Anda di halaman 1dari 16

Sifat/Karakteristik dan Potensi Pengembangan Lahan Kering

Lahan kering adalah hamparan lahan yang tidak pernah digenangi air atau
tergenang air pada sebagian waktu selama setahun. Lahan kering adalah bagian
dari ekosistem teresterial yang luasnya relatif lebih besar dibanding dengan lahan
basah. Lahan kering secara keseluruhan memiliki luas lebih kurang 70%. Lahan
kering menempati areal yang terluas dan mempunyai kedudukan yang strategis
dalam pembangunan pertanian di Indonesia. Lahan kering merupakan penghasil
berbagai komoditas pertanian seperti pangan, sandang, perkebunan, perumahan,
obat-obatan, dan devisa. Pemanfaatan lahan kering bagi keperluan pertanian
memerlukan pengelolaan terpadu antar sektor. Pengelolaan lahan kering adalah
salah satu upaya untuk mengoptimalkan fungsi lahan dan menjaga kelestarian lahan
dan lingkungan.
Pertambahan jumlah penduduk yang cepat menyebabkan kebutuhan akan
bahan pangan dan perumahan juga meningkat. Sejalan dengan itu, pengembangan
lahan kering untuk pertanian tanaman pangan dan perkebunan untuk memenuhi
kebutuhan sudah merupakan keharusan. Lahan kering di Indonesia kesuburan
rendah, lahan dengan tanah retak-retak, lahan dengan tanah dangkal dan lahan
dengan perbukitan. Relief tanah menentukan mudah tidaknya pengelolaan lahan
kering. Relief tanah sangat ditentukan oleh kelerengan dan perbedaan ketinggian.
Ditinjau dari bentuk, kesuburan dan sifat fisik lainnya, pengelolaan lahan kering
relatif lebih berat dibanding dengan lahan basah (sawah). Hingga saat ini perhatian
berbagai pihak terhadap pengelolaan lahan kering secara berkelanjutan relatif
rendah dibandingkan dengan pengelolaan lahan sawah dataran rendah. Secara
umum, sistem pertanian di Indonesia, khususnya menyangkut budidaya pertanian
tanaman pangan dapat dikelompokkan dua bagian yaitu:
- Pertanian lahan basah (sawah) dan
- Pertanian lahan kering.
Usaha intensifikasi pertanian di lahan sawah lebih efektif dibanding dengan lahan
kering. Namun, dengan semakin meningkatnya alih fungsi lahan, peluang
penggunaan lahan sawah untuk usaha pertanian makin menyempit sehingga
pengalihan usaha ke lahan kering makin diperlukan.
Lahan kering selalu dikaitkan dengan pengertian bentuk usaha tani bukan
sawah yang dilakukan oleh masyarakat di bagian hulu suatu daerah aliran sungai
(DAS) sebagai lahan atas (upland) atau lahan yang terdapat di wilayah kering
(kekurangan air) yang tergantung pada air hujan sebagai sumber air. Yang
dimaksud lahan kering adalah lahan atasan, karena kebanyakan lahan kering
berada di lahan atasan. Pengertian yang tersirat dalam istilah lahan kering yang
digunakan masyarakat umum banyak mengarah kepada lahan kering dengan
kebutuhan air tanaman tergantung sepenuhnya pada air hujan dan
tidak pernah tergenang air secara tetap. BPS (2006) mengelompokkan
usaha tani
lahan kering ke dalam sembilan (9) jenis penggunaan, meliputi
lahan kering (tegalan/kebun, padang rumput, tanah tidak
diusahakan, tanah hutan rakyat dan perkebunan) dan
usaha tani lainnya (pekarangan/bangunan, tanah rawa,
tambak dan kolam/empang). Dari sembilan jenis penggunaan, ternyata

1
rawa (yang tidak ditanami padi), tambak dan kolam juga digolongkan sebagai lahan
kering.
Selain mempunyai tingkat kesuburan rendah, umumnya lahan kering memiliki
kelerengan curam, dan kedalaman/solum dangkal yang sebagian besar terdapat di
wilayah bergunung (kelerengan >30%) dan berbukit (kelerengan 15-30%). Lahan
kering berlereng curam sangat peka terhadap erosi, terutama apabila diusahakan
untuk tanaman pangan semusim. Keterbatasan air pada lahan kering juga
mengakibatkan usaha tani tidak dapat dilakukan sepanjang tahun. Ditinjau dari segi
luasannya, potensi lahan kering di Indonesia tergolong tinggi dan perlu mendapat
perhatian bagi pengembangannya, namun apabila ditinjau dari sifat/karakteristik
lahan kering, sangat diperlukan beberapa tindakan untuk menanggulangi faktor
pembatas yang menjadi kendala dalam pengembangannya. Apabila dikaji lebih jauh
dari data penggunaan lahan kering, menunjukkan bahwa ketergantungan pertanian
pada usahatani lahan kering jauh lebih besar daripada lahan basah/sawah yang
hanya 7,8 juta ha, dan separuh areal luasannya 3,24 juta ha berada di Jawa. Survai
Pertanian-BPS memberikan angka luasan lahan kering khususnya dalam hal
penggunaannya dan secara ringkas dapat disebutkan dari yang terbesar berturut-
turut adalah hutan rakyat (16,5%), perkebunan (15,8%), tegalan
(15,0%), ladang (5,7%), padang rumput (4,0%). Lahan kering yang
kosong dan merupakan tanah yang tidak diusahakan seluas (14,0%) dari total lahan
kering, merupakan potensi yang besar untuk dapat dimanfaatkan.

Main Characteristics Of Farming Systems In Drylands

Drylands have particular characteristics that will affect their capacity to sequester carbon. Drylands
often experience high temperatures, low and erratic rainfall, minimal cloud cover, and small amounts
of plant residues to act as surface cover to minimize radiation impact. As a result, soils in the drylands
are, generally, both inherently low in organic matter and nutrients and rapidly lose large proportions of
those small quantities as CO2 when exposed by tillage and other conventional practices. Exposed
and loosened soils are also highly prone to soil erosion, particularly rainfall patterns that include
intense, storm precipitation after long dry periods. The key issue in drylands is therefore to maximize
the capture, infiltration, and storage of rainfall water into soils by promoting conditions that accumulate
organic matter and increase soil biodiversity.

Drylands are particularly prone to soil degradation and desertification, with 70% of the agricultural
land degraded. This means that soils have lost considerable amounts of carbon. As a consequence,
the C stock of most dryland soils is less than 1%, and in many cases less than 0.5% (Lal, 2002).
Increasing soil quality is therefore the main strategy for CS in drylands. Because drylands cover
approximately 43% of the Earth's land surface (FAO, 2000), and dryland soils have lost carbon as a
result of land degradation, they offer a great potential to sequester carbon (Scur-lock and Hall, 1998;
Rosenberg et al., 1999). Furthermore, soil carbon decomposition is also dependent on soil moisture,
so dry soils are less likely to lose carbon (Glenn et al., 1993), and consequently the residence time of
carbon in drylands is much longer than, for instance, in forest (Gifford et al., 1992). Whereas forest
and intensive farming systems may be important carbon sinks, increasing carbon in degraded
agricultural soils of dryland regions would also have direct environmental, economic, and social
benefits to the local people and smallholders that depend on them.

Although most of the research on soil organic matter dynamics and processes has been conducted in
temperate zones, several reviews have highlighted the potential offered by drylands and degraded
lands to sequester carbon (Izaur-ralde et al., 2001; Lal, 2001). Agricultural productivity in drylands is
not only limited by natural constraints, but also by low input management as a result of limited
resources and technologies. The depletion in soil carbon in agricultural soils as a result of land misuse
and soil mismanagement, can be reversed. Important strategies to improve productivity include (1)
growing adapted species, (2) enhancing water-use efficiency and water retention in soils, (3)
managing and enhancing soil fertility, and (4) adopting improved cropping systems (Lal, 2001).

2
Improved cropping systems include crop rotations, planted fallows, residue mulch, conservation of
trees, and growing leguminous species. Recommended practices involve soil water conservation and
management, irrigation management, soil fertility management either by adding inorganic fertilizers or
organic inputs, residues management, and reduced or zero tillage (Lal, 2003). Some of these
practices are the main principle of conservation agriculture, which has been proven to be effective in
increasing productivity and CS. Furthermore, the fact that conservation agriculture requires much less
external inputs makes it more attractive to poor farmers. The case studies presented here analyse the
effect of such practices on soil carbon stocks in various dryland systems.

1. Water scarcity and unpredictability


Drylands are arid, semi-arid, and dry, sub-humid areas that receive less precipitation
than the evaporative demand, and plant production is thus water limited for at least a
substantial part of the year. Water scarcity has shaped dryland ecosystems, their
biodiversity, and human cultures.4 The distinction between drylands and deserts is
complex with hyper-arid deserts generally excluded from the definition of drylands;
slight changes in the management of drylands can result in desert formation
(desertification). Dryland characteristics are also influenced by the extreme
unpredictability in rainfall. As the climate gets drier, weather patterns tend to become
more uncertain with high variability from one year to the next. Rainfall data over a 30
year period from the Zarqa Basin in Jordan’s Baadia region shows a mean precipitation
of approximately 270 mm per year with a low of 50 mm in the driest years and a high of
600 mm in the wettest.5 This 12-fold difference between the low and high is not
uncommon in drylands. Such variability in humid climates would cause severe
ecological stress but in the drylands it has been accommodated over time by various
species adaptations, including opportunistic behavior to take advantage of moisture as
and when it is available

2. Specialized soil life


Dryland soil ecosystems and their species have developed specialized interactions in
response to the harsh conditions. In savannas, for example, termites play a vital role in
recycling organic matter and maintaining soil porosity, particularly in the driest and
most nutrient-poor soils. In many drylands, vegetation grows more vigorously and is
more drought resistant around termite mounds.9 Bacteria in the guts of large
herbivores play a similar role in maintaining soil fertility, digesting vegetation and
accelerating the process of nutrient cycling; this inter-dependence between larger
animals, insects, and grasslands is responsible for some of the world’s most cherished
landscapes, like the Serengeti in Tanzania and the Asian Steppe. At the same time,
dryland soils face a range of important management challenges that are characteristic of
or amplified by dry conditions, including crusting and compaction, restricted soil
drainage, wind and water erosion, low fertility, and soils that are shallow, stony, saline,
or sodic.10

3. Underlying role of fire


Natural fires are another defining feature of many drylands. Natural fire regimes have
driven many ecological adaptations to the extent that suppression or changes in fire
regimes can lead to significant and often harmful ecological change. Some dryland
plants rely on fire for growth or reproduction, including many grasses which recover
more rapidly than shrubs after fire events, or species that require heat to germinate

3
their seeds. Where fire is restricted, it can lead to a medium-term increase in woody
biomass,11 often at a cost to ecosystem productivity and overall biodiversity.
Restrictions can also produce a large fuel-load that can ultimately result in more severe
and ecologically harmful fires and invasion by alien species.12 Fire is frequently used as
a management tool in dryland production systems, for example, to encourage fresh
growth of pastures or to remove brush that can harbor parasites. In parts of East Africa,
efforts to suppress traditional practices of fire management have led to extensive
bushencroachment and the return of the disease-bearing tsetse fly which have rendered
large areas of grassland inaccessible to domestic herds.13 On the other hand, the
continuous use of fire can change nutrient availability and species composition,14
making fire management one of the critical tasks for maintaining healthy drylands in
many regions.

4. Adaptive capacity of species and ecological interactions


Dryland biodiversity is often relatively low, although there are exceptions like the
succulent karoo in southern Africa. Furthermore, recent surveys in apparently species-
poor drylands (e.g., in the Sahara)15 find higher levels of endemism and diversity than
once thought. Species develop physiological16 and behavioral17 strategies to cope with
dramatic variations in temperature, drought, and fires. Four main categories of
adaptation are recognized: drought escapers (species that migrate in search of water
and vegetation), evaders (deeprooting plants), resistors (cacti that store water), and
endurers (frogs that go dormant during drought periods). For example, some plants
have evolved the capacity to store water in roots or leaves, to root deeply in search of
water, or to lie dormant through the drought season. Similarly, some dryland animals
minimize water loss through physiological adaptations; some aestivate (undergo
prolonged dormancy) during the driest season while others migrate to more humid
regions.18 The huge herds of grazing animals on the Serengeti plains will run towards
distant lightning as rainstorms stimulate plant growth. Research provides empirical
evidence that intact dryland biodiversity supports ecosystem function19 and plant
diversity increases multifunctionality in drylands.20 Biological soil crusts, consisting
variously of cyanobacteria, fungi, lichens, and mosses, are the dominant ground cover
over large areas and play an important but still poorly understood role in the ecology of
dryland environments.21 Much dryland biodiversity is highly threatened. Two large
species of dryland mammals are now extinct in the wild: the Sahara oryx (Oryx
dammah) and milu deer (Elaphurus davidianus) although the latter has now been re-
introduced in China. Seventy more species of dryland mammals, birds, reptiles, and
amphibians are listed as critically endangered by the IUCN.22 Cacti, the most
quintessential of dryland plants, are among the most threatened taxonomic plant
groups with almost a third of the species under threat, and their decline linked to
growing human pressure.23

6. Vulnerability to climate change


The increase in the number and severity of climate events will make drylands more
vulnerable to ecosystem changes and land degradation. Between 1951 and 2010, a
small increase in drought frequency, duration, and severity was observed, especially in
Africa, while drought frequency decreased in the Northern Hemisphere.31 Unlike other
extreme events, droughts develop slowly over large areas.32 Their impacts cascade
through the hydrological cycle, affecting soil moisture, reservoirs, river flows, and
groundwater. Ultimately, droughts impact all sectors of society and the natural

4
environment (e.g., wildlife habitats) over varying timeframes. Climate change is likely to
lead to more water scarcity and reduced crop yields in drylands. Climate change is a
significant driver of land degradation and scientists predict that drylands will expand
considerably by 2100.33 Many traditional land management practices increase
resilience to climate change and adaptation strategies in the drylands can be transferred
to other regions experiencing increased aridity.

Potensi lahan kering dan peluang pengembangannya untuk


pertanian
Berdasarkan sifat/karakteristik lahan kering, peluang pengembangan untuk
pertanian masih terbuka lebar (luasnya sangat besar) dibanding lahan sawah,
meskipun tidak semua lahan kering sesuai untuk pertanian. Dari total luas lahan
kering, sebagian besar terdapat di dataran rendah dan sesuai untuk budidaya
pertanian penghasil bahan pangan. Lahan kering juga penghasil produk pertanian
dalam arti luas lainnya, seperti perkebunan (kelapa sawit, kopi, karet), peternakan,
kehutanan dan bahkan perikanan (darat). Dari sebagian Luasan lahan kering yang
tidak diusahakan secara optimal, dapat menjadi alternatif pilihan dan merupakan
peluang untuk pengembangannya, mengingat selama ini potensi itu terkesan seperti
terabaikan.
Lahan kering di Indonesia cukup luas, dengan taksiran sekitar 60,7 juta
hektar atau 88,6% dari luas lahan, sedangkan luas lahan sawah hanya
7,8 juta hektar atau 11,4% dari luas lahan , sebagian besar banyak
tersebar pada dataran rendah yakni hamparan lahan yang berada pada ketinggian
0-700 m dpl (60,65%) dan dataran tinggi yang terletak pada ketinggian >700 m dpl.
(39,35%) dari total luasan lahan kering di Indonesia. Data terbaru, menyebutkan
Indonesia memiliki lahan kering sekitar 148 juta ha (78%) dan
lahan basah (wet lands) seluas 40,20 juta ha (22%) dari
188,20 juta ha total luas daratan. Dari total luas lahan kering 148 juta
ha, yang sesuai untuk budi daya pertanian hanya sekitar 76,22 juta ha (52%),
sebagian besar terdapat di dataran rendah (70,71 juta ha atau (93%) dan sisanya di
dataran tinggi. Di wilayah dataran rendah, lahan datar sampai bergelombang (lereng
<15%) yang sesuai untuk pertanian tanaman pangan mencakup 23,26 juta ha
sedang pada lahan dengan lereng 15−30%, lebih sesuai untuk tanaman tahunan
(47,45 juta ha). Di dataran tinggi, lahan yang sesuai untuk tanaman pangan hanya
sekitar 2,07 juta ha, dan untuk tanaman tahunan 3,44 juta ha.
Potensi lahan kering di Indonesia sangat luas. Menurut Biro
Statistik tahun 1999 potensi lahan kering sebagai lahan atasan (upland)
dengan luasan seluruhnya 111,4 juta hektar atau 58,5% dari luas
seluruh daratan Indonesia. Dari potensi luas lahan atasan tersebut di
atas terdiri dari
 23,3 juta hektar tanah podsolik merah kuning (ultisol dan inseptisol),
 16,4 juta hektar tanah latosol (oksisol, ultisol dan inseptisol), dan
sisanya
 54,7 juta hektar terdiri dari tanah komplek.
5
Dari jenis tanah yang dominan adalah tanah ultisol, inseptisol dan
oksisol yang berpontensi rendah. Menurut Hardin (1977) kapasitas
sangga atau daya dukung lahan merupakan gambaran tentang jumlah
maksimum spesies yang dapat ditampung secara tanpa batas oleh
habitat tertentu, yang memungkinkan perubahan musiman dan acak
tanpa penurunan mutu lingkungan dan kapasitas daya dukung dimasa
depan. Dapat dikatakan bahwa daya dukung lahan merupakan
kemampuan relatif satuan sumberdaya lahan untuk menghasilkan
surplus pendapatan dan/atau kepuasan di atas biaya-biaya
penggunaannya. Dalam penggunaan lahan kering sebagai sumberdaya
ekonomi hendaklah berpedoman pada prinsip-prinsip pembangunan
pertanian yang berkelanjutan mengacu pada prinsip dasar
pembangunan berkelanjutan.
Apa yang dimaksud dengan daya dukung lahan? Ketersedian lahan atau daya dukung lahan
pertanian merupakan kemampuan suatu wilayah untuk menyediakan lahan yang dapat digunakan
untuk mendukung kegiatan pertanian manusia (Moniaga, 2011).
Bagaimana konsep daya dukung lingkungan? Pengertian lain daya dukung lingkungan adalah
kemampuan suatu tempat dalam menunjang kehidupan mahluk hidup secara optimum dalam
periode waktu yang panjang atau kemampuan lingkungan memberikan kehidupan organisme secara
sejahtera dan lestari bagi penduduk yang mendiami suatu wilayah.
Potensi pengembangan pertanian lahan kering cukup besar
dibandingkan dengan pengembangan lahan sawah karena
(1) sangat dimungkinkan pengembangan berbagai macam komoditas
pertanian dalam arti luas dan dan kondisi agroekosistem yang cukup
beragam dari kondisi agak basah sampai kering,
(2) dimungkinkan pengembangan pertanian terpadu antara ternak dan
taman perkebunan/kehutanan serta tanaman pangan,
(3) membuka peluang kerja yang lebih besar dengan investasi yang
relatif lebih kecil dibandingkan membangun fasilitas irigasi untuk
lahan sawah, dan
(4) mengentaskan kemiskinan dan keterbelakangan yang sebagian
besar penduduk yang saat ini tinggal di lahan kering.
Kondisi iklim yang ada di Propinsi NTT sangat beragam dari yang
beriklim tropika basah (C3) dengan ciri vegetasi hutan tropika basah,
sampai ke kondisi iklim semi ringkai tropika (semi arid tropics)
dengan tipe iklim C3, D3, D4, E3 dan E4 (Oldeman dkk., 1977) dengan
vegetasi hutan iklim kering sampai stepa dan savana serta padang
rumput merupakan penciri khas untuk iklim kering semiringkai tropika.
Rendahnya curah hujan rata-rata di setiap tahunnya menyebabkan
tanah-tanah yang terbentuk sebagian besar mempunyai rejim
kelembaban Ustic. Dengan kombinasi kondisi iklim dan variasi jenis
tanah yang sangat beragam tersebut menjadikan potensi lahan kering
yang ada untuk mengembangkan keaneka ragaman pertanian lahan

6
kering baik untuk tanaman tahunan, tanaman hortikultura maupun
tanaman pangan serta ternak.
Dari berbagai hasil penelitian diketahui bahwa pemanfaatan dan
pengembangan wilayah lahan kering dari tahun ke tahun belum
memberikan hasil yang memuakan karena adanya berbagai
kendala/masalah, baik fisik, ekonomi maupun sosial-kelembagaan.
Berbagai kendala tersebut diantaranya:
(1) biofisik dan tofografi lahan kering tidak sebaik lahan sawah,
(2) infrastruktur ekonomi di wilayah lahan kering sangat terbatas,
(3) teknologi usahatani lahan kering relatif mahal bagi petani,
(4) kualitas lahan dan penerapan teknologi yang terbatas,
(5) kemampunan Pemerintah Daerah dan masyakarat dalam
perencanaan, pelaksanaaan dan pembiayaan pengembangan
wilayah lahan kering sangat terbatas, dan
(6) partisipasi pengusaha swasta dalam pengembangan lahan kering
relatif terbatas.
Akibatnya pengembangan ekonomi wilayah dan kesejahteraan hidup
masyarakat di wilayah tersebut masih relatif terbatas. Kondisi tersebut di
atas memberikan gambaran bahwa untuk pemanfaatan dan
pengembangan potensi wilayah lahan kering, diperlukan fokus
pengembangan komoditas terpilih, komitment pemerintah dan
stakeholder lainnya dalam pengembangan LK, serta terobosan investasi
maupun peningkatan partisipasi masyarakat dalam mengembangkan
wilayah lahan kering, sehingga wilayah lahan kering bukan lagi menjadi
hambatan tetapi merupakan harapan masa depan. Agar keunggulan
komparatif wilayah lahan kering dapat dikelola secara efisien, efektif dan
optimal serta dapat memberikan manfaat yang maksimal bagi
pengembangan ekonomi wilayah dan peningkatan kesejahteraan hidup
masyarakat, maka diperlukan strategi besar (grand strategy) baik jangka
pendek, menengah, maupun jangka panjang yang terencana, terarah
dan terprogram dalam payung besar pengembangan wilayah lahan
kering.

Optimalisasi pengelolaan lahan kering


Diperlukan upaya strategis dalam pengelolaan lahan kering agar dapat
dimanfaatkan untuk pengembangan tanaman pertanian secara optimal mengingat
beberapa kendala antara lain:
- Sebagian besar lahan kering tingkat kesuburannya rendah dan sumber
pengairan terbatas kecuali dari curah hujan yang distribusinya tidak bisa
dikendalikan sesuai dengan kebutuhan.
- Topografi umumnya tidak datar, berada di daerah lereng dan perbukitan,
memiliki tingkat erosi relatif tinggi yang berpotensi untuk menimbulkan
degradasi kesuburan lahan.
- Infra struktur ekonomi tidak sebaik di lahan sawah.

7
- Keterbatasan biofisik lahan, penguasaan lahan petani, dan infrastruktur
ekonomi menyebabkan teknologi usaha tani relatif mahal bagi petani lahan
kering.
- Kualitas lahan dan penerapan teknologi yang terbatas menyebabkan
variabilitas produksi pertanian lahan kering relatif tinggi.
Beberapa tindakan untuk menanggulangi faktor pembatas biofisik lahan,
diperlukan sentuhan inovasi teknologi guna meningkatkan produktivitasnya.
Teknologi pengelolaan lahan kering yang umum dilakukan meliputi: Tindakan
konservasi tanah dan air, pengelolaan kesuburan tanah
(pengapuran/pemberian kapur, pemupukan dan
penambahan bahan organik), Pemilihan jenis tanaman
pangan (tanaman berumur pendek tahan kekeringan
merupakan pilihan yang tepat pada wilayah beriklim
kering). Tindakan konservasi tanah dan air bertujuan untuk melindungi tanah
terhadap kerusakan yang ditimbulkan oleh butir-butir air hujan yang jatuh,
memperlambat aliran permukaan (run off), memperbesar kapasitas infiltrasi dan
memperbaiki aerasi serta memberikan penyediaan air bagi tanaman. Pada lahan
kering, tindakan konservasi lebih ditujukan pada upaya mengurangi erosi dan
kehilangan unsur hara. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan sebagai tindakan
konservasi, antara lain:
- Cara mekanik (pengolahan tanah, pengolahan tanah menurut kontur,
pembuatan guludan, terras dan tanggul),
- Cara vegetatif (penanaman tanaman yang dapat menutupi tanah secara terus
menerus, pola pergiliran tanaman, penanaman strip/alley cropping, sistem
penanaman agroforestry dan pemanfaatan sisa-sisa tanaman sebagai mulsa dan
bahan organik),
- Pemanfaatan agrokimia.
Cara mekanik seperti pengolahan tanah menurut kontur, pembuatan guludan,
terras terbukti berhasil di Cina Selatan, Bali (Indonesia), Nepal dan Hugo (Filipina),
namun dibutuhkan biaya mahal dan memakan waktu serta tenaga. Bahwa
pendekatan secara kombinasi antara cara mekanik dan vegetatif adalah yang umum
dilakukan karena lebih menguntungkan. Beberapa hasil penelitian yang berkaitan
dengan tindakan koservasi melalui cara vegetatif, seperti yang dilaporkan Haryati, et
al. (1995) bahwa budidaya lorong/alley cropping dapat menurunkan laju erosi
tanah sebesar 0,7 ton/ha/th dan aliran permukaan sebesar 1,51 m3/ha/th pada
musim ke VI penanaman dengan produksi jagung 0,73 ton/ha. Lal (1994)
menambahkan bahwa kemampuan budidaya lorong dalam menurunkan laju erosi
dan aliran permukaan terbukti lebih rendah dibanding sistem penanaman
agroforestry. Mengembalikan bahan organik dan sisa-sisa pangkasan ke dalam
tanah dapat memperbaiki sifat fisik tanah dan kimia tanah, serta mempertahankan
kandungan bahan organik tanah.
Hasil penelitian tentang pola pergiliran tanaman yang dilakukan International
Institut of Tropical Agriculture (IITA), Ibadan, Nigeria memberikan pengaruh besar
dalam memperbaiki kerusakan tanah. Penelitian Noeralam (2002) pada penerapan
pola tanam (kacang tanah-jagung-kedele) dengan teknik pemanenan air (rorak
bergulud + mulsa vertikal) dapat menurunkan aliran permukaan dan erosi tanah
masing-masing sekitar 88% dan 94% serta dapat memperbaiki kualitas tanah pada
lahan kering. Hasil penelitian lain yang menunjukkan tindakan konservasi, seperti

8
penggunaan sisa-sisa tanaman (jerami padi dan jagung) sebagai mulsa yang
disebarkan di atas permukaan tanah pada lahan pertanaman pangan menurunkan
laju erosi tanah 80-100% (Kurnia, et al. 1997).
Menurunnya produktivitas lahan kering, antara lain disebabkan karena terjadi
erosi terutama pada lahan yang dimanfaatkan untuk usaha tani tanaman semusim
seperti tanaman pangan tanpa tindakan konservasi. Budidaya tanaman pangan
semusim tanpa disertai konservasi tanah menyebabkan erosi berkisar 46−351
t/ha/tahun. Erosi bukan hanya mengangkut material tanah, tetapi juga unsur hara
dan bahan organik, baik yang terkandung di dalam tanah maupun yang berupa input
pertanian. Penerapan teknik konservasi mekanik sebaiknya dikombinasi dengan
teknik vegetatif, karena efektif dalam mengendalikan erosi dan lebih cepat diadopsi
petani. Pengaturan pola tanam dengan mengusahakan permukaan lahan selalu
tertutup oleh vegetasi dan/atau sisa-sisa tanaman atau serasah, juga berperan
penting dalam konservasi tanah. Pengaturan proporsi tanaman semusim dan
tahunan pada lahan kering juga penting; makin curam lereng sebaiknya makin tinggi
proporsi tanaman tahunan. Penelitian penggunaan mulsa sebagai tindakan
konservasi secara vegetatif ternyata dapat mencegah hilangnya unsur hara makro
N, P, dan K dan dilaporkan bahwa perbandingan jumlah unsur hara N, P, dan K
yang hilang akibat erosi tanah pada penggunaan mulsa jerami padi dan Mucuna sp,
berturut-turut sekitar 5,1% dan 26,8% dibandingkan perlakuan kontrol.
Pengelolaan kesuburan tanah (pemupukan, pengapuran dan penambahan
bahan organik). Pengelolaan Kesuburan tanah tidak terbatas pada peningkatan
kesuburan kimiawi, tetapi juga kesuburan fisik dan biologi tanah. Dapat diartikan
bahwa tindakan pengelolaan kesuburan tanah tidak cukup dilakukan hanya dengan
memberikan pupuk, tetapi juga perlu disertai dengan pemeliharaan sifat fisik tanah
sehingga tersedia lingkungan yang baik untuk pertumbuhan tanaman, dan
kehidupan organisme tanah. Pemupukan adalah salah satu teknologi pengelolaan
kesuburan tanah yang diharapkan dapat meningkatkan produktivitas tanah pada
level yang tinggi, namun penerapan input teknologi pertanian seperti penggunaan
pupuk kimia/anorganik dan pengapuran harus dilakukan secara tepat sesuai dengan
kebutuhannya (seimbang). Penggunaan pupuk anorganik yang tidak tepat (takaran
tidak seimbang) serta waktu pemberian dan penempatan pupuk yang salah, dapat
mengakibatkan kehilangan unsur hara sehingga respons tanaman menurun. Hara
yang tidak termanfaatkan tanaman juga dapat berubah menjadi bahan pencemar.
Penting penggunaan pupuk yang berimbang dan perlunya pemantauan status hara
tanah secara berkala.
Praktek penggunaan pupuk oleh petani pada lahan kering jarang yang dilakukan
secara intensif meskipun pada saat ini sudah dilakukan tetapi dengan takaran
rendah, namun perlu diwaspadai karena dalam jangka panjang dapat menimbulkan
ketidakseimbangan kandungan hara tanah sehingga menurunkan produktivitas
tanaman. Selain pemupukan, pengapuran/pemberian kapur juga penting dilakukan
untuk meningkatkan produktivitas lahan kering yang umumnya bersifat masam,
dengan tujuan untuk mengurangi keracunan aluminium (Al) dan meningkatkan
reaksi tanah/pH tanah. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa pengapuran dapat
memperbaiki sifat-sifat tanah dan meningkatkan produksi beberapa jenis tanaman.
Disarankan, pengapuran harus dilakukan secara berkala dan diikuti dengan
pemupukan N, P, K dan unsur hara lain tergantung kepada status hara yang ada di
dalam tanah. Penelitian yang dilakukan Purwanto (1998), menunjukkan bahwa
pemberian dolomit terbukti meningkatkan hasil kacang tanah di tanah Alfisol. Hasil
penelitian di daerah Kubang Ujo Jambi, menunjukkan bahwa penggunaan pupuk P

9
alam, pengapuran (2,0 ton CaCO3/ha) dan bahan organik (5,0 ton/ha) dapat
meningkatkan hasil tanaman kedele sebesar 95% dibandingkan kontrol.
Penerapan teknologi pemupukan organik juga sangat penting dalam pengelolaan
kesuburan tanah karena mengandung hara makro N, P, dan K dan hara mikro dalam
jumlah cukup yang sangat diperlukan pertumbuhan tanaman juga berfungsi sebagai
bahan pembenah tanah. Pupuk organik dapat bersumber dari sisa panen, pupuk
kandang, kompos atau sumber bahan organik lainnya. Bahan organik tanah itu
sendiri dapat diartikan semua bahan berasal dari tanaman atau hewan, baik masih
hidup atau sudah mati yang terdapat dalam tanah. Selain menyumbang hara yang
tidak terdapat dalam pupuk anorganik, seperti unsur hara mikro, pupuk organik juga
penting untuk memperbaiki sifat fisik dan biologi tanah. Bahan organik memiliki
peran penting dalam memperbaiki sifat kimia, fisik, dan biologi tanah. Meskipun
kontribusi unsur hara dari bahan organik tanah relatif rendah, peranannya cukup
penting karena selain unsur NPK, bahan organik juga merupakan sumber unsur
esensial lain seperti C, Zn, Cu, Mo,Ca, Mg, dan Si. Mengingat jumlah dan kualitas
bahan organik yang banyak dijumpai di lapangan, maka pemilihan terhadap bahan
organik yang digunakan perlu dipertimbangkan karena penggunaan bahan organik
dipandang sebagai yang paling sesuai dalam penerapan konsep teknologi masukan
rendah. Beberapa parameter penting yang dipakai dalam menentukan kualitas
bahan organik sebagai sumber pupuk organik, antara lain nisbah C/N rendah,
kandungan lignin, kandungan polifenol yang juga rendah, lebih efektif untuk
mereduksi Al dalam larutan tanah.
Pada umumnya lahan kering memiliki tingkat kesuburan tanah yang rendah,
terutama pada tanah-tanah yang tererosi, sehingga lapisan olah tanah menjadi tipis
dan kadar bahan organik rendah. Kondisi ini makin diperburuk dengan terbatasnya
penggunaan pupuk organik, terutama pada tanaman pangan semusim. Selain itu,
secara alami kadar bahan organik tanah di daerah tropis cepat menurun, mencapai
30−60% dalam waktu 10 tahun. Penelitian yang dilakukan Minardi (2006) pada
lahan kering di tanah Andisol, menunjukkan bahwa penggunaan bahan organik
Gliricida sepium, pupuk kandang dan jerami padi dengan dosis yang sama 10 ton/ha
pada tanaman jagung manis, ternyata hasil tertinggi jagung manis (ton/ha) didapat
pada penggunaan Gliricida sepium (8,40 ton/ha) > pupuk kandang (6,02 ton/ha) >
jerami padi (5,87 ton/ha). Kemampuan penggunaan bahan organik terhadap
perbedaan hasil jagung manis, lebih dipengaruhi oleh peran asam-asam organik
terutama asam humat dan fulvat yang berasal dari hasil dekomposisi bahan organik
terutama pada Gliricida sepium sehubungan dengan kemampuannya dalam
mengurangi aktivitas aluminium dalam tanah melalui penukaran anion organik
terhadap ion hidroksida aluminium, yang selanjutnya akan memberikan kontribusi
pada berkurangnya aktivitas aluminium dalam memfiksasi phosfat. Perubahan
peningkatan ketersediaan P akan berakibat pada peningkatan nilai serapan dan
konsentrasi phosfat jaringan tanaman, yang selanjutnya berpengaruh pada hasil
tanaman jagung manis, dalam hal ini berat tongkol per tanaman.
Pemanfaatan Agrokimia merupakan tindakan konservasi tanah dengan
menggunakan bahan/preparat kimia sintetis atau alami yang lebih ditujukan pada
perbaikan sifat-sifat tanah dan mengurangi erosi tanah. Ada beberapa jenis bahan
kimia yang dipakai sebagai soil conditioner seperti PVA, PAA, DAEMA, PAM dan
Emulsi bitumen yang sering digunakan untuk memperbaiki struktur tanah.
Pemanfaatan beberapa bahan kimia sintetis tersebut sudah mulai dirintis oleh
Puslitbangtanak untuk dicoba memperbaiki sifat fisik tanah pada Entisol, Ultisol,
Oxisol dan Alfisol. Penggunaan Polyacrilamide (PAM) pada tanah Alfisol dapat

10
menurunkan aliran permukaan (run off) sebesar 2-3 kali dibandingkan dengan tanpa
penggunaan PAM/kontrol. Hasil tersebut tidak jauh berbeda dengan penelitian yang
dilakukan Ginting (1975) di Jonggol yang menunjukkan bahwa penggunaan
Polyacrilamide (PAM) dapat menurunkan besarnya erosi tanah sekitar 11,85%
dibanding kontrol.
Pengelolaan lahan kering untuk pengembangan tanaman pertanian secara
kuantitatif memiliki potensi yang sangat penting tetapi secara kualitatif dihadapkan
pada permasalahan majemuk baik dari segi teknis maupun sosial ekonomi.
Sifat/karakteristik dan luasan lahan yang ada mengakibatkan pengelolaan usaha tani
lahan kering menjadi sangat beragam pada setiap wilayah. Berdasar data lahan
kering yang cukup luas dengan aneka ragam jenis komoditas yang diusahakan;
seharusnya menjadi peluang untuk dioptimalkan pengembangannya untuk pertanian
khususnya tanaman pangan. Dengan mengandalkan teknologi pengelolaan yang
tersedia, seperti pendekatan secara kombinasi antara tindakan konservasi diikuti
dengan intensifikasi usahatani merupakan satu pilihan yang lebih menguntungkan
karena dapat mengurangi resiko kegagalan panen. Contoh yang mungkin dapat
dikaji untuk dapat dikembangkan pada wilayah yang mempunyai permasalahan
yang sama adalah hasil penelitian yang dilakukan oleh P3HTA tentang pola
usahatani lahan kering. Diinformasikan bahwa pola tanam: jagung + kacang tanah
(atau kedele) + ubikayu, diikuti jagung + kedele (atau kacang hijau), dan diikuti
kacang tunggak lebih efisien dalam memanfaatkan sumberdaya pertanian dan lebih
produktif (BTP NTB, 2004). Dalam rangka penganekaragaman hasil usaha tani
(diversifikasi), petani disarankan menerapkan sistem tumpang sari tanaman jarak
pagar dengan tanaman pangan semusim lain seperti jagung, kacang tanah, kedele,
atau padi gogo. Dari segi konservasi tanah, tumpang sari membuat penutupan tanah
oleh daun lebih sempurna sehingga mengurangi terjadinya erosi. Tumpang sari akan
memperpendek musim paceklik. Selama petani belum dapat memetik hasil secara
optimal, petani mendapatkan hasil dari tanaman selanya. Tanaman tumpang sari
dapat digunakan untuk mencukupi kebutuhan makan rumah tangga hariannya.
Secara teknis budidaya sistem tumpang sari ini akan mengoptimalkan faktor
produksi (lahan dan sinar matahari).
Keuntungan menerapkan pola tanam tumpangsari (intercropping) atau multi
cropping adalah: mengurangi resiko kegagalan panen; peningkatan produksi secara
keseluruhan, penggunaan tenaga kerja lebih efisien dgn tersebar kegiatan
sepanjang tahun; efisiensi penggunaan tanah, air, dan sinar matahari sebagai
sumber daya alam; pengawetan kesuburan tanah dapat dipertahankan karena
adanya tanaman sepanjang tahun; pengendalian gulma (dengan pola tanam tidak
memberi kesempatan tumbuhnya gulma); memperbaiki gizi keluarga petani yang
diperoleh dari berbagai tanaman. Sebagian besar intensifikasi usahatani lahan
kering yang dilakukan oleh petani masih bersifat tradisional, artinya pemilihan jenis
tanaman dan pengaturan pola tanam yang melibatkan tanaman semusim dan
tanaman tahunan belum ditujukan untuk lebih dikembangkan secara produktif.
Usahatani tanaman pertanian bahan pangan seperti tanaman jagung, ubi kayu, ubi
jalar, kedele, kacang tanah, kacang hijau, dan beberapa jenis tanaman lain,
demikian juga tanaman sayuran seperti kacang panjang, terong, mentimun, cabai
merah, kangkung, kubis, dan bayam, sudah banyak dilakukan petani, namun
pengembangannya belum secara optimal. Upaya untuk lebih mengoptimalkan
usahatani lahan kering, dilakukan dengan mengatur pola tanam agar dapat
mengurangi resiko kegagalan panen, misalnya dengan pola tumpangsari atau
tumpang gilir, memilih tanaman yang toleran terhadap cekaman lingkungan biotik

11
dan abiotik pada lokasi tertentu, sehingga akan memperbesar peluang panen dan
mengatur perubahan cara tanam, cara pengolahan tanah dan waktu tanam.
Beberapa hal penting yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan jenis
tanaman agar optimalisasi pengembangan pertanian tanaman pangan dapat
berhasil, antara lain:
a) memilih jenis tanaman yang sesuai dengan kondisi agroklimat setempat,
b) memilih jenis tanaman yang sesuai dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat
(tanaman disenangi petani, teknologinya mudah, tidak memerlukan masukan
tinggi, sesuai dengan ketersediaan tenaga kerja),
c) sejalan dengan kebijakan pemerintah daerah setempat,
d) mendukung usaha konservasi tanah dan air.
Ke depan, yang harus dilakukan adalah melibatkan peran serta petani
(sebagai pelaku aktif) dan masyarakat pedesaan dalam meningkatkan dan
mengembangkan lahan kering yang ada secara optimal dan lestari dengan
memanfaatkan pilihan teknologi yang benar untuk meningkatkan produktivitas
pertanian, pendapatan petani, dan kesejahteraan masyarakat. Menggunakan
teknologi yang murah, sederhana, dan efektif dalam rangka optimalisasi
pengembangan lahan kering perlu mendapat perhatian yang lebih besar. Seperti
teknologi pengelolaan padi gaga dan palawija sebagai bagian dari sistem usaha tani
(farming system) yang dipilih harus disesuaikan dengan kondisi spesifik lokasi.
Namun, pada kenyataannya sering menjadi kendala yang menentukan tingkat
efektivitas penyampaian teknologi pengelolaan yang ada, karena akses penyuluh
apalagi petani relatif terbatas. Oleh karena itu, diperlukan tindakan yang secara
langsung lebih mendekatkan sumber teknologi dengan petani sebagai calon
pengguna teknologi.

Agroekosistem Lahan Kering


Lahan kering adalah bagian dari ekosistem teresterial yang luasnya relatif luas dibandingkan
dengan lahan basah. Lahan kering adalah hamparan lahan yang tidak pernah digenangi air atau
tergenang air pada sebagian waktu selama setahun. Lahan kering secara keseluruhan memiliki luas
lebih kurang 70%. Pada saat ini pemanfaatan lahan kering untuk keperluan pertanian baik tanaman
semusim maupun tanaman tahunan/perkebunan sudah sangat berkembang.
Sejak akhir abad ke 19, perkembangan pertanian lahan kering khususnya di pulau Jawa
dirasakan sangat pesat dan sampai saat ini sudah menyebar ke luar pulau Jawa. Hal ini terjadi akibat
ketersediaan lahan basah di dataran rendah bagi kebanyakan petani yang memanfaatkannya
sebagai lahan pertanian pangan semakin berkurang. Sebagian lagi penyusutan lahan basah
didataran rendah akibat konversi lahan menjadi lahan non pertanian yang tidak terkendali. Lahan
kering dapat dibagi dalam dua golongan yaitu:
 lahan kering dataran rendah yang berada pada ketinggian antara 0-700 meter dpl dan
 lahan kering dataran tinggi barada pada ketinggi diatas 700 meter dpl.
Lahan kering di Indonesia kesuburan rendah, lahan dengan tanah retak-retak, lahan dengan
tanah dangkal dan lahan dengan perbukitan. Relief tanah ikut menentukan mudah dan tidaknya
pengelolaan lahan kering. Relief tanah sangat ditentukan oleh kelerengan dan perbedaan
ketinggian. Ditinjau dari bentuk, kesuburan dan sifat fisik lainnya, pengelolaan lahan kering relatif
lebih berat dibandingkan dengan lahan basah (sawah). Hingga saat ini perhatian berbagai pihak
terhadap pengelolaan lahan kering secara berkelanjutan relatif rendah dibandingkan dengan
pengelolaan lahan sawah dataran rendah. Pemanfaatan lahan kering di daerah perbukitan dan
pegunungan untuk pertanian semusim untuk menghasilkan bahan pangan banyak dijumpai dan
dilakukan penduduk yang bermukim di pedesaan. Dengan pemanfaatan lahan kering di pegunungan
dan perbukitan secara terus menerus tanpa memperhatikan kaidah konservasi akan menyebabkan
terjadinya erosi dan penurunan kesuburan yang berat. Di negara sedang berkembang termasuk

12
Indonesia, kerusakan lahan ini umumnya bermuara pada merebaknya kemiskinan dan
kelaparan. Sedangkan secara ekologi akan mengganggu keseimbangan ekosistim terjadi penurunan
kekayaan hayati yang berat.
Agroekosistem merupakan ekosistem yang dimodifikasi dan dimanfaatkan secara langsung
atau tidak langsung oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan akan pangan dan atau sandang.
Karakteristik esensial dari suatu agroekosistem terdiri dari empat sifat utama yaitu produktivitas
(productivity), kestabilan (stability), keberlanjutan (sustainability) dan kemerataan (equitability). Untuk
mencapai tujuannya, kriteria yang digunakan untuk menentukan karakteristik agroekosistem meliputi
ekosistem, ekonomi, sosial, dan teknologi yang digunakan dalam budidaya. Salah satu
agroekosistem yang ada, terutama dimanfaatkan dalam konservasi adalah sistem agroforestri.
Manajemen agroekosistem adalah kegiatan mengelola ekosistem pada lahan pertanian sedemikian
rupa sehingga seperti keadaan yang alamiah dan berkelanjutan, keadaan seperti ini diupayakan oleh
manusia. Manajemen agroekosistem meliputi tiga aspek, yaitu aspek Hama Penyakit Tanaman,
aspek Tanah dan aspek Budidaya Pertanian. Ketiga aspek tersebut sangat berhubungan erat satu
sama lain dan juga saling mempengaruhi. Para pakar lingkungan di Indonesia membagi
Agroekosistem lahan kering kedalam beberapa kategori berdasarkan iklim, ketinggian tempat dari
permukaan laut dan jenis tanah dengan ketentuan sebagai berikut:
Berdasarkan Iklim.
1. Lahan kering iklim basah (LKIB) yaitu daerah yang memiliki curah hujan diatas 2500 mm/tahun.
2. Lahan kering iklim kering (LKIK) yaitu daerah yang memiliki curah hujan dibawah 2000
mm/tahun.
Berdasarkan ketinggian tempat.
1. Lahan kering dataran tinggi (LKDT) yaitu daerah yang berada pada ketinggian diatas 700 meter
dpl.
2. Lahan kering dataran rendah (LKDR) yaitu daerah yang berada pada ketinggian 0-700 meter
dpl.
Berdasarkan Jenis tanah.
1. Oxisol, merupakan tanah-tanah yang telah mengalami perkembangan sangat lanjut,
penampang tanahnya dalam, bertektur liat sampai liat berat, porositasnya tergolong tinggi, daya
menahan air kecil dan didominasi mineral liat kaolinit, oksida besi dan alumunium. Tanah ini
relatif resisten terhadap erosi.
2. Inceptisol, tanah ini tergolong masih muda dan sifat tanahnya bervariasi, tergantung bahan
induknya (tekstur halus dari pasir halus berlempung, sangat masam sampai netral). Termasuk
kedalam jenis-jenis utama lahan pertanian lahan kering.
3. Ultisol, tanah memiliki kejenuhan basa kecil dari 35% pada kedalaman 125 cm. Tanah ini telah
mengalami pelapukan lanjut dan terjadi tranlokasi liat pada bahan induk yang umumnya terdiri
atas bahan kaya alumunium-silika dengan iklim basah.
4. Andisol. Tanah andisol mempunyai sifat- sifat andik dengan bahan induk berupa abu volkan
yang kaya gelas volkan dan mineral mudah lapuk. Sifat-sifatnya antara lain berat isi ringan, kaya
bahan organik, kaya gelas volkan yang mengandung mineral amorf (alofan), mempunyai sifat
tidak balik terhadap kekeringan, daya menahan airnya tinggi sekali dan resisten terhadap
erosi. Tekstur tanah bervariasi dari berliat sampai berlempung kasar. Reaksi tanah umumnya
agak masam.
Pengelolaan lahan pertanian khususnya lahan kering yang lestari dan berkelanjutan
memerlukan penanganan yang profesional dan mengikuti kaidah lingkungan. Pengelolaan lahan
pertanian berkelanjutan memiliki lima pilar penyangga, yaitu produktifitas, keamanan, proteksi,
viabilitas dan akseptibilitas. Pada lahan miring dengan kemiringan diatas 15% apabila tanah tidak
dikelola dengan baik/ditanami, maka sangat rentan terhadap terjadinya erosi diwaktu hujan. Hal ini
terjadi karena tanah tidak mampu meresapkan air hujan kedalam tanah, sehingga terjadi aliran
permukaan (run of) yang menghanyutkan butiran-butiran tanah sehingga tanah menjadi tidak subur.
Akibat erosi yang terjadi selama musim hujan tidak hanya menghanyutkan butiran-butiran tanah akan
tetapi juga menghanyutkan pupuk dan kompos yang diberikan ketanah juga ikut hanyut sehingga
tanah menjadi kurus, oleh sebab itu, erosi harus dicegah sedini mungkin. Dampak dari terjaninya
erosi ini adalah di daerah bagian bawah terjadinya pendangkalan pada daerah aliran sungai (DAS)
yang berakibat terjadinya gangguan keseimbangan ekosistim air setempat.
Erosi adalah sebagai akibat dari penggarapan lahan yang tidak tepat maka untuk
penggunaan lahan harus menerapkan teknik konservasi. Erosi menyebabkan berkurangnya lapisan
perakaran efektif, ketersediaan air untuk tanaman, cadangan hara, bahan orgnik dan rusaknya
struktur tanah. Masalah utama yang dihadapi pada lahan kering beriklim basah bergelombang antara
lain mudah tererosi, bereaksi masam, miskin akan hara makro esensial dan tingkat keracunan

13
aluminium yang tinggi. Daerah tropis merupakan medan dimana bertemunya dua kepentingan, yang
pertama kegiatan untuk mencapai dan mempertahankan swasembada pangan sedang yang kedua
adalah usaha pelestarian lingkungan. Mengingat lahan merupakan sumber daya yang terbatas dan
tidak dapat diperbarui, maka untuk memenuhi kebutuhan pangan tidak ada pilihan lain selain
mengembalikan kesuburan lahan yang sudah tererosi.

Upaya Pengelolaan
Pengelolaan agroekosistem lahan kering dipandang sebagai bagian dari pengelolaan
ekosistem sumberdaya alam oleh masyarakat petani yang menempati areal dimana mereka
menetap. Masyarakat petani menanami lahan pertanian dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan
hidup keluarganya dapat dikatakan sebagai bagian dari pengelolaan agroekosistem lahan kering di
daerahnya. Pengelolaan agroekosistem lahan kering merupakan bagian dari interaksi atau kerja
sama masyarakat dengan agroekosistem sumberdaya alam. Pengelolaan agroekosistem lahan
kering merupakan usaha atau upaya masyarakat pedesaan dalam mengubah atau memodifikasi
ekosistem sumberdaya alam agar bisa diperoleh manfaat yang maksimal dengan mengusahakan
kontinuitas produksinya. Komoditas yang diusahatan disesuaikan dengan kondisi setempat dan
manfaat ekonomi termasuk pemasaran. Dalam pembangunan pertanian berkelanjutan, pengelolaan
agroekosistem lahan kering dapat dipandang sebagai upaya memperbaiki dan memperbaharui
sumberdaya alam yang bisa dipulihkan (renewable resourses). Dalam pemanfaatan sumberdaya
lahan kering untuk pertanian berkelanjutan memerlukan pendekatan lingkungan dan mengikuti kaidah
pelestarian lingkungan.

1. Konservasi
Salah satu upaya penanganan kerusakan lahan akibat ekplorasi adalah dengan menerapkan
sistem budidaya lorong dalam pengembangan sistem usahatani lahan kering, karena sistem ini
memberikan banyak keuntungan diantaranya dapat menekan terjadinya erosi, meningkatkan
produktivitas tanah karena adanya penambahan bahan organik melalui hasil pangkasan tanaman
pagar, dapat meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman serta dapat menciptakan kondisi
iklim mikro (suhu) diantara lorong tanaman. Pemberian bahan hijauan sebagai mulsa yang berasal
dari pangkasan tanaman legume yang dipangkas pada umur 1,5–2 bulan sekali dapat meningkatkan
kadar bahan organik tanah dan ketersediaan air, memperbaiki sifat fisik tanah, dan meningkatkan
produksi. Sistem bertanam lorong dapat mencegah erosi secara ganda yaitu dengan mulsa hasil
pangkasan dan pengurangan laju aliran permukaan. Hasil pengkajian Basri dkk,. (2001) dengan
penerapan sistim budidaya lorong menunjukkan bahwa dengan adanya barisan tanaman penyangga
erosi rumput raja (King grass) yang ditanam sejajar dengan garis kontur secara efektif dapat
mengurangi laju erosi. Selanjutnya dari hasil pangkasan king grass yang dilaksanakan setiap bulan
dapat menghasilkan 0,5 ton bahan hijauan yang dapat diberikan untuk sapi selama 20 hari. Dari
luasan plot seluas 1 ha akan dihasilkan 1 ton bahan hijauan yang dapat digunakan untuk pakan
sapi. Pada pengkajian tahun berikutnya (tahun kedua) teras sudah mulai terbentuk sebagai akibat
penanaman teras vegetatif dengan tanaman rumput raja. Dengan terbentuknya teras maka pada
lahan miring ini sudah terbentuk lahan usahatani yang representatif untuk berbagai jenis tanaman
baik tanaman pangan maupun tanaman perkebunan yang sesuai dengan kondisi setempat dan
menekan terjadinya erosi diwaktu hujan. Dengan terbentuknya teras secara bertahap sampai
menjadi permanen, disamping menjaga kelestarian lahan juga menyebabkan produktifitas lahan
akan lebih baik. Teknologi konservasi lainnya yang diterapkan adalah paket teknologi untuk
pertanaman kopi muda di perkebunan rakyat. Paket ini secara fisik dan ekonomis dapat diterapkan
ditingkat petani dengan efisiensi yang lebih baik. Dengan diterapkannya paket konservasi sistem
vegetatif pada pertanaman kopi rakyat sangat bermanfaat bagi petani dalam hal: (a). Lahan usaha
mereka dapat dikelola secara berkelanjutan karena kesuburan lahan dapat dipertahankan; (b).
produktivitas tanaman dapat dipertahankan atau ditingkatkan; (c). hasil tanaman dapat ditingkatkan;
(d). pendapatan rumah tangga petani meningkat (e) Kelestarian lingkungan pada lahan miring dapat
dipertahankan.

2. Pengaturan pola tanam.


Lahan kering yang murni hanya mengandalkan ketersediaan air dari curah hujan dalam
proses produksi pertanian, dimana pengaturan sistim pertanaman diatur dalam bentuk tumpang sari
menggunakan tanaman dengan umur panen yang berbeda dan dalam pertumbuhannya tidak banyak

14
memerlukan air dan merupakan salah satu alternatif untuk memecahkan masalah keterbatasan air.
Lahan kering pada umumnya rawan terhadap erosi baik oleh air maupun oleh angin. Salah satu
alternatif teknologi untuk mengatasi erosi yaitu menggunakan sistim pertanaman lorong. Fungsi
lainnya dari pertanaman lorong adalah untuk menciptakan iklim mikro di lahan kering iklim kering dan
tanaman yang digunakan disesuaikan dengan tanaman yang biasa ditanam petani dan tentunya
memiliki pangsa pasar. Dengan mengkombinasikan beberapa tanaman pangan ubi kayu, jagung,
kacang tanah, kedelai dan kacang hijau yang disusun dalam suatu pertanaman tumpang sari dapat
memberikan keuntungan dan dapat memberikan kestabilan cukup baik dalam menghadapi
keterbatasan curah hujan. Dibidang ekonomi mampu memberikan kesinambungan pendapatan
selama satu tahun kepada petani.

3. Embung
Pembuatan embung dan penerapannya di lahan kering bagi petani sudah banyak dilakukan
khususnya di Indonesia bagiagian timur yang memiliki iklim kering dengan keterbatasan air. Hasil
penelitian Wisnu dkk ( 2005) di beberapa Desa di Lombok Timur dengan komoditi tembakau pada
musim kering I (MK I) memperlihatkan bahwa dengan penerapan/pemanfaatan embung sebagai
sumber air yang dicampur dengan dengan pupuk (ngecor) maka penggunaan air menjadi lebih
efisien dan biaya tenaga kerja dapat ditekan karena penyiraman dan pemupukan dilakukan secara
bersamaan.

4. Pemakaian pupuk organik.


Limbah pertanian adalah bagian atau sisa produksi pertanian yang tidak dapat dimanfaatkan
secara langsung. Limbah ini apabila telah mengalami proses dekomposisi banyak mengandung
unsur hara yang diperlukan bagi pertumbuhan tanaman. Apabila tanaman mati, maka selanjutnya
terjadi proses dekomposisi akibat aktifitas mikroorganisme dengan hasil akhir berupa humus.
Kandungan hara setiap sisa tanaman berbeda-beda.

Lahan kering merupakan salah satu agroekosistem yang memiliki potensi besar untuk usaha
pertanian, baik tanaman pangan, sayuran, buah-buahan, maupun tanaman tahunan dan peternakan
(Mulyani, 2006). Namun demikian, apabila lahan digunakan untuk budidaya pertanian termasuk
budidaya tanaman perkebunan, dan dilakukan tanpa pengelolaan yang tepat dan benar, maka
kesuburan tanahnya akan terus berkurang, dan lambat laun lahannya akan menjadi kritis (Dwiratna et
al., 2013). Potensi besar pada sektor pertanian bisa menunjang perekonomian bangsa jika komoditas
pertanian bisa ditingkatkan dan dikelola dengan baik. Selain untuk menunjang perekonomian bangsa,
pentingnya penyediaan komoditas pertanian ini dalam rangka peningkatan perekonomian dan
kesejahteraan petani maupun masyarakat pada umumnya.

Perluasan lahan pertanian, transmigrasi, reforma agraria, dan sebagainya telah ditempuh. Akan tetapi
secara empiris ternyata sampai saat ini tujuan untuk menciptakan besaran dan struktur penguasaan
lahan pertanian yang kondusif untuk menunjang pencapaian tujuan pembangunan pertanian belum
sesuai dengan yang diharapkan (Susilowati & Maulana, 2012). Namun semua itu akan mustahil jika
tidak diperhatikan dengan baik dan tanpa adanya kerjasama semua pihak, antara pemerintah
bersama kelompok tani maupun masyarakat setempat.

Dengan memperhatikan kondisi lahan, curah hujan, dan irigasi, pemerintah perlu memberlakukan
kebijakan dalam mengatur pola tanam dan menentukan jenis tanaman yang mempunyai nilai
ekonomi tinggi. Kualitas bibit yang baik di persemaian sangat ditentukan kualiatas benih, media
persemaian, penggunaan inang primer (inang jangka pendek) dan pemeliharaan semai, pengaturan
cahaya, penyiraman dan pemangkasan inang (Setiawan, 2009). Dengan demikian, jika hasil
pertanian bernilai ekonomi yang tinggi, maka dapat memberikan kesempatan kerja bagi masyarakat
dan meningkatkan pendapatan petani. Terutama dalam hal peningkatan komoditas pertanian,
dipandang sangat penting, sebab hal ini menyangkut kebutuhan dasar bagi masyarakat petani.
Pandangan tersebut mengindikasikan kuatnya tantangan peningkatan produksi dan kesejahteraan
petani di pedesaan (Surata & Idris, 2001). Terlebih di daerah-daerah yang memiliki intensitas hujan
rendah dan rawan kekeringan. Sebagian besar (lebih dari 75%) penduduk desa bekerja di pertanian
(Pranadji, 2016). Tanaman pangan seperti padi, jagung, dan tanaman tumpang sari lainnya
merupakan kebutuhan mendasar yang harus dipenuhi seiring rawannya bencana alam dan rentan
kekeringan.

15
Pertanyaan:
1. Buat defenisi menurut anda, apa itu lahan kering?
2. Beri penjelasan, apa perbedaan utama antara pertanian lahan basah dan
pertanian lahan kering? Jelaskan secara singkat apa kendala pengelolaan lahan
kering dibanding dengan lahan basah.
3. Jelaskan apa-apa saja kendala dalam pengelolaan lahan kering di Indonesia
4. Jelaskan apa tindakan untuk menanggulangi faktor pembatas biofisik lahan
kering.
5. Indeks kekeringan yang umum digunakan antara lain: Standardized Precipitation
Index (SPI), Palmer Drought Severity Index (PSDI), Crop Moisture Index (CMI),
dan Surface Water Supply Index (SWSI). Beri penjelasan mengenai indeks-
indeks tersebut.
6. Cari dari literature mengenai gambaran umum luas lahan kering di NTT, beri
penjelasan.
7. Beri penjelasan, apa hambatan umum dalam pemanfaatan lahan kering untuk
kegiatan budidaya pertanian?
8. Jelaskan apa yang dimaksud alley cropping,
9. Jelaskan apa yang dimaksud dengan Agroekosistem
10. Sebutkan dan jelaskan jenis-jenis lahan kering berdasarkan Jenis tanahnya.

16

Anda mungkin juga menyukai