MANAJEMEN DAS
MANAJEMEN DAS
Oleh
Tim Pengampu Matakuliah Manajemen DAS
5. Proses Perencanaan DAS Mikro Sebagai Basis Pengembangan Aksi Manajemen DAS
.................................................................................................................................. 55
6. Pemahaman Data Biofisik Dengan Pendekatan Spasial Sebagai Basis Manajemen DAS
.................................................................................................................................. 72
MATERI I
MATERI II
5. Issu Managemen di Sub DAS Sumber Brantas (Sumber : Bahan Bacaan Praktikum)
6. Proses Perencanaan DAS Mikro sebagai basis Pengembangan Aksi Managemen DAS (Sumber
: Bahan Bacaan dan Panduan Praktikum)
Fasilitator: Widianto, Iva Dwi Lestari, Aditya Nugraha P
MATERI III
MATERI IV
MATERI V
19. Presepsi dan Pengetahuan Stakeholders Terhadap Fungsi DAS (Sumber : Bahan Bacaan
Praktikum)
20. Sistem Alami DAS dan Valuasi Lingkungan (Sumber : Panduan Praktikum)
Fasilitator : Zaenal Kusuma, Rini Dwi Astuti, Suhartini, Istika Nita, Condro Puspo Nugroho.
Penyusun
Berikut ini akan diuraikan secara singkat tentang ketiga faktor tersebut.
Setiap tenaga pelaksana pengukuran debit dengan alat ukur arus harus mengetahui
kondisi hidrolis dari lokasi pengukuran, baik pada keadaan debit terkecil sampai
dengan debit terbesar, paling tidak pada keadaan debit kecil, karena pada debit kecil
keadaan alur sungainya dapat dengan jelas diketahui.
Berikut ini disajikan persyaratan lokasi pengukuran yang haik untuk tempat
pengukuran debit dengan alat ukur arus, persyaratan yang dimaksud antara lain :
1) mempunyai pola aliran yang seragam. dan mendekati jenis aliran sub kritik,
kecepatan alirannya tidak terIalu lambat atau terIalu cepat. Pengukuran yang
baik pada lokasi yang mempunyai kecepatan aliran mulai dari 0,20 m/det
sampai dengan 2,50 m/det;
2) tidak terkena pengaruh peninggian muka air dan aliran lahar;
3) kedalaman aliran pada penampang pengukuran harus cukup, kedalaman
aliran yang kurang dari 20 cm biasanya sulit diperoleh hasil yang baik.
4) aliran turbulen yang disebabkan oleh batu-batu, vegetasi, penyempitan lebar
alur sungai atau. karena sebab lainnya harus dihindarkan;
5) penampang pengukuran debit sebaiknya dekat pos duga air, diantara
penampang pengukuran debit dengan lokasi pos duga air tidak terjadi
penambahan/pengurangan debit;
6) penampang pengukuran debit/penampang melintang lokasi pos duga air
harus mampu melewatkan debit banjir;
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
7) dilakukan pada alur sungai yang stabil, dimaksudkan pada lokasi tersebut.
tidak terIalu banyak mengalami perubahan geometri oleh adanya proses
degradasi/agradasi;
8) lokasi pengukuran debit mudah didatangi, tidak tergantung dari keadaan
cuaca khususnya pada musim penghujan atau pada saat terjadi banjir;
9) adanya penampang kendali, dimaksudkan agar dapat berfungsi sebagai
lokasi pengukuran debit dan peninggi muka air yang baik, sehingga dapat
dilakukan pembacaan tinggi muka air untuk debit nol, dan
10) sesuai dengan perencanaan, lokasi pengukuran debit harus sesuai dengan
yang direncanakan, artinya sedapat mungkin dilakukan pada suatu
penampang palung sungai yang tetap.
Persyaratan-persyaratan tersebut pada umumnya sulit dijumpai pada suatu lokasi
alur sungai yang tetap dilapangan, walaupun demikian dapat. sebagai petunjuk
pemilihan lokasi pengukuran debit yang baik, minimal persyaratan nomor 1 sampai 5
harus dapat terpenuhi.
Peralatan yang digunakan harus dipelihara dengan baik agar dapat berfungsi sesuai
dengan spesifikasinya. Terutama alat ukur arus sebagai alat ukur kecepatan aliran,
karena merupakan alat yang utama dan harus dikalibrasi secara berkala.
Dalam melaksanakan pengukuran debit dengan alat ukur arus minimal diperlukan 3
orang, orang tersebut harus mempunyal pendidikan dan pengalaman yang cukup
tentang berbagai masalah yang berkaitan dengan pengoperasian pos duga air,
pengukuran debit, merawat peralatan pengukuran debit. Disamping itu juga orang
tersebut harus mempunyai rasa tanggung jawab yang tinggi, berdisiplin dan
mempunyai kesehatan yang cukup baik, bersedia melaksanakan pengukuran debit
banjir yang pada umumnya terjadi pada malam hari. Pada umumnya aliran banjir di
Indonesia membawa material yang hanyut yang dapat membahayakan bagi
keselamatan peralatan dan tenaga pelaksananya.
Dana untuk pengukuran debit harus selalu tersedia sesuai dengan kebutuhan yang
telah direncanakan. Dana kadang-kadang dapat menjadi faktor pembatas dalam
usaha memperoleh lengkung debit yang baik apabila dana tidak dapat tersedia
sesuai dengan kebutuhan untuk pengukuran debit dengan tepat waktu, terutama
untuk mengukur debit selama periode banjir.
Alat ukur kecepatan aliran yang biasa digunakan di Indonesia adalah alat ukur arus
jenis standar, disamping jenis pigmy. Penggunaan peralatan harus disesuaikan
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) 3
JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
dengan keadaan alur sungai yang akan diukur. Peralatan dan. perlengkapan
pengukuran debit pada sungai-sungai yang lebar dan dalam serta alirannya deras
seperti sungai Batang Hari di Jambi dan sungai Musi di Sumatera, Selatan akan
berbeda dengan pengukuran debit di sungai-sungai di Jawa, Sumatera Barat dan
Sulawesi. Demikian juga pengukuran debit pada sungai-sungai kecil dan dangkal
akan menggunakan peralatan dan perlengkapan yang berbeda pula.
v = aN + b
Keterangan :
v = kecepatan aliran (m/det)
a,b = konstanta yang biasanya telah ditentukan dari Pabriknya atau ditentukan
dari
kalibrasi setelah alat ukur arus digunakan sampai dengan periode waktu
tertentu.
N - jumlah putaran
Ada dua tipe alat ukur arus jenis standar, yaitu
1) alat ukur arus tipe canting dengan rotor berporos vertikal, dan
2) alat ukur arus tipe baling-baling dengan rotor berporos horizontal.
Masing-masing tipe alat ukur arus mempunyai keuntungan sendiri-sendiri apabila
digunakan. 'Untuk itu dalam memilih penggunaan masing-masing jenis alat ini harus
selalu mempertimbangkan keadaan fisik sungai yang akan diukur.
Gambar 1.1. SKETSA ALAT UKUR ARUS (a) TIPE CANTING DAN (b) TIPE
BALING-BALING
Alat ukur arus tipe canting mempunyai alat penggerak siIstim mangkok. Alat
ini mempunyai beberapa keuntungan, antara lain :
Alat ukur arus tipe baling-baling mempunyai alat penggerak sistim baling-
baling, adapun keuntungan tipe ini antara lain
1) rotor tidak terlalu mengganggu aliran;
2) pengairuh lumpur atau kotoran terhadap rotor kecil sekali, dan
3) gesekan bantalan poros lebih kecil karena momen gesekan dapat ditiadakan.
Batang Duga
Apabila pengukuran debit dilakukan dengan merawas maka pengukuran
kedalaman aliran dapat dilakukan dengan menggunakan batang duga. Batang duga
ini terdiri dari plat dasar batang bagian bawah, batang bagian tengah, batang bagian
atas dan penuqjuk arah. Untuk sungai yang kedalamannya kurang dari 3 meter
pengukuran kedalaman masih dapat menggunakan batang duga yang
pengukurannya dilaksanakan dengan menggunakan perahu. Batang duga selain
berfungsi untuk mengukur kedalaman juga berfungsi sebagai alat untuk memasang
alat ukur arus.
Alat Pemberat
Apabila sungai yang diukur mempunyai ke, alian lebih dari 3 meter maka
pengukuran kedalamap dengan kabel duga dan alat pemberat. Alat pemberat ini
dapat digantung dengan kabel duga pada perah-u, jembatan atau kabel' gantung
melintang (Cable Way). Alat pemberat dipasang dibawah, alat ukur arus supaya alat
ukur tidak mudah berubah posisinya dan tidak mudah terhempas oleh dasar sungai.
Alat pemberat yang umum digunakan adalah jenis C (Colombus). Berat
alat pemberat bermacam-macam ada yang 10 Kg, 25 Kg,'Il 50 Kg, atau 75 Kg.
Pemilihan penggunaan alat pemberat tergantung dari keadaan kecepatan aliran
sungai yang diukur,
Alat Penggulung
Alat penggulung dapat dipakai sebagai penggantung alat pemberat untuk
mengukur kedalaman aliran sungai. Alat penggulung ini berupa tabung sebagai
tempat gulungan kabel duga yang dilengkapi pula dengan engkol dan roda gigi untuk
menaikan dan menurunkan pemberat serta mengunci pada posisi kedalaman aliran
tertentu. Ada 5 tipe alat penggulung yang penggunaanya masing-masing tipe
tergantung dari berat alat pemberat dan kedalaman sungai.
4) Tipe B 56
Tipe ini dapat digunakan untuk hampir semua tipe pemberat dan dapat
dibantu dengan engkol maupun baterai.
5) Tipe E 53
Ini merupakan tipe alat penggulung yang paling berat dan dapat
digunakan dengan beban alat pemberat yang sangat berat.
Alat penggulung jenis A-55, B-56 dan E-53 dilengkapi dengan alat penunjuk
kedalaman secara langsung. Sedangkan alat pengapung tipe A Pack dan Canfield
dilengkapi alat hitung (counter) yang menunjuk kedalaman secara langsung.
1.8.1. Prinsip
Prinsip pelaksanaan pengukuran debit dilakukan dengan mengukur tiga hal
seperti berikut ini.
1) luas penampang basah;
2) kecepatan aliran, dan
3) tinggi muka air.
Tinggi muka air dapat diukur dengan cara membaca elevasi permukaan pada
alat papan duga air, apabila perbedaan fluktuasinya lebih besar dari pada 3
cm, selama pengukuran debit dilaksanakan maka diperlukan koreksi terhadap
tinggi muka air tersebut.
Jenis alat ukur kedalaman aliran tergantung dari dalamnya aliran dan alat perakitan
yang tersedia. Batang duga digunakan apabila pengukuran kedalaman aliran dengan
merawas apabila kedalaman aliran kurang dari 1,5 m, atau dengan perahu pada
kedalaman aliran berkisar 1,5 - 3,0 m dan kecepatan alirannya rendah. Kabel duga
dengan pemberat digunakan apabila kedalaman aliran lebih dari 2,5 m
dan kecepatan alirannya tinggi, pelaksanaanya dapat menggunakan perahu,
kereta gantung atau menggunakan "bridge crane" apabila di jembatan atau
menggunakan alat duga sonik. Pengukuran kedalaman aliran dengan batang duga
dan pemberat diperlukan koreksi kedalaman aliran, apabila posisi kabel duga
membuat sudut lebih besar daripada 5 derajat terhadap garis vertikal.
Untuk mendapatkan hasil pengukuran yang teliti, maka Alat ukur arus dan
perlengkapannya harus dalam keadaan baik, lokasi pengukuran harus memenuhi
syarat, waktu pengukuran harus cukup dan kondisi pengukur harus betul-betul baik.
Lokasi pengukuran usahakan sedekat mungkin dengan bangunan pos duga
air. Dalam keadaan tertentu lokasi pengukuran dapat dilakukan di hulu atau di hilir
bangunan pos duga masih mendekati sama dengan yang di pos duga air.
Dalam melaksanakan pengukuran debit tidak boleh terburu-buru karena tidak
cukupnya waktu pengukuran. Apabila sampai di lokasi pengukuran sudah sore hari
dan kalau langsung mengukur diperkirakan akan sampai malam sehingga
pengukuran debit dilaksanakan dengan tergesa-gesa maka sebaiknya pengukuran
ditunda esok harinya. Kecuali apabila pengukur membawa perlengkapan yang
memadai untuk pengukuran malam hari cukup aman dan hasil pengukuran pada
ketinggian muka air saat itu sangat diperlukan maka pengukuran dapat dilaksanakan
saat itu juga.
Lokasi pengukuran yang sulit dicapai dan tidak aman bagi pengukur akan
sangat mempengaruhi kualitas hasil pengukuran. Adanya gangguan pada aliran
misalnya banyak kayu hanyut akan mempengaruhi juga kualitas pengukuran.
2. Penentuan Jumlah Vertikal
Yang dimaksud dengan vertikal (vertical) adalah garis tegak pada posisi
pengukuran kedalaman aliran dilakan. Penentuan jumlah vertikal harus
mempertimbangkan beberapa faktor antara lain :
1) keadaan sebaran aliran;
2) bentuk profil (dangkal, dalam atau tidak teratur);
3) waktu yang tersedia, dan
4) pengalaman team dari pengukur terhadap suatu lokasi pengukuran debit.
pengukuran tersebut terjadi perubahan tinggi muka air yang cukup besar maka dapat
dipandang sebagai 2 data (double) pengukuran debit (biasanya kurang teliti).
Pada metode ini pengukuran kecepatan aliran dilakukan pada 0,2 dan 0,8 titik
kedalaman aliran dari permukaan air. Kecepatan aliran rata-ratanya diperoleh
dengan merataratakan kecepatan aliran yang diukur pada kedua titik tersebut.
Cara ini disarankan untuk tidak digunakan mengukur kecepatan aliran pada
sungai dengan kedalaman aliran kurang dari 0,76 meter karena pada kedalaman
kurang dari 0,76 meter titik kedalaman pada 0, 8 dan 0, 2 akan kurang dari 0, 15
meter haik dari permukaan air maupun dari dasar sungai untuk menghindari gesekan
udara, ataupun da-sar sungai.
Sri Sudaryanti
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Universitas Brawijaya Malang
2011
Abstrak
Pendahuluan
Sungai dan salurannya merupakan satu kesatuan dengan daerah tangkap hujan dan
daerah pengaliran sungainya. Semua biota yang hidup di ekositem
sungai dipengaruhi oleh arus yang mengalir satu arah dari hulu menuju hilir dan
beradaptasi dengan situasi seperti itu. Sungai adalah ekosistem perairan yang
bersifat terbuka, artinya mudah mendapat pengaruh dari daerah sekitarnya baik
secara alami maupun oleh berbagai kegiatan manusia. Sungai yang sehat adalah
sungai yang mampu mendukung proses ekologis ekosistem sungai. Menurut Karr
(1999), sehat adalah kata lain untuk kondisi baik, sungai yang sehat mempunyai
ciri-ciri alami, cepat pulih apabila terdapat gangguan tanpa banyak bantuan
manajemen, dan mampu mengenali resiko kerusakan. Makroinvertebrata adalah
salah satu biota yang hidup di ekosistem sungai. Organisme tersebut
mempunyai peran yang penting di ekosistem sungai sebagai keystone
organisms.
Mengapa makroinvertebrata ?
Tujuan bioassessment
Status penelitian
acuan untuk system sungai tropis belum tersedia (Sudaryanti, 1992). Penggunaan
system arbitrary dengan mempertimbangan ekologi dari komunitas
makroinvertebrata.
Tujuan system arbitrary adalah mengelompokan stasiun pengamatan menggunakan
data ekologis makroinvertebrata. Pengelompokan pada setiap factor ekologis
menjadi beberapa kelas berdasarkan sifat ekologis makroinvertebrata (Sudaryanti,
1992).
Periode 1994-sekarang
Sistem arbitrary hanya dapat dilakukan untuk mengelola data dengan jumlah station
relatif kecil, misalnya kurang dari 15 stasiun. Untuk kepentingan jangka
panjang, tentu akan menyulitkan jika system tersebut digunakan untuk mengelola
data yang besar atau lebih dari 15 stasiun. Untuk mengatasi hal tersebut mulai
diterapkan penggunaan program TWINSPAN.
Tujuan program TWINSPAN adalah mengelompokan stasiun-stasiun pengamatan
dengan menggunakan komunitas termasuk komunitas makroinvertebrata.
Pada tahun 1998 sebuah sistem bioasessment Australia (AUSRIVAS) telah diuji
coba di DPS Brantas hulu dengan prosedur sebagai berikut :
Sampling dilakukan di 84 lokasi acuan dan 15 lokasi uji. Pada masing-masing
lokasi dilakukan pengambilan data macroinvertebrata dan data habitat. Data
habitat yang diambil adalah data habitat yang tidak dipengaruhi oleh kegiatan
manusia misalnya tinggi tempat, letak lintang, jarak dari sumber, persentase
naungan, lebar sungai, dan kedalaman.
Identifikasi macroinvertebrata dilakukansampai tingkat famili
Data macroinvertebrata kemudian diklasifikasi untuk membentuk
pengelompokan lokasi acuan menggunakan program UPGMA (Unweighted
Pair-Group arithMetic Averaging).
Menghubungkan data pengelompokan lokasi acuan dengan data habitatnya
menggunakan program MDFA (Multiple Discriminant Function Analysis). Data
habitat yang berperan dalam pengelompokan lokasi acuan adalah ketinggian
dari permukaan laut, jarak dari sumber, tipe habitat, lebar sungai, dan
persentase vegetasi riparian.
Menguji model dengan cara memasukan data habitat dari lokasi uji. Program
MDFA(Multiple Discriminant Function Analysis), akan memprediksi
macroinvertebrata yang ditemukan pada suatu lokasi uji jika lokasi tersebut
tidak mengalami gangguan
Hanya taxa yang mempunyai probability lebih 50% di pertimbangkan untuk
menghitung taxa yang diharapkan ditemukan pada lokasi uji apabila
keadaannya tidak terganggu (tercemar)
Membandingkan taxa yang ditemukan di lokasi uji(Observed) dengan taxa
yang diharapkan ditemukan di lokasi uji(Expected) . Keluarannya adalah rasio
O/E.
Melakukan interpretasi nilai O/E. Nilai O/E mendekati 1 adalah baik
(Sudaryanti 2000).
Perumusan masalah
Refleksi
Penutup
Daftar Pustaka
Karr JR. 1999. Defining and measuring river health. Freshwater Biology 41, 221234.
Blackwell Science Ltd.
Sudaryanti S. 2003. The role of Aquatic insect for detecting water pollution. Paper
presented at the Seminar on the role of insect on environmental management.
Indonesian Association on Entomologist. Malang.
kebun kopi berdampak pada kenaikan limpasan permukaan menjadi 633,37 m3/ha
atau naik 6 kali lipat (Tabel 3.1).
Hasil penelitian tersebut didukung oleh Suprayogo et al (2007) yaitu pada
kondisi iklim tropika basah, limpasan permukaan pada lahan yang mengalami alih
fungsi lahan dari hutan menjadi tanaman semusim pada skala plot dapat meningkat
3 sampai 15 kali lipat sedangkan erosi tanah meningkat 250 hingga 600 kali
dibanding hutan. Peningkatan limpasan permukaan merata sepanjang musim
tergantung besar-kecilnya curah hujan.
Ardiyansyah (2007) dalam penelitianya menyatakan bahwa pengubahan
pengunaan lahan dari hutan ke non hutan menurunkan infiltrasi maksimum sehingga
menaikkan air limpasan permukaan. Berbagai hasil penelitian tersebut menunjukkan
bahwa pengubahan penggunaan lahan hutan menjadi non hutan berdampak pada
peningkatan jumlah air larian permukaan (surface runoff).
Peningkatan jumlah air larian permukaan akan memperbesar debit puncak
air larian permukaan. Kondisi ini mengakibatkan bertambahnya jumlah volume air
sungai sehingga meningkatkan kemungkinan terjadinya bahaya banjir. Risiko banjir
akan semakin besar seiring dengan peningkatan kemungkinan terjadinya bahaya
banjir (hazard).
Diley et al (2005) dalam Leon (2006) merumuskan risiko sebagai suatu
hubungan matematika yaitu :
Risk = hazard x eksposure x vulnerability, dimana
hazard adalah kemungkinan terjadinya bahaya suatu bencana
seperti bahaya banjir, tsunami, dan gempa bumi; vulnerability berkaitan tingkat
kerentanan dari dalam diri manusia, secara ekonomi, infrastruktur ketika menghadapi
(exposure) suatu bencana. Jadi berdasarkan pengertian tersebut maka
peningkatan bahaya banjir akan berdampak pada peningkatan risiko banjir, dan
sebaliknya.
Salah satu upaya mengurangi kemungkinan terjadinya bahaya banjir adalah
pengaturan bentuk penggunaan lahan di DAS. Berbagai hasil penelitian
menunjukaan bahwa keberadaan hutan di DAS mampu mengurangi terjadinya
bahaya banjir sehingga semakin luas hutan maka bahaya banjir akan semakin
berkurang.
Simulasi bentuk penggunaan lahan pada berbagai skenario dilakukan untuk
melihat dampak pengubahan bentuk pengunaan lahan di DAS terhadap sumber
daya air. Guna melihat hal tersebut berikut ini terdapat dua contoh hasil penelitian
yang berlokasi di DAS Brantas Hulu, Jawa Timur dan DAS Samin , Jawa Tengah .
Gambar 3.2. Grafik persentase luas penggunaan lahan di DAS Brantas hulu sebelum
reformasi.
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) 32
32
JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
Gambar 3.4. Grafik persentase luas penggunaan lahan di DAS Brantas hulu sesudah
reformasi
Gambar 3.6. Grafik persentase luas penggunaan lahan di DAS Brantas hulu
berdasarkan RTRW.
Gambar 3.7. Peta penggunaan lahan di DAS Brantas Hulu pada kondisi
aktual.
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) 35
35
JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
Gambar 3.8. Grafik persentase luas penggunaan lahan di DAS Brantas hulu pada
kondisi aktual.
Hasil simulasi menunjukkan bahwa debit air sungai saat musim penghujan
tertinggi terjadi pada skenario S2 (setelah reformasi) sedangkan terendah terjadi
pada S1 (sebelum reformasi). Hal ini berarti pengubahan penggunaan lahan hutan
menjadi pertanian intensif berdampak pada peningkatan debit air sungai. Kondisi ini
juga terjadi pada skenario S4 (penggunaan lahan kondisi actual), artinya dampak
pengubahan penggunaan lahan hutan masih terjadi hingga saat ini, hal ini terlihat
pada nilai debit saat musim hujan masih tergolong lebih tinggi dari pada S1
(Gambar3.9).
Gambar 3.9. Grafik perbandingan debit musim kemarau dan penghujan (data hujan
tahun 2004)
Tabel 3.3. Skenario bentuk penggunaan lahan yang digunakan dalam simulasi di
DAS Samin
Kode Skenario
S0 Luas hutan 0% ,utamakan aspek sosial ekonomi
S15 Luas hutan 15% (sebagai kontrol), kondisi eksisiting.
S30 Luas hutan 30% , fungsi hutan mengurangi debit air larian
1. Skenario S0
Skenario ini mensimulasikan bentuk penggunaan lahan di DAS Samin dari
aspek ekonomi saja, artinya hanya mementingkan peningkatan kesejahteraan
masyarakat. Seluruh DAS diubah menjadi lahan pertanian intensif meliputi
hortikultura, tegalan, kebun campur, dan sawah.
2. Skenario S15
Skenario ini mensimulasikan kondisi eksisting berdasarkan hasil klasifikasi
citra Landsat ETM 1 Oktober 2002. Persentase luas hutan adalah 15% dari luas
total DAS Samin. Perlakukan ini sebagai kontrol atau pembanding terhadap
perlakukan yang lain. Nilai debit air larian diasumsikan sebagai debit terjadinya banjir
karena data debit banjir hasil pengukuran lapangan tidak tercatat. Suatu skenario
dpat dikatakan mapu mengurangi risiko banjir terjadi apabila nilai debit air larian lebih
kecil daripada S15.
3. Skenario S30
Skenario ini mensimulasikan penambahan luas hutan diduga mampu
mengurangi debit air larian di DAS Samin. Luas hutan dibuat 30% dari total luas
DAS. Lahan hortikultura dan tegalan diubah menjadi hutan, sedangkan sawah dan
kebun campur tetap sesuai kondisi eksisting. Pengubahan sawah menjadi hutan
sangat kecil kemungkinannya karena pada areal persawahan terdapat irigasi teknis
sehingga petani dapat bercocok tanam padi sepanjang tahun. Selain itu daris aspek
fisik lahan tersebut cocok untuk persawahan.
4. Skenario S100
Skenario ini mensimulasikan bentuk penggunaan lahan dari aspek fisik saja
yaitu pengurangan debit puncak air larian. Hasil penelitian Gintings (1981) dalam
Hamilton (1983) menunjukkan bahwa perubahan penggunaan lahan dari hutan
menjadi kebun kopi berdampak pada kenaikan air larian sebesar 6 kali lipat.
Gambar 3.14. Grafik debit puncak air larian permukaan pada berbagai skenario
bentuk penggunaan lahan di DAS Samin
Penambahan luasan hutan berpengaruh terhadap pengurangan rerata debit
aliran permukan yaitu pada perlakuan S3 yaitu sebesar 23,33 m3/dt. Hutan yang
berfungsi menurunkan debit aliran permukaan terbukti pada perlakuan S100 yaitu
menghasilkan debit paling rendah sebesar 21,91 m3/dt.
Berdasarkan hasil simulasi tersebut menunjukkan bahwa pengubahan
bentuk penggunaan lahan di DAS Samin berpengaruh terhadap sumberdaya air
dalam hal ini debit puncak air larian permukaan di titik outlet. Peningkatan debit
puncak air larian berdampak pada peningkatan risiko banjir di bagian hilir DAS.
Kondisi ini menuntut adanya pengelolaan DAS yang komprehensif sehingga tidak
saling merugikan kepentingan masyrakat bagian hulu maupun hilir (Gambar3.15).
Jadi pengubahan penggunaan lahan di DAS berpengaruh terhadap karakteristik
hidrologis DAS tersebut.
Debit puncak
outlet
hujan
21.00
Skenario bentuk penggunaan
20.00 lahan di DAS Samin
S0 S15 S30 S 60 S 100 SOp
DAS Sumber Brantas yang sebagian besar masuk wilayah Kota Batu
ditetapkan sebagai salah satu wilayah resapan air DAS Brantas. Untuk itu
Pemerintah Kota Batu menetapkan Tata Ruang Wilayah dengan menetapkan
kawasan lindung yang luasnya sekitar 10.352 ha atau 52% dari wilayah Kota Batu
dan kawasan budidaya seluas 9.555 ha atau 48%. Sementara itu, kondisi kawasan
lindung yang ada di Kota Batu pada saat ini baru mencapai 33%. Wilayah yang
semestinya sebagai kawasan lindung saat ini masih berupa semak belukar (13%),
sebagian lagi digunakan sebagai usaha tani sayuran dan kebun apel (5%) dan
sisanya sebagai lahan kering berupa tegalan yang juga diusahakan untuk usaha tani
sayur-mayur.
Gambar 4.1. Beberapa sudut kawasan budidaya di DAS Sumber Brantas, wilayah
Kota Batu.
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) 41
41
JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
Secara demografis, Kota Batu yang luasnya 199,1 km2 memiliki jumlah penduduk
mencapai 182.885 jiwa pada tahun 2007, sehingga tingkat kepadatan penduduk di
wilayah ini termasuk sangat tinggi yakni mencapai sebesar 919 orang/km2. Demikian
pula tingkat pendidikan sebagian besar masyarakat Kota Batu atau sekitar 34%
adalah tamatan SD, sementara lulusan SLTP dan SLTA masing-masing 17%, dan
sekitar 6% adalah tamatan perguruan tinggi. Sementara itu yang tidak/belum sekolah
dan tidak lulus SD mencapai sekitar 26% dari penduduk Kota Batu.
Kondisi demografi dan tingkat pendidikan yang demikian serta didukung oleh kondisi
tanah yang subur menyebabkan sebagian besar masyarakat menjatuhkan pilihan
mata-pencaharian pada bisang pertanian. Sektor pertanian hortikultura (sayur, bunga
dan buah-buahan) menjadi andalan masyarakat Kota Batu. Nilai ekonomi komoditas
hortikultura yang sangat tinggi membuat masyarakat Kota Batu kelaparan lahan
sehingga setiap jengkal tanah tidak ada yang tidak dimanfaatkan untuk kegiatan
pertanian. Adanya kesempatan menanam sayuran di lahan Perhutani tidak disia-
siakan oleh masyarakat yang tidak memiliki lahan maupun yang sudah memiliki
lahan sendiri.
Pola kehidupan yang demikian memberikan dampak positif terhadap pendapatan
dan pendapatan per-kapita masyarakat Kota Batu. Pendapatan per kapita
masyarakat Kota Batu memperlihatkan fenomena kenaikan yang signifikan selama
beberapa tahun terakhir, yaitu dari Rp. 3.752.924,84 pada tahun 2001 menjadi Rp.
3.865.829,88 pada tahun 2002, dan tahun 2003 sebesar Rp. 3.949.952,17 kemudian
pada tahun 2004 meningkat menjadi Rp. 4.066.437,47 pada tahun 2005 Rp.
4.258.056,20 serta tahun 2006 menjadi Rp. 4.394.253,80.
Namun sayang usaha pertanian tersebut dilakukan di kawasan resapan air dan
sistem budidaya pertanian yang dilakukan seringkali kurang mengindahkan prinsip-
prinsip konservasi tanah dan air. Upaya untuk mengalihkan jenis komoditas sayuran
menjadi tanaman tahunan menjadi kurang menarik bagi masyarakat, mungkin
karena imbalan pendapatan yang diterima tidak sepadan dengan praktek yang
sekarang.
Telah terjadi tarik-ulur antara Pemerintah Kota Batu, Perum Perhutani dan
masyarakat khususnya di lahan Perhutani untuk mengganti tanaman sayuran
dengan tanaman tahunan yang dapat melindungi tanah dan air. Perkembangan
terakhir menunjukkan bahwa sudah mulai ada titik temu antara ketiga pihak tersebut
untuk mengganti tanaman sayuran dengan tanaman kopi yang akan ditanam disela-
sela tegakan pohon (pinus dsb).
politik pada masa krisis moneter dan sebagai dampak dari proses otonomi daerah
Kota Batu. Hal serupa juga terjadi di kawasan Tahura R. Soerjo, walau tidak
separah di kawasan Perhutani. Masyarakat dan bahkan pejabat di Kota Batu sendiri
tidak bisa mengenali batas-batas kawasan yang berada di bawah pengelolaan
Perum Perhutani dan Tahura R. Soerjo, sehingga penebangan terjadi dimana-mana.
Mulai tahun 2000, baik Perum Perhutani maupun Tahura R. Soerjo yang sedang
berusaha melakukan rehabilitasi hutan, harus menghadapi masalah konflik
kepentingan dengan masyarakat lokal yang telah merasakan keuntungan ekonomi
ketika melakukan budidaya tanaman sayuran di kawasan hutan. Konflik dengan
masyarakat ini timbul terutama karena adanya kesenjangan komunikasi
(communication gap) atau komunikasi yang lemah antara pengetahuan masyarakat,
kebijakan pemerintah Kota Batu dan kebijakan Perum Perhutani dalam menjalankan
Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM).
Gambar 4.3. Erosi dan longsor yang terjadi di bagian hulu DAS mengakibatkan
pendangkalan sungai dan waduk, serta kerusakan sarana irigasi
(check-dam Talun) akibat banjir bandang di Kali Brantas bagian hulu.
Tingginya tingkat erosi di kawasan ini sangat merisaukan Perum Jasa Tirta 1 (PJT)
yang sangat berkepentingan dalam menjaga kelestarian umur efektif bendungan di
bagian hilir, seperti Bendungan Sengguruh, Sutami, Lahor dan Wlingi serta
bangunan-bangunan air lainnya. Berdasarkan studi yang pernah dilakukan oleh PJT
1, umur efektif Bendungan Sutami yang direncanakan selama 100 tahun berkurang
menjadi hanya 30 tahun saja akibat pendangkalan waduk. Pada tahun 2003
kapasitas efektif waduk Sengguruh hanya tinggal 42% dan waduk Sutami tinggal
57% dibanding saat pembangunan (PJT, 2006). Oleh karena itu PJT memiliki
kepentingan untuk ikut serta menjaga kawaaan DAS Sumber Brantas, paling tidak
untuk menekan jumlah sedimen yang masuk ke sungai dan memelihara fungsi
kawasan resapan beserta sumber-sumber airnya.
yang sangat tinggi seperti pengolahan tanah, penggunaan bibit, pupuk dan pestisida,
serta penerapan irigasi. Pengunaan masukan kimia untuk pertanian hortikultura
sudah sangat tinggi dosisnya, sehingga jika tidak menggunakannya maka besar
kemungkinan produksi menurun bahkan tidak jarang gagal panen karena serangan
hama dan penyakit.
Pemakaian bahan kimia dengan takaran yang sudah melebihi batas mengakibatkan
terjadinya pencucian sisa pestisida dan pupuk sehingga menyebar mengikuti aliran
air menuju air tanah (ground water) atau ke sungai. Selain itu sisa bahan aktif
(residu) juga terdapat dalam produk buah atau sayur yang dipanen, sehingga
melebihi ambang batas yang diperkenankan.
Pada tahun 2005, terdapat 20 sumber air di kawasan DAS Sumber Brantas yang
diduga tercemar oleh pestisida, dan yang paling menderita adalah sumber air
Banyuning dan Gemulo (Tempo, 25 Agustus 2005). Sumber-sumber air yang diduga
tercemar pestisida ini lokasinya berada di bagian bawah (hilir) dari kawasan
pertanian yang didominasi oleh tanaman sayuran. Namun menurut pendapat Kepala
Dinas Pertanian Kota Batu, mata air masih aman dari pestisida, tetapi kalau air
permukaan kemungkinan besar sudah sedikit tercemar.
Penelitian kualitas air akibat pencemaran pupuk dan pestisida di Kota Batu sampai
sejauh ini masih sangat sedikit, sehingga sulit mendapatkan hasil publikasi yang bisa
dikutip. Sementara monitoring dan pengukuran terhadap kualitas air belum pernah
dilakukan, karena memang sangat mahal. Upaya monitoring kualitas air sungai
melalui indikator bentos (vertebrata air) sudah pernah dilakukan tetapi belum bisa
dilaksanakan secara rutin.
menampung limbah rumah tangga dan limbah industri rumah tangga. Pengelolaan ini
dikerjakan oleh Karang Taruna Temas dan LSM Fokal Mesra Kota Batu. Karena
dinilai berhasil, Pemerintah Provinsi Jawa Timur mendukung dana pengembangan
sistem ini dengan menambah kapasitas (volume) penampungan limbah sehingga
bisa menampung limbah dari 500 rumah-tangga, sementara sebelumnya hanya dari
40 rumah-tangga (TEMPO Interaktif, 29 Agustus 2008).
Gambar 4.4. Sampah pertanian, sampah domestik dan sampah industri rumah-
tangga dibuang bukan di tempat sampah yang disediakan,
berpotensi mencemari mata air dan sungai (kiri atas).
Sumber sampah yang lain adalah dari sektor pariwisata, terutama hotel dan restoran
besar. Seharusnya mereka mempunyai instalasi pengolahan limbah sendiri sesuai
dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, yang
mewajibkan perusahaan untuk mengelola sampahnya. Sampah dalam industri hotel
dan restoran tak boleh diendapkan lebih dari satu hari. Jika harus mengelola sendiri,
manajemen merasa kesulitan karena mereka bukan perusahaan pengolah sampah,
sehingga biasanya diserahkan kepada kontraktor. (TEMPO Interaktif, 28 September
2008).
Kenyataanya, masih banyak limbah rumah tangga dan limbah industri/perusahaan
yang dibuang pada tempat pembuangan sampah liar yang berada di dekat
pemukiman penduduk dan lokasi pabrik atau bahkan dibuang langsung ke sungai
(Gambar 3.4.). Untuk mengatasi masalah pencemaran sampah ini Pemerintah Kota
Gambar 4.6. Kondisi tutupan lahan di kawasan resapan DAS Sumber Brantas
terbuka di hulu dan pemukiman di tengah (foto kanan),
dan bangunan untuk industri/perusahaan di bagian hulu
yang menutupi permukaan tanah sebagai kawasan resapan (foto kiri)
Tabel 3.SelupuhtahapSistemDukunganNegosiasi(Jeanesatal.,2006).
Hasil studi LP3ES bersama YPP dan PJT I (Gunawan et al., 2005) menunjukkan
adanya potensi yang cukup besar untuk memperbaiki kondisi DAS Brantas melalui
pengelolaan DAS yang disukung oleh mekanisme imbal-jasa lingkungan. Potensi ini
ditanggapi secara positif oleh masyarakat di Jawa Timur, sehingga Pemerintah
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) 51
51
JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
Provinsi Jawa Timur bersama DPRD dan masyarakat Jawa Timur sudah mulai
menyiapkan Peraturan Daerah (Perda) mengenai mekanisme imbal-jasa lingkungan
ini. Konsep Perda ini sedang dibahas secara intensif dengan melibatkan masyarakat
luas (LSM, Perguruan Tinggi, petani, kalangan industri, pengusaha, dsb) sejak tahun
2007, namun sampai saat ini masih belum selesai.
Berdasarkan situasi, kondisi dan kebutuhan DAS Sumber Brantas, serta dengan
memperhatikan konteks yang lebih luas (DAS Brantas dan Provinsi Jawa Timur),
maka dapat disimpulkan bahwa mekanisme imbal jasa lingkungan sangat potensial
untuk dikembangkan sebagai salah satu pilar pengelolaan DAS Sumber Brantas.
Jika hal ini menjadi kesepakatan bersama untuk dilaksanakan maka masih banyak
hal-hal yang perlu disiapkan oleh semua pihak yang terlibat di dalamnya. Untuk itu
diskusikan dengan anggota kelompok dan tetapkan macam kegiatan yang perlu
dilakukan dalam setiap tahapan agar pelaksanaan membangun komunikasi dalam
menjalankan Jasa Lingkungan di DAS Sumber Brantas dapat berjalan dengan baik
dengan mengisi Tabel berikut:
Tabel 4.3. Macam Kegiatan yang perlu dilakukan dalam Membangun Komunikasi
dalam Menjalankan Jasa Lingkungan di DAS Sumber Brantas
6 Pemahaman tradeoffs
5.1. Pendahuluan
Pemberdayaan masyarakat melalui satuan DAS mikro merupakan suatu hal yang
baru. Pemahaman akan hal ini masih simpang-siur antar berbagai pihak. Oleh sebab
itu perlu waktu yang hampir setahun untuk menyamakan persepsi diantara para
pengelola DAS. Walaupun masih belum dicapai kesepahaman yang sama program
ini tetap harus dimulai. Oleh karena itu dengan berbagai hambatan akhirnya program
pemberdayaan masyarakat dengan melalui satuan DAS mikro dimulai pada tahun
2002.
Sebagai bagian dari program pemberdayaan masyarakat melalui DAS Mikro, upaya
mempertahankan kelestarian lahan dan sumberdaya alam pada umumnya menjadi
salah satu bagian program yang penting. Berikut ini disampaikan konsep pegangan
bagi fasilitator lapangan berkaitan dengan pengelolaan biofisik khususnya lahan.
Dalam pedoman lapangan ini hanya dituliskan garisbesarnya saja, sementara masih
banyak hal yang tidak termuat didalamnya. Latar belakang teoritis sebaiknya
dipahami oleh para fasilitator sehingga penyesuaian dan pengembangan pedoman
lapangan ini dapat dibuat oleh para fasilitator secara mandiri.
Pedoman ini bukan merupakan petunjuk teknis yang harus dilaksanakan secara
kaku di lapangan. Para fasilitator harus dapat mengambil keputusan dalam
menghadapi kondisi sebenarnya di lapangan dengan penuh tanggung-jawab. Oleh
sebab itu sebaiknya para fasilitator selalu mau belajar dan mengembangkan diri
melalui berbagai cara terutama dengan membaca berbagai informasi teknologi
tertulis yang banyak sekali dipublikasikan.
Secara khusus materi ini disiapkan untuk membekali fasilitator lapangan agar
memiliki suatu metodologi dalam mengembangkan langkah-langkah pendampingan
bagi program pelestarian lahan melalui pendekatan DAS mikro dan mampu
mempertanggung-jawabkan setiap langkah yang diambilnya baik kepada masyarakat
maupun kepada atasannya.
5.2. Pengertian
Kegiatan ini merupakan gerakan masyarakat dalam memecahkan masalah DAS
Mikro termasuk:
2. Kuantitas air sungai: terlalu banyak air pada musim hujan dan terlalu sedikit air
pada musim kemarau dan berubahnya debit total tahunan
Metode:
Kegiatan dimulai dengan karakterisasi dan identifikasi masalah suatu DAS dan
penilaian apakah masalah tersebut relevan dengan mandat pengelolaan DAS.
Pembuatan peta wilayah DAS secara partisipatif dan pengidentifikasian
tentang apa dan di mana masalah tersebut.
Perumusan pemecahan masalah dengan menggunakan pengetahuan lokal.
Pemaduan antara solusi lokal dengan solusi berdasarkan ilmu pengetahuan.
Di dalam tahap ini perlu dikaji secara mendalam apa implikasi yang dapat
ditimbulkan dengan penggunaan teknik yang baru diperkenalkan.
Dalam setiap intervensi perlu diupayakan untuk menggunakan sebanyak-
banyaknya sumber daya lokal. Sebagai contoh, apakah akan menggunakan
batu atau bambu untuk membangun bangunan terjunan, sangat ditentukan
oleh banyak tidaknya bahan tersebut pada DAS setempat.
dibutuhkan dalam pendampingan nantinya. Hal ini dianggap perlu karena fasilitator
nantinya harus bekerja dan mengambil keputusan sendiri sehingga harus memiliki
konsep yang tepat, benar dan konsisten (tidak berubah-ubah).
2
Kegiatan berikut dilakukan oleh fasilitator (PTL dan FLSM) dan jika perlu didampingi
oleh Tim Ahli (Komiisi Pelaksana, Komisi Teknik, Peneliti, Konsultan, dsb). Kegiatan
ini ditujukan untuk menyiapkan konsep pengelolaan biofisik DAS mikro yang akan
dipakai sebagai acuan dalam mendampingi masyarakat.
Langkah2 yang diperlukan dalam menyiapkan skenario pengelolaan DAS
mikro adalah sebagai berikut :
sebagainya. Pada tahap ini perlu memperhatikan rancangan yang lebih tinggi
tingkatnya (misalnya rancangan DAS, Sub DAS, Kabupaten, dst). Rancangan
pengembangan dan pengelolaan DAS mikro ini dituangkan dalam sebuah peta
dengan skala 1 : 500 sampai 1 : 1000.
Idealnya, proses ini dilakukan untuk seluruh wilayah desa untuk kemudian
digabungkan dalam wilayah Sub DAS atau DAS (tergantung luasnya) pada skala
kerja yang lebih kecil, misalnya 1 : 2.500 sampai 1 : 5.000. Peta ini merupakan
penggabungan dari beberapa DAS mikro sehingga menyerupai permainan jigzaw
puzzle.
3) Penerapan(implementasi)
Rencana yang dibuat kelompok atau individu mungkin sangat ideal sehingga :
tidak dapat dilaksanakan sendiri oleh petani atau oleh kelompok, perlu
bantuan atau subsidi dari luar, dan
waktu yang dibutuhkan untuk memperoleh kondisi yang diharapkan bisa
sangat lama, tidak bisa selesai dalam satu atau dua tahun saja
Yang penting bahwa kelompok sudah memiliki rencana yang jelas dan telah ada
kesepakatan serta upaya untuk melaksanakannya secara konsisten. Penerapan
rencana yang dibuat tersebut mungkin perlu dibantu baik melalui program PIDRA
atau program-program lain melalui Pemerintah Kabupaten atau swasta.
4) MonitoringdanEvaluasi
Semua kegiatan yang dilakukan oleh kelompok dan anggotanya juga perlu
ada monitoring dan evaluasi secara internal untuk menjamin berlangsungnya
kegiatan secara benar Adanya mekanisme kesepakatan kelompok untuk menyusun
rencana pengelolaan merupakan suatu upaya menumbuhkan proses saling
mengontrol antar anggota. Namun demikian perlu dipersiapkan mekanisme
monitoring dan evaluasi internal yang lebih sistematis.
5.5. Penutup
Proses pemetaan DAS mikro secara partisipatif dan Peta perencanaan pengelolaan
DAS mikro yang dibuat secara partisipatif bukanlah merupakan standar atau target
yang harus dicapai dalam pendekatan pengelolaan DAS, namun merupakan
outcome atau cerminan dari kemampuan masyarakat untuk memahami persoalan
sumberdaya yang dikuasai maupun yang mempengaruhinya.
Punggung
bukit
Punggung
bukit
6.1. Pendahuluan
DAS Sumber Brantas dikenal juga sebaga DAS Brantas Hulu, karena di kawasan ini
terdapat beberapa mata air yang dinyatakan sebagai titik awal aliran Kali Brantas.
Ada pihak-pihak yang menyebutkan bahwa DAS Brantas Hulu meliputi beberapa
Sub-DAS diantaranya adalah SubDAS Sumber Brantas, SubDAS Amprong, SubDAS
Bango, SubDAS Lesti, SubDAS Metro, SubDAS Lahor dan SubDAS Lemon. Total
luas seluruh DAS Brantas Hulu 200 km2, dan semuanya merupakan daerah
tangkapan air hujan dari waduk Karangkates.
DAS Sumber Brantas adalah salah satu DAS p[aling kritis dari sekitar 29 DAS yang
ada di Jawa Timur. Hampir separoh dari wilayah DAS ini termasuk dalam kategori
lahan kritis (BKPH XI, 2006). Isu lingkungan yang paling menonjol di kawasan ini
adalah (a) alih-guna lahan dari hutan menjadi tanaman sayur-sayuran, (b) penurunan
kuantitas dan kualitas air, dan (c) degradasi lahan.
Perubahan penggunaan lahan (alih-guna lahan) di DAS Sumber Brantas sebenarnya
sudah berlangsung sejak awal abad 20, tetapi itu terjadi secara lambat (gradual).
Alih-guna lahan semakin cepat terjadi pada tahun 1960-an dan mencapai puncaknya
pada akhir tahun 1990-an, tepatnya tahun 1998-1999 ketika terjadi situasi peralihan
yang dikenal dengan masa reformasi. Perbandingan citra satelit kawasan ini yang
diambil pada tahun 1991, 2001 dan 2005 menunjukkan adanya pengurangan tutupan
lahan sebagai hutan alam dan hutan tanaman (produksi) dan meningkatnya luas
penggunaan lahan untuk perkebunan, tegal, semak belukar dan pemukiman.
Alihguna lahan hutan menjadi tegalan, yakni lahan tadah hujan ditanami sayuran,
sangat berpotensi mengalami kerusakan akibat erosi. Hal ini juga sudah dipahami
oleh masyarakat setempat (Studi Detail Konservasi Sub DAS Brantas Hulu, 2006).
Sejak tahun 1970-an usaha tani hortikultura (sayuran dan bunga) merupakan sumber
penghasilan utama sebagian besar petani di Kota Batu. Pada akhir tahun 1990-an
terjadi penebangan hutan besar-besaran, sebagian besar dijadikan tegalan dan
ditanami sayuran.
Penurunan kuantitas dan kualitas air di DAS Brantas Hulu diindikasikan dari
seringnya terjadi banjir dan kekeringan di wilayah Kota Batu maupun bagian hilirnya.
Banjir mulai terjadi pada tahun 2000, selanjutnya terjadi hampir setiap musim
penghujan dan yang paling besar terjadi pada tahun 2004. Indikator lainnya adalah
mengecilnya debit sebagian besar mata air di kawasan ini, dan bahkan dua per tiga
jumlah mata air mengering atau mati selama satu dekade terakhir. Penurunan debit
mata air juga sudah dirasakan dan dipahami oleh masyarakat setempat. Apabila
sepuluh tahun lalu kebutuhan air warga Dusun Kekep (Tulungrejo) dapat dicukupi
dari sebuah sumber air saja, tetapi saat ini air yang diperoleh dari empat sumber air
ternyata masih belum mencukupi kebutuhan warga dusun tersebut (Studi Kelestarian
Sumber-sumber Air di Kota Batu, 2006).
Kerusakan lahan diyakini oleh banyak pihak berawal dari proses pembukaan lahan
hutan yang memiliki kelerengan curam untuk ditanami tanaman semusim terutama
sayuran. Kehilangan tanah akibat erosi di beberapa kawasan DAS Mikro ditaksir
sebesar 1.500 ton ha-1 tahun-1 .
Permasalahan sumberdaya alam di DAS Brantas Hulu selain disebabkan oleh faktor
ekonomi juga oleh faktor sosial yang memicu terjadinya konflik-konflik di tingkat
masyarakat maupun pemerintahan. Perbedaan cara pandang terhadap upaya
pengelolaan sumberdaya alam di DAS ini jika dibiarkan akan memperparah
kerusakan sumberdaya alam di wilayah ini. Oleh karena itu diperlukan upaya-upaya
pemahaman bersama oleh seluruh stakeholder yang terkait tentang keadaan DAS
Brantas Hulu serta apa yang tengah terjadi di sub DAS ini. Untuk mewujudkan hal itu
perlu mengajak seluruh stakeholder agar dapat bersama-sama mencermati dan
memahami kondisi dan permasalahan apa yang sedang terjadi di sub DAS Brantas
Hulu serta mencarikan solusi dari permasaahan tersebut.
Batuan paling tua di wilayah Kota Batu adalah Batuan Anjasmara Tua (Qpat) yang
tersusun atas bahan breksi gunungapi, tuf breksi, tuf dan lava. Satuan ini diduga
sebagai alas dari Batuan Gunungapi Kuarter Bawah dan diperkirakan berumur
Plistosen Awal - Tengah; hal itu berdasarkan adanya singkapan dari Batuan
Gunungapi Anjasmara Tua yang tertindih takselaras langsung oleh
Batuan Gunungapi Arjuna-Welirang yang berumur Plistosen Akhir. Batuan
gunungapi ini tertindih oleh Batuan Gunungapi Anjasmara Muda dan Batuan
Gunungapi Panderman.
Batuan Anjasmara Muda menindih batuan Anjasmara Tua, dengan demikian maka
umur batuan ini lebih muda dibandingkan dengan Batuan Anjasmara Tua. Batuan ini
merupakan batuan gunungapi kuarter bawah yang tersusun atas bahan breksi
gunungapi, tuf breksi, lava, tuf dan aglomerat. Lava yang menyusun merupakan
sisipan melidah dalam breksi dengan tebal beberapa meter. Batuan gunungapi ini
diperkirakan berumur Plistosen Tengah, berdasarkan kedudukan stratigrafinya yang
tertindih oleh Batuan Gunungapi Kuarter Tengah.
Batuan Gunungapi Kawi termasuk dalam batuan gunungapi kuarter tengah yang
tersusun atas bahan breksi gunungapi, tuf lava, aglomerat dan lahar. Batuan
gunungapi ini diperkirakan berumur Plistosen Akhir bagian awal, tertindih oleh
Batuan Gunungapi Kuarter yang lebih muda dan Tuf Malang,
Batuan Gunungapi Panderman merupakan parasit pada lereng timur laut dari
Gunung Kawi-Butak, berbentuk kerucut (lateral eruption). Satuan ini termasuk ke
dalam batuan gunung api kuarter atas yang tersusun atas bahan breksi gunungapi,
lava, tuf, breksi tufan, aglomerat dan lahar. Batuan gunungapi ini diperkirakan
berumur Plistosen Akhir-Holosen.
Batuan Gunungapi Arjuna-Welirang merupakan batuan yang paling muda di
kawasan Kota Batu. Merupakan satuan geologi yang terbentuk dari bahan volkanik
yang terdiri dari breksi gunungapi, lava, breksi tufan dan tuf.
Struktur geologi yang terdapat di wilayah ini terlihat membujur utara selatan dari
Cangar sampai Desa Bulukerto. Satu retakan juga terdapat menyilang di Desa
Temas Pandanrejo Giripurno. Informasi ini memberikan peringatan bahwa jika
ada ativitas volkanik lanjutan, jalur yang dilewati struktur ini merupakan jalur yang
berbahaya. Disamping itu, pada pembahasan hidrologi hal ini akan berdampak pada
kondisi hidrologi kawasan Kota Batu.
Informasi geologis ini selanjutnya dipakai untuk menjelaskan geomorfologi dan
kondisi tanah. Hal ini proses geomorfologis sangat dipengaruhi oleh batuan pada
masing-masing lokasi. Demikian juga halnya dengan tanah, salah satu faktor
pembentuk tanah adalah bahan induk tanah yang merupakan hasil pelapukan dari
batuan induknya.
6.2.1.4. Geomorfologi
Geomorfologi adalah suatu ilmu yang mengkaji bentuk lahan di muka bumi, termasuk
evolusi bentuk lahan dari waktu ke waktu. Dengan demikian, geomorfologi ini
merupakan suatu pendekatan untuk memahami, menjelaskan dan mendeskripsikan
suatu lanskap.
DAS Sumberbrantas dikelilingi oleh tiga komplek pegunungan, yaitu Gunung Arjuno-
Welirang di bagian timur laut, Gunung Anjasmoro di bagian barat laut, dan Gunung
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) 75
75
JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
Kawi Butak Panderman di bagian barat daya. Ketiga komplek pegunungan ini
merupakan pegunungan volkanik, sehingga DAS Sumberbrantas secara
geomorfologi memiliki bentuk lahan (landform) dalam grup volkanik. Hal ini
dikarenakan DAS Sumberbrantas tersusun atas batuan induk volkanik, berupa
berupa bahan-bahan volkan yang berupa breksi gunungapi, tuf breksi, lava, tuf dan
aglomerat.
Sistem perbukitan dijumpai di bagian lereng tengah atau kaki kompleks pegunungan
yang ada di sekitarnya. Relief perbukitan memiliki amplitudo ketinggian antara 50
300 m. Berdasarkan atas posisi dan kemiringan lerengnya dapat dibedakan
atas: puncak/punggung perbukitan (Hp), pereng perbukitan (Hs), kaki perbukitan (Hc),
dan lereng perbukitan yang tertoreh (Hd).
Sistem Pegunungan berapa di bagian lereng atas kompleks pegunungan yang ada,
yaitu Gunung Arjuna-Welirang, Anjasmara dan Kawi-Butak. Berdasarkan atas
konfigurasi permukaannya, grup ini dapat dikelompokkan menjadi beberapa
kelompok, yaitu: Plato, spurs dan punggung gunung (Mp), kerucut gunung vulkanik
pada bagian lereng atas (Mu), lereng-lereng gunung curam (Ms), bahan tertimbun
akibat longsoran di gunung (Mc ), gunung tertoreh dengan punggung tajam sejajar
(Md), Kerucut gunung vulkanik terisolir, curam sampai sangat curam (Mi), dan bekas
longsoran tanah di gunung (Ml).
tengah, termasuk dataran sempit antara Gunung Arjuna dan Anjasmara. Lereng
terjal umumnya dijumpai pada tebing lereng hampir di semua lokasi. Lereng datar
sampai agak datar (<8 %) sekitar 19.18 % luas areal berada pada dataran volkanik
antar pegunungan. Sebagian besar berada di Kecamatan Junrejo dan Batu dan
sebagian kecil di Kecamatan Bumiaji. Di Kecamatan Bumiaji biasanya diusahakan
untuk tanaman pangan (padi dan jagung), sedangkan di Kecamatan Batu dan
Bumiaji untuk tanaman sayuran. Lereng landai (8-15 %) sekitar 16.8 % luas wilayah
pada dataran berombak di kaki perbukitan yang dimanfaatkan untuk lahan budidaya
(tanaman pangan di Kecamatan Bumiaji dan Batu), dan sayuran dan/atau buah-
buahan di Kecamatan Bumiaji. Lereng agak curam (15-25 %) sekitar 15.45 % luas
wilayah pada dataran berombak-bergelombang di kaki perbukitan yang budidaya
tanaman pangan dan kebun campuran (Kecamatan Junrejo dan Batu) dan kebun
apel dan/atau sayuran di Kecamatan Bumiaji. Lereng curam (25-40) sekitar 15.47 %
luas wilayah pada kawasan kaki perbukitan atau tebing lembah yang ada di DAS
Sumber Brantas. Penggunaan lahan berupa kebun campuran, tanaman pangan
atau sayuran. Lereng sangat curam sampai terjal (>40 %) sekitar 33.10 % dijumpai di
kawasan perbukitan pegunungan dan tebing sungai. Lahan ini umumnya berupa
hutan, semak belukar atau bambu (di pinggir sungai di kawasan budidaya).
Pola drainase dendritik berasal dari kaki Gunung Kawi-Butak dan Panderman. Tanah
solumdangkaldenganbatuankokoh dibagianbawahmenyebabkansebagianbesar
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) 80
80
JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
air hujan akan mengalami mengalir di permukaan. Tanah dalam umumnya yang
dipengaruhi oleh bahan dari Gunung Kawi-Butak. Mata air yang muncul di wilayah ini
lebih banyak dipengaruhi oleh Gunung Kawi dan Butak.
Routing distance dari setiap subDAS ke outlet DAS di ujung Sungai Brantas di
Pendem disajikan pada Tabel 2.5.
Table 2.5. Routing distance dari centroid subcatchment ke outlet Sungai Brantas di
Pendem
Sedangkan penyebaran setiap penggunaan lahan pada tahun 1989 dan 2002
berturut-turut disajikan pada Gambar 2.16 dan 2.17.
2,000. 00
1,500. 00
1,000. 00
500. 00
-
Ricefield
Production
Dryland
Garden
Shurb
Bareland
Natural Forest
NoData (cloud
Setllement
andshadow)
Forest
(500. 00)
(1,000. 00)
(1,500. 00)
Gambar 2.15. Perubahan penggunaan lahan antara tahun 1989 ke tahun 2002.
Tersedianya citra yang diambil pada waktu yang berbeda, dimana citra tahun 1989
direkam pada bulan Februari (musim basah), sedangkan citra tahun 2002 direkam
pada bulan Agustus. Terlepas dari adanya alihguna lahan yang memang
banyak terjadi di kaawasan ini, kondisi ini juga berdampak pada luasnya lahan
bervegetasi (daun penuh) pada tahun 1989 dan daun gugur pada tahun 2002.
Berkurangnya luas kebun (apel dan jeruk) tampaknya karena pengaruh hal ini,
karena pada bulan- agustus banyak apel yang sudah selesai masa panen dan
mengalami perompesan sehingga terkesan tidak bervegetasi.
Gambar 2.18 menunjukkan bahwa landuse utama di DAS Sumber Brantas adalah
lahan sawah (3.87%), tanaman pertanian (agricultural land =13.22% dan kebun =
16.84 %) serta hutan (hutan alami = 9.37 % , hutan terganggu= 13.84% dan
agroforestry berbasis pohon = 9.52%).
Lahan sawah umumnya dijumpai pada wilayah datar di bawah ketinggian 800 m di
Kecamatan Junrejo dan Batu. Wilayah datar yang tidak cukup mendapatkan air
hujan biasanya digunakan sebagai lahan tegalan dengan tanaman ketela atai
jagung. Wilayah datar dengan ketinggian lebih 800 m banyak digunakan untuk
budidaya sayuran dan/atau bunga.
Gambar 2.16. Penggunaan lahan pada tahun 1989 di DAS Sumber Brantas
Gambar 2.17. Peta penggunaan lahan pada tahun 2002 di DAS Sumber Brantas
9.52 16.84
13.84
13.22
21.53 9.37
0.34 0.15
3.57 7.75
3.87
Garden Agricultural Land Natural Forest Bare Land
Setllem ent Shadow Rice Field Cloud
Shrub Disturb Forest Tree Base Agroforestry
Di bawah tegakan tanaman muda pada hutan produksi biasanya juga ditanami
sayuran dan atau tanaman pangan sampai kanopi tanaman kayu-kayuan cukup
rapat. Penggunaan lahan monokultur dengan pemberian pupuk yang tidak seimbang
menyebabkan terjadinya degradasi kesuburan tanah. Hal ini ditandai dengan
semakin tingginya jumlah pupuk, baik pupuk yang diberikan melalui tanah maupun
yang diberikan melalui penyemprotan daun. Untungnya, bahan induk yang berupa
bahan volkanik yang memiliki kandungan hara tinggi masih memiliki cadangan hara
yang cukup tinggi. Sebagian besar kebun apel ditengarai telah mengalami degradasi
kesuburan tanah, meskipun secara fisik masih cukup baik bagi berbagai usaha tani.
Selain karena usaha tani monokultur dengan pemberian pupouk yang tidak
seimbang, degradasi tanah di wilayah ini juga disebabkan oleh erosi dan longsor
karena penggunaan lahan yang tidak sesuai dengandaya dukungnya. Erosi dan
longsor cukup tinggi di wilayah ini, khususunya di Kecamatan Bumiaji yang memiliki
lahan dengan kemiringan cukup curam dan digunakan untuk budidaya tanaman
kentang. Kentang yang tidak menghendaki genangan, menyebabkan air hujan
sebagian besar melimpas di permukakan sehingga menyebabkan terjadinya
erosi dan longsor teras.
7.1. Pendahuluan
Penghutan kembali atau reboisasi telah banyak dilakukan oleh multipihak untuk
menyukseskan program pemerintah. Namun upaya reboisasi yang telah
menghabiskan biaya dan tenaga cukup banyak tersebut, belum menunjukkan hasil
yang optimal. Salah satu penyebab kegagalannya adalah karena bentuk reboisasi
yang dipilih masih belum belum dapat memenuhi kebutuhan masyara at. Guna
mencapai keberhasilan konservasi lahan di suatu kawasan DAS, diperlukan
pemahaman yang mendalam tentang kriteria dan indikator yang terlibat di dalam
proses proses-proses hidrologi.
Terganggunya fungsi hidrologi DAS seringkali dikaitkan dengan adanya kesalahan
dalam pengelolaan lahan. Pengelolaan lahan yang kurang tepat di bagian hulu
akibatnya akan dirasakan di bagian hilir (Agus et al., 2002), salah satu contoh adalah
semakin banyaknya lahan hutan yang digunakan sebagai lahan pertanian yag
intensif dengan kondisi lahan agak terbuka. Disisi lain keberhasilan pengelolaan DAS
ditentukan tingkat penutupan tanah oleh vegetasi hutan.
Pada prinsipnya upaya mempertahankan fungsi DAS adalah berhubungan dengan
upaya mempertahankan tingkat penutupan permukaan tanah untuk menjaga agar
jumlah dan kualitas air tersedia sepanjang waktu (Van Noordwijk et al. 2004).
Penutupan permukaan tanah oleh pohon dapat berupa hutan alami, atau sebagai
permudaan alam, agroforestri, atau pohon monokultur (misalnya hutan tanaman
industri).
Hutan berperanan penting dalam pengaturan tata air DAS melalui pengaruh tegakan
pohon dalam (a) mengubah pola aliran air hujan, dan (b) perbaikan sifat tanah,
secara skematis disajikan dalam Gambar 1 dan 2.
Gambar 1. Skema peran pohon sebagai Gambar 2. Skema peran akar pohon dalam
pengatur tata air dalam tanah (Hairiah mempertahankan porositas tanah melalui
et al., 2004) peningkatan antivitas akar dan cacing tanah
(Hairiah et al., 2004)
Hutan dapat mempertahankan fungsi DAS melalui perannya dalam beberapa hal
antara lain adalah:
1. Zona di atas tanah. Peran pohon pada zona di bagian atas tanah dibagi menjadi
2 yaitu:
a. Tutup hijau. Fungsi ini diberikan oleh tajuk pohon dan tumbuhan bawah yang
mengintersepsi (menahan) air hujan yang jatuh ke permukaan tanah
(Gambar 6). Intersepsi air hujan ini penting untuk:
Mengurangi daya pukul air hujan terhadap permukaan tanah.
Menambah jumlah air hujan yang masuk kedalam tanah secara
perlahan-lahan.
Mempertahankan iklim mikro. Lapisan air tipis (waterfilm) yang
tertinggal pada permukaan daun dan batang selanjutnya akan
menguap (evaporasi). Hal ini penting untuk mempertahankan
kelembaban udara.
b. Tutup coklat. Fungsi ini diberikan oleh lapisan seresah yang tebal di
permukaan tanah. Seresah adalah bagian mati tanaman berupa daun,
cabang, ranting, bunga dan buah yang gugur dan tinggal di permukaan
tanah baik yang masih utuh ataupun telah sebagian mengalami pelapukan.
Termasuk pula hasil pangkasan tanaman atau dari sisa-sisa penyiangan
gulma yang biasanya dikembalikan ke dalam lahan pertanian
oleh pemiliknya.
c. Serapan air oleh pohon. Untuk hidupnya pohon menyerap air dari dalam
tanah, sehingga meningkatkan jumlah ruang pori dalam tanah yang
memungkinkan air hujan untuk masuk ke dalam tanah. Bila resapan air
cukup cepat, maka tingkat limpasan permukaan akan berkurang.
3. Bentang lahan
Bentang lahan yang kasar, permukaan tanah yang tidak seragam, termasuk
adanya cekungan dan rawa, memberi peluang aliran air untuk untuk berhenti
lebih lama dan mengalami infiltrasi. Kondisi kekasaran permukaan pada
bentang lahan tersebut juga berfungsi sebagai filter sedimen.
Adanya pengelolaan drainase di daerah hulu juga akan mempengaruhi fungsi
hidrologi DAS. Pengelolaan lahan setelah konversi hutan di daerah hulu
biasanya ditujukan untuk perbaikan drainase guna melindungi tanaman dari
bahaya penggenangan dan/atau aliran permukaan. Adanya daerah rawa
pada suatu lansekap mempunyai peranan penting dalam mengurangi
terjadinya banjir di daerah hilir. Namun sebaliknya, jika ada usaha
mengurangi frekuensi terjadinya banjir di daerah hulu dengan mempercepat
aliran ke hilir, justru akan meningkatkan resiko banjir di daerah hilir.
Jalan setapak yang terbentuk oleh aktivitas manusia, hewan atau roda
kendaraan. Pada hutan alami, perlintasan hewan biasanya meninggalkan
jalan setapak yang merupakan pemicu pertama terbentuknya jalur aliran
permukaan walaupun tingkatannya masih belum terlalu membahayakan.
Jalan setapak yang terbentuk oleh roda pedati atau kendaraan berat selama
penebangan pohon di hutan cenderung meningkatkan intensitas aliran
permukaan dan penghanyutan sedimen ke sungai.
Ketiga aspek hutan tersebut memberikan dampak yang berbeda terhadap total debit
sungai tahunan, debit sungai dimusim kemarau, debit banjir sesaat dan kualitas air.
Setiap tipe hutan berbeda kondisi vegatasi, tanah dan bentang lahannya. Cara alih
guna lahan hutan dan pemulihannya melalui kegiatan reforestasi juga akan
mempengaruhi cara dan kercepatan perubahan kondisi vegetasi, tanah dan bentang
lahan dalam menjaga fungsi DAS. Pemahaman tentang peran hutan dalam fungsi
DAS perlu dispesifikasi sebelum kita menilai dampak alih guna lahan hutan
terhadap fungsi DAS. Tipe hutan dan tipe penggunaan lahan lainnya yang dialih-
gunakan akan menentukan apakah peranan hutan dalam fungsi DAS adalah
negatif, netral atau bahkan positif terhadap hidrologi DAS. Atas dasar definisi yang
meluas tentang hutan seperti diuraikan diatas, deforestasi dapat dipandang
sebagai kehilangan fungsi hutan.
Jadi, dampak umum dari konversi hutan dan atau perubahan penutupan lahan oleh
pohon pada suatu bentang lahan dapat dipahami dari kombinasi dan interaksi
berbagai proses tersebut di atas. Dengan demikian upaya mempertahankan fungsi
DAS dapat difokuskan pada pengurangan aliran air BUKAN pada jenis pohon yang
ditanam.
8.1. Pendahuluan
Mataair adalah aliran air tanah (water table) yang terpotong oleh topografi sehingga
air memancar ke permukaan bumi. Untuk memahami asal-usul mataair diperlukan
pengetahuan dasar tentang air tanah, proses pembentukannya dan alirannya. Oleh
karena itu dalam bab ini akan dibahas lebih dahulu hal-hal yang terkait dengan air
tanah dan mataair.
kaki gunung
sumur
kanats corong
pangkal
saluran
sawah
penghasil air
tanah
muka air
batuan kedap air alluvium
Hampir semua air tanah dapat dianggap sebagai bagian dari daur hidrologi,
termasuk air permukaan dan air atmosfir. Sejumlah kecil air tanah yang berasal dari
sumber lain dapat pula masuk ke dalam daur tersebut (Gambar 2.2)
b. Penyebaran Vertikal Air Tanah
Terdapatnya air tanah di bawah permukaan tanah dapat dibagi dalam daerah jenuh
dan tidak jenuh. Dalam daerah jenuh semua rongga terisi oleh air dibawah tekanan
hidrostatik. Daerah tidak jenuh terdiri atas rongga-rongga yang berisi sebagian oleh
air, sebagian oleh udara.
Awan
Awan
Awan Awan
hujan hujan
hujan hujan
Transpirasi Evaporasi
air
angin
Perkolasi
Permukaan phreatik
Evaporasi
Evaporasi (muka air tanah)
laut
aliran air tanah aliran air tanah
Daerah tidak jenuh terletak di atas daerah jenuh sampai kepermukaan tanah. Daerah
jenuh sebelah atasnya dibatasi oleh batas lapisan jenuh atau lapisan kedap air,
bawahnya merupakan lapisan kedap air, berupa tanah liat atau batuan dasar
(bedrock). (Bisri, hal: 4)
Air yang berada didalam daerah jenuh dinamakan air tanah. Air yang berada di
dalam daerah tidak jenuh dinamakan air mengambang atau air dangkal (vadus
water). Daerah tidak jenuh dibagi menjadi daerah dangkal, daerah antara dan daerah
kapiler (Gambar 2.3)
Daerah Air Dangkal
Tanah di daerah air dangkal ini berada di dalam keadaan tidak jenuh, kecuali
kadang-kadang bila terdapat banyak air dipermukaan tanah seperti yang berasal dari
curah hujan dan irigasi. Daerah tersebut dimulai dari permukaan tanah sampai ke
daerah akar utama (major root zone). Tebalnya beragam menurut jenis tanaman dan
jenis tanah. Daerah air dangkal mempunyai arti penting bagi pertanian.
Daerah Antara
Daerah antara ini berada diantara batas bawah dan daerah air dangkal sampai batas
atas dari daerah kapiler. Ketebalannya sangat beragam, yaitu antara 0 yang terjadi
bila muka air tanah mendekati permukaan tanah, sampai beberapa ratus meter pada
keadaan muka air tanah yang dalam. Daerah ini berguna memungkinkan
mengalirnya air ke bawah, dari daerah dekat permukaan tanah sampai permukaan
air tanah. Air yang tidak bergerak (air pellicular) ditahan dalam daerah ini oleh gaya-
gaya higroskopis dan kapiler. Kelebihan airnya merupakan air gravitasi
yang mengalir ke bawah karena pengaruh gravitasi.
Daerah Air
Air dangkal
dangkal
Daerah Tidak
Jenuh
Air Daerah antara
Gravitasi
Daerah Jenuh
Air tanah
Daerah Kapiler
Daerah kapiler berada antara permukaan air tanah sampai batas kenaikan kapiler
dari air.
- konglomerat
- batuan kristalin (Bisri hal: 5)
Porositas dalam endapan ini tergantung pada bentuk dan susunan masing-masing
butir dan tingkat sementasi serta pemadatannya. Besarnya porositas berada antara
mendekati 0% sampai lebih dari 15% tergantung dari faktor-faktor tersebut diatas
dan tipe material.
TABEL 2.1 POROSITAS BEBERAPA BAHAN SEDIMEN
VAN POROSITAS ( % )
TANAH 50 - 60
Tanah Liat 45 - 55
Lanau ( Silt ) 40 - 50
Volume air tanah dalam dataran alluvial ditentukan oleh tebal, penyebaran dan
permeabilitas dari akuifer yang terbentuk. Air susupan, air tanah yang dalam dan air
tanah sepanjang pantai mempunyai sifat-sifat sebagai berikut :
a. Air Susupan ( influent water )
Air tanah dalam lapisan yang mengendap di dataran banjir ditambah langsung dari
peresapan air sungai, disebut air susupan. Titik permulaan peresapan air sungai
dapat diperkirakan dari garis kontur permukaan air tanah. Permukaan air tanah ini
dangkal, sehingga pengambilan air dapat diadakan dengan sumur dangkal atau
drainase pengumpul. Arah aliran air berubah dan air tanah itu keluar ke sungai
sehingga memerlukan penyelidikan yang cukup untuk menentukan cara
pengambilan air. Untuk meningkatkan effisiensi pengambilan air, maka arah letak
drainasepengumpulharustegakluruspadagariskonturpermukaanair.
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) 95
95
JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
Alluvium dan dillivium yang diendapkan setebal tujuh puluh sampai beberapa ratus
meter di dataran alluvium terdiri selang-seling dari lapisan pasir dan kerikil, lapisan
loam dan lapisan lempung. Air tanah dilapisan yang dalam selalu tertekan dan
seringkali permukaan air yang tertekan itu terdapat di dekat permukaan tanah.
-2 -3
1. Permeabilitas dari akuifer adalah kira-kira 10 sampai 10 cm/det
dan mengingat permukaan air hidrolik itu dalam, maka pengambilan air
dilakukan dengan sumur dalam (sumur pompa).
2. Untuk pipa-pipa 300 mm, dalam 100 meter, kapasitas pompa
3
adalah kira-kira 1.000 sampai 3.000 m /hari.
3. Penurunan permukaan tanah dapat terjadi oleh konsolidasi lapisan
lempung yang disebabkan oleh penurunan permukaan air tanah.
4. Jika pemompaan diadakan pada lapisan yang dalam, maka penurunan
permukaan air tertekan itu besar dan jari-jari lingkaran pengaruh dapat
mencapai beberapa kilometer.
Mengingat sumur di tepi pantai itu tidak dapat dipergunakan kembali setelah
dimasuki air asin, maka harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut :
S : Permukaan air laut
W : Sumur
f
S h
H = 42h
W1 W2 W3
f
S
Percampuran air asin dan air tawar dalam sebuah sumur dapat terjadi pada :
Dasar sumur terletak dibawah perbatasan antara air asin dan air tawar.
Permukaan air dalam sumur selama pemompaan menjadi lebih rendah dari
permukaan air laut, sehingga daerah pengaruhnya mencapai tepi pantai.
Keseimbangan perbatasan antara air asin dan air tawar tidak dapat
dipertahankan, perbatasan itu dapat naik secara abnormal yang disebabkan
oleh penurunan permukaan air di dalam sumur selama pemompaan.
Untuk Air Tanah Terkekang
E F
G C
S
SS
M
Ba
Perbatasan antara air asin dan air tawar dalam akuifer terkekang ditentukan oleh
dalamnya akuifer, permeabilitas, besar tekanan dan lain-lain. Jadi kadang-kadang
meskipun sumur itu dalam dan di tepi pantai, tidak akan terdapat percampuran air
asin. Kadang-kadang percampuran itu terjadi meskipun sumur itu dangkal dan
cukup jauh dari pantai.
dibandingkan dengan luasnya lembah itu, maka sering juga air asin dapat menyusup
agak jauh kedalam daratan melalui lapisan pasir dan kerikil ini.
C F
f
C1
Gambar 2.7 memperlihatkan endapan kipas detrital itu dibagi atas endapan diatas
kipas, endapan dibagian ujung kipas. Kesemuanya mempunyai karakteristik
sebagai berikut :
Endapan dibagi atas kipas terdiri dari lapisan pasir dan kerikil yang tidak
terpilih. Zone penambahan dimana air tanah itu sulit di tampung,
terbentuk pada bagian hulu endapan ini. Permeabilitas endapan
pada bagian atas kipas adalah kira-kira 10 -1 sampai 10 -2 cm/det.
Endapan di bagian kipas terutama terdiri dari lapisan pasir dan
permeabilitasnya adalah kira-kira 10-2 sampai 10-3 cm/det, permukaan
air tanah bebas umumnya dalam.
Endapan loam pada ujung bawah kipas umumnya berbentuk lensa.
Akuifer yang terdapat di bawah endapan ini adalah air tanah yang
terkekang.
Makin dekat ke ujung dasar kipas, permukaan air tanah itu makin
dangkal dan sering kali air akan keluar di ujung bawah kipas. Tetapi pada
bagian ini dapat terbentuk juga zone air tanah terkekang yang dangkal,
mengingat bagian ini tertutup dengan lapisan lempung.
V
f Sp
D1
Ba
A1
Air tanah dalam terras diluvial yang tertutup dengan endapan terras yang agak tebal
ditentukan oleh keadaan bahan dasar dan daerah pengaliran dari terras. Kondisi-
kondisinya adalah sebagai berikut :
Pada lembah bagian dari batuan dasar terdapat akuifer yang tebal dan
mata air akan keluar pada bagian dimana batuan dasar itu letaknya
dangkal.
Jika terras itu bersambung dengan kaki gunung api dan lapisan
endapannya juga bersambung dengan lapisan kasar gunung itu, maka
pengisisan air tanah akan menjadi besar meskipun daerah aliran terras itu
kecil.
Mengingat kaki dari gunung api itu mempunyai topografi dan geografi yang aneh,
maka air tananya mempunyai karakteristik sebagai berikut :
Kaki gunung api itu mempunyai latar belakang yang tinggi, sehingga bagian ini
mempunyai curah hujan yang lebih banyak daripada daerah sekelilingnya.
Pengisian air tanah tentu lebih banyak.
Fragmen-fragmen batuan gunung api mempunyai ruang-ruang yang banyak dan
dapat dengan mudah menyalurkan air tanah. Pada bagian ujung terras akan
berbentuk akuifer yang besar dengan mata air yang banyak.
Mengingat pada bagian dasar aliran lava itu terdapat banyak retakan dan ruang-
ruang, maka air tanah dengan mudah dapat melalui dasar sepanjang lembah itu .
Begitu juga dengan air tanah yang memiliki sifat seperti air celah.
A = Permukaan Lapisan
Homogin
Fa = Sesar Turun
Fa f
A
Sh = Shale
Fa = Sesar Geser-Turun
f = Permukaan Air Tanah
Bebas Fa
f
Ba
Sh
Untuk pekerjaan pengembangan air tanah di daerah volkanik yang juga mempunyai
banyak potensi untuk terdapatnya air tanah, maka harus dikenali lebih dahulu batuan
apa yang berfungsi sebagai akifer. Dengan mengetahui jenis batuan apa yang bisa
menjadi akifer maka pencarian lokasi terdapatnya air tanah akan lebih efektif,
adapun jenis Formasi batuan volkanik yang dapat menjadi akifer yaitu :
1. Batupasir yang tidak tersemen tuf, batuan ini berpotensi sebagai akifer
yang baik karena terdiri atas butir-butir pasir yang kecil dengan porositas /
ruang antar butir yang besar. Selain itu karena adanya permeabilitas
pada batupasir yang pada umumnya lebih besar dibandingkan dengan
sedimen yang lain sehingga fluida mudah sekali melewati rongga antar
butir batuan ini. Batupasir ini umumnya terjadi di kaki gunung dengan
fasies Fluviovolkanik, jadi materialnya berasal dari material gunungapi
terdekat dan jenis batuannya adalah batuan sedimen yang diendapkan
sistem sungai. Pada kondisi akifer terkekang karena adanya lapisan
penutup diatas akifer maka tekanan air menjadi tinggi dan jika dibor akan
menjadi sumur artesis. Contoh yang bagus di mataair Umbulan
Kabupaten Pasuruan dimana akifer adalah batupasir sedangkan lapisan
penutup adalah lava basal yang kedap air, debit mataair > 5000 liter/
detik. Untuk daerah Pasrepan di sebelah Baratlautnya juga
dijumpai banyak sumur bor artesis dengan debit diatas 40 liter/detik,
bedanya lapisan penutup disambung oleh batuan tuf yang tersemen
kedap air, jadi begitu pemboran menembus tuf maka air tanah langsung
memancar ke permukaan tanpa pompa.
2. Breksi Lahar adalah batuan volkanik yang merupakan campuran pasir,
lumpur dan kerakal-bongkah batuan beku sebagai fragmen terasing di
dalamnya. Jika breksi lahar sudah diendapkan maka efek pemampatan
material akan menyebabkan tercucinya material lumpur keluar dari
batuan, akibatnya ada ruang antar butir pasir yang bisa diisi oleh air
tanah. Kondisi breksi yang seperti itu akan membuat breksi berpotensi
menjadi akifer yang baik meskipun batuan bervariasi dengan kerakal-
bongkah, contoh di Ngoro, Mojokerto, di daerah Ngoro Industrial Park
akifernya adalah jenis ini yang berasal dari Formasi Arjuno Tua
dengan kisaran debit pemompaan 20 40 liter/detik.
4. Konglomerat volkanik, adalah batuan yang terdiri atas kumpulan fragmen
batuan beku yang bentuk butirnya rounded-well rounded umumnya
tersemen lemah, sehingga menyisakan ruang antar butir yang cukup
-2 -1
besar dengan koefisien permeabilitas mencapai orde 10 sampai 10
sehingga sangat mudah dilalui air tanah dan batuan konglomerat
volkanik dapat berfungsi sebagai akifer yang bagus. Sebagai contoh di
Selatan Mojosari, Mojokerto pemboran dari PT.Multi Bintang yang
M a t a a ir M A T A k u ife r
M a ta a i r
M a ta a i r
M a ta a i r
A k u ife r
A k u if e r
Kondisi yang gundul/gersang di dekat mataair tipe ini samasekali tidak berpengaruh
terhadap fluktuasi debit mataair, tetapi kondisi di daerah isian yang bisa sangat jauh
akan mempengaruhi debit. Sebagai contoh : Mataair umbulan daerah isiannya
berasal dari lautan pasir G.Tengger yang sangat luas setara kota Malang,
permeabilitas pasir sangat tinggi walaupun tidak ada hutan, curah hujan > 3000
mm/tahun.
Batuan kedap air sebagai lapisan penutup sangat bervariasi tergantung lokasinya,
pada daerah volkanik batuan berupa : Lava Basalt, Lava Andesit, Tuf dan di kaki
gunung dari faies fluviovolkaniknya bisa berupa batulempung. Di daerah Pasrepan
lapisan penutupnya berupa Tuf, sedangkan di Daerah Bangsal sampai Puri,
Mojokerto lapisan penutupnya adalah batulempung. Untuk perencanaan
daerah konservasi mataair stratigrafi pasti menyangkut daerah isian yang jauh dari
lokasi mataair, perubahan tata guna lahan di daerah isian pasti akan mengubah
infiltrasi menjadi limpasan permukaan, untuk jelasnya lihat Gambar 2.13.
R ec h a r g e Are a
C ap R o c k
Mat a air
Ak u if er
dari Perguruan Tinggi yang ada di Kota Malang seperti Universitas Brawijaya
(UB), Universitas Islam Malang (UNISMA) dan Universitas Muhamadiyah Malang
(UMM).
Berikut ini diuraikan secara ringkas dalam matriks kepentingan setiap pihak dalam
pengelolaan DAS, kemudian peran yang sudah dilakukan dalam pengelolaan DAS
Sumber Brantas serta persepsi dan pengetahuan masing-masing stakeholder
terhadap pencapaian DAS yang sehat (Tabel 4.1.).
Kecamatan Batu, Kecamatan Bumiaji dan Kecamatan Junrejo. Barulah pada 21 Juni
2001 status Batu resmi menjadi Kota berdasarkan UU No 11 Tahun 2001. Kota Batu
menjadi daerah otonomi dipimpin seorang Walikota. Walikota Batu pertama, Imam
Kabul menjabat pada periode 2001 s/d 2007. Sebelum pilkada bulan Oktober 2007,
Walikota meninggal dunia (26 Agustus 2007), sehingga jabatan walikota Batu
dipegang oleh seorang pelaksana harian (plh), sampai terpilihnya walikota definitif.
Pilkada baru dilaksanakan 5 Nopember 2007 dan terpilih pasangan Walikota Eddy
Rumpoko dan Wakil Walikota H. Achmad Budiono, SH. MM, yang dilantik pada pada
hari Senin 23 Desember 2007, setelah memenangkan pilkada pada 5 November
2007 lalu.
Terjadi ketidak-pastian di kalangan birokrasi Kota Batu sejak meninggalnya Walikota
Imam Kabul sehingga banyak hal yang menyangkut kebijakan seolah diambangkan
karena menunggu kepastian walikota yang baru. Demikian pula sejak walikota Eddy
Rumpoko dilantik sampai masih terjadi suasana yang mengambang, karena adanya
isu perubahan organisasi dan mutasi jabatan di lingkungan SKPD Kota Batu. Hal ini
ternyata sangat berpengaruh terhadap sikap dan kebijakan yang diambil oleh
beberapa dinas, khususnya yang terkait dengan penelitian RHA, yakni sebagai
stakeholder dari lembaga pemerintah (PEK). Isu tersebut akhirnya
menjadi kenyataan pada bulan Desember 2008, di mana terjadi perubahan yang
cukup besar di beberapa SKPD yang terkait dengan penelitian RHA ini. Selain
mutasi pejabat atau pimpinan SKPD ternyata juga ada perubahan struktur
organisasi beberapa SKPD. Perubahan SKPD yang terkait dengan isu
pengelolaan DAS pada bulan Desember 2008 adalah sebagai berikut :
2001-Desember 2008 Mulai Desember 2008
Dinas Kehutanan dan Lingkungan menjadi Dinas Lingkungan Hidup
Hidup
Dinas Sumberdaya Air dan Enerji menjadi Dinas Pengairan dan Bina Marga
Dinas Pertanian dan Peternakan menjadi Dinas Pertanian dan Kehutanan
Berikut ini diuraikan secara ringkas dalam matriks kepentingan setiap pihak dalam
pengelolaan DAS, kemudian peran yang sudah dilakukan dalam pengelolaan DAS
Sumber Brantas serta persepsi dan pengetahuan masing-masing stakeholder
terhadap pencapaian DAS yang sehat (Tabel 4.2.).
LSM Harapan Pulih Fasilitasi Rehabilitasi hutan Fasilitasi kegiatan PHBM oleh LMDH Penguatan masyarakat untuk
Sentosa dan Perhutani merehabilitasi hutan
YPP Fasilitasi penerapan Jasa Penguatan kelembagaan kelompok Penguatan Kelembagaan Masyarakat
Lingkungan Hulu-hilir tani untuk rehabilitasi lahan dan dapat sebagai roda penggerah
hutan, menjadi mediator dalam rehabilitasi lahan dan hutan yang
rehabilitasi lahan efektif
Yayasan Pusaka Fasilitasi dan advokasi Pengembangan kegiatan Gerakan Pendekatan cultural dan structural
permasalahan lingkungan Rehabilitasi Hutan dengan program dapat sebagai penggerak efektif dalam
GIRAB rehabilitasi hutan dan lahan
LSM Paramitra Pengembangan Jasa Linglkungan Fasilitasi pengembangan peraturan Penguatan kelembagaan masyarakat
melalui mekanise pengembangan daerah tentang jasa lingkungan, dapat sebagai pendorong percepatan
peraturan daerah fasilitasi koordinasi kegiatan Tahura rehabilitasi lahan dan hutan serta
R Soerjo dengan masyarakat, konservasi kawasan lindung
Pengembangan Perdes Lingkungan
Kelompok Tani Tahura Pengembangan kegiatan konservasi Pengembangan rencana aksi untuk Konservasi biodiversitas hutan dapat
(KTT) biodiversitas dan pemanfaan fungsi konservasi biodiversitas dan menjaga kelestarian sumberdaya air
hutan non kayu untuk usaha pemanfaatan fungsi hutan non kakyu
produktif dan pengembangan sistem
pengamanan hutan
Lembaga Masyarakat Perbaikan perikehidupan anggota Penguatan pesanggem dalam rangka Perbaikan perekonomian pesanggem,
Desa Hutan (LMDH) melalui peran aktif dalam mendukung implementasi PHBM di dan kebersamaan dank e solidan
implementasi PHBM wilayah Perhutani organisasi LMDH dapat mendukung
pengembangan fungsi ekologis hutan
IPPHTI Impelentasi pengendalian hama Pengembangan dan implementasi Perbaikan kualias air melalui
penyakit terpadu dalam usaha pengendalian hama penyakit terpadu implementasi Pengendalian Hama-
budidaya pertanian yang menekan sekecil mungkin Penyakit Terpadu ( PHT)
kontaminasi pestisida dalam aliran
air
HIPPAM Penyediaan air bersih masyarakat Perencanaan, pengembangan dan Konservasi sumber air penting untuk
pedesaan yang murah dengan pemanfaatan sumber air untuk keberlanjutan penyediaan air besih
managemen masyarakat desa itu penyediaan dan pemerataan air kebutuhan rumah tangga
sendiri bersih masyarakat pedesaan
HIPA Pemanfaatan dan pengelolaan air Pengaturan kebutuhan air baku Konservasi sumber air penting untuk
untuk irrgiasi baik di lahan untuk irrigasi keberlanjutan penyediaan air irigasi
perkebunan apel, lahan kering dan dalam pendukung usaha pertanian
lahan sawah
FOKAL MESRA Pemantauan kondisi lingkungan dan Fasilitasi Masyarakat untuk Pemanfaatan sumberdaya alam untuk
pemberdayaan masyarakat untuk pengelolaan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat harus
pengelolaan lingkungan rehabilitasi hutan dan lahan, selaras alam
pemantauan kualitas air di badan
sungai
Kelompok Tani Pemanfaatan sumberdaya air untuk Penggunaan pestisida yang dapat Pengaturan pemanfaatan air yang lebih
irrigasi menyebabkan kontaminasi aliran air efisien dan pengembangan
pengendalian HPT dapat memperbaiki
kondisi lingkungan
Serikat Petani Gunung Memperjuangan anggotanya yang Pemanfaatan lahan hutan dengan Konservasi Gunung Biru dengan
Biru (SPGB) mayoritas tidak memiliki lahan untuk mengusahakan tanaman dibawah menyertakan masyarakat untuk
mendapatkan lahan garapan dihutan tegakan peningkatan ekonominya dapat
dengan menjaga kelestarian hutan melestarikan sumberdaya air.
Persatuan Pengusaha Pemanfaatan sumber air untuk Berpartisipasi dalam rehabilitasi Pasokan air baku untuk kebutuhan
Hotel dan Restauran kebutuhan usaha perhotelan hutan usaha perhotelan penting melalui
(PHRI) rehabilitasi hutan
PEK terkait dengan RHA di DAS Sumber Brantas menjadi sangat menarik akibat
adanya periode transisi di Kota Batu. Terlihat bahwa kebijakan yang diambil oleh
Dinas-dinas sangat tergantung dari figur pimpinan daerah dalam hal ini walikota.
Salah satu isu penting terkait dengan RHA yang bisa dijadikan contoh adalah
hubungan antara hutan dan air (banjir dan kekeringan). Semua komponen di Kota
DAFTAR PUSTAKA