Anda di halaman 1dari 22

Modul 6 – MANAJEMEN KONSERVASI

TANAH DAN AIR


Prof. Dr. Ir. Rahmanta Setiahadi, MP
SUB TOPIK BAHASAN
• Lahan kritis dan Degradasi lahan
• Pengelolaan lingkungan dan konservasi terpadu
• Manajemen KTA
LAHAN KRITIS DAN DEGRADASI LAHAN

Lahan Degrada
Kritis si Lahan
Lahan Kritis
• Lahan kritis adalah lahan yang karena tidak
sesuai penggunaan tanah dan kemampuannya,
telah mengalami atau dalam proses kerusakan
fisik-kimia-biologi, yang akhirnya
membahayakan fungsi hidro-orologi, produksi
pertanian, pemukiman dan kehidupan sosial
ekonomi pada lingkungannya (Ditjen RHL,
1985).
• Luas lahan kritis setiap tahun selalu bertambah. Kondisi demikian
terjadi karena adanya dampak dari pelaksanaan pembangunan
yang tidak mengindahkan asas keseimbangan lingkungan dan
kurangnya usaha konservasi tanah dan air.
• Pembangunan yang menyangkut penggunaan lahan selama ini
direncanakan dan dilaksanakan tanpa didasarkan atas informasi
yang memadai tentang kemampuan dan kesesuaian sumberdaya
tanah.
• Selain itu akibat adanya tekanan penduduk terhadap lahan yang
besar telah menyebabkan hilangnya lahan-lahan pertanian kelas
satu, terutama persawahan teknis karena dikonversikan menjadi
lahan industri atau pemukiman.
• Kriteria penentuan lahan kritis didasarkan pada indikator atau
parameter, seperti: vegetasi penutup, tingkat kerapatan,
penggunaan lahan dan kedalaman tanah.
• Selain itu ditambah parameter pemanfaatan lahan-lahan dengan
fungsi lahan yang ada kaitannya dengan kegiatan reboisasi dan
penghijauan, yaitu fungsi kawasan hutan lindung, fungsi kawasan
lindung di luar kawasan hutan dan fungsi kawasan budidaya untuk
usaha pertanian (Ditjen RRL, 1998).
• Berikut tabel kriteria penilaian lahan kritis:
Tingkat erosi diukur berdasarkan masyarakat.
kerusakan/hilangnya lapisan tanah, baik

Tabel 1. Kriteria Penilaian Lahan Kritis

Tingkat Kekritisan
Parameter Potensial kritis Semi kritis Kritis Sangat kritis
Penutup > 75 % 50 - 75 % 25 - 50 % < 25 %
vegetasi
Tk. torehan/ agak tertoreh cukup tertoreh sangat tertoreh sangat tertoreh
kerapatan cukup tertoreh sangat tertoreh sangat tertoreh drainase sekali
Penggunaan hutan, kebun pertanian lahan pertanian lahan gundul, rumput
lahan/ campuran, kering, semak kering, rumput, semak
vegetasi belukar, belukar, alang- semak
perkebunan alang
Kedalaman dalam dalam dalam sangat dangkal
tanah (> 100 cm) (60 - 100 cm) (30 - 60 cm) (< 30 cm)
Sumber : Dephut (1985) dan Ditjen Pertanian Tanaman Pangan (1991)
Degradasi Lahan
• Degradasi lahan adalah kerusakan sifat fisik, kimia,
dan biologi tanah di tempat kejadian erosi berakibat
pada penurunan kapasitas infiltrasi dan kemampuan
tanah menahan air (water holding capacity), pening-
katan kepadatan dan ketahanan penetrasi tanah,
penurunan kualitas struktur tanah, serta
pengurangan ketersediaan bahan organik dan
organisme tanah (Suwardjo, 1981; Arsyad, 1989)
• Degradasi lahan tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di
seluruh dunia. Sampai saat ini sekitar 40% lahan pertanian telah
mengalami degradasi yang menyebabkan penurunan produktivitas
lahan secara signifikan. Sekitar 9% lahan pertanian yang
terdegradasi tidak dapat dipulihkan melalui upaya perbaikan di
tingkat usaha tani.
• Aspek penting konservasi tanah dan air pada lahan kering
terdegradasi di daerah tropis ialah penutup tanah organik karena
dapat memengaruhi neraca air tanah, aktivitas biologi tanah, serta
peningkatan bahan organik dan kesuburan tanah (Lahmar et al.
2011).
• Memasuki abad ke-21, degradasi lahan akibat aktivitas manusia
telah menyebabkan terjadinya krisis air global akibat perubahan
sistem tata air alamiah serta pencemaran sungai, air tanah, laut
pesisir bahkan laut terbuka, selain meningkatkan risiko banjir,
kekeringan, dan salinitas. Manusia menggunakan lebih dari separuh
ketersediaan air tawar, termasuk air tanah yang saat ini dieksploitasi
di berbagai bagian dunia, termasuk di Indonesia (Seckler et al.
1999; UNEP dan IWMI 2011).
• Degradasi lahan akibat erosi di tempat kejadian dapat dibedakan menjadi
pengaruh langsung (jangka pendek) dan pengaruh tidak langsung (jangka
panjang).
• Pengaruh langsung berupa gangguan terhadap pertumbuhan tanaman
dan pemupukan yang tidak efisien, karena sebagian besar pupuk
terbawa aliran permukaan, sedangkan pengaruh tidak langsung adalah
penurunan kualitas tanah, meliputi penurunan kedalaman perakaran
efektif, kapasitas air tersedia, dan C organik tanah serta timbulnya sifat
fisik tanah yang tidak baik pada lapisan bawah tanah.
• Pengaruh tidak langsung berupa penimbunan lahan pertanian,
pelumpuran dan pendangkalan waduk yang memperpendek umur guna
waduk, pendangkalan sungai, saluran dan badan air lainnya, banjir
pada musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau, kerusakan
ekosistem perairan, kerusakan mata air dan penurunan kualitas air,
serta kerusakan lingkungan lainnya.
• Lahan kritis atau lahan yang terdegradasi makin meluas dari waktu ke
waktu. Pada awal tahun 2000, luas lahan kritis di Indonesia baru
mencapai 23,25 juta ha dan pada tahun 2007 meningkat tiga kali lipat
lebih menjadi 77,8 juta ha (Anwar 2007 dalam Kurnia et al. 2010).
Peningkatan luas lahan kritis yang sangat besar tersebut menunjukkan
bahwa laju kerusakan sumber daya lahan makin mengkhawatirkan
akibat pengelolaan yang kurang terkendali. Penyebab utama degradasi
lahan ialah erosi yang melebihi ambang toleransi.
• Degradasi lahan yang disebabkan oleh penurunan sifat fisik dan kimia
tanah terjadi akibat pemadatan tanah karena penggunaan alat- alat
berat dan mesin pertanian atau proses eluviasi, banjir, dan genangan.
• Degradasi lahan yang disebabkan oleh kemunduran sifat kimia antara
lain disebabkan oleh proses penggaraman (salinization), pemasaman
(acidification), dan pencemaran (pollution) bahan agrokimia.
PENGELOLAAN LINGKUNGAN DAN KONSERVASI
TERPADU
• Berkelanjutan: upaya menekan peningkatan laju pertambahan lahan kritis
perlu segera diambil langkah- langkah kebijakan nyata yang langsung
bersumber pada fokus permasalahan. Dilakukan melalui usaha yang
bersifat struktural (reboisasi, penghijauan, check dam, terasering, dan
sebagainya) dan non struktural seperti melibatkan masyarakat, peningkatan
pendapatan, penyuluhan dan sebagainya, harus dilakukan secara terpadu
dan berkesinambungan.
• Integrasi antar sektor: usaha-usaha pengelolaan yang dilakukan secara
terpisah oleh masing-masing sektor, tanpa landasan pendekatan
interdisiplin atau integrasi, seringkali menyebabkan konflik antar satu sektor
dengan sektor lainnya, misalnya antara sektor kehutanan dengan sektor
pertanian. Dengan berlandaskan pendekatan interdisiplin atau integrasi
dalam tata guna tanah dan perencanaan wilayah, konflik tersebut dapat
dihindarkan.
• Pendekatan pengelolaan lingkungan dan konservasi
terpadu:
– Pengelolaan sumberdaya alam mencakup masalah eksploitasi dan
pembinaan yang tujuannya mengusahakan agar penurunan daya produksi
sumberdaya sebagai akibat eksploitasi dapat diimbangi dengan tindakan
peremajaan dan pembinaan sehingga manfaat maksimal dari sumberdaya
alam dapat diperoleh dengan terus menerus.
– Pertimbangan ekonomis dan ekologis harus berimbang.
– Mencegah konflik antar kepentingan antara sektor-sektor yang
memanfaatkan sumberdaya alam perlu dicari pendekatan interdisiplin atau
pengintegrasian dalam perencanaan pengelolaan, khususnya integrasi
dalam tata guna tanah dan perencanaan wilayah.
MANAJEMEN KONSERVASI TANAH DAN AIR
• Beberapa faktor yang menyebabkan semakin luasnya
lahan kritis dan degradasi lahan:
– Politik pengelolaan sumberdaya tanah dan air.
– Peningkatan jumlah penduduk.
– Konspirasi antara penguasa dan pengusaha.
– Kebijakan yang tidak berpihak pada upaya KTA.
– Penggunaan teknologi KTA yang tidak sesuai.
• Pemerintah lokal , dengan bantuan teknis dan keuangan dari pemerintah pusat,
sangat berperan didalam mengimplementasikan program penghijauan dan reboisasi.
• Pada umumnya, manajemen Derah Aliran Sungai ditangani oleh pemerintah lokal dan
propinsi (baik oleh Bappeda Tk. I dan II), ataupun sub dari Departemen Kehutanan.
Berbagai rencana teknis yang disusun oleh personil kehutanan kini sedang dalam
proses perumusan anggarn dan dalam mencapai persetujuan, tinjauan bersama dan
rekonsiliasi untuk mencegah tumpang tingih dan sekaligus untuk menjamin
implementasi yang baik. Prinsipnya, sistem ini harus mampu menentukan kebutuhan
dan pilihan utama setempat dan penilaian para ahli yang terlatih secara teknis.
• Pada tingkat pusat, kapasitas untuk memonitor dan meneliti secara kontiniu proses
kemajuan dan masalah penghijauan telah dikembangkan. Kapasistas tersebut adalah
untuk memonitor pengeluran dan target serta studi penelitian khusus dilaksanakan
setiap saat untuk meneliti program.
Politik Pengelolaan Sumberdaya Tanah dan Air
• Manufer politik sering digunakan untuk memperoleh akses terhadap
sumber daya lahan dan air. Kejadian krisis air yang sering dikaitkan
dengan crisis of governance menunjukkan bahwa masalah air tidak
semata terkait dengan pengelolaan sumber daya air atau
operasional dan pemeliharaan infrastruktur sumber daya air, tetapi
juga terkait dengan struktur sosial politik.
• Contoh lahirnya UU Minerba/2020, UU Cipta Kerja/2020, dll
Peningkatan Jumlah Penduduk
• Peningkatan populasi penduduk yang menyebabkan
tekanan pemanfaatan lahan makin tinggi. Di Jawa, hal
tersebut mulai dirasakan pada akhir abad ke-19,
terutama akibat pemanfaatan lahan kering di lereng-
lereng pegunungan. Eksploitasi sumber daya alam
(SDA) pada masa kolonial merupakan salah satu
instrumen politik untuk menunjang kepentingan
perdagangan pemerintah kolonial.
Konspirasi antara Penguasa dan Pengusaha
• Konspirasi antara pengusaha dan penguasa. Penjarahan
hutan secara sistematik di Jawa dimulai oleh Perusahaan
Dagang Hindia Belanda (VOC) pada tahun 1611, ketika
perusahaan tersebut memperoleh izin dari Raja Mataram
untuk menebang pohon bagi keperluan usaha. Di luar Jawa,
kondisi hutan masih relatif utuh dan dikuasai oleh lembaga
adat, masyarakat setempat maupun kesultanan.
• Contoh kasus lain: Penerbitan ijin pertambangan yang
dikeluarkan Bupati dan Gubernur yang banyak diungkap oleh
KPK.
Kebijakan yang tidak berpihak pada upaya KTA
• Kebijakan yang merefleksikan kepentingan politik dan birokrasi. Tidak
semua produk kebijakan bersifat eksploitatif terhadap SDA.
• Kebijakan pemerintah pada era Orde Lama yang menonjol ialah
Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
pokok Agraria (UUPA) yang cakupannya memerhatikan prinsip-prinsip
pengelolaan sumber daya lahan dan air secara berkelanjutan.
• Walaupun pelaksanaan undang-undang ini dinilai tidak efektif, dinamika
politik yang menekankan pada nation building pada pemerintahan Orde
Lama telah menurunkan tekanan terhadap penjarahan hutan
(Suradisatra et al. 2010, Thijse 1982, Nababan 2003 dalam
Pasandaran et al. 2011).
Penggunaan Teknologi KTA yang tidak sesuai
• Salah satu program penelitian yang sedang berlangsung dan yang
memberikan aliran teknologi baru dan alternatif terhadap para
pembuat kebijakan, perencanaan, agen-agen ekstensi dan para
petani adalh sangat penting bagi keberhasilan usaha pemerintah
untuk mempromosikan konservasi tanah dan pengembangan
sumber daya wilayah perbukitan.
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai