Anda di halaman 1dari 117

BAHAN BACAAN PRAKTIKUM LAPANGAN

MANAJEMEN DAS

JURUSAN TANAH, FAKULTAS PERTANIAN


UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2011
BAHAN BACAAN
PRAKTIKUM LAPANGAN

MANAJEMEN DAS

Oleh
Tim Pengampu Matakuliah Manajemen DAS

JURUSAN TANAH, FAKULTAS PERTANIAN


UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2011
DAFTAR ISI

Materi dan Lokasi Praktikum ............................................................................................ v

Kata Pengantar . vii

1. Pengukuran Debit dan Sedimen di Sungai ............................................................... 1

2. Biooassesment Ekosistem Sungai............................................................................ 22

3. Dampak Tataguna Lahan Terhadap Sumberdaya Air............................................... 30

4. Isu Manajemen Di Sub DAS Sumber Brantas .......................................................... 41

5. Proses Perencanaan DAS Mikro Sebagai Basis Pengembangan Aksi Manajemen DAS

.................................................................................................................................. 55

6. Pemahaman Data Biofisik Dengan Pendekatan Spasial Sebagai Basis Manajemen DAS

.................................................................................................................................. 72

7. Memahami Fungsi Hutan Terhadap Hidrologi DAS .................................................. 88

8. Geohidrologi Dalam DAS.......................................................................................... 91

9. Persepsi dan Pengetahuan Stakeholders Terhadap Fungsi DAS............................. 108

Daftar Pustaka ................................................................................................................ 116

PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) IV


IV
JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
MATERI DAN LOKASI PRAKTIKUM (STOP)
MANAJEMEN DAS 2014

MATERI I

1. Pengukuran Debit dan Sedimen di Sungai (Sumber : Panduan Praktikum)


2. Analisis Kualitas Air (Sumber : Panduan Praktikum)
3. Biota Sungai (Sumber : Panduan Praktikum)
4. Dampak Tataguna Lahan terhadap Sumberdaya Air (Sumber : Bahan Bacaan Praktikum)
Fasilitator: Sri Sudaryanti; Patra, Sugeng Prijono, Kurniawan Sigit W., Ngadirin

MATERI II

5. Issu Managemen di Sub DAS Sumber Brantas (Sumber : Bahan Bacaan Praktikum)
6. Proses Perencanaan DAS Mikro sebagai basis Pengembangan Aksi Managemen DAS (Sumber
: Bahan Bacaan dan Panduan Praktikum)
Fasilitator: Widianto, Iva Dwi Lestari, Aditya Nugraha P

MATERI III

7. Pemahaman Batas DAS (Sumber : Panduan Praktikum)


8. Pemahaman Data Biofisik dengan pendekatan spatial sebagai basis Managemen DAS (Sumber
: Bahan Bacaan Praktikum)
Fasilitator: (1) Sudarto, Sativandi Riza, Siti Laelatul R

MATERI IV

9. Pengukuran Kanopi, Biodiversitas dan Nekromas (Sumber : Panduan Praktikum)


10. Mengitung Cacing Tanah (Sumber : Panduan Praktikum)
11. Mengamati Perakaran Tanaman (Sumber : Panduan Praktikum)
12. Memahami Fungsi Hutan Terhadap Hidrologi DAS (Sumber : Panduan Praktikum)
13. Memahami Pengaruh Alih Fungsi Hutan Terhadap LImpasan Permukaan dan Erosi (Sumber :
Panduan Praktikum)
14. Geohidrologi dalam DAS (Sumber : Bahan Bacaan Praktikum)
Fasilitator: (1)Didik Suprayogo, Nina Dwi Lestari; Sarkam

MATERI V

15. Pemahaman Komponen ekosistem DAS (Sumber : Panduan Praktikum)


16. Memotret Permasalahan DAS (Sumber : Panduan Praktikum)
17. Menyusun Profil Wilayah (Sumber : Panduan Praktikum)
18. Menyusun Rencana Aksi (Sumber : Panduan Praktikum)
Fasilitator: Widianto, Iva Dwi L

PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) V


V
JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
MATERI VI

19. Presepsi dan Pengetahuan Stakeholders Terhadap Fungsi DAS (Sumber : Bahan Bacaan
Praktikum)
20. Sistem Alami DAS dan Valuasi Lingkungan (Sumber : Panduan Praktikum)
Fasilitator : Zaenal Kusuma, Rini Dwi Astuti, Suhartini, Istika Nita, Condro Puspo Nugroho.

PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) VI


VI
JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
KATA PENGANTAR
Praktikum Lapangan ini merupakan kegiatan di lapangan yang dilakukan oleh
mahasiswa untuk mempraktekkan ilmu atau materi yang didapat di dalam kelas.
Kejelasan akan sebuah materi dari sebuah mata kuliah menjadi sangat penting
dipahami oleh setiap mahasiswa. Karena hal itu akan mempengaruhi hasil yang
hendak dicapai dari materi itu sendiri. Oleh karenanya, perlu dilakukan adanya
Praktikum Lapangan sebagai salah satu metode pembelajaran yang dianggap lebih
efektif karena mahasiswa akan langsung menerapkan ilmu yang didapatkan di
lapangan.
Praktikum Lapangan manajemen daerah aliran sungai (DAS) perlu dilakukan
sehubungan dengan maraknya isu lingkungan tentang kuantitas dan kualitas
air yang semakin tidak sehat dan tidak bersih. Untuk itu mahasiswa diharapkan
dapat memahami komponen-komponen suatu DAS sehingga dapat mengetahui
terjadinya permasalahan dan sumber masalahnya di suatu DAS.
Untuk itu praktikum ini ditujukan agar mahasiswa mampu
meningkatkan pengetahuan dan keyakinannya melalui pengalaman sendiri
(learning by doing) dalam membaca bentang alam, memahami komponen
manajemen DAS, menjelaskan penyebab kerusakan, proses dan dampaknya serta
dapat memahami pengetahuan dasar suatu perencanaan manajemen DAS untuk
menyelesaikan permasalahan yang terjadi baik secara biofisik, sosial-ekonomi,
kelembagaan.
Selamat menjalankan praktikum lapangan dan semoga bermanfaat.

Penyusun

PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) VII


JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
1. PENGUKURAN DEBIT DAN SEDIMEN DI
SUNGAI

1.1. PERSYARATAN PENGUKURAN DEBIT

Beberapa persyaratan yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan pengukuran debit


dengan alat ukur arus agar dapat diperoleh lengkung debit yang dapat
menggambarkan hubungan antara tinggi muka air dengan debit, mulai dari keadaan
debit terkecil sampai dengan debit terbesar, persyaratan yang di maksud antara, lain
meliputi :
1. lokasi pengukuran;
2. jumlah dan waktu pengukuran;
3. peralatan, tenaga pelaksana dan dana.

Berikut ini akan diuraikan secara singkat tentang ketiga faktor tersebut.

1.2. Lokasi Pengukuran Debit

Setiap tenaga pelaksana pengukuran debit dengan alat ukur arus harus mengetahui
kondisi hidrolis dari lokasi pengukuran, baik pada keadaan debit terkecil sampai
dengan debit terbesar, paling tidak pada keadaan debit kecil, karena pada debit kecil
keadaan alur sungainya dapat dengan jelas diketahui.
Berikut ini disajikan persyaratan lokasi pengukuran yang haik untuk tempat
pengukuran debit dengan alat ukur arus, persyaratan yang dimaksud antara lain :
1) mempunyai pola aliran yang seragam. dan mendekati jenis aliran sub kritik,
kecepatan alirannya tidak terIalu lambat atau terIalu cepat. Pengukuran yang
baik pada lokasi yang mempunyai kecepatan aliran mulai dari 0,20 m/det
sampai dengan 2,50 m/det;
2) tidak terkena pengaruh peninggian muka air dan aliran lahar;
3) kedalaman aliran pada penampang pengukuran harus cukup, kedalaman
aliran yang kurang dari 20 cm biasanya sulit diperoleh hasil yang baik.
4) aliran turbulen yang disebabkan oleh batu-batu, vegetasi, penyempitan lebar
alur sungai atau. karena sebab lainnya harus dihindarkan;
5) penampang pengukuran debit sebaiknya dekat pos duga air, diantara
penampang pengukuran debit dengan lokasi pos duga air tidak terjadi
penambahan/pengurangan debit;
6) penampang pengukuran debit/penampang melintang lokasi pos duga air
harus mampu melewatkan debit banjir;
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

7) dilakukan pada alur sungai yang stabil, dimaksudkan pada lokasi tersebut.
tidak terIalu banyak mengalami perubahan geometri oleh adanya proses
degradasi/agradasi;
8) lokasi pengukuran debit mudah didatangi, tidak tergantung dari keadaan
cuaca khususnya pada musim penghujan atau pada saat terjadi banjir;
9) adanya penampang kendali, dimaksudkan agar dapat berfungsi sebagai
lokasi pengukuran debit dan peninggi muka air yang baik, sehingga dapat
dilakukan pembacaan tinggi muka air untuk debit nol, dan
10) sesuai dengan perencanaan, lokasi pengukuran debit harus sesuai dengan
yang direncanakan, artinya sedapat mungkin dilakukan pada suatu
penampang palung sungai yang tetap.
Persyaratan-persyaratan tersebut pada umumnya sulit dijumpai pada suatu lokasi
alur sungai yang tetap dilapangan, walaupun demikian dapat. sebagai petunjuk
pemilihan lokasi pengukuran debit yang baik, minimal persyaratan nomor 1 sampai 5
harus dapat terpenuhi.

1.3. Jumlah dan Waktu Pengukuran Debit

Pelaksanaan pengukuran debit hasiInya harus dapat menggambarkan sebuah


lengkung debit untuk sebuah penampang basah yang tetap. Jumlah pengukuran
debit minimal 10 buah untuk sebuah lengkung debit yang datanya tersebar mulai
keadaan aliran terendah sampai tertinggi. Untuk sebuah lengkung debit jumlah
pengukuran debitnya tergantung dari banyak faktor, antara lain :
1) interval keadaan. tinggi muka air untuk debit terkecif dan terbesar;
2) stabilitas penampang kendali;
3) tuiuan penggunaan data;
4) frekuensi teijadinya banjir;
5) ketelitian pengukuran data pengukuran debit yang telah diperoleh dan
6) kemungkinan mengkalibrasi alat ukur arus.

Waktu pengukuran debit meliputi lama dan periode pelaksanaan. Apabila


pengukuran debit dimaksudkan untuk membuat lengkung debit sebagai dasar
perhitungan debit dalam menyusun buku publikasi debit (year books), maka waktu
pengukuran harus benar-benar diperhatikan. Pada saat aliran rendah pengukuran
debit dilaksanakan dua kali dalam sekali waktu pengukuran, pengukuran debit
dilaksanakan bolak-balik penampang basah yang sama. Sedangkan pada saat banjir
cukup satu kali dalam periode waktu pengukuran pada ketinggian muka air tertentu,
untuk kemudian dilaksanakan pengukuran debit apabila selama banjir tersebut telah
terjadi perubahan tinggi muka air. Ini dimaksudkan agar selama periode banjir dapat
diperoleh beberapa data debit pada beberapa keadaan tinggi muka air yang
dianggap tetap.

PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) 2


JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

Sedangkan periode pelaksanaannya tergantung musim. Pada, musim kemarau


pada umumnya cukup satu sampai dua kali selama keadaan aliran masih tetap
rendah. Pada musim penghujan memerlukan frekuensi pengukuran yang lebih
banyak, yaitu minimal 3 kali setiap bulannya dan setiap kali pengukuran debit pada
saat banjir harus dapat diukur debitnya pada berbagai tinggi muka air yang dianggap
tetap, terutama mulai keadaan puncak banjir sampai kembali menjadi keadaan aliran
normal lagi.

1.4. Peralatan, Tenaga Pelaksana dan Dana

Peralatan yang digunakan harus dipelihara dengan baik agar dapat berfungsi sesuai
dengan spesifikasinya. Terutama alat ukur arus sebagai alat ukur kecepatan aliran,
karena merupakan alat yang utama dan harus dikalibrasi secara berkala.
Dalam melaksanakan pengukuran debit dengan alat ukur arus minimal diperlukan 3
orang, orang tersebut harus mempunyal pendidikan dan pengalaman yang cukup
tentang berbagai masalah yang berkaitan dengan pengoperasian pos duga air,
pengukuran debit, merawat peralatan pengukuran debit. Disamping itu juga orang
tersebut harus mempunyai rasa tanggung jawab yang tinggi, berdisiplin dan
mempunyai kesehatan yang cukup baik, bersedia melaksanakan pengukuran debit
banjir yang pada umumnya terjadi pada malam hari. Pada umumnya aliran banjir di
Indonesia membawa material yang hanyut yang dapat membahayakan bagi
keselamatan peralatan dan tenaga pelaksananya.
Dana untuk pengukuran debit harus selalu tersedia sesuai dengan kebutuhan yang
telah direncanakan. Dana kadang-kadang dapat menjadi faktor pembatas dalam
usaha memperoleh lengkung debit yang baik apabila dana tidak dapat tersedia
sesuai dengan kebutuhan untuk pengukuran debit dengan tepat waktu, terutama
untuk mengukur debit selama periode banjir.

1.5. Peralatan Pengukuran Debit


Peralatan yang digunakan untuk mengukur debit dengan alat ukur arus terdiri dari
alat untuk mengukur kecepatan aliran, alat untuk mengukur kedalaman dan lebar
aliran, selengkapnya terdiri dari jenis
1) alat ukur kecepatan aliran, alat ukur waktu dan alat hitung putaran baling-
baling (counter);
2) alat ukur kedalaman aliran (sounding equipment);
3) alat ukur lebar aliran (witdh-measuring equipment);
4) alat perakitan (equipment assemblies);
5) alat tambahan (miscellaneous equipment); dan
6) alat transport lapangan.

Alat ukur kecepatan aliran yang biasa digunakan di Indonesia adalah alat ukur arus
jenis standar, disamping jenis pigmy. Penggunaan peralatan harus disesuaikan
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) 3
JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

dengan keadaan alur sungai yang akan diukur. Peralatan dan. perlengkapan
pengukuran debit pada sungai-sungai yang lebar dan dalam serta alirannya deras
seperti sungai Batang Hari di Jambi dan sungai Musi di Sumatera, Selatan akan
berbeda dengan pengukuran debit di sungai-sungai di Jawa, Sumatera Barat dan
Sulawesi. Demikian juga pengukuran debit pada sungai-sungai kecil dan dangkal
akan menggunakan peralatan dan perlengkapan yang berbeda pula.

Berikut ini akan diuraikan tentang kelima, jenis peralatan tersebut.

1.6. Alat Ukur Arus Jenis Standar


Alat ukur arus jenis standar adalah alat untuk mengukur kecepatan aliran air
dengan spesifikasi tertentu sehingga mampu untuk mengukur kecepatan aliran mulai
dari 0,20 m/det sampai dengan 2,50 m/det. Apabila alat ini ditempatkan pada suatu
tifik kedalaman aliran tertentu maka kecepatan aliran akan dapat ditentukan
berdasarkan jumlah putaran rotor dan waktu lamanya pengukuran dengan
menggunakan rumus tertentu. Dengan mengetahui jumlah putaran rotor per detik
maka kecepatan alirannya dapat dihitung dengan persamaan

v = aN + b
Keterangan :
v = kecepatan aliran (m/det)
a,b = konstanta yang biasanya telah ditentukan dari Pabriknya atau ditentukan
dari
kalibrasi setelah alat ukur arus digunakan sampai dengan periode waktu
tertentu.
N - jumlah putaran
Ada dua tipe alat ukur arus jenis standar, yaitu
1) alat ukur arus tipe canting dengan rotor berporos vertikal, dan
2) alat ukur arus tipe baling-baling dengan rotor berporos horizontal.
Masing-masing tipe alat ukur arus mempunyai keuntungan sendiri-sendiri apabila
digunakan. 'Untuk itu dalam memilih penggunaan masing-masing jenis alat ini harus
selalu mempertimbangkan keadaan fisik sungai yang akan diukur.

PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) 4


JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

Gambar 1.1. SKETSA ALAT UKUR ARUS (a) TIPE CANTING DAN (b) TIPE
BALING-BALING

Alat ukur arus tipe canting mempunyai alat penggerak siIstim mangkok. Alat
ini mempunyai beberapa keuntungan, antara lain :

1) untuk mengukur aliran berkecepatan rendah hasilnya akan lebih baik;


2) bantalan poros terlindung dari air yang beriumpur-,
3) jika ada kerusakan rotor dapat diperbaiki tanpa merubah persamaan tera, dan
4) satu rotor saja dapat digunakan untuk pengukuran berbagai jenis kecepatan.
aliran.

Alat ukur arus tipe baling-baling mempunyai alat penggerak sistim baling-
baling, adapun keuntungan tipe ini antara lain
1) rotor tidak terlalu mengganggu aliran;
2) pengairuh lumpur atau kotoran terhadap rotor kecil sekali, dan
3) gesekan bantalan poros lebih kecil karena momen gesekan dapat ditiadakan.

1.7. Alat Ukur Arus Tipe Canting


Alat ukur arus tipe canting yang umum digunakan adalah jenis AA-Prince,
pada umumnya banyak digunakan di Amerika Serikat dan di Inggris. Dapat dibuat
dari baja anti karat, aluminium atau plastik, mempunyai ukuran standar dengan rotor
bergaris tengah 12,7 cm dan tingginya 5,8 cm. Mempunyai enam mangkuk
berbentuk kerucut yang dibuat dari baja anti karat, Dilengkapi dengan ekor yang
berfungsi untuk menjaga agar kedudukan alat tetap pada posisi menentang arus.
Kecepatan aliran yang diukur dengan alat ukur arus tipe canting pada
umumnya cenderung lebih besar dibanding dengan kecepatan aliran yang
sebenarnya (sekitar 5%). Hal ini disebabkan karena kecepatan aliran yang terukur
adalah arah aliran horizontal tanpa memperhatikan arah aliran tegak lurus
penampang atau arah miringnva. Kerusakan canting sampal tingkatan tertentu
sedikit sekali pengaruhnya terhadap hubungan antara v dan N pada persamaan 4.2.
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) 10
10
JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

1.7.1. Alat Ukur Arus TIpe Baling-baling


Alat ukur arus tipe baling-baling ada beberapa merk, antara lain OTT buatan
Jerman, NEYRPIC buatan Perancis, merk HASKELL dan HOFF buatan Amerika
Serikat.
Merk OTT banyak digunakan di Indonesia. Biasanya dibuat dari bahan baja
anti karat, bahkan sekarang telah banyak dibuat dari bahan plastik khusus. Pembuat
alat ini telah mengembangkan tipe baling-baling yang secara langsung dapat
mencatat proyeksi kecepatan aliran pada sudut siku-siku jika penampang
pengukuran tidak tegak lurus aliran. Kemiringan aliran dapat sampai 45* dengan
kecepatan aliran sampai 2,5 m/det. Gambar 4.2 menunjukkan sketsa posisi alat ukur
arus, misalnya pada arah AB, maka kecepatan yang diukur adalah sebesar v cos cz,
bukan sebesar v seperti pada alat ukur arus tipe canting.
Pengukuran kecepatan aliran dengan menggunakan alat ukur arus tipe
baling-baling cenderung menghasilkan data kecepatan aliran yang lebih
kecil daripada kecepatan aliran yang sesungguhnya. Cacat atau kerusakan kecil saja
dari alat ini akan dapat merubah hubungan antara v dan N pada rumus 4.2.
Selain alat ukur arus standar ada pula jenis Pigmy atau mini. Alat jenis Pigmy
ini mempunyai rotor sebesar 2/5 kali rotor alat ukur arus standar dan hanya dipakai
untuk mengukur aliran sungai kecil dan dangkal.

1.7.2. Alat Ukur Arus Jenis Lain


Disamping alat ukur arus jenis standar, terdapat juga alat ukur arus jenis lain
yaitu :
1) alat ukur arus optik (optical velocity meter);
2) alat ukur arus elektromagnetik (electromagneth point velocity meter), dan
3) alat ukur arus ultrasonik (ultrasonic point velocity meter)

1.7.3. Perlengkapan Alat Ukur Arus


Pada pelaksanaan pengukuran debit, alat ukur ans dilengkapi dengan alat
ukur waktu yang ketelitiannya sampal detik (stopwatch) dan alat hitung putaran
baling-baling (counter), Yang ketelitiannya sampai hitungan ratusan.

1.7.4. Alat Ukur Kedalaman Aliran


Setiap pengukuran debit dengan alat ukur arus harus melakukan pengukuran
kedalaman aliran. Pengukuran ini dapat dilakukan dengan bermacam-macam alat,
tergantung dari kondisi airan sungai yang akan diukur. Macam-macam alat ukur
kedalaman aliran tersebut antara lain :
1) batang duga (sounding roads).
2) alat pemberat (sounding weight).
3) alat penggulung (sounding reel).

PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) 11


11
JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

4) alat tangan penggulung (hand line)


5) alat duga sonic (sonic sounder).

Batang Duga
Apabila pengukuran debit dilakukan dengan merawas maka pengukuran
kedalaman aliran dapat dilakukan dengan menggunakan batang duga. Batang duga
ini terdiri dari plat dasar batang bagian bawah, batang bagian tengah, batang bagian
atas dan penuqjuk arah. Untuk sungai yang kedalamannya kurang dari 3 meter
pengukuran kedalaman masih dapat menggunakan batang duga yang
pengukurannya dilaksanakan dengan menggunakan perahu. Batang duga selain
berfungsi untuk mengukur kedalaman juga berfungsi sebagai alat untuk memasang
alat ukur arus.

Alat Pemberat
Apabila sungai yang diukur mempunyai ke, alian lebih dari 3 meter maka
pengukuran kedalamap dengan kabel duga dan alat pemberat. Alat pemberat ini
dapat digantung dengan kabel duga pada perah-u, jembatan atau kabel' gantung
melintang (Cable Way). Alat pemberat dipasang dibawah, alat ukur arus supaya alat
ukur tidak mudah berubah posisinya dan tidak mudah terhempas oleh dasar sungai.
Alat pemberat yang umum digunakan adalah jenis C (Colombus). Berat
alat pemberat bermacam-macam ada yang 10 Kg, 25 Kg,'Il 50 Kg, atau 75 Kg.
Pemilihan penggunaan alat pemberat tergantung dari keadaan kecepatan aliran
sungai yang diukur,

Alat Penggulung
Alat penggulung dapat dipakai sebagai penggantung alat pemberat untuk
mengukur kedalaman aliran sungai. Alat penggulung ini berupa tabung sebagai
tempat gulungan kabel duga yang dilengkapi pula dengan engkol dan roda gigi untuk
menaikan dan menurunkan pemberat serta mengunci pada posisi kedalaman aliran
tertentu. Ada 5 tipe alat penggulung yang penggunaanya masing-masing tipe
tergantung dari berat alat pemberat dan kedalaman sungai.

Kelima tipe alat tersebut adalah


1) Tipe A Pack Reel
Tipe ini cocok untuk digunakan pada kabel gantung melintang karena
ukurannya kecil dan tidak terlalu berat. Alat tipe ini dapat pula dipasang
pada penderek dari jembatan atau pada tungkai dereil yang dipasang di
perahu.
2) Tipe Canfield
Penggunaan tipe ini hampir sama dengan fipe A Pack Reel.
3) Tipe A 55
Tipe ini digunakan untuk alat pemberat yang ringan.

PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) 12


12
JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

4) Tipe B 56
Tipe ini dapat digunakan untuk hampir semua tipe pemberat dan dapat
dibantu dengan engkol maupun baterai.
5) Tipe E 53
Ini merupakan tipe alat penggulung yang paling berat dan dapat
digunakan dengan beban alat pemberat yang sangat berat.
Alat penggulung jenis A-55, B-56 dan E-53 dilengkapi dengan alat penunjuk
kedalaman secara langsung. Sedangkan alat pengapung tipe A Pack dan Canfield
dilengkapi alat hitung (counter) yang menunjuk kedalaman secara langsung.

Alat Tangan Penggulung


Alat tangan penggulung dapat digunakan untuk mengukur kedalam aliran
sungai dari jembatan alat ini dilengkapi pula dengan alat pemberat. Alat dapat dirakit
dengan mudah yang dapat berfungsi sebagai pengganti alat penggulung. Alat ini
dapat juga digunakan pada jembatan rangka, akan tetapi alat ini tidak untuk
digunakan pada kereta gantung (Cable Car).

Alat Duga Sonik


Alat duga sonik dilengkapi dengan baterai bertegangan 6 atau 12 volt, dapat
bekerja selama 10 jam dengan hanya sekali pengisian baterai. Disediakan tiga jenis
alat pencatat kecepatan, yaitu untuk kecepatan 1, 3 atau 5 meter per jam. Ada empat
interval operasi, yaitu 0-20, 20-40. 40-60, dan 60-80 meter. Alat ini mempunyal berat
lebih kurang 20 kg sehingga sangat mudah untuk dibawa. Alat pemancar suara
(transduser) mempunyai sudut kemiringan enam derajat sehingga kesalahan
pencatatan pada dasar sungai miring dapat dikurangi sekecil-kecilnya. Lokasi
pengukuran dapat dilakukan dekat tiang jembatan ataupun dekat bangunan lainnya.
Pengukuran dapat dilakukan tanpa menurunkan alat ukur arus sampai dasar
sungai dan kedalaman akan tercatat segera setelah pemberat masuk di dalam air.
Alat ukur arus dapat ditempatkan pada posisi 0,2 kedalaman atau hanya sedikit di
bawah permukaan air dan nilai kecepatan aliran sudah dapat diukur dengan segera.
Untuk menentukan nilai kecepatan aliran rata-rata harus digunakan angka koreksi.
Perubahan suhu air dapat berpengaruh terhadap kecepatan pancaran suara,
akan tetapi pada air tawar kesalahan ini kurang dari 2 %. Kesalahan ini dapat
dihilangkan sama sekali dengan mengatur alat duga sonik agar memberikan hasil
yang sama dengan kedalaman rata-rata yang telah diukur dengan alat ukur
kedalaman yang lainnya.

PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) 13


13
JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

1.7.5. Alat Ukur Lebar Aliran

Setiap pengukuran debit selain mengukur kedalan aliran juga


harus mengukur lebar aliran sungai. Untuk sungai yang ada jembatannya atau
kabel gantung melintang, lebar aliran sungai dapat diukur dengan penggaris atau pita
ukur. Untuk pengukuran debit dengan cara merawas atau dengan perahu lebar
sungai dapat diukur dengan kabel ukur baja (tag Iii) Sedangkan untuk sungai yang
sangat lebar dan tidak ada jembatan maupun kabel gantung melintang lebar aliran
sungai dapat diukut dengan menggunakan alat penyipat ruang.
Ada beberapa ukuran diameter kabel ukur baja antara lain 1/32, 1/16, 3/32
atau 1/8 inchi. Kabel ukur baja ini biasanya dilengkapi dengan pentolan patri sebagai
titik interval. Kabel ukur baja ini mempunyai ukuran panjang standar yaitu 100, 135
165 meter. Dan ada tiga jenis yaitu Lee-Au, Pakron, Colombus A.

1.7.6. Alat Perakitan


Untuk mengukur debit selain memerlukan alat arus, alat ukur kedalaman dan
alat ukur lebar aliran pada kondisi sungai tertentu masih juga diperlukan peralatan
perakitan kabel gantung melintang, perahu. atau jembatan.
Pada sungai yang dalam, lebar dan tebingnya curam pengukuran debit dapat
dilakukan dengan menggunakan perahu. Akan tetapi apabila kondisi sungai dalam
dan tebingnya curam serta tidak ada jembatan maka pengukuran debit harus
dilakukan melalui kabel gantung melintang yang dilengkapi dengan kereta gantung.
Apabila tebing sungai sangat curam dan arus cukup deras maka pengukuran debit
dapat dilakukan melalui kabel gantung melintang dari tepi sungai. Apabila di dekat
lokasi pos duga air terdapat jembatan yang tidak berpilar dan memenuhi syarat untuk
pengukuran maka pengukuran debit dapat dilakukan melalui jembatan.

1.7.7. Peralatan Tambahan


Pengukuran debit memerlukan pula adanya beberapa peralatan
tambahan antara lain : sepatu lapangan, baju pelampung, lampu senter, tali
tambang baja, kalkulator, peralatan tulis dan jas hujan, kesemuanya
dimaksudkan untuk keselamatan peralatan dan team pengukur.

1.7.8. Alat Transport Lapangan

Alat Transport lapangan terutama mobil lapangan yang dirancang khusus


untuk pengukuran debit harus tersedia dan harus dalam keadaan selalu siap pakai.
Mobil lapangan harus mampu untuk sarana transport dalam segala musim.
dan segala kondisi jalan menuju lokasi pengukuran debit/pos duga air.

PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) 14


14
JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

1.8. Pengukuran Debit di Lapangan

1.8.1. Prinsip
Prinsip pelaksanaan pengukuran debit dilakukan dengan mengukur tiga hal
seperti berikut ini.
1) luas penampang basah;
2) kecepatan aliran, dan
3) tinggi muka air.
Tinggi muka air dapat diukur dengan cara membaca elevasi permukaan pada
alat papan duga air, apabila perbedaan fluktuasinya lebih besar dari pada 3
cm, selama pengukuran debit dilaksanakan maka diperlukan koreksi terhadap
tinggi muka air tersebut.

A. Pengukuran Luas Penampang Basah

1. Pengukuran Lebar Aliran


Pengukuran lebar aliran dilakukan dengan alat ukur lebar. Jenis alat
ukur lebar yang digunakan harus disesusaikan dengan lebar penampang basah dan
alat perakitan yang tersedia,
Jarak setiap sembarang vertikal pada penampang basah harus diukur dari titik tetap
pada tebing sungai. Pengukuran dengan merawas atau dari perahu pengukuran
lebar dapat dilakukan dengan kabel ukur baja (tag line). Apabila pengukuran
dilakukan dari kabel gantung melintang atau dari jembatan pengukuran lebar aliran
dapat dilakukan dengan cara membuat interval lebar yang diukur menggunakan
penggaris atau pita ukur baja.

2. Pengukuran Kedalaman Aliran


Pengukuran kedalaman aliran dilaksanakan dengan menggunakan alat ukur
kedalaman di setiap vertikal yang telah ditentukan jaraknya. Jarak setiap vertikal
diusahakan serapat mungkin, supaya debit disetiap sub bagian penampang tidak
lebih dari 1/5 bagian dari debit seluruh penampang basah.

PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) 15


15
JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

Gambar 4.9. SKETSA PENGUKURAN KECEPATAN ALIRAN

PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) 16


16
JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

Jenis alat ukur kedalaman aliran tergantung dari dalamnya aliran dan alat perakitan
yang tersedia. Batang duga digunakan apabila pengukuran kedalaman aliran dengan
merawas apabila kedalaman aliran kurang dari 1,5 m, atau dengan perahu pada
kedalaman aliran berkisar 1,5 - 3,0 m dan kecepatan alirannya rendah. Kabel duga
dengan pemberat digunakan apabila kedalaman aliran lebih dari 2,5 m
dan kecepatan alirannya tinggi, pelaksanaanya dapat menggunakan perahu,
kereta gantung atau menggunakan "bridge crane" apabila di jembatan atau
menggunakan alat duga sonik. Pengukuran kedalaman aliran dengan batang duga
dan pemberat diperlukan koreksi kedalaman aliran, apabila posisi kabel duga
membuat sudut lebih besar daripada 5 derajat terhadap garis vertikal.

B. Pengukuran Kecepatan Aliran

1. Prinsip Pengukuran Kecepatan Aliran


Untuk mengukur debit perlu mengukur kecepatan aliran rata-rata pada suatu
penampang melintang sungai yang bersangkutan. Kecepatan aliran rata-rata dapat
diperoleh dengan cara mengukur kecepatan aliran pada beberapa titik dari beberapa
vertikal pada suatu penampang melintang dengan menggunakan ukur arus.
Kecepatan aliran disetiap titik dihitung berdasarkan jumlah putaran baling-
baling selama periode waktu tertentu. Periode waktu pengukuran dapat ditentukan
dengan dua cara, yaitu dengan cara :
1) mengukur jumlah putaran baling-baling untuk lama waktu yang telah
ditentukan (t, pasti) setiap negara berbeda-beda dalam menentukan lama
waktu ini. Di Indonesia pada umumnya berkisar antara 40-70 detik; standar
WMO minimal 60 detik; Perancis berkisar 40-60 detik; Selandia Baru berkisar
40-70 detik; Jerman 50 detik; atau dengan
2) mengukur waktu yang diperlukan untuk mencapai jumlah putaran tertentu (N,
pasti), cara ini belum lazim digunakan di Indonesia, dinegeri Belanda
misalnya menentukan berapa lama yang diperlukan baling-baling alat ukur
arus berputar sebanyak 100 buah putaran. Di Kanada, biasanya sebelum alat
ukur arus digunakan untuk mengukur kecepatan yang sebenarnya dicoba
dahulu selama 30 detik.

Untuk mendapatkan hasil pengukuran yang teliti, maka Alat ukur arus dan
perlengkapannya harus dalam keadaan baik, lokasi pengukuran harus memenuhi
syarat, waktu pengukuran harus cukup dan kondisi pengukur harus betul-betul baik.
Lokasi pengukuran usahakan sedekat mungkin dengan bangunan pos duga
air. Dalam keadaan tertentu lokasi pengukuran dapat dilakukan di hulu atau di hilir
bangunan pos duga masih mendekati sama dengan yang di pos duga air.
Dalam melaksanakan pengukuran debit tidak boleh terburu-buru karena tidak
cukupnya waktu pengukuran. Apabila sampai di lokasi pengukuran sudah sore hari
dan kalau langsung mengukur diperkirakan akan sampai malam sehingga
pengukuran debit dilaksanakan dengan tergesa-gesa maka sebaiknya pengukuran
ditunda esok harinya. Kecuali apabila pengukur membawa perlengkapan yang
memadai untuk pengukuran malam hari cukup aman dan hasil pengukuran pada

PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) 17


17
JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

ketinggian muka air saat itu sangat diperlukan maka pengukuran dapat dilaksanakan
saat itu juga.
Lokasi pengukuran yang sulit dicapai dan tidak aman bagi pengukur akan
sangat mempengaruhi kualitas hasil pengukuran. Adanya gangguan pada aliran
misalnya banyak kayu hanyut akan mempengaruhi juga kualitas pengukuran.
2. Penentuan Jumlah Vertikal
Yang dimaksud dengan vertikal (vertical) adalah garis tegak pada posisi
pengukuran kedalaman aliran dilakan. Penentuan jumlah vertikal harus
mempertimbangkan beberapa faktor antara lain :
1) keadaan sebaran aliran;
2) bentuk profil (dangkal, dalam atau tidak teratur);
3) waktu yang tersedia, dan
4) pengalaman team dari pengukur terhadap suatu lokasi pengukuran debit.

Pada umumnya setiap negara mempunyai aturan yang berbeda-beda dalam


penentuan jumlah vertikal, misalnya
1) Indonesia, minimal 20 vertikal;
2) Australia, minimal 20 verfikal;
3) Inggris, 10 vertikal untuk sungai kecil, dan 20 vertikal untuk sungai besar;
4) Kanada, minimal 20 vertikal;
5) Cekoslavia, 7 - 15 vertikal;
6) New Zealand, 10 - 20 vertikal, dan
7) Amerika Serikat, 20 - 30 vertikal.

Di Indonesia ditentukan minimal 20 vertikal, jarak setiap vertikal 1 diusahakan


serapat mungkin agar debit di setiap sub bagian penampang tidak lebih dari 1/5
bagian dari debit seluruh penampang basah saat pengukuran. Jarak setiap vertikal
tidak perlu mempunyai interval yang sama, akan tetapi tergantung dari debitnya.
Penempatan setiap vertikal harus dipilih sebaik- baiknya berdasarkan variasi
kedalaman dan sebaran kecepatan aliran arah horizontal pada penampang basah
pengukuran. Jarak setiap vertikal dapat ditentukan dengan interval jarak yang sama
apabila penampang sungainya seragam. Untuk sungai kecil/lebar
penampang basahnya pendek, jumlah vertikalnya boleh kurang dari 20 buah,
dengan mempertimbangkan ukuran diameter alat ukur arus yang digunakan,
dimaksudkan agar disuatu bagian luas penampang basah tidak terjadi saling
tumpang tindih pengukuran kecepatan alirannya. Apabila digunakan alat ukur arus
mini Oenis Pigmy maka jarak setiap vertikal harus lebih dari 10 cm, jenis ini
mempunyai diameter 6,0 cm. Untuk memperoleh data pengukuran debit yang teliti
maka pengukurannya harus dilakukan 2 kali, yaitu pengukuran pulang-pergi, gambar
4.10 menunjukkan vertikal yang dimaksud. Apabila dalam pengukuran pulang dan
pergi tidak terjadi perubahan tinggi muka air yang berarti, maka 2 kali pengukuran
pulang dan pergi tersebut dapat dipandang sebagai satu (single) data pengukuran.
Akan tetapi apabila selama 2 kali
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) 18
18
JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

pengukuran tersebut terjadi perubahan tinggi muka air yang cukup besar maka dapat
dipandang sebagai 2 data (double) pengukuran debit (biasanya kurang teliti).

Gambar 1. SKETSA JUMLAH VERTIKAL.

Gambar 2. SKETSA JUMLAH TITIK PENGUKURAN KECEPATAN


ALIRAN PADA VERTIKAL (a) SATU TITIK (b) DUA TITIK.

3. Jumlah titik Pengukuran Kecepatan Aliran Setiap Vertikal

Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah titik pengukuran kecepatan


aliran di setiap vertikal. Jumlah titik pengukuran kecepatan aliran tergantung dari
beberapa faktor, antara lain:
1) ketelitian yang diperlukan;
2) tingkat perubahan tinggi muka air;
3) jenis sungai (lebar dan dangkal atau sempit dan dalam), dan
4) waktu yang diperlukan bergerak dari vertikal satu ke yang lainnya.

PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) 19


19
JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

Cara untuk menentukan jumlah titik ada beberapa pendekatan, yaitu :


1) fungsi matematis;
2) grafik kurva kecepatan;
3) metode integrasi; dan
4) metode semi integrasi.
1) Fungsi Matematik
Distribusi kecepatan aliran pada sebuah vertikal dianggap bentuk kurvanya
kurang lebih parabolis, eliptis atau bentuk lainnya. Berdasarkan anggapan tersebut
maka kecepatan aliran rata-rata disebuah vertikal hanya diukur di beberapa titik dan
kemudian dihitung hasilnya secara. aritmatik. Pengukuran dilaksanakan dengan :
metode satu titik;
metode dua titik;
metode tiga titik;
metode lima titik; dan
nietode bawah permukaan.

Gambar 4. 11 menunjukkan sketsa pengukuran kecepatan alian metode satu titik,


pada 0,6 kedalaman dan metode dua titik yaitu pada 0,2 dan 0,8 kedalaman. Pada
gambar 4. 11. bagian (a) maka luas DFA - luas AFEB, maka kecepatan rata-ratanya
dianggap sama dengan kecepatan aliran yang diukur pada titik 0,60 kedalaman.
Uraian selanjutnya adalah penentuan fungsi matematis apabila pengukuran
kecepatan aliran menggunakan alat ukur arus jenis standar.

METODE SATU TITIK


a) Metode 0.60 kedalaman
Dalam cara ini pengukuran kecepatan aliran dilakukan pada titik 0,6 kedalaman
aliran dari permukaan air. Hasil pengukuran pada titik 0,6 kedalaman aliran ini
adalah merupakan kecepatan rata-rata pada vertikal yang bersangkutan. Cara ini
digunakan dengan syarat-syarat:
1) apabila kedalaman air antara 0,25 sampai 0,76 meter;
2) apabila aliran sungai membawa banyak sampah sehingga sulit untuk
mengukur pada titik 0,2 kedalaman afiran;
3) apabila ada suatu sebab lain sehingga alat ukur arus tidak dapat
diletakkan pada titik 0,8 kedalaman aliran, dan
4) apabila tinggi permukaan air sungai cepat berubah dan pengukuran harus
dilaksanakan secara cepat.
Cara pengukuran ini dilakukan pada titik 0,2 kedalaman dan kecepatan rata-
rata pada vertikal bersangkutan masih harus dikalikan dengan koefisien tertentu.
Cara ini biasanya dilakukan untuk pengukuran banjir dengan kecepatan aliran sangat
tinggi sehingga pengukuran pada titik 0,6 dan 0,8 kedalaman tidak dapat dilakukan.

PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) 20


20
JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

Apabila tidak mungkin menduga kedalaman, titik 0,2 kedalaman dapat


ditentukan dari penampang melintang di pos pengukuran yang sudah ada. Harga
koefisien yang biasa digunakan untuk menghitung kecepatan rata-rata dengan
cara pengukuran pada 0,2 kedalaman adalah 0,88, untuk lebih teliti koefisien
tersebut harus diselidiki di setiap lokasi pengukuran.

METODE DUA TITIK

Pada metode ini pengukuran kecepatan aliran dilakukan pada 0,2 dan 0,8 titik
kedalaman aliran dari permukaan air. Kecepatan aliran rata-ratanya diperoleh
dengan merataratakan kecepatan aliran yang diukur pada kedua titik tersebut.
Cara ini disarankan untuk tidak digunakan mengukur kecepatan aliran pada
sungai dengan kedalaman aliran kurang dari 0,76 meter karena pada kedalaman
kurang dari 0,76 meter titik kedalaman pada 0, 8 dan 0, 2 akan kurang dari 0, 15
meter haik dari permukaan air maupun dari dasar sungai untuk menghindari gesekan
udara, ataupun da-sar sungai.

METODE TIGA TITIK


Pengukuran kecepatan aliran dilakukan pada, titik 0,2; 0,6 dan 0,8 kedalaman
aliran dari permukaan air. Sebenamya cara ini merupakan gabungan antara cara dua
titik dengan cara pada 0,6 kedalaman. Kecepatan rata-rata tiap vertikal diperoleh
dengan merata-ratakan hasil pengukuran. pada 0,2 clan 0,8 kedalaman aliran
kemudian hasil rata-ratanya, diratarataka lagi dengan hasil pengukuran pada 0,6
kedalaman aliran.
Alasan cara ini digunakan agar diperoleh data kecepatan aliran rata-rata yang lebih
baik, yaitu apabila distribusi kecepatan ata kearah vertikal tidaic normal; atau
kecepatan aliran pada 0,8 kedalaman terganggu oleh gesekan. material didasar
sungal sehingga tidak normal. Cara ini berlaku apabila kedalaman air yang diukur
tidak kurang-dari -0576 meter.

METODE LIMA TITIK


Alasan cara ini digunakan agar sama dengan cara tiga titik agar diperoleh data
yang lebih baik kualitasnya.

PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) 21


21
JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

2. BIOASSESSMENT EKOSISTEM SUNGAI

REFLEKSI PEMBERDAYAAN PENELITIAN BIOASSESSMENT UNTUK


PENILAIAN KUALITAS AIR SUNGAI

Sri Sudaryanti
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Universitas Brawijaya Malang
2011

Abstrak

Penelitian bioassessment telah dimulai di Fakultas Perikanan Universitas Brawijaya


sejak tahun 1991 sampai sekarang. Pemantauan kualitas air sungai di Indonesia
selama ini hanya mengandalkan pendekatan fisika kimiawi, sedangkan pendekatan
biologis (bioassessment) menggunakan komunitas makroinvertebrata belum
mendapat perhatian. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk melakukan evaluasi
terhadap hasil-hasil penelitian mulai 1992-2003. Kegunaannya untuk kepentingan
perencanaan pengembangan penelitian bioassessment di Indonesia. Penelitian
dilakukan dengan pendekatan arbitrary, program TWINSPAN, CANOCO (CCA)
sampai model prediksi AUSRIVAS. Hasil penelitian menunjukan bahwa penggunaan
komunitas makroinvetebrata dapat digunakan untuk pengelolaan ekosistem sungai
baik untuk kepentingan perencanaan maupun pengendalian pencemarannya dalam
bentuk ecological group dari makroinvertebrata. Beberapa faktror pendorong dan
penghambat telah teridentifikasi untuk kepentingan tindak lanjut.

KATA KUNCI : SUNGAI, BIO ASSESSMENT, MAKROINVERTEBRATA, INDONESIA

Pendahuluan

Sungai dan salurannya merupakan satu kesatuan dengan daerah tangkap hujan dan
daerah pengaliran sungainya. Semua biota yang hidup di ekositem
sungai dipengaruhi oleh arus yang mengalir satu arah dari hulu menuju hilir dan
beradaptasi dengan situasi seperti itu. Sungai adalah ekosistem perairan yang
bersifat terbuka, artinya mudah mendapat pengaruh dari daerah sekitarnya baik
secara alami maupun oleh berbagai kegiatan manusia. Sungai yang sehat adalah
sungai yang mampu mendukung proses ekologis ekosistem sungai. Menurut Karr
(1999), sehat adalah kata lain untuk kondisi baik, sungai yang sehat mempunyai
ciri-ciri alami, cepat pulih apabila terdapat gangguan tanpa banyak bantuan
manajemen, dan mampu mengenali resiko kerusakan. Makroinvertebrata adalah
salah satu biota yang hidup di ekosistem sungai. Organisme tersebut
mempunyai peran yang penting di ekosistem sungai sebagai keystone
organisms.

PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) 22


22
JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

Mengapa pemantauan secara biologis ?

Selama ini pendekatan yang dilakukan pemerintah Indonesia untuk melakukan


pemantauan terhadap kualitas air sungai lebih mengandalkan pendekatan fisika
kimiawi sedangkan pendekatan biota hanya menggunakan Escherecia coli (PP No
82 tahun 2001). Hasil pengukuran secara fisika kimiawi umumnya mencerminkan
kondisi pada waktu pengambilan contoh dilakukan, hal ini sering memberikan hasil
yang tidak sesuai karena hasil pengukuran kurang mencerminkan kondisi yang telah
lalu, padahal masuknya polutan di perairan berlangsung terus menerus. Selain itu,
dengan semakin kompleknya kegiatan industri, semakin sulit untuk melakukan
identifikasi jenis polutan tertentu di perairan. Pendekatan fisika kimia
juga membutuhkan biaya yang mahal sehingga hanya laboratorium tertentu yang
dapat melaksanakan. Untuk mengatasi hal tersebut, bioassessment (pemberdayaan
biota perairan sebagai alat pemantauan dapat dijadikan alternatif). Bioassesment
hanya mencerminkan kondisi sungai dari gangguan organic terlarut, sedangkan untuk
tipe gangguan untuk organic yang tidak terlarut, misalnya yang berasal dari logam
berat, menggunakan bioassay.

Mengapa makroinvertebrata ?

Untuk melengkapi kekurangan pendekatan fisika kimiawi dapat dilakukan dengan


memberdayakan komunitas makroinvertebrata, yaitu hewan-hewan yang tidak
mempunyai tulang belakang dan berukuran makroskopis, relatif tidak bergerak,
mempunyai siklus hidup yang panjang, dan mempunyai keanekaragaman tinggi yang
tersebar di hulu sampai hilir sungai. Pendekatan tersebut telah digunakan di
beberapa negara dan dikembangan berdasarkan kondisi spesifik lingkungan dari
masing-masing negara. Oleh karena itu, tidak ada satupun dari system biomonitoing
yang dapat diterapkan untuk banyak negara, Masing-masing system hanya sesuai
untuk kondisi lingkungan masing-masing negara dimana system tersebut
dikembangkan.

Tujuan bioassessment

Penggunaan komunitas makroinvertebrata untuk penilaian kualitas air sungai dengan


bioassessment menggunakan pendekatan analisis komunitas, artinya ketersediaan
komposisi dari berbagai makroinvertebrata yang ditemukan dari site sungai sudah
dapat digunakan untuk menilai kondisi kualitas air sungai (Sudaryanti, 1992; 1997b).
Ditemukannya suatu kelompok makroinvertebrata mencerminkan kondisi kualitas air
sungai apakah masih baik (tidak mengalami pencemaran oganik terlarut), atau telah
mengalami pencemaran organic terlarut atau telah terganggu) (Sudaryanti, 2003).

Status penelitian

Periode 1991- sekarang (system arbitrary)

Penelitian bioassessment ini dimulai dengan menggunakan system arbitrary yaitu


pedomanyangsengajadibuatolehpenelitikarenapedoman yangdapatdijadikan
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) 23
23
JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

acuan untuk system sungai tropis belum tersedia (Sudaryanti, 1992). Penggunaan
system arbitrary dengan mempertimbangan ekologi dari komunitas
makroinvertebrata.
Tujuan system arbitrary adalah mengelompokan stasiun pengamatan menggunakan
data ekologis makroinvertebrata. Pengelompokan pada setiap factor ekologis
menjadi beberapa kelas berdasarkan sifat ekologis makroinvertebrata (Sudaryanti,
1992).

Keluaran dari system arbitrary :

Keluaran dari sistem arbitrary adalah diperoleh beberapa kelompok


makroinvertebrata yang peka dan toleran terhadap gangguan lingkungan, sehingga
dapat dikembangkan sebagai indicator ekologis (Sudaryanti, 1992; 1995a).

Periode 1994-sekarang

Sistem arbitrary hanya dapat dilakukan untuk mengelola data dengan jumlah station
relatif kecil, misalnya kurang dari 15 stasiun. Untuk kepentingan jangka
panjang, tentu akan menyulitkan jika system tersebut digunakan untuk mengelola
data yang besar atau lebih dari 15 stasiun. Untuk mengatasi hal tersebut mulai
diterapkan penggunaan program TWINSPAN.
Tujuan program TWINSPAN adalah mengelompokan stasiun-stasiun pengamatan
dengan menggunakan komunitas termasuk komunitas makroinvertebrata.

Keluaran program TWINSPAN dan CCA (Canonical Correspondence Analysis)

Keluaran dari program TWINSPAN menunjukan bahwa komunitas makroinvertebrata


selain potensial diberdayakan indicator ekologis dalam pemantauan secara biologis,
juga dapat digunakan untuk mengelompokan beberapa stasiun menjadi satu
kelompok berdasarkan kesamaan dari karakter komunitas makroinvertebrata yang
menyusunnya (Sudaryanti, 1995b; 1997a). Keluaran ini akan memudahkan tujuan
pengelolaaan sumberdaya sungai yaitu untuk kepentingan preservasi, konservasi,
dan rehabilitasi.
Penggunaan program CANOCO, CCA (Canonical Correspondence Analysis).
Program tersebut tujuannya menggunakan biota dalam hal ini makroinvertebrata dan
factor ekologisnya secara bersama-sama untuk mengelompokan stasiun-stasiun
pengamatan (Sudaryanti; 1995a; 1997a; 1998).
Keluaran analisis CCA selain mendapatkan kelompok stasiun pengamatan yang
mempunyai kesamaan karakter makroinvertebrata dan factor ekologisnya juga
mendapatkan keerartan hubungan antara komunitas makroinvertebrata dengan
factor ekologisnya. Untuk kepentingan manajemen ekosistem sungai
keluaran tersebut dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pengelolaaan terpadu
Daerah Aliran Sungai baik untuk kepentingan perencanaan maupun untuk
kepentingan pengawasan (indicator ekologis).

PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) 24


24
JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

Periode 1998 sekarang : model prediksi AUSRIVAS (Australian River


Assessment Method) (Sudaryanti, 1998, Sudaryanti et al., 2001)

Pada tahun 1998 sebuah sistem bioasessment Australia (AUSRIVAS) telah diuji
coba di DPS Brantas hulu dengan prosedur sebagai berikut :
Sampling dilakukan di 84 lokasi acuan dan 15 lokasi uji. Pada masing-masing
lokasi dilakukan pengambilan data macroinvertebrata dan data habitat. Data
habitat yang diambil adalah data habitat yang tidak dipengaruhi oleh kegiatan
manusia misalnya tinggi tempat, letak lintang, jarak dari sumber, persentase
naungan, lebar sungai, dan kedalaman.
Identifikasi macroinvertebrata dilakukansampai tingkat famili
Data macroinvertebrata kemudian diklasifikasi untuk membentuk
pengelompokan lokasi acuan menggunakan program UPGMA (Unweighted
Pair-Group arithMetic Averaging).
Menghubungkan data pengelompokan lokasi acuan dengan data habitatnya
menggunakan program MDFA (Multiple Discriminant Function Analysis). Data
habitat yang berperan dalam pengelompokan lokasi acuan adalah ketinggian
dari permukaan laut, jarak dari sumber, tipe habitat, lebar sungai, dan
persentase vegetasi riparian.
Menguji model dengan cara memasukan data habitat dari lokasi uji. Program
MDFA(Multiple Discriminant Function Analysis), akan memprediksi
macroinvertebrata yang ditemukan pada suatu lokasi uji jika lokasi tersebut
tidak mengalami gangguan
Hanya taxa yang mempunyai probability lebih 50% di pertimbangkan untuk
menghitung taxa yang diharapkan ditemukan pada lokasi uji apabila
keadaannya tidak terganggu (tercemar)
Membandingkan taxa yang ditemukan di lokasi uji(Observed) dengan taxa
yang diharapkan ditemukan di lokasi uji(Expected) . Keluarannya adalah rasio
O/E.
Melakukan interpretasi nilai O/E. Nilai O/E mendekati 1 adalah baik
(Sudaryanti 2000).

Perumusan masalah

Kondisi sungai-sungai di Indonesia umumnya mempunyai pemanfaatan yang


bervariasi. Sampai saat ini kita belum mempunyai system pemantauan secara
biologis yang diakui. Oleh karena itu, dipandang sangat perlu adanya upaya untuk
mengembangkan system pendugaan dan pemantauan biologis yang secara khusus
dikembangkan berdasarkan kondisi local.

Refleksi

Pemberdayaan komunitas makroinvertebrata untuk pendugaan kualitas air


sungai secara kualitatif di dunia telah mulai sejak tahun 1908 di Eropa (Sudaryanti
et al.,
2000). Di Indonesia pendekatan tersebut masih relatif baru, Program Studi
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) 25
25
JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan Universitas Brawijaya telah


memulai sejak akhir tahun 1990 (Sudaryanti, 1995b). Diseminasi mengenai
pendekatan tersebut sebetulnya telah dilakukan oleh Fakultas Perikanan,
melalui penyelenggaraan pelatihan bekerjasama dengan Wageningen
Agricultural University, the Netherlands pada tahun 1997 dengan peserta
dari berbagai Perguruan Tinggi di Indonesia (Sudaryanti, 1997b). Pada tahun
1998 Fakultas Perikanan Universitas Brawijaya bekerjasama dengan BAPEDAL
Jawa Timur dan The Australian Cooperative Research Centre of Freshwater
Ecology mengadakan penelitian mengenai bioassessment di DAS Brantas
hulu. Kegiatan tersebut melibatkan secara aktif staf dari Universitas
Airlangga, ITS Surabaya, BTKL, BAPEDAL Serpong, dan Jasa Tirta. Hasil dari
penelitian tersebut telah didesiminasi melalui penyelenggaraan Konferensi Nasional
dengan peserta dari berbagai stakeholders bioassessment sungai di Indonesia yang
mewakili pihak pemerintah, Perguruan Tinggi, Laboratorium dll (Sudaryanti, 1999).
Pada tahun 2001 diseminasi kegiatan bioassessment telah diterbitkan melalui jurnal
berskala internasional yaitu Aquatic Ecology (Sudaryanti et al., 2001) dan Journal of
Environmental Management (Hart et al., 2001).
Dari evaluasi hasil penelitian (1998-2003) (Sudaryanti, 2003) telah teridentifikasi
beberapa factor pendorong dan penghambat untuk pengembangan bioassessment
di Jawa Timur yaitu :
Adanya komitmen dosen dan mahasiswa
Tersedianya fasilitas peralatan pengambilan contoh yang lengkap dengan
standar internasional di Fakultas Perikanan UNIBRAW
Tersedianya peralatan laboratorium yang memadai (tersedianya
strereomikroskup, fasilitas pemilahan dll)
Tersedianya reference collection di Fakultas Perikanan Universitas
Brawijaya
Tersedianya data sekunder di UNIBRAW, ITS, dan UNAIR
Secara kelembagaam mendapat dukungan dari BALITBANG Jawa Timur,
BAPEDAL JawaTimur, KLH Pusat melalui pelaksanaan kerjasama
penelitian (Sudaryanti, 1997b; 1999; 2001; 2003).
Terbentuknya Embrio Working Group
Dukungan dari Perhimpunan Entomologi Indonesia (Sudaryanti et al., 2000;
2003)
Tersedianya prosedur sampling dengan standar internasional di Fakultas
Perikanan UNIBRAW
Sedangkan faktor penghambatnya adalah :
Minat dosen dan mahasiswa masih rendah
Belum ada appresiasi terhadap hasil-hasil penelitian
Kunci identifikasi khusus specimen Indonesia belum tersedia, selama ini
masih menggunakan kunci dari negara lain, misalnya Australia
yang berbahasa Inggris.
Kurang tersedia ahli taksonomi makroinvertebrata
Jumlah peralatan pengambilan contoh dan laboratorium yang memadai
terbatas, suku cadang peralatan tidak tersedia di Indonesia
Reference site semakin berkurang
Belum tersedia kebijakan penelitian yang digariskan Perguruan Tinggi
Dukungan kelembagaan belum ada di tingkat Universitas/ Fakultas/Jurusan
misalnya pengadaan penambahan peralatan pengambilan contoh dan
laboratorium.

PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) 26


26
JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

Pelajaran yang diambil

Macroinvertebarta mempunyai distribusi contagious, sehingga membutuhkan jumlah


contoh yang banyak (10 m) untuk mendapatkan ketelitian yang tinggi untuk
medapatkan kepadatan macroinvetebrata yang representatif. Pengolahan
contoh dan identifikasi membutuhkan waktu lama. Alternatifnya perancangan
contoh dilakukan dengan cepat. Kesulitan lainnya adalah distribusi dan kelimpahan
macroinvertabrata dapat dipengaruhi oleh faktor selain kualitas air. Hal
ini membutuhkan pengetahuan mengenai ekologi macroinvertebrata. Kesulitan
lainnya, variasi kelimpahan macroinvertebrata dipengaruhi oleh musim, terutama
insekta. Perilaku drift dari macroinvertebrata yang menyebabkan
macroinvertebrata dapat ditemukan di tempat yang tidak biasanya. Pengetahuan
tentang habitat yang disukai dan perilaku drifting akan mengatasi persoalan ini.
Beberapa penelitian menunjukan bahwa perubahan komunitas makroinvertebrata
di sungai-sungai di Jawa Timur selain karena faktor distribusi spatial juga
temporal walaupun penelitian dilakukan pada musim kemarau. Perubahan
komunitas makroinvertebrata secara temporal pada suatu stasiun yang sama
diduga adanya masukan air limbah rumah tangga, karena Instanlasi Pengolah
limbah rumah tangga belum populer.Dalam hal analisis, beberapa macroinvertabrata
tertentu sulit diidentifikasi. Keberlanjutan penelitian bioassessment membutuhkan
kerjasama terpadu dari para stakeholders termasuk dari aspek perlindungan
hukum.

Penutup

Bioassessment dapat diaplikasikan untuk pemantauan ekosistem sungai di


Indonesia karena selain dapat menilai status kesehatan ekosistem sungai (lihat
Lampiran 1) juga dapat memberikan rekomendasi prioritas rehabilitasinya.

Daftar Pustaka

Karr JR. 1999. Defining and measuring river health. Freshwater Biology 41, 221234.
Blackwell Science Ltd.

Sudaryanti S. 1992. Biological assessment of the Brantas river. Fisheries Project.


Faculty of Fisheries. Brawijaya University Malang.
Sudaryanti S and Marsoedi. 1995a. Biological approach to stream water quality in the
Brantas river. The Centre for Environmental Studies, Brawijaya University
Malang.Buletin Perikanan, volume 6, Desember 1995.

Sudaryanti S. 1995b. Classification and ordination macroinvertebrate communities in


the Brantas river, East Java related to environmental variables. Department of
Aquatic Ecology and Water Quality Management, Wageningen Agricultural
University, the Netherlands.

Sudaryanti S. 1997a. Bioassessment of the Brantas river, East Java, Indonesia.


Department of Aquatic Ecology and Water Quality Management, Wageningen
Agricultural University, the Netherlands.
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) 27
27
JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

Sudaryanti S. 1997b. Proceedings of training on strategic to monitor stream water


quality using biological approach. Faculty of Fisheries, Brawijaya University, Malang
and Wageningen Agricultural University, the Netherlands.

Sudaryanti S. 1998. A preliminary study on using multivariate technique to assess


the Brantas river water quality. First Symposium on Environmental Chemistry and
Toxicology, Yogyakarta 23-24 February 1998.

Sudaryanti S, Trihadiningrum Y, Rosmanida, Purwati SU, Supriyanto H, and Yuliyanti


L.1998. A trial of the Australian River Bioassessment method in the Brantas river,
East Java. International conference on Waste water and Water Quality, Lombok, 19-
22 October 1998.

Sudaryanti S, Trihadiningrum Y, Rosmanida, Purwati SU, Supriyanto H, and Yuliyanti


L. 1999. The river health of the upper Brantas catchment. National Conference on
River Health Bioassessment. Brawijaya University, Malang 8-10 March 1999.

Sudaryanti S. 1999. Proceedings of the National Conference on River Health


Bioassessment. Brawijaya University in cooperation with the Australian Cooperative
Research Centre for Freshwater Ecology, and the BAPEDAL-PCI Project.

Sudaryanti S. 2000a. Bioassessment : An alternative to assess Brantas river water


quality. Paper presented at the one-day seminar on the Brantas river : the present
status and its prospect. The Centre for Environmental Studies, Brawijaya University,
Malang 18 Januari 2000, Indonesia.

Sudaryanti S, Soehardjono, and Wardoyo. 2000b. State of the art macroinvertebrate


as bioindicator. Paper presented at the National Symposium of Entomologist.
Indonesian Association for Entomologist, Jakarta

Hart BT, Davies P, Humphrey C, Norris R, Sudaryanti S, and TrihadiningrumY.2001;


Application of the Australian River Bioassessment method (AUSRIVAS) in the
Brantas River, East Java, Indonesia. Journal of Environmental Management 62:93-
100. Academic Press, UK.

Sudaryanti S, Trihadiningrum Y, Hart BT, Davies PE, Humphrey C, Norris R,


Simpson J, and Thurtell L. 2001. Assessment of the biological health of the Brantas
River, East Java, Indonesia using the Australian River Assessment Method
(AUSRIVAS). Journal of Aquatic Ecology, 35 (2):135-146. June 2001. Kluwer
Academic Publisher,the Netherlands.

Sudaryanti S. 2001. Pemanfaatan Potensi Keaneragaman Hayati untuk pemantauan


kualitas air sungai di Jawa Timur. Kerjasama Pusat Penelitian Lingkungan
Hidup Universitas Brawijaya Malang dengan Badan Penelitian dan Pengembangan
Propinsi Jawa Timur.

Sudaryanti S. 2003. The role of Aquatic insect for detecting water pollution. Paper
presented at the Seminar on the role of insect on environmental management.
Indonesian Association on Entomologist. Malang.

PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) 28


28
JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

Sri Sudaryanti.2003. Pengembangan Bioassessment Kualitas Air Sungai di Jawa


Timur. Kerjasama Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Universitas Brawijaya Malang
dengan Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Propinsi Jawa Timur

Tabel Jenis Makroinvertebrata untuk bioassessment (hanya berlaku di DAS Brantas


hulu)
Status kesehatan Taksa makroinvertebrata Kualitas fisika
sungai kimia
Sehat Perlidae Oksigen terlarut
Perlodidae > 6.5- 7 mg/l
Nemouridae
Glossosomatidae
Lepidosmatidae
Elmidae
Terganggu Leptophebidae 5,5-6,5 mg/l
sedikit Caenidae
Tipulidae
Gomphidae
Terganggu Hydropsychidae 4-5 mg/l
sedang Hydrobiidae

Terganggu berat Chironomous thummi 2-3 mg/l


Physidae
Terganggu Tubificidae < 2 mg/l
sangat berat Glosiphonidae

PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) 29


29
JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

3. DAMPAK TATAGUNA LAHAN TERHADAP


SUMBERDAYA AIR

3.1. Skenario Penggunaan Lahan


Laju pertambahan penduduk yang berlangsung lebih cepat dari pada
pertambahan produksi makanan menimbulkan kekhawatiran akan kekurangan
persediaan makanan di masa depan. Kondisi ini berarti kebutuhan sandang, pangan
dan papan selalu meningkat sehingga manusia selalu berusaha untuk
memenuhi kebutuhan tersebut. Hal ini memicu manusia untuk melakukan alih guna
lahan, misal alih fungsi hutan menjadi kawasan pertanian intensif dan areal
pertanian yang berubah fungsi menjadi permukiman. Dampak dari aktivitas
tersebut adalah berubahnya karakteristik hidrologis DAS dengan indikator debit
puncak air larian permukaan (surface runoff).
Salah satu hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah air larian permukaan
meningkat apabila (Bosch dan Hewlett, 1982; Hibbert, 1993 dalam Asdak, 2007):
1. Hutan yang ditebang atau dikurangi dalam jumlah yang cukup besar.
2. Terjadi pengubahan jenis vegetasi dari tanaman berakar dalam menjadi berakar
dangkal.
3. Terjadi pengubahan jenis vegetasi dari tanaman dengan kapasitas intersepsi
(tajuk daun) tinggi ke tanaman intersepsi yang lebih rendah.
Pengaruh penggunaan lahan terhadap karakteristik hidrologis DAS adalah
vegetasi dapat memperlambat jalannya limpasan permukaan dan memperbesar
jumlah air yang tertahan diatas permukaan tanah sehingga menurunkan
laju limpasan permukaan. Dampak dari penurunan laju limpasan permukaan
adalah turunnya debit puncak air sungai dan waktu menuju debit puncak (Asdak,
2007). Jadi terdapat hubungan antara jenis penggunaan lahan dengan
karaktersitik hidrologi suatu DAS.

Tabel 3.1.Perbandingan besarnya limpasan permukaan antara hutan alam tidak


terganggudanperkebunankopiberumur16 tahun(Januari-April198).
Hutan Perkebunan kopi
Peubah
tidak terganggu berumur 16 tahun

Lereng (%) 52-65 46-49


Curah hujan (mm) 926,5 926,5
3
Limpasan permukaan (m /ha) 104,75 633,37
Persentase curah hujan 11,3 68,4
Erosi (ton/ha/6 bulan) 0,28 1,18
Sumber: gintings(1981)
Dampak dari alih guna lahan adalah meningkatnya limpasan permukaan,
seperti pada penelitian oleh Gintings (1981) dalam Hamilton (1983) dengan
membandingkan antara perkebuanan kopi dengan hutan tidak terganggu. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa pengubahan penggunaan lahan dari hutan menjadi

PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) 30


30
JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

kebun kopi berdampak pada kenaikan limpasan permukaan menjadi 633,37 m3/ha
atau naik 6 kali lipat (Tabel 3.1).
Hasil penelitian tersebut didukung oleh Suprayogo et al (2007) yaitu pada
kondisi iklim tropika basah, limpasan permukaan pada lahan yang mengalami alih
fungsi lahan dari hutan menjadi tanaman semusim pada skala plot dapat meningkat
3 sampai 15 kali lipat sedangkan erosi tanah meningkat 250 hingga 600 kali
dibanding hutan. Peningkatan limpasan permukaan merata sepanjang musim
tergantung besar-kecilnya curah hujan.
Ardiyansyah (2007) dalam penelitianya menyatakan bahwa pengubahan
pengunaan lahan dari hutan ke non hutan menurunkan infiltrasi maksimum sehingga
menaikkan air limpasan permukaan. Berbagai hasil penelitian tersebut menunjukkan
bahwa pengubahan penggunaan lahan hutan menjadi non hutan berdampak pada
peningkatan jumlah air larian permukaan (surface runoff).
Peningkatan jumlah air larian permukaan akan memperbesar debit puncak
air larian permukaan. Kondisi ini mengakibatkan bertambahnya jumlah volume air
sungai sehingga meningkatkan kemungkinan terjadinya bahaya banjir. Risiko banjir
akan semakin besar seiring dengan peningkatan kemungkinan terjadinya bahaya
banjir (hazard).
Diley et al (2005) dalam Leon (2006) merumuskan risiko sebagai suatu
hubungan matematika yaitu :
Risk = hazard x eksposure x vulnerability, dimana
hazard adalah kemungkinan terjadinya bahaya suatu bencana
seperti bahaya banjir, tsunami, dan gempa bumi; vulnerability berkaitan tingkat
kerentanan dari dalam diri manusia, secara ekonomi, infrastruktur ketika menghadapi
(exposure) suatu bencana. Jadi berdasarkan pengertian tersebut maka
peningkatan bahaya banjir akan berdampak pada peningkatan risiko banjir, dan
sebaliknya.
Salah satu upaya mengurangi kemungkinan terjadinya bahaya banjir adalah
pengaturan bentuk penggunaan lahan di DAS. Berbagai hasil penelitian
menunjukaan bahwa keberadaan hutan di DAS mampu mengurangi terjadinya
bahaya banjir sehingga semakin luas hutan maka bahaya banjir akan semakin
berkurang.
Simulasi bentuk penggunaan lahan pada berbagai skenario dilakukan untuk
melihat dampak pengubahan bentuk pengunaan lahan di DAS terhadap sumber
daya air. Guna melihat hal tersebut berikut ini terdapat dua contoh hasil penelitian
yang berlokasi di DAS Brantas Hulu, Jawa Timur dan DAS Samin , Jawa Tengah .

A. DAS Brantas Hulu, Jawa Timur


Contoh kasus yang pertama ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan
di DAS Brantas Hulu yang berlokasi di Kota Batu, Jawa Timur. Kondisi penggunaan
lahan di DAS Brantas hulu telah mengalami pengubahan dari waktu ke waktu. Guna
melihat hal tersebut berikut ini terdapat 4 skenario bentuk penggunaan lahan yaitu
skenario 1 mencerminkan kondisi pengguanaan lahan sebelum reformasi, skenario 2
menggambarkan kondisi penggunaan lahan setelah reformasi, kondisi 3
menunjukkan kondisi pengunaan lahan berdasarkan RTRW wilayah administratif
Kota Batu, dan skenario 4 mewakili kondisi penggunaan lahan yang ada saat ini atau
eksisiting. Berikut ini penjelasan lebih rinci dari masing-masing skenario tersebut:

PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) 31


31
JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

1. Skenario 1 (S1): kondisi sebelum reformasi.


Skenario S1 merupakan hasil interpretasi dan klasifikasi bentuk penggunaan
lahan yang mengacu pada citra satelit Landsat tahun 1989. Bentuk penggunaan lahan
yang terdapat di DAS Brantas hulu meliputi kebun, tegalan, hutan alami, lahan
terbuka, permukiman, sawah, semak belukar, dan hutan produksi. dominan meliputi
hutan alami, kebun (kebun apel), semak belukar, dan permukiman. Sebaran secara
spasial berbagai bentuk penggunaan lahan tersebut dapat dilihat pada gambar
dibawah ini (Gambar 3.1).

Gambar 3.1. Peta penggunaan lahan di DAS Brantas Hulu sebelum


reformasi.

Berdasarkan klasifikasi citra Landsat 1989 menunjukkan bahwa keberadaan


hutan alami dan kebun (apel) mendominasi di DAS Brantas Hulu yaitu sebesar 30,51
% dan 23, 41% dari total luas DAS yaitu 17384.51 hektar (Gambar3.2).

Gambar 3.2. Grafik persentase luas penggunaan lahan di DAS Brantas hulu sebelum
reformasi.
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) 32
32
JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

2. S2: kondisi sesudah reformasi


Skenario ini menggambarkan kondisi penggunaan lahan sesaat setelah
terjadinya reformasi pada tahun 1998/1999. Pada masa kepemimpinan presiden
Abdurahman Wahid menyatakan bahawa hutan untuk rakyat, pernyataan ini diartikan
oleh masyarakat bahwa keberadaan hutan adalah untuk kesejahteraan masyrakat
sehingga banyak hutan yang diubah menjadi lahan pertanian intensif
seperti hortikultura dan tegalan. Guna melihat hal ini citra satelit yang menjadi acuan
adalah Landsat ETM 2002.

Gambar 3.3. Peta penggunaan lahan di DAS Brantas Hulu sebelum


reformasi.

Hasil kasifikasi citra menunjukkan bahwa terrjadi pengubahan luas hutan


alami menjadi 10% dari totol luas DAS. Hal ini terjadi karena hutan alami telah
berubah menjadi hutan terganggu, hutan produksi, dan semak belukar. Hutan
produksi dalam hal ini adalah hutan-hutan milik Perhutani yang telah ditanami
tanaman semusim (tetelan). Sementara itu, hutan terganggu mempunyai kondisi
yang lebih bagus daripada hutan produksi dimana tegakan pohon masih
mendominasi. Sementara itu, semak belukar kebanyakan adalah lahan yang dulunya
hutan dan setelah ditebang pohonnya menjadi lahan terlantar yang kemudian
ditumbuhi oleh semak belukar. Lahan-lahan ini pada umumnya berada pada posisi
lereng yang curam. Lebih jelasnya, jenis penutupan lahan dan luasannya disajikan
pada tabel berikut.

PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) 33


33
JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

Gambar 3.4. Grafik persentase luas penggunaan lahan di DAS Brantas hulu sesudah
reformasi

3. S3: kondisi berdasar RTRW


Pasca reformasi kondisi pengunaan lahan di DAS Brantas menjadi tidak
terkontrol. Pemanfaatn lahan tidak lagi melihat kaedah konservasi dan tingkat
kemampuan lahannya. Lahan dengan tingkat kemiringan curam yang seharusnya
digunakan sebagai lahan hutan tetap digunakan sebagai lahan hortikultura. Kondisi
ini terus berkembang sehingga berdampak pada berbagai kejadian bencana yang
telah terjadi seperti banjir dan tanah longsor. Oleh sebab itu, pememerintah Kota
Batu menyusun Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) untuk menata ulang
penggunaan lahan di DAS Brabtas Hulu sehingga fungsi DAS dari aspek ekonomi
dan hidrologis dapat tercapai. Pelaksanaan RTRW telah dimplementasikan sejak
tahun 2005. Dalam RTRW ini ditetapkan bahwa seluruh kawasan hutan yang telah
berubah fungsi dikembalikan lagi pada fungsi sebenarnya yaitu sebagai hutan alami
dan hutan produksi (Hutan Tanaman Industri). Berikut ini sebaran spasial bentuk
penggunaan lahan berdasarkan RTRW Kota Batu Gambar 3.5)

Gambar 3.5. Peta penggunaan lahan di DAS Brantas Hulu berdasarkan


RTRW.
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) 34
34
JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

Bentuk penggunaan lahan yang direkomendasikan berdasarkan RTRW


Kota Batu terdiri atas delapan jenis yaitu kebun, sayuran, hutan alami, lahan terbuka,
permukiman, sawah, agroforestri, dan hutan produksi. Hutan produksi dan hutan
alami mnempati persentasi yang paling besar yaitu 35,88% dan 20,93 %
(Gambar3.6).

Gambar 3.6. Grafik persentase luas penggunaan lahan di DAS Brantas hulu
berdasarkan RTRW.

4. S4: kondisi aktual


Kondisi aktual menggambarkan komposisi bentuk penggunaan lahan yang
ada saat ini. Citra satelit yang digunakan adalah citra landsat ETM tahun 2006. Hasil
klasifikasi citra tersebut digunakan sebagai acuan simulasi yang menggambarkan
kondisi aktual saat ini. Berikut ini sebaran spasial penggunaan lahan pada kondisi
aktual (Gambar 3.7)

Gambar 3.7. Peta penggunaan lahan di DAS Brantas Hulu pada kondisi
aktual.
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) 35
35
JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

Hasil klasifikasi penggunaan lahan berdasarkan citra satelit menunjukkan


bahwa kondisi actual di DAS Brantas tersusun atas Sembilan jenis penggunaan
lahan lahan meliputi kebun, tegalan, hutan alami, lahan terbuka, permukiman,
sawah, semak, hutan produksi, dan hutan terganggu. Keberadaan hutan alami hanya
sebagian kecil dari totakl luas DAS Brantas yaitu 7,9 %, sedangkan yang dominan
adalah permukiman dan tegalan yaitu masing masing sebesar 25,2% dan 20%.

Gambar 3.8. Grafik persentase luas penggunaan lahan di DAS Brantas hulu pada
kondisi aktual.

5. Dampak pengubahan penggunaan lahan terhadap kondisi hidrologi di DAS


Brantas Hulu, Jawa Timur.

Salah satu indikator yang digunakan untuk melihat pengaruh pengubahan


penggunaan lahan terhadap sumberdaya air adalah fluktuasi debit saat musim
kemarau dan hujan. Fluktuasi debit antara musim hujan dan musim kemarau pada
setiap skenario penggunaan lahan menunjukkan bahwa kondisi landuse aktual
mempunyai perbedaan total debit musim kemarau dan musim penghujan yang paling
tinggi. Nilai perbedaan tersebut hampir sama dengan kondisi pada saat landuse
setelah reformasi. Sementara itu, skenario landuse ke-3 menunjukkan
nilai perbedaan debit musim kemarau dan penghujan yang paling rendah dalam hal
ini jumlah debit musim kemarau telah melebihi 50% dari debit total pada
musim penghujan. Rasio serta perbandingan antara debit kemarau dengan
penghujan ditunjukkan pada tabel dan grafik berikut.
Tabel 3.2. Rasio debit musim kemarau dan penghujan (data hujan tahun 2004)
Rasio
Landuse Kemarau/Penghujan
Actual Landuse 0.38
Scenario 1 0.51
Scenario 2 0.39
Scenario 3 0.66

Hasil simulasi menunjukkan bahwa debit air sungai saat musim penghujan
tertinggi terjadi pada skenario S2 (setelah reformasi) sedangkan terendah terjadi

PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) 36


36
JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

pada S1 (sebelum reformasi). Hal ini berarti pengubahan penggunaan lahan hutan
menjadi pertanian intensif berdampak pada peningkatan debit air sungai. Kondisi ini
juga terjadi pada skenario S4 (penggunaan lahan kondisi actual), artinya dampak
pengubahan penggunaan lahan hutan masih terjadi hingga saat ini, hal ini terlihat
pada nilai debit saat musim hujan masih tergolong lebih tinggi dari pada S1
(Gambar3.9).

Discharge (juta m3) 350


300
250
200
150
100
50
-
Actual Landuse Scenario 1 Scenario 2 Scenario 3

Debit Penghujan Debit Kemarau

Gambar 3.9. Grafik perbandingan debit musim kemarau dan penghujan (data hujan
tahun 2004)

Jadi berdasarkan hasil simulasi pada berbgai skenario tersebut dapat


disimpulkan bahwa pengubahan penggunaan lahan akan berdampak pada
karakteristik hidrologis DAS yang dapat terlihat dengan indikator debit pada saat
muasim keammarau dan penghujan. Peningkatan debit air sungai pada saat
penghujan akan berdampak pada peningkatan terjadinya bahaya banjir sehingga
risiko banjir di bagian hilir DAS dapat meningkat.

B. DAS Samin, Jawa Tengah


Contoh kasus yang kedua ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan di
DAS Samin yang berlokasi di Kabupaten Karangnyar, Propinsi Jawa Tengah. Empat
jenis skenario dengan mengatur luasan hutan disimulasikan untuk
melihat bagaimana pengaruh pengubahan penggunaan lahan terhadap fungsi
hidrologis DAS dengan indikator debit puncak air larian permukaan pada titik
outlet DAS. Berikut ini keempat jenis skenario tersebut (Tabel 3.3):

Tabel 3.3. Skenario bentuk penggunaan lahan yang digunakan dalam simulasi di
DAS Samin
Kode Skenario
S0 Luas hutan 0% ,utamakan aspek sosial ekonomi
S15 Luas hutan 15% (sebagai kontrol), kondisi eksisiting.
S30 Luas hutan 30% , fungsi hutan mengurangi debit air larian

PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) 37


37
JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

S100 Luas hutan 100%, utamakan aspek fisik.

1. Skenario S0
Skenario ini mensimulasikan bentuk penggunaan lahan di DAS Samin dari
aspek ekonomi saja, artinya hanya mementingkan peningkatan kesejahteraan
masyarakat. Seluruh DAS diubah menjadi lahan pertanian intensif meliputi
hortikultura, tegalan, kebun campur, dan sawah.

Gambar 3.10. Peta bentuk penggunaan lahan pada skenario S0.

Hutan dan lahan terbuka diubah menjadi hortikultura sedangkan


permukiman tetap seperti kondisi eksisiting. Pengubahan hutan dan lahan terbuka
menjadi hortikultura karena mata pencaharian masyarakat sekitar daerah tersebut
sebagai petani (BPS Kecamatan Karanganyar, 2008).

2. Skenario S15
Skenario ini mensimulasikan kondisi eksisting berdasarkan hasil klasifikasi
citra Landsat ETM 1 Oktober 2002. Persentase luas hutan adalah 15% dari luas
total DAS Samin. Perlakukan ini sebagai kontrol atau pembanding terhadap
perlakukan yang lain. Nilai debit air larian diasumsikan sebagai debit terjadinya banjir
karena data debit banjir hasil pengukuran lapangan tidak tercatat. Suatu skenario
dpat dikatakan mapu mengurangi risiko banjir terjadi apabila nilai debit air larian lebih
kecil daripada S15.

Gambar 3.11. Peta bentuk penggunaan lahan pada skenario S15.

3. Skenario S30
Skenario ini mensimulasikan penambahan luas hutan diduga mampu
mengurangi debit air larian di DAS Samin. Luas hutan dibuat 30% dari total luas
DAS. Lahan hortikultura dan tegalan diubah menjadi hutan, sedangkan sawah dan
kebun campur tetap sesuai kondisi eksisting. Pengubahan sawah menjadi hutan
sangat kecil kemungkinannya karena pada areal persawahan terdapat irigasi teknis

PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) 38


38
JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

sehingga petani dapat bercocok tanam padi sepanjang tahun. Selain itu daris aspek
fisik lahan tersebut cocok untuk persawahan.

Gambar 3.12. Peta bentuk penggunaan lahan pada skenario S30.

4. Skenario S100
Skenario ini mensimulasikan bentuk penggunaan lahan dari aspek fisik saja
yaitu pengurangan debit puncak air larian. Hasil penelitian Gintings (1981) dalam
Hamilton (1983) menunjukkan bahwa perubahan penggunaan lahan dari hutan
menjadi kebun kopi berdampak pada kenaikan air larian sebesar 6 kali lipat.

Gambar 3.13. Peta bentuk penggunaan lahan pada skenario S100.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut, pengurangan debit puncak air larian


secara maksimal apabila seluruh kawasan di DAS Samin diubah menjadi hutan.
Kenyataan dilapangan proses ini sulit terjadi, namun hal ini penting untuk melihat
fungsi hutan dalam menurunkan debit puncak air larian permukaan. Jadi
pertimbangan lainnya adalah hutan mampu mengurangi debit puncak air larian.

Dampak pengubahan penggunaan lahan terhadap fungsi hidrologis di DAS


Samin, Jawa Tengah
Indikator yang digunakan dalam penelitin adalah debit puncak air larian
permukaan (surface runoff). Debit puncak S15 hasil simulasi adalah 24,07 m3/dt,
angka ini digunakan sebagai kontrol. Pembukaan lahan hutan menjadi hortikultura
pada skenario S0 terbukti meningkatkan debit puncak air larian yaitu 24,72 m3/dt.
(Gambar 4.11). Hal ini berarti bentuk penggunaan lahan yang hanya
memprioritaskan aspek ekonomi saja dapat meningkatkan debit puncak permukaan.

PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) 39


39
JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

Gambar 3.14. Grafik debit puncak air larian permukaan pada berbagai skenario
bentuk penggunaan lahan di DAS Samin
Penambahan luasan hutan berpengaruh terhadap pengurangan rerata debit
aliran permukan yaitu pada perlakuan S3 yaitu sebesar 23,33 m3/dt. Hutan yang
berfungsi menurunkan debit aliran permukaan terbukti pada perlakuan S100 yaitu
menghasilkan debit paling rendah sebesar 21,91 m3/dt.
Berdasarkan hasil simulasi tersebut menunjukkan bahwa pengubahan
bentuk penggunaan lahan di DAS Samin berpengaruh terhadap sumberdaya air
dalam hal ini debit puncak air larian permukaan di titik outlet. Peningkatan debit
puncak air larian berdampak pada peningkatan risiko banjir di bagian hilir DAS.
Kondisi ini menuntut adanya pengelolaan DAS yang komprehensif sehingga tidak
saling merugikan kepentingan masyrakat bagian hulu maupun hilir (Gambar3.15).
Jadi pengubahan penggunaan lahan di DAS berpengaruh terhadap karakteristik
hidrologis DAS tersebut.

Debit puncak
outlet

hujan

Risiko banjir 25.00 24.72


24.07
di hilir 24.00
23.33
22.91 22.92
m /dt
3 23.00
21.91
22.00

21.00
Skenario bentuk penggunaan
20.00 lahan di DAS Samin
S0 S15 S30 S 60 S 100 SOp

Gambar 3.15 .Hubungan pengubahan bentuk penggunaan lahan dengan


pengurangan risko banjir di hilir DAS Samin

PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) 40


40
JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

4. ISU MANAJEMEN DI SUB DAS SUMBER


BRANTAS

4.1. Isu Hidrologi Menuju DAS yang Sehat


Perhatian utama pengambil keputusan di tingkat Pemerintah Kota Batu terkait
dengan isu-isu hidrologi di DAS Sumber Brantas akan diuraikan sebagai berikut.

4.1.1. Tarik ulur kepentingan budidaya hortikultura di kawasan


pegunungan dengan implementasi tata ruang daerah

DAS Sumber Brantas yang sebagian besar masuk wilayah Kota Batu
ditetapkan sebagai salah satu wilayah resapan air DAS Brantas. Untuk itu
Pemerintah Kota Batu menetapkan Tata Ruang Wilayah dengan menetapkan
kawasan lindung yang luasnya sekitar 10.352 ha atau 52% dari wilayah Kota Batu
dan kawasan budidaya seluas 9.555 ha atau 48%. Sementara itu, kondisi kawasan
lindung yang ada di Kota Batu pada saat ini baru mencapai 33%. Wilayah yang
semestinya sebagai kawasan lindung saat ini masih berupa semak belukar (13%),
sebagian lagi digunakan sebagai usaha tani sayuran dan kebun apel (5%) dan
sisanya sebagai lahan kering berupa tegalan yang juga diusahakan untuk usaha tani
sayur-mayur.

Gambar 4.1. Beberapa sudut kawasan budidaya di DAS Sumber Brantas, wilayah
Kota Batu.
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) 41
41
JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

Secara demografis, Kota Batu yang luasnya 199,1 km2 memiliki jumlah penduduk
mencapai 182.885 jiwa pada tahun 2007, sehingga tingkat kepadatan penduduk di
wilayah ini termasuk sangat tinggi yakni mencapai sebesar 919 orang/km2. Demikian
pula tingkat pendidikan sebagian besar masyarakat Kota Batu atau sekitar 34%
adalah tamatan SD, sementara lulusan SLTP dan SLTA masing-masing 17%, dan
sekitar 6% adalah tamatan perguruan tinggi. Sementara itu yang tidak/belum sekolah
dan tidak lulus SD mencapai sekitar 26% dari penduduk Kota Batu.
Kondisi demografi dan tingkat pendidikan yang demikian serta didukung oleh kondisi
tanah yang subur menyebabkan sebagian besar masyarakat menjatuhkan pilihan
mata-pencaharian pada bisang pertanian. Sektor pertanian hortikultura (sayur, bunga
dan buah-buahan) menjadi andalan masyarakat Kota Batu. Nilai ekonomi komoditas
hortikultura yang sangat tinggi membuat masyarakat Kota Batu kelaparan lahan
sehingga setiap jengkal tanah tidak ada yang tidak dimanfaatkan untuk kegiatan
pertanian. Adanya kesempatan menanam sayuran di lahan Perhutani tidak disia-
siakan oleh masyarakat yang tidak memiliki lahan maupun yang sudah memiliki
lahan sendiri.
Pola kehidupan yang demikian memberikan dampak positif terhadap pendapatan
dan pendapatan per-kapita masyarakat Kota Batu. Pendapatan per kapita
masyarakat Kota Batu memperlihatkan fenomena kenaikan yang signifikan selama
beberapa tahun terakhir, yaitu dari Rp. 3.752.924,84 pada tahun 2001 menjadi Rp.
3.865.829,88 pada tahun 2002, dan tahun 2003 sebesar Rp. 3.949.952,17 kemudian
pada tahun 2004 meningkat menjadi Rp. 4.066.437,47 pada tahun 2005 Rp.
4.258.056,20 serta tahun 2006 menjadi Rp. 4.394.253,80.
Namun sayang usaha pertanian tersebut dilakukan di kawasan resapan air dan
sistem budidaya pertanian yang dilakukan seringkali kurang mengindahkan prinsip-
prinsip konservasi tanah dan air. Upaya untuk mengalihkan jenis komoditas sayuran
menjadi tanaman tahunan menjadi kurang menarik bagi masyarakat, mungkin
karena imbalan pendapatan yang diterima tidak sepadan dengan praktek yang
sekarang.
Telah terjadi tarik-ulur antara Pemerintah Kota Batu, Perum Perhutani dan
masyarakat khususnya di lahan Perhutani untuk mengganti tanaman sayuran
dengan tanaman tahunan yang dapat melindungi tanah dan air. Perkembangan
terakhir menunjukkan bahwa sudah mulai ada titik temu antara ketiga pihak tersebut
untuk mengganti tanaman sayuran dengan tanaman kopi yang akan ditanam disela-
sela tegakan pohon (pinus dsb).

4.1.2. Kerusakan ekologi hutan akibat perambahan hutan untuk


budidaya tanaman sayur
DAS Sumber Brantas yang luasnya 17.344 ha atau sekitar 9.6 % dari total
luas DAS Brantas Hulu merupakan salah satu bagian dari kawasan resapan sistem
Kali Brantas di Jawa Timur. Antara tahun 1997 sampai tahun 2001, telah terjadi
deforestasi di DAS Sumber Brantas seluas 1.597 ha, yang dialih-gunakan
(sementara) sebagai kawasan pertanian tanaman semusim khususnya sayuran
dengan kondisi konservasi tanah dan air yang sangat memprihatinkan.
Sebagian besar deforestasi diakibatkan oleh penebangan tegakan pohon secara
ilegal di kawasan hutan Perhutani, sebagai akibat ketidak-pastian ekonomi dan

PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) 42


42
JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

politik pada masa krisis moneter dan sebagai dampak dari proses otonomi daerah
Kota Batu. Hal serupa juga terjadi di kawasan Tahura R. Soerjo, walau tidak
separah di kawasan Perhutani. Masyarakat dan bahkan pejabat di Kota Batu sendiri
tidak bisa mengenali batas-batas kawasan yang berada di bawah pengelolaan
Perum Perhutani dan Tahura R. Soerjo, sehingga penebangan terjadi dimana-mana.
Mulai tahun 2000, baik Perum Perhutani maupun Tahura R. Soerjo yang sedang
berusaha melakukan rehabilitasi hutan, harus menghadapi masalah konflik
kepentingan dengan masyarakat lokal yang telah merasakan keuntungan ekonomi
ketika melakukan budidaya tanaman sayuran di kawasan hutan. Konflik dengan
masyarakat ini timbul terutama karena adanya kesenjangan komunikasi
(communication gap) atau komunikasi yang lemah antara pengetahuan masyarakat,
kebijakan pemerintah Kota Batu dan kebijakan Perum Perhutani dalam menjalankan
Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM).

Gambar 4.2. Penanaman sayuran secara intensif diantara tegakan pinus di


kawasan hutan produksi dan lindung Perhutani DAS Sumber
Brantas.

4.1.3. Menurunnya debit mata air utama di Kota Batu


Kawasan hutan lindung di bawah pengelolaan Tahura R. Soerjo dan Perum
Perhutani serta hutan produksi dibawah Perum Perhutani yang berada di DAS
Sumber Brantas merupakan areal resapan dari 111 buah mata air utama yang ada di
wilayah Kota Batu. Deforestasi yang telah terjadi di kawasan hutan lindung maupun
di kawasan hutan produksi mengakibatkan perubahan penutupan hutan sehingga

PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) 43


43
JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

memberikan dampak terhadap kurang berfungsinya kawasan resapan. Akibatnya, 53


buah mata air pada musim kemarau didapati sudah mati diantaranya sumber
Bayuning, sumber Terongbelok, sumber Gemulo, sumber Kasinan, sumber Coban
Rais, dan sumber Gunung Biru (Koran Tempo, 29 Nopember 2006). Sementara itu
debit 58 mata air yang masih ada juga menurun. Penelusuran yang dilakukan oleh
masyarakat Bumiaji pada tahun 2008 mendapatkan sebuah lagi mata air mati yang
terletak di atas sumber Pesanggrahan (Malang Post, 8 Agustus 2008).
Dampak yang lain adalah meningkatnya debit puncak aliran sungai dan tingginya
muatan sedimen pada musim penghujan serta menurunnya aliran dasar sungai
(base-flow) di musim kemarau. Pengukuran dan pengamatan rutin terhadap debit
Kali Brantas di kawasan Kota Batu memang belum ada, tetapi hal-hal tersebut dapat
disimpulkan dari berbagai hasil studi dan indikator yang disampaikan oleh berbagai
pihak di Kota Batu.

4.1.4. Banjir dan sedimentasi waduk


DAS Sumber Brantas yang luasnya 17,3 ribu hektar merupakan salah satu anak
sungai Kali Brantas dibangian hulu disamping enam Sub-DAS lainnya yang
bermuara di Waduk Karangkates. Berdasarkan data dari BP DAS Brantas (2006),
ternyata DAS Sumber Brantas memberikan kontribusi sedimentasi tertinggi kedua
setelah DAS Amprong. Berdasarkan perkiraan BP DAS Brantas, besarnya sedimen
yang masuk sungai dari DAS Sumber Brantas mencapai 86,7 ribu m3 setiap tahun.
Sedimen dari DAS Sumber Brantas berasal dari erosi yang terjadi rata-rata sebesar
143 ton/ha/tahun. Erosi terutama dari kawasan budidaya pertanian (sayuran) dan
kawasan hutan Perhutani yang ditanami tanaman semusim. Selain karena faktor
lereng yang curam, besarnya kehilangan tanah dipicu oleh sifat tanah yang mudah
tererosi (erodibilitas tanah) dan absennya vegetasi penutup tanah khususnya pada
awal musim penghujan.

PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) 44


44
JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

Gambar 4.3. Erosi dan longsor yang terjadi di bagian hulu DAS mengakibatkan
pendangkalan sungai dan waduk, serta kerusakan sarana irigasi
(check-dam Talun) akibat banjir bandang di Kali Brantas bagian hulu.

Tingginya tingkat erosi di kawasan ini sangat merisaukan Perum Jasa Tirta 1 (PJT)
yang sangat berkepentingan dalam menjaga kelestarian umur efektif bendungan di
bagian hilir, seperti Bendungan Sengguruh, Sutami, Lahor dan Wlingi serta
bangunan-bangunan air lainnya. Berdasarkan studi yang pernah dilakukan oleh PJT
1, umur efektif Bendungan Sutami yang direncanakan selama 100 tahun berkurang
menjadi hanya 30 tahun saja akibat pendangkalan waduk. Pada tahun 2003
kapasitas efektif waduk Sengguruh hanya tinggal 42% dan waduk Sutami tinggal
57% dibanding saat pembangunan (PJT, 2006). Oleh karena itu PJT memiliki
kepentingan untuk ikut serta menjaga kawaaan DAS Sumber Brantas, paling tidak
untuk menekan jumlah sedimen yang masuk ke sungai dan memelihara fungsi
kawasan resapan beserta sumber-sumber airnya.

4.1.5. Kontaminasi pestisida dan pupuk dalam aliran air


Wilayah Kota Batu dan sekitarnya merupakan sentra produksi hortikultura (buah dan
sayur) yang memiliki nilai ekonomi cukup tinggi. Usaha tani hortikultura sangat
sesuai di kawasan ini, yang memiliki tanah vulkanik subur, cukup air serta suhu
udara sejuk pada ketinggian di atas 600 m dpl. Pertanian yang berbasis tanaman
buah dan sayur umumnya dikelola secara sangat intensif, dengan masukan (input)
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) 45
45
JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

yang sangat tinggi seperti pengolahan tanah, penggunaan bibit, pupuk dan pestisida,
serta penerapan irigasi. Pengunaan masukan kimia untuk pertanian hortikultura
sudah sangat tinggi dosisnya, sehingga jika tidak menggunakannya maka besar
kemungkinan produksi menurun bahkan tidak jarang gagal panen karena serangan
hama dan penyakit.
Pemakaian bahan kimia dengan takaran yang sudah melebihi batas mengakibatkan
terjadinya pencucian sisa pestisida dan pupuk sehingga menyebar mengikuti aliran
air menuju air tanah (ground water) atau ke sungai. Selain itu sisa bahan aktif
(residu) juga terdapat dalam produk buah atau sayur yang dipanen, sehingga
melebihi ambang batas yang diperkenankan.
Pada tahun 2005, terdapat 20 sumber air di kawasan DAS Sumber Brantas yang
diduga tercemar oleh pestisida, dan yang paling menderita adalah sumber air
Banyuning dan Gemulo (Tempo, 25 Agustus 2005). Sumber-sumber air yang diduga
tercemar pestisida ini lokasinya berada di bagian bawah (hilir) dari kawasan
pertanian yang didominasi oleh tanaman sayuran. Namun menurut pendapat Kepala
Dinas Pertanian Kota Batu, mata air masih aman dari pestisida, tetapi kalau air
permukaan kemungkinan besar sudah sedikit tercemar.
Penelitian kualitas air akibat pencemaran pupuk dan pestisida di Kota Batu sampai
sejauh ini masih sangat sedikit, sehingga sulit mendapatkan hasil publikasi yang bisa
dikutip. Sementara monitoring dan pengukuran terhadap kualitas air belum pernah
dilakukan, karena memang sangat mahal. Upaya monitoring kualitas air sungai
melalui indikator bentos (vertebrata air) sudah pernah dilakukan tetapi belum bisa
dilaksanakan secara rutin.

4.1.6. Limbah industri, perhotelan dan domestik dalam aliran air


Wilayah Kota Batu yang terletak di pegunungan dengan hawa sejuk dan
pemandangan indah serta dihuni penduduk hampir 200 ribu orang, memiliki kegiatan
perkonomian yang sangat aktif di sektor pariwisata, pertanian dan industri pertanian.
Kegiatan-kegiatan tersebut menghasilkan berbagai bentuk limbah dalam jumlah
cukup banyak. Setiap hari Kota Batu menghasilkan sampah sebanyak 350 m3,
namun hanya sekitar 30% saja yang bisa diangkut ke TPA (tempat pembuangan
akhir). Selebihnya, sampah yang tidak tertampung kebanyakan berada di rumah-
rumah penduduk berupa sampah domestik. Sebagian kecil dapat dimanfaatkan
menjadi kompos dan kerajinan dari sampah rumah tangga (TEMPO Interaktif, 3
September 2008). Sampah ini sangat potensial mencemari sungai yang mengalir di
Kota Batu termasuk Kali Brantas, mengingat masyarakat memiliki perilaku suka
membuang sampah ke sungai. Upaya sedang dilakukan oleh Pemerintah Kota Batu
untuk membangun TPA baru di daerah Tlekung seluas 6 hektar dengan teknologi
sanitary landfiled supaya bisa menampung dan mengolah sampah kota tersebut.
Selain sampah domestik, sampah pertanian juga sangat berpotensi mencemari
sungai, terutama kotoran sapi. Masih banyak peternak sapi perah yang membuang
kotoran bercampur sisa pakan langsung ke saluran drainasi yang akhirnya masuk ke
sungai. Upaya membangun instalasi pengolahan limbah ternak untuk menghasilkan
biogas sudah sering disosialisasikan tetapi nampaknya masih belum banyak diminati
petani.
Masyarakat di Kelurahan Temas (Kota Batu) sejak tahun 2006 telah
mengembangkan pengolahan limbah terpadu dengan sistem wetland, untuk
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) 46
46
JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

menampung limbah rumah tangga dan limbah industri rumah tangga. Pengelolaan ini
dikerjakan oleh Karang Taruna Temas dan LSM Fokal Mesra Kota Batu. Karena
dinilai berhasil, Pemerintah Provinsi Jawa Timur mendukung dana pengembangan
sistem ini dengan menambah kapasitas (volume) penampungan limbah sehingga
bisa menampung limbah dari 500 rumah-tangga, sementara sebelumnya hanya dari
40 rumah-tangga (TEMPO Interaktif, 29 Agustus 2008).

Gambar 4.4. Sampah pertanian, sampah domestik dan sampah industri rumah-
tangga dibuang bukan di tempat sampah yang disediakan,
berpotensi mencemari mata air dan sungai (kiri atas).

Sumber sampah yang lain adalah dari sektor pariwisata, terutama hotel dan restoran
besar. Seharusnya mereka mempunyai instalasi pengolahan limbah sendiri sesuai
dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, yang
mewajibkan perusahaan untuk mengelola sampahnya. Sampah dalam industri hotel
dan restoran tak boleh diendapkan lebih dari satu hari. Jika harus mengelola sendiri,
manajemen merasa kesulitan karena mereka bukan perusahaan pengolah sampah,
sehingga biasanya diserahkan kepada kontraktor. (TEMPO Interaktif, 28 September
2008).
Kenyataanya, masih banyak limbah rumah tangga dan limbah industri/perusahaan
yang dibuang pada tempat pembuangan sampah liar yang berada di dekat
pemukiman penduduk dan lokasi pabrik atau bahkan dibuang langsung ke sungai
(Gambar 3.4.). Untuk mengatasi masalah pencemaran sampah ini Pemerintah Kota

PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) 47


47
JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

Batu telah merencanakan membangun instalasi pengolahan limbah terpadu untuk


mengolah limbah domestik dan industri. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
(Bappeda) Kota Batu sudah mulai melakukan kajian dan penelitian.

4.1.7. Konflik stakeholder sebagai akibat ketidak teraturan


pemanfaatan sumber air dan aliran sungai
Konflik atau potensi konflik yang disebabkan oleh rebutan penguasaan air sudah
mulai dirasakan di Kota Batu. Beberapa tahun yang lalu telah terjadi tarik ulur antara
Pemkot Batu dan Pemkot Malang (PDAM) terkait dengan pembagian dana atas
penggunaan air dari Kota Batu oleh PDAM Kota Malang.
Dalam penelusuran bersama masyarakat ditemukan adanya beberapa instansi dan
perusahaan besar yang mengambil air langsung dari mata air di kawasan hutan
(Tahura dan Perhutani). Berbagai pihak merasa tidak pernah memberikan ijin untuk
pengambilan air dan terjadi saling lempar tanggung-jawab atas terjadinya kasus ini.
Selain instalasi pengambilan air yang besar, di lapangan juga ditemukan banyak
sekali instalasi penyedotan air dalam skala kecil dengan pompa mesin untuk
keperluan irigasi lahan-lahan disekitarnya.
Persoalan timbul pada musim kemarau ketika debit air Kali Brantas sangat kecil,
kebutuhan sehari-hari untuk domestik dan lain-lainnya ternyata tidak terpenuhi, maka
persoalan penyedotan air dihulu menjadi isu yang menimbulkan potensi konflik.

Gambar 4.5. Pompa air berserakan secara tersembunyi maupun terang-terangan


di sekitar sumber air di DAS Sumber Brantas, untuk menyedot air
secara ilegal digunakan untuk irigasi dan berbagai keperluan
lainnya secara

PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) 48


JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

4.1.8. Berkembangnya kawasan pemukiman dan industri di


kawasan resapan
Kawasan DAS Sumber Brantas secara tradisional merupakan daerah resapan yang
sangat potensial bagi kesetimbangan hidrologi di DAS Brantas. Namun, fungsi
tersebut akhir-akhir ini menjadi sangat terganggu akibat perkembangan penutupan
lahan yang tidak terkendali. Gangguan terbesar adalah penebangan hutan baik ilegal
maupun legal, mengakibatkan semakin luasnya tanah terbuka yang menyebabkan
semakin besarnya limpasan permukaan dan erosi, akibat menurunnya laju infiltrasi.
Limpasan permukaan semakin besar dengan berkurangnya kawasan resapan akibat
tertutup oleh bangunan baik perluasan pemukiman, pembangunan hotel, industri,
dsb. Salah satu contoh pembangunan perusahaan jamur yang berada di kawasan
Sumber Brantas seluas beberapa hektar (Gambar 4.1.).

Gambar 4.6. Kondisi tutupan lahan di kawasan resapan DAS Sumber Brantas
terbuka di hulu dan pemukiman di tengah (foto kanan),
dan bangunan untuk industri/perusahaan di bagian hulu
yang menutupi permukaan tanah sebagai kawasan resapan (foto kiri)

4.2. Tugas:Pemeliharaan Fungsi DAS Sumber Brantas


melalui Mekanisme Imbal Jasa
Masalah hidrologi DAS Sumber Brantas sebenarnya sudah dirasakan sejak awal
tahun 1980-an, terutama oleh Proyek Brantas (sekarang Perum Jasa Tirta), yang
membangun dan mengelola beberapa bendungan di sepanjang Kali Brantas sejak
tahun 1970-an. Sementara masalah hidrologi di DAS Brantas sendiri sudah jauh
lebih dulu muncul, sehingga mulai tahun 1960an sudah mulai direncanakan dan
dibangun beberapa bendungan untuk mengendalikan banjir di sepanjang Kali
Brantas.
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) 49
49
JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

Permasalahan yang dihadapi Proyek Brantas adalah besarnya tingkat sedimentasi di


waduk-waduk akibat erosi yang terjadi di bagian hulu, termasuk DAS Sumber
Brantas, yang jauh lebih besar dari yang diperkirakan. Pada saat itu masih belum
dirasakan adanya masalah yang terkait dengan fluktuasi debit air. Upaya-upaya
pencegahan erosi sudah dilaksanakan oleh beberapa institusi pemerintah, termasuk
inisiatif dari Proyek Brantas yang selanjutnya diserahkan kepada PJT 1 sebagai
pengelola. Upaya penghijauan dan reforestasi, bantuan kepada masyarakat (petani)
untuk membuat bangunan konservasi (teras, drop structure, gully plug, saluran
pembagi, penguat teras dsb), serta mendorong petani untuk menerapkan upaya
konservasi tanah dan air dalam praktek pertanian mereka.
Upaya-upaya yang sudah menggunakan daya dan dana sangat besar itu ternyata
tidak memberikan hasil seperti yang diinginkan. Sedimentasi di waduk tetap tinggi
sehingga ada perkiraan terjadi penurunan kapasitas efektif waduk dibanding
kapasitas yang direncanakan. Hasil studi JICA pada tahun 1998 dan survei yang
dilakukan PJT antara tahun 1992-2003 menunjukkan bahwa kapasitas tampungan
total waduk Sutami tinggal 50 % dari yang direncanakan semula (PJT I, 2005).
Dalam kaitan ini, PJT 1 dan PT PJB (Pembangkitan Jawa-Bali) adalah stakeholder
yang berkepentingan langsung terhadap upaya perbaikan konservasi tanah dan air
di DAS Sumber Brantas. Akibat pendangkalan waduk juga secara berantai dirasakan
oleh masyarakat luas, antara lain melalui ketersediaan listrik (PLN). Dengan semakin
berkembangnya aktivitas masyarakat di sepanjang Kali Brantas, semakin banyak
pula aktivitas yang bergantung dari ketersediaan air sungai ini baik
jumlah (kuantitas), kualitas, maupun kontinyuitasnya. Pemanfaatan air sungai ini
antara lain untuk irigasi (sawah seluas 340.000 ha), industri (ratusan pabrik dan
perusahaan
3
kecil sampai besar), bahan baku air minum PDAM sebanyak 300 juta m ,
-1
menghasilkan enerji listrik 1 milliar kWh tahun , dsb (PJT 1, 2006).
Kondisi hidrologi DAS Sumber Brantas sesudah tahun 2000 ternyata tidak semakin
baik tetapi justru sebaliknya semakin kritis. Alih-guna lahan hutan menjadi
lahan budidaya pertanian tidak saja memicu peningkatan erosi dan sedimentasi,
tetapi juga mengakibatkan banjir dan kekeringan. Semakin banyak warga
masyarakat tergantung dan terlibat dalam pengelolaan tanah/lahan di kawasan
hulu sehingga permasalahan DAS Sumber Brantas semakin kompleks.
Permasalahan pengelolaan DAS Sumber Brantas yang melibatkan ribuan warga
masyarakat Kota Batu, Perum Perhutani, Tahura R. Soerjo dan Pemerintah Kota
Batu ternyata tidak mudah diselesaikan. Salah satu alasan yang sering diungkapkan
adalah minimnya reward terhadap upaya-upaya pengelolaan lahan dalam bentuk
perhatian/penghargaan dan dukungan dana. Kondisi terkini mengharuskan semua
pihak baik masyarakat di hulu, tengah maupun hilir Kali Brantas untuk memikul
tanggung jawab bersama dalam memelihara DAS dengan melakukan
pengelolaan DAS secara tepat. Bentuk tanggung jawab setiap stakeholder perlu
dirumuskan secara adil sesuai dengan tindakan/aksi yang bisa diperankan oleh
masing-masing pihak. Salah satu upaya yang ditawarkan adalah mekanisme
imbal-jasa lingkungan (payment of environmental services - PES) dengan
konsep sepuluh tahap Sistem Dukungan Negosiasi (Jeanes at al., 2006) untuk
membantu para pihak untuk memperbaiki mosaik penggunaan lahan dari
prespektif fungsi DAS yang mengalami degradasi untuk menuju praktek
penggunaan lahan yang sehat (profitable, sustainable) (Tabel
3). Mekanisme yang sudah diterapkan di beberapa negara, juga sudah diuji-cobakan
di beberapa tempat (DAS) di Indonesia. Mekanisme ini juga sudah pernah diteliti dan
diuji-cobakan dalam skala kecil di DAS Brantas (Gunawan et al., 2005).
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) 50
50
JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

Tabel 3.SelupuhtahapSistemDukunganNegosiasi(Jeanesatal.,2006).

Tahapan Sepuluh tahapan pendekatan dukungan negosiasi DAS


1 Karakterisasi. (hujan, kepadatan penduduk, status migrasi, usaha
pertanian utama) dan diagnosis issue utama dan masalahnya
terkait dengan fungsi DAS dan perikehidupan (termasuk sumber air
minum)
2 Penilaian Bentang Lahan, kemiringan, penggunaan lahan dan zonasi
vegetasi, toposequen tanah dari punggung bukit ke sungai.
3 Pemahaman aliran air dan kosekuensi aliran lateral (pengangkutan dan
pemerangkapan) tanah, unsur hara, polutan dll. Intersepsi, transpirasi,
aliran permukaan, aliran dalam tanah, aliran bawah tanah, mata air, dll.
Apa yang diangkut aliran air (tanah, unsur hara, garam-garam, polutan,
bahan organic, limbah domestik) dan apa yang dapat dipisahkan
(penyaringan)
4 Pencirian system penggunaan lahan terkait dengan hasil/tenaga kerja/
kebutuhan masukan biaya produksi / keuntungan dan dampak-
dampaknya terhadap aliran air (evapotranspirasi, dampak pada
pemadatan tanah, penutupan lahan).
5 Pencirian mosaik bentang lahan dalam pandangan terpisah-pisah
terpadu, dan kosekuensinya terhadap mempertemukan fungsi produksi
dan fungsi lingkungan.
6 Pemahaman tradeoffs antara fungsi agronomis relatif (RAF) dan fungsi
lingkungan relative (REF), sebagai contoh dalam bentuk jumlah
2
penduduk yang kecukupan pendapatan per km sebagai RAF dan jumlah
penduduk dengan kecukupan air bersih asebagai REF indikator
dibangun dari tahapan 4.
7 Mosaik bentang lahan (dibangun dari tahapan 5) dalam kontek aliran air
dan externalities untuk pembuatan keputusan di lahan petani;
keberadaan aturan dan insentif (carrots and sticks) di tingkat
masyarakat dan pemerintah; apakah moasik bentang lahan yang ada
konfigurasinya stabil untuk memenuhi sebuah kebutuhan
8 Analisis praktek pola dan penggunaan lahan yang ada berdasarkan
prespektif para pihak (termasuk gender dan pemerataan).
9 Pemahaman masalah yang ada dan konflik pada tingkat pengetahuan
lokal, kebijakan dan ilmiah: apakah ada berbagi prespektif (tetapi bias
berbeda apresiasi keluaran yang beragam) atau apakah kebutuhan untuk
leveling off sebagai tahapan dalam negosiasi.
10 Kelanjutan kesepakaran negosiasi, diikuti dengan kegiatan monitoring
dan dampaknya terhadap layanan lingkungan dan perikehidupan
masyarakat

Hasil studi LP3ES bersama YPP dan PJT I (Gunawan et al., 2005) menunjukkan
adanya potensi yang cukup besar untuk memperbaiki kondisi DAS Brantas melalui
pengelolaan DAS yang disukung oleh mekanisme imbal-jasa lingkungan. Potensi ini
ditanggapi secara positif oleh masyarakat di Jawa Timur, sehingga Pemerintah
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) 51
51
JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

Provinsi Jawa Timur bersama DPRD dan masyarakat Jawa Timur sudah mulai
menyiapkan Peraturan Daerah (Perda) mengenai mekanisme imbal-jasa lingkungan
ini. Konsep Perda ini sedang dibahas secara intensif dengan melibatkan masyarakat
luas (LSM, Perguruan Tinggi, petani, kalangan industri, pengusaha, dsb) sejak tahun
2007, namun sampai saat ini masih belum selesai.
Berdasarkan situasi, kondisi dan kebutuhan DAS Sumber Brantas, serta dengan
memperhatikan konteks yang lebih luas (DAS Brantas dan Provinsi Jawa Timur),
maka dapat disimpulkan bahwa mekanisme imbal jasa lingkungan sangat potensial
untuk dikembangkan sebagai salah satu pilar pengelolaan DAS Sumber Brantas.
Jika hal ini menjadi kesepakatan bersama untuk dilaksanakan maka masih banyak
hal-hal yang perlu disiapkan oleh semua pihak yang terlibat di dalamnya. Untuk itu
diskusikan dengan anggota kelompok dan tetapkan macam kegiatan yang perlu
dilakukan dalam setiap tahapan agar pelaksanaan membangun komunikasi dalam
menjalankan Jasa Lingkungan di DAS Sumber Brantas dapat berjalan dengan baik
dengan mengisi Tabel berikut:

Tabel 4.3. Macam Kegiatan yang perlu dilakukan dalam Membangun Komunikasi
dalam Menjalankan Jasa Lingkungan di DAS Sumber Brantas

Tahap Dukungan negosiasi DAS Macam Kegiatan yang perlu dilakukan

1 Karakterisasi dan diagnosis DAS.

2 Penilaian Bentang Lahan.

3 Pemahaman aliran air

PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) 52


JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

4 Pencirian system penggunaan lahan

5 Pencirian mosaik mempertemukan fungsi


produksi dan fungsi lingkungan.

6 Pemahaman tradeoffs

7 Mosaik bentang lahan dan; keberadaan aturan


dan insentif

PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) 53


53
JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

8 Analisis praktek pola dan penggunaan lahan


berdasarkan prespektif stakeholder.

9 Pemahaman pengetahuan lokal, kebijakan dan


ilmiah:

10 Kelanjutan kesepakaran negosiasi,

PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) 54


54
JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

5. PROSES PERENCANAAN DAS MIKRO


SEBAGAI BASIS PENGEMBANGAN AKSI
MANAJEMEN DAS

5.1. Pendahuluan
Pemberdayaan masyarakat melalui satuan DAS mikro merupakan suatu hal yang
baru. Pemahaman akan hal ini masih simpang-siur antar berbagai pihak. Oleh sebab
itu perlu waktu yang hampir setahun untuk menyamakan persepsi diantara para
pengelola DAS. Walaupun masih belum dicapai kesepahaman yang sama program
ini tetap harus dimulai. Oleh karena itu dengan berbagai hambatan akhirnya program
pemberdayaan masyarakat dengan melalui satuan DAS mikro dimulai pada tahun
2002.
Sebagai bagian dari program pemberdayaan masyarakat melalui DAS Mikro, upaya
mempertahankan kelestarian lahan dan sumberdaya alam pada umumnya menjadi
salah satu bagian program yang penting. Berikut ini disampaikan konsep pegangan
bagi fasilitator lapangan berkaitan dengan pengelolaan biofisik khususnya lahan.
Dalam pedoman lapangan ini hanya dituliskan garisbesarnya saja, sementara masih
banyak hal yang tidak termuat didalamnya. Latar belakang teoritis sebaiknya
dipahami oleh para fasilitator sehingga penyesuaian dan pengembangan pedoman
lapangan ini dapat dibuat oleh para fasilitator secara mandiri.
Pedoman ini bukan merupakan petunjuk teknis yang harus dilaksanakan secara
kaku di lapangan. Para fasilitator harus dapat mengambil keputusan dalam
menghadapi kondisi sebenarnya di lapangan dengan penuh tanggung-jawab. Oleh
sebab itu sebaiknya para fasilitator selalu mau belajar dan mengembangkan diri
melalui berbagai cara terutama dengan membaca berbagai informasi teknologi
tertulis yang banyak sekali dipublikasikan.
Secara khusus materi ini disiapkan untuk membekali fasilitator lapangan agar
memiliki suatu metodologi dalam mengembangkan langkah-langkah pendampingan
bagi program pelestarian lahan melalui pendekatan DAS mikro dan mampu
mempertanggung-jawabkan setiap langkah yang diambilnya baik kepada masyarakat
maupun kepada atasannya.

5.2. Pengertian
Kegiatan ini merupakan gerakan masyarakat dalam memecahkan masalah DAS
Mikro termasuk:

1. Kualitas air sungai


Tingginya muatan sedimen yang berasal dari berbagai proses erosi dan/atau
longsor
Kontaminasi zat kimia yang disebabkan penggunaan zat kimia berlebihan
pada daerah hulu

PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) 55


55
JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

2. Kuantitas air sungai: terlalu banyak air pada musim hujan dan terlalu sedikit air
pada musim kemarau dan berubahnya debit total tahunan

3. Kekurangan atau kelebihan air di dalam suatu DAS


Masalah yang akan dipecahkan kemungkinan berkaitan dengan pengaruh
pengelolaan di hulu terhadap hilir sehingga memerlukan keikutsertaan masyarakat di
hulu dan hilir DAS tersebut. Karena melibatkan berbagai kelompok masyarakat maka
penanganan Pengelolaan DAS Mikro jauh lebih sulit dibandingkan dengan perlakuan
pada tingkat lapang seperti pada PoP. Dalam banyak hal solusi masalah DAS
memerlukan negosiasi antara berbagai pihak (stakeholders) tentang bagaimana
pemecahan masalah DAS. Sebagai contoh, tingginya konsentrasi zat kimia pada
sungai karena tingginya penggunaan zat agrokimia di hulu perlu dipecahkan melalui
negosiasi antara petani di hulu dan pengguna air di hilir.
Contoh intervensi DAS adalah sistem pengelolaan air, bangunan terjunan air,
perbaikan saluran drainase, perbaikan filter suatu lansekap secara vegetatif
(misalnya dengan penanaman rumput atau pohon-pohonan, penanaman menurut
garis kontur, perbaikan pagar hidup pada skala DAS dst.).

Metode:
Kegiatan dimulai dengan karakterisasi dan identifikasi masalah suatu DAS dan
penilaian apakah masalah tersebut relevan dengan mandat pengelolaan DAS.
Pembuatan peta wilayah DAS secara partisipatif dan pengidentifikasian
tentang apa dan di mana masalah tersebut.
Perumusan pemecahan masalah dengan menggunakan pengetahuan lokal.
Pemaduan antara solusi lokal dengan solusi berdasarkan ilmu pengetahuan.
Di dalam tahap ini perlu dikaji secara mendalam apa implikasi yang dapat
ditimbulkan dengan penggunaan teknik yang baru diperkenalkan.
Dalam setiap intervensi perlu diupayakan untuk menggunakan sebanyak-
banyaknya sumber daya lokal. Sebagai contoh, apakah akan menggunakan
batu atau bambu untuk membangun bangunan terjunan, sangat ditentukan
oleh banyak tidaknya bahan tersebut pada DAS setempat.

5.3. Persiapan oleh Fasilitator


Sebelum melaksanakan kegiatan pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan
DAS mikro, maka diperlukan langkah-langkah persiapan untuk membekali para
fasilitator agar memiliki landasan dan dasar yang kuat dalam melangkah selanjutnya.
Tahap persiapan ini sangat tergantung dari mana program ini dimulai, apakah mulai
dari nol atau dimulai dari suatu tahap tertentu. Hal ini sangat tergantung dari
kemajuan program PIDRA di lapangan. Namun demikian, para fasilitator dapat
mempelajari uraian berikut ini dan melakukan evaluasi diri untuk menentukan di
mana posisinya pada saat ini. Pedoman ini juga dapat dipakai sebagai check-list
(daftar acuan) untuk mengetahui apa yang sudah dan belum dimiliki. Langkah
persiapan ini ditujukan untuk membekali para fasilitator dengan informasi yang

PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) 56


56
JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

dibutuhkan dalam pendampingan nantinya. Hal ini dianggap perlu karena fasilitator
nantinya harus bekerja dan mengambil keputusan sendiri sehingga harus memiliki
konsep yang tepat, benar dan konsisten (tidak berubah-ubah).
2
Kegiatan berikut dilakukan oleh fasilitator (PTL dan FLSM) dan jika perlu didampingi
oleh Tim Ahli (Komiisi Pelaksana, Komisi Teknik, Peneliti, Konsultan, dsb). Kegiatan
ini ditujukan untuk menyiapkan konsep pengelolaan biofisik DAS mikro yang akan
dipakai sebagai acuan dalam mendampingi masyarakat.
Langkah2 yang diperlukan dalam menyiapkan skenario pengelolaan DAS
mikro adalah sebagai berikut :

a. Menyiapkan Peta DAS dan Sub DAS


Peta DAS atau Sub DAS di mana desa atau dusun sasaran PIDRA ini terletak,
dengan skala antara 1 : 10.000 sampai 1 : 50.000 tergantung luasnya. Peta-peta
tersebut seharusnya bisa diperoleh dari dari BPDAS (BRLKT) atau instansi lain yang
berwenang, berikut rancangan teknis rehabilitasi lahan dan konservasi tanah dari
DAS tersebut. Informasi tentang rencana dan program pengembangan kawasan
tersebut baik oleh pemerintah (pusat & daerah) maupun swasta (perkebunan,
perhutani, peternakan, dsb) perlu dibahas di tingkat kabupaten. Perencanaan
pengelolaan DAS mikro harus memperhatikan perencanaan dan pengembangan ini.

b. Menggambarkan Desa PIDRA pada Peta DAS


Wlayah desa atau dusun yang menjadi sasaran PIDRA digambarkan pada peta
DAS atau Peta Sub DAS yang ada, kemudian digambarkan batas-batas kawasan
DAS mikro didalam dan sekitar desa tersebut (bisa satu atau lebih DAS mikro).
Pembuatan batas DAS mikro dapat dilakukan dengan menggunakan foto udara
(stereoskop) atau dengan penyelusuran lapangan. Luas sebuah DAS mikro sangat
beragam, bisa antara 5 lebih dari 100 ha. Namun untuk keperluan ini perlu dibuat
batasan sebuah DAS mikro dengan memperhatikan keragaman penggunaan lahan,
luas pemilikan lahan, dan bentuk permukaan atau kelerengan dan wilayah
administrasi.
Sketsa peta DAS mikro memberikan informasi tentang batas-batas pemilikan atau
penguasaan lahan, batas persil, kelerengan, penggunaan atau penutupan lahan dan
pohon yang dominan, bangunan atau konstruksi, sungai, parit atau saluran air dan
landmark lainnya yang dominan. Peta ini digambar dengan skala antara 1 :
500 sampai 1 : 1.000.

c. Identifikasi dan Karakterisasi DAS Mikro


Pada fase ini perlu dilakukan pendataan secara cepat (misalnya dengan teknik RRA
atau sondeo) tentang kepemilikan atau penguasaan lahan yang ada di wilayah DAS
mikro, meliputi penggalian informasi :

Lahan : sistem penguasaan, luas, penggunaan dan rencana pengembangan


Identifikasi biofisik dan permasalahan yang berhubungan dengan kerusakan
lahan dan lingkungan
d. Rancangan Pengembangan DAS Mikro
Berdasarkan peta dan karakterisasi DAS Mikro serta identifikasi potensi dan
permasalahan dapat dibuat rancangan pengelolaan. Pada tahap ini harus dicari
alternatif pemecahan masalah sebanyak mungkin melalui pengalamannya sendiri,
bertanya kepada orang lain yang lebih tahu & ahli, membaca literatur dan
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) 57
57
JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

sebagainya. Pada tahap ini perlu memperhatikan rancangan yang lebih tinggi
tingkatnya (misalnya rancangan DAS, Sub DAS, Kabupaten, dst). Rancangan
pengembangan dan pengelolaan DAS mikro ini dituangkan dalam sebuah peta
dengan skala 1 : 500 sampai 1 : 1000.
Idealnya, proses ini dilakukan untuk seluruh wilayah desa untuk kemudian
digabungkan dalam wilayah Sub DAS atau DAS (tergantung luasnya) pada skala
kerja yang lebih kecil, misalnya 1 : 2.500 sampai 1 : 5.000. Peta ini merupakan
penggabungan dari beberapa DAS mikro sehingga menyerupai permainan jigzaw
puzzle.

5.4. Pemetaan DAS Mikro oleh Masyarakat


Inti dari pendekatan DAS mikro adalah pemberdayaan masyarakat agar mampu
memahami potensi dan permasalahan yang dihadapi serta menyusun rencana untuk
mengatasi problem tersebut. Hal seperti ini dilakukan bersama-sama dalam suatu
kelompok yang memiliki keterkaitan sumberdaya yang ada dalam suatu kawasan
DAS mikro. Tugas para fasilitator dan pendamping lapangan untuk memberdayakan
mereka agar masyarakat tersebut memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi
potensi dan permasalahan yang dihadapi serta mencari jalan keluar yang paling
tepat untuk kondisi mereka sendiri. Proses-proses tersebut perlu diperagakan oleh
masyarakat sebelum mereka mengimplementasikan dengan menggunakan berbagai
alat peraga misalnya peta, gambar, maket, dan sebagainya. Oleh karena itu
pemetaan DAS mikro secara partisipatif oleh masyarakat bukan hanya suatu
kegiatan yang mengada-ada tetapi memiliki peran strategis dalam proses
pemberdayaan masyarakat.
Beberapa kegiatan yang dianggap perlu dilakukan masyarakat dalam
rangka melakukan pengelolaan DAS mikro adalah :

a. Pembentukan Kelompok DAS Mikro


Pertama-tama dilakukan penyebaran isu tentang pentingnya pengelolaan lahan dan
lingkungan yang lebih efektif bila dilaksanakan berdasarkan satu satuan
wilayah alami (misalnya DAS mikro DAS). Kemudian memfasilitasi berkumpulnya
anggota masyarakat (petani atau pemilik lahan) yang persilnya termasuk dalam
kawasan DAS mikro tertentu dan memfasilitasi pembentukan kelompok yang akan
menangani pengelolaan kawasan DAS mikro untuk tujuan kelestarian lahan dan
lingkungan hidup dan meningkatkan hasil dari usaha tani di kawasan DAS mikro
tersebut sehingga bisa berkontribusi terhadap penghasilan keluarga masing-
masing. Proses ini bisa berjalan cepat tetapi bisa juga perlu waktu yang sangat lama.

Pertanyaan-pertanyaan untuk dibahas bersama :

Bagaimana PIDRA memfasilitasi terbentuknya kelompok ini ?


Apa yang menjadi visidanmisi kelompok DAS mikro ini ?
Apakah persamaandanperbedaaannya dengan kelompok tani mandiri ?
Bagaimana proses pendampingannya ? Monitoring dan evaluasinya ?

PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) 58


58
JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

b. Kegiatan Utama Kelompok


Salah satu kegiatan utama Kelompok DAS mikro adalah perbaikan lahan dan
lingkungan agar dapat mendukung kebutuhan dan kesejahteraan masyarakat secara
lestari. Kelompok DAS mikro perlu melaksanakan kegiatan-kegiatan yang mengarah
pada perbaikan (rehabilitasi) dan pengawetan (konservasi) lahan dan lingkungan
hidup. Melalui kelompok ini setiap anggotanya perlu memahami konsep pengelolaan
lahan dan lingkungan secara benar dan mampu menerapkan dalam
praktek kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu dibutuhkan pengetahuan dan
ketrampilan khusus tentang pengelolaan lahan dan lingkungan serta persamaan
persepsi bagi setiap anggota kelompok dan dengan anggota masyarakat lainnya.
Melalui kelompok petani hamparan DAS mikro ini, diadakan penyadaran mengenai
peran setiap orang dalam menjaga kelestarian alam dan lingkungan baik lokal
sampai global. Secara praktis mereka juga diberi latihan ketrampilan praktis untuk
menerapkannya dalam kehidupan dan kegiatan sehari-hari. Untuk merencanakan
sampai menerapkan pengelolaan lahan yang berwawasan konservasi pada kawasan
yang dikuasainya, maka dapat diikuti prosedur berikut :

1) Persiapan : analisis potensi dan permasalahan (swot) oleh kelompok


Kelompok dan semua anggotanya diberdayakan agar mampu mengidentifikasi
sumberdaya yang ada disekitarnya serta memahami potensi dan permasalahan yang
dihadapi baik pada saat ini maupun pada waktu yang akan datang. Kemampuan ini
dapat dituangkan dalam suatu bentuk peraga yakni berupa Peta Sketsa DAS mikro
yang bisa menunjukkan persil-persil, kepemilikan, jalan, sungai atau saluran air,
tebing, pohon-pohon penting, penggunaan lahan dan kenampakkan fisik lainnya.
Kelompok mengidentifikasi permasalahan pada kawasannya, baik secara individu
(masing-masing pemilik pada lahannya sendiri) atau secara bersama (anggota
kelompok mengidentifikasi permasalahan dari lahan milik orang lain di
kelompoknya). Hasil identifikasi permasalahan dicatat dan digambarkan dalam peta
yang menunjukkan lokasi atau titik-titik dimana terdapat permasalahan yang
sehubungan dengan kelestarian lahan.

2) Perencanaan : penyusunan rancangan pengelolaan lahan oleh kelompok


Kelompok menyusun rencana pengelolaan lahan di kawasan DAS mikro untuk dasar
bagi perencanaan dan pengelolaan lahan yang dimiliki oleh petani anggota kelompok
tersebut. Berdasarkan kondisi aktual (potensi) dan permasalahan yang dihadapi,
kelompok mendiskusikan dan mencari cara-cara terbaik mengatasi permasalahan.
Proses ini menghasilkan berbagai usulan (aternatif) pemecahan masalah yang
disepakati bersama. Permasalahan yang tidak dapat dijawab dalam proses ini dapat
diupayakan pemecahannya melalui program penelitian secara partisipatif (PoP =
Penelitian oleh Petani).
Usulan aletrnatif pemecahan masalah dapat dirumuskan dalam Peta Rencana
Pengelolaan dan Konservasi Lahan yang menunjukkan lokasi (titik dan daerah)
dengan berbagai alternatif rencana pemecahan menurut versi petani. Setiap anggota
kelompok kemudian menjabarkan rencana kegiatan masing-masing di lahannya
sendiri.

3) Penerapan(implementasi)
Rencana yang dibuat kelompok atau individu mungkin sangat ideal sehingga :

PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) 59


59
JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

tidak dapat dilaksanakan sendiri oleh petani atau oleh kelompok, perlu
bantuan atau subsidi dari luar, dan
waktu yang dibutuhkan untuk memperoleh kondisi yang diharapkan bisa
sangat lama, tidak bisa selesai dalam satu atau dua tahun saja
Yang penting bahwa kelompok sudah memiliki rencana yang jelas dan telah ada
kesepakatan serta upaya untuk melaksanakannya secara konsisten. Penerapan
rencana yang dibuat tersebut mungkin perlu dibantu baik melalui program PIDRA
atau program-program lain melalui Pemerintah Kabupaten atau swasta.

4) MonitoringdanEvaluasi
Semua kegiatan yang dilakukan oleh kelompok dan anggotanya juga perlu
ada monitoring dan evaluasi secara internal untuk menjamin berlangsungnya
kegiatan secara benar Adanya mekanisme kesepakatan kelompok untuk menyusun
rencana pengelolaan merupakan suatu upaya menumbuhkan proses saling
mengontrol antar anggota. Namun demikian perlu dipersiapkan mekanisme
monitoring dan evaluasi internal yang lebih sistematis.

5.5. Penutup
Proses pemetaan DAS mikro secara partisipatif dan Peta perencanaan pengelolaan
DAS mikro yang dibuat secara partisipatif bukanlah merupakan standar atau target
yang harus dicapai dalam pendekatan pengelolaan DAS, namun merupakan
outcome atau cerminan dari kemampuan masyarakat untuk memahami persoalan
sumberdaya yang dikuasai maupun yang mempengaruhinya.

Masyarakat diharapkan dapat dan mampu melakukan identifikasi sumberdaya yang


disekitarnya baik yang dimiliki atau dikuasai pihak lain dan memahami potensi serta
permasalahan yang dihadapi pada saat ini dan di masa akan datang. Mereka juga
diharapkan memiliki pengetahuan dan teknologi untuk memecahkan masalah
tersebut serta memilih yang terbaik bagi mereka. Selanjutnya masyarakat juga
diharapkan memiliki kemampuan untuk menerapkan teknologi yang dipilih baik
secara mandiri atau mencari bantuan dari pihak-pihak lain.
Oleh sebab itu yang perlu mendapat penekanan adalah proses pemberdayaan
masyarakat agar mereka memiliki kemampuan dalam beberapa hal yang mungkin
sering dianggap mustahil bagi mereka untuk memnguasainya. Dalam hal inilah peran
fasilitator atau pendamping sangat diperlukan.

PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) 60


60
JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

Contoh Peta Sosial Desa

PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) 61


61
JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) 62


62
JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) 63


63
JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

Punggung
bukit

Punggung
bukit

Contoh Sketsa Peta DAS Mikro

PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) 64


64
JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

Contoh Sketsa Peta Dusun

PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) 65


JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) 66


66
JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) 67


67
JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) 68


68
JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) 69


69
JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) 70


70
JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) 71


71
JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

6. PEMAHAMAN DATA BIOFISIK DENGAN


PENDEKATAN SPASIAL SEBAGAI BASIS
MANAJEMEN DAS

6.1. Pendahuluan
DAS Sumber Brantas dikenal juga sebaga DAS Brantas Hulu, karena di kawasan ini
terdapat beberapa mata air yang dinyatakan sebagai titik awal aliran Kali Brantas.
Ada pihak-pihak yang menyebutkan bahwa DAS Brantas Hulu meliputi beberapa
Sub-DAS diantaranya adalah SubDAS Sumber Brantas, SubDAS Amprong, SubDAS
Bango, SubDAS Lesti, SubDAS Metro, SubDAS Lahor dan SubDAS Lemon. Total
luas seluruh DAS Brantas Hulu 200 km2, dan semuanya merupakan daerah
tangkapan air hujan dari waduk Karangkates.
DAS Sumber Brantas adalah salah satu DAS p[aling kritis dari sekitar 29 DAS yang
ada di Jawa Timur. Hampir separoh dari wilayah DAS ini termasuk dalam kategori
lahan kritis (BKPH XI, 2006). Isu lingkungan yang paling menonjol di kawasan ini
adalah (a) alih-guna lahan dari hutan menjadi tanaman sayur-sayuran, (b) penurunan
kuantitas dan kualitas air, dan (c) degradasi lahan.
Perubahan penggunaan lahan (alih-guna lahan) di DAS Sumber Brantas sebenarnya
sudah berlangsung sejak awal abad 20, tetapi itu terjadi secara lambat (gradual).
Alih-guna lahan semakin cepat terjadi pada tahun 1960-an dan mencapai puncaknya
pada akhir tahun 1990-an, tepatnya tahun 1998-1999 ketika terjadi situasi peralihan
yang dikenal dengan masa reformasi. Perbandingan citra satelit kawasan ini yang
diambil pada tahun 1991, 2001 dan 2005 menunjukkan adanya pengurangan tutupan
lahan sebagai hutan alam dan hutan tanaman (produksi) dan meningkatnya luas
penggunaan lahan untuk perkebunan, tegal, semak belukar dan pemukiman.
Alihguna lahan hutan menjadi tegalan, yakni lahan tadah hujan ditanami sayuran,
sangat berpotensi mengalami kerusakan akibat erosi. Hal ini juga sudah dipahami
oleh masyarakat setempat (Studi Detail Konservasi Sub DAS Brantas Hulu, 2006).
Sejak tahun 1970-an usaha tani hortikultura (sayuran dan bunga) merupakan sumber
penghasilan utama sebagian besar petani di Kota Batu. Pada akhir tahun 1990-an
terjadi penebangan hutan besar-besaran, sebagian besar dijadikan tegalan dan
ditanami sayuran.
Penurunan kuantitas dan kualitas air di DAS Brantas Hulu diindikasikan dari
seringnya terjadi banjir dan kekeringan di wilayah Kota Batu maupun bagian hilirnya.
Banjir mulai terjadi pada tahun 2000, selanjutnya terjadi hampir setiap musim
penghujan dan yang paling besar terjadi pada tahun 2004. Indikator lainnya adalah
mengecilnya debit sebagian besar mata air di kawasan ini, dan bahkan dua per tiga
jumlah mata air mengering atau mati selama satu dekade terakhir. Penurunan debit
mata air juga sudah dirasakan dan dipahami oleh masyarakat setempat. Apabila
sepuluh tahun lalu kebutuhan air warga Dusun Kekep (Tulungrejo) dapat dicukupi
dari sebuah sumber air saja, tetapi saat ini air yang diperoleh dari empat sumber air
ternyata masih belum mencukupi kebutuhan warga dusun tersebut (Studi Kelestarian
Sumber-sumber Air di Kota Batu, 2006).

PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) 72


72
JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

Kerusakan lahan diyakini oleh banyak pihak berawal dari proses pembukaan lahan
hutan yang memiliki kelerengan curam untuk ditanami tanaman semusim terutama
sayuran. Kehilangan tanah akibat erosi di beberapa kawasan DAS Mikro ditaksir
sebesar 1.500 ton ha-1 tahun-1 .
Permasalahan sumberdaya alam di DAS Brantas Hulu selain disebabkan oleh faktor
ekonomi juga oleh faktor sosial yang memicu terjadinya konflik-konflik di tingkat
masyarakat maupun pemerintahan. Perbedaan cara pandang terhadap upaya
pengelolaan sumberdaya alam di DAS ini jika dibiarkan akan memperparah
kerusakan sumberdaya alam di wilayah ini. Oleh karena itu diperlukan upaya-upaya
pemahaman bersama oleh seluruh stakeholder yang terkait tentang keadaan DAS
Brantas Hulu serta apa yang tengah terjadi di sub DAS ini. Untuk mewujudkan hal itu
perlu mengajak seluruh stakeholder agar dapat bersama-sama mencermati dan
memahami kondisi dan permasalahan apa yang sedang terjadi di sub DAS Brantas
Hulu serta mencarikan solusi dari permasaahan tersebut.

6.2. Gambaran Umum Lokasi Studi


6.2.1. Kondisi Landscape Dan Iklim, Geologi Das Sumber Brantas

6.2.1.1. Kondisi Landscape


DAS Sumber Brantas terletak di bagian tengah Provinsi Jawa Timur, dengan luas
sekitar 17.343,77 Ha. Wilayah DAS ini sebagian besar berada di Kota Madya Batu
dan sebagian kecil berada di Kabupaten Malang (Kecamatan Pujon dan
Karangploso). Bagian hulu termasuk kawasan Taman Hutan Raya (Tahura Suryo).
Secara geografik terletak pada 1150170 hingga 1180190 Bujur Timur dan
705530 hingga 705730 Lintang Selatan.
DAS Sumber Brantas ini berada di wilayah pegunungan volkanik yang
mengelilinginya, yaitu: Gunung Arjuna-Welirang, Gunung Anjasmara dan Gunung
Kawi-Butak. Gambaran relief dan kompleks pegunungan yang membatasi DAS
Sumber Brantas telah disajikan pada pada Gambar 2.3.

6.2.1.2. Kondisi Iklim


Secara kuantitas, nilai curah hujan tahunan rerata di sekitar DAS Sumber Brantas
dan sekitarnya sesuai yang tercatat pada stasiun penakar adalah relatif besar.
Sepanjang periode 30 tahun terakhir (1975 2004), curah hujan rerata tahunan pada
daerah studi sebesar 1876,70 mm dengan nilai terkecil sebesar 1009,9 mm yang
terjadi pada tahun 2004 dan terbesar sebesar 3060,7 mm yang terjadi pada tahun
1992. Bulan kering biasa terjadi pada bulan Mei sampai dengan Oktober, sedangkan
bulan basah biasa terjadi antara awal bulan November sampai dengan April. Curah
hujan rerata bulanan terbesar adalah 398,98 mm pada bulan Januari dan terkecil
sebesar 10,98 mm pada bulan Agustus.
Dari hasil pencatatan pada Stasiun Tlekung selama 5 (lima) tahun terakhir (1996
2000), diperoleh nilai suhu udara rerata bulanan minimum sebesar 22,80oC yang
terjadi pada bulan Januari dan maksimum sebesar 25,12oC yang terjadi pada bulan
Mei. Kelembaban udara relatif tahunan rata-rata sebesar 85,33%. Kelembapan
udara maksimum sebesar 88.60% terjadi pada bulan April dan minimum sebesar
81,20% yang terjadi pada bulan Februari.
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) 73
73
JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

6.2.1.3. Kondisi Geologi


Informasi Geologi diperoleh dari Peta Geologi skala 1:100.000 Lembar Malang
(Santosa, et.al., 1992). Secara umum tanah yang berkembang di DAS Sumber
Brantas berkembang dari bahan volkanik hasil gunung api, yang dipengaruhi oleh
Gunung Arjuno dan Anjasmoro di bagian utara, dan Gunung Panderman di bagian
selatan.
Berdasarkan Peta Geologi Lembar Malang (Santosa, et.al., 1992), formasi geologi
yang dijumpai di kawasan Kota DAS Sumber Brantas ada lima, berturut-turut dari
yang paling luas yaitu: 1). Qvaw (Batuan Gunungapi Arjuna Welirang), 2).
Qpat (Batuan Gunungapi Anjasmara Tua), 3). Qvp (Batuan Gunungapi Panderman),
4). Qpvkb (Batuan Gunungapi Kawi-Butak). dan 5). Qpva (Batuan
Gunungapi Anjasmara Muda). Sebaran masing-masing formasi disajikan pada
Gambar 2.9. Ditinjau dari umur batuan, Kompleks Pegunungan Anjasmara-Lalijiwa
adalah pegunungan tua yang telah mati dan mengalami perusakan bentuk
kerucut gunungapi. Kompleks pegunungan yang aling muda adalah Arjuna-Welirang,
dimana Gunung Arjuna sedang istirahat dan Gunung Welirang masih aktif dengan
mengeluarkan gas (belerang).

Gambar 2.9. Peta geologi DAS Sumber Brantas


Qpat Old Anjasmara Volcanic Product
Qpvkb Kawi-Butak Volcanic Product
Qpva Young Anjasmara Volcanic Product
Qvaw Arjuna-Welirang Volcanic Product
Qvp Panderman Volcanic Product

PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) 74


74
JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

Batuan paling tua di wilayah Kota Batu adalah Batuan Anjasmara Tua (Qpat) yang
tersusun atas bahan breksi gunungapi, tuf breksi, tuf dan lava. Satuan ini diduga
sebagai alas dari Batuan Gunungapi Kuarter Bawah dan diperkirakan berumur
Plistosen Awal - Tengah; hal itu berdasarkan adanya singkapan dari Batuan
Gunungapi Anjasmara Tua yang tertindih takselaras langsung oleh
Batuan Gunungapi Arjuna-Welirang yang berumur Plistosen Akhir. Batuan
gunungapi ini tertindih oleh Batuan Gunungapi Anjasmara Muda dan Batuan
Gunungapi Panderman.
Batuan Anjasmara Muda menindih batuan Anjasmara Tua, dengan demikian maka
umur batuan ini lebih muda dibandingkan dengan Batuan Anjasmara Tua. Batuan ini
merupakan batuan gunungapi kuarter bawah yang tersusun atas bahan breksi
gunungapi, tuf breksi, lava, tuf dan aglomerat. Lava yang menyusun merupakan
sisipan melidah dalam breksi dengan tebal beberapa meter. Batuan gunungapi ini
diperkirakan berumur Plistosen Tengah, berdasarkan kedudukan stratigrafinya yang
tertindih oleh Batuan Gunungapi Kuarter Tengah.
Batuan Gunungapi Kawi termasuk dalam batuan gunungapi kuarter tengah yang
tersusun atas bahan breksi gunungapi, tuf lava, aglomerat dan lahar. Batuan
gunungapi ini diperkirakan berumur Plistosen Akhir bagian awal, tertindih oleh
Batuan Gunungapi Kuarter yang lebih muda dan Tuf Malang,
Batuan Gunungapi Panderman merupakan parasit pada lereng timur laut dari
Gunung Kawi-Butak, berbentuk kerucut (lateral eruption). Satuan ini termasuk ke
dalam batuan gunung api kuarter atas yang tersusun atas bahan breksi gunungapi,
lava, tuf, breksi tufan, aglomerat dan lahar. Batuan gunungapi ini diperkirakan
berumur Plistosen Akhir-Holosen.
Batuan Gunungapi Arjuna-Welirang merupakan batuan yang paling muda di
kawasan Kota Batu. Merupakan satuan geologi yang terbentuk dari bahan volkanik
yang terdiri dari breksi gunungapi, lava, breksi tufan dan tuf.
Struktur geologi yang terdapat di wilayah ini terlihat membujur utara selatan dari
Cangar sampai Desa Bulukerto. Satu retakan juga terdapat menyilang di Desa
Temas Pandanrejo Giripurno. Informasi ini memberikan peringatan bahwa jika
ada ativitas volkanik lanjutan, jalur yang dilewati struktur ini merupakan jalur yang
berbahaya. Disamping itu, pada pembahasan hidrologi hal ini akan berdampak pada
kondisi hidrologi kawasan Kota Batu.
Informasi geologis ini selanjutnya dipakai untuk menjelaskan geomorfologi dan
kondisi tanah. Hal ini proses geomorfologis sangat dipengaruhi oleh batuan pada
masing-masing lokasi. Demikian juga halnya dengan tanah, salah satu faktor
pembentuk tanah adalah bahan induk tanah yang merupakan hasil pelapukan dari
batuan induknya.

6.2.1.4. Geomorfologi
Geomorfologi adalah suatu ilmu yang mengkaji bentuk lahan di muka bumi, termasuk
evolusi bentuk lahan dari waktu ke waktu. Dengan demikian, geomorfologi ini
merupakan suatu pendekatan untuk memahami, menjelaskan dan mendeskripsikan
suatu lanskap.
DAS Sumberbrantas dikelilingi oleh tiga komplek pegunungan, yaitu Gunung Arjuno-
Welirang di bagian timur laut, Gunung Anjasmoro di bagian barat laut, dan Gunung
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) 75
75
JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

Kawi Butak Panderman di bagian barat daya. Ketiga komplek pegunungan ini
merupakan pegunungan volkanik, sehingga DAS Sumberbrantas secara
geomorfologi memiliki bentuk lahan (landform) dalam grup volkanik. Hal ini
dikarenakan DAS Sumberbrantas tersusun atas batuan induk volkanik, berupa
berupa bahan-bahan volkan yang berupa breksi gunungapi, tuf breksi, lava, tuf dan
aglomerat.

6.2.1.5. Kondisi Landform


Kondisi geologi dan proses pembentukan lahan menghasilkan bentuk lahan yang
dipengaruhi oleh proses volkanisme. Berdasarkan atas reliefnya, bentuk lahan di
Kota Batu dapat dibagi menjadi empat macam, yaitu: (1). jalur pelembahan sempit
(Ac) dan jalur aliran lahar (Al), (2). dataran (P), (3). perbukitan (H), dan (4).
pegunungan (M). Dimana, berdasarkan posisinya pada suatu lereng dan kemiringan
lerengnya masih dapat dibagi lagi menjadi berbagai macam bentuk lahan. Sebaran
masing-masing bentuk lahan disajikan pada Gambar 2.10.
Jalur pelembahan tersebar di seluruh lokasi merupakan hasil proses denudasional /
pengikisan dari bentuk lahan asalnya. Pada beberapa jalur, ditumpuki oleh
sedimentasi lahar tua atau debris. Kedalaman, lebar dan bentuknya tergantung
lokasi jalur ini. Di bagian lereng atas pegunungan umumnya cukup lebar dan dalam
dengan lemah bentuk V. Di bagian dataran, tidak terlalu lebar, tidak terlalu dalam
dan berbentuk U.
Sistem dataran dijumpai di bagian tengah, merupakan dataran volkanik antar
pegunungan yang terbentuk oleh berbagai bahan hasil letusan dan atau sedimentasi
hasil erosi dan atau longsor dari kawasan perbukitan / pegunungan di atasnya.
Berdasarkan atas posisi dan proses pegikisan yang dapat dibagi lagi ke beberapa
subsistem, yaitu: dataran bagian bawah (Pl), bagian tengah (Pm), bagian atas (Pu),
dataran yang tertoreh (Pd) dan bagian dataran yang mengalami erosi berlebihan
(Ps).

PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) 76


76
JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

Gambar 2.10. Peta landform DAS Sumber Brantas

Sistem perbukitan dijumpai di bagian lereng tengah atau kaki kompleks pegunungan
yang ada di sekitarnya. Relief perbukitan memiliki amplitudo ketinggian antara 50
300 m. Berdasarkan atas posisi dan kemiringan lerengnya dapat dibedakan
atas: puncak/punggung perbukitan (Hp), pereng perbukitan (Hs), kaki perbukitan (Hc),
dan lereng perbukitan yang tertoreh (Hd).
Sistem Pegunungan berapa di bagian lereng atas kompleks pegunungan yang ada,
yaitu Gunung Arjuna-Welirang, Anjasmara dan Kawi-Butak. Berdasarkan atas
konfigurasi permukaannya, grup ini dapat dikelompokkan menjadi beberapa
kelompok, yaitu: Plato, spurs dan punggung gunung (Mp), kerucut gunung vulkanik
pada bagian lereng atas (Mu), lereng-lereng gunung curam (Ms), bahan tertimbun
akibat longsoran di gunung (Mc ), gunung tertoreh dengan punggung tajam sejajar
(Md), Kerucut gunung vulkanik terisolir, curam sampai sangat curam (Mi), dan bekas
longsoran tanah di gunung (Ml).

6.2.1.6. Kondisi Lereng


Kemiringan lereng di DAS Sumber Brantas sangat bervariasi dari datar sampai
sangat curam. Lereng datar dijumpai pada dataran antar gunungapi di bagian
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) 77
77
JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

tengah, termasuk dataran sempit antara Gunung Arjuna dan Anjasmara. Lereng
terjal umumnya dijumpai pada tebing lereng hampir di semua lokasi. Lereng datar
sampai agak datar (<8 %) sekitar 19.18 % luas areal berada pada dataran volkanik
antar pegunungan. Sebagian besar berada di Kecamatan Junrejo dan Batu dan
sebagian kecil di Kecamatan Bumiaji. Di Kecamatan Bumiaji biasanya diusahakan
untuk tanaman pangan (padi dan jagung), sedangkan di Kecamatan Batu dan
Bumiaji untuk tanaman sayuran. Lereng landai (8-15 %) sekitar 16.8 % luas wilayah
pada dataran berombak di kaki perbukitan yang dimanfaatkan untuk lahan budidaya
(tanaman pangan di Kecamatan Bumiaji dan Batu), dan sayuran dan/atau buah-
buahan di Kecamatan Bumiaji. Lereng agak curam (15-25 %) sekitar 15.45 % luas
wilayah pada dataran berombak-bergelombang di kaki perbukitan yang budidaya
tanaman pangan dan kebun campuran (Kecamatan Junrejo dan Batu) dan kebun
apel dan/atau sayuran di Kecamatan Bumiaji. Lereng curam (25-40) sekitar 15.47 %
luas wilayah pada kawasan kaki perbukitan atau tebing lembah yang ada di DAS
Sumber Brantas. Penggunaan lahan berupa kebun campuran, tanaman pangan
atau sayuran. Lereng sangat curam sampai terjal (>40 %) sekitar 33.10 % dijumpai di
kawasan perbukitan pegunungan dan tebing sungai. Lahan ini umumnya berupa
hutan, semak belukar atau bambu (di pinggir sungai di kawasan budidaya).

6.2.1.7. Kondisi Jenis Tanah


Tanah yang terbentuk cukup bervariasi dari tanah-tanah muda sampai tanah yang
cukup tua. Tanah muda (Entisol) dijumpai pada di jalur pelembahan atau lereng
pegunungan yang memiliki solum tanah sangat dangkal. Andisol dijumpai di lereng
atas dan tengah pegunungan yang ada di sekeliling DAS Sumber Brantas. Inseptisol
dijumpai pada hampir seluruh lahan dataran dan beberapa lokasi di lereng
pegunungan. Molisol umumnya merupakan tanah-tanah Inceptisol yang memiliki
warna hitam di permukaan, sehingga umumnya dijumpai pada dataran
bergelombang di kawasan hutan. Alfisol umumnya dijumpai pada dataran di kaki-kaki
perbukitan di Sekitar Kota Batu. Sebaran jenis tanah disajikan pada Gambar 2.12.

6.2.1.8. Penciri (atribut) Hidrologi


Sesuai dengan bahan induk pembentuk Lansekap dan penyusun tanahnya, maka
karakteristik hidrologi DAS Sumber Brantas dapat dibedakan atas tiga kelompok
(Gambar 2.13). Ketiga kelompok karakteristik hidrologi tersebut dijelaskan sebagai
berikut.

a. Bagian timur laut (Lereng Gunung Arjuna)


Aliran sungai radian berasal dari puncak kerucut Gunung Arjuna. Punggung bukikt
dan lembah sungai memanjang dari puncak sampai bagian kaki perbukitan, dengan
pola drainase dendritik agak parallel. Pola drainase dikontrol oleh proses volkanisme
yang berupa stratovolcano, sehingga membentuk sungai memaknjang dari puncak
kerucut gunungapi sampai bagian dataran. Batuan singkapan pada bagian atas
menyebabkan limpasan permukaan cukup tinggi di wilayah ini, untungnya mulai
lereng tengah ke bawah tumpukan material tufa volkanik cukup tebal sehingga
resapan air cukup tinggi. Pada kenyataannya, tidak banyak mata air yang muncul
pada lereng pegunungan ini.
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) 78
78
JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

Gambar 2.11. Peta kelerengan DAS Sumber Brantas

PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) 79


JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

Gambar 2.12. Peta jenis tanah DAS Sumber Brantas

b. Bagian barat (Lereng Gunung Anjasmara),

Batuan yang berasal dari leleran lava menyebabkan terdapatnya batuan


impermeable di bagian bawah lapisan tufa volkanik di sebagian besar lereng
ini. Relief lebih kasar karena sifat bahan induk dan proses perusakan krucut
volkanik oleh gempa volkanik di masa yang lampau. Pola drainase dendritik dengan
panjang sungai tidak terlalu panjang pada lembah dalam dan curam. Pada
kenyataannya, banyak dijumpai mata air dari kawasan ini.

c. Bagian selatan (Lereng Gunung Panderman dan Kawi)

Pola drainase dendritik berasal dari kaki Gunung Kawi-Butak dan Panderman. Tanah
solumdangkaldenganbatuankokoh dibagianbawahmenyebabkansebagianbesar
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) 80
80
JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

air hujan akan mengalami mengalir di permukaan. Tanah dalam umumnya yang
dipengaruhi oleh bahan dari Gunung Kawi-Butak. Mata air yang muncul di wilayah ini
lebih banyak dipengaruhi oleh Gunung Kawi dan Butak.

Gambar 2.13. Peta pembagian subcatchment di DAS Sumber Brantas


Sementara itu, atribut-atribut hidrologi DAS Sumber Brantas yang dihasilkan dari
peta DEM ditunjukkan pada gambar 2.14. Terdapat 15 subdas dengan daftar dan
luasan seperti yang disajikan pada Tabel 2.4.

PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) 81


81
JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

Table 2.4. Areas of the subcatchments in Upper Brantas Watersheed


Area
Subcatctment
Ha %
ID
1 876.788 5.06
2 1850.898 10.67
3 1520.337 8.77
4 129.836 0.75
5 1076.827 6.21
6 740.345 4.27
7 1327.340 7.65
8 2162.346 12.47
9 793.625 4.58
10 962.241 5.55
11 1090.600 6.29
12 440.990 2.54
13 1895.813 10.93
14 1151.678 6.64
15 1324.116 7.63
Total 17343.780 100

Routing distance dari setiap subDAS ke outlet DAS di ujung Sungai Brantas di
Pendem disajikan pada Tabel 2.5.

Table 2.5. Routing distance dari centroid subcatchment ke outlet Sungai Brantas di
Pendem

Subcatctment ID RoutDist-Pendem (km)


1 21.319
2 24.090
3 19.269
4 2.149
5 16.176
6 15.117
7 16.179
8 11.184
9 17.770
10 4.529
11 6.418
12 4.974
13 10.462
14 11.081
15 15.202

PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) 82


82
JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

Gambar 2.14. Peta pembagian subcatchment di DAS Sumber Brantas

6.2.2. Klasifikasi Penutupan Lahan Di Das Sumber Brantas


Hasil dari proses klasifikasi penutupan lahan dengan metode hierarki adalah peta
penutupan lahan di DAS Sumber Brantas, Jawa Timur. Luas setiap penggunaan
lahan di DAS Sumber Brantas pada tahun 1989 dan 2002 disajikan pada Tabel 2.6.

PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) 83


83
JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

Sedangkan penyebaran setiap penggunaan lahan pada tahun 1989 dan 2002
berturut-turut disajikan pada Gambar 2.16 dan 2.17.

Tabel 2.6. Luas penggunaan lahan di DAS Sumber Brantas.


1989 2002
No Landuse
Ha % Ha %
1 Ricefield 714.15 4.11 672.39 3.87
2 Dryland 1,655.55 9.52 2,297.97 13.22
3 Garden 4,023.60 23.14 2,928.42 16.84
4 Natural Forest 5,357.16 30.82 4,034.52 23.21
5 Production Forest 1,222.47 7.03 1,655.64 9.52
6 Shurb 2,332.26 13.42 3,742.38 21.53
7 Bareland 31.85 0.18 25.83 0.15
8 Settlement 240.57 1.38 1,346.67 7.75
9 No Data (Cloud and Shadow 1.806.90. 10.39 680.69 3.91
Total 17,384.51 100.00 17,384.51 100

Selama 13 tahun terdapat beberapa perubahan penggunaan lahan. Beberapa


macam penggunaan lahan mengalami penurunan yang cukup nyata, yaitu kebun
dan hutan alami. Sedangkan beberapa penggunaan lahan mengalami peningkatan
luasan, antara lain: tegalan, hutan produksi, semak belukar dan pemukiman. Secara
spasial perubahan ini cukup rumit dari satu bentuk penggunaan ke bentuk
penggunaan yang lain. Perubahan penggunaan lahan pada tahun 1989 dan 2002
disajikan pada Gambar 2.15.

2,000. 00

1,500. 00

1,000. 00

500. 00

-
Ricefield

Production
Dryland

Garden

Shurb

Bareland
Natural Forest

NoData (cloud
Setllement

andshadow)
Forest

(500. 00)

(1,000. 00)

(1,500. 00)

Gambar 2.15. Perubahan penggunaan lahan antara tahun 1989 ke tahun 2002.

PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) 84


84
JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

Tersedianya citra yang diambil pada waktu yang berbeda, dimana citra tahun 1989
direkam pada bulan Februari (musim basah), sedangkan citra tahun 2002 direkam
pada bulan Agustus. Terlepas dari adanya alihguna lahan yang memang
banyak terjadi di kaawasan ini, kondisi ini juga berdampak pada luasnya lahan
bervegetasi (daun penuh) pada tahun 1989 dan daun gugur pada tahun 2002.
Berkurangnya luas kebun (apel dan jeruk) tampaknya karena pengaruh hal ini,
karena pada bulan- agustus banyak apel yang sudah selesai masa panen dan
mengalami perompesan sehingga terkesan tidak bervegetasi.
Gambar 2.18 menunjukkan bahwa landuse utama di DAS Sumber Brantas adalah
lahan sawah (3.87%), tanaman pertanian (agricultural land =13.22% dan kebun =
16.84 %) serta hutan (hutan alami = 9.37 % , hutan terganggu= 13.84% dan
agroforestry berbasis pohon = 9.52%).
Lahan sawah umumnya dijumpai pada wilayah datar di bawah ketinggian 800 m di
Kecamatan Junrejo dan Batu. Wilayah datar yang tidak cukup mendapatkan air
hujan biasanya digunakan sebagai lahan tegalan dengan tanaman ketela atai
jagung. Wilayah datar dengan ketinggian lebih 800 m banyak digunakan untuk
budidaya sayuran dan/atau bunga.

Gambar 2.16. Penggunaan lahan pada tahun 1989 di DAS Sumber Brantas

PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) 85


85
JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

Gambar 2.17. Peta penggunaan lahan pada tahun 2002 di DAS Sumber Brantas

Sayuran seperti kobis, wortel, kacang-kacangan banyak diusahakan pada dataran


berombak-bergelombang dengan ketinggian antara 800-1000 m di Kecamatan Batu
dan Bumiaji bagain bawah. Sedangkan kentang bisanya ditanam pada lahan
berombak dan bergelombang dengan ketinggian lebih dari 1000 mm, khususnya di
Kecamatan Bumiaji.
Kebun campuran dengan aneka tanaman kayu-kayuan dan buah-buahan banyak
dijumpai pada kawasan dataran bergelombang atau perbukitan dengan lereng curam
(>25 %) di lereng Gunung Panderman di bagian selatan DAS Sumber Brantas. Pada
lereng Hunung Arjuna dan Anjasmara umumnya, kalau tidak lahan kering dengan
tanaman sayuran biasanya berupa hutan produksi.

PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) 86


86
JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

9.52 16.84
13.84
13.22

21.53 9.37

0.34 0.15
3.57 7.75
3.87
Garden Agricultural Land Natural Forest Bare Land
Setllem ent Shadow Rice Field Cloud
Shrub Disturb Forest Tree Base Agroforestry

Gambar 2.18. Penggunaan lahan di DAS Sumber Brantas tahun 2002

Di bawah tegakan tanaman muda pada hutan produksi biasanya juga ditanami
sayuran dan atau tanaman pangan sampai kanopi tanaman kayu-kayuan cukup
rapat. Penggunaan lahan monokultur dengan pemberian pupuk yang tidak seimbang
menyebabkan terjadinya degradasi kesuburan tanah. Hal ini ditandai dengan
semakin tingginya jumlah pupuk, baik pupuk yang diberikan melalui tanah maupun
yang diberikan melalui penyemprotan daun. Untungnya, bahan induk yang berupa
bahan volkanik yang memiliki kandungan hara tinggi masih memiliki cadangan hara
yang cukup tinggi. Sebagian besar kebun apel ditengarai telah mengalami degradasi
kesuburan tanah, meskipun secara fisik masih cukup baik bagi berbagai usaha tani.
Selain karena usaha tani monokultur dengan pemberian pupouk yang tidak
seimbang, degradasi tanah di wilayah ini juga disebabkan oleh erosi dan longsor
karena penggunaan lahan yang tidak sesuai dengandaya dukungnya. Erosi dan
longsor cukup tinggi di wilayah ini, khususunya di Kecamatan Bumiaji yang memiliki
lahan dengan kemiringan cukup curam dan digunakan untuk budidaya tanaman
kentang. Kentang yang tidak menghendaki genangan, menyebabkan air hujan
sebagian besar melimpas di permukakan sehingga menyebabkan terjadinya
erosi dan longsor teras.

PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) 87


87
JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

7. MEMAHAMI FUNGSI HUTAN TERHADAP


HIDROLOGI DAS

7.1. Pendahuluan
Penghutan kembali atau reboisasi telah banyak dilakukan oleh multipihak untuk
menyukseskan program pemerintah. Namun upaya reboisasi yang telah
menghabiskan biaya dan tenaga cukup banyak tersebut, belum menunjukkan hasil
yang optimal. Salah satu penyebab kegagalannya adalah karena bentuk reboisasi
yang dipilih masih belum belum dapat memenuhi kebutuhan masyara at. Guna
mencapai keberhasilan konservasi lahan di suatu kawasan DAS, diperlukan
pemahaman yang mendalam tentang kriteria dan indikator yang terlibat di dalam
proses proses-proses hidrologi.
Terganggunya fungsi hidrologi DAS seringkali dikaitkan dengan adanya kesalahan
dalam pengelolaan lahan. Pengelolaan lahan yang kurang tepat di bagian hulu
akibatnya akan dirasakan di bagian hilir (Agus et al., 2002), salah satu contoh adalah
semakin banyaknya lahan hutan yang digunakan sebagai lahan pertanian yag
intensif dengan kondisi lahan agak terbuka. Disisi lain keberhasilan pengelolaan DAS
ditentukan tingkat penutupan tanah oleh vegetasi hutan.
Pada prinsipnya upaya mempertahankan fungsi DAS adalah berhubungan dengan
upaya mempertahankan tingkat penutupan permukaan tanah untuk menjaga agar
jumlah dan kualitas air tersedia sepanjang waktu (Van Noordwijk et al. 2004).
Penutupan permukaan tanah oleh pohon dapat berupa hutan alami, atau sebagai
permudaan alam, agroforestri, atau pohon monokultur (misalnya hutan tanaman
industri).
Hutan berperanan penting dalam pengaturan tata air DAS melalui pengaruh tegakan
pohon dalam (a) mengubah pola aliran air hujan, dan (b) perbaikan sifat tanah,
secara skematis disajikan dalam Gambar 1 dan 2.

Gambar 1. Skema peran pohon sebagai Gambar 2. Skema peran akar pohon dalam
pengatur tata air dalam tanah (Hairiah mempertahankan porositas tanah melalui
et al., 2004) peningkatan antivitas akar dan cacing tanah
(Hairiah et al., 2004)

PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) 88


88
JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

Hutan dapat mempertahankan fungsi DAS melalui perannya dalam beberapa hal
antara lain adalah:
1. Zona di atas tanah. Peran pohon pada zona di bagian atas tanah dibagi menjadi
2 yaitu:
a. Tutup hijau. Fungsi ini diberikan oleh tajuk pohon dan tumbuhan bawah yang
mengintersepsi (menahan) air hujan yang jatuh ke permukaan tanah
(Gambar 6). Intersepsi air hujan ini penting untuk:
Mengurangi daya pukul air hujan terhadap permukaan tanah.
Menambah jumlah air hujan yang masuk kedalam tanah secara
perlahan-lahan.
Mempertahankan iklim mikro. Lapisan air tipis (waterfilm) yang
tertinggal pada permukaan daun dan batang selanjutnya akan
menguap (evaporasi). Hal ini penting untuk mempertahankan
kelembaban udara.
b. Tutup coklat. Fungsi ini diberikan oleh lapisan seresah yang tebal di
permukaan tanah. Seresah adalah bagian mati tanaman berupa daun,
cabang, ranting, bunga dan buah yang gugur dan tinggal di permukaan
tanah baik yang masih utuh ataupun telah sebagian mengalami pelapukan.
Termasuk pula hasil pangkasan tanaman atau dari sisa-sisa penyiangan
gulma yang biasanya dikembalikan ke dalam lahan pertanian
oleh pemiliknya.

Seresah bermanfaat dalam:


Mempertahankan kegemburan tanah melalui: perlindungan permukaan tanah
dari pukulan langsung tetesan air hujan, sehingga agregat tidak rusak dan
pori makro tetap terjaga.
Menyediakan makanan bagi organisma tanah terutama makroorganisma
penggali tanah, misalnya cacing tanah. Dengan demikian jumlah pori makro
tetap terjaga.
Menyaring partikel tanah yang terangkut oleh limpasan permukaan. Dengan
demikian, air yang mengalir ke sungai tetap jernih.

c. Serapan air oleh pohon. Untuk hidupnya pohon menyerap air dari dalam
tanah, sehingga meningkatkan jumlah ruang pori dalam tanah yang
memungkinkan air hujan untuk masuk ke dalam tanah. Bila resapan air
cukup cepat, maka tingkat limpasan permukaan akan berkurang.

2. Zona di dalam tanah


Pori makro tanah. Akar pohon yang berkembang dalam profil tanah sangat
bermanfaat dalam mempertahankan jumlah pori makro tanah, karena akar
pohon yang mati meninggalkan liang sehingga jumlah pori makro tanah
bertambah (Gambar 7).
Resapan air. Tunggul pohon dan akar pohon yang mati menimbulkan lubang
atau cekungan dalam tanah, yang dapat berfungsi mengurangi kecepatan
limpasan permukaan sehingga memberi kesempatan kepada air untuk
meresap ke dalam tanah.

PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) 89


89
JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

3. Bentang lahan
Bentang lahan yang kasar, permukaan tanah yang tidak seragam, termasuk
adanya cekungan dan rawa, memberi peluang aliran air untuk untuk berhenti
lebih lama dan mengalami infiltrasi. Kondisi kekasaran permukaan pada
bentang lahan tersebut juga berfungsi sebagai filter sedimen.
Adanya pengelolaan drainase di daerah hulu juga akan mempengaruhi fungsi
hidrologi DAS. Pengelolaan lahan setelah konversi hutan di daerah hulu
biasanya ditujukan untuk perbaikan drainase guna melindungi tanaman dari
bahaya penggenangan dan/atau aliran permukaan. Adanya daerah rawa
pada suatu lansekap mempunyai peranan penting dalam mengurangi
terjadinya banjir di daerah hilir. Namun sebaliknya, jika ada usaha
mengurangi frekuensi terjadinya banjir di daerah hulu dengan mempercepat
aliran ke hilir, justru akan meningkatkan resiko banjir di daerah hilir.
Jalan setapak yang terbentuk oleh aktivitas manusia, hewan atau roda
kendaraan. Pada hutan alami, perlintasan hewan biasanya meninggalkan
jalan setapak yang merupakan pemicu pertama terbentuknya jalur aliran
permukaan walaupun tingkatannya masih belum terlalu membahayakan.
Jalan setapak yang terbentuk oleh roda pedati atau kendaraan berat selama
penebangan pohon di hutan cenderung meningkatkan intensitas aliran
permukaan dan penghanyutan sedimen ke sungai.
Ketiga aspek hutan tersebut memberikan dampak yang berbeda terhadap total debit
sungai tahunan, debit sungai dimusim kemarau, debit banjir sesaat dan kualitas air.
Setiap tipe hutan berbeda kondisi vegatasi, tanah dan bentang lahannya. Cara alih
guna lahan hutan dan pemulihannya melalui kegiatan reforestasi juga akan
mempengaruhi cara dan kercepatan perubahan kondisi vegetasi, tanah dan bentang
lahan dalam menjaga fungsi DAS. Pemahaman tentang peran hutan dalam fungsi
DAS perlu dispesifikasi sebelum kita menilai dampak alih guna lahan hutan
terhadap fungsi DAS. Tipe hutan dan tipe penggunaan lahan lainnya yang dialih-
gunakan akan menentukan apakah peranan hutan dalam fungsi DAS adalah
negatif, netral atau bahkan positif terhadap hidrologi DAS. Atas dasar definisi yang
meluas tentang hutan seperti diuraikan diatas, deforestasi dapat dipandang
sebagai kehilangan fungsi hutan.
Jadi, dampak umum dari konversi hutan dan atau perubahan penutupan lahan oleh
pohon pada suatu bentang lahan dapat dipahami dari kombinasi dan interaksi
berbagai proses tersebut di atas. Dengan demikian upaya mempertahankan fungsi
DAS dapat difokuskan pada pengurangan aliran air BUKAN pada jenis pohon yang
ditanam.

PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) 90


90
JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

8. GEOHIDROLOGI DALAM DAS

8.1. Pendahuluan
Mataair adalah aliran air tanah (water table) yang terpotong oleh topografi sehingga
air memancar ke permukaan bumi. Untuk memahami asal-usul mataair diperlukan
pengetahuan dasar tentang air tanah, proses pembentukannya dan alirannya. Oleh
karena itu dalam bab ini akan dibahas lebih dahulu hal-hal yang terkait dengan air
tanah dan mataair.

8.2. Air Tanah


Air tanah adalah air yang menempati rongga rongga dalam lapisan batuan. Ilmu
pengetahuan yang mempelajari mengenai terjadinya penyebaran dan gerakan air di
bawah tanah disebut Hidrologi Air Tanah. Geohidrologi hampir mempunyai
pengertian yang sama dengan hidrologi air tanah, sedangkan hidrogeologi lebih
banyak ditekankan pada geologinya. Hidrologi air tanah merupakan pengetahuan
khusus yang merangkum unsur-unsur geologi, hidrologi dan mekanika fluida.
Geologi mempengaruhi penyebaran air tanah, hidrologi menentukan pemberian dan
pengisian air ke dalam tanah, sedangkan mekanika fluida menjelaskan
mengenai gerakannya.(Bisri, hal:10)

8.2.1.Sejarah Air Tanah.


Air tanah merupakan salah satu sumber akan kebutuhan air bagi kehidupan makhluk
di muka bumi. Usaha memanfaatkan dan mengembangkan air tanah dilakukan sejak
jaman kuno. Dimulai dengan menggunakan peralatan yang sangat sederhana
sekali, yaitu timba sebagai alat pengambil air yang diikat dengan tali pada ujung
sebatang bambu atau kayu memanjang, dan pada pangkal bambu atau kayu
tersebut diberi alat pemberat, sehingga pengambilan air dilakukan dengan sistem
pegas. Kemudian berkembang, dengan menggali dan membuat sumur-sumur
dangkal dengan memakai cara-cara yang sederhana pula. Baru pada tahun-tahun
terakhir ini pemanfaatan dan pengambilan air tanah dilakukan dengan menggunakan
teknik dan cara yang cukup canggih. Salah satunya ialah dengan cara mengebor
sumur-sumur dalam yang mempunyai kedalaman antara 50 200 meter atau lebih
dalam, serta memasang pompa-pompa turbin untuk memompa air tanah tersebut.
Bangsa Persia telah memanfaatkan dan mengembangkan air tanah sejak 800 tahun
sebelum masehi. Mereka membuat terowongan air pada tanah alluvium di dekat kaki
gunung dengan dilengkapi sumur induk dan beberapa lubang yang mereka namakan
KANATS seperti Gambar 2.1.

PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) 91


91
JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

kaki gunung

sumur
kanats corong
pangkal
saluran
sawah
penghasil air

tanah
muka air
batuan kedap air alluvium

Gambar 2.1 Potongan Suatu Kanats

Kanats ini hingga sekarang banyak dibuat terutama oleh bangsa-bangsa


Timur Tengah. Iran membuat kanats secara besar-besaran dengan jumlah 22.000
kanats untuk memenuhi 75 % kebutuhan air seluruh negeri. Panjang kanats antara
5 30 km. Debit yang dihasilkan adalah berpola, tidak jarang dapat
menghasilkan 100
m 3/hari.

8.2.2.Terjadinya Air Tanah


Untuk menguraikan terjadinya air tanah diperlukan peninjauan kembali bagaimana
dan dimana air tanah tersebut berada, juga penyebaran di bawah permukaan tanah
dalam arah vertikal maupun horisontal.
a. Asal Air Tanah

Hampir semua air tanah dapat dianggap sebagai bagian dari daur hidrologi,
termasuk air permukaan dan air atmosfir. Sejumlah kecil air tanah yang berasal dari
sumber lain dapat pula masuk ke dalam daur tersebut (Gambar 2.2)
b. Penyebaran Vertikal Air Tanah

Terdapatnya air tanah di bawah permukaan tanah dapat dibagi dalam daerah jenuh
dan tidak jenuh. Dalam daerah jenuh semua rongga terisi oleh air dibawah tekanan
hidrostatik. Daerah tidak jenuh terdiri atas rongga-rongga yang berisi sebagian oleh
air, sebagian oleh udara.

PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) 92


92
JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

Awan
Awan
Awan Awan

hujan hujan
hujan hujan
Transpirasi Evaporasi
air
angin
Perkolasi

Permukaan phreatik
Evaporasi
Evaporasi (muka air tanah)
laut
aliran air tanah aliran air tanah

Gambar 2.2 Daur Hidrologi

Daerah tidak jenuh terletak di atas daerah jenuh sampai kepermukaan tanah. Daerah
jenuh sebelah atasnya dibatasi oleh batas lapisan jenuh atau lapisan kedap air,
bawahnya merupakan lapisan kedap air, berupa tanah liat atau batuan dasar
(bedrock). (Bisri, hal: 4)
Air yang berada didalam daerah jenuh dinamakan air tanah. Air yang berada di
dalam daerah tidak jenuh dinamakan air mengambang atau air dangkal (vadus
water). Daerah tidak jenuh dibagi menjadi daerah dangkal, daerah antara dan daerah
kapiler (Gambar 2.3)
Daerah Air Dangkal

Tanah di daerah air dangkal ini berada di dalam keadaan tidak jenuh, kecuali
kadang-kadang bila terdapat banyak air dipermukaan tanah seperti yang berasal dari
curah hujan dan irigasi. Daerah tersebut dimulai dari permukaan tanah sampai ke
daerah akar utama (major root zone). Tebalnya beragam menurut jenis tanaman dan
jenis tanah. Daerah air dangkal mempunyai arti penting bagi pertanian.
Daerah Antara

Daerah antara ini berada diantara batas bawah dan daerah air dangkal sampai batas
atas dari daerah kapiler. Ketebalannya sangat beragam, yaitu antara 0 yang terjadi
bila muka air tanah mendekati permukaan tanah, sampai beberapa ratus meter pada
keadaan muka air tanah yang dalam. Daerah ini berguna memungkinkan
mengalirnya air ke bawah, dari daerah dekat permukaan tanah sampai permukaan
air tanah. Air yang tidak bergerak (air pellicular) ditahan dalam daerah ini oleh gaya-
gaya higroskopis dan kapiler. Kelebihan airnya merupakan air gravitasi
yang mengalir ke bawah karena pengaruh gravitasi.

PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) 93


93
JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

Daerah Air
Air dangkal
dangkal

Daerah Tidak
Jenuh
Air Daerah antara
Gravitasi

Air Kapiler Daerah Kapiler

Muka Air tanah

Daerah Jenuh
Air tanah

Gambar 2.3. Penyebaran Vertikal Air Tanah

Daerah Kapiler

Daerah kapiler berada antara permukaan air tanah sampai batas kenaikan kapiler
dari air.

8.2.3. Sifat Batuan Yang Mempengaruhi Air Tanah


Untuk mengetahui keadaan dan kedudukan air tanah harus diketahui karakter
geologinya, untuk diidentifikasi susunannya dalam hubungan dengan kemampuan
menahan, menampung, mengalirnya air serta besar kapasitasnya.
Suatu lapisan yang mempunyai susunan sedemikian, sehingga dapat melepaskan
air dalam jumlah yang cukup dinamakan akuifer.
Air tanah berada dalam formasi geologi yang tembus air yang dinamakan akuifer,
yaitu formasiformasi yang mempunyai struktur di mana dimungkinkan adanya
gerakan air melaluinya dalam keadaan kondisi medan biasa. Sebaliknya formasi
yang sama sekali tidak tembus air adalah formasi tersebut banyak mengandung air
tetapi tidak dimungkinkan adanya gerakan air yang melaluinya seperti pada
batulempung.
Menurut Thomas, susunan geologi yang dapat berlaku sebagai akuifer adalah :
- kerikil dan pasir
- batugamping
- batuan gunung berapi
- batu pasir
- tanah lempung khusus yang bercampur dengan bahan yang lebih kasar

PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) 94


94
JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

- konglomerat
- batuan kristalin (Bisri hal: 5)
Porositas dalam endapan ini tergantung pada bentuk dan susunan masing-masing
butir dan tingkat sementasi serta pemadatannya. Besarnya porositas berada antara
mendekati 0% sampai lebih dari 15% tergantung dari faktor-faktor tersebut diatas
dan tipe material.
TABEL 2.1 POROSITAS BEBERAPA BAHAN SEDIMEN

VAN POROSITAS ( % )
TANAH 50 - 60

Tanah Liat 45 - 55

Lanau ( Silt ) 40 - 50

Pasir medium sampai kasar 35 - 40

Pasir berbutir sampai sama ( Uniform ) 30 - 40


Pasir halus sampai medium 30 - 35
Kerikil 30 - 40
Kerikil berpasir 20 - 35
Batu pasir 10 - 20
SHALE 1 - 10
BATU KAPUR 1 - 10

8.2.4. Kriteria Air Tanah


Air tanah yang bersangkutan dengan pengembangan air, diklasifikasi dalam 5
(lima) jenis sesuai dengan keadaan kondisi air tanah yakni, air tanah dalam dataran
alluvial, air tanah dalam kipas detrital, air tanah dalam terras dilluvial, air tanah di
kaki gunung api dan air tanah dalam zone batuan retak.
1. Air Tanah Dataran Alluvial

Volume air tanah dalam dataran alluvial ditentukan oleh tebal, penyebaran dan
permeabilitas dari akuifer yang terbentuk. Air susupan, air tanah yang dalam dan air
tanah sepanjang pantai mempunyai sifat-sifat sebagai berikut :
a. Air Susupan ( influent water )

Air tanah dalam lapisan yang mengendap di dataran banjir ditambah langsung dari
peresapan air sungai, disebut air susupan. Titik permulaan peresapan air sungai
dapat diperkirakan dari garis kontur permukaan air tanah. Permukaan air tanah ini
dangkal, sehingga pengambilan air dapat diadakan dengan sumur dangkal atau
drainase pengumpul. Arah aliran air berubah dan air tanah itu keluar ke sungai
sehingga memerlukan penyelidikan yang cukup untuk menentukan cara
pengambilan air. Untuk meningkatkan effisiensi pengambilan air, maka arah letak
drainasepengumpulharustegakluruspadagariskonturpermukaanair.
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) 95
95
JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

b. Air Tanah Di Lapisan Yang Dalam

Alluvium dan dillivium yang diendapkan setebal tujuh puluh sampai beberapa ratus
meter di dataran alluvium terdiri selang-seling dari lapisan pasir dan kerikil, lapisan
loam dan lapisan lempung. Air tanah dilapisan yang dalam selalu tertekan dan
seringkali permukaan air yang tertekan itu terdapat di dekat permukaan tanah.
-2 -3
1. Permeabilitas dari akuifer adalah kira-kira 10 sampai 10 cm/det
dan mengingat permukaan air hidrolik itu dalam, maka pengambilan air
dilakukan dengan sumur dalam (sumur pompa).
2. Untuk pipa-pipa 300 mm, dalam 100 meter, kapasitas pompa
3
adalah kira-kira 1.000 sampai 3.000 m /hari.
3. Penurunan permukaan tanah dapat terjadi oleh konsolidasi lapisan
lempung yang disebabkan oleh penurunan permukaan air tanah.
4. Jika pemompaan diadakan pada lapisan yang dalam, maka penurunan
permukaan air tertekan itu besar dan jari-jari lingkaran pengaruh dapat
mencapai beberapa kilometer.

c. Air Tanah Sepanjang Pantai

Mengingat sumur di tepi pantai itu tidak dapat dipergunakan kembali setelah
dimasuki air asin, maka harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut :
S : Permukaan air laut

f : Permukaan air tanah

W : Sumur

B : Batas antara air asin dan air tawar

f
S h
H = 42h

Gambar 2.4. Air Tanah Sepanjang Pantai

PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) 96


96
JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

Untuk Air Tanah Bebas

W1 W2 W3
f
S

Gambar 2.5 Air Tanah Bebas

Percampuran air asin dan air tawar dalam sebuah sumur dapat terjadi pada :
Dasar sumur terletak dibawah perbatasan antara air asin dan air tawar.
Permukaan air dalam sumur selama pemompaan menjadi lebih rendah dari
permukaan air laut, sehingga daerah pengaruhnya mencapai tepi pantai.
Keseimbangan perbatasan antara air asin dan air tawar tidak dapat
dipertahankan, perbatasan itu dapat naik secara abnormal yang disebabkan
oleh penurunan permukaan air di dalam sumur selama pemompaan.
Untuk Air Tanah Terkekang

E F

G C
S
SS
M
Ba

Gambar 2.6. Air Tanah Terkekang

Perbatasan antara air asin dan air tawar dalam akuifer terkekang ditentukan oleh
dalamnya akuifer, permeabilitas, besar tekanan dan lain-lain. Jadi kadang-kadang
meskipun sumur itu dalam dan di tepi pantai, tidak akan terdapat percampuran air
asin. Kadang-kadang percampuran itu terjadi meskipun sumur itu dangkal dan
cukup jauh dari pantai.

PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) 97


97
JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

Alluvium Di Atas Lembah Yang Tenggelam


Jika lapisan pasir dan kerikil dengan permeabilitas yang tinggi diendapkan di atas
dasar lembah yang tenggelam yang mempunyai daerah pengaliran yang kecil

dibandingkan dengan luasnya lembah itu, maka sering juga air asin dapat menyusup
agak jauh kedalam daratan melalui lapisan pasir dan kerikil ini.

2. Air Tanah Di Dalam Kipas Detrital

C F

f
C1

Gambar 2.7 Air Tanah dalam Kipas Detrital

Gambar 2.7 memperlihatkan endapan kipas detrital itu dibagi atas endapan diatas
kipas, endapan dibagian ujung kipas. Kesemuanya mempunyai karakteristik
sebagai berikut :
Endapan dibagi atas kipas terdiri dari lapisan pasir dan kerikil yang tidak
terpilih. Zone penambahan dimana air tanah itu sulit di tampung,
terbentuk pada bagian hulu endapan ini. Permeabilitas endapan
pada bagian atas kipas adalah kira-kira 10 -1 sampai 10 -2 cm/det.
Endapan di bagian kipas terutama terdiri dari lapisan pasir dan
permeabilitasnya adalah kira-kira 10-2 sampai 10-3 cm/det, permukaan
air tanah bebas umumnya dalam.
Endapan loam pada ujung bawah kipas umumnya berbentuk lensa.
Akuifer yang terdapat di bawah endapan ini adalah air tanah yang
terkekang.
Makin dekat ke ujung dasar kipas, permukaan air tanah itu makin
dangkal dan sering kali air akan keluar di ujung bawah kipas. Tetapi pada
bagian ini dapat terbentuk juga zone air tanah terkekang yang dangkal,
mengingat bagian ini tertutup dengan lapisan lempung.

PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) 98


98
JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

3. Air Tanah dalam Terras Diluvial

V
f Sp
D1
Ba
A1

Gambar 2.8 Air Tanah dalam Teras Diluvial

Air tanah dalam terras diluvial yang tertutup dengan endapan terras yang agak tebal
ditentukan oleh keadaan bahan dasar dan daerah pengaliran dari terras. Kondisi-
kondisinya adalah sebagai berikut :
Pada lembah bagian dari batuan dasar terdapat akuifer yang tebal dan
mata air akan keluar pada bagian dimana batuan dasar itu letaknya
dangkal.
Jika terras itu bersambung dengan kaki gunung api dan lapisan
endapannya juga bersambung dengan lapisan kasar gunung itu, maka
pengisisan air tanah akan menjadi besar meskipun daerah aliran terras itu
kecil.

4. Air Tanah di Kaki Gunung Api

Mengingat kaki dari gunung api itu mempunyai topografi dan geografi yang aneh,
maka air tananya mempunyai karakteristik sebagai berikut :
Kaki gunung api itu mempunyai latar belakang yang tinggi, sehingga bagian ini
mempunyai curah hujan yang lebih banyak daripada daerah sekelilingnya.
Pengisian air tanah tentu lebih banyak.
Fragmen-fragmen batuan gunung api mempunyai ruang-ruang yang banyak dan
dapat dengan mudah menyalurkan air tanah. Pada bagian ujung terras akan
berbentuk akuifer yang besar dengan mata air yang banyak.
Mengingat pada bagian dasar aliran lava itu terdapat banyak retakan dan ruang-
ruang, maka air tanah dengan mudah dapat melalui dasar sepanjang lembah itu .
Begitu juga dengan air tanah yang memiliki sifat seperti air celah.

PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) 99


99
JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

5. Air Tanah di Zone Retakan

Mengingat lapisan-lapisan zaman Tersier mempunyai kepadatan yang besar,


porositas efektif antara butir tanah adalah kecil. Koefisien permeabilitasnya adalah
-4 -6
kira-kira 10 sampai 10 cm/dt dan tidak terbentuk akuifer. Akan tetapi jika terdapat
zona sesar yang memotong lapisan-lapisan ini, maka didalamnya terdapat air celah.
Sesar
turun atau geser dengan lapisan teratas yang turun mempunyai banyak ruang-ruang
(rongga-rongga) dan dapat dengan mudah mengandung air celah. Selanjutnya
mengingat air tanah yang terkumpul pada zone sesar bisa sedemikian besar
melampaui topografi maka akan menjadi mataair struktural. Kondisi airtanah seperti
ini dapat diambil berlimpah-limpah air tanah yang kwalitasnya baik secara
terus menerus, jika pengambilannya dilakukan dengan pemboran pada titik yang
tepat dan cukup dalam. Jika dibiarkan bebas hanya menggunakan debit alamiah
dari mataair struktural saja.

A = Permukaan Lapisan
Homogin
Fa = Sesar Turun
Fa f
A

Gambar 2.9 Zona Air Tanah dalam Sesar Turun

Sh = Shale
Fa = Sesar Geser-Turun
f = Permukaan Air Tanah
Bebas Fa
f

Ba

Sh

Gambar 2.10 Kenaikan Permukaan Air Tanah oleh Sesar geser

PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) 100


100
JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
100
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

Sebaiknya sesar geser dimana lapisan bawahnya yang turun,


kebanyakan mempunyai ruang-ruang yang sedikit yang disebabkan oleh
pembentukan sesar tanah liat. Air tanah itu terbendung oleh dasar, sehingga
permukaan air tanah yang naik. Pengambilan air tanah dapat diusahakan dengan
penggalian sumur horisontal

2.1.5. Formasi Volkanik Sebagai Akuifer

Untuk pekerjaan pengembangan air tanah di daerah volkanik yang juga mempunyai
banyak potensi untuk terdapatnya air tanah, maka harus dikenali lebih dahulu batuan
apa yang berfungsi sebagai akifer. Dengan mengetahui jenis batuan apa yang bisa
menjadi akifer maka pencarian lokasi terdapatnya air tanah akan lebih efektif,
adapun jenis Formasi batuan volkanik yang dapat menjadi akifer yaitu :
1. Batupasir yang tidak tersemen tuf, batuan ini berpotensi sebagai akifer
yang baik karena terdiri atas butir-butir pasir yang kecil dengan porositas /
ruang antar butir yang besar. Selain itu karena adanya permeabilitas
pada batupasir yang pada umumnya lebih besar dibandingkan dengan
sedimen yang lain sehingga fluida mudah sekali melewati rongga antar
butir batuan ini. Batupasir ini umumnya terjadi di kaki gunung dengan
fasies Fluviovolkanik, jadi materialnya berasal dari material gunungapi
terdekat dan jenis batuannya adalah batuan sedimen yang diendapkan
sistem sungai. Pada kondisi akifer terkekang karena adanya lapisan
penutup diatas akifer maka tekanan air menjadi tinggi dan jika dibor akan
menjadi sumur artesis. Contoh yang bagus di mataair Umbulan
Kabupaten Pasuruan dimana akifer adalah batupasir sedangkan lapisan
penutup adalah lava basal yang kedap air, debit mataair > 5000 liter/
detik. Untuk daerah Pasrepan di sebelah Baratlautnya juga
dijumpai banyak sumur bor artesis dengan debit diatas 40 liter/detik,
bedanya lapisan penutup disambung oleh batuan tuf yang tersemen
kedap air, jadi begitu pemboran menembus tuf maka air tanah langsung
memancar ke permukaan tanpa pompa.
2. Breksi Lahar adalah batuan volkanik yang merupakan campuran pasir,
lumpur dan kerakal-bongkah batuan beku sebagai fragmen terasing di
dalamnya. Jika breksi lahar sudah diendapkan maka efek pemampatan
material akan menyebabkan tercucinya material lumpur keluar dari
batuan, akibatnya ada ruang antar butir pasir yang bisa diisi oleh air
tanah. Kondisi breksi yang seperti itu akan membuat breksi berpotensi
menjadi akifer yang baik meskipun batuan bervariasi dengan kerakal-
bongkah, contoh di Ngoro, Mojokerto, di daerah Ngoro Industrial Park
akifernya adalah jenis ini yang berasal dari Formasi Arjuno Tua
dengan kisaran debit pemompaan 20 40 liter/detik.
4. Konglomerat volkanik, adalah batuan yang terdiri atas kumpulan fragmen
batuan beku yang bentuk butirnya rounded-well rounded umumnya
tersemen lemah, sehingga menyisakan ruang antar butir yang cukup
-2 -1
besar dengan koefisien permeabilitas mencapai orde 10 sampai 10
sehingga sangat mudah dilalui air tanah dan batuan konglomerat
volkanik dapat berfungsi sebagai akifer yang bagus. Sebagai contoh di
Selatan Mojosari, Mojokerto pemboran dari PT.Multi Bintang yang

PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) 102


102
JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
102
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

debitnya > 25 liter/detik berasal dari konglomerat Formasi Pugeran yang


merupakan produk kipas aluvial yang berumur setara dengan breksi
lahar Formasi Anjasmoro Tua, pada beberapa titik bor ebit
mencapai 46 liter/detik, lapisan tersebut bersifat akifer bebas / tidak
terkekang.
5. Lava terkekarkan, batuan lava yang semula umumnya kedap air dan masif
sehingga porositas maupun permeabilitasnya kecil, tetapi jika mengalami
retakan karena pengaruh gaya tarik permukaan lava pada saat
pendinginan lava, akan mengalami retakan yang sangat intensif. Akibat
retakan ada celah-celah yang berfungsi sama dengan pori antar butir,
sehingga pada lava yang demikian dikenal sebagai permeabilitas sekunder
dan bisa menjadi akifer yang cukup baik. Sebagai contoh di Singosari,
Malang, perkebunan teh Wonosari, hasil pemborannya yang berdebit 10
20 Liter / detik berasal dari lava andesit yang terkekarkan dari Formasi
Arjuno Tua.

8.3. Klasifikasi Mata Air


Berdasarkan asal-usul terjadinya / genesanya mataair dapat dikelompokkan menjadi
3 jenis yaitu : Mataair Topografi, Mataair Struktur dan Mataair Stratigrafi. Masing-
masing mataair mempunyai karakter geologi yang khas dilokasi sekitar pemunculan
mataair dan menghasilkan besar debit yang berbeda-beda. Adapun definisi dan
gambaran visual dari ketiga mataair tersebut adalah sebagai berikut :

8.3.1. Mata Air Topografi


Mataair Topografi adalah mataair yang muncul sebagai akibat pemotongan muka air
tanah (water table) dengan permukaan tanah / topografi, hal ini menjadi sangat jelas
bila mataair berada di pinggir tebing sungai. Jumlah mataair seperti ini disepanjang
tebing sungai bisa lebih dari 3 buah tetapi tidak ada kelurusan dari mataair yang
banyak tersebut. Posisi dari mataair mengikuti lekuk tebing yang ada dengan debit
yang umumnya kecil yaitu kurang dari 20 liter / detik pada beberapa kasus
dilaporkan debit
maksimal mataair topografi bisa mencapai 25 liter/detik. Adapun visualisasi mataair
topografi dapat dilihat pada gambar. 2.11.

M a t a a ir M A T A k u ife r

Gambar 2.11. Penampang melintang mataair Topografi


PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) 103
103
JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
103
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

8.3.2. Mata Air Struktur


Mataair struktur adalah mataair yang pemunculan airnya dipermukaan bumi terkait
erat dengan adanya struktur sesar, minimal akan didapatkan 3 buah mataair yang
berdekatan yang posisinya mempunyai kelurusan satu dengan yang lain. Kelurusan
yang ada bukan semata-mata karena topografi melainkan kelurusan yang
disebabkan oleh sesar, jadi untuk memastikan jenis mataair ini maka harus
bisa dibuktikan di lapangan dengan adanya unsur-unsur sesar di sekitar lokasi
mataair. Adapun penciri unsur sesar adalah : gawir sesar, zona sesar, breksi
sesar, goras- garis dan milonit., jika tidak didapatkan adanya penciri unsur sesar
maka mataair dikategorikan sebagai mataair topografi.
Air yang muncul di mataair struktur umumnya berasal dari akifer dalam yang
terkekang atau setengah terkekang yang posisinya jauh di dalam bumi, tetapi karena
adanya sesar maka zona sesar merupakan zona retakan yang lemah dan
merupakan permeabilitas sekunder sehingga bisa dilewati air tanah dari akifer bawah
ke permukaan bumi. Debit mataair jenis ini umumnya menengah berkisar 10 40
liter/detik tetapi bisa juga hanya 1 liter/detik tergantung dari perforasi retakannya
intensif atau tidak.
Mataair struktur karena berkaitan dengan gerakan sesar, maka jika lempeng bumi
yang tersesarkan cukup besar akan menimbulkan gesekan besar yang membuat
panas. Akibat dari panas terebut akan membuat air tanah yang naik ke permukaan
bumi menjadi panas, jadi selain berasosiasi dengan kelurusan, mataair topografi bisa
berasosiasi dengan mataair panas. Perbedaan dengan mataair panas hasil
postvolkanik adalah kandungan sulfurnya tidak sekuat mataair panas post volkanik,
selain adanya penciri unsur sesar. Pada mataair panas postvolkanik
lokasi mataairnya pasti didekat gunungapi atau intrusi sedangkan mataair panas
sesar tidak harus. Pada mataair panas postvolkanik umumnya berassosiasi
dengan batuan yang teralterasi sedangkan mataair panas sesar tidak, suhu
mataair panas asal sesar bisa berkurangdalam hitungan 25-50 tahun tapi tidak
menurun pada mataair panas postvolkanik, Lihat Gambar 2.12.

8.3.3. Mataair Stratigrafi


Mataair stratigrafi adalah mataair yang muncul ke permukaan bumi oleh sebab
adanya susunan batuan yang sangat khas yaitu adanya lapisan penutup yang kedap
air di atas suatu akifer. Mataair akan muncul di ujung lapisan penutup yang kedap
dengan jumlah umumnya lebih dari 2 buah dengan debit yang cukup besar > 40
liter/detik untuk masing-masing mataair utama, bila terdapat 5 mataair jnis ini bisa
terjadi yang utama 3 buah berdebit > 40 liter/detik sedangkan yang 2 buah < 40
liter/detik . Debit yang sangat fantastis dari mataair ini lebih besar dari 5000
liter/detik yaitu pada mataair Umbulan, Pasuruan (mataair terbesar di P.Jawa),
dimana lapisan penutupnya adalah lava basalt yang tersingkap jelas di pinggir jalan
menuju Lombang kira-kira 2-3 Km di Selatan Umbulan.
Kondisi akifer untuk mataair ini adalah terkekang sehingga tekanan air cukup besar
dan cadangan airnya juga besar. Besar kecilnya cadangan air tanah akan sangat
tergantung dari :
- Luas dan panjangnya lapisan penutup.

- Tingkat kekedapan lapisan penutup

PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) 104


104
JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
104
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

- Luas daerah isian di atas.

- Permeabilitas tanah dan batuan daerah isian

- Curah hujan di daerah isian.

M a ta a i r

M a ta a i r

M a ta a i r

A k u ife r

A k u if e r

Gambar.2.12. Mataair struktur

Kondisi yang gundul/gersang di dekat mataair tipe ini samasekali tidak berpengaruh
terhadap fluktuasi debit mataair, tetapi kondisi di daerah isian yang bisa sangat jauh
akan mempengaruhi debit. Sebagai contoh : Mataair umbulan daerah isiannya
berasal dari lautan pasir G.Tengger yang sangat luas setara kota Malang,
permeabilitas pasir sangat tinggi walaupun tidak ada hutan, curah hujan > 3000
mm/tahun.
Batuan kedap air sebagai lapisan penutup sangat bervariasi tergantung lokasinya,
pada daerah volkanik batuan berupa : Lava Basalt, Lava Andesit, Tuf dan di kaki
gunung dari faies fluviovolkaniknya bisa berupa batulempung. Di daerah Pasrepan
lapisan penutupnya berupa Tuf, sedangkan di Daerah Bangsal sampai Puri,
Mojokerto lapisan penutupnya adalah batulempung. Untuk perencanaan
daerah konservasi mataair stratigrafi pasti menyangkut daerah isian yang jauh dari
lokasi mataair, perubahan tata guna lahan di daerah isian pasti akan mengubah
infiltrasi menjadi limpasan permukaan, untuk jelasnya lihat Gambar 2.13.

PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) 105


105
JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
105
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

R ec h a r g e Are a

C ap R o c k
Mat a air
Ak u if er

Gambar 2.13. Penampang melintang mataair Stratigrafi

8.4. Kondisi Mataair di Kota Batu


Jumlah matair yang sementara ini berhasil diinventarisir kurang lebih 110 buah
dengan berbagai karakter mataair berdebit besar maupun kecil. Mataair banyak
dijumpai pada tebing tebing yang terpotong oleh topografi maupun struktur geologi
berupa kekar dan sesar, seperti mata air Kali mranak, mata air Binangun, mata air
sumberbrantas dan lain lain. Penyebaran kawasan pemunculan mataair di daerah
penelitian berdasarkan pengamatan lapangan dan data sekunder berada di Ds
Tulungrejo (14 lokasi), Ds Bulukerto (4 lokasi), Ds. Bumiaji (9 lokasi), Ds.
Sumbergondo (2 lokasi), Ds. Gunungsari (4 lokasi), Ds. Pandanrejo (1 lokasi), Ds
Oro oro ombo (2 lokasi), Ds. Sidomulyo (4 lokasi), Ds. Pesanggrahan (1 lokasi), Ds.
Ngaglik (2 lokasi), Ds Punten (6 lokasi), Kelurahan Sisir (3 lokasi), Kelurahan Temas
(3 lokasi), Ds. Mojorejo (2 lokasi), Ds. Tlekung (4 lokasi). Akibat penjarahan hutan
lindung seluas kurang lebih 5900Ha, debit air turun sekitar 50%, bahkan sebagian
mati.

8.4.1. Kelompok Mataair Anjasmoro


Kelompok ini dari hasil pengamatan sementara mempunyai ciri :
- Akifer potensialnya adalah pasir dan breksi lahar dari Formasi Anjasmoro
Tua
- jarang lapisan penutup berupa tuf, lebih banya akifer bebas.
- Banyak memiliki mataair berdebit 1 25 liter/detik.
- Jenis mataair umumnya mataair topografi.

PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) 106


106
JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
106
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

8.4.2. Kelompok Mataair Kawi Panderman


Kelompok ini dari hasil pengamatan sementara mempunyai ciri :
- Akifer potensialnya adalah breksi lahar Formasi Panderman
- Tidak ada lapisan penutup sehingga jenisnya akifer bebas.
- Banyak memiliki mataair berdebit 1 - 30 liter/detik.
- Jenis mataair umumnya mataair topografi dan struktur.
- Kadang-kadang berasosiasi dengan mataair panas asal hidrotermal..

8.4.3. Kelompok Mataair Arjuno


Kelompok ini dari hasil pengamatan sementara mempunyai ciri :
- Akifer potensialnya adalah breksi lahar Formasi Arjuno Tua
- Lapisan penutupnya lava andesit yang tebal dan kedap air.
- Sifat akifer terkekang.
- Banyak memiliki mataair berdebit besar > 40 liter/detik.
- Jenis mataair umumnya mataair stratigrafi.

PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) 107


107
JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
107
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

9. PERSEPSI DAN PENGETAHUAN


STAKEHOLDERS TERHADAP FUNGSI DAS

9.1. Analisis Stakeholder: Kepentingan dan perannya


Analisa stakeholder menunjukkan bahwa perhatian terhadap fungsi DAS relatif
tinggi, namun diantara stakeholder masih belum jelas integrasi target-target
pengelolaan DAS yang digarap serta indikator kinerja yang dihasilkan dalam
memperbaiki kondisi hidrologi DAS. Setiap stakeholder merencanakan dan
melakukan tindakan pengelolaan DAS secara sektoral yang disesuaikan dengan
kepentingan dan mandat masing-masing instansi. Rencana dan tindakan
pengelolaan DAS oleh setiap instansi ini bisa berbeda tetapi tidak jarang terjadi
tumpang-tindih kegiatan maupun sasaran yang dituju. Koordinasi sudah sangat
sering diwacanakan bahkan pertemuan koordinasi antar pihak juga sudah menjadi
agenda bersama, namun istilah koordinasi masih sebatas pertemuan belum sampai
pada tindakan nyata. Sampai sejauh ini peencanaan dan tindakan pengelolaan DAS
belum didasarkan pada integrasi kesepakatan stakeholder dalam menetapkan
prioritas pengelolaan DAS.
Dalam analisis kepentingan dan peran stakeholder pengelolaan hidrologi DAS di
Kota Batu berikut ini dipisahkan antara stakeholder dari luar (tingkat Provinsi dan
Pusat) dan stakeholder dari dalam wilayah Kota Batu.

9.2. Kepentingan dan Peran Stakeholder Tingkat Pusat dan


Provinsi
Kegiatan perencanaan dan pengelolaan hidrologi DAS yang terkait dengan
stakeholder tingkat Provinsi Jawa Timur dan tingkat pusat baik langsung maupun
tidak langsung ternyata cukup banyak dilakukan di wilayah Kota Batu, walaupun
luasnya hanya sekitar 170 km2 ini. Beberapa instansi pada tingkat lebih tinggi
sangat berkepentingan dengan kawasan ini, yang merupakan bagian hulu dari
sebuah DAS yang dihuni oleh penduduk yang sangat besar jumlahnya di bagian
yang paling strategis dari Provinsi Jawa Timur.
Beberapa stakeholder di tingkat Provinsi Jawa Timur yang terkait dengan
pengelolaan hidrologi DAS Sumber Brantas adalah Badan Pengendalian Dampak
Lingkungan Daerah (Bapedalda), Dinas Kehutanan, Dinas Pekerjaan Umum
Pengairan, Dinas Kesehatan, Dinas Enerji dan Sumberdaya Mineral. Sementara itu
beberapa dinas dan instansi lain yang secara tidak langsung juga
sering berhubungan dengan isu DAS adalah Dinas Pertanian, Dinas Peternakan dan
Badan Pemberdayaan Masyarakat (Bapemas). Kelompok berikutnya adalah
instansi atau lembaga pusat yang beroperasi di daerah seperti Balai Besar
Wilayah Sungai (BBWS) Kali Brantas, Perum Jasa Tirta I (PJT), Perum Perhutani
KPH Malang, dan Balai Pengelolaan DAS Brantas (BP DAS). Pihak lain yang
berperan dalam bidang ini di Kota Batu adalah Environmental Services Program
(ESP)-USAID Jawa Timur, sebuah LSM international yang memiliki kegiatan di
tingkat nasional. Sdebenarnya masih ada pihak luar lain yang juga berperan yakni

PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) 109


109
JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
109
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

dari Perguruan Tinggi yang ada di Kota Malang seperti Universitas Brawijaya
(UB), Universitas Islam Malang (UNISMA) dan Universitas Muhamadiyah Malang
(UMM).
Berikut ini diuraikan secara ringkas dalam matriks kepentingan setiap pihak dalam
pengelolaan DAS, kemudian peran yang sudah dilakukan dalam pengelolaan DAS
Sumber Brantas serta persepsi dan pengetahuan masing-masing stakeholder
terhadap pencapaian DAS yang sehat (Tabel 4.1.).

Tabel 4.1. Kepentingan dan Peran Stakeholder Pemerintah/non-Pemerintah


Tingkat Pusat dan Provinsi dalam Pengelolaan DAS Sumber Brantas

Peran yang dilakukan dalam Persepsi dan Pengetahuan


Stakeholder Kepentingan dalam
pengelolaan DAS Sumber tentang pencapaian DAS yang
(Stakeholder) pengelolaan DAS
Brantas sehat
BAPEDALDA Jatim 1. Konservasi Sumber Air 1. Inventarisasi dan identifikasi Sungai Brantas merupakan salah
2. Perlindungan Kualitas Air sumber-sumber air dan satu bahan baku air minum bagi
sumber pencemar penduduk Jawa Timur telah
3. Pendidikan Lingkungan
2. Menetapkan pedoman tercemari oleh buangan limbah
4. Penerapan Kebijakan perhitungan daya tamping domestik dan limbah industri, untuk
PROKASIH beban pencemaran itu perlu dibentuk lembaga
3. Menetapkan persyaratan tersendiri dalam menetapkan
pembuangan air limbah ke kebijakan, perencanaan,
air atau sumber air pengendalian dan pengawasan
4. Memantau kualitas air pada bidang pembangunan lingkungan
sumber air dan badan sungai hidup
BBWS Kali Brantas Pengelolaan air sungai 1. Perencanaan konservasi Infrastruktur pengelolaan
sumberdaya air dalam DAS sumberdaya air di sepnajang sungai
2. Pembangunan ckhek Dam terganggu fungsinya karena
untuk mengurangi sedimentasi, sampah dan banjir
sedimentasi waduk
Dinas Kehutanan Koordinasi antar lembaga teknis 1. Koordinasi Forum DAS yang Pendayagunaan potensi sumberdaya
Jawa Timur untuk pengelolaan hutan yang ditetapkan berdasarkan SK alam, hutan, sarana prasarana
disesuaikan dengan kebijakan Gubernur, serta pemberdayaan masyarakat
Gubernur dalam pengelolaan 2. Koordinasi pelaksanaan untuk mendorong perekonomian
hutan Gerakan Nasional rakyat
Rehabilitasi Hutan dan Lahan
(GN-RHL),
3. Inisiasi Kebijakan Perda
untuk pengetrapan Jasa
Lingkugan
Tahura R Soerjo Konservasi biodiversitas hutan, Perlindungan hutan melalui
konservasi sumberdaya air. pembentukan dan memfungsikan
Kelompok Tani Tahura (KTT),
Paguyuban Kepala Desa dan Jaga
Wana dari masyarakat setempat
BP DAS Brantas Implementasi Pengelolaan DAS 1. Koordinasi implementasi Implementasi DAS Mikro sebagai
melalui pendekatan DAS Mikro, Gerakan Nasional kegiatan Forum DAS dapat
Mengaktifkan forum DAS, Rehabilitasi Hutan dan Lahan membantu penyehatan DAS
Monitoring dan evaluasi kinerja (GN-RHL),
DAS 2. Penyelenggaraan pertemuan
rutin forum DAS,

PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) 110


110
JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
110
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

3. Monitoring dan evaluasi


hidrologi DAS
Perum Perhutani Pengusahaan hutan melalui 1. Perencanaan, Pemeliharaan Kerjasama pengelolaan hutan
KPH Malang pendekatan Pengelolaan Hutan dan Pengawasan usaha di melalui PHBM dengan masyakat dan
Bersama Masyarakat (PHBM) sektor kehutanan baik di stakeholder yang berkepentingan
kawasan hutan lindung dalam pengelolaan hutan atas
maupun produksi, dasar Forest Resource
2. Fasilitasi Lembaga Management dan Community Based
Masyarakat Desa Hutan Forest Management dapat
dalam implementasi PHBM, mengembalikan fungsi hidrologi
3. Rehabilitasi hutan rusak hutan
Perum Jasa Tirta I Pengusahaan sumberdaya air 1. Implementasi konsep jasa Kerusakan hutan dan lahan
dengan pemanfaatan lingkungan hulu-hilir melalui berdampak terhadap tingginya
infrastruktur bangunan air di pemberdayaan desa contoh, tingkat erosi dan sedimentasi dan
sepanjang sungai Kali Brantas, 2. Monitoring kualitas dan mengancam kelestarian
namun menghadapi masalah kuantitas air, sumberdaya air. Kondisi ini dapat
bahwa sumber daya air yang 3. Rehabilitasi lahan di menurunkan fungsi infrastruktur
dikelola 85% bukan dialokasikan bantaran sungai, bangunan air yang telah di bangun
untuk kegiatan komersil. 4. Pemeliharaan bangunan air dengan investasi yang sangat tinggi.
dan sungai di K. Brantas
5. Inisiator Gerakan Nasional
Kemitraan Penyelamatan Air
(GN-KPA) dengan
memfasilitasi Penyusunan
Rencana Konservasi Tanah
Desa (RKTD) dan
implementasinya.
6. Mendukung kegiatan GN-RHL
Dinas Pekerjaan Koordinasi antar lembaga teknis Perencanaan infrastruktur Pemanfaatan sumberdaya air untuk
Umum Pengairan untuk pengelolaan sumber daya jaringan irigasi irrigasi
Jatim air yang disesuaikan dengan
kebijakan Gubernur dalam
pengelolaan SDA
Dinas Energi dan Pemanfaatan dan konservasi Kajian geo-hidrologi (geo-listrik) Pemenuhunan kebutuhan air
Sumber daya Mineral sumber daya air bawah tanah melalui cadangan air bawah tanah
Jatim
Dinas Kesehatan Peningkatan kesehatan Penanganan limbah industri dan Peningkatan kualitas air di badan
(Sanimas) Jatim masyarakat melalui sanitasi domestik di Desa Temas secara sungai dan kualitas air yang
lingkungan komunal dengan bangunan dikonsumsi masyarakat
wetland
PDAM Kota Malang Mempertahankan pasokan air Pengembangan negoisasi harga Konservasi sumber air baku
untuk kebutuhan air minum kota air baku dengan Pemkot Batu dibutuhkan untuk keberlanjutan
Malang yang secara historis penyediaan air baku warga Kota
infrastrukturnya telah dibangun Malang
sejak Jaman Belanda, namun
dengan otonomi daerah saat ini
masuk wilayah Kota batu
Environmental Penanganan kesehatan balita Pemberdayaan masyarakat Integrasi hulu hilir terhadap
Service Propram terhadap diare melalui pendidikan melalui sekolah lapangan pengelolaan sumberdaya air untuk
(ESP)- USAID kesehatan masyarakat, sanitasi pengelolaan lingkungan, fasilitasi mendukung kesehatan balita
lingkungan, penanganan sampah, LMDH untuk implementasi PHBM, terhadap diare.
penyediaan pengelolaan sampah dan sanitasi

PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) 111


111
JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
111
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

air bersih masyarakat dan masyarat, inisiasi pembentukan


perlindungan air melalui forum pengelolaan lingkungan,
pengelolaan DAS Fasilitasi komunikasi tree parties
dalam pengelolaan lingkungan
UB (Universitas Penelitian, Pendidikan dan 1. Fasilitasi Pemkot dan
Brawijaya) Pengabdian pada Masyarakat Masyarakat Kota Batu dalam
pengelolaan DAS
2. Peningkatan kualitas SDM
lewat pelatihan dan
pendampingan langsung dan
tidak langsung
3. Peningkatan kapasitas
Pemkot danLSM lokal
4. Fasilitasi pengembangan
konsep pengelolaan DAS
UNISMA (Universitas Penelitian, Pendidikan dan 1. Fasilitasi Masyarakat Kota
Islam Malang) Pengabdian pada Masyarakat Batu dalam peningkatan
pendapatan melalui berbagai
program kegiatan
masyarakat
2. Peningkatan kapasitas
masyarakat
UMM (Universitas Penelitian, Pendidikan dan 3. Fasilitasi Pemkot dan
Muhamadiyah Pengabdian pada Masyarakat Masyarakat Kota Batu dalam
Malang) pengelolaan DAS (GNKPA)
4. Fasilitasi pengembangan
konsep pengelolaan DAS

9.3. Kepentingan dan Peran Stakeholder Tingkat Kota


Identifikasi terhadap stakeholder yang berperan dalam kegiatan perencanaan dan
pengelolaan hidrologi DAS Sumber Brantas menghasilkan sederet stakeholder baik
dari lembaga pemerintah maupun non-pemerintah di Kota Batu.
Stakeholder yang terkait dengan pengelolaan DAS dari lembaga pemerintah adalah
lembaga legislatif (DPRD), Walikota Batu, Badan Perencanaan Pembangunan
Daerah (Bappeda), Dinas Pertanian dan Kehutanan, Dinas Lingkungan Hidup, Dinas
Bina Marga dan Pengairan, Dinas Kesehatan, Dinas Cipta Karya dan Pemukiman,
Kantor Pemberdayaan Masyarakat dan Kantor Koperasi dan UKM, PDAM Kota Batu,
dan MUSPIKA (Musyawarah Pimpinan Kecamatan) Batu, Bumiaji dan Junrejo.
Daftar stakeholder non-pemerintah yang berperan aktif dalam konteks pengelolaan
DAS di Kota Batu adalah Harapan Putih Sentosa, Yayasan Pengembangan
Pedesaan (YPP), Yayasan Pusaka, Paramitra Jawa Timur, Fokal Mesra, (dari
kelompok LSM), dari kelompok petani seperti Kelompok Tani Tahura (KTT),
Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH), IPPHTI, Kelompok Tani (Buah, Bunga
dan Sayur), dan Serikat Petani Gunung Biru (SPGB), serta dari kelompok pengusaha
HIPPAM, Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI).
Sebagai sebuah catatan sejarah, bahwa sebelum tahun 1990an Batu merupakan
kota kecamatan yang menjadi salah satu bagian dari Kabupaten Malang. Pada 6
Maret 1993, dibentuk dan diresmikan Kota Administrasi Batu yang meliputi wilayah
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) 110
110
JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
110
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

Kecamatan Batu, Kecamatan Bumiaji dan Kecamatan Junrejo. Barulah pada 21 Juni
2001 status Batu resmi menjadi Kota berdasarkan UU No 11 Tahun 2001. Kota Batu
menjadi daerah otonomi dipimpin seorang Walikota. Walikota Batu pertama, Imam
Kabul menjabat pada periode 2001 s/d 2007. Sebelum pilkada bulan Oktober 2007,
Walikota meninggal dunia (26 Agustus 2007), sehingga jabatan walikota Batu
dipegang oleh seorang pelaksana harian (plh), sampai terpilihnya walikota definitif.
Pilkada baru dilaksanakan 5 Nopember 2007 dan terpilih pasangan Walikota Eddy
Rumpoko dan Wakil Walikota H. Achmad Budiono, SH. MM, yang dilantik pada pada
hari Senin 23 Desember 2007, setelah memenangkan pilkada pada 5 November
2007 lalu.
Terjadi ketidak-pastian di kalangan birokrasi Kota Batu sejak meninggalnya Walikota
Imam Kabul sehingga banyak hal yang menyangkut kebijakan seolah diambangkan
karena menunggu kepastian walikota yang baru. Demikian pula sejak walikota Eddy
Rumpoko dilantik sampai masih terjadi suasana yang mengambang, karena adanya
isu perubahan organisasi dan mutasi jabatan di lingkungan SKPD Kota Batu. Hal ini
ternyata sangat berpengaruh terhadap sikap dan kebijakan yang diambil oleh
beberapa dinas, khususnya yang terkait dengan penelitian RHA, yakni sebagai
stakeholder dari lembaga pemerintah (PEK). Isu tersebut akhirnya
menjadi kenyataan pada bulan Desember 2008, di mana terjadi perubahan yang
cukup besar di beberapa SKPD yang terkait dengan penelitian RHA ini. Selain
mutasi pejabat atau pimpinan SKPD ternyata juga ada perubahan struktur
organisasi beberapa SKPD. Perubahan SKPD yang terkait dengan isu
pengelolaan DAS pada bulan Desember 2008 adalah sebagai berikut :
2001-Desember 2008 Mulai Desember 2008
Dinas Kehutanan dan Lingkungan menjadi Dinas Lingkungan Hidup
Hidup
Dinas Sumberdaya Air dan Enerji menjadi Dinas Pengairan dan Bina Marga
Dinas Pertanian dan Peternakan menjadi Dinas Pertanian dan Kehutanan
Berikut ini diuraikan secara ringkas dalam matriks kepentingan setiap pihak dalam
pengelolaan DAS, kemudian peran yang sudah dilakukan dalam pengelolaan DAS
Sumber Brantas serta persepsi dan pengetahuan masing-masing stakeholder
terhadap pencapaian DAS yang sehat (Tabel 4.2.).

Tabel 4.2. Kepentingan dan Peran Stakeholder Pemerintah/non-Pemerintah


Tingkat Kota Batu dalam Pengelolaan DAS Sumber Brantas

Peran yang dilakukan dalam Persepsi dan Pengetahuan


Stakeholder Kepentingan dalam
pengelolaan DAS Sumber tentang pencapaian DAS yang
(Stakeholder) pengelolaan DAS
Brantas sehat
DPRD dan Wali Kota Implementasi visi tahun 2003-2007 1. Penetapan Missi : (a) Pening- Pengembangan agropolitan dan wisata
Batu, Agropolitan bernuansa katan SDM untuk mengelola yang didukung penerapan motto Batu
pariwisata dengan masyarakat Sumber Daya Alam berbasis Hijau Lestari dengan pendekatan
madani, menuju visi 2007-2012 : pertanian dan pariwisata yang kultural dan struktural
Kota Batu sebagai sentra pariwisata berwawasan lingkungan, dan (b)
berbasis pertanian, didukung oleh Perwujudan peningkatan
sumberdaya manusia, sumberdaya lingkungan hidup dan terkenda-
alam, dan sumberdaya budaya serta linya tata ruang daerah
pemerintahan yang kreatif, inovatif, 2. Penerbitan Peraturan Daerah
dan bersih bagi seluruh rakyat yang No. 6 / 2005 tentang Perlin-
dijiwai keimanan dan ketaqwaan dungan dan Pengelolaan Air
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) 111
JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

kepada Tuhan Yang Maha Esa Bawah Tanah dan Air


Permukaan
3. Meningkatkan peran Kota Batu
sebagai Kota pertanian (agro-
politan), khususnya untuk jenis
tanaman sayur, buah dan bunga
serta menguatnya perdagangan
hasil pertanian dan industri
pertanian (agro-industri) yang
diperhitungkan,
4. Meningkatkan posisi dan peran
Kota Batu dari Kota Wisata
menjadi sentra Wisata yang
diperhitungkan di tingkat
regional atau bahkan nasional
BAPPEDA Mewujudkan Tata Ruang Daerah 1. Pemetaan dan penyusunan data Penerapan tata ruang daerah dapat
dengan Penetapan Kawasan Lindung, spatial untuk perencanaan tata menciptakan lingkungan yang sehat
Luasnya sekitar 52% (10,352 Ha) dan ruang,
Kawasan Budidaya 48% (9,555 2. Koordinasi Instansi terkait untuk
Ha) dari luas wilayah Kota Batu. implementasi tararuang daerah
Dinas Pertanian dan Peningkatan Peran Serta Masyarakat 1. Bantuan Ternak untuk mendu- Pengelolaan hutan dengan
Kehutanan dalam Rehabilitasi Hutan dan Lahan kung rehabilitasi hutan pemberdayaan perikehidupan dan
Peningkatan kualitas lingkungan 2. membina Kelompok Tani LMDH perekonomian masyakat solusi
hidup dengan penanganan lahan dan RLKT; konservasi dan rehabilitasi hutan dan
kritis, baik di dalam maupun di luar 3. Sosialisasi Pencegahan dan kerusakan sumberdaya lahan dan
kawasan Dampak Kebakaran Hutan dan mengupayakan mitigasi dan adaptasi
hutan. Lahan pemanasan global
4. Perlindungan dan Pengamatan
Hutan Terpadu
Dinas Lingkungan Hidup Pengelolaan lingkungan hidup untuk 1. Pengembangan Teknologi Peningkatan peran serta masyarakat
menjamin kualitas air dan sanitasi Persampahan dan Pemantauan dalam menjaga kelestarian lingkungan
masyarakat Kualitas Lingkungan hidup kota Batu
2. maupun Pengkajian Dampak
Lingkungan termasuk
Pembuatan Teknologi Biogas
Limbah Ternak ;
3. Pengelolaan Prokasih;
Pengadaan Sarana dan
Prasarana Pemantauan Kualitas
Air ;
4. Peningkatan Konservasi Daerah
Tangkapan Air serta Pembuatan
Dam Penahan ;
5. Pengembangan Data dan
Informasi Lingkungan serta
Penyuluhan
6. Pengendalian Polusi dan
Pencemaran;
7. Penghijauan Kanan Kiri Jalan,
8. Pengadaan dan Pemeliharaan
Sarana dan Prasarana
Pencegahan Bahaya Kebakaran
dan Pengelolaan
Persampahan/Pemeliharaan
dan Pengembangan
9. Ruang Terbuka Hijau.
Dinas Bina Marga dan mewujudkan pola 1. Pembangunan dan pemeliharaan Pengelolaan sumberdaya air melalui
Pengairan pengelolaan sumber daya air yang saluran irigasi, dam, pembuatan pemulihan debit sumber air utama dan
terpadu dan berkelanjutan, plengsengan dan penguatan penataan pemanfaatan sumberdaya air
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) 112
112
JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
112
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

terkendalinya tebing sungai, berdasarkan regulasi pemerintah


pemanfaatan air tanah, meningkatnya 2. Pelayanan Sistem Irigasi daerah
kemampuan pemenuhan kebutuhan 3. Pengembangan penampungan
air air melalui waduk mini untuk
bagi rumah tangga, permukiman, penyediaan air bersih
pertanian, dan industri, dengan 4. Pemberdayaan petani pemakai
prioritas utama air (HIPPA)
untuk kebutuhan pokok masyarakat 5. Pemanfaatan sumber-sumber
serta berkurangnya dampak bencana air bersih
banjir 6. Perencanaan pembangunan dan
dan kekeringan. pembuatan jaringan irigasi,
perencanan dan pembuatan
jaringan air bersih/minum.
7. Pengembangan sumur bor dan
reservoir untuk pengadaan air
bersih
8. Pengawasan Air Bersih dan
Pelatihan HIPPAM serta Wasdal
9. Pemanfaatan Air Bawah Tanah
dan Mata Air.
10. Pengembangan energi alternatif
dengan biogas
Dinas Kesehatan Mewujudkan Kebijakan Lingkungan Penyelenggaraan Penyehatan Perbaikan kesehatan masyarakat
Hidup Sehat Lingkungan di tempat Penyediaan Air melalui perbaikan sanitasi konsumsi
Bersih air masyakarat
Dinas Cipta Karya dan perencanaan pembangunan Penyediaan jaringan air bersih baik Pemanfaatan sumberdaya air untuk
Pemukiman infrastruktur pembangunan dalam fasilitasi PDAM dan HIPAM pemerataan penyediaan air bersih
Jaringan Air Minum/Air Bersih warga masyarakat
Kantor Pemberdayaan Pengembangan usaha produktif dan Bantuan dana segar untuk kegiatan Penguatan kelembagaan desa untuk
Masyarakat perlindungan lingkungan melalui masyakarat sesuai kebutuhan desa memaduan kemajuan pembangunan
bantuan peberdayaan masyakat oleh yang disusun dari RESBANG Desa. dan perlindungan lingkungan
aparat desa dan organisasi
kemasyarakatan di tingkat desa
Kantor Koperasi dan Pembinaan, pelatihan dan Pembentukan Kelompok Kerja Pembinaan perkonomian masyakarat
UKM pendampingan dalam bidang Program Pengembangan Usaha Kecil desa sekitar hutan melalui
kewirausahaan maupun pengelolaam dan Mikro serta Perkuatan Struktur pengembangan koperasi
manajemen Keuangan Koperasi.
koperasi
PDAM Kota Batu Pengusahaan sumberdaya air untuk Melakukan managemen pemafaatan Pengelolaan restribusi air yang
penyediaan air bersih masyarakat air dan penyediaan infrastruktur sebagian digunakan untuk
untuk penyediaan air bersih penyelamatan sumber air disekitar
masyarakat dan industry serta mata air
perhotelan
MUSPIKA Penegakan hukum UU No 23 tahun Pengawas_Penyidik bidang lingkungan Penegakan hokum dapat mencegah
1997 tentang Pengelolaan Hidup, UU hidup, Pembuktian Tindak Pidana kerusakan lingkungan
No 7 Tahun 2004 tentang Lingkungan Hidup, Mendukung
Sumberdaya Air, Kep Men LH No 07 Kebijakan Pemerintah Daerah, dan
tahun 2001 tentang Pejabat dan memfasilitasi peran masyarakat
Pengawas Lingkungan Hidup Daerah, dalam menaati peraturan
Keputusan Bersama Kementrian LH, perundang-undangan di bidang
Kejaksaaan dan Kepolisian No KEP - lingkungan
04/ MENLH/04/2004, KEP
208/A/JA/04/2004, No Pol: Kep-
19/IV/2004 tentang Penegakan
Hukum Lingkungan Hidup Terpadu,
Keputusan Gubernur Jatim No 45
tahun 2002 tentang baku mutu
limbah cair bagi industry atau
kegiatan usaha lainnya di Jawa Timur

PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) 113


113
JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
113
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

LSM Harapan Pulih Fasilitasi Rehabilitasi hutan Fasilitasi kegiatan PHBM oleh LMDH Penguatan masyarakat untuk
Sentosa dan Perhutani merehabilitasi hutan
YPP Fasilitasi penerapan Jasa Penguatan kelembagaan kelompok Penguatan Kelembagaan Masyarakat
Lingkungan Hulu-hilir tani untuk rehabilitasi lahan dan dapat sebagai roda penggerah
hutan, menjadi mediator dalam rehabilitasi lahan dan hutan yang
rehabilitasi lahan efektif
Yayasan Pusaka Fasilitasi dan advokasi Pengembangan kegiatan Gerakan Pendekatan cultural dan structural
permasalahan lingkungan Rehabilitasi Hutan dengan program dapat sebagai penggerak efektif dalam
GIRAB rehabilitasi hutan dan lahan
LSM Paramitra Pengembangan Jasa Linglkungan Fasilitasi pengembangan peraturan Penguatan kelembagaan masyarakat
melalui mekanise pengembangan daerah tentang jasa lingkungan, dapat sebagai pendorong percepatan
peraturan daerah fasilitasi koordinasi kegiatan Tahura rehabilitasi lahan dan hutan serta
R Soerjo dengan masyarakat, konservasi kawasan lindung
Pengembangan Perdes Lingkungan
Kelompok Tani Tahura Pengembangan kegiatan konservasi Pengembangan rencana aksi untuk Konservasi biodiversitas hutan dapat
(KTT) biodiversitas dan pemanfaan fungsi konservasi biodiversitas dan menjaga kelestarian sumberdaya air
hutan non kayu untuk usaha pemanfaatan fungsi hutan non kakyu
produktif dan pengembangan sistem
pengamanan hutan
Lembaga Masyarakat Perbaikan perikehidupan anggota Penguatan pesanggem dalam rangka Perbaikan perekonomian pesanggem,
Desa Hutan (LMDH) melalui peran aktif dalam mendukung implementasi PHBM di dan kebersamaan dank e solidan
implementasi PHBM wilayah Perhutani organisasi LMDH dapat mendukung
pengembangan fungsi ekologis hutan
IPPHTI Impelentasi pengendalian hama Pengembangan dan implementasi Perbaikan kualias air melalui
penyakit terpadu dalam usaha pengendalian hama penyakit terpadu implementasi Pengendalian Hama-
budidaya pertanian yang menekan sekecil mungkin Penyakit Terpadu ( PHT)
kontaminasi pestisida dalam aliran
air
HIPPAM Penyediaan air bersih masyarakat Perencanaan, pengembangan dan Konservasi sumber air penting untuk
pedesaan yang murah dengan pemanfaatan sumber air untuk keberlanjutan penyediaan air besih
managemen masyarakat desa itu penyediaan dan pemerataan air kebutuhan rumah tangga
sendiri bersih masyarakat pedesaan
HIPA Pemanfaatan dan pengelolaan air Pengaturan kebutuhan air baku Konservasi sumber air penting untuk
untuk irrgiasi baik di lahan untuk irrigasi keberlanjutan penyediaan air irigasi
perkebunan apel, lahan kering dan dalam pendukung usaha pertanian
lahan sawah
FOKAL MESRA Pemantauan kondisi lingkungan dan Fasilitasi Masyarakat untuk Pemanfaatan sumberdaya alam untuk
pemberdayaan masyarakat untuk pengelolaan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat harus
pengelolaan lingkungan rehabilitasi hutan dan lahan, selaras alam
pemantauan kualitas air di badan
sungai
Kelompok Tani Pemanfaatan sumberdaya air untuk Penggunaan pestisida yang dapat Pengaturan pemanfaatan air yang lebih
irrigasi menyebabkan kontaminasi aliran air efisien dan pengembangan
pengendalian HPT dapat memperbaiki
kondisi lingkungan
Serikat Petani Gunung Memperjuangan anggotanya yang Pemanfaatan lahan hutan dengan Konservasi Gunung Biru dengan
Biru (SPGB) mayoritas tidak memiliki lahan untuk mengusahakan tanaman dibawah menyertakan masyarakat untuk
mendapatkan lahan garapan dihutan tegakan peningkatan ekonominya dapat
dengan menjaga kelestarian hutan melestarikan sumberdaya air.
Persatuan Pengusaha Pemanfaatan sumber air untuk Berpartisipasi dalam rehabilitasi Pasokan air baku untuk kebutuhan
Hotel dan Restauran kebutuhan usaha perhotelan hutan usaha perhotelan penting melalui
(PHRI) rehabilitasi hutan

PEK terkait dengan RHA di DAS Sumber Brantas menjadi sangat menarik akibat
adanya periode transisi di Kota Batu. Terlihat bahwa kebijakan yang diambil oleh
Dinas-dinas sangat tergantung dari figur pimpinan daerah dalam hal ini walikota.
Salah satu isu penting terkait dengan RHA yang bisa dijadikan contoh adalah
hubungan antara hutan dan air (banjir dan kekeringan). Semua komponen di Kota

PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) 114


114
JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
114
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

Batu tampaknya sepakat bahwa penurunan fungsi hidrologi di kawasan ini


disebabkan oleh penebangan pohon di hutan kawasan Perhutani yang tidak segera
dihutankan kembali. Hampir semua komponen masyarakat dan pemerintah
menyadari bahwa untuk memperbaiki keadaan tersebut adalah dengan cara
menghutankan kembali kawasan Perhutani dan Tahura yang gundul dan rusak.
Namun kesepakatan semacam ini tidak langsung bisa diimplementasikan.
Proses penghutanan kembali terhambat oleh kegiatan masyarakat sekitar hutan
yang menanami tanah-tanah gundul tersebut dengan tanaman semusim khususnya
sayur-sayuran. Tanaman sayur ternyata memberikan hasil yang luar biasa besar
bagi para petani, sehingga mereka enggan menghentikan kegiatannya itu. Program-
program yang dikembangan pemerintah untuk membatasi penanaman sayur
ternyata tidak mampu menghentikannya.
Penghutanan kembali atau menanam pohon kehutanan 100% di lahan Perhutani
jelas sudah tidak memungkinkan lagi akibat adanya keterlibatan masyarakat didalam
kawasan hutan. Masyarakat tidak mungkin disingkirkan atau diusir dari kawasan itu,
sehingga satu-satunya jalan adalah melibatkan mereka dalam pengelolaan
hutan (konsep PHBM oleh Perhutani). Salah satu kompromi yang ditawarkan
oleh Perhutani adalah mengganti tanaman sayuran dengan tanaman tahunan.
Dari berbagai pilihan, ditawarkan porang dan kopi untuk ditanam disela-sela
tanaman pokok (tegakan). Namun usulan masyarakat dan Perhutani ini tidak
disetujui oleh birokrasi Pemkot Batu. Namun setelah pergantian walikota, justru
ide ini menjadi program Pemkot Batu untuk menghentikan penanaman sayur
sebagai tanaman sela di lahan Perutani dan menggantinya dengan tanaman kopi.
Bahkan di awal tahun
2009 ini Pemkot Batu memberikan berbagai bentuk insentif untuk mempercepat
pelaksanaan penanaman kopi ini.
Itulah salah satu contoh perubahan yang mendasar dari kebijakan yang sangat
dipengaruhi oleh figur kepala daerah dalam era otonomi daerah seperti sekarang ini.
Kesimpulannya, PEK yang digali dari unsur birokasi (lembaga pemerintah daerah)
dapat berubah karena pengaruh dari pimpinan tertinggi di daerah tersebut.

PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) 115


115
JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
115
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pertimbangan Penelitian Fakultas Teknik Universitas Brawijaya, 2005.


Investigasi Geologi Bersama Masyarakat untuk Penyelamatan Mata Air di
DAS Brantas Hulu.

Widianto, Fahmudin Agus dan Didik Suprayogoo, 2001. PENGELOLAAN DAS


MIKRO SECARA PARTISIPATIF Dalam rangka Program PIDRA.

Widianto, Suprayogo, D, Sudarto dan Lestariningsih I.D. 2008. Rapid Hydrological


Appraisal Implementationat Upper Brantas Watershed, East Java. Trees in
multi-Use Landscapes in Southeast Asia (TUL-SEA): A negotiation support
toolbox for Integrated Natural Resource Management. World Agroforestry
Centre (ICRAF) Southeast Asia, The Federal Ministry for Economic
Cooperation and Development (BMZ), Germany and Fakultas Pertanian
Universitas Brawijaya, Malang.

PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) 116


116
JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
116

Anda mungkin juga menyukai