggian kurang dari 10 meter di daerah pantai hingga 70 meter di
bagian selatan Jakarta mendekati Bogor. Jakarta memiliki 13 sungai utama yang
mengalir di dalamnya, dengan sungai-sungai utama yang mengalir di wilayah
DKI Jakarta adalah Sungai Angke, Sungai Krukut, Sungai Ciliwung, Sungai
Grogol, Sungai Sunter, Sungai Cipinang, dan Sungai Cakung. Tata letak DKI
Jakarta pada daerah dataran rendah pantai menimbulkan
beberapa kendala fisik yaitu sekitar 5% dari luas areal luas DKI Jakarta berada
pada ketinggian kurang dari 10 meter diatas permukaan laut dan kemiringan
berkisar 0- 0,5%. Selain itu 13 sungai yang mengalir melalui DKI Jakarta
mengakibatkan terbentuknya dataran banjir. Seperti pada Gambar 2.2. dan
Gambar 2.3.
DKI Jakarta yang didominasi oleh jenis batuan berupa batuan sedimen (aluvial)
yang berasal dari endapan gunung berapi di selatan Kabupaten Bogor.
Membentuk Cekungan air tanah yang terdiri atas endapan laut, sungai, rawa,
dan endapan yang berasal dari gunung berapi. Endapan penyusun cekungan air
tanah Jakarta tersebut terdiri atas perselingan lempung, pasir dan kerikil,
endapan jenis ini terdapat hampir di seluruh daerah di Jakarta.
Sementara itu terdapat pula jenis endapan penyusun air tanah dengan jenis yang
sedikit berbeda dengan endapan yang mendominasi daerah di Jakarta, yakni
endapan yang dinamakan endapan pantai dan rawa. Endapan pantai dan rawa
tersusun oleh lempung, lumpur, dan pasir. Jenis endapan pantai dan rawa ini
berada di sepanjang pantai utara DKI Jakarta.
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta II - 6
LAPORAN AKHIR
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta II - 7
LAPORAN AKHIR
Pada Gambar 2.4. berisikan informasi mengenai jenis batuan di Jakarta dapat
dilihat sebarannya. Jenis batuan lempung pasiran dan lempung organik sebagian
besar tersebar di bagian utara Jakarta dan berbatasan langsung dengan laut.
Namun jenis batuan ini juga tersebar di bagian tengah dan barat Jakarta, namun
sebarannya tidak terlalu mendominasi di bagian ini. Untuk jenis batuan berupa
pasir lanauan tidak terlalu luas di Jakarta. Jenis batuan ini terdapat di bagian
barat laut dan timur laut Jakarta. Pasir lempungan dan lempung pasiran
merupakan jenis batuan yang sebarannya tidak terlalu luas di Jakarta. Jenis
batuan ini hanya berada di bagian timur Jakarta.Untuk jenis batuan lempung
lanauan dan lanau lempungan sangat mendominasi di Jakarta, jenis batuan ini
tersebar sebagian besar di Jakarta bagian utara dan sedikit di bagian selatan
Jakarta. Jenis batuan lain yang juga mendominasi di Jakarta adalah Lempung
Pasiran dan lanau Pasiran. Sebaran jenis batuan ini berada di bagian tengah
hingga selatan Jakarta.
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta II - 8
LAPORAN AKHIR
DAS hulu Ciliwung dari sekuen paling atas mempunyai tanah berbahan pasir
volkan muda, kedalaman tanah dalam, tekstur kasar, kelolosan air atau porositas
tinggi (jenis tanah Regosol atau Udipsamments) berasosiasi dengan tanah
dangkal, halus, dan berbatu
(Litosol atau Udorthents). Jakarta bagian selatan, merupakan wilayah yang
kompleks dengan tanah bersifat sedang-dalam, tekstur halus, teguh, porositas
rendah, berwarna kemerahan (Latosol coklat kemerahan dan Latosol merah atau
Inceptisols/Ultisols) seperti dapat kita lihat Tabel 2.2. dan Gambar 2.5.
Tabel 2.2.
Jenis Tanah Di Kawasan DKI Jakarta
Luas Tanah (Km)
Total
No Jenis Tanah Jakarta Jakarta Jakarta Jakarta Jakarta
(km)
Selatan Timur Pusat Barat Utara
1 Aluvial Hidromorf - - - 0,09 33,32 33,41
2 Aluvial Kelabu Tua - - 12,40 59,53 69,42 141,35
Asosiasi Glei Humus
3 - 26,12 1,96 - 12,69 40,77
Rendah, Aluvial Kelabu
Asosiasi Latosol Merah,
4 145,53 159,44 33,78 53,46 0,82 393,03
Latosol Coklat Kemerahan
5 Regosol Coklat - - - 12,65 11,44 24,09
DKI Jakarta 145,53 185,56 48,14 125,73 127,69 632,65
Sumber: Jakarta Coastal Defence Strategy Project (JCDS), 2011
Secara umum, Provinsi DKI Jakarta tidak terlepas dari dampak fenomena
pemanasan global yang mengakibatkan perubahan iklim dan kenaikan frekuensi
maupun intensitas kejadian cuaca ekstrim. Fenomena pemanasan global yang
mengakibatkan perubahan iklim dapat mengakibatkan terjadinya perubahan
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta II - 9
LAPORAN AKHIR
sosial dan budaya. Pada akhirnya perubahan iklim juga akan merubah pola
kehidupan dan tingkat kesejahteraan masyarakat.
Dari hasil pemantauan suhu yang dilakukan oleh Badan Meteorologi Klimatologi
dan Geofisika pada titik pemantauan Stasiun Meteorologi Kemayoran
menunjukkan bahwa rata-rata suhu udara di Jakarta setiap bulannya berubah-
ubah. Selama tahun 2011 suhu rata-rata terendah terjadi pada bulan Januari
yaitu sebesar 27,3C dan tertinggi pada bulan Oktober yaitu sebesar 29,2C, dan
apabila dibandingkan dengan tahun 2010, rata-rata suhu terendah terjadi pada
bulan Januari yaitu 27,4C dan tertinggi terjadi pada bulan April yaitu 29,7C,
menunjukan bahwa telah adanya perubahan iklim di Indonesia untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada Tabel 2.3. dan Gambar 2.6. Gambar 2.7.
Tabel 2.3.
Suhu Rata-rata dan Curah Hujan Bulanan Tahun 2011
Tabel 2.4.
Statistik Data Temperatur Rata-rata Bulanan
Tahun Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec Rata-Rata
2006 27,3 27,7 28,1 28,5 28,7 28,7 28,7 28,3 28,7 29,6 29,7 28,7 28,6
2007 28,6 27,1 28,0 28,3 28,8 28,5 28,7 28,6 28,6 28,7 28,5 27,4 28,3
2008 28,1 26,3 27,4 28,1 28,9 28,5 28,4 28,5 28,9 29,0 28,1 27,7 28,2
2009 27,1 27,2 28,3 28,9 28,5 28,9 28,7 29,0 29,4 29,4 28,4 28,5 28,5
2010 27,4 28,1 28,6 29,7 29,3 28,5 28,3 28,7 27,9 27,9 28,4 27,7 28,4
2011 27,3 27,6 27,9 28,6 28,8 28,7 28,3 28,8 29,0 29,2 28,9 28,5 28,5
Sumber: Meteorologi Kemayoran, BMKG 2012
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta II - 10
LAPORAN AKHIR
Tabel 2.5.
Statistik Data Jumlah Curah Hujan Bulanan
Tahun Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec Rata-Rata
2006 390 289 300 316 85 31 53 0 0 11 27 112 134,5
2007 211 675 178 166 189 101 35 67 60 76 86 513 196,2
2008 227 678 212 218 26 51 10 36 97 86 114 154 159,1
2009 548 232 141 93 223 74 10 7 88 63 304 189 164,4
2010 377 223 243 27 88 134 250 151 256 381 143 124 199,6
2011 146 231 148 107 199 71 18 2 53 80 45 177 106,2
Sumber: Meteorologi Kemayoran, BMKG 2012
Berdasarkan letaknya Kota Jakarta termasuk dalam kota delta (delta city) yaitu
kota yang berada pada muara sungai. Kota delta umumnya berada di bawah
permukaan laut, dan cukup rentan terhadap perubahan iklim. Kota delta Jakarta
dialiri oleh 13 aliran sungai dan dipengaruhi oleh air pasang surut.
Tiga belas sungai dan dua kanal yang melewati Jakarta sebagian besar berhulu
di daerah Jawa Barat dan bermuara di Teluk Jakarta. Tiga belas sungai tersebut
yaitu Kali Mookervart, Kali Angke, Kali Pesanggrahan, Kali Grogol, Kali Krukut,
Kali Baru Barat, Kali Ciliwung, Kali Cipinang, Kali Sunter, Kali Baru Timur, Kali
Buaran, Kali Jati Kramat, dan Kali Cakung. Sedangkan 2 (dua) kanal besar yang
ada yaitu Kanal Banjir Barat dan Kanal Banjir Timur. Peta sungai dan kanal yang
melewati wilayah DKI Jakarta dapat dilihat pada Gambar 2.8. di bawah ini
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta II - 11
LAPORAN AKHIR
DKI Jakarta hanya mempunyai 2 jenis hutan yaitu hutan lindung dan hutan
konservasi. Hutan kota yang tersebar di beberapa lokasi tidak dimasukkan dalam
salah satu kategori diatas, tapi dimasukkan dalam klasifikasi tersendiri.
1. Hutan Lindung
Hutan lindung mempunyai fungsi khusus sebagai pelindung tata air,
pencegah erosi, banjir, abrasi pantai dan pelindung terhadap tiupan angin.
Kawasan hutan lindung yang ada di DKI Jakarta seluruhnya merupakan
hutan payau/bakau, pada tahun 2010 luasnya mencapai 44,76 Ha dan tidak
mengalami perubahan selama kurun waktu 2011.
2. Hutan Konservasi
Hutan konservasi di DKI Jakarta pada tahun 2011 mencapai 225.5 Ha terdiri
dari hutan cagar alam seluas 88,02 Ha dan hutan taman wisata alam seluas
137.48 Ha,dan tidak mengalami perubahan apabila dibandingkan dengan
tahun 2010.
3. Hutan Kota
Hutan kota di Jakarta tersebar di 59 lokasi dan luasnya sekitar 644.38 Ha.
Luas hutan kota ini jauh lebih besar dibandingkan dengan luas hutan alami
(hutan lindung dan hutan konservasi) yang ada di DKI Jakarta atau sekitar
60.05 persen dari total luas hutan di DKI Jakarta (1.072,99 Ha).
Pada tahun 2011 ada penambahan hutan kota seluas 3,45 Ha di Jakarta
Timur dan Jakarta Utara yaitu hutan kota di Munjul Cipayung sebesar 0,72
Ha dan di Semper Timur sebesar 5,73 Ha. Sedangkan hasil inventarisasi
diperoleh hasil bahwa selama tahun 2011 tidak terjadi perubahan luas.
Secara lengkap lokasi dan luas hutan kota adalah sebagai berikut :
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta II - 12
LAPORAN AKHIR
Tabel 2.6.
Luas Hutan Kota Provinsi DKI Jakarta Tahun 2011
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta II - 13
LAPORAN AKHIR
Jenis tumbuhan yang terdapat di DKI Jakarta cukup bervariasi mulai dari jenis
tumbuhan pantai sampai dengan jenis tumbuhan dataran/pegunungan dan
palawija. Akan tetapi sampai dengan tahun 2010 ini belum dapat diketahui
jumlah seluruh jenis tumbuhan yang ada di DKI Jakarta, hanya jenis tumbuhan
pantai khususnya yang ada di kepulauan Seribu yang sudah terdeteksi yaitu ada
sekitar 86 jenis. Untuk jenis tumbuhan pantai umumnya didominasi oleh jenis
pohon Kelapa, Cemara laut, Ketapang, Rutun, Mengkudu dan Pandan laut.
Disamping itu di beberapa pulau di Kepulauan Seribu banyak ditemukan Sukun.
Dari gambaran tersebut diatas bahwa keanekaragaman hayati baik flora dan
fauna banyak terdapat di wilayah tersebut.
Mangrove juga memiliki fungsi ekologis sebagai habitat berbagai jenis satwa liar.
Keanekaragaman fauna di hutan mangrove cukup tinggi, secara garis besar
dapat dibagi dua kelompok, yaitu fauna akuatik seperti ikan, udang, kerang, dan
lainnya serta kelompok terestrial seperti insekta, reptilia, amphibia, mamalia, dan
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta II - 14
LAPORAN AKHIR
burung (Nirarita et al., 1996). Di Pulau Jawa tercatat 167 jenis burung dijumpai
di hutan mangrove, baik yang menetap maupun migran (Nirarita et al., 1996).
Kalong (Pteropus vampyrus), Monyet (Macaca fascicularis), Lutung (Presbytis
cristatus), Bekantan (Nasalis larvatus), kucing Bakau (Felis viverrina), Luwak
(Paradoxurus hermaphroditus), dan Garangan (Herpetes javanicus) juga
menyukai hutan mangrove sebagai habitatnya (Nontji, 1987). Beberapa jenis
reptilia yang hidup di hutan bakau antara lain Biawak (Varanus salvator), ular
Belang (Boiga dendrophila), ular Sanca (Phyton reticulatus), dan jenis-jenis ular
air seperti Cerbera rhynchops, Archrochordus granulatus, Homalopsis buccata,
dan Fordonia leucobalia. Dua jenis katak yang dapat ditemukan di hutan
mangrove adalah Rana cancrivora dan R. limnocharis (Nirarita et al., 1996).
Hutan mangrove juga sebagai habitat beberapa jenis burung yang dilindungi
seperti Pecuk ular (Anhinga anhinga melanogaster), Bintayung (Freagata
andrew-si), Kuntul perak kecil (Egretta garzetta), Kowak merah (Nycticorax
caledonicus), Bangau tongtong (Leptoptilos javanicus), Ibis hitam (Plegadis
falcinellus), Bangau hitam (Ciconia episcopus), burung Duit (Vanellus indicus),
Trinil tutul (Tringa guitifer), Blekek Asia (Limnodromus semipalmatus),
Gegajahan Besar (Numenius arquata), dan Trulek lidi (Himantopus himantopus)
(Sutedja dan Indrabrata, 1992). Jenis-jenis burung Egretta eulophotes, Kuntul
perak (E. intermedia), Kuntul putih besar (E. alba), Bluwok (Ibis cinereus), dan
Cangak laut (Ardea sumatrana) juga mencari makan di dekat hutan mangrove
(Whitten et al., 1988). Keanekaragaman hayati baik flora dan fauna di DKI
Jakarta secara umum tidak berbeda jauh dengan keadaan flora dan fauna
lainnya di pulau Jawa. Hal ini karena adanya kesatuan geografis meskipun saat
ini sudah banyak mengalami pengurangan akibat tingginya pembangunan di DKI
Jakarta.
Pada tahun 2006, penduduk DKI Jakarta berjumlah 8.961.680 jiwa, sedangkan
pada tahun 2011 jumlah penduduk bertambah menjadi 10.187.595 juta jiwa.
Dari keseluruhan jumlah penduduk tersebut, penduduk laki-laki adalah sebanyak
5.252.767 jiwa dan perempuan sebanyak 4.934.828 jiwa, dengan seks Rasio
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta II - 15
LAPORAN AKHIR
106. Laju pertumbuhan penduduk DKI Jakarta pada periode 2000 - 2010 sebesar
1,42 persen per tahun. Sedangkan laju pertumbuhan penduduk pada periode
tahun 1990 2000 hanya sebesar 0,78 persen per tahun.
Tabel 2.7.
Jumlah, Kepadatan dan Pertumbuhan Penduduk DKI Jakarta
Luas Kepadatan Pertumbuhan
Kab/Kota Penduduk
No Wilayah Penduduk Penduduk
Administrasi (Jiwa)
(Km2) (Jiwa/Km) (%)
1 Jakarta Selatan 141,27 2.135.571 14.598 1,46
2 Jakarta Timur 188,03 2.926.732 14.327 1,38
3 Jakarta Pusat 48,13 1.123.670 18.761 0,32
4 Jakarta Barat 129,54 2.260.341 17.615 1,83
5 Jakarta Utara 146,66 1.716.345 11.220 1,49
6 Kep. Seribu 8,70 24.936 2.423 2,03
DKI Jakarta 662,33 10.187.595 13.158 1,42
Sumber: BPS - Jakarta Dalam Angka 2012
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta II - 16
LAPORAN AKHIR
Dapat dilihat luas wilayah administrasi pada penggunaan lahan di Prov. DKI
Jakarta dengan wilayah terbesar atau terluas pada daerah pemukiman yaitu pada
wilyah kota administrasi Jakarta Timur dengan luas 157,35 km dan wilayah
terkecil terdapat pada wilayah Kabupaten Kepulauan Seribu yang memiliki luas
pemukiman 5,90 km yang secara rinci dapat kita lihat pada Tabel 2.8. di
bawah ini. Sedangkan grafik penggunaan lahan di DKI Jakarta dapat dilihat pada
Gambar 2.12.
Tabel 2.8.
Luas Wilayah Administrasi dan Penggunaan Lahan
Kab/Kota Luas Wilayah Pemukiman Pertanian Hutan dan Lain -
No
Administrsi (Km) (Km) (Km) Hutan Kota Lain
1 Jakarta Selatan 141,27 114,33 21,98 3,57 1,39
2 Jakarta Timur 188,02 157,32 23,54 1,47 5,69
3 Jakarta Pusat 48,13 45,98 1,32 0,14 0,69
4 Jakarta Barat 129,55 107,96 20,40 0,18 1,01
5 Jakarta Utara 146,66 130,18 10,13 4,31 2,04
6 Kep. Seribu 8,71 5,89 1,79 1,03 -
DKI Jakarta 662,34 561,66 79,16 10,70 10.82
Sumber: SLHD 2012
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta II - 17
LAPORAN AKHIR
Air permukaan adalah semua air yang terdapat pada permukaan tanah, termasuk
didalamnya adalah sungai dan situ/waduk. Potensi sumber daya air permukaan
(sungai, waduk dan danau/situ) memerlukan upaya pengelolaan yang baik dan
terencana. Aspek yang ditekankan adalah tinjauan terhadap kualitas dan
sekaligus upaya perlindungan badan air penerima (BAP) dari resiko pencemaran
yang dikaitkan dengan upaya pemanfaatan potensi air permukaan itu sendiri
sebagai sumber air bersih perkotaan dan sumber air bersih untuk keperluan
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta II - 18
LAPORAN AKHIR
industri atau niaga lainnya, sebagaimana diatur dalam peraturan yang berlaku.
DKI Jakarta dihadapkan pada kondisi yang sangat kritis berkaitan dengan
pengelolaan sumber daya air, khususnya dalam hal ketersediaan air. Setiap
tahunnya, Jakarta senantiasa menghadapi ancaman banjir pada musim hujan,
sementara itu hampir sepanjang waktu selalu mengalami krisis air baku untuk
keperluan air minum. Dilihat dari aspek sanitasi lingkungan perkotaan, rendahnya
tingkat penanganan limbah cair perkotaan telah memberikan dampak
pencemaran yang serius terhadap badan air (air permukaan) sehingga tidak
memungkinkan lagi dapat dimanfaatkan sebagai (alternatif) sumber air baku
untuk memenuhi kebutuhan air bersih yang terus meningkat.
Tabel 2.9.
Panjang dan Luas Badan Air di DKI Jakarta
Panjang dan Luas Badan Air
Badan Badan Air
Panjang (m) Luas (m)
Situ - 1.114.200
Waduk - 2.308.300
Sungai Melalui 2 Provinsi 290.860 5.325.020
Sungai Di DKI Jakarta 96.610 1.566.440
Banjir Kanal 38.550 2.237.000
Sub Makro Drain 578.455 2.036.053
Mikro Drain 6.622.102 3.827.715
Saluran Irigasi 272.112 1.605.394
Jumlah Total 7.898.689 20.020.122
Sumber: BPS Jakarta Dalam Angka, 2012
A. Sungai
Sungai adalah alur atau wadah air alami berupa drainase alam, yang secara
gravitasi alirannya mengalir dari hulu ke hilir, dengan dibatasi kanan dan kiri
di sepanjang pengalirannya oleh garis sempadan sungai (garis maya batas
luar perlindungan sungai). Sungai memiliki potensi yang dapat memberikan
manfaat atau pun kerugian bagi kehidupan dan penghidupan manusia serta
lingkungannya. Bentuk lain sungai yaitu berupa palung dengan bagian
dasarnya mengalirkan air dengan kedalaman atau dengan debit tergantung
pada musim (kemarau dan hujan). Badan air penerima (BAP) dalam bentuk
sungai/kali yang melewati wilayah DKI Jakarta sebanyak 13 sungai besar
pada dasarnya sungai/kali itu sejak awal diperuntukan atau digunakan
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta II - 19
LAPORAN AKHIR
sebagai sumber air baku untuk air bersih/minum (PAM Jaya maupun
masyarakat), saluran pematusan (drainase) kota, sebagai sumber air untuk
usaha perikanan dan usaha-usaha perkotaan lainnya. Namun karena sangat
minimnya kesadaran masyarakat dalam pengelolaan air limbah serta belum
tersedianya sarana dan prasarana pengelolaan air limbah, telah
menyebabkan kondisi kualitas badan air penerima tersebut dalam kondisi
tercemar dan tidak layak lagi untuk dapat digunakan sebagai sumber air
baku untuk keperluan PAM Jaya dan masyarakat langsung.
Sangat ironi sekali potensi sumber daya air yang begitu besar tidak mampu
dikelola agar dapat dimanfaatkan demi kesejahteraan masyarakat dan untuk
pertumbuhan Kota Metropolitan DKI Jakarta ini. Kecuali Kali Krukut di bagian
hulu yang masih bisa dimanfaatkan sebagai sumber air baku Instalasi
Pengolahan Air Cilandak milik PAM Jaya, 12 sungai/kali lainnya dalam kondisi
tidak layak sebagai sumber air baku. Berikut pada Tabel 2.10. dapat diihat
luas dan debit DAS di DKI Jakarta. Karakteristik ke-13 sungai tersebut
diketahui dalam kondisi tercemar berat. Tidak ada sungai yang memiliki
indeks pencemarannya dengan kondisi yang baik. Keadaan ini tentu saja
menimbulkan keprihatinan dan memerlukan upaya nyata untuk perbaikan
kondisi sunga-sungai tersebut.
Tabel 2.10.
Luas dan Debit Daerah Aliran Sungai di DKI Jakarta
Debit
Sungai/ Panjang Lebar (m) Kedalaman
No. (m/dtk)
Kali (km) (m)
Permukaan Dasar Max Min
1 Ciliwung 46,20 70,00 10,00 2,40 61,81 28,31
2 Cipinang 27,35 24,40 10,00 1,40 3,49 3,25
3 Angke 12,81 17,90 9,00 2,20 27,47 7,41
4 Mookervart 7,30 38,50 9,60 2,34 2,53 1,31
5 Grogol 23,60 20,40 2,00 0,95 3,56 2,78
6 Sunter 37,25 10,00 3,00 1,40 5,84 0,86
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta II - 20
LAPORAN AKHIR
Debit
Sungai/ Panjang Lebar (m) Kedalaman
No. (m/dtk)
Kali (km) (m)
Permukaan Dasar Max Min
7 Krukut 28,75 20,00 3,40 1,10 13,97 4,56
8 Kalibaru Timur 30,20 31,60 3,60 0,85 3,69 2,25
9 Kalibaru Barat 17,70 7,00 2,80 0,45 2,17 0,02
10 Buaran 7,90 11,00 3,20 1,30 5,87 0,38
11 Cakung 20,70 25,00 10,00 1,80 6,73 0,72
12 Pesanggrahan 27,30 14,00 3,50 2,60 22,00 10,14
13 Jati Kramat 3,80 11,20 4,00 0,68 17,56 0,877
Sumber : BPLHD Prov. DKI Jakarta, 2011
Ket: Lebar dan kedalaman dihitung rata-rata
B. Danau/Waduk/Situ
Sebagai salah satu bentuk air permukaan, selain berfungsi sebagai sumber
air, waduk/situ juga berfungsi sebagai bagian dari suatu sistem pengendali
banjir, penampung air, resapan air, irigasi, dan budi daya perikanan. Situ-
situ di wilayah DKI Jakarta yang tersebar di beberapa wilayah dengan luasan
yang berbeda mempunyai karakteristik yang berbeda, baik dalam hal
struktur dan tekstur tanah, sifat kimia air, plankton/periphyton, tumbuhan air
dan berbagai jenis ikan dan mahkluk hidup lainnya. Kondisi situ-situ tersebut
mempunyai fungsi ekologis yang sangat penting.
Sekarang ini keberadaan situ-situ di Provinsi DKI Jakarta seperti dilihat pada
Table 2.11 nama dan luas danau/waduk/situ yang cenderung berkurang
jumlahnya dan keadaannya sudah banyak yang tercemar maupun beralih
fungsi. Hal ini disebabkan akibat pembangunan yang sangat pesat di
berbagai sektor pembangunan, permukiman, gedung-gedung
perkantoran/perhotelan, industri ditambah lagi pertumbuhan penduduk dan
arus urbanisasi yang sedikit banyak memerlukan lahan.
Tabel 2.11.
Nama dan Luas Danau/Waduk/Situ di Wilayah DKI Jakarta
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta II - 21
LAPORAN AKHIR
3 JAKARTA PUSAT
- Situ Taman Ria 6,00 150.000
- Situ Lembang 0,40 8.500
- Waduk Melati 3,50 87.500
- Menara Jakarta 4,00 60.000
- Pademangan 4,50 101.000
- Situ Manggala Wanabakti 0,80 10.500
4 JAKARTA BARAT
- Waduk Cakra Buana Lestari 0,20 4.500
- Waduk Bojong Indah 2,00 47.000
- Waduk Tomang Barat 6,00 148.000
- Waduk Jelambar Wijaya Kusuma 2,50 52.000
- Waduk Slipi Hankam I 1,00 21.000
- Waduk Pondok Badung 0,09 900
- Waduk Rawa Kepa 0,50 10.000
- Waduk Grogol 3,00 75.000
- Empang Bahagia 4,00 92.000
- IPAK Duri Kosambi 2,00 45.000
5 JAKARTA UTARA
- Waduk Pantai Indah Kapuk Utara 3,00 67.000
- Waduk Pantai Indah Kapuk Selatan 3,00 80.000
- Waduk Sunter I 27,40 822.000
- Waduk Sunter II 29,00 725.000
- Situ Teluk Gong 0,75 15.000
- Situ Pademangan 4,50 90.000
- Waduk Pluit 85,00 2.550.000
- Waduk Rawa Kendal 18,00 360.000
Sumber: BPLHD Prov. DKI Jakarta, 2011
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta II - 22
LAPORAN AKHIR
Tabel 2.12.
Jumlah Rumah Tangga dan Sumber Air Minum
Kab/ Sumber Air Minum
Kota Adm. Ledeng Sumur Sungai Hujan Kemasan Lainnya
Jakarta Selatan 6.663 209.418 - 2.856 329.358 950
Jakarta Timur 57.493 255.198 587 - 395.998 -
Jakarta Pusat 77.759 13.266 - - 151.844 204
Jakarta Barat 193.222 40.624 - 1.562 389.049 521
Jakarta Utara 93.645 752 - 3.385 348.629 -
Kep. Seribu 232 757 - 2.410 1.498 -
TOTAL 429.014 520.015 587 10.213 1.616.376 1.675
Sumber: BPS Prov. DKI Jakarta, 2011
Sarana Transportasi
Diantara sungai tersebut ada juga yang berfungsi sebagai sarana
transportasi, yaitu Kali Ciliwung seperti dilakukan masyarakat sekitar di
Kampung Melayu.
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta II - 23
LAPORAN AKHIR
Air tanah merupakan komponen dari suatu sistem daur hidrologi (hydrology
cycle) yang terdiri rangkaian proses yang saling berkaitan antara proses
atmosferik, proses hidrologi permukaan dan proses hidrologi bawah permukaan.
Siklus hidrologi adalah sirkulasi air yang tidak pernah berhenti dari atmosfir ke
bumi dan kembali ke atmosfir melalui evaporasi, transpirasi, kondensasi dan
presipitasi. Di luar sistem tersebut persoalan air tanah bahkan seringkali
melibatkan aspek politik dan sosial budaya yang sangat menentukan keberadaan
air tanah di suatu daerah. Siklus hidrologi menggambarkan hubungan antara
curah hujan, aliran permukaan, infiltrasi, evapotranspirasi dan air tanah. Sumber
air tanah berasal dari air yang ada di permukaan tanah (air hujan, air danau dan
sebagainya) kemudian meresap ke dalam tanah/akuifer di daerah imbuhan
(recharge area) dan mengalir menuju ke daerah lepasan (discharge area).
Menurut Direktorat Tata Lingkungan Geologi dan Kawasan Pertambangan aliran
air tanah di dalam akuifer dari daerah imbuhan ke daerah lepasan cukup lambat,
memerlukan waktu lama bisa puluhan sampai ribuan tahun tergantung dari jarak
dan jenis batuan yang dilaluinya. Pada dasarnya air tanah termasuk sumber daya
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta II - 24
LAPORAN AKHIR
alam yang dapat diperbaharui akan tetapi jika dibandingkan dengan waktu umur
manusia air tanah bisa digolongkan kepada sumber daya alam yang tidak
terbaharukan.
Di dalam tanah keberadaan air mengisi sebagian ruang pori-pori tanah yang bisa
dimanfaatkan langsung oleh tanaman pada kondisi kelembaban tanah antara
kapasitas lapang sampai titik layu permanen pada posisi zona aerasi. Di bawah
zona aerasi terdapat zona penjenuhan yang menempatkan air mengisi seluruh
ruang pori-pori tanah yang ada dengan kisaran tebal yang selalu berfluktuasi.
Debit dan keberadaan muka air tanah pada zone penjenuhan ini sangat
dipengaruhi oleh pasokan air dari daerah imbuhan (recharge zone) yang berada
di atasnya, semakin banyak pasokan yang diimbuhkan semakin banyak debit
yang tersimpan dalam zone ini. Keberadaan air tanah pada zone ini seringkali
disebut sebagai air (tanah) bebas. Ketebalan air bebas yang ada dalam tanah
bisa mencapai puluhan meter tergantung dari letak lapisan batuan padu
(consolidated rock) yang ada di bawahnya. Lapisan batuan padu (batuliat,
batupasir, batugamping, batuan kristalin, dan shale) yang mengandung air tanah
dalam lubang pelarutan, atau di rekahan batuan (lapisan batuan pembawa air
tanah) disebut sebagai akuifer.
Air tanah adalah semua air yang terdapat pada lapisan pengandung air (akuifer)
di bawah permukaan tanah, mengisi ruang pori batuan dan berada di bawah
water table. Akuifer merupakan suatu lapisan, formasi atau kumpulan formasi
geologi yang jenuh air yang mempunyai kemampuan untuk menyimpan dan
meluluskan air dalam jumlah cukup dan ekonomis, serta bentuk dan
kedalamannya terbentuk ketika terbentuknya cekungan air tanah. Cekungan air
tanah adalah suatu wilayah yang dibatasi oleh batas hidrogeologis, tempat
semua kejadian hidrogeologis seperti proses pengimbuhan, pengaliran, dan
pelepasan air tanah berlangsung. Potensi air tanah di suatu cekungan sangat
tergantung kepada porositas dan kemampuan batuan untuk meluluskan
(permeability) dan meneruskan (transmissivity) air. Kelulusan tanah atau batuan
merupakan ukuran mudah atau tidaknya bahan itu dilalui air. Air tanah mengalir
dengan laju yang berbeda pada jenis tanah yang berbeda. Air tanah mengalir
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta II - 25
LAPORAN AKHIR
lebih cepat melalui tanah berpasir tetapi bergerak lebih lambat pada tanah liat.
Gambaran kualitas fisik air tanah di Propinsi DKI Jakarta yang meliputi TDS dan
kekeruhan dapat dilihat pada Tabel 2.13.
Tabel 2.13.
Rata-rata Kualitas Fisik Air Tanah Prov. DKI Jakarta Tahun 2011
TDS (mg/L) Kekeruhan (skala NTU)
No. Wilayah
September Nopember September Nopember
1 Jakarta Selatan 213.34 213.34 1.00 1.90
2 Jakarta Timur 477.19 361.48 1.88 4.33
3 Jakarta Pusat 538.45 538.45 1.86 15.36
4 Jakarta Barat 1,015.80 645.80 2.75 2.91
5 Jakarta Utara 1,070.87 852.07 17.58 11.89
Sumber: BPLHD Prov. DKI Jakarta, 2011
Ket: BM TDS = 1500 mg/L ; BM Kekruhan = 25 NTU
Dari Tabel diatas Menunjukan bahwa nilai rata-rata untuk parameter zat padat
terlarut (TDS) di lima wilayah di Propinsi DKI Jakarta Masih memenuhi baku
mutu. Sebagai contoh pada bulan September 2011 rentan tertinggi terdapat
pada wilayah Jakarta Barat, Jakarta Timur, Jakarta Utara.
Tabel 2.14.
Data Air Tanah Wilayah Jakarta Selatan
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta II - 26
LAPORAN AKHIR
Tabel 2.15.
Data Air Tanah Wilayah Jakarta Timur
Tabel 2.16.
Data Air Tanah Wilayah Jakarta Pusat
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta II - 27
LAPORAN AKHIR
Tabel 2.17.
Data Air Tanah Wilayah Jakarta Barat
Tabel 2.18.
Data Air Tanah Wilayah Jakarta Utara
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta II - 28
LAPORAN AKHIR
Keanekaragaman Ekosistem
Di lingkungan manapun di muka bumi ini, maka akan ditemukan makhluk hidup.
Semua makhluk hidup berinteraksi atau berhubungan erat dengan lingkungan
tempat hidupnya. Lingkungan hidup meliputi komponen biotik dan komponen
abiotik. Komponen biotik meliputi berbagai jenis makhluk hidup mulai yang
bersel satu (uni seluler) sampai makhluk hidup bersel banyak (multi seluler) yang
dapat dilihat langsung oleh kita. Komponen abiotik meliputi iklim, cahaya,
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta II - 29
LAPORAN AKHIR
batuan, air, tanah, dan kelembaban, ini semua disebut faktor fisik. Selain faktor
fisik, ada faktor kimia, seperti salinitas (kadar garam), tingkat keasaman, dan
kandungan mineral.
Salah satu komunitas ekosistem yang ada di DKI Jakarta dan bermanfaat dalam
menjaga kelangsungan hidup manusia adalah adanya komunitas mangrove yang
merupakan ekosistem hutan yang khas dan unik yang berpotensi sebagai
perlindungan terhadap wilayah pesisir dan pantai dari ancaman sedimentasi,
abrasi dan intrusi air laut. Erosi di pantai Marunda yang tidak bermangrove
selama 2 bulan mencapai 2 meter, sedangkan yang bermangrove hanya 1 meter.
Selain itu hutan mangrove dapat dimanfaatkan pula sebagai wahana rekreasi
alam hutan wisata payau.
Keanekaragaman Spesies
Mangrove juga memiliki fungsi ekologis sebagai habitat berbagai jenis satwa liar.
Keanekaragaman fauna di hutan mangrove cukup tinggi, secara garis besar
dapat dibagi dua kelompok, yaitu fauna akuatik seperti ikan, udang, kerang, dan
lainnya serta kelompok terestrial seperti insekta, reptilia, amphibia, mamalia, dan
burung (Nirarita et al., 1996). Di Pulau Jawa tercatat 167 jenis burung dijumpai
di hutan mangrove, baik yang menetap maupun migran (Nirarita et al., 1996).
Kalong (Pteropus vampyrus), Monyet (Macaca fascicularis), Lutung (Presbytis
cristatus), Bekantan (Nasalis larvatus), kucing Bakau (Felis viverrina), Luwak
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta II - 30
LAPORAN AKHIR
Jenis tumbuhan yang terdapat di DKI Jakarta cukup bervariasi mulai dari jenis
tumbuhan pantai sampai dengan jenis tumbuhan dataran/pegunungan dan
palawija. Akan tetapi sampai dengan tahun 2010 ini belum dapat diketahui
jumlah seluruh jenis tumbuhan yang ada di DKI Jakarta, hanya jenis tumbuhan
pantai khususnya yang ada di kepulauan Seribu yang sudah terdeteksi yaitu ada
sekitar 86 jenis. Untuk jenis tumbuhan pantai umumnya didominasi oleh jenis
pohon Kelapa, Cemara laut, Ketapang, Rutun, Mengkudu dan Pandan laut.
Disamping itu di beberapa pulau di Kepulauan Seribu banyak ditemukan Sukun.
Dari gambaran tersebut diatas bahwa keanekaragaman hayati baik flora dan
fauna banyak terdapat di wilayah tersebut.
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta II - 31
LAPORAN AKHIR
2.6.1. Umum
Perubahan tata guna lahan juga dapat menjadi penyebab pencemaran air
tanah. Air hujan yang seharusnya masuk ke dalam tanah untuk menambah
kuantitas air tanah dapat menyebabkab menurunnya konsentrasi pencemar
tidak dapat diserap oleh tanah karena sudah tertutup oleh pelapisan dan
fungsi lainnya.
Selain kuantitas air yang menurun masuk ke dalam tanah, kualitas air tanah
yang dikonsumsi warga juga semakin buruk. Hasil klasifikasi Indeks
Pencemaran (IP) di 48 sumur yang tersebar di lima wilayah menunjukkan 27
sumur tercatat cemar berat dan cemar sedang dan 21 sumur lainnya
terindikasi cemar ringan dan dalam kondisi baik.
Wilayah yang mempunyai kualitas air tanah paling buruk adalah Jakarta
Utara. Tujuh dari delapan sumur yang dipantau di wilayah ini masuk kategori
cemar berat dan sedang. Pada umumnya wilayah ini digunakan untuk
pemukiman kawasan industri dan permukiman padat. Adapun wilayah yang
kualitas airnya masih cukup baik adalah Jakarta Selatan.
B. Geologi
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta II - 32
LAPORAN AKHIR
C. Udara
Pencemaran udara merupakan salah satu masalah besar yang dihadapi oleh
DKI Jakarta. Pada penelitian ini dipelajari zat-zat polutan yang terdapat
dikawasan pemukiman, industri dan komcrsil serta kesesuaian tata guna
lahan berdasarkan konsentrasi udara ambien dan unsur-unsur meteorologis
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta II - 33
LAPORAN AKHIR
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta II - 34
LAPORAN AKHIR
Orang Tionghoa telah hadir di Jakarta sejak abad ke-17. Mereka biasa
tinggal mengelompok di daerah-daerah pemukiman yang dikenal dengan
istilah Pecinan. Pecinan atau Kampung Cina dapat dijumpai di Glodok,
Pinangsia, dan Jatinegara, selain perumahan-perumahan baru di wilayah
Kelapa Gading, Pluit, dan Sunter. Orang Tionghoa banyak yang berprofesi
sebagai pengusaha atau pedagang. Disamping etnis Tionghoa, etnis
Minangkabau juga banyak yang berdagang, di antaranya perdagangan grosir
dan eceran di pasar-pasar tradisional kota Jakarta. Masyarakat dari
Indonesia Timur, terutama etnis Bugis, Makassar, dan Ambon, terkonsentrasi
di wilayah Tanjung Priok. Di wilayah ini pula, masih banyak terdapat
masyarakat keturunan Portugis, serta orang-orang yang berasal dari Luzon,
Filipina.
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta II - 35
LAPORAN AKHIR
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta II - 36
LAPORAN AKHIR
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta II - 37
LAPORAN AKHIR
Hutan Kota adalah suatu areal yang ditumbuhi pohon-pohon dalam wilayah
perkotaan pada tanah negara atau tanah hak masyarakat dan dapat
berfungsi sebagai pembentuk iklim mikro baik didalam maupun diluar
lingkungan sekitarnya, mengatur tata air dan udara, sebagai habitat burung-
burung serta memiliki estetika dan ditetapkan oleh pejabat yang berwenang
sebagai hutan kota dengan luas minimal 0,25 Ha.
Menurut PP No. 63 tahun 2002 Hutan Kota adalah suatu hamparan lahan
yang bertumbuhan pohon-pohon yang kompak dan rapat di dalam wilayah
perkotaan baik pada tanah negara maupun tanah hak, yang ditetapkan
sebagai Hutan Kota oleh pejabat yang berwenang dengan tujuan untuk
kelestarian, keserasian dan keseimbangan ekosistem perkotaan yang
meliputi unsur lingkungan, sosial dan budaya. Hutan Kota memiliki fungsi
sebagai berikut :
Dapat dijadikan obyek penelitian, kawasan konservasi, tempat
pariwisata ataupun sebagai salah satu ruang aktivitas publik bagi
masyarakat kota
Pelestarian Plasma Nutfah
Penahan dan Penyaring Partikel Padat dari Udara, Timbal, Debu Semen,
Karbon-monoksida
sebagai penyerap zat yang berbahaya yang mungkin terkandung dalam
sampah seperti logam berat, pestisida serta bahan beracun dan
berbahaya lainnya
Penghasil Oksigen
Peredam Kebisingan
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta II - 38
LAPORAN AKHIR
F. Air Permukaan
Seperti sudah diuraikan dan rekapiltulasi pada Sub Bab E.5.1, tentang
inventarisasi Air Permukaan, bahwa hampir semua badan air (Air
Permukaan: Sungai, Kali, Waduk, Situ, dan lain-lain) di DKI Jakarta sudah
mengalami pencemaran dari yang berat sampai ringan. Selain itu, dari
berbagai macam literatur yang ada, dan juga dari Inventarisasi data yang
didapat dari BPLHD DKI Jakarta ( seperti sudah diuraikan pada Bab IV) ,
beberapa tahun belakangan ini pencemaran air baku, baik air tanah maupun
air permukaan semakin meningkat. Pencemaran tersebut disebabkan
masuknya air limbah domestik maupun industri, dan sampah akibat
penanganan sanitasi yang tidak baik. Disadari, saat ini permukaan yang
dapat dijadikan sebagai air baku sudah semakin langka. Fenomena tersebut
melatarbelakangi ditetapkannya tahun 2008 oleh PBB sebagai Tahun Sanitasi
Internasional dalam rangka Hari Air Dunia 2008.
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta II - 39
LAPORAN AKHIR
G. Air Tanah
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta II - 40
LAPORAN AKHIR
H. Keanekaragaman Hayati
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta II - 41
LAPORAN AKHIR
Dengan kondisi air seperti ini maka mutunya menjadi tidak layak untuk di
minum. Akar penyebabnya adalah pengelolaan limbah yang salah. Kesalahan
itu tidak hanya dilakukan oleh masyarakat pesisir pantai yang masih
tradisional, tapi juga oleh fasilitas pariwisata yang sudah dikelola dengan
cara modern. Banyak hotel, tempat penginapan, cottage modern, namun
tetap tradisional dalam pengelolaan limbah.
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta II - 42
LAPORAN AKHIR
BAB III
METODOLOGI
BAB III
METODOLOGI
3.1. Umum
Di dalam bab ini akan diuraikan secara rinci mengenai konsep dasar dan
metodologi dalam mempersiapkan, melaksanakan dan menyelesaikan penugasan
pekerjaan Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup Tahap II (RPPLH Tahap II) DKI Jakarta.
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta III - 1
LAPORAN AKHIR
Ada beberapa metoda untuk menentukan batas ekoregion, antara lain yang
dikutip dari Robert G Bailey (2009) disini adalah sebagai berikut:
a. Metoda Gestalt
Metoda ini bertolak dari penelisikan secara menyeluruh, tidak per bagian
atau per unsur, terhadap seluruh wilayah. Metoda gestalt menarik batas
secara intuitif berdasarkan tangkapan visual dari lapangan, potret udara
atau citra satelit. Metoda ini tidak mempertimbangkan faktor misalnya
lereng, karakter tanah dan batuan, DAS dan iklim secara sendiri-sendiri,
tetapi apa yang tertangkap secara visual sekaligus. Metoda ini tentu lebih
cepat tetapi memerlukan wawasan dan keahlian yang mencukupi untuk
bisa menentukan ekoregion berbasis intuisi.
Untuk suatu kondisi alam yang rumit tumpang letak tidak bisa
membuahkan klasifikasi yang jelas. Karena batas ekoregion juga tidak bisa
ditentukan dari begitu banyak peta tematik oleh karena itu karena itu
muncul pemikiran untuk memilih faktor kendali (controlling factors). Ini
yang juga disebut deliniator. Deliniator tersebut antara lain: sebaran flora
fauna, karakter tanah (tanah, soil), daerah aliran sungai, fisiografi. Faktor
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta III - 2
LAPORAN AKHIR
Penentuan bentang alam sebagai deliniator utama untuk batas ekoregion ini
didasarkan pada pertimbangan bahwa karakteristik bentang alam dan iklim akan
terkait erat dengan tipe tanah, karakter flora fauna, potensi SDA bahkan
terhadap pola kehidupan manusia dalam memanfaatkan suatu wilayah. Namun
parameter yang sifatnya statis dapat digunakan sebagai deminiasi sepangjang
datanya tersedia. Oleh karena itu ketersediaan kelengkapan data menjadi
pertimbangan dalam penentuan parameter yang digunakan dalam delineasi.
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta III - 3
LAPORAN AKHIR
(ii) Bentanglahan ialah sebagian ruang permukaan bumi yang terdiri atas
sistem-sistem, yang dibentuk oleh interaksi dan interdepen-densi antara
bentuklahan, batuan, bahan pelapukan batuan, tanah, air, udara,
tetumbuhan, hewan, laut tepi pantai, energi dan manusia dengan segala
aktivitasnya yang secara keseluruhan membentuk satu kesatuan
(Surastopo, 1982).
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta III - 4
LAPORAN AKHIR
Gambar 3.1.
Kerangka Dasar Penyusunan Peta Ekoregion Provinsi
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta III - 5
LAPORAN AKHIR
Peta tersebut telah ditumpang letakkan dengan yang dalam kajian tersebut
sebagai kawasan ekologi. Peta tersebut akan diperiksa serta dipelajari
kembali dan apabila diperlukan dilakukan penyempurnaan.
Peta tematik yang akan ditambahkan adalah peta tutupan lahan dan peta
sebaran serta kepadatan penduduk, yang telah disiapkan dalam rangka
penyusunan rencana tata ruang. Dari peta tutupan lahan ditafsirkan
penggunaan lahan dan dengan memperhatikan sebaran serta kepadatan
penduduk akan ditelaah kekuatan yang menekan lingkungan alam DKI
Jakarta.
Pada bulan Juni 2011, telah ditanda tangan peta ekoregion nasional
berskala 1:1.000.000 yang tampaknya akan digunakan sebagai peta dasar
penetapan ekoregion selanjutnya. Pendekatan dan dasar penetepan
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta III - 6
LAPORAN AKHIR
ekoregion tingkat nasional tersebut tidak berbeda dengan apa yang akan
dikembangkan di DKI Jakarta, tetapi peristilahan yang digunakannya
berbeda. Juga oleh karena skala yang digunakannya berbeda bisa jadi
deliniasi kawasan ekoregion Nasonal tidak persis sama dengan apa yang
telah dibuat untuk DKI Jakarta.
Kajian ini merupakan identifikasi dan deskripsi data spasial, karena itu peta
tematik merupakan bahan pokok untuk mengidentifikasi potensi dan
masalah. Walaupun demikian peta saja tentu tidak cukupi karena dinamika
dan besaran (magnitude) tidak mudah tidak mudah dipetakan. Peta sangat
penting untuk menunjuk masalah dan potensi dimana, tetapi tidak cukup
untuk menjelaskan pertanyaan apa dan mengapa. Oleh karena itu data
statistik, identifikasi dan deskripsi data numerik atau informasi yang berupa
uraian tetap diperlukan.
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta III - 7
LAPORAN AKHIR
Jasa pengaturan yang ditelaah disini adalah jasa yang sifatnya alami dan
diutamakan pada jasa pengaturan daur hidrologi yaitu tata air permukaan
maupun air tanah dalam. Jasa pengaturan daur carbon, daur nitrogen
belum dapat dilakukan karena belum tersedianya informasi dan
pengetahuan yang cukup tentang hal tersebut.
Produksi ekodistrik yang dimaksud adalah produksi oleh sistem alami dan
bukan produksi oleh buatan manusia. Karena produksi buatan manusia
tidak berkaitan dengan ekoregion seperti yang dimaksud dengan kajian ini.
Sumberdaya panas bumi, migas, mineral dan batu bara termasuk dalam
sumberdaya alam yang dimaksud sebagai produk ekoregion.
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta III - 8
LAPORAN AKHIR
Dalam menyusun deskripsi dari peta ekoregion yang telah disusun, maka
parameter yang sifatnya dinamis telah ditetapkan sebagai atribut yang akan
memberikan deksripsi dari Peta Ekoregion. Data atribut yang disajikan mencakup
data atau informasi tentang karakteristik ekoregion yang sifatnya untuk
memperjelas atau yang tidak dapat ditampilkan pada peta cetak karena alasan
faktor kartografis.
Ruang lingkup data atribut ekoregion disesuaikan dengan amanat dari UU No.
32/2009 tersebut, maka parameter deliniasi yang sesuai dengan pasal 7 ayat
(2),: (a) daerah aliran sungai, (b) iklim, (c) flora dan fauna, (d) sosial budaya, (e)
ekonomi, (f) kelembagaan masyarakat, dan (g) hasil inventarisasi lingkungan
hidup.
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta III - 9
LAPORAN AKHIR
Tabel 3.3.
Format Tabel Deskripsi Ekoregion Berdasarkan Karaketristiknya
Krakteristik Ekoregion
Paramater
Lokasi dan Luas Area
Klimatologi
Geologi
Geomorfologi
Hidrologi
Tanah dan Penggunaan Lahan
Hayati (Flora-Fauna)
Kultural (Sosial-Budaya)
Kerawanan Lingkungan
Potensi dan ketersediaan SDA
Jenis pemanfaatan SDA
Bentuk penguasaan SDA
Bentuk kerusakan
Konflik dan penyebab konflik yang
timbul akibat pengelolaan SDA
Jasa ekosistem Penyediaan
Pengaturan
Budaya
Pendukung
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta III - 10
LAPORAN AKHIR
1. Peta Sistem Lahan (Land System) wilayah DKI Jakarta skala 1:25.000
2. Peta Rupabumi Indonesia (RBI) skala 1:25.000 BAKOSURTANAL.
3. Peta Iklim dari BMKG tahun 2013
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta III - 11
LAPORAN AKHIR
Untuk pengisian data atribut menggunakan template struktur basisdata yang ada
pada perangkat lunak SIG. Data atribut yang disajikan mencakup data atau
informasi tentang karakteristik ekonusa yang sifatnya untuk memperjelas atau
yang tidak dapat ditampilkan pada peta cetak karena alasan faktor kartografis.
Ruang lingkup data atribut ekonusa tersebut disesuaikan dengan substansi UU
No. 32/2009. Pasal 6 ayat (2) yang menyatakan bahwa inventarisasi lingkungan
hidup dilakukan untuk memperoleh data dan informasi mengenai sumberdaya
alam, yang meliputi aspekaspek: (a) potensi dan ketersediaan; (b) jenis
pemanfaatan; (c) bentuk penguasaan; (d) pengetahuan pengelolaan; (e) bentuk
kerusakan; dan (d) konflik dan penyebab konflik yang timbul akibat pengelolaan.
Selanjutnya pada Pasal 7 ayat (2) menyatakan bahwa penetapan wilayah
ekoregion dilaksanakan dengan mempertimbangkan kesamaan: (a) karakteristik
bentang alam, (b) daerah aliran sungai, (c) iklim, (d) flora dan fauna, (e) sosial
budaya, (f) ekonomi, (g) kelembagaan masyarakat, dan (h) hasil inventarisasi
lingkungan hidup.
Peta skala 1 : 250.000, dengan menggunakan perangkat lunak ArcGis versi 10.1.
Dalam penyajian peta ekonusa tersebut disajikan unsur unsur rupa bumi seperti
perhubungan, perairan, batas administrasi dan toponimi (namanama geografi).
Teknik penyajian peta menggunakan pewarnaan standar morfogenesa dari ITC
yang dipadukan dengan gradasi warna sesuai dengan morfologinya. Penyajian
tersebut menggunakan latar belakang data DTM yang digenerate dari garis
kontur dan titik tinggi pada peta RBI.
Dokumen ini merupakan rekomendasi untuk RPPLH DKI Jakarta. Menurut UU No.
32/2009 penyusunan RPPLH memang harus mengacu pada RPPLH Nasional yang
belum diketahui kapan akan tersedia. Selain itu menurut UU No. 32/2009 itu pula
RPPLH merupakan rencana induk karena harus memuat rencana tentang:
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta III - 12
LAPORAN AKHIR
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta III - 13
LAPORAN AKHIR
BAB IV
SURVEY DAN PEMETAAN EKOREGION
JAKARTA
BAB IV
SURVEY DAN PEMETAAN
EKOREGION JAKARTA
Bentanglahan adalah suatu bagian ruangan di permukaan bumi yang terdiri atas
suatu sistem yang komplek yang terbentuk oleh pengaruh timbal balik antara
batuan, air, tumbuhan, binatang dan manusia serta dari bentuk fisiognominya
membentuk suatu kesatuan yang mudah dibedakan.
Jika diperinci lebih lanjut, seperti yang diungkapkan Tuttle (1975), bahwa
bentanglahan merupakan kombinasi atau gabungan dari bentuklahan (landform).
Mengacu pada definisi tersebut, maka dapat dimengerti bahwa bentuklahan
merupakan unit analisis terkecil yang dipakai untuk inventarisasi dan analisis
karakteristik bentanglahan. Oleh karena itu, untuk menganalisis dan
mengklasifikasikan bentanglahan selalu mendasarkan pada kerangka kerja
bentuklahan (landform).
Tabel 4.1
Koordinat Survey Bentanglahan Ekoregion Dki Jakarta
Koordinat
No Bentanglahan Keterangan
X Y
1 Dataran Banjir 106O 51 34.30 6O 15 10.13 Meander S. Ciliwung,
Tanjungsanyang,
Kramatjati -Jaktim
O O
106 51 50.71 6 13 50.14 Meander S. Ciliwung,
Sensus, Pancoran
Jaktim
BAB - V
WILAYAH EKOREGION DKI JAKARTA
BAB V
WILAYAH EKOREGION
DKI JAKARTA
Menurut para ahli dan juga apa yang telah diparaktekkan di Amerika, Australia,
Cina serta berbagai lembaga internasional seperti IUCN, WWF dan juga UNESCO,
deliniator pada tingkat global adalah iklim. Walaupun iklim tersebut
diidentikasikan dari flora dan fauna. Berdasarkan iklim inilah diklasifikasikan
kontinen ekoregion yang disebut dengan istilah: polar domain, temperate
domain, dry domain, humaid tropical domain.1
Sampai sistem makro, seperti misalnya yang meliput seluruh wilayah Amerika
Utara (Amerika Serikat dan Kanada) klasifikasikan masih didasarkan pada iklim.
Tingkat makro ini dipresentasikan dengan peta paling detail berskala 1:3.000.000
dengan satuan wilayah sekurang-kurangnya 100.000 km2 atau sebesar pulau
Jawa.
Pada sistem meso yang dipresentasikan dengan peta paling detail berskala 1:
250.000 deliniatornya adalah bentuk permukaan tanah yang juga disebut dengan
landscape mozaik. Di Amerika Serikat ini dikategorikan sebagai level (paras) 4
yang meliputi negara bagian. Satuan wilayahnya sekitar 1000 km2. Lebih detail
dari sistem meso yang dipresentasikan dengan berskala 1:100.00 atau lebih
detail disebut dengan ekosistem, Luas satuannya sekitar 10 km2.
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II V-1
LAPORAN AKHIR
pemetaan diintegrasikan dengan peta iklim (isohiyet dan curah hujan tahunan)
dan tipe vegetasi.
1
Robert G Bailey (2009), Ecosystem Geography: From ecoregions to sites, Springer
Apabila digunakan sistem makro, jelas bahwa seluruh wilayah DKI Jakarta dapat
disebut ekoregion tropika basah, tanpa ada pembagian lain. Karena itu
identifikasi dan penetapan ekoregion DKI Jakarta sekurang-kurangnya harus
ditinjau dari sistem meso.
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II V-2
LAPORAN AKHIR
Secara garis besar aliran sungai di DKI Jakarta mengalir ke pantai utara. Daerah
aliran sungai tersebut meliputi kawasan fisografi yang memberikan ciri
ketersediaan air, sifat aliran, sedimen yang diangkut dan juga pemanfaatannya.
Nama sungai terus dibawa karena tujuannya adalah untuk menyusun RPPLH
terfokus pada air permukaan.
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II V-3
LAPORAN AKHIR
Tabel 5.1
Jenis dan Luas Wilayah Ekoregion Dataran Pasang Surut Berlumpur Jakarta
Luas
No Kode Wilayah Ekoregion
(Ha)
Dataran Pasang Surut Berlumpur, Typic Endoaquepts,
Secara umum di Dataran Pasang Surut Berlumpur Jakarta tersusun atas material
aluvium lempungan, dengan beberapa lokasi tersusun atas endapan pematang
pantai, seperti di pantai timur Jakarta Utara. Topografi berupa dataran, dengan
morfologi atau relief datar, dan kemiringan lereng secara umum 0-2%, pada
beberapa lokasi agak miring (2-8%).
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II V-4
LAPORAN AKHIR
deposition coast). Ciri dari proses ini adalah pola saluran sungai yang berkelok-
kelok (meandering) dan dibagian muara sungai dapat membentuk cabang-
cabang lagi, yang disebut berpola creak.
Pada Dataran Pasang Surut Berlumpur Jakarta tanah kurang berkembang dengan
potensi topografi dapat dikembangkan sebagai kawasan wisata alam. Secara
umum keanekaragaman hayati di kawasan ini berupa Ekosistem Hutan
Mangrove, ikan, ular, kera ekor panjang, dan burung, sementara di pansela
keanekaragaman hayati umumnya berupa ekosistem Lahan Kering Pesisir,
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II V-5
LAPORAN AKHIR
Kawasan ekoregion ini terdiri dari kawasan mangrove, nipah dan jenis bakau
lainnya. Hutan mangrove adalah hutan yang tumbuh di atas rawa-rawa berair
payau yang terletak pada garis pantai dan dipengaruhi oleh pasang-surut air laut.
Hutan ini tumbuh khususnya di tempat-tempat di mana terjadi pelumpuran dan
akumulasi bahan organik. Baik di teluk-teluk yang terlindung dari gempuran
ombak, maupun di sekitar muara sungai di mana air melambat dan
mengendapkan lumpur yang dibawanya dari hulu.
Ekosistem hutan bakau bersifat khas, baik karena adanya pelumpuran yang
mengakibatkan kurangnya aerasi tanah; salinitas tanahnya yang tinggi; serta
mengalami daur penggenangan oleh pasang-surut air laut. Hanya sedikit jenis
tumbuhan yang bertahan hidup di tempat semacam ini, dan jenis-jenis ini
kebanyakan bersifat khas hutan bakau karena telah melewati proses adaptasi
dan evolusi.
Bagian luar juga mengalami genangan air pasang yang paling lama dibandingkan
bagian yang lainnya; bahkan kadang-kadang terus menerus terendam. Pada
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II V-6
LAPORAN AKHIR
pihak lain, bagian-bagian di pedalaman hutan mungkin hanya terendam air laut
manakala terjadi pasang tertinggi sekali dua kali dalam sebulan. Menghadapi
variasi-variasi kondisi lingkungan seperti ini, secara alami terbentuk zonasi
vegetasi mangrove; yang biasanya berlapis-lapis mulai dari bagian terluar yang
terpapar gelombang laut, hingga ke pedalaman yang relatif
kering.
Di bagian lebih ke dalam, yang masih tergenang pasang tinggi, biasa ditemui
campuran bakau R. mucronata dengan jenis-jenis kendeka (Bruguiera spp.),
kaboa (Aegiceras corniculata) dan lain-lain. Sedangkan di dekat tepi sungai, yang
lebih tawar airnya, biasa ditemui nipah (Nypa fruticans), pidada (Sonneratia
caseolaris) dan bintaro (Cerbera spp.).
Pada bagian yang lebih kering didapatkan nirih (Xylocarpus spp.), teruntum
(Lumnitzera racemosa), dungun (Heritiera littoralis) dan kayu buta-buta
(Excoecaria agallocha).
Daerah hilir (low land) berupa dataran dengan material lempung dan sedimentasi
yang intensif, dapat menyebabkan banjir musiman dan genangan.
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II V-7
LAPORAN AKHIR
Sifat material lempung yang lain adalah daya kembang-kerut (shear strenght)
yang tinggi, yang menyebabkan lembek saat penghujan, sehingga mudah
mengalami rayapan (soil creep); sedangkan saat kemarau menjadi kering mutlak
dan retak-retak, sehingga bangunan rumah, jalan, jembatan, dan sejenisnya
cepat rusak dan hancur.
Secara spesifik pada daerah rataan lumpur dan delta, sering terjadi alih fungsi
lahan hutan mangrove menjadi tambak atau bentuk budidaya lainnya, konflik
kepemilikan lahan pada tanah-tanah timbul atau bentukan-bentukan lahan baru.
Wilayah ekoregion ini dulunya merupakan kawasan hutan bakau, sekarang
merupakan daerah yang berkembang pesat sebagai kawasan permukiman dan
industri.
Material pasir marin yang bersifat lepas, mempunyai pori-pori yang besar-besar,
sangat memungkinkan untuk diterobos air laut apabila penurapan air tanah di
wilayah pesisir dan marinnya melebihi kemampuan daya simpan akuifernya,
sehingga dapat menyebabkan intrusi air laut.
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II V-8
LAPORAN AKHIR
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II V-9
LAPORAN AKHIR
Tabel 5.2
Jenis dan Luas Wilayah Ekoregion Dataran Beting Gisik dan Lembah Antar Gisik
Jakarta
Luas
No Kode Wilayah Ekoregion
(Ha)
Dataran Beting Gisik, Typic Epiaquepts, Curah Hujan 1.750
Kawasan ekoregion Dataran Beting Gisik dan Lembah Antar Gisik Jakarta
tersusun atas material aluvium lempungan, dengan beberapa lokasi tersusun
atas endapan liat dan pasir. Topografi berupa punggung/ beting gisik (beach
ridge) dan cekungan/ lembah Gisik (swale) pesisir subresen, dengan morfologi
relief datar, dan kemiringan lereng secara umum 0-3%, pada beberapa lokasi
agak miring (3-8%).
Pada Dataran Beting Gisik dan lembah Antar Gisik Jakarta, terbentuk oleh proses
pengendapan marin (gelombang) yang berkerja sama dengan aliran sungai
(fluvial) yang bermuara ke laut, sehingga dapat disebut sebagai pesisir yang
terbentuk akibat pengendapan material daratan oleh sungai (sub aerial
deposition coast). Ciri dari proses ini adalah pola saluran sungai yang berkelok-
kelok (meandering) dan dibagian muara sungai dapat membentuk cabang-
cabang lagi, yang disebut berpola creak.
Di Dataran Beting Gisik dan Lembah Antar Gisik Jakarta, kondisi hidrologi
dikontrol oleh aliran sungai-sungai dengan debit aliran dan beban sedimen yang
tinggi, khususnya pada musim penghujan, dan kondisi air tanah pada umumnya
berasa payau hingga asin, yang hampir merata diseluruh satuan Dataran yang
berlumpur (endapan aluvium). Kondisi hidrologi seperti ini merupakan faktor
penyebab bahaya banjir fluvial (saat musim hujan) dan banjir rob (saat musim
kemarau).
Tanah dan penggunaan lahan di Dataran Beting Gisik dan Lembah Antar Gisik
Jakarta, dengan material penyusun berupa bahan aluvium lempungan, pada
umumnya membentuk tanah-tanah berbahan induk endapan liat dan endapan liat
dan pasir. Pemanfaatan lahan secara umum berupa pertanian, perikanan tambak,
hutan mangrove, permukiman (kota), dan industri.
Pada Dataran Beting Gisik dan lembah Antar Gisik Jakarta tanah kurang
berkembang dengan potensi topografi dapat dikembangkan sebagai kawasan
wisata alam. Secara umum keanekaragaman hayati di kawasan ini berupa ikan,
Ekoregion Dataran Beting Gisik dan lembah Antar Gisik Jakarta memiliki
kerawanan lingkungan relatif rentan terhadap pencemaran perairan sungai akibat
limbah domestik (perkotaan) dan industri. Daerah hilir (low land) berupa
dataran dengan material lempung dan sedimentasi yang intensif, dapat
menyebabkan banjir musiman dan genangan.
Sifat material lempung yang lain adalah daya kembang-kerut (shear strenght)
yang tinggi, yang menyebabkan lembek saat penghujan, sehingga mudah
mengalami rayapan (soil creep); sedangkan saat kemarau menjadi kering mutlak
dan retak-retak, sehingga bangunan rumah, jalan, jembatan, dan sejenisnya
cepat rusak dan hancur.
Secara spesifik pada daerah rataan lumpur dan delta, sering terjadi alih fungsi
lahan hutan mangrove menjadi tambak atau bentuk budidaya lainnya, konflik
kepemilikan lahan pada tanah-tanah timbul atau bentukan-bentukan lahan baru.
Material pasir marin yang bersifat lepas, mempunyai pori-pori yang besar-besar,
sangat memungkinkan untuk diterobos air laut apabila penurapan air tanah di
wilayah pesisir dan marinnya melebihi kemampuan daya simpan akuifernya,
sehingga dapat menyebabkan intrusi air laut.
Tabel 5.3.
Jenis dan Luas Wilayah Ekoregion Dataran Fluviomarin Jakarta
Luas
No Kode Wilayah Ekoregion
(Ha)
Dataran Fluviomarin, Typic Epiaquepts, Curah Hujan 1.750
Topografi berupa dataran, dengan morfologi atau relief datar, dan kemiringan
lereng secara umum 03%, pada beberapa lokasi berombak hingga
bergelombang (38%).
Ekoregion ini terbentuk oleh proses pengendapan fluvial (aliran sungai). Kondisi
hidrologi satuan ini dibangun oleh material aluvium yang mampu membentuk
akuifer yang potensial, dengan dukungan morfologi yang datar, maka
Tabel 5.4.
Jenis dan Luas Wilayah Ekoregion Dataran Banjir Jakarta
Luas
No Kode Wilayah Ekoregion
(Ha)
Dataran Banjir, Typic Dystrudepts, Curah Hujan 2.000 -
Tuf halus, kelabu muda, berlapis tipis, pejal, merupakan bagian bawah dari
satuan ini; tebal yang tersingkap +/- 2 m. Sebagian lapisannya memperlihatkan
perairan sejajar. Tuf konglomeratan, putih kekuningan, kemas terbuka,
pemilahan buruk, membundar tangung-membundar sempurna, berbutir 1-3 cm,
tersusun oleh andesit dan kuarsa, matrik tuf halus, tebal 1,5 m. Tuf pasiran,
kelabu muda, pemilahan buruk, berbutir halus-kasar, membundar tanggung-
membundar, bersusun andesitan, berselang-seling dengan tuf konglomeratan.
Tuf batupaung, kuning kecoklatan, kemerahan, mengandung konkreksi besi (2-3
cm) dan fragmen batuapung, membundar tanggung sampai membundar, garis
tengah 3-5 cm dan kerikil kuarsa yang bundar, menindih langsung tuf
konglomeratan. Tebal +/- 3 m. Satuan ini membentuk morfologi kipas dengan
pola aliran dischotomic. Pengendapannya diduga pada lingkungan darat,
bahkan pembentuknya berasal dari batuan gunung api muda di Dataran Tinggi
Bogor. Umur satuan ini diduga plistosen Akhir atau lebih muda. Tebal satuan ini
diduga +/- 300 m. Satuan ini terlampar sangat luas, dari selatan ke utara; di
selatan, membentuk Aluvium; sedangkan di utara merupakan Satuan
Konglomerat dan batuapasir tufan.
Tabel 5.5.
Jenis dan Luas Wilayah Ekoregion Dataran Rawa Jakarta
Luas
No Kode Wilayah Ekoregion
(Ha)
Dataran Rawa, Typic Endoaquepts, Curah Hujan 1.750 -
Topografi berupa dataran, dengan morfologi atau relief datar, dan kemiringan
lereng secara umum 03%, pada beberapa lokasi berombak hingga
bergelombang (38%).
Gambar 5.5. Alih fungsi Lahan Dataran Rawa di Cilincing Jakarta Utara
Ekoregion ini terbentuk oleh proses pengendapan fluvial (aliran sungai). Kondisi
hidrologi satuan ini dibangun oleh material aluvium yang mampu membentuk
akuifer yang potensial, dengan dukungan morfologi yang datar, maka
menyebabkan cadangan atau ketersediaan air tanah dangkal sangat potensial,
sehingga membentuk resevoir air tanah atau cekungan hidrogeologi.
Kawasan ini tersebar di selatan DKI Jakarta. Luas total satuan ini mencapai
298,25 Km2. Kondisi iklim relatif basah dengan curah hujan sedang hingga tinggi
yang berkisar antara 2.000 2.500 mm/tahun, yang merata di seluruh satuan
ekoregion ini.
Tabel 5.6.
Jenis dan Luas Wilayah Ekoregion Dataran Vulkanik Jakarta
Luas
No Kode Wilayah Ekoregion
(Ha)
Dataran Bergelombang, Typic Dystrudepts, Curah Hujan
Luas
No Kode Wilayah Ekoregion
(Ha)
Dataran Agak Bergelombang, Typic Dystrudept, Curah
Luas
No Kode Wilayah Ekoregion
(Ha)
Dataran Sangat Landai, Typic Dystrudept, Curah Hujan
Topografi berupa dataran, dengan morfologi atau relief datar hingga landai, dan
kemiringan lereng secara umum 0-3%, berombak (3-8%), hingga
bergelombang (8-15%). Ekoregion ini terbentuk sebagai hasil proses erupsi
(letusan) gunung berapi yang penyebarannya dibantu oleh proses aliran sungai
(fluvial), yang membentuk struktur berlapis horisontal dan tersortasi baik
(lapisan tebal dengan material kasar di bagian bawah, dan semakin ke atas
semakin halus).
jenis tanah Kipas Aluvial (Dystrudepts). Tanah ini merupakan tanah yang
subur dengan kandungan hara tinggi, solum tebal, dengan tekstur pasir
bergeluh hingga geluh berpasir, struktur remah hingga pejal, dan mampu
meresapkan air hujan sebagai imbuh air tanah dengan baik. Tanah Aluvial
mempunyai warna hitam yang lebih muda. Tanah ini potensial untuk
pengembangan lahan lahan pertanian tanaman semusim dengan irigasi intensif.
Pemanfaatan lahan secara umum berupa lahan sawah yang biasanya dirotasi
dengan tanaman palawija.
Flora dominan berupa tanaman budidaya perkebunan, tanaman semusim
(pertanian), dan kebun campur (tanaman pekarangan), dengan fauna katak,
ikan air tawar, reptilia, burung, dan hewan hewan domestik.
Kedua dengan berbasis ekoregion menjadi jelas juga dasar koordinasi dan
kerjasama antar daerah dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan. Karena
ada kabupaten kota yang mempunyai tanggung jawab bersama atas suatu
ekoregion Secara umum hal ini sesungguhnya juga sudah diketahui juga.
Persoalannya adalah bahwa ada nilai dan kepentingan yang berbeda antara
berbagai daerah yang meliputi ekoregion yang sama tersebut.
Dari tumpang letak tersebut tampak bahwa ada ekoregion yang dicakup oleh
satu wilayah administrasi saja dan ada yang dicakup oleh beberapa wilayah
administrasi kabupaten/kota. Tabel 5.7 menunjukkan kedudukan dan luas
ekoregion menurut wilayah kabupaten /kota per kecamatan.
PROVINSI DKI JAKARTA 2,402.76 40.64 2,100.07 1,741.25 303.46 167.93 1,489.76 80.14 1,175.86 772.33 968.86 130.39 4,246.81 1,924.16 11,505.01 1,272.08 856.22 757.91 2,026.82 200.64 388.90 981.63 92.18 213.28 780.37 492.03 2,494.08 48.42 1,228.48 621.63 4,575.31 61.99 1,194.13 259.05 5,940.20 167.63 1,948.43 515.79 9,295.72 202.11