Anda di halaman 1dari 8

KENDALA DAN STRATEGI PENGEMBANGAN LAHAN KERING

UNTUK BUDIDAYA PERTANIAN

Anas Baihaqi
Mahasiswa Magister Pengelolaan Sumberdaya Lahan Kering
Universitas Mataram
email : baihaqianas89@gmail.com

ABSTRAK
Dari berbagai pendefinisian dan pembahasan dari para ahli, istilah lahan kering dapat
didefinisikan sebagai suatu lahanyang tidak pernah digenangi air atau tidak digenangi
air pada sebagian besar waktu dalam setahun.Indonesia memiliki wilayah lahan kering
yang sangat luas yaitu seluas 148 juta ha atau 78% dari luas Indonesia. 25,33 juta ha
dari lahan tersebut sangat potensial untuk pengembangan usaha pertanian, namun
12,9 juta ha belum dapat dikelola secara intensif. Hal ini tidak luput dari banyaknya
kendala yang dialami khususnya dari aspek ekologi. Tulisan ini menyajikan aspek
ekologiapa saja yang menjadi kendala di dalam usaha pengembangan lahan
kering,serta strategi-strategi yang pernah diaplikasikan untuk mengembangkannya.

Kata Kunci :lahan kering, ekologi, kendala, strategi

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pengertian dan batasan dimana suatu lahan dapat dikatakan sebagai lahan kering,
masih belum dapat disepakati dan didefinisikan dengan baik. Hal ini disebabkan oleh
perbedaan sudut pandang dari masing-masing pihak yang biasa berkecimpung di
dalamnya. Sebagaimana yang dikutip oleh Notohadiprawiro, T. (1989), hal yang sama
terjadi pula dengan penerjemahan istilah „lahan kering‟ ke dalam bahasa Inggris yang
juga mengalami perbedaan istilah. Ada yang menerjemahkannya sebagai upland,
dryland atau unirrigated land,dimana istilah dryland dan unirrigated land ini
mengisyaratkan penggunaan lahan untuk kegiatan pertanian yang sangat tergantung
oleh air hujan / sawah tadah hujan.

Beberapa definisi lahan kering yang telah dikemukakan oleh beberapa pihak antara
lain oleh Notohadiprawiro, T. dan Suwardji dalam As-Syakur A. (Maret, 2007). Dimana
yang dimaksud sebagai lahan kering adalah ; (1) sebuah wilayah yang memiliki
jumlah evaporasi potensial melebihi jumlah curah hujannya. Atau dapat didefinisikan
pula sebagai daerah yang jumlah curah hujannya tidak mencukupi untuk usaha
pertanian tanpa adanya irigasi, (2) lahan di dataran tinggi dengan draenase alamiah
lancar dan bukan merupakan daerah dataran banjir, rawa, lahan dengan air tanah
dangkal, atau lahan basah alamiah lain istilahnya lahan atasan atau Upland, (3) lahan
pertanian yang diusahakan tanpa penggenangan.Dari tiga pengertian di atas,
disepakatibahwa lahan kering adalah hamparan lahan yang didayagunakan tanpa
penggenangan air, baik secara permanen maupun musiman dengan sumber air
berupa hujan atau air irigasi (As-Syakur, 2007). Namun dari pengertian tersebut,
berkembang pula istilah “Lahan Kering Masam”. Yang dimaksud lahan kering masam
adalah lahan yang didayagunakan tanpa penggenangan di wilayah berilklim basah.
Disebut “masam” dikarenakan oleh rendahnya pH tanah (< 5,5) dan tingginya kadar
Aluminium di dalam tanah yang dapat meracuni tanaman(Mulyani, A., 2006).
Tingginya curah hujan pada lahan kering masam berada pada nilai > 2000 mm/tahun
dengan bulan basah > 6 bulan (Nurida, N. dan Rachman, A., 2012).

Ditinjau dari berbagai definisi tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa lahan kering
tidak selalu memiliki keterbatasan dari faktor rendahnya curah hujan saja. Sebab ada
pula daerah beriklim basah yang juga disebut sebagai lahan kering. Sehingga
pendefinisian lahan kering dispesifikkan hanya pada lahan yang tidak pernah
digenangi air atautidak digenangi air pada sebagian besar waktu dalam setahun
(Idjudin, A. A., dan Marwanto, S., 2008), tidak memandang apakah lahan tersebut
beriklim kering ataukah beriklim basah. Lahan kering adalah lahan yang tidak
produktif. Karena dengan kondisinya ini, hampir tidak ada tanaman semusim
khususnya tanaman pangan yang dapat dibudidayakan pada lahan kering.

Indonesia merupakan negara yang memiliki lahan kering yang sangat luas. Lahan
kering Indonesia memiliki potensi yang sangat tinggi untuk pembangunan pertanian.
Namun umumnya produktifitasnya rendah kecuali pada tanaman tahunan
(Syam, A., 2003). Luas lahan kering di Indonesia adalah 148 juta ha dimana luasan ini
meliputi 78% luas wilayah Indonesia. Sementara itu lahan basah Indonesia hanya
meliputi 22% wilayah dengan luas 40,2 juta ha. Dari148 juta ha lahan kering tersebut
hanya sekitar 76,22 ha (52%), sebagian besar berupa dataran rendah dengan luasan
sekitar 70,71 juta ha atau 93%, dan sisanya adalah dataran tinggi. Di wilayah lahan
kering dataran rendah, yang sesuai untuk pertanian tanaman pangan hanya sekitar
23,26 juta ha, sedangkan di dataran tinggi hanya sekitar 2,07 juta ha(Abdurachman,
A., Dariah, A., & Mulyani, A., 2008). Dari 25,33 juta ha lahan kering potensial yang
dapat diusahakan untuk industri pertanian tanaman pangan tersebut, 12,9 juta ha
belum dikelola secara intensif (Idjudin, A. A., & Marwanto, S., 2008).
Idjudin, A. A., dan Marwanto, S. (2008) kembali menegaskan bahwa, minimnya
sumberdaya dan banyaknya faktor pembatas untuk pengelolaan lahan kering adalah
permasalahan yang sangat serius dan sangat perlu untuk diselesaikan. Karena saat
ini lahan kering sangat diharapkanuntuk mampu mendukung pemantapan ketahanan
pangan nasional mengingat jumlah penduduk Indonesia yang semakin meningkat
(1,34% pertahun). Namun sayangnya, di saat lahan kering belum dapat
termanfaatkan dengan baik untuk kegiatan pertanian, lahan produktif berupa sawah
justru banyak yang teralihfungsikan menjadi penggunaan lahan non sawah hingga
mencapai 1,6 juta ha dalam kurun waktu 1981-1999. Sementara itu di pihak lain
terdapat pula masalah berupa perubahan pola konsumsi penduduk dari non beras ke
beras, terjadi peningkatan konversi lahan sawah irigasi untuk kepentingan non
pertanian, dan tingkat produktivitas padi sawah mengalami pelandaian (levelling off).
Namun banyak kendala yang membatasi pendayagunaan lahan kering di Indonesia,
sehingga sampai saat ini pemanfaatan lahan kering untuk kepentingan pertanian
masih belum signifikan. Kendala-kendala ini meliputi beberapa sisi, salah satunya
adalah kendala dari sisi ekologis dengan berbagai strategi pengembangannya.

B. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan dari paper ini adalah untuk mengetahui kendala-kendala yang
menghambat di dalam proses pendayagunaan lahan kering dari sisi ekologis, dan
strategi pengembangannya untuk memperbaiki kualitas lahan agar dapat diusahakan
untuk kegiatan pertanian.

II. PEMBAHASAN
Kendala dari sisi ekologi adalah faktor-faktor pembatas yang dimiliki lingkungan di
sekitar pertanaman yang dapat mempengaruhi keberlangsungan budidaya
pertanaman. Dimana kendala-kendala yang dimaksud dapat menghambat
pertumbuhan tanaman budidaya karena banyaknya unsur-unsur yang dibutuhkan
tanaman yang tidak tersedia di lingkungannya.

A. Ketersediaan Air
1. Kendala
Permasalahan utama pada daerah lahan kering adalah ketersediaan air yang
minim. Kebutuhan air untuk usahatani umumnya hanya bergantung
kepadaketersediaan air dari sumber air curah hujan. Sebagian besar lahan kering
di Indonesia beriklim basah dengan jumlah curah hujan tahunan yang tinggi yang
sering diistilahkan sebagai lahan kering masam. Jika ditinjau dari tingginya curah
hujan, seharusnya lahan kering berklim basah ini dapat dikembangkan untuk
kegiatan budidaya pertanian. Namun demikian, meskipun rata-rata curah hujan
tahunan pada pada lahan kering beriklim basah tergolong tinggi(>1.500 mm/th),
kejadian hujan yang tidak merata sepanjang tahun dan sering bersifat eratik (tidak
menentu) kerap terjadi, apalagi dengan terjadinya perubahan iklim. Perubahan
iklim ini membuat kondisi rata-rata cuaca menjadi tidak menentu.
Adanya perubahan iklim ini diindikasikan oleh mulai meningkatnya frekuensi
kejadian-kejadian hujan ekstrim (tinggi) dengan sebaran curah hujan yang tidak
merata di berbagai wilayah di Indonesia. Kejadian curhah hujan ekstrim yang tidak
merata ini mengakibatkan air hujan mengerosi tanah dalam bentuk runoff tanpa
sempat mengalami infiltrasi dan perkolasi ke dalam tanah. Pada akhirnya air hujan
dalam jumlah besar tersebut tidak dapat dimanfaatkan karena segera terbuang ke
sungai dan ke laut (Dariah, A., & Las, I., 2010).

2. Strategi Pengembangan
Strategi pengembangan yang dapat dilakukan untuk mengatasi keterbatasan air di
lahan kering adalah dengan melakukan konservasi air. Konservasi air merupakan
tindakan yang diperlukan untuk melestarikan sumberdaya air. Tindakan ini
diarahkan untuk mengusahakan pengurangan runoff dan peningkatan cadangan air
pada zona perakaran tanaman baik musiman maupun tanaman tahunan. Langkah
yang diambil dapat berupa pemanenan air permukaan dan mengurangi evaporasi
(Subagyono, dkk., 2004)

a. Teknik Pemanenan Air


Pemanenan air (water harvesting) adalah tindakan menampung air hujan dan aliran
permukaan untuk disalurkan ke tempat penampungan sementara dan atau tetap
(permanen) yang sewaktu-waktu dapat digunakan untuk mengairi tanaman yang
diusahakan pada saat diperlukan. Teknologi panen air selain berfungsi
menyediakan sumber air irigasi pada MK dapat pula berfungsi mengurangi banjir
pada MH. Panen air hujan dan aliran permukaan ditujukan untuk (1) menurunkan
volume aliran permukaan dan meningkatkan cadangan air tanah; (2) meningkatkan
ketersediaan air tanaman terutama pada MK; dan (3) mengurangi kecepatan aliran
permukaan sehingga daya kikis dan daya angkutnya menurun.
Penerapan teknologi pemanenan air dapat memberikan beberapa keuntungan,
antara lain (1) meningkatkan ketersediaan air bagi manusia, tanaman dan ternak;
(2) meningkatkan intensitas tanam, produksi, pendapatan petani, dan produktivitas
tenaga kerja petani; (3) mengurangi dan mencegah bahaya banjir dan sedimentasi;
dan (4) menampung hasil sedimentasi yang dapat dikembalikan ke lahan usaha
tani. Sedangkan kerugian dalam menerapkan teknologi ini adalah (1) memerlukan
tenaga kerja dan biaya untuk pembangunan serta pemeliharaan rutin; (2)
mengurangi luas lahan budi daya karena sebagian digunakan untuk pembuatan
bangunan; dan (3) memerlukan kerjasama di antara petani untuk pembuatan
bangunan dan saluran pembuangan air (SPA).
Beberapa teknik konservasi air yang dapat diterapkan dalam upaya pemanenan air
hujan dan aliran permukaan adalah pembuatan saluran peresapan, rorak, mulsa
vertikal, embung, dan sistem drainase. (Subagyono, dkk., 2004).

b. Pengendalian Penguapan (Evaporasi)


Salah satu teknik pengendalian penguapan (Evaporasi) adalah pengaplikasian
mulsa. Mulsa adalah bahan-bahan (sisa-sisa panen, plastik dan lain-lain) yang
disebar atau digunakan untuk menutup permukaan tanah. Dari segi konservasi air,
mulsa digunakan untuk mengurangi penguapan (evaporasi), melindungi tanah dari
pukulan langsung butir-butir hujan, sehingga mengurangikepadatan tanah, dan
kapasitas infitrasi menjadi lebih besar. Mulsa dapat disediakan di areal pengelolaan
maupun didatangkan dari luar lahan pengelolaan berupa sisa-sisa panen, hasil
pangkasan tanaman, plastik dan lain-lain. Pemberian mulsa yang bahannya dari
luar lahan pengelolaan lebih sulit diterapkan, karena memerlukan tenaga untuk
mengumpulkan dan mengangkut bahan organik tersebut.

B. Kesuburan Tanah
1. Kendala
Lahan kering di Indonesia umumnya memiliki kesuburan dan kesesuaian tanah
yang rendah. Kurangnya kesuburan tanah yang dimaksud adalah miskinnya kadar
organik di dalam tanah karena sedikitnya organisme yang hidup, mati dan terurai
ke dalam tanah. Dengan demikian keberadaan unsur makro N, S dan P juga
sangat terbatas. Kalaupun ada, unsur-unsur tersebut umumnya hanya didapati
pada lapisan tanah atas (top soil) yang sangat tipis. Karena tipisnya lapisan
tersebut, maka unsur-unsur hara tanah yang bermanfaat bagi tanaman ini rentan
tercuci dengan limpasan air hujan, dipaksa masuk melalui proses perkolasi atau
terbawa ke tempat yang lebih rendah bersama air hujan. Bahan organik memiliki
peran penting dalam memperbaiki sifat kimia, fisik, dan biologi tanah. Meskipun
kontribusi unsur hara dari bahan organic tanah relatif rendah, peranannya cukup
penting karena selain unsur NPK, bahan organik juga merupakan sumber unsur
esensial lain seperti C, Zn, Cu, Mo, Ca, Mg, dan Si (Abdurachman, A., Dariah, A., &
Mulyani, A., 2008).
Ditinjau dari sisi kesesuaian tanah dari aspek kimia. Lahan kering umumnya
memiliki tingkat kemasaman yang tinggi (pH rendah< 5,5). Hal ini menyebabkan
ketersediaan hara pada umumnya menurun,perombakan bahan organik berjalan
sangat lambat sehingga proses pembentukan humus terhambat, kegiatan biologi di
dalam tanah menurun ditandai dengan menghilangnya populasi cacing tanah dan
sedikitnya kandungan mikroorganisme pelapuk didalam tanah, serta meningkatnya
peluang tanaman untuk mengalami peracunan akibat tingginya konsentrasi Al, Fe
dan Mn (Notohadiprawiro, T., 2006).

2. Strategi Pengembangan
Penggunaan ameliorant antara lain berupa kapur (kalsit, dolomit, dan kapur
oksida), sekam padi, abu serbuk kayu gergajian, biomasa gulma, dan limbah
pertanian diaplikasikan kepada lahan untuk meningkatkan pH tanah sampai pada
tingkat kemasaman normal. Bahan-bahan ameliorant ini dapat mengikat unsur Al,
Fe dan Mn sehingga unsur-unsur logam berat tersebut dapat bersenyawa dengan
kapur dan tidak meracuni tanaman. Sedangkan pengelolaan hara dengan cara
pemberian pupuk hayati, pupuk N, P dan K, terbukti mampu meningkatkan hasil
padi, palawija dan sayuran (Lakitan, B., & Gofar, N., 2013).

III. KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa kendala-kendala ekologi yang
menjadi penghambat di dalam pengembangan sumberdaya lahan kering antara lain
adalah dari sisi ketersediaan air. Air yang terdistribusi melalui curah hujan di lahan
kering beriklim basah pun tidak dapat termanfaatkan dengan baik karena minimnya
kemampuan tanah di dalam mengikat air dan menahan laju aliran air permukaan. Hal
ini dapat diatasi dengan memadukan berbagi teknik konservasi air yang ada, seperti
pemanenan air hujan. Beberapa teknik konservasi air yang dapat diterapkan dalam
upaya pemanenan air hujan dan aliran permukaan adalah pembuatan saluran
peresapan, rorak, mulsa vertikal, embung, dan sistem drainase. Teknik konservasi air
yang kedua adalah dengan mengendalikan evaporasi yang dapat diterapkan dengan
pengaplikasian mulsa organik berupa sisa-sisa pemanenan, maupun anorganik berupa
plastik.
Kendala lainnya adalah faktor pembatas yang dimiliki oleh tanah berupa miskinnya
unsur hara tanah, kandungan bahan organik yang rendah, minimnya keberadaan
organisme dalam tanah, dan tingkat kemasaman tanah yang tinggi (pH rendah).
Kendala ini dapat diatasi dengan penambahan bahan organik tanah, pemberian pupuk,
pengaplikasian kapur (kalsit, dolomit, dan kapur oksida), sekam padi, abu serbuk kayu
gergajian, biomasa gulma, dan limbah pertanian diaplikasikan kepada lahan untuk
meningkatkan pH tanah sampai pada tingkat kemasaman normal.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurachman, A., Dariah, A., & Mulyani, A. (2008). Strategi dan teknologi pengelolaan
lahan kering mendukung pengadaan pangan nasional. Jurnal Litbang
Pertanian, 27(2), 43-49.

As-Syakur, A. (2007). Lahan Kering. https://mbojo.wordpress.com/2007/03/23/11/.


Akses tanggal : 17 September 2017.

Dariah, A., & Las, I. (2010). Ekosistem lahan kering sebagai pendukung pembangunan
pertanian. Membalik Kecenderungan Degradasi Sumber Daya Lahan dan Air.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta. hlm, 46-66.

Idjudin, A. A., & Marwanto, S. (2008). Reformasi pengelolaan lahan kering untuk
mendukung swasembada pangan. Jurnal Sumberdaya Lahan Vol, 2(2).

Lakitan, B., & Gofar, N. (2013, September). Kebijakan inovasi teknologi untuk
pengelolaan lahan suboptimal berkelanjutan. In Makalan Seminar Nasional
Lahan Suboptimal (pp. 21-22).

Mulyani, A. (2006). Perkembangan potensi lahan kering masam. Balai Besar Penelitian
dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Jakarta.

Notohadiprawiro, T. (1989). Pertanian lahan kering Di Indonesia: Potensi, prospek,


kendala, dan pengembangannya. Lokakarya Evaluasi Pelaksanaan Proyek
Pengembangan Palawija. USAID, Bogor.

Notohadiprawiro, T. (2006). Budidaya Organik: Suatu Sistem Pengusahaan Lahan


Bagi Keberhasilan Program Transmigrasi Pola Pertanian Lahan Kering. Repro:
Ilmu Tanah UGM-Yogjakarta. h, 1-10.

Nurida, N. L., & Rachman, A. (2012). Alternatif pemulihan lahan kering masam
terdegradasi dengan formula pembenah tanah biochar di Typic Kanhapludults
Lampung. In Wigena et al.(Ed), Prosiding Seminar Nasional Teknologi
Pemupukan dan Pemulihan Lahan Terdegradasi (pp. 639-648).

Subagyono, K., Haryati, U., & Tala‟ohu, S. H. (2004). Teknologi konservasi air pada
pertanian lahan kering. Dalam: Kurnia, U., A. Rachman & A. Dariah (Eds.).
Teknologi konservasi tanah pada lahan kering berlereng. Puslitbang Tanah dan
Agroklimat, Badan Litbangtan, 151-188.
Syam, A. (2003). Sistem pengelolaan lahan kering di daerah aliran sungai bagian
hulu. Jurnal Litbang Pertanian, 22(4), 162-171.

Anda mungkin juga menyukai