Anda di halaman 1dari 99

i

KARAKTERISASI DAN SELEKSI GALUR-GALUR PADI


(Oryza sativa L.) DIHAPLOID ADAPTIF
CEKAMAN SALINITAS

MUHAMMAD FUAD ANSHORI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2018
ii
iii

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN


SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Karakterisasi dan Seleksi
Galur-Galur Padi (Oryza sativa L.) Dihaploid Adaptif Cekaman Salinitas adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, April 2018

Muhammad Fuad Anshori


NIM A253150131
ii
iii

RINGKASAN

MUHAMMAD FUAD ANSHORI. Karakterisasi dan Seleksi Galur-Galur Padi


(Oryza sativa L.) Dihaploid Adaptif Cekaman Salinitas. Dibimbing oleh
BAMBANG SAPTA PURWOKO, ISWARI SARASWATI DEWI dan SINTHO
WAHYUNING ARDIE.

Salinitas merupakan salah satu cekaman abiotik yang disebabkan oleh


peningkatan kandungan garam pada daerah pertanaman. Indonesia, sebagai negara
kepulauan yang memiliki banyak daerah persawahan di sekitar pantai, akan
mengalami dampak serius dari peningkatan salinitas melalui intrusi air laut.
Dampak tersebut dapat menurunkan produksi padi di Indonesia. Salah satu
solusinya ialah perakitan varietas adaptif terhadap cekaman salinitas melalui
teknologi tanaman dihaploid.
Penelitian ini terdiri atas dua percobaan yang dikemas dalam 3 bab.
Penelitian pertama dibahas dalam dua bab yaitu (1) karakterisasi galur-galur padi
dihaploid dan (2) seleksi galur-galur padi dihaploid yang memiliki sifat agronomi
baik. Penelitian ke dua dibahas dalam satu bab yaitu (3) respon galur-galur padi
dihaploid terhadap cekaman salinitas pada kultur hidroponik. Penelitian ini
menggunakan 56 galur padi dihaploid dan 4 varietas pembanding. Penelitian
pertama dilakukan dengan rancangan kelompok lengkap teracak (RKLT) dengan 3
ulangan yang dilakukan di Kebun Percobaan Sawah Baru IPB Dramaga. Sementara
itu penelitian ke dua dilaksanakan di rumah kaca BB Biogen Cimanggu dengan
rancangan tersarang RKLT.
Penelitian pertama menunjukkan bahwa karakterisasi pada semua genotipe
menghasilkan keragaman dan heritabilitas yang tinggi pada seluruh karakter.
Genotipe padi dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok utama.
Pengelompokan tersebut didasarkan oleh karakter anakan produktif, persentase
gabah isi, tinggi vegetatif, panjang malai, dan bobot 1000 butir. Adapun karakter
jumlah gabah isi, dan anakan produktif dapat dijadikan sebagai karakter seleksi
bersama dengan karakter produktivitas.
Seleksi dilakukan melalui metode seleksi indeks. Penggunaan indeks
seleksi didasarkan oleh kombinasi analisis multivariat, yaitu sidik lintas, regresi
multivariat stepwise dan analisis komponen utama. Karakter yang digunakan dalam
seleksi indeks yaitu karakter anakan produktif, jumlah gabah isi, dan produktivitas
yang nilai bobotnya didasarkan pada eigen vektor variabel PC2. Indeks seleksi yang
didapatkan yaitu Indeks seleksi = 0.465 produktivitas + 0.433 anakan produktif +
0.31 jumlah gabah isi. Seleksi berdasarkan seleksi indeks menghasilkan 24 galur
padi dihaploid yang memiliki peringkat lebih baik dibandingkan Inpari 34 Salin
Agritan. Seleksi ini juga memiliki tingkat selektifitas lebih baik dibandingkan
seleksi langsung. Hal ini menandakan penggunaan kombinasi multivariat dinilai
efektif untuk menyeleksi genotipe padi dihaploid.
Penelitian kedua menunjukkan bahwa cekaman salinitas memberikan
dampak yang lebih besar pada karakter tajuk dibandingkan karakter terkait akar.
Tanaman toleran memiliki pola penurunan yang lebih rendah dibandingkan
tanaman moderat dan peka, terutama karakter terkait tajuk. Karakter terkait tajuk,
terutama karakter bobot basah tajuk dan tinggi tajuk, dapat dijadikan sebagai
karakter seleksi pada penapisan salinitas fase bibit melalui kultur hidroponik.
iv

Terdapat 25 galur padi dihaploid yang memiliki sifat toleransi lebih baik
dibandingkan Inpari 29 sebagai pembanding terbaik pada keadaan salin. Penelitian
ini juga menggunakan analisis clustergram yang dikombinasikan dengan heatmap.
Analisis ini mampu menyeleksi genotipe dengan sifat toleransi baik dan
menentukan karakter seleksi pentingnya sehingga dinilai efektif dan selektif
terhadap penapisan salinitas fase bibit.
Kedua penelitian dikombinasikan menghasilkan indeks seleksi gabungan.
Indeks ini dinilai efektif untuk mendapatkan galur-galur yang memiliki tingkat
adaptasi yang baik. Efektivitas seleksi indeks gabungan untuk sifat toleransi sebesar
90.9% dan agronomi baik sebesar 95.83%. Terdapat 33 galur padi dihaploid yang
dinilai adaptif dan lebih baik dibandingkan varietas Inpari 29 sebagai pembanding
terbaik pada indeks seleksi gabungan, diantaranya terdapat 13 galur toleran dengan
agronomi baik, 7 galur moderat dengan agronomi baik, 10 galur toleran dengan
agronomi kurang baik, dan 3 galur peka tetapi memiliki agronomi baik.
Keseluruhan percobaan juga menyimpulkan bahwa galur padi dihaploid
membentuk keragaman yang luas walaupun jumlah genotipe yang diuji tidak terlalu
besar. Hal ini menjadi pembuktian efektivitas dari teknologi dihaploid

Kata kunci: adaptif, dihaploid, indeks, padi, salinitas


v

SUMMARY

MUHAMMAD FUAD ANSHORI. Characterization and Selection of Adaptive


Doubled Haploid Rice (Oryza sativa L.) Lines to Salinity Stress. Under supervision
of BAMBANG SAPTA PURWOKO as chairman, ISWARI SARASWATI DEWI
and SINTHO WAHYUNING ARDIE as members of the advisory committee.

Salinity is one of abiotic stresses caused by the increase of salt content in


the planting area. Indonesia, as an archipelagic country which has rice fields along
the coastline, will experience the impact of salinity increase through seawater
abrasion. This impact can reduce rice production. One solution is to develop
adaptive varieties to salinity stress through doubled-haploid technology.
The study consisted of two experiments reported in 3 chapters. The first
experiment was discussed in two chapters: (1) characterization of the doubled
haploid rice lines and (2) selection of doubled haploid rice lines with good
agronomic traits. The second experiment was discussed in one chapter, (3) response
of doubled haploid rice lines to salinity stress in hydroponic culture. The study used
56 doubled haploid rice lines and 4 control varieties. The first experiment was
arranged according to randomized complete block design (RCBD) with 3
replications and was conducted at the Sawah Baru experiment field, Darmaga IPB.
Meanwhile, the second experiment was conducted in the BB Biogen Cimanggu
Greenhouse with RCBD nested design.
The first experiment showed that all characters have high variability as
supported by high heritability for all genotypes. The rice genotypes can be grouped
into three main groups. The grouping was based on the character of the productive
tiller, percentage of filled grain, vegetative height, panicle length, and weight of
1000 grains. The number of filled grain, and productive tillers can be used as
selection characters together with productivity.
Selection was done through the index selection method. The selection index
was based on combination analysis of multivariate assessment effective for
selecting doubled haploid rice genotypes. Characters used in the index selection
were productive tillers, the number of filled grain, and productivity which its weight
value was based on the PC2 variable vector. Selection index obtained was 0.465
productivity+ 0.433 productive tillers + 0.31 number of filled grain. The result of
selection index showed that there were 24 doubled haploid rice lines higher than
Inpari 34 Salin Agritan as the best control variety.
The second experiment showed that shoot-related characters were more
affected by salinity stress compared to root- related characters. Tolerant genotypes
have lower decline pattern than moderate and sensitive genotypes, especially on
shoot-related characters. Shoot-related characters, particularly shoot height and
fresh weight of shoot, can be used as selection characters in the screening for
salinity tolerant genotypes under hydroponics culture at seedling stage. There were
25 doubled haploid rice lines more tolerant than Inpari 29 as the best check under
saline stress. The study also used clustergram analysis combined with heatmap.
This analysis was able to select genotypes with good tolerant traits and determine
the important character of selection so that it was considered effective and selective
to salinity screening at seedling stage.
vi

The combination of two studies generated a composite of selection index.


This index was considered effective to obtain lines which have a good adaptation
level. The effectiveness of selection for the composite index to salinity tolerance
was 90.9%, while for agronomy was about 95.83%. There were 33 doubled haploid
rice lines considered adaptive and better than Inpari 29 as the best control variety
in the composite index, among which there were 13 lines tolerant with the good
agronomy characters, 7 lines moderate with the good agronomy characters, 10 lines
tolerant with not so good agronomy characters,, and 3 lines sensitive but have good
agronomy characters. The overall experiment also suggested that the doubled
haploid rice lines form a wide variability although the number of tested genotypes
are not too large. This proves the effectiveness of doubled haploid technology as
breeding method.

Keywords: adaptive, doubled haploids, index, rice, salinity


vii

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2018


Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
viii
i

KARAKTERISASI DAN SELEKSI GALUR-GALUR PADI


(Oryza sativa L.) DIHAPLOID ADAPTIF
CEKAMAN SALINITAS

MUHAMMAD FUAD ANSHORI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2018
ii

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Willy Bayuardi Suwarno, SP MSi
iv

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih
dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Agustus 2016 ini ialah salinitas,
dengan judul Karakterisasi dan Seleksi Galur-Galur Padi (Oryza sativa L.)
Dihaploid Adaptif Cekaman Salinitas.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir Bambang Sapta
Purwoko, Ibu Dr Ir Iswari Saraswati Dewi dan Ibu Dr Sintho Wahyuning Ardie SP
MSi selaku pembimbing, serta Bapak Dr Willy Bayuardi Suwarno SP MSi yang
telah banyak memberi saran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan
kepada Bapak Iman Ridwan, staf rumah kaca BB Biogen, dan Bapak Anjay beserta
tim yang telah membantu dalam proses penelitian ini. Penulis juga mengucapkan
terimakasih kepada Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi atas
program beasiswa PMDSU dan hibah penelitian PMDSU yang mendanai
keseluruhan penelitian yang telah dilakukan. Ungkapan terima kasih juga
disampaikan kepada ayah (Alm), ibu, dan seluruh keluarga, atas segala doa dan
kasih sayangnya, serta rekan-rekan PBT 2015, PMDSU Batch 2, Sohibul Sekret,
IKAMI SulSel, Wisma Mahasiswa Latimojong, AGH 47 yang senantiasa
memberikan semangat demi kelancaran penyusunan tesis ini
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, April 2018

Muhammad Fuad Anshori


v

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL iv
DAFTAR GAMBAR v
DAFTAR LAMPIRAN v
1 PENDAHULUAN .............................................................................................. 1
Latar Belakang ............................................................................................. 1
Tujuan Penelitian ......................................................................................... 3
Hipotesis Penelitian ..................................................................................... 3
Ruang Lingkup Penelitian............................................................................ 3
2 TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................................... 5
Botani dan Morfologi Padi........................................................................... 5
Galur Dihaploid ........................................................................................... 6
Salinitas ........................................................................................................ 7
3 KARAKTERISASI GALUR-GALUR PADI DIHAPLOID HASIL
KULTUR ANTERA........................................................................................... 9
Abstrak ......................................................................................................... 9
Abstract ........................................................................................................ 9
Pendahuluan ............................................................................................... 10
Bahan dan Metode ..................................................................................... 11
Hasil dan Pembahasan ............................................................................... 14
Simpulan .................................................................................................... 21
4 PENENTUAN INDEKS SELEKSI DAN SELEKSI GALUR-GALUR
PADI DIHAPLOID HASIL KULTUR ANTERA MELALUI ANALISIS
MULTIVARIAT .............................................................................................. 22
Abstrak ....................................................................................................... 22
Abstract ...................................................................................................... 22
Pendahuluan ............................................................................................... 23
Bahan dan Metode ..................................................................................... 24
Hasil dan Pembahasan ............................................................................... 26
Simpulan .................................................................................................... 33
5 RESPON GALUR-GALUR PADI DIHAPLOID TERHADAP
CEKAMAN SALINITAS PADA KULTUR HIDROPONIK ......................... 34
Abstrak ....................................................................................................... 34
Abstract ...................................................................................................... 34
Pendahuluan ............................................................................................... 35
Bahan dan Metode ..................................................................................... 36
Hasil dan Pembahasan ............................................................................... 40
Simpulan .................................................................................................... 61
6 PEMBAHASAN UMUM................................................................................. 61
7 SIMPULAN DAN SARAN ............................................................................. 67
Simpulan .................................................................................................... 67
Saran .......................................................................................................... 67
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 68
LAMPIRAN 77
RIWAYAT HIDUP 81
vi

DAFTAR TABEL

1. Genotipe padi dihaploid pada percobaan seleksi karakterisasi galur


dihaploid..................................................................................................... 12
2. Formulasi keragaman genetikgalur padi dihaploid berdasarkan
rancangan percobaan .................................................................................. 14
3. Hasil sidik peragam (ANCOVA) dan parameter genetik populasi padi
dihaploid..................................................................................................... 15
4. Karakterisasi galur-galur padi dihaploid di Dramaga Bogor ..................... 16
5. Hasil korelasi Pearson pada semua karakter pengamatan galur padi
dihaploid..................................................................................................... 27
6. Hasil sidik lintas galur padi dihaploid terhadap karakter produksi ............ 28
7. Hasil analisis step-wise regresi linear multivariat terhadap produksi
padi ............................................................................................................. 29
8. Validasi efektivitas karakter sekunder padi ............................................... 29
9. Hasil analisis komponen utama dari galur padi dihaploid. ........................ 30
10. Hasil seleksi galur padi dihaploid melalui seleksi langsung terhadap
produksi dan indeks seleksi 31
11. Efektivitas metode indeks seleksi pada galur padi dihaploid
berdasarkan diferensial seleksi ................................................................... 32
12. Komposisi kimia hara makro larutan Yoshida untuk padi ........................ 37
13. Komposisi kimia hara mikro larutan Yoshida untuk padi ........................ 37
14. Uraian kegiatan penapisan toleransi salinitas galur-galur padi
dihaploid pada kultur hidroponik 38
15. Kriteria evaluasi terhadap cekaman salinitas padi pada fase bibit ............. 39
16. Nilai skor salinitas galur-galur padi dihaploid ........................................... 41
17. Pengelompokan toleransi salinitas dan indeks seleksi salinitas pada
padi ............................................................................................................. 42
18. Respon umum percobaan penapisan galur-galur padi dihaploid pada
kultur hidroponik ...................................................................................... 44
19. Jumlah daun dan jumlah anakan galur-galur padi dihaploid yang
diuji dalam penapisan toleransi salinitas kultur hidroponik 45
20. Tinggi tajuk dan panjang akar galur-galur padi dihaploid yang diuji
dalam penapisan toleransi salinitas kultur hidroponik 47
21. Karakter bobot basah galur-galur padi dihaploid yang diuji dalam
penapisan toleransi salinitas kultur hidroponik 49
22. Karakter bobot kering galur-galur padi dihaploid yang diuji dalam
penapisan toleransi salinitas kultur hidroponik .......................................... 51
23. Rangkuman koefisien keragaman dan penurunan relatif karakter padi .... 54
24. Nilai tengah kelompok galur-galur padi dihaploid terhadap penapisan
salinitas kultur hara. ................................................................................... 55
25. Jumlah galur dihaploid padi yang memiliki nilai penurunan karakter
lebih rendah dibandingkan varietas kontrol Pokkali. 56
26. Indeks seleksi dan seleksi galur padi dihaploid adaptif cekaman
salinitas....................................................................................................... 65
vii

DAFTAR GAMBAR

1. Diagram alur penelitian karakterisasi dan seleksi galur-galur padi


(Oryza sativa L.) dihaploid toleran cekaman salinitas 4
2. Alur metode percobaan karakterisasi galur-galur padi dihaploid ................ 13
3. Clustergram dengan konsep heatmap antara genotipe (dendrogram baris) dan
karakter seleksi (dendrogram kolom). .............................................................. 20
4. Alur pelaksanaan percobaan penapisan salinitas padi pada fase bibit di
rumah kaca 38
5. Fenotipe skoring salinitas pada padi ............................................................ 43
6. Clustergram galur-galur padi dihaploid terhadap karakter pengamatan pada
keadaan salin ................................................................................................. 58
7. Clustergram galur padi dihaploid(baris) terhadap penurunan relatif
karakternya (kolom) ....................................................................................... 59
8. Clustergram galur padi dihaploid (baris) terhadap karakter ketika salin (S)
dan penurunan relatifnya (P) (kolom) .............................................................. 60

DAFTAR LAMPIRAN

1. Deskripsi padi varietas Ciherang ............................................................... 77


2. Deskripsi padi varietas Inpara 5 ................................................................ 78
3. Deskripsi padi varietas Inpari 29 ............................................................... 79
4. Deskripsi padi varietas Inpari 34 Salin Agritan ......................................... 80
1

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Padi merupakan tanaman pangan utama bagi sebagian besar penduduk


dunia, termasuk Indonesia. Subandriyo (2015) menyatakan bahwa konsumsi beras
penduduk Indonesia per kapita per tahunnya mencapai 113.48 kg. Tingginya
konsumsi tersebut harus didukung dengan produksi padi yang mencukupi. Menurut
FAO (2017) produksi padi Indonesia mencapai 72.7 juta ton sehingga Indonesia
menjadi produsen ketiga terbesar setelah Cina dan India. Peningkatan produksi padi
harus ditingkatkan dengan semakin meningkatnya pertumbuhan penduduk
Indonesia setiap tahunnya dengan persentase 1.49 % (BKKBN 2016). Namun usaha
peningkatan produksi padi masih mengalami berbagai tantangan, terutama terkait
perubahan iklim.
Perubahan iklim dan pemanasan global mempengaruhi kenaikan
temperatur, pola hujan yang tak tentu, kelembaban tanah dan kenaikan muka air
laut yang dapat menyebabkan penurunan produksi pada lahan-lahan pertanian
(Aydinalp dan Cresser 2008). Kenaikan muka air laut, yang disebabkan melelehnya
lapisan es di puncak gunung atau kutub bumi (Hadad 2010), menjadi salah satu
masalah serius pada abad 21 ini. Kenaikan muka air laut menyebabkan pengikisan
wilayah daratan dan peningkatan salinitas di lahan pertanian yang berada di sekitar
pesisir pantai (Aydinalp dan Cresser 2008). Hal ini sangat berdampak bagi negara-
negara kepulauan, seperti Indonesia. Menurut Rachman et al. (2007) total area
tanah salin di Indonesia mencapai 440 300 ha yang terbagi menjadi lahan agak salin
(304 000 ha) dan lahan salin (140 000 ha). Berdasarkan data Asia Development
Bank (2009), banyak lahan persawahan Indonesia yang terletak di sekitar pesisir
pantai yang memiliki kontribusi sebesar 15 % dari total produksinya. Oleh sebab
itu, peningkatan salinitas pada daerah pesisir akan berdampak pada penurunan
produksi padi di Indonesia.
Salinitas dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tanaman
padi hingga fase reproduktif (Ghosh et al. 2016). Menurut Turkan dan Demiral
(2009), hanya fase masak susu padi yang tidak terpengaruh oleh cekaman salinitas.
Terdapat dua cekaman utama yang disebabkan oleh salinitas pada tanaman, yaitu
cekaman osmotik, yang mirip gejalanya dengan kekeringan (Yamamoto et al.
2011), dan cekaman toksisitas ion Na+ (Sopandie 2014). Hal ini menyebabkan
tanaman mengalami penurunan produksi dan bahkan menyebabkan kematian ketika
mengalami cekaman salinitas. Tingkat cekaman salinitas dapat diidentifikasi
melalui electrical conductivity (EC). Terdapat 5 skala EC salinitas yaitu 0-2, 2-4,
4-8, 8-16, dan >16 dS/m. Peningkatan skala akan meningkatkan penurunan hasil
tanaman. (Eynard et al. 2005). Menurut Linh et al. (2012) kehilangan hasil padi
pada kondisi tanah salin (>6 dS/m) mencapai 50-100% dan secara total tidak
memproduksi pada nilai EC> 12 dS/m.
Permasalahan salinitas pada tanaman padi dapat diatasi melalui perakitan
varietas yang adaptif terhadap cekaman salinitas. Varietas yang adaptif mampu
menyesuaikan diri terhadap lingkungan tumbuhnya terutama lingkungan tercekam
(Sinaga et al. 2013) sehingga produksi yang dihasilkan masih berada di atas ambang
ekonomi. Perakitan varietas ini memerlukan dua tahapan seleksi yaitu seleksi
2

terhadap sifat agronomi baik dan seleksi sifat toleransinya terhadap cekaman
salinitas. Sifat agronomi baik mengindikasikan bahwa tanaman memiliki
produktivitas yang baik yang didukung dengan sifat agronomi lainnya. Hal ini
bertujuan untuk menjaga kestabilan karakter produksi ketika ditanam pada
lingkungan berbeda sehingga penentuan sifat ini sebaiknya dilakukan pada kondisi
optimal. Adapun sifat toleransi mengindikasikan bahwa tanaman mampu
meminimalkan dampak dari cekaman yang diterima sehingga tanaman dapat
tumbuh dan berproduksi dengan baik pada lingkungan tersebut (Fritsche-Neto dan
DoVale 2012).
Perakitan varietas padi secara konvensional memiliki kekurangan terkait
waktu penggaluran yang sangat lama. Penggaluran pada tanaman menyerbuk
sendiri bertujuan untuk meningkatkan homozigositas genetik untuk membentuk
galur murni (Syukur et al. 2015) sehingga galur yang diseleksi memiliki fenotipe
yang stabil. Menurut Dewi dan Purwoko (2012) waktu yang diperlukan untuk
proses penggaluran sekitar 8-10 generasi atau 4-5 tahun. Hal ini akan
memperlambat pengembangan perakitan varietas padi. Salah satu teknologi yang
dapat mengatasi permasalahan tersebut ialah teknologi dihaploid melalui kultur
antera. Kultur antera merupakan teknik kultur in vitro yang menghasilkan tanaman
haploid dan dihaploid spontan dari mikrospora yang berada dalam antera yang
ditanam pada media aseptik dengan kondisi terkontrol. Populasi dihaploid (DH)
hasil kultur antera tersebut bersifat homozigos (Dewi dan Purwoko 2001). Tanaman
generasi pertama (DH0), pada kultur antera padi, dapat diperoleh secara spontan
selama kultur atau diinduksi dari tanaman haploid yang dihasilkan, baik melalui
pemangkasan (ratooning) atau pemberian 0.1-0.3% kolkisin (Dewi dan Purwoko
2012). Pendekatan teknik ini hanya membutuhkan satu generasi untuk
mendapatkan galur yang sudah homozigos atau galur murni (Purwoko et al. 2010).
Penelitian Safitri (2016) telah menghasilkan galur-galur padi dihaploid yang
memiliki potensi adaptif terhadap salinitas sehingga perlu untuk dievaluasi dan
diseleksi terhadap sifat agronomi baik dan toleransinya.
Evaluasi dan seleksi merupakan tahapan penting dalam menentukan galur-
galur terbaik yang akan diteruskan pada generasi berikutnya. Terdapat beberapa
metode dalam seleksi, akan tetapi metode seleksi indeks simultan menjadi metode
yang paling banyak dilakukan oleh beberapa peneliti (Rajamani 2016). Kelebihan
seleksi Indeks ini ialah adanya proses standarisasi dari setiap karakter sehingga
karakter memiliki derajat yang sama (Akter et al. 2010) dan penentuan tanaman
terseleksi berdasarkan peringkat indeksnya. Namun hal kritikal dalam metode ini
ialah penentuan karakter dan formulasi seleksi indeks ialah melalui pendekatan
statistik. Pendekatan ini telah dilakukan oleh beberapa peneliti seperti Golparvar
(2011) meggunakan path analyses dan Hasan et al. (2016) menggunakan analisis
diskriminan. Pendekatan ini dapat memberikan pertimbangan objektif terhadap
indeks seleksi. Oleh sebab itu, pendekatan statistik terhadap indeks seleksi pada
agronomi baik dan toleransinya terhadap salinitas perlu untuk dilakukan.
Tanaman padi memiliki toleransi salinitas yang bersifat intermediet dan
masih dapat bertahan pada lahan salin dengan EC< 4 dS/m (Sopandie 2014).
Namun padi sangat sensitif terhadap salinitas pada fase perkecambahan, stadia bibit
dan reproduktifnya (Alam et al. 2004; Singh et al. 2010). Hal ini menjadi landasan
titik kritis untuk mendapatkan galur-galur padi yang toleran terhadap cekaman
salinitas. Bhowmik et al. (2009) dan Samant dan Jawali (2016) menyatakan
3

penapisan plasma nutfah pada stadia bibit menjadi dasar yang baik untuk
mendapatkan genotipe yang toleran terhadap cekaman salinitas. Oleh sebab itu,
penapisan pada fase ini dapat dilakukan pada galur-galur dihaploid.

1.2 Tujuan Penelitian

Tujuan umum penelitian ini ialah untuk mengkarakterisasi dan menyeleksi


galur-galur padi dihaploid yang adaptif terhadap cekaman salinitas. Galur-galur
terpilih ditentukan berdasarkan sifat agronomi dan toleransinya terhadap cekaman
salinitas. Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah:
1. Mendapatkan informasi respon umum terkait karakter agronomi galur-galur
padi dihaploid
2. Menentukan karakter seleksi, selain karakter produksi, dan indeks
seleksinya terhadap sifat agronomi baik dari galur-galur padi dihaploid.
3. Menyeleksi galur-galur padi dihaploid dengan sifat agronomi baik.
4. Menentukan karakter-karakter penting terkait toleransi cekaman salinitas.
5. Menyeleksi galur-galur padi dihaploid yang toleran dan adaptif terhadap
cekaman salinitas.

1.3 Hipotesis Penelitian

Hipotesis penelitian ini antara lain:


1. Terdapat beberapa karakter agronomi yang dapat dijadikan sebagai karakter
seleksi dalam penentuan indeks seleksi agronomi baik.
2. Terdapat formulasi indeks seleksi agronomi baik yang dihasilkan dengan
pendekatan statistik terhadap sifat agronomi baik pada galur-galur padi
dihaploid
3. Terdapat galur-galur padi dihaploid yang mempunyai sifat agronomi baik
lebih baik dibandingkan varietas pembanding.
4. Terdapat informasi terkait karakter penting galur-galur padi dihaploid pada
seleksi toleransi salinitas dengan teknik hidroponik fase bibit.
5. Terdapat galur-galur padi dihaploid yang memiliki sifat toleransi dan
adaptabilitas yang baik terhadap cekaman salinitas

1.4 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini terdiri atas dua percobaan. Percobaan pertama yaitu


karakterisasi dan seleksi galur-galur padi dihaploid hasil kultur antera pada
lingkungan optimum. Percobaan kedua berupa seleksi galur-galur dihaploid padi
terhadap cekaman salinitas pada fase bibit melalui kultur hara. Hasil kedua
percobaan tersebut menghasilkan informasi terkait adaptibilitas galur-galur padi
dihaploid terhadap cekaman salinitas. Ruang lingkup penelitian ini digambarkan
melalui bagan penelitian pada Gambar 1.1.
4

Galur-Galur Padi
Dihaploid

Karakterisasi dan Seleksi Seleksi Galur-Galur Dihaploid


Galur-Galur Padi Dihaploid Toleran Salinitas pada Fase
Dengan Sifat Agronomi Baik Bibit

Heritabilitas, Karakterisasi, dan


Analisis Clustergram Galur-
Galur Padi Dihaploid Hasil
Kultur Antera Respon Galur-Galur Padi
Dihaploid terhadap Cekaman
Salinitas pada Kultur
Hidroponik
Penentuan Indeks Seleksi dan
Seleksi Galur-Galur Padi
Dihaploid Hasil Kultur Antera
Melalui Analisis Multivariat

Metode Seleksi yang Efektif terhadap Sifat


Agronomi Baik , Toleransi Salinitas Fase Galur-Galur Dihaploid Adaptif
Bibit, dan Adaptibilitasnya terhadap Cekaman Salinitas Fase Bibit

Gambar 1.1 Diagram alur penelitian karakterisasi dan seleksi galur-galur padi
(Oryza sativa L.) dihaploid toleran cekaman salinitas
5

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Botani dan Morfologi Padi

Genus Oryza termasuk ke dalam suku Oryzeae dalam famili Gramineae.


Sekitar 20 spesies Oryza terdistribusi terutama pada lembah tropis Afrika, Asia
Selatan dan Tenggara, Cina Selatan, Amerika Selatan dan Tengah serta Australia.
Padi yang dibudidayakan termasuk ke dalam genus Oryza dan spesies paling utama
adalah O. sativa. Oryza glaberrima, yang tumbuh di beberapa negara Afrika Barat,
secara bertahap tergantikan oleh O. sativa. Terdapat tiga subspecies dari O. sativa
menurut ekogeografik yang telah dikenali yaitu indica, japonica, dan javanica. Tipe
javanica banyak dibudidayakan di Indonesia (De Datta 1981).
Tanaman padi terdiri atas akar, batang, daun, bunga dan biji. Akar tanaman
padi tergolong akar serabut. Perakaran padi mengalami perubahan dari akar
seminal, akar yang tumbuh pertama kali, menjadi akar-akar sekunder yang tumbuh
dari buku terbawah batang yang dikenal sebagai akar adventif. Batang padi terdiri
atas beberapa ruas yang dibatasi oleh buku. Batang terdiri atas pelepah daun dan
ruas-ruas yang tertumpuk padat. Daun tanaman padi tumbuh pada batang dalam
susunan yang berselang seling. Tiap daun terdiri atas helai daun, pelepah daun yang
membungkus ruas, telinga daun, dan lidah daun. Bunga tanaman padi secara
keseluruhan disebut dengan malai yang tiap unit bunganya dinamakan spikelet.
Pembeda spikelet dengan bunga lainnya terletak dari modifikasi mahkota bunga
yang menjadi lemma dan palea. Biji padi yang terbungkus oleh lemma dan palea
dikenal dengan nama gabah. Biji padi merupakan karyopsis yang terdiri atas embrio
dan endosperma yang diselimuti lapisan aleuron, tegmen dan lapisan terluar yang
disebut pericarp (Makarim dan Suhartatik 2009).
Pertumbuhan tanaman padi dibagi ke dalam tiga fase yaitu vegetatif,
reproduktif dan pematangan. Fase vegetatif merupakan fase pertumbuhan organ-
organ vegetatif, seperti pertambahan jumlah anakan, tinggi tanaman, dan luas daun.
Fase reproduktif ditandai dengan inisiasi bunga, memanjangnya beberapa ruas
teratas tanaman, berkurangnya jumlah anakan, munculnya daun bendera, bunting,
dan pembungaan. Inisiasi primordia malai biasanya dimulai 30 hari sebelum
heading dan waktunya hampir bersamaan dengan pemanjangan ruas-ruas batang,
yang berlanjut hingga pembungaan (Makarim dan Suhartatik 2009). Periode
pematangan ditandai dengan meningkatnya ukuran dan bobot butir, berubahnya
warna butir, dan senesen dari daun. Tahap awal dari pematangan, butir yang
berwarna hijau akan berubah menjadi kuning ketika menua. Tekstur dari butir akan
berubah mulai dari masak susu, semi berair dan menjadi keras. Atas dasar
perubahan tersebut periode pematangan dibagi menjadi beberapa tahap yaitu
matang susu, matang adonan, matang kuning, dan tahap akhir pemasakan (Yoshida
1981).

2.2 Perkembangan Pemuliaan Padi di Indonesia

Tanaman padi sebagai tanaman pangan utama di Indonesia mengalami


perkembangan yang cukup pesat terkait perakitan varietas padi unggul . Hal ini
6

dilihat dari banyaknya varietas padi yang telah dilepas baik pada level universitas
maupun lembaga penelitian pemerintah. Berdasarkan data PPVT (2018), terdapat
523 varietas yang telah dilepas oleh Kementerian Pertanian Republik Indonesia.
Varietas ini terdiri atas varietas lokal, introduksi, dan hasil perakitan pemulia.
Jumlah ini akan terus meningkat dengan meningkatnya kebutuhan manusia dan
perubahan lingkungan secara global.
Perkembangan varietas padi di Indonesia lebih diklasifikasikan sesuai jenis
topografinya. Terdapat tiga jenis padi utama yang dikembangkan di Indonesia yaitu
padi sawah, padi gogo, dan padi rawa (BB Padi 2018). Namun pada era sekarang
perkembangan padi juga diarahkan pada karakter yang bersifat fungsional, seperti
pengembangan beras merah dan hitam yang kaya antioksidan dan memiliki
kandungan gula yang rendah (Prabowo et al. 2014). Perkembangan padi juga
diarahkan dalam perakitan ideotipe padi dengan menghasilkan varietas padi tipe
baru (Abdullah et al. 2008). Selain itu, pengembangan juga diarahkan dengan sifat
toleransi terhadap cekaman abiotik dan resisitensinya terhadap cekaman biotik
(Dewi dan Purwoko 2012).
Perkembangan teknik perakitan padi juga berkembang dengan pesat.
Terdapat beberapa variasi teknik dalam pembentukan populasi seleksi seperti
persilangan konvensional, mutasi (Sobrizal 2016), kultur antera (Dewi dan
Purwoko 2012), dan transgenik (Rahmawati dan Slamet-Loedin 2006). Pendekatan
heterosis pada padi juga telah dikembangkan yang hasil akhirnya berupa varietas
hibrida (Satoto dan Suprihatno 2008). Semua pendekatan tersebut akan terus
berkembang dengan semakin majunya teknologi dalam dunia sains sehingga
perkembangan padi akan semakin terus meningkat.

2.3 Galur Dihaploid

Galur dihaploid merupakan galur yang mengalami penggandaan kromosom


dari tanaman haploid (Dewi dan Purwoko 2012). Tanaman haploid dapat terjadi
secara natural di alam, tetapi frekuensinya kecil berkisar 0.001-0.1 %. Produksi
tanaman haploid secara spontan terjadi pada tanaman parthenogenesis, dimana
embrio berasal dari sel telur yang tidak dibuahi. Secara artifisial, tanaman haploid
dapat dibentuk melalui persilangan interspesies, pseudofertilisasi, iradiasi polen,
perlakuan hormon, kejutan temperatur, dan kultur antera atau mikrospora. Akan
tetapi, kultur antera merupakan teknik yang banyak digunakan terutama untuk
tanaman pangan. Hal ini dikarenakan kultur antera memiliki keberhasilan yang
tinggi, mudah dan ekonomis (Chawla 2002).
Produksi tanaman dihaploid (DH) melalui kultur antera merupakan salah
satu teknologi yang menjanjikan dalam usaha perbaikan dan peningkatan hasil
tanaman. Jika kultur antera menghasilkan tanaman haploid yang tidak normal perlu
dilakukan penggandaan kromosom untuk menghasilkan tanaman dihaploid yang
normal dan fertil (Park et al. 2013). Tanaman haploid yang telah digandakan
kromosomnya akan memiliki konstitusi genetik yang homozigos dan dikenal
sebagai tanaman dihaploid (DH). Sifat tanaman DH dapat dimanfaatkan dalam
program pemuliaan untuk mempercepat proses penggaluran dalam waktu yang
singkat. Pendekatan tanaman DH hanya membutuhkan satu generasi untuk
mendapatkan galur yang homozigos. Hal ini berbeda dibandingkan metode
7

konvensional yang membutuhkan paling sedikit 5-6 generasi untuk mendapatkan


homozigositas (Dewi dan Purwoko 2012). Penggunaan antera dari tanaman F1 yang
memiliki heterozigositas tinggi menjadi modal keragaman genetik dari sifat-sifat
agronomis yang diinginkan (Dewi et al. 2007). Tanaman dihaploid, yang dihasilkan
dari polen tanaman F1, akan menghasilkan populasi homozigos yang heterogen
sehingga memudahkan dalam seleksi terhadap sifat yang diharapkan.

2.4 Salinitas

Salinitas dapat didefinisikan sebagai adanya kandungan garam yang terlarut


dalam konsentrasi berlebih pada larutan tanah sehingga dapat mengganggu
pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Munns dan Tester, 2008). Salinitas
sangat berkaitan dengan ion sodium (Na+) yang dapat dipertukarkan. Kandungan
ion ini dapat menyebabkan gangguan toksisitas ion dan stres osmotik pada tanaman.
Selain itu, efeknya dapat mengubah status fisiologis dan homeostasis ion dalam sel
(Hossain et al. 2015). Cekaman osmotik terjadi karena adanya penurunan potensial
osmotik larutan tanah sehingga mengurangi ketersediaan air (Sopandie 2014).
Kosentrasi garam yang tinggi di tanah mengganggu kapasitas akar untuk
mengambil air. Kondisi tersebut meyebabkan dehidrasi parsial sel dan hilangnya
turgor sel karena berkurangnya potensial air di dalam sel (Yuniati 2004).
Menurut Ali et al. (2004) efek salinitas juga dapat menyebabkan
ketidakseimbangan hara yang menyebabkan penurunan efisiensi fotosintesis dan
kekacauan proses fisiologi lainnya. Kondisi salinitas akan mengurangi ketersediaan
K+ dan Ca2+ dalam sel-sel akar dan menghambat proses transportasi kedua unsur
hara tersebut ke daerah tajuk sehingga akan mengurangi kualitas pertumbuhan baik
organ vegetatif maupun reproduktif (Carden et al. 2003). Salinitas memberikan
pengaruh yang berbeda pada setiap fase pertumbuhan tanaman padi. Cekaman
salinitas dapat menurunkan kemampuan benih untuk berkecambah sehingga
persentase bibit yang dihasilkan berkurang serta pertumbuhan bibit juga terhambat
(Hakim et al. 2014). Kondisi salin pada fase tillering dan fase inisiasi malai
menunjukkan penurunan pada jumlah gabah per malai. Adapun, pada fase generatif,
salinitas dapat mempengaruhi proses pengisian malai dan menyebabkan penurunan
menurunkan produksi padi (Rad et al. 2012). Penetapan tingkat salinitas salah
satunya menggunakan nilai daya hantar listrik (DHL) atau electrical conductivity
(EC). Nilai EC lebih dari 4 dS/m menunjukkan terjadinya salinitas pada tanah yang
menyebabkan penurunan hasil padi mencapai 20%. Semakin tinggi nilai EC-nya
maka semakin salin tanah tersebut yang berdampak pada penurunan hasil yang
semakin merosot. Tingkat salinitas 10 dS/m menyebabkan penurunan hasil padi
hingga 80% di daerah Indramayu (Boer 2010).
Terdapat beberapa strategi pertahanan tanaman terhadap salinitas: (1)
pembuangan (ekslusi) ion-ion garam keluar dari sitoplasma, (2) pengaturan
pengambilan ion dari akar dan transpor ke daun, (3) penyimpanan ion-ion garam ke
vakuola sel (kompartementasi), dan (4) perubahan struktur membran dan aktivitas
enzim antioksidatif (Parida dan Das 2005). Selain itu, menurut Soepandi (2014)
pertahanan terhadap salinitas juga dapat dilakukan dengan mencegah masuknya
Na+ ke dalam jaringan tanaman dan mencegah terjadinya defisit air secara internal
dengan cara sintesis solut organik dan meningkatkan sukulensi.
8

2.5 Indeks Seleksi

Indeks seleksi merupakan salah satu metode seleksi simultan yang


mengkombinasikan beberapa sifat dalam suatu model regresi linear (Islam et al.
2017). Metode ini sangat bermanfaat untuk menyeleksi genotipe terhadap beberapa
karakter dengan sifat yang bervariasi, baik karakter-karakter yang saling
berkorelasi positif maupun negatif. Hal tersebut menjadikan metode ini banyak
digunakan oleh peneliti dalam proses seleksi (Rabiei et al. 2004). Menurut Hazel
(1943) metode indeks seleksi secara efektif meningkatkan kemajuan genetik dalam
seleksi hewan dan tanaman. Meskipun dengan tanaman dihaploid yang tidak lagi
mengalami kemajuan genetik karena telah terfiksasi.
Nilai dari indeks seleksi merupakan suatu variabel baru yang menjadi tolak
ukur dalam seleksi. Setiap karakter distandarisasi terlebih dahulu untuk
menyamakan kedudukan dari setiap karakter sehingga tidak adanya dominansi dari
suatu karakter tertentu. Kemudian keseluruhan nilai standar dari setiap karakter
dijumlahkan per genotipenya dan dirangking berdasarkan nilai indeks tertinggi
(Akter et al. 2010). Menurut Godshalk dan Timothy (1988) metode seleksi ini
memaksimalkan korelasi antara indeks dan kumpulan genotipe yang kemudian
menyeleksi individu genotipe berdasarkan skor indeksnya. Kelebihan lain dari
indeks ini ialah adanya proses pembobotan pada setiap karakter. Menurut Acquaah
(2007) pembobotan indeks seleksi merupakan nilai ekonomi atau prioritas dari
setiap karakter terhadap karakter lainnya sehingga seleksi dapat lebih terarah dan
objektif sesuai dengan tujuan pemulian. Beberapa peneliti menentukan bobot
karakter melalui heritabilitas, kepentingan ekonomi relatif, korelasi, dan analisis
multivariat (Acquaah 2007).

2.6 Analisis Multivariat

Analisis multivariat merupakan analisis yang dilakukan terhadap beberapa


variabel secara bersamaan. Analisis ini sering digunakan untuk data survei atau data
yang terdiri atas beberapa variabel dari suatu perlakuan tertentu. Analisis ini
menfasilitasi interpretasi data yang lebih sederhana dari suatu data yang kompleks
dan berkorelasi (Mattjik dan Sumertajaya 2011). Analisis multivariat secara umum
dibedakan menjadi dependence techniques dan interdependence techniques.
Metode dependence techniques terdiri atas dua jenis variabel yaitu terikat dan
bebas. Metode ini digunakan untuk menyelesaikan permasalahan terkait hubungan
antar dua kelompok variabel tersebut. Adapun metode interdependence techniques
memiliki prinsip bahwa setiap variabel berkedudukan sama sehingga metode ini
digunakan untuk menjelaskan keterkaitan antar semua variabel tanpa
memperhatikan bentuk variabel yang dilibatkan (Simamora 2005).
Analisis multivariat terdiri atas beberapa analisis seperti analisis komponen
utama, analisis faktor, diskriminan, dll (Mattjik dan Sumertajaya 2011). Analisis
ini dapat membantu pemulia dalam menentukan karakter seleksi terbaik dan
pembobotannya (Sabouri et al. 2008). Oleh sebab itu, analisis multivariat dinilai
efektif dalam meningkatkan kemajuan seleksi.
9

3 KARAKTERISASI GALUR-GALUR PADI DIHAPLOID HASIL


KULTUR ANTERA

Abstrak

Pembentukan padi dihaploid melalui kultur antera menjadi salah satu


alternatif dalam perakitan varietas. Galur dihaploid tersebut perlu dikarakterisasi,
dikelompokkan dan diseleksi. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh parameter
genetik dan karakter agronomi serta melakukan pengelompokan terhadap galur-
galur dihaploid hasil kultur antera. Percobaan dilakukan di Kebun Percobaan Sawah
Baru IPB, Dramaga, Kabupaten Bogor pada bulan Oktober 2016 sampai Januari
2017. Rancangan percobaan yang digunakan ialah rancangan kelompok lengkap
teracak (RKLT) dengan satu faktor yaitu genotipe. Genotipe yang digunakan
berjumlah 60 genotipe yang terdiri atas 56 galur dihaploid dan 4 varietas
pembanding yaitu Ciherang, Inpara 5, Inpari 29, dan Inpari 34 Salin Agritan. Hasil
percobaan menunjukkan bahwa respon genotipe nyata pada semua karakter
pengamatan dengan heritabilitas yang tinggi di atas 60% sehingga dapat dijadikan
sebagai karakter seleksi. Genotipe padi yang diujikan dapat dikelompokkan
menjadi tiga kelompok utama. Kelompok pertama terdiri atas 11 genotipe,
kelompok kedua terdiri atas 44 genotipe dan kelompok ke tiga terdiri atas 5
genotipe. Pengelompokan tersebut ditentukan oleh anakan produktif, persentase
gabah isi, tinggi, panjang malai, dan bobot 1000 butir. Karakter anakan produktif,
jumlah gabah isi dan persentase gabah isi dapat dijadikan sebagai karakter seleksi
bersama dengan karakter produktivitas.

Kata kunci : cluster, dihaploid, heatmap, heritabilitas, padi

Abstract

Obtainment of doubled haploid lines of rice through anther culture is one of


the alternatives in plant breeding. The lines need to be characterized, clustered and
selected. This study was aimed at determining genetic parameters, agronomic
characters and to clustering of doubled haploid lines obtained from anther culture.
An experiment was conducted at IPB Rice Field Experiment Station, Darmaga,
Bogor in October 2016 until January 2017. The experiment design used was
randomized complete block design (RCBD) with one factor namely genotype.
There were 60 genotypes consisting of 56 doubled haploid lines and 4 control
varieties. The controls were Ciherang, Inpara 5, Inpari 29, and Inpari 34 Salin
Agritan. The results showed that genotypes have significant effect to all observed
variables with high heritability above 60%, so they could be used as a selection
character. The tested genotypes could be grouped into three main groups. The first
group consisted of 11 genotypes, the second group consisted of 44 genotypes and
the third group consisted of 5 genotypes. The main group determinant characters
were productive tillers, percentage of filled grain, plant height, panicle length, and
weight of 1000 grains. The number of filled grain, number of productive tillers, and
10

percentage of filled grain can be used as selection characters together with yield
potential.

Keywords: cluster, dihaploid, heatmap, heritability, rice

3.1 Pendahuluan

Beras merupakan sumber karbohidrat utama bagi masyarakat Indonesia. Hal


ini dapat dilihat dari produksi padi Indonesia yang mengalami peningkatan 800 ribu
ton GKG dari tahun 2015 atau mencapai 72.7 juta ton GKG pada tahun 2016 (FAO
2016). Peningkatan tersebut akan semakin meningkat seiring dengan meningkatnya
pertumbuhan penduduk Indonesia tiap tahunnya. Oleh sebab itu, produksi padi
perlu ditingkatkan untuk memenuhi permintaan tersebut. Salah satu cara yang dapat
dilakukan ialah merakit varietas padi unggul melalui teknologi tanaman dihaploid.
Tanaman dihaploid memiliki konstitusi genetik yang homozigos sehingga
dapat memberikan keuntungan bagi perakitan varietas unggul (Dewi dan Purwoko
2012). Perakitan varietas unggul secara konvensional memerlukan 8-10 generasi
untuk membentuk galur dengan homozigositas yang tinggi. Namun konsep
pembentukan galur dihaploid hanya memerlukan satu generasi untuk membentuk
populasi yang homozigos (Purwoko et al. 2010). Hal ini dapat mempersingkat
waktu penggaluran sehingga seleksi dapat dilakukan pada generasi awal. Safitri
(2016) telah melakukan perakitan galur padi dihaploid melalui kultur antera dan
mendapatkan 56 galur yang perlu diketahui heritabilitas dan karakter agronominya
untuk memudahkan proses seleksi.
Heritabilitas merupakan rasio keragaman genetik terhadap keragaman
fenotipe pada suatu karakter (Baloch et al. 2016). Parameter ini sangat penting
dalam seleksi (Islam et al. 2015). Terdapat dua jenis nilai heritabilitas yaitu
heritabilitas arti luas dan sempit. Heritabilitas arti sempit merepresentasikan
pengaruh gen aditif terhadap fenotipenya sehingga lebih sering digunakan untuk
menentukan metode, tahapan dan karakter seleksi (Visscher et al. 2008). Namun
heritabilitas arti sempit pada tanaman dihaploid memiliki nilai yang sama dengan
arti luasnya (Dwivedi et al. 2015) sehingga heritabilitas arti luas dapat dijadikan
dasar pertimbangan untuk memilih karakter seleksi.
Karakterisasi merupakan salah satu tahapan penting dalam program
pemuliaan tanaman (Surahman et al. 2009). Karakterisasi dapat digunakan sebagai
dasar dalam pengelompokan tanaman. Pengelompokan ini bertujuan untuk
mengetahui hubungan kekerabatan antar genotipe tanaman dan dapat menjadi suatu
bahan pertimbangan dalam proses seleksi. Seleksi melalui pengelompokan akan
efektif apabila sifat-sifat kelompok tersebut dapat diketahui. Salah satu metode
yang dapat digunakan adalah analisis clustergram.
Analisis clustergram merupakan analisis multivariat yang
mengkombinasikan beberapa analisis kluster dalam suatu dimensi datar (Schonlau
2002). Menurut Bowers (2010) analisis clustergram dengan kombinasi heatmap
dan dendrogram hirarki akan menyederhanakan visualisasi dari analisis tersebut
sehingga lebih mudah dimengerti. Penggunaan analisis ini telah dilakukan oleh
Zimisuhara et al. (2015) pada Ficus deltoidea, dan Yuan et al. (2016) pada kentang
terhadap karakter-karakter morfologi. Selain itu, analisis ini juga sering digunakan
11

untuk penelitian genomik (Wilkinson dan Friendly 2009) dan metabolomik (Benton
et al. 2015) untuk memudahkan visualisasi data set yang besar. Penggunaan analisis
ini dapat memberikan pemahaman sederhana terkait dengan pengelompokan dan
karakter penentu kelompok tersebut sehingga dapat meningkatkan efektivitas
seleksi (Yuan et al. 2016). Tujuan penelitian ini ialah untuk mengetahui
heritabilitas, pengelompokan dan penentu kelompok genotipe sebagai dasar seleksi
pada 56 galur padi dihaploid hasil kultur antera.

3.2 Bahan dan Metode

Percobaan dilakukan di Kebun Percobaan Sawah Baru IPB, Dramaga,


Kabupaten Bogor dengan titik koordinat 6˚33’47.9”S, 106˚44’10.8”E pada bulan
Oktober 2016 sampai Januari 2017. Kondisi rata-rata curah hujan per bulan pada
percobaan ini berkisar 249.78 mm dengan suhu rata-rata sebesar 26 ˚C. Deskripsi
analisis tanah dari lahan percobaan sebelum penanaman ditampilkan sebagai
berikut: KTK = 22.47 cmol(+)/kg, Ca dd = 5.24 cmol(+)/kg, Mg dd = 2.25
cmol(+)/kg, K dd = 0.49 cmol(+)/kg, Na dd = 0.4, N total (Kjeldahl) = 0.24%, C-
organik (walkley and black) = 2.18 %, Al-dd 0.37 cmol(+)/kg, H-dd = 0.15
cmol(+)/kg, P total (spktrofotometer UV-VIS) = 165.9 mg P2O5/100g, K total
(spektrofotometer UV-VIS) = 165.9 mg K2O/100g, P tersedia = 104.55 P2O5 ppm,
EC = 3.9 dS/m.
Percobaan ini menggunakan rancangan kelompok lengkap teracak (RKLT)
dengan satu faktor yaitu genotipe. Genotipe yang digunakan berjumlah 60 genotipe
yang terdiri atas 56 galur dihaploid dan 4 varietas pembanding yaitu Ciherang,
Inpara 5, Inpari 29, dan Inpari 34 Salin Agritan. Deskripsi seluruh galur ditampilkan
pada Tabel 3.1 (galur 1-60). Galur dihaploid yang diujikan merupakan hasil dari 4
persilangan yaitu Inpara 5/IR77674 (HS1), IR77674/Inpari 29 (HS4),
IR78788/Inpari 29 (HS14), dan Dendang/Inpari 30 (HS17). Setiap genotipe diulang
tiga kali sehingga jumlah satuan percobaan sebanyak 180 satuan percobaan. Setiap
satuan percobaan terdiri atas 24 tanaman yang ditanam dalam dua lajur.

Model linear yang digunakan adalah :


Yij = µ +𝜏i+𝜌j+β(xij − 𝑥 ..)+ εij
Keterangan :
Yij = Pengamatan pada perlakuan genotipe ke-i dan kelompok ke-j
µ = Rataan Umum
τi = Pengaruh perlakuan genotipe ke-i (i = 1,2,3,..60)
xij = Pengaruh peubah konkomitan yang dihasilkan dari perlakuan ke i
dan ulangan ke j yang bersesuaian dengan yij
𝑥.. = nilai rata-rata peubah konkomitan
β = kofisien regresi yang menunjukkan ketergantungan Yij pada Xij
𝜌j = Pengaruh kelompok ke-j terhadap perubah respon
εij = Pengaruh acak pada perlakuan ke-i dan kelompok ke-j (Mattjik
dan Sumertajaya 2013).

Benih disemai pada bak yang ditempatkan di rumah kaca. Setiap genotipe
disemai sebanyak 10 g. Setelah 18 hari, bibit hasil persemaian dipindah tanam
12

(transplanting) ke sawah yang telah diolah sebelumnya. Jarak tanam yang


digunakan ialah 25 cm x 25 cm dengan tiga bibit per lubang tanam dan dilakukan
penyulaman pada satu minggu setelah tanam (MST). Pemeliharaan meliputi
pemupukan dengan dosis 200 kg Urea, 100 kg SP-36, dan 100 kg KCl ha-1,
pengendalian organisme penggangu tanaman (OPT), dan pengairan. Pupuk urea
diberikan secara bertahap dengan proporsi 1/3 dosis pada awal tanam, 28 hari
setelah tanam (HST) dan pada umur 49 HST. Adapun pupuk KCl juga diberikan
secara bertahap dengan porsi ½ dosis pada awal tanam dan ½ sisanya pada 49 HST.
Pengendalian OPT dilakukan menggunakan pestisida dan pengairan lebih banyak
menggunakan konsep intermitten. Pemanenan ditandai dengan 80% bulir–bulir
padi telah menguning. Alur percobaan ini ditunjukkan pada Gambar 3.1.

Tabel 3.1 Genotipe padi dihaploid pada percobaan karakterisasi galur dihaploid
No. Galur No. Galur
1 HS1-28-1-5 31 HS4-15-1-27
2 HS1-35-1-4 32 HS4-15-1-28
3 HS1-35-1-5 33 HS4-15-1-29
4 HS1-35-1-6 34 HS4-15-1-43
5 HS1-35-1-7 35 HS4-15-1-47
6 HS1-35-1-8 36 HS4-15-1-62
7 HS1-35-1-9 37 HS4-15-1-63
8 HS1-35-1-10 38 HS4-15-1-64
9 HS1-35-1-13 39 HS4-15-1-70
10 HS1-35-1-14 40 HS4-15-2-4
11 HS1-35-1-15 41 HS4-15-2-6
12 HS4-11-1-1 42 HS4-15-2-9
13 HS4-11-1-2 43 HS4-15-3-4
14 HS4-11-1-30 44 HS4-15-3-5
15 HS4-11-1-36 45 HS4-15-3-6
16 HS4-11-1-70 46 HS4-15-3-8
17 HS4-11-1-71 47 HS4-15-3-17
18 HS4-11-1-72 48 HS4-15-3-26
19 HS4-11-1-73 49 HS4-15-3-29
20 HS4-11-1-74 50 HS4-15-3-30
21 HS4-11-1-75 51 HS4-15-3-32
22 HS4-15-1-6 52 HS4-45-1-66
23 HS4-15-1-9 53 HS14-15-1-1
24 HS4-15-1-15 54 HS 17-3-1-1
25 HS4-15-1-16 55 HS17-21-1-7
26 HS4-15-1-22 56 HS17-33-1-8
27 HS4-15-1-23 57 Ciherang
28 HS4-15-1-24 58 Inpara 5
29 HS4-15-1-25 59 Inpari 29
30 HS4-15-1-26 60 Inpari 34 Salin Agritan
13

persemaian Pindah tanam

PANEN

Fase Reproduktif 3 MST


Gambar 3.1 Alur metode percobaan karakterisasi galur-galur padi dihaploid

Pengamatan karakter agronomi dilakukan terhadap karakter kuantitatif.


Terdapat 9 karakter kuantitatif yang diamati yaitu tinggi tanaman vegetatif, jumlah
anakan produktif, umur berbunga, panjang malai, bobot 1000 butir, jumlah gabah
isi per malai, jumlah gabah total, persentase gabah isi, dan produktivitas. Data
dianalisis berdasarkan komponen ragam, heritabilitas arti luas, dan nilai rata-
ratanya (Safitri 2016). Komponen ragam dianalisis melalui analisis kovarian
terhadap baris kelompoknya menggunakan software SAS versi 9.0. Kemudian
parameter genetik didapatkan sesuai rumusan pada Tabel 3.2. Pengelompokan juga
dilakukan dengan clustergram dua arah yang dikombinasikan dengan heatmap
menggunakan software R-package d3heatmap (Cheng et al. 2016). Formulasi
beberapa perhitungan dan analisis dijabarkan sebagai berikut:
A. Persentase gabah isi (PGI) didapatkan sesuai dengan formula:

𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑔𝑎𝑏𝑎ℎ 𝑖𝑠𝑖


𝑃𝐺𝐼 = × 100%
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑔𝑎𝑏𝑎ℎ 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙
14

B. Produktivitas didapatkan berdasarkan karakter produksi dengan formula :

ℎ𝑎𝑠𝑖𝑙 𝑝𝑒𝑟 𝑝𝑙𝑜𝑡 × 160000


𝑃𝑟𝑜𝑑𝑢𝑘𝑡𝑖𝑣𝑖𝑡𝑎𝑠 =
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑡𝑎𝑛𝑎𝑚𝑎𝑛 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑝𝑎𝑛𝑒𝑛

C. Analisis komponen ragam, heritabilitas, dan kofisies keragaman genetik

Tabel 3.2 Formulasi keragaman genetik galur padi dihaploid berdasarkan


rancangan percobaan
Sumber keragaman Derajat bebas Kuadrat tengah Nilai harapan
Ulangan (r-1)
Genotipe (g-1) KTg σ2e + rσ2g
Galat (r-1)(g-1) KTe σ2e

Menurut Syukur et al. (2015) nilai ragam fenotipe dan genotipe dapat
diduga dengan menggunakan persamaan berikut;
KTe
σ2e =
r
KTg − KTe
σ2g =
r
𝜎p2 = σ2g + σ2e
Keterangan :
r : banyaknya ulangan pada percobaan
g : banyaknya genotipe yang digunakan pada percobaan
σ2e : nilai ragam lingkungan
2
σg : nilai ragam genotipe
2
𝜎p : nilai ragam fenotipe
KTg : Kuadrat Tengah genotipe
KTe : Kuadrat Tengah lingkungan
Heritabilitas arti luas (h2bs)

σ2g
h2bs = x 100%
σ2g +σ2e

3.3 Hasil dan Pembahasan

3.3.1 Parameter Genetik Populasi Padi Dihaploid

Hasil sidik peragam dan nilai heritabilitas arti luas padi dihaploid
ditampilkan pada Tabel 3.3. Tabel tersebut menunjukkan karakter tinggi tanaman
vegetatif, anakan produktif, produktivitas, dan persentase gabah isi yang nyata
terhadap peragam baris. Hal ini mengindikasikan bahwa karakter tersebut
dipengaruhi oleh posisi layout dari inlet dan outlet lahan sehingga posisi inlet dan
outlet menjadi pertimbangan dalam proses pembuatan layout percobaan.
Penggunaan analisis peragam merupakan suatu usaha untuk meminimalkan galat
15

percobaan yang tidak bisa ditangani oleh analisis ragam. Analisis peragam identik
dengan adanya faktor yang berada di luar perlakuan percobaan yang mempengaruhi
hasil percobaan sehingga perlu dikondisikan agar pengaruh perlakuan dapat lebih
akurat (Mattjik dan Sumertajaya 2013). Setiap karakter pengamatan menunjukkan
signifikasi yang sangat nyata pada 𝛼 0.01. Hal ini menjelaskan bahwa perbedaan
fenotipe padi dipengaruhi oleh perbedaan genetik yang besar. Hal ini juga
dibuktikan oleh nilai heritabilitas yang diperoleh melalui kuadrat tengah pada
rancangan percobaan (Ogunbayo et al. 2014; Nirmaladevi et al. 2015; Baloch et al.
2016). Semua karakter menunjukkan nilai heritabilitas di atas 60%. Menurut
Johnson et al. (1955) nilai heritabilitas di atas 60% diklasifikasikan sebagai
heritabilitas yang tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh genetik lebih besar
dibandingkan pengaruh lingkungannya. Karakter yang memiliki nilai heritabilitas
tertinggi ialah karakter umur berbunga sebesar 97.80% yang diikuti oleh jumlah
gabah total (JGT) dan panjang malai (PM). Hal ini juga dilaporkan oleh Ogunbayo
et al. (2014) dan Fathelrahman et al. (2015) yang menunjukkan bahwa umur
berbunga merupakan karakter yang memiliki nilai heritabilitas yang tinggi.
Sebaliknya nilai heritabilitas terendah dimiliki oleh jumlah gabah isi sebesar
63.12%.

Tabel 3.3 Hasil sidik peragam (ANCOVA) dan parameter genetik populasi padi
dihaploid

SK TTV AP UB PM Pr B1000 JGI JGT PGI

Ul 8.10 18.53** 3.94 34.81** 12.29** 0.03 8208.9** 2812.2** 1664.5**


G 100.16** 13.36** 66.73** 9.67** 1.76** 0.49** 691.8** 2702.7** 159.3**
Galat 13.73 3.71 1.47 1.32 0.53 0.08 255.1 222.0 56.71
Pg * ** tn tn ** tn tn tn **
KK 3.67 10.88 1.51 4.05 15.96 5.12 14.35 9.34 10.66
VG 28.81 3.22 21.75 2.79 0.41 0.14 145.56 826.90 34.21
VP 33.39 4.45 22.24 3.22 0.59 0.16 230.61 900.91 53.11
h2bs 86.29 72.26 97.80 86.40 69.83 83.67 63.12 91.79 64.41
Keterangan : * berpengaruh nyata pada 𝛼 0.05, ** signifikan pada 𝛼 0.01, tn = tidak nyata Ul = ulangan, G
= genotipe, KK= koefisien keragaman, TTV = tinggi tanaman vegetatif, AP = anakan produktif,
UB = umur berbunga, PM = panjang malai, Pr = produktivitas, B1000 = bobot 1000 butir, JGI =
jumlah gabah isi, JGT = jumlah gabah total, PGI = persentase gabah isi,VG = ragam genetik, VP
= ragam fenotipe, h2bs = heritabilitas arti luas, Pg = peragam inlet outlet.

Tanaman dihaploid tidak memiliki lokus yang bersifat heterozigos atau


100% lokusnya bersifat homozigos (Dewi dan Purwoko 2012; Dwivedi et al. 2015).
Hal ini menjadikan tanaman dihaploid tidak memiliki aksi gen dominan yang
mempengaruhi karakter-karakternya (Seymour et al. 2011) sehingga karakternya
dapat diwariskan secara menyeluruh. Oleh sebab itu, karakter dengan nilai
heritabilitas yang tinggi dapat digunakan sebagai karakter seleksi yang dapat
meningkatkan efektivitas seleksi (Cegielska-Taras et al. 2015). Berdasarkan
analisis di atas seluruh karakter pengamatan dapat dijadikan sebagai karakter
seleksi.
16

3.3.2 Karakterisasi Galur-galur Padi Dihaploid

Seluruh hasil karakterisasi ditampilkan pada Tabel 3.4. Tabel tersebut


menunjukkan rata-rata tinggi tanaman vegetatif dari 60 genotipe sebesar 100.87
cm dengan rentang antara 76.10-107.95 cm. Menurut Yoshida (1981) tinggi
tanaman sangat terkait dengan partisi biomassa dan umur suatu tanaman. Semakin
tinggi tanaman vegetatif padi relatif memiliki umur tamanan yang lebih lama.
Menurut Safitri (2016) pengelompokan tinggi tanaman padi sawah terbagi menjadi
tiga kelompok, yaitu pendek (< 110 cm), sedang (110-130 cm) dan tinggi (> 130
cm). Berdasarkan pengelompokan di atas, semua genotipe tergolong pendek yang
menunjukkan rata-rata genotipe memiliki umur tanaman yang relatif genjah.

Tabel 3.4 Karakter galur-galur padi dihaploid di Dramaga Bogor


L Genotipe TTV AP UB PM B1000 JGI JGT PGI Pr
* *
F1 HS1-28-1-5 96.09 15.3 86.8 23.54 25.50 103.6 124.4 83.02 3.28
F2 HS1-35-1-4 99.49 16.1 75.3 27.32 30.75 77.2 120.9 62.60 3.41
F3 HS1-35-1-5 100.73 18.2 76.4 27.79 32.30* 98.6 140.3 70.06 4.38
F4 HS1-35-1-6 96.87 18.6 74.8 27.32 30.05 96.7 144.1 67.19 3.95
F5 HS1-35-1-7 100.14 18.1 75.8 27.09 31.15 99.8 137.5 72.41 4.47
F6 HS1-35-1-8 100.23 17.7 75.6 27.53 28.35 93.4 136.7 70.97 3.59
F7 HS1-35-1-9 96.32 17.3 75.0 26.80 31.05 94.9 127.7 74.48 3.82
F8 HS1-35-1-10 103.01 16.4 75.0 28.02 31.20 105.0 134.8 77.98 4.17
F9 HS1-35-1-13 101.83 18.7 75.1 27.45 31.00 106.7 139.8 75.68 4.88
F10 HS1-35-1-14 98.14 16.4 74.9 27.84 30.25 107.2 143.5 74.85 4.30
F11 HS1-35-1-15 98.12 18.0 75.8 26.06 28.95 87.9 121.8 70.92 4.07
* * *
F12 HS4-11-1-1 104.46 13.7 87.2 29.79 31.45 113.1 209.3 53.74 4.36
F13 HS4-11-1-2 107.94* 13.5 88.7* 31.29* 32.00* 110.7 227.8* 48.19 4.48
F14 HS4-11-1-30 106.09 15.2 88.3* 29.14 32.20* 114.8 191.3* 59.89 4.59
F15 HS4-11-1-36 106.28 13.7 88.7* 31.14* 31.80* 133.9 235.6* 57.19 4.94
F16 HS4-11-1-70 107.71* 13.9 88.1* 30.76* 31.55* 152.6* 231.2* 66.90 5.14
* * * * *
F17 HS4-11-1-71 107.95 14.8 88.5 28.95 31.60 139.2 206.1 66.91 4.14
* * *
F18 HS4-11-1-72 105.42 15.3 88.3 29.52 32.20 107.2 203.8 52.03 4.30
* * *
F19 HS4-11-1-73 106.65 15.1 88.3 29.56 32.65 124.0 212.3 58.03 5.30
* * *
F20 HS4-11-1-74 99.30 15.3 90. 1 30.28 30.75 113.0 199.3 56.94 5.08
* * *
F21 HS4-11-1-75 102.02 13.1 87.6 29.06 31.60 134.4 216.6 61.51 5.05
F22 HS4-15-1-6 99.78 19.7 81.0 28.33 27.55 123.3 162.7 75.83 5.49
F23 HS4-15-1-9 104.37 16.9 74.6 28.27 29.60 92.9 131.4 70.92 3.75
F24 HS4-15-1-15 101.33 18.6 75.7 28.15 30.35 100.7 132.5 75.91 3.88
F25 HS4-15-1-16 101.67 19.0 75.0 28.92 29.25 108.0 139.7 77.09 4.50
F26 HS4-15-1-22 103.34 18.1 77.2 29.46 27.65 98.9 152.1 64.37 3.89
F27 HS4-15-1-23 102.58 16.8 76.2 28.42 29.90 96.3 135.6 71.38 4.10
F28 HS4-15-1-24 101.89 16.7 75.2 28.69 30.00 100.1 132.1 74.99 3.44
17

Tabel 3.4 Karakter galur-galur padi dihaploid di Dramaga Bogor (Lanjutan)


L Genotipe TTV AP UB PM B1000 JGI JGT PGI Pr
*
F29 HS4-15-1-25 107.26 17.3 75.3 29.93 27.00 91.7 133.4 68.50 3.26
F30 HS4-15-1-26 106.40 17.8 75.9 28.65 27.75 97.2 134.5 72.70 3.57
F31 HS4-15-1-27 106.86 15.5 74.9 29.34 28.05 99.2 133.2 75.07 4.10
F32 HS4-15-1-28 106.00 20.1 81.3 29.15 28.80 125.2 165.3 75.55 5.26
F33 HS4-15-1-29 102.13 16.1 75.0 29.58 29.55 103.1 145.0 71.57 4.09
F34 HS4-15-1-43 101.77 18.3 82.0 28.82 28.30 123.6 168.3 73.46 4.96
F35 HS4-15-1-47 102.95 18.4 80.9 28.87 28.15 110.8 158.9 69.63 4.06
F36 HS4-15-1-62 102.99 18.4 81.0 30.42* 26.65 133.5 180.3 74.70 5.31
F37 HS4-15-1-63 96.96 20.9* 80.2 29.44 27.50 108.5 157.4 68.80 5.35
F38 HS4-15-1-64 101.32 20.0 81.0 29.71 27.25 126.0 174.2 71.80 5.37
F39 HS4-15-1-70 102.00 19.7 81.7 28.99 27.95 129.7 171.5 75.10 5.24
*
F40 HS4-15-2-4 100.60 21.3 76.8 29.64 28.60 123.8 155.7 79.03 5.52
*
F41 HS4-15-2-6 103.33 20.9 81.3 28.69 28.75 121.2 163.1 74.02 5.97*
F42 HS4-15-2-9 102.24 20.3 81.4 28.53 27.35 115.6 161.8 70.88 5.29
F43 HS4-15-3-4 98.88 19.3 81.8 28.62 28.40 122.2 169.6 72.62 5.91*
F44 HS4-15-3-5 102.30 19.2 81.2 28.72 27.10 130.2 169.1 76.55 5.67
F45 HS4-15-3-6 100.24 19.2 81.0 28.57 27.85 115.4 156.8 73.39 4.88
F46 HS4-15-3-8 101.63 20.5 82.1 27.72 26.85 118.3 161.0 72.95 5.59
*
F47 HS4-15-3-17 102.31 20.1 81.1 30.74 29.90 116.4 158.2 73.19 6.00*
F48 HS4-15-3-26 96.50 18.6 80.9 28.09 26.40 106.4 148.3 72.19 4.63
F49 HS4-15-3-29 101.43 20.4 81.3 28.43 28.20 110.4 155.9 70.96 5.65
F50 HS4-15-3-30 101.80 19.1 82.1 28.26 27.70 106.8 151.1 70.27 5.00
F51 HS4-15-3-32 104.27 19.9 81.4 29.53 27.70 130.7 171.9 75.95 6.00*
F52 HS4-45-1-66 98.77 18.1 79.6 28.46 28.30 111.9 158.7 70.48 4.71
F53 HS14-15-1-1 94.43 17.7 77.7 22.67 24.30 88.6 117.4 75.79 3.02
F54 HS 17-3-1-1 105.35 18.0 75.1 26.92 27.10 96.0 149.9 65.67 3.58
*
F55 HS17-21-1-7 79.39 19.9 85.5 23.96 25.50 93.3 132.1 71.26 4.00
F56 HS17-33-1-8 98.59 16.6 81.4 27.53 27.45 127.9 154.6 82.56 4.01
*
F57 Ciherang 86.27 17.8 83.8 24.24 26.20 102.1 136.6 74.00 4.26
*
F58 Inpara 5 76.10 21.0 79.3 24.74 26.35 88.7 119.3 74.31 3.72
* *
F59 Inpari 29 97.62 15.3 86.0 30.17 28.35 128.8 210.8 61.68 4.40
Inpari 34 Salin *
F60 103.85 17.0 81.9 25.25 26.55 126.4 149.2 85.09 4.48
Agritan
Rata-rata 100.87 17.7 80.5 28.31 28.91 111.1 159.4 70.53 4.56
Nilai maksimum 107.95 21.2 90.1 31.29 32.65 153.1 235.6 85.04 6.03
Nilai minimum 76.10 13.1 74.6 22.64 24.30 77.1 117.1 48.16 2.99
BNT 0.05 5.99 3.1 2.0 1.90 2.41 25.9 24.5 12.21 1.18
Keterangan : L= label TTV (cm) = tinggi tanaman vegetatif, AP = anakan produktif, UB = umur berbunga, PM (cm) =
panjang malai, B1000 (g) = bobot 1000 butir, JGI = jumlah gabah isi, JGT = jumlah gabah total, PGI (%) =
persentase gabah isi, Pr (ton ha-1) = produktivitas, * = memiliki nilai yang nyata lebih besar dibandingkan nilai
rata-rata berdasarkan uji BNT 0.05.
18

Rata-rata umur berbunga pada Tabel 3.4 sebesar 80.5 hari dengan kisaran
75-90 hari. Menurut Yoshida (1981) umur berbunga berkaitan dengan umur
tanaman dikarenakan fase generatif dan pematangan pada padi relatif sama
sehingga yang membedakan umur tanaman ialah fase vegetatifnya. Selain itu, rata
rata petani menyukai umur padi yang lebih genjah sehingga umur berbunga yang
genjah merupakan indikator yang penting. Berdasarkan penelitian ini, terdapat 46
galur dihaploid yang memiliki umur berbunga lebih genjah dibandingkan varietas
Ciherang (83.8 hari) yang merupakan varietas populer.
Rata-rata anakan produktif yang dihasilkan sebesar 17.7 dengan kisaran 13-
21 anakan (Tabel 3.4). Anakan produktif merupakan anakan yang menghasilkan
malai sehingga sangat terkait dengan produksi tanaman. Menurut Safitri (2016)
jumlah anakan per tanaman padi terbagi menjadi lima golongan, yaitu sangat
banyak (> 25 anakan), banyak (20-25 anakan), sedang (10-19 anakan), sedikit (5-9
anakan) dan sangat sedikit (< 5 anakan). Berdasarkan penelitian ini, terdapat 14
genotipe yang tergolong memiliki anakan produktif banyak dan 46 lainnya
tergolong sedang.
Panjang malai pada populasi ini memiliki rata-rata sebesar 28.31 cm dengan
rentang 22.64-31.29 cm (Tabel 3.4). Menurut Yoshida (1981) panjang malai
merupakan karakter yang menentukan kapasitas jumlah gabah per malainya.
Berdasarkan penelitian ini, terdapat 54 galur dihaploid yang memiliki malai lebih
panjang dibandingkan Ciherang (24.23 cm).
Bobot 1000 butir pada Tabel 3.4 memiliki rata-rata sebesar 28.91 g dengan
rentang bobot antara 24.30-32.65 g yang diukur pada kadar air 14%. Menurut
Abdullah et al. (2008) rata-rata bobot 1000 butir secara umum berkisar 25-27 g.
Penelitian ini menunjukkan terdapat satu genotipe yang memiliki bobot 1000 butir
kurang dari 25 g, 5 genotipe tergolong dalam rentang 25-27 g, dan genotipe lainnya
memiliki nilai > 27 g. Menurut Yoshida (1981) bobot butir merupakan salah satu
penentu produksi padi beserta jumlah anakan produktif, dan jumlah gabah isi per
malainya, sehingga pengamatan terhadap karakter ini penting untuk dilakukan.
Rata rata jumlah gabah total, dan gabah isi secara berturut-turut sebesar
159.40 dan 111.06 dengan rentang antara 117.1-235.6, dan 77.1-153.1 (Tabel 3.4).
Karakter-karakter tersebut sangat terkait dengan potensi produksi suatu tanaman.
Menurut Safitri (2016) salah satu karakter yang dimiliki oleh varietas unggul (> 9
ton ha-1) ialah jumlah gabah per malai yang berkisar 150-250 butir dengan
persentase pengisian sebesar 85-95%. Berdasarkan penelitian ini, tidak terdapat
galur yang memenuhi syarat varietas unggul sesuai Safitri (2016). Namun terdapat
32 galur dihaploid yang memiliki jumlah gabah lebih dari 150, walaupun persentase
gabah isinya tidak melebih 85.00%.
Karakter terakhir yang diamati ialah produktivitas. Rata rata produktivitas
populasi ini sebesar 4.56 ton ha-1 dengan kisaran 2.99 – 6.05 ton ha-1. Adapun
produktivitas ke empat varietas pembanding sebesar 4.26 ton ha-1 (Ciherang) , 3.74
ton ha-1 (Inpara 5), 4.45 ton ha-1 (Inpari 29), dan 4.47 ton ha-1 (Inpari 34 Salin
Agritan). Produktivitas merupakan karakter utama yang digunakan sebagai kriteria
seleksi dalam seleksi langsung. Galur dengan produktivitas yang tinggi dan
melebihi varietas pembanding dapat dijadikan sebagai kandidat varietas unggul
baru. Berdasarkan hasil penelitian ini, terdapat 29 galur yang memiliki
produktivitas lebih tinggi dibandingkan varietas unggul terbaik, Inpari 34 Salin
Agritan, walaupun nilai produktivitas galur-galur tersebut tidak mencapai 9 ton
19

ha-1. Kurangnya pencapaian ini dikarenakan lahan yang digunakan memiliki faktor
pembatas tertentu sehingga nilai produksi, terutama varietas pembanding, menjadi
lebih rendah. Apabila melihat deskripsi analisis tanah dan pemeliharaannya, lahan
ini termasuk dalam kategori moderat salin dengan EC = 3.9 dS/m dan pengairan
dilakukan secara intermitten. Hal ini dapat menginduksi peningkatan salinitas pada
lahan percobaan sehingga berdampak pada penurunan produksi tanaman. Secara
umum tanah dianggap salin ketika EC lebih dari 4 dS/m (Sopandie 2014). Hal lain
yang juga menyebabkan rendahnya produktivitas genotipe ialah serangan wereng
yang terjadi pada lahan percobaan ketika fase pematangan biji.

3.3.3 Pengelompokan Galur Padi Dihaploid berdasarkan Analisis Clustergram

Analisis clustergram padi dihaploid ditampilkan pada Gambar 3.2. Analisis


ini menggunakan warna merah sebagai kekuatan keeratannya. Semakin tinggi
intensitas merah pada kolom interaksi genotipe dan karakter menunjukkan genotipe
tersebut memiliki nilai yang tinggi pada karakternya. Hal ini juga berlaku
sebaliknya terhadap nilai merah yang terang. Berdasarkan Gambar 3.2, terdapat dua
jenis dendrogram yaitu dendrogram genotipe yang bertindak sebagai baris dan
dendrogram karakter agronomi yang bertindak sebagai kolom.
Dendrogram karakter agronomi pada Gambar 3.2 menunjukkan terdapatnya
3 kelompok besar yaitu produktivitas (Pr), jumlah gabah isi (JGI), jumlah gabah
total (JGT), dan umur berbunga (UB) sebagai kelompok pertama (1); bobot 1000
butir (B1000), tinggi tanaman vegetatif (TTV), dan panjang malai (PM) sebagai
kelompok dua (2); anakan produktif (AP) dan presentase jumlah gabah isi (PGI)
sebagai kelompok tiga (3). Pengelompokan karakter ini didasarkan kemiripan pola
timbal balik yang sama antara karakter tersebut dengan genotipe sehingga pola
tersebut dapat dijadikan pertimbangan dalam meningkatkan efesiensi seleksi (Yuan
et al. 2016).
Dendrogram genotipe pada Gambar 3.2 juga terdiri atas 3 kelompok besar.
Kelompok genotipe pertama (I) terdiri atas 11 genotipe yang terbagi menjadi dua
subkelompok. Pengelompokan ini didasarkan pada bobot 1000 butir, jumlah gabah
total, dan umur berbunga yang tinggi serta anakan produktif dan persentase gabah
isi yang sangat rendah. Pengelompokan subkelompoknya didasarkan pada jumlah
gabah isi. Subkelompok yang terdiri atas F15, F16, F17, F21, dan F59 (I.1)
memiliki jumlah gabah isi yang lebih tinggi dibandingkan subkelompok lainnya
(F19, F14, F12, F18, F20, dan F13 (I.2)). Galur F15, F16, F19, F20 dan F21
merupakan galur dengan produktivitas tertinggi pada kelompok tersebut. Galur-
galur tersebut juga memiliki jumlah gabah isi dan bobot 1000 butir yang lebih tinggi
dibandingkan anggota lainnya dalam kelompok ini.
20
20
1 2 3

I.1

I I.2

II.1

II

II.2

III

Pr JGI JGT UB TTV PM B1000 AP PGI

Gambar 3.2 Clustergram dengan konsep heatmap antara genotipe (dendrogram baris) dan karakter seleksi (dendrogram kolom); TTV = tinggi tanaman
vegetatif, AP = anakan produktif, UB = umur berbunga, PM = panjang malai, B1000 = bobot 1000 butir, JGI = jumlah gabah isi, JGT =
jumlah gabah total, PGI = persentase gabah isi, Pr = produktivitas.
21

Kelompok ke dua merupakan kelompok terbesar diantara 3 kelompok yang


ada. Kelompok ini terdiri atas 44 anggota yang terkelompok dalam 2 subkelompok
yang setiap subkelompoknya memiliki 3-4 subsubkelompok. Kelompok ini
didasarkan dari nilai genotipe yang berada di sekitar rata-rata pada setiap karakter.
Hal ini dapat dilihat dari warna yang hampir merata pada setiap karakter dan tidak
adanya warna ekstrim terang pada karakter-karakter tersebut. Adapun karakter-
karakter pembeda dari kedua subkelompok ini ialah produktivitas, jumlah gabah
isi, umur berbunga, bobot 1000 butir dan anakan produktif. Terdapat 20 anggota
dari subkelompok pertama (II.1) relatif memiliki produktivitas, umur berbunga,
jumlah gabah isi, dan anakan produktif yang lebih besar, tetapi memiliki bobot 1000
butir yang relatif lebih rendah dibandingkan subkelompok kedua.
Kelompok ketiga merupakan kelompok pencilan yang terdiri atas 5 genotipe
(F1, F53, F57, F55, dan F58). Kelompok ini ditentukan oleh tinggi tanaman
vegetatif, panjang malai, dan bobot 1000 butir yang sangat rendah serta anakan
produktif, umur berbunga dan persentase gabah isi yang cukup tinggi. Namun
produktivitas kelompok ini tergolong relatif rendah sehingga tidak ada galur yang
dapat diseleksi pada kelompok ini.
Perbedaan antar kelompok genotipe sangat dipengaruhi oleh adanya warna
ekstrim terang pada karakter tinggi tanaman vegetatif, panjang malai, bobot 1000
butir, anakan produktif, dan persentase gabah isi serta ekstrim gelap pada karakter
jumlah gabah total (Gambar 3.2). Menurut Lee et al. (2016) intensitas warna pada
analisis clustergram merupakan tingkat kekuatan atau derajat genotipe pada setiap
karakter. Semakin gelap warna suatu genotipe terhadap suatu karakter maka
semakin tinggi nilai genotipe terhadap karakter tersebut. Hal ini dapat memberikan
pemahaman yang mudah dalam menentukan sifat-sifat kelompok genotipe dengan
melihat kontras warna antar kelompok.
Subkelompok pertama pada kelompok genotipe ke dua (II.1) merupakan
subkelompok terbaik yang dapat diseleksi dan diteruskan pada generasi
selanjutnya. Hal ini dapat dilihat dari pola intensitas warna yang kuat pada karakter
produktivitas, jumlah gabah isi, dan anakan produktif. Pola warna ini menjelaskan
produktivitas memiliki keterkaitan antar karakter-karakter tersebut terhadap
subkelompok ini sehingga dapat dipertimbangkan sebagai karakter seleksi.
Berdasarkan hasil tersebut, pengelompokan dengan clustergram dapat memberikan
gambaran dalam melakukan seleksi secara sederhana. Hal ini berbeda dengan
dendrogram pada umumnya yang hanya memberikan informasi pengelompokan
dan derajat kekerabatan genotipenya (Indhirawati et al. 2015) sehingga informasi
yang diberikan tidak terlalu luas.

3.4 Simpulan

Semua karakter pengamatan memiliki heritabilitas yang tinggi dan dapat


dijadikan sebagai karakter seleksi. Genotipe padi yang diujikan dapat
dikelompokkan menjadi tiga kelompok utama. Tinggi tanaman,anakan produktif,
panjang malai, persentase gabah isi, tinggi, panjang malai, dan bobot 1000 butir
merupakan karakter penentu kelompok genotipe. Karakter jumlah gabah isi, dan
anakan produktif dapat dijadikan sebagai karakter seleksi bersama dengan karakter
produktivitas.
22

4 PENENTUAN INDEKS SELEKSI DAN SELEKSI GALUR-GALUR


PADI DIHAPLOID HASIL KULTUR ANTERA MELALUI
ANALISIS MULTIVARIAT

Abstrak

Seleksi merupakan salah satu tahapan penting dalam program pemuliaan


tanaman, termasuk pada pemuliaan galur padi dihaploid. Pengaruh lingkungan yang
besar menyebabkan seleksi sebaiknya tidak dilakukan secara langsung. Seleksi
simultan dengan indeks seleksi menjadi solusi untuk mengatasi permasalahan
tersebut sehingga penentuan model seleksi indeks untuk menyeleksi galur-galur
dihaploid perlu untuk dilakukan. Percobaan dilakukan di Kebun Percobaan Sawah
Baru IPB, Dramaga, Kabupaten Bogor, Oktober 2016 sampai Januari 2017.
Rancangan percobaan yang digunakan ialah rancangan kelompok lengkap teracak
(RKLT) dengan satu faktor yaitu genotipe. Genotipe yang digunakan berjumlah 60
genotipe yang terdiri atas 56 galur dihaploid dan 4 varietas pembanding yaitu
Ciherang, Inpara 5, Inpari 29, dan Inpari 34 Salin Agritan. Analisis yang digunakan
berupa analisis multivariat yang terdiri atas korelasi Pearson, sidik lintas, analisis
regresi step wise multivariat, dan analisis komponen utama. Hasilnya menunjukkan
bahwa karakter terbaik yang dapat digunakan pada indeks seleksi ialah karakter
anakan produktif, jumlah gabah isi, dan produksi. Nilai bobot karakter tersebut
didasarkan oleh vektor variabel pada KU2. Model indeks seleksi yang didapatkan
yaitu Indeks seleksi = 0.465 produksi + 0.433 anakan produktif + 0.31 jumlah
gabah isi. Seleksi berdasarkan indeks seleksi menghasilkan 24 galur padi dihaploid
yang memiliki peringkat lebih baik dibandingkan Inpari 34 Salin Agritan.

Kata Kunci: analisis multivariat, indeks seleksi, padi dihaploid, PCA,

Abstract

Selection is one of the most important stage in plant breeding programs,


including in breeding doubled haploid rice lines. Due to high influence of
environment, selection should not be done directly. Therefore, it is necessary to
determine the model of selection indices for selection of doubled haploid rice lines.
An experiment was conducted at IPB Rice Field Experiment Station, Darmaga,
Bogor in October 2016 until January 2017. The experiment design used was
randomized complete block design (RCBD) with one factor namely genotype.
There were 60 genotypes consisting of 56 doubled haploid lines and 4 control
varieties. The controls were Ciherang, Inpara 5, Inpari 29, and Inpari34 Salin
Agritan. The analysis used was multivariate analysis consisting of Pearson
correlation, path analysis, multivariate stepwise regression analysis, and principal
component analysis. The results showed that the best characters used in the
selection index (SI) were the productive tiller, the number of filled grain, and yield.
The weight value of the character was based on the variable vector in PC2. Selection
index was formulated i.e SI = 0.465 yield+ 0.433 productive tillers+ 0.31 number
23

of filled grains. Selection based on the selection index yielded 24 doubled haploid
rice lines that ranked better than Inpari 34 Salin Agritan.

Keywords : doubled haploid rice lines, multivariate analysis, PCA, selection indices

4.1 Pendahuluan

Peningkatan produksi padi melalui teknologi dihaploid merupakan salah


satu cara efisien dan efektif dalam proses perakitan varietas. Tanaman dihaploid
merupakan tanaman dengan konstruksi genetik yang homozigos pada seluruh
lokusnya (Dewi dan Purwoko 2012). Galur dihaploid hanya membutuhkan 1
generasi untuk fiksasi dan kemudian dilanjutkan dengan seleksi serta pengujian
daya hasil (Safitri et al. 2016) sehingga dapat mempersingkat waktu penggaluran.
Namun sifat homozigos belum menjamin bahwa fenotipe yang diekspresikan
seluruhnya berasal dari sifat genetiknya. Terdapat pengaruh lingkungan dan
interaksi antara genotipe dan lingkungan yang mempengaruhi keragaman genotipe
pada satu lokasi. Menurut Syukur et al. (2015) keragaman genetik pada satu lokasi
merupakan akumulasi dari keragaman genetik itu sendiri dan interaksinya dengan
lingkungan. Hal tersebut juga dijelaskan pada bab 3 yang menyatakan terdapat
pengaruh lingkungan yang mempengaruhi produktivitas galur padi dihaploid. Oleh
sebab itu, penentuan metode seleksi perlu diperhatikan untuk meningkatkan
efesiensi, efektivitas, dan akurasi dalam seleksi.
Seleksi merupakan salah satu tahapan penting dalam program pemuliaan
tanaman yang bertujuan untuk memilih genotipe-genotipe yang sesuai dengan
harapan dan meneruskannya pada tahap selanjutnya. Seleksi dapat dilakukan secara
langsung terhadap karakter utama dan tidak langsung menggunakan karakter
sekunder yang berkorelasi dengan karakter utama (Acquaah 2007). Seleksi secara
langsung dengan karakter produksi menjadi salah satu metode yang paling
sederhana untuk menyeleksi genotipe harapan. Akan tetapi, karakter ini merupakan
karakter kuantitatif yang dikendalikan oleh banyak gen (gen minor) (Singh et al.
2000) sehingga mekanismenya sangat kompleks (Islam et al. 2017). Selain itu,
pengaruh lingkungan yang besar juga mempengaruhi karakter tersebut (Singh et al.
2000) sehingga seleksi sebaiknya tidak terpusat pada karakter hasil. Salah satu
metode yang efisien dalam melakukan seleksi yaitu metode indeks seleksi. Metode
ini merupakan metode seleksi pada beberapa karakter secara simultan (Rajamani
2016). Kelebihan metode ini ialah adanya proses standarisasi pada setiap karakter
sehingga karakter memiliki derajat yang sama (Akter et al. 2010). Karakter seleksi
diformulasikan ke dalam suatu persamaan regresi yang nantinya menghasilkan
suatu nilai indeks untuk setiap genotipe (Islam et al. 2017). Kemudian nilai indeks
tersebut diperingkatkan untuk menyeleksi tanaman terbaik. Setiap karakter dalam
persamaan regresi indeks seleksi dapat diboboti sesuai dengan nilai ekonominya
(Smith 1936; Singh dan Chaudhary 2007) dan bersifat objektif. Salah satu metode
yang dapat digunakan dalam menentukan nilai bobot tersebut melalui analisis
multivariat.
Analisis multivariat merupakan suatu analisis yang digunakan untuk
mengeksplor dan menyederhanakan suatu set data komplek yang terdiri atas
berbagai variabel (Janmohammadi et al. 2014). Beberapa peneliti menggunakan
24

analisis ini untuk menentukan karakter penting suatu tanaman yang dapat
meningkatkan efektivitas dan efisiensi seleksi (Adebisi et al. 2013; Janmohammadi
et al. 2014; Kumar dan Paul 2016). Terdapat beberapa analisis yang sering
digunakan dalam seleksi, seperti sidik lintas, regresi berganda step wise, dan
analisis komponen utama. Ketiga analisis tersebut banyak difokuskan untuk
mengelompokkan dan menentukan karakter penting dalam seleksi (Seyoum et al.
2012; Khodadadi et al. 2011; Kumar dan Paul 2016) sehingga terdapat informasi
yang belum dieksplor lebih mendalam, seperti penentuan formula indeks seleksi.
Penentuan indeks seleksi melalui analisis multivariat telah dilakukan oleh Saubori
et al. (2008) terhadap padi bersegregasi dengan menggunakan sidik lintas. Akan
tetapi, penggunaan kombinasi ketiga analisis untuk menentukan indeks seleksi pada
padi dihaploid belum dilakukan. Oleh sebab itu, penentuan indeks seleksi pada
galur-galur padi dihaploid perlu untuk dikaji. Tujuan penelitian ini ialah
menentukan formulasi dan efektifitas penggunaan metode multivariat dalam indeks
seleksi serta menyeleksi galur-galur dihaploid yang memiliki sifat agronomi baik.

4.2 Bahan dan Metode

Penelitian ini merupakan analisis lanjutan Bab 3. Semua rancangan dan


mekanisme lapangan sama dengan Bab 3. Perbedaan pada bab ini ialah karakter
pengamatan yang dilakukan dan analisis data yang digunakan. Terdapat 13
karakter kuantitatif yang diamati berupa panjang daun bendera, tinggi tanaman
vegetatif, jumlah anakan total, tinggi tanaman generatif, jumlah anakan produktif,
panjang malai, umur berbunga, bobot 1000 butir, jumlah gabah isi per malai,
jumlah gabah hampa per malai, jumlah gabah total, persentase gabah isi, produksi
tanaman, dan produktivitas.

4.2.1 Analisis Data

Data dianalisis melalui beberapa tahapan. Pertama, data dikorelasikan


menggunakan analisis korelasi Pearson terhadap seluruh karakter pengamatan.
Karakter yang berkorelasi sangat nyata terhadap hasil dilanjutkan dengan sidik
lintas (Singh dan Chaudhary 2007) dan regresi berganda step wise (Mattjik dan
Sumertajaya 2011) menggunakan software R package Agricole (De Mendiburu
2014). Hal ini bertujuan untuk mencari karakter sekunder yang dapat menemani
karakter utama dalam formula indeks seleksi simultan. Karakter sekunder yang
terpilih ialah karakter yang dapat memprediksi dan berpengaruh langsung terhadap
produksi. Kemudian, karakter terpilih divalidasi dengan pengujian efektivitas
karakter sekunder melalui diferensial seleksi terhadap karakter produksi (Acquaah
2007). Adapun, pembobotan didapatkan dari analisis komponen utama
menggunakan software STAR versi 2.0.1. Setiap karakter distandarisasi terlebih
dahulu sebelum dilakukan analisis komponen utama. Penentuan tersebut didasarkan
dari komponen yang sangat dipengaruh oleh karakter produksi. Vektor yang
terdapat pada variabel komponen tersebut dapat digunakan sebagai pembobot
karakter seleksi dalam indeks seleksi. Kemudian dilakukan seleksi terhadap galur-
galur padi dihaploid disertai validasi seleksi menggunakan diferensial seleksi
25

terhadap masing-masing karakter. Penjabaran beberapa analisis dijelaskan sebagai


berikut:

A. Analisis korelasi dan sidik lintas


Analisis korelasi bertujuan untuk menduga keeratan hubungan antara suatu
karakter dengan karakter lainnya yang diamati pada suatu percobaan . Karakter
yang tergolong dalam taraf nyata akan diikutsertakan dalam sidik lintas. Koefisien
korelasi dihitung dengan rumus yang dikemukakan oleh Walpole (1992);

n
 n  n 
n  x i y i    x i   y i 
i 1  i 1  i 1 
r( x , y ) 
 n 2  n   n 2  n
2
 
2

n  x i    x i   n  y i    y i  
 i 1  i 1    i 1  i 1  

Keterangan:
n : banyaknya data
xi : peubah 1 ke-i
yi : peubah 2 ke-i
Sidik lintas digunakan untuk mengidentifikasi komponen-komponen yang
memberikan dampak langsung maupun tidak langsung terhadap karakter hasil padi.
Sidik lintas berdasarkan persamaan seperti yang dikemukakan oleh Singh dan
Chaudary (2007) dengan rumus
C = Ry Rx-1
𝑟1𝑦 𝑟11 𝑟12 … 𝑟1𝑝 𝐶1
𝑟2𝑦 𝑟 𝑟22 … 𝑟2𝑝 𝐶2
[ ⋮ ] = [ 21
⋮ ⋮ ][ ⋮ ]
… ⋮
𝑟𝑝𝑦 𝑟𝑝1 𝑟𝑝2 … 𝑟𝑝𝑝 𝐶𝑝
Keterangan:
C = koefisien lintas
Rx-1 = invers matriks korelasi antar karakter bebas
Ry = vektor koefisien korelasi antara karakter bebas dengan karakter tidak
bebas

B. Diferensial seleksi
Diferensial seleksi merupakan selisih antara rata-rata populasi terseleksi
dengan rata-rata populasi dasarnya pada generasi yang sama (Syukur et al.
2015). Rumus diferensial seleksi sebagai berikut
S= X s– X 0
Keterangan:
S = diferensial seleksi
X s = rata-rata populasi terseleksi
X 0 = rata-rata populasi dasar
26

C. Analisis komponen utama


Analisis komponen utama (AKU) merupakan suatu analisis yang
melibatkan nilai eigen sebagai pereduksi dimensi yang kompleks menjadi dimensi
yang sederhana. Adapun algoritma AKU secara umum sebagai berikut :
 Matriks kovarian dihitung dengan menggunakan persamaan berikut:
∑ 𝑥𝑦
Cov (xy) = 𝑛 − (𝑥)(ӯ)
 Nilai eigen dihitung dengan menyelesaikan persamaan berikut:
(A – λI) = 0

 Vektor eigen dihitung dengan menyelesaikan persamaan berikut:


[A – λI] [X] = [0]
 Variabel baru (komponen utama) ditentukan dengan mengalikan variabel
asli dengan matriks vektor eigen. Varian data awal dijelaskan dari variabel
baru ke-I tergantung kontribusi ρI dari masing-masing nilai eigen yang
dihitung dengan persamaan berikut:
λI
ρI = ∑𝐷 λI 𝑥 100%
𝑗=𝑖
Terdapat tiga cara yang dapat digunakan untuk menentukan jumlah komponen
utama (komponen utama). Pertama, dengan melihat total varian yang dapat
dijelaskan lebih dari 80%. Cara kedua ialah dengan melihat nilai eigen yang lebih
dari satu. Cara ketiga ialah dengan mengamati scree plot yaitu dengan melihat
patahan siku dari scree plot (Galih et al. 2012). Pada penelitian ini untuk
menentukan jumlah komponen utama yang dihasilkan pada analisis AKU ialah
dengan melihat nilai eigen lebih dari satu.

D. Rumus standarisasi baku (Walpole 1982) untuk analisis komponen utama


(𝑥𝑖 − µ0 )
𝑧𝑛 =
√𝜎 2
Keterangan :
zn = nilai standarisasi
xi = nilai genotipe pada suatu karakter
µ0 = nilai rata-rata pada suatu karakter
𝜎 2 = ragam dari suatu karakter

4.3 Hasil dan Pembahasan

4.3.1 Penentuan Karakter Penunjang Produksi dalam Seleksi Galur-galur


Padi Dihaploid

Karakter penunjang produksi dapat diperoleh melalui beberapa analisis.


Salah satu analisis dasar yang dapat digunakan ialah analisis korelasi. Pengunaan
analisis korelasi juga dilaporkan oleh Akter et al. (2010); Akhtar et al. (2011);
Seyoum et al. (2012); Vaisi dan Golpavar (2013) yang bertujuan untuk
mendapatkan kriteria seleksi dalam seleksi simultan. Hasil analisis korelasi (Tabel
4.1) menunjukkan bahwa karakter anakan total, anakan produktif, tinggi tanaman
generatif, umur berbunga, panjang daun bendera, panjang malai, jumlah gabah isi
27

dan jumlah gabah total berkorelasi sangat nyata terhadap produksi. Hasil korelasi
ini juga dilaporkan oleh beberapa peneliti seperti Habib et al. (2007); Sadeghi
(2011); Akter et al. (2010) pada jumlah anakan, Sadeghi (2011) pada umur
berbunga, Sanghera dan Kashyap (2012) dan Ogunbayo et al. (2014) pada daun
bendera, Habib et al. (2007); Ullah et al. (2011); Baloch et al. (2016) pada panjang
malai, Habib et al (2007); Seyoum et al. (2012); Baloch et al. (2016); Akinwale et
al. (2011) pada jumlah gabah isi dan Hairmansis et al. (2010); Ullah et al. (2011) ;
Sadeghi (2011) pada jumlah gabah total. Namun tidak terdapat karakter yang
memiliki nilai korelasi di atas 0.80. Adapun karakter dengan nilai korelasi tertinggi
dimiliki oleh jumlah gabah isi dengan nilai sebesar 0.69. Hasil ini memperkuat
indikasi pentingnya metode seleksi simultan menggunakan karakter agronomi lain
sebagai kriteria seleksi (Hazel dan Lush 1942), khususnya pada metode indeks
seleksi. Oleh sebab itu, analisis lanjut diperlukan untuk menentukan karakter
agronomi yang ideal sebagai kriteria seleksi. Salah satu analisis lanjut yang
memanfaatkan hasil korelasi sebagai dasar dalam analisisnya ialah sidik lintas.

Tabel 4.1 Hasil korelasi Pearson pada semua karakter pengamatan galur padi
dihaploid
TTV AT AP TTG UB DB PM P BS JGI JGH JGT
AT -0.45
AP -0.33 0.75
TTG 0.65 -0.05 -0.23
UB 0.04 0.01 -0.38 0.62
DB 0.67 -0.03 0.18 0.52 -0.02
PM 0.68 -0.23 -0.19 0.54 0.22 0.68
** ** ** **
P 0.18 0.37 0.36 0.51 0.4 0.49** 0.48**
BS 0.46 -0.45 -0.52 0.25 0.17 0.1 0.49 0
JGI 0.37 0.01 -0.12 0.75 0.61 0.38 0.51 0.69** 0.12
JGH 0.35 -0.31 -0.56 0.53 0.71 0.19 0.58 0.22 0.58 0.38
JGT 0.43 -0.21 -0.45 0.74 0.8 0.32 0.66 0.5** 0.46 0.77 0.88
PGI -0.26 0.31 0.49 -0.28 -0.51 -0.11 -0.47 -0.03 -0.59 -0.03 -0.92 -0.66
Keterangan: Signifikansi terfokus pada karakter P, ** berkorelasi nyata pada 𝛼 0.01, TTV = tinggi tanaman vegetatif, AT =
anakan total, AP = anakan produktif, TTG = tinggi tanaman generatif , UB = umur berbunga, UP = umur panen,
DB= panjang daun bendera, PM = panjang malai, P = produksi, BS = bobot 1000 butir, JGI = jumlah gabah isi,
JGH = jumlah gabah hampa, JGT = jumlah gabah total, PGI = persentase gabah isi

Sidik lintas bertujuan untuk mempartisi hasil korelasi ke dalam pengaruh


langsung dan tak langsung (Lorencetti et al. 2006; Mohsin et al. 2009). Pengaruh
langsung yang tinggi mengindikasikan besarnya proporsi pengaruh karakter
tersebut terhadap keragaman karakter utama. Analisis ini telah digunakan oleh
Akhtar et al. (2011); Seyoum et al. (2012); Vaisi dan Golpavar (2013) pada padi,
Sanghera dan Kashyap (2012) pada oat serta Hasan et al. (2016) pada cabai untuk
menentukan kriteria seleksi terbaik. Hasil sidik lintas ditunjukkan pada Tabel 4.2.
Tabel ini mengindikasikan bahwa anakan produktif merupakan karakter yang
memiliki pengaruh langsung terbesar dengan nilai 0.52. Selain itu, terdapat dua
karakter lain yang memiliki pengaruh langsung cukup besar yaitu jumlah gabah isi
dan umur berbunga dengan nilai 0.47 dan 0.37, secara berturut-turut. Pengaruh
anakan produktif dan jumlah gabah isi juga dilaporkan oleh Mustava dan Elsheikh
28

(2007); Kole et al. (2008); Sadeghi (2011) yang menyatakan bahwa kedua karakter
memiliki pengaruh langsung yang tinggi terhadap produksi.
Penggunaan beberapa analisis dapat memberikan pertimbangan dalam
memutuskan kriteria seleksi terbaik (Ojulong et al. 2010; Dallastra et al. 2014).
Analisis lain yang dapat digunakan dalam penentuan kriteria seleksi ialah analisis
regresi linear step-wise multivariat. Analisis ini dapat mengurangi efek dari karakter
yang tidak penting dalam model regresi (Arslan 2012). Adapun penentuan model
regresinya ditentukan melalui kombinasi variabel terbaik berdasarkan korelasi
parsial dengan signifikasi yang nyata dan nilai determinasi yang tinggi (Mattjik dan
Sumertajaya 2011). Hasil analisis tersebut, yang ditampilkan pada Tabel 4.3,
menunjukkan bahwa produksi dapat diprediksi oleh karakter anakan produktif,
jumlah gabah isi, dan jumlah gabah total dengan nilai determinasi sebesar 0.73 yang
dinilai cukup tinggi. Berdasarkan sidik lintas dan regresi multivairat stepwise dapat
disimpulkan bahwa anakan produktif dan jumlah gabah isi merupakan karakter
agronomi yang tepat untuk dijadikan sebagai kriteria seleksi penunjang karakter
produksi. Menurut Akhond et al. (1998) dan Vaisi dan Golpavar (2013) karakter
anakan produktif merupakan karakter positif yang dapat dijadikan sebagai kriteria
seleksi dalam seleksi tidak langsung.

Tabel 4.2 Hasil sidik lintas galur padi dihaploid terhadap karakter produksi
Karakter Pengaruh langsung AT AP TT UB DB PM JGI JGT
AT 0.02 0.39 0.01 0.00 0.00 -0.07 0.00 0.01
AP 0.52 0.02 0.03 -0.14 0.02 -0.06 -0.06 0.02
TTG -0.13 0.00 -0.12 0.23 0.06 0.16 0.36 -0.04
UB 0.37 0.00 -0.20 -0.08 0.00 0.06 0.29 -0.04
DB 0.11 0.00 0.09 -0.07 -0.01 0.20 0.18 -0.02
PM 0.29 -0.01 -0.10 -0.07 0.08 0.07 0.24 -0.03
JGI 0.47 0.00 -0.06 -0.10 0.22 0.04 0.15 -0.04
JGT -0.05 0.00 -0.24 -0.09 0.29 0.03 0.19 0.36
Keterangan: AT = anakan total, AP = anakan produktif, TT = tinggi tanaman, UB = umur berbunga,
DB= panjang daun bendera, PM = panjang malai, JGI = jumlah gabah isi, JGT = jumlah
gabah total, residual model = 0.227.

Evaluasi karakter sekunder dilakukan untuk memvalidasi karakter sekunder


terpilih. Salah satu evaluasi seleksi yang dapat digunakan ialah diferensial seleksi
yang merupakan selisih rata-rata populasi terseleksi dengan populasi dasarnya pada
generasi yang sama (Acquaah 2007; Syukur et al. 2015). Efektivitas dari karakter
sekunder dapat ditentukan dengan membandingkan antara diferensial seleksi
produksi melalui seleksi karakter sekunder dengan diferensial seleksi melalui
seleksi karakter utama. Jumlah genotipe yang diseleksi pada analisis ini sebesar 30
genotipe terbaik dari setiap karakter. Hasil validasi tersebut ditampilkan pada Tabel
4.4. Tabel tersebut menjelaskan bahwa anakan produktif dan jumlah gabah isi
memiliki efektivitas terbesar (>0.7) dibandingkan dengan karakter lainnya. Hal ini
menjadi landasan bahwa arah seleksi anakan produktif dan jumlah gabah isi searah
dengan karakter produksi.
29

Tabel 4.3 Hasil analisis step-wise regresi linear multivariat terhadap produksi padi
Koefisien Estimasi Std. error t value Pr(>|t|)
Intercept -531.13 99.96 -5.313 1.93e-06***
Anakan Produktif 32.64 4.26 7.659 2.82e-10***
Jumlah gabah isi 3.089 0.87 3.553 0.000781***
Jumlah gabah total 1.861 0.49 3.803 0.000355***
2
Keterangan: *** <0.001, Adjusted-R = 0.73 dan F-statistik , p< value 2.2e-16

Tabel 4.4 Validasi efektivitas karakter sekunder Padi


Parameter AT AP TT UB DB PM JGI JGT P
Difs terhadap produksi
73.86 106.19 57.49 25.10 78.19 41.48 94.49 77.16 135.07
(g)
Efektivitas karakter
0.55 0.79 0.43 0.19 0.58 0.31 0.70 0.57 1.00
sekunder
Keterangan: Difs = diferensial seleksi AT = anakan total, AP = anakan produktif, TT = tinggi tanaman, UB =
umur berbunga, DB= panjang daun bendera, PM = panjang malai, JGI = jumlah gabah isi, JGT =
jumlah gabah total, P = produksi.

4.3.2 Penentuan Indeks Seleksi dan Seleksi Galur-galur Padi Dihaploid

Analisis analisis komponen utama (AKU) merupakan suatu teknik


pengolahan data yang dapat memadatkan set data dari dimensi yang tinggi ke dalam
dimensi yang lebih rendah dengan tetap mempertahankan informasi yang terdapat
pada data tersebut (Ilin dan Raiko 2010). Menurut Jolliffe (2002) analisis ini dapat
digunakan sebagai suatu persamaan regresi dengan memanfaatkan koefisien
variabel pada setiap karakter. Koefisien tersebut merupakan vektor keragaman
variabel yang menentukan posisi suatu objek. Penggunaan AKU yang
distandarisasi dapat mencegah efek dari multikolinear dalam menentukan bobot
karakter pada regresi multivariat (Jolliffe 2002; Mattjik dan Sumertajaya 2011)
sehingga model yang dihasilkan tidak bersifat overestimate (Edeboye et al. 2014).
Oleh sebab itu, penentuan formula regresi menggunakan AKU lebih stabil
dibandingkan penentuan regresi secara langsung (Flury dan Riedwly 1981).
Karakter yang diikutkan dalam analisis komponen utama merupakan
karakter yang berkorelasi dengan produksi dan karakter produksi itu sendiri. Hal
ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana keragaman karakter seleksi terhadap
karakter lainnya yang berkorelasi terhadap produksi. Selain itu, penggunaan
karakter tersebut juga memberikan gambaran yang lebih objektif dalam penentuan
nilai bobot karakter indeks seleksi.
Hasil analisis komponen utama (AKU) ditunjukkan pada Tabel 4.5. Berdasarkan
tabel tersebut, terdapat tiga komponen utama yang memiliki nilai eigenvalue di atas
1. Menurut Mattjik dan Sumertajaya (2011) komponen utama yang memiliki nilai
eigenvalue di atas 1 merupakan komponen utama yang representatif dan memiliki
keragaman yang tinggi sehingga dapat dijadikan sebagai dasar dalam pembobot
indeks seleksi. Walaupun komponen utama (KU) 1 menunjukkan nilai eigen
terbaik, namun penentuan nilai pembobot terbaik didapatkan dari komponen utama
yang menunjukkan pengaruh besar terhadap karakter produksinya. Hal ini
dikarenakan produksi merupakan karakter utama seleksi sehingga pengelompokan
dan penentuan karakter pendukung produksi harus searah dengan keragaman
30

produksi. Berdasarkan Tabel 4.5, komponen utama (KU) 2 merupakan KU yang


keragamannya sangat ditentukan oleh karakter produksi, walaupun nilai vektornya
bersifat negatif. Nilai negatif pada ku hanya menunjukkan posisi absolut dari arah
keragaman karakter dalam suatu KU (Jolliffe 2002) sehingga nilai koefisien
tersebut dapat digunakan sebagai pembobot dalam indeks tanpa memperhatikan
tanda negatifnya. KU ini juga menunjukkan bahwa karakter anakan produktif dan
jumlah gabah isi memiliki arah dan kofisien yang tinggi serta mirip dengan karakter
produksi. Hal ini memperjelas bahwa anakan produktif dan jumlah gabah isi
representatif untuk dijadikan sebagai karakter sekunder. Adapun formula yang
dihasilkan yaitu:
Indeks seleksi = 0.465 Pr + 0.433 AP + 0.31 JGI
Tabel 4.5 Hasil analisis komponen utama dari galur padi dihaploid
Karakter KU1 KU2 KU3 KU4 KU5 KU6 KU7 KU8 KU9 KU10
TTV 0.275 -0.031 0.481 -0.207 0.196 0.288 -0.007 -0.403 0.302 -0.200
AT -0.151 -0.404 -0.290 0.330 0.107 0.479 0.501 0.161 0.208 -0.233
AP -0.224 -0.433 0.026 0.316 0.003 -0.031 -0.175 -0.434 -0.581 0.142
TTG 0.328 -0.198 -0.019 -0.322 0.259 0.458 0.025 -0.156 -0.258 0.295
UB 0.280 -0.026 -0.509 -0.125 0.127 0.075 -0.220 0.240 0.077 0.473
DB 0.190 -0.329 0.422 0.168 0.314 -0.069 -0.291 0.647 -0.145 -0.147
PM 0.322 -0.118 0.290 0.255 -0.055 -0.367 0.565 -0.026 0.111 0.514
BS 0.248 0.248 0.190 0.228 -0.668 0.483 -0.033 0.188 -0.247 0.053
JGI 0.276 -0.310 -0.145 -0.386 -0.287 -0.242 0.204 0.030 -0.243 -0.338
JGH 0.355 0.181 -0.195 0.262 0.150 -0.073 -0.014 -0.106 -0.053 -0.230
JGT 0.388 -0.030 -0.209 -0.014 -0.040 -0.174 0.093 -0.060 -0.166 -0.328
PGI -0.279 -0.281 0.131 -0.487 -0.268 0.006 0.122 0.195 0.032 0.108
Pr 0.180 -0.465 -0.084 0.171 -0.376 -0.065 -0.446 -0.181 0.521 0.026
Standar dev 2.44 1.68 1.32 0.98 0.75 0.61 0.44 0.39 0.31 0.29
Proporsi
0.46 0.67 0.81 0.88 0.93 0.95 0.97 0.98 0.99 1.00
kumulatif
Eigen values 5.94 2.83 1.75 0.96 0.56 0.37 0.19 0.15 0.10 0.09
Keterangan: TTV = tinggi tanaman vegetatif AT = anakan total, AP = anakan produktif, TTG = tinggi tanaman
generatif, UB = umur berbunga, UP = umur panen, DB = panjang daun bendera, PM = panjang
malai, B1000 = bobot 1000 butir, JGI = jumlah gabah isi, JGH = jumlah gabah hampa, JGT =
jumlah gabah total, PGI = persentase jumlah gabah isi, Pr = produktivitas.

Hasil seleksi yang ditampilkan pada Tabel 4.6 menunjukkan terdapat 24


galur dihaploid yang memiliki peringkat yang lebih baik dibandingkan Inpari 34
Salin Agritan, yang merupakan varietas pembanding terbaik pada penelitian ini,
sedangkan pada seleksi langsung terdapat 29 galur dihaploid yang lebih baik
dibandingkan Inpari 34 Salin Agritan. Hasil ini mengindikasikan bahwa terdapat
perubahan peringkat genotipe antara seleksi langsung terhadap karakter produksi
dan seleksi dengan indeks seleksi. Perubahan signifikan terlihat pada varietas
pembanding Inpari 34 Salin Agritan (F60) dan Inpara 5 (F58) yang mengalami
peningkatan peringkat ketika diseleksi menggunakan indeks seleksi. Hal ini
menandakan F60 dan F58 memiliki karakter anakan produktif atau jumlah gabah
isi yang lebih baik sehingga keduanya mengalami peningkatan peringkat.
Peningkatan ini dapat memperketat seleksi karena dapat memposisikan varietas
31

pembanding terbaik menjadi lebih baik dari sebelumnya sehingga proses seleksi
dapat lebih akurat dibandingkan sebelumnya (Suwarno et al. 2009).

Tabel 4.6 Hasil seleksi galur padi dihaploid melalui seleksi langsung dan indeks
seleksi
Seleksi indeks
SL
Peringkat Genotipe Genotipe Pr
(ton ha-1) AP JGI indeks
(ton ha-1)
1 F47 6.00 F51 19.9 130.7 6.00 1.73
2 F51 6.00 F41 20.9 121.2 5.97 1.72
3 F41 5.97 F40 21.2 123.8 5.52 1.56
4 F43 5.91 F47 20.0 116.4 6.00 1.45
5 F44 5.67 F44 19.2 130.2 5.67 1.37
6 F49 5.65 F43 19.2 122.2 5.91 1.35
7 F46 5.59 F46 20.5 118.3 5.59 1.35
8 F40 5.52 F38 20.0 126.0 5.37 1.27
9 F22 5.49 F22 19.7 123.3 5.49 1.23
10 F38 5.37 F32 20.1 125.2 5.26 1.21
11 F37 5.35 F39 19.7 129.7 5.24 1.20
12 F36 5.31 F49 20.4 110.4 5.65 1.20
13 F19 5.30 F37 20.9 108.5 5.35 1.09
14 F42 5.29 F42 20.3 115.6 5.29 1.07
15 F32 5.26 F36 18.4 133.5 5.31 1.06
16 F39 5.24 F34 18.3 123.6 4.96 0.62
17 F16 5.14 F45 19.2 115.4 4.88 0.59
18 F20 5.08 F50 19.0 106.8 5.00 0.45
19 F21 5.05 F16 14.0 152.6 5.14 0.43
20 F50 5.00 F9 18.6 106.7 4.88 0.29
21 F34 4.96 F52 18.1 111.9 4.71 0.19
22 F15 4.94 F19 15.1 124.0 5.30 0.17
23 F45 4.88 F25 19.0 108.0 4.50 0.17
24 F9 4.88 F48 18.6 106.4 4.63 0.13
Inpari 34
25 F52 4.71 17.0 126.4 4.48 0.12
Salin Agritan
26 F48 4.63 F15 13.7 133.9 4.94 -0.13
27 F14 4.59 F20 15.3 113.0 5.08 -0.14
28 F25 4.50 F35 18.5 110.8 4.06 -0.14
29 F13 4.48 F21 13.1 134.4 5.05 -0.18
Inpari 34
30 4.48 F56 16.6 127.9 4.01 -0.22
Salin Agritan
32 Inpari 29 4.40 F55 20.0 93.3 4.00 -0.23
33 F3 4.38 Inpari 29 15.3 128.8 4.40 -0.23
36 F18 4.30 Inpara 5 21.0 88.7 3.72 -0.29
37 Ciherang 4.26 Ciherang 17.7 102.1 4.26 -0.37
52 Inpara 5 3.72 F13 13.4 110.7 4.48 -0.95
Keterangan: SL = seleksi langsung, AP = anakan produktif, JGI = jumlah gabah isi, Pr = produktivitas
32

Validasi terkait efektivitas indeks seleksi juga menggunakan analisis


diferensial seleksi, seperti pada validasi karakter sekunder. Validasi tersebut
dilakukan dengan membandingkan diferensial seleksi antara indeks seleksi dengan
seleksi langsung terhadap tiga karakter seleksi dalam beberapa intensitas genotipe
terseleksi. Hasil analisis efektivitas indeks seleksi ditampilkan pada Tabel 4.7.
Tabel tersebut menunjukkan bahwa produktivitas mengalami penurunan diferensial
seleksi ketika menggunakan indeks seleksi. Hal ini merupakan konsekuensi dari
penggunaan indeks seleksi, tetapi perbedaan selisih antar keduanya tidak terlalu
besar. Keuntungan indeks seleksi tercermin pada karakter anakan produktif dan
jumlah gabah isi. Kedua karakter menunjukkan respon diferensial yang lebih baik
pada indeks seleksi, walaupun pada karakter jumlah gabah isi menunjukkan
diferensial seleksi yang lebih rendah dibandingkan seleksi langsung pada 20 dan 25
genotipe terseleksi. Namun apabila dilihat dari pengaruh langsung, kemampuan
memprediksi dan nilai heritabilitasnya, anakan produktif lebih baik dibandingkan
jumlah gabah isi. Hal ini mengindikasikan bahwa karakter anakan produktif lebih
penting dibandingkan jumlah gabah isi. Oleh sebab itu, penggunaan indeks seleksi
dinilai efektif dibandingkan seleksi langsung karena dapat menjaga sifat penunjang
produksi, terutama anakan produktif. Hal ini akan menstabilkan produktivitas
ketika dilanjutkan dan ditanam di lingkungan yang berbeda.

Tabel 4.7 Efektivitas metode indeks seleksi pada galur padi dihaploid berdasarkan
diferensial seleksi
Jumlah genotipe terseleksi
Karakter Metode
5 10 15 20 25 30
indeks 1.27 1.12 1.01 0.86 0.72 0.61
Produktivitas (ton/ha) langsung 1.35 1.16 1.02 0.90 0.78 0.65
selisih -0.08 -0.04 -0.01 -0.04 -0.06 -0.04
indeks 2.5 2.4 2.3 1.8 1.4 0.8
Anakan produktif langsung 2.1 2.4 2.0 1.1 0.9 0.6
selisih 0.4 0 0.3 0.7 0.5 0.2
indeks 13.4 12.7 11.3 10.9 9.6 10.2
Jumlah gabah isi langsung 13.1 11.2 10.9 12.2 11.2 9.7
selisih 0.3 1.5 0.4 -1.3 -1.6 0.5

Kombinasi sidik lintas, regresi step wise dan AKU menjadi alternatif seleksi
yang efektif. Kombinasi ini terfokus pada karakter penting yang dapat memprediksi
dan berpengaruh positif terhadap produksi, sebagai karakter utamanya. Sebaliknya,
karakter yang memiliki pengaruh yang rendah atau negatif tidak diikutsertakan
dalam seleksi (Singh dan Chaudhary 2007; Ferdous et al. 2013). Pembobotan
karakter terpilih didasarkan pada kofisien variabel AKU yang bersifat independen
dan terstandarisasi sehingga eigenvektornya merupakan hasil proporsional dari
matrik korelasi (Jolliffe 2002). Penggunaan vektor variabel AKU sebagai dasar
pembobot juga didukung Godshalk dan Timothy (1988) yang menyatakan vektor
variabel KU dapat menjadi dasar prioritas variabel tersebut dalam indeks seleksi.
Selain itu, pemilihan komponen utama sebagai dasar pembobot difokuskan
terhadap karakter produksi dan tidak didasarkan pada keragaman eigenvalue
33

terbesar sehingga seleksi menjadi efektif dan terpusat pada tujuan utama seleksi.
Hasil penelitian ini juga divalidasi dengan kemajuan genetik yang menunjukkan
respon yang baik ketika menentukan karakter sekunder dan indeks seleksi. Oleh
sebab itu, kombinasi ini dapat menjadi alternatif dalam meningkatkan efesiensi dan
efektivitas seleksi.

4.4 Simpulan

Penggunaan indeks seleksi berdasarkan kombinasi analisis multivariat,


yaitu sidik lintas, regresi multivariat stepwise, dan analisis komponen utama, dinilai
efektif untuk menyeleksi genotipe padi dihaploid. Karakter yang digunakan dalam
indek seleksi yaitu karakter anakan produktif, jumlah gabah isi, dan produksi yang
nilai bobotnya didasarkan oleh vektor variabel pada PC2. Formula indeks seleksi
(IS) untuk populasi ini ialah Indeks seleksi (IS) = 0.465 produktivitas (Pr) + 0.433
anakan produktif (AP) + 0.31 jumlah gabah isi (JGI). Seleksi berdasarkan indeks
seleksi menghasilkan 24 galur padi dihaploid yang memiliki peringkat lebih baik
dibandingkan Inpari 34 Salin Agritan.
34

5 RESPON GALUR-GALUR PADI DIHAPLOID TERHADAP


CEKAMAN SALINITAS PADA KULTUR HIDROPONIK

Abstrak

Salinitas dapat menyebabkan penurunan produksi padi. Oleh sebab itu,


perlu dilakukan perakitan varietas toleran salinitas, salah satunya melalui teknologi
dihaploid. Penentuan sifat dan respon toleransi salinitas dapat diketahui melalui
metode penapisan hidroponik pada fase bibit. Tujuan penelitian ini ialah
mengetahui respon dan sifat toleransi galur-galur padi dihaploid terhadap cekaman
salinitas pada kultur hidroponik. Penelitian ini dilaksanakan di rumah kaca
menggunakan rancangan faktorial tersarang, dimana ulangan tersarang dalam
konsentrasi NaCl diulang sebanyak 3 kali. Genotipe yang digunakan terdiri atas 62
genotipe dan konsentrasi NaCl terdiri atas dua taraf, yaitu 0 (1 dS/m) dan 120 mM
(13.3 dS/m). Kultur hidroponik menggunakan larutan Yoshida yang ditempatkan
dalam bak kultur. Setiap bak memuat 14 satuan percobaan yang 4 di antaranya
merupakan kontrol peka dan toleran (masing-masing 2 satuan percobaan).
Pengamatan yang dilakukan berupa skoring dan 10 karakter pertumbuhan. Hasil
percobaan menunjukkan seluruh karakter mengalami penurunan ketika terpapar
cekaman salinitas. Karakter terkait dengan tajuk memiliki dampak terbesar
dibandingkan dengan karakter yang berkaitan dengan akar. Tanaman toleran
memiliki pola penurunan yang lebih rendah dibandingkan tanaman moderat dan
peka, terutama karakter terkait tajuk. Terdapat 25 galur padi dihaploid yang
memiliki sifat toleransi lebih baik dibandingkan Inpari 29, sebagai pembanding
terbaik pada keadaan salin.

Kata kunci : fase bibit, padi dihaploid, NaCl, salinitas

Abstract

Salinity cause decrease in rice production. Therefore, it is necessary to


develop salinity tolerant varieties, one of which is through doubled haploid
technology. Determination of the traits and responses of salinity tolerance can be
determined by the hydroponic screening method at seedling stage. The objective of
the study was to determine response and tolerance of doubled haploid rice lines to
salinity stress in hydroponic culture. The study was conducted in a greenhouse
using a nested factorial design, nested genotype in NaCl concentrations, and was
repeated 3 times. The plant materials used consisted of 62 genotypes and NaCl
concentration consisted of 0 (1 dS/m) and 120 mM (13.3 dS/m). Hydroponic
cultures used a Yoshida solution. Each container contained 14 experimental units
and 4 units are sensitive and tolerant controls (2 experimental units each).
Observations consisted of scoring and 10 growth characters. Experimental result
showed that all characters are decreased when plants were exposed to salinity stress.
The characters associated with shoot showed the greatest impact compared to the
root-related characters. Tolerant genotypes have a lower pattern of decline than
moderate and sensitive genotypes, especially in shoot-related characters. Analysis
35

showed that there were 25 doubled haploid rice lines showing better tolerance than
Inpari 29, as the best check-in saline stress.

Keywords : doubled haploid rice, NaCl, salinity, seedling phase

5.1 Pendahuluan

Peningkatan produksi padi merupakan prioritas utama bagi negara


Indonesia. Namun peningkatan tersebut dapat menjadi stagnan dan bahkan
menurun dengan terjadinya perubahan iklim. Perubahan iklim memicu berbagai
dampak lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan dan produksi tanaman
(Hadad 2010), salah satunya ialah salinitas.
Salinitas merupakan cekaman yang terkait dengan jumlah kandungan garam
yang terdapat pada tanah atau tanaman. Cekaman salinitas semakin parah apabila
garam yang menginduksi salinitas memiliki ion Na+ (Gupta dan Huang 2014). Hal
ini disebabkan ion Na+ yang tinggi dapat menstimulasi cekaman bersifat toksik
pada tanaman (Redwan et al. 2016). Salinitas memberikan cekaman pada tanaman
melalui dua tahap (Ghosh et al. 2016). Tahap pertama dengan mempengaruhi
potensial osmotik tanah. Tanah yang salin memiliki potensial osmotik yang lebih
rendah dibandingkan potensial osmotik yang dimiliki oleh tanaman sehingga
tanaman sulit untuk menyerap air dari tanah (De Costa et al. 2012). Tahapan kedua
yaitu terjadinya cekaman toksisitas Na+. Natrium yang masuk ke dalam tanaman
akan mengganggu rangkaian proses metabolisme, seperti penurunan reaksi
fotosintesis (Munns & Tester 2008) dan menyebabkan perubahan enzim respirasi
mitokondria sehingga respirasi glikolisis menurun (Jacoby et al. 2011). Selain itu,
adanya ion Na+ akan mengganggu penyerapan ion K yang merupakan unsur
esensial bagi tanaman (Das et al. 2015) sehingga akan mengganggu homeostasis
ion yang ada pada sel tanaman (Reddy et al. 2017). Oleh sebab itu, salinitas
berdampak terhadap penurunan pertumbuhan dan produksi tanaman.
Permasalahan salinitas dapat diatasi salah satunya dengan merakit varietas
yang toleran terhadap cekaman salinitas melalui teknologi tanaman dihaploid.
Teknologi ini memiliki kelebihan dapat memangkas waktu penggaluran menjadi
satu generasi sehingga mempercepat proses perakitan suatu varietas (Dewi dan
Purwoko 2012). Safitri (2016) telah mendapatkan 56 galur dihaploid hasil
persilangan tetua yang memiliki potensi toleran terhadap salinitas. Oleh sebab itu,
penapisan galur-galur dihaploid tersebut terhadap cekaman salinitas perlu untuk
dilakukan.
Penapisan terhadap cekaman salinitas dilakukan pada fase kritis tanaman
padi yaitu perkecambahan (Subasinghe et al. 2007, Pradheeban et al. 2014), bibit
(Ali et al. 2004, Mondal dan Borromeo 2016), dan fase reproduktif (Hariadi et al.
2014, Safitri et al. 2016). Namun dari ketiganya, fase bibit menjadi fase yang
banyak dilakukan dalam penapisan salinitas (Bhowmik et al. 2009, Ali et al. 2014,
Mondal dan Borromeo 2016). Hal ini disebabkan fase bibit memiliki heritabilitas
yang lebih baik dibandingkan fase reproduktifnya ketika didera cekaman salinitas
(Gregorio 1997). Selain itu penapisan fase bibit dinilai lebih cepat (Ali et al. 2014)
dan efektif (Bhowmik et al. 2009) serta dapat meminimalkan pengaruh lingkungan
dengan percobaan terkontrol (Kashenge-Killenga et al. 2013). Adapun konsentrasi
36

NaCl yang digunakan pada metode penapisan ini sebesar 120 mM atau setara ± 12
dS/m (Kanawapee et al. 2012, Islam dan Gregorio 2013, Safitri 2016).
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan galur-galur dihaploid yang
toleran terhadap cekaman salinitas pada fase bibit dan informasi terkait respon
galur-galur padi dihaploid pada cekaman salinitas.

5.2 Bahan dan Metode

Pengujian salinitas fase bibit dilakukan pada kultur hara yang disesuaikan
dengan metode Edgane et al. (2003) yang telah dimodifikasi. Bahan yang
digunakan dalam penelitian ini berupa 56 galur dihaploid hasil kultur antera dan
empat varietas pembanding (Ciherang, Inpara 5, Inpari 34 Salin Agritan, Inpari 29)
(Tabel 3.1) serta dua varietas kontrol toleran dan peka salinitas yaitu Pokkali (F61)
dan IR29 (F62). Selain benih, bahan yang diperlukan dalam penelitian ini berupa
media tanam, air, Styrofoam, larutan Yoshida dan NaCl. Alat yang diperlukan
terdiri atas bak kultur (hidroponik), bak semai, pH-meter, dan EC-meter. Penelitian
ini dilakukan di rumah kaca BB Biogen (6°34'26.2" LS 106°47'07.5" BT) dengan
rata-rata suhu maksimal pada rumah kaca sebesar 41.25 ˚C dan suhu minimum
sebesar 25.72 ˚C. Adapun rata-rata kelembaban maksimum sebesar 90.33% dan
rata-rata kelembaban minimum sebesar 39.18%.

5.2.1 Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan dalam percobaan ini adalah faktorial


RKLT tersarang, dimana faktor genotipe tersarang pada konsentrasi 0 (1 dS/m) dan
120 mM (13.3 dS/m) NaCl. Genotipe yang digunakan terdiri atas 60 genotipe
(Tabel 3.1) dan 2 varietas kontrol yaitu Pokkali (toleran salinitas) dan IR29 (peka
salinitas). Ulangan percobaan dilakukan sebanyak tiga kali dan setiap bak kultur
terdiri atas 10 genotipe dan 2 genotipe pembanding yang diulangi 2 kali, sehingga
total satuan percobaan sebanyak 504 satuan percobaan yang terdapat pada 36 bak
perlakuan. Setiap satuan percobaan terdiri atas empat bibit padi.
Model linear yang digunakan adalah :
Yijk = µ + αi + βj(k)+Ek+(αE)ik + εijk
Keterangan :
Yijk = nilai pengamatan pada perlakuan metode uji ke-i, varietas padi ke-
j dan kelompok ke-k
µ = nilai rataan umum
αi = pengaruh perlakuan genotipe ke-i (i = 1, 2, 3... 60)
βj(k) = pengaruh kelompok ke-j (j=1, 2, dan 3) dalam konsentrasi NaCl
ke-k
Ek = Pengaruh konsentrasi NaCl ke-k (k= 1, 2)
(αE)ik = Pengaruh interaksi genotipe dengan konsentrasi NaCl
ε ijk = pengaruh galat percobaan dari perlakuan varietas padi ke-i,
metode uji ke-j, dan kelompok ke-k.
37

5.2.2 Metode Pelaksanaan dan Pengamatan

Persemaian dilakukan secara bertahap yaitu persemaian di cawan petri


selama 2 hari yang kemudian dipindahkan ke bak pembibitan sampai 7 hari setelah
semai (HSS). Bibit berumur 7 hari dicabut dari media persemaian dan
dipindahtanamkan ke dalam kultur hara dengan menggunakan nampan styrofoam
yang telah dilubangi dengan diameter 18 mm, jarak antar lubang 5 cm x 4 cm.
Penanaman bibit dilakukan dengan cara menggulung batang bibit dengan lembaran
busa tipis dan meletakkannya ke lubang yang sudah dibuat pada styrofoam.
Styrofoam yang sudah berisi bibit kemudian ditempatkan (sampai terapung) dalam
media Yoshida (17 L per bak) (Tabel 5.1 dan 5.2). Aplikasi NaCl akan dilakukan
ketika 13 hari setelah pindah ke bak kultur. Pemberian NaCl dilakukan secara
bertahap untuk menghindari osmotic shock, pemberian NaCl tahap pertama sebesar
60 mM NaCl, kemudian setelah dua hari ditingkatkan menjadi 120 mM NaCl. pH
larutan dipertahankan pada kisaran 5.0-5.1 dengan menambahkan NaOH atau HCl
1 N setiap dua hari sekali. Media kultur hidroponik diganti satu minggu sekali.
Rangkuman uraian penelitian ditampilkan pada Tabel 5.3 dan Gambar 5.1.

Tabel 5.1 Komposisi kimia hara makro larutan Yoshida untuk padi (Egdane et al.
2003)
Konsentrasi (M)
No. Unsur Formula Nama kimia
dalam stock 1000x
1 N NH4NO3 Ammonium nitrate 1.4278
2 P NaH2PO4.H2O Sodium phosphate 0.3623
3 K K2SO4 Potassium sulphate 0.5120
4 Ca CaCl2.2H2O Calcium chloride, dihydrate 0.7550
5 Mg MgSO4.7H2O Magnesium sulphate, 7- 1.6635
hydrate

Tabel 5.2 Komposisi kimia hara mikro larutan Yoshida untuk padi (Egdane et al.
2003)
Konsentrasi (M)
No. Unsur Formula Nama kimia dalam stock
1000x
1 Mn MnCl3.4H2O Manganous chloride, 4- 7.7134
hydrate
2 Mo (NH4)6Mo7O24.4H2O Ammonium molybdate, 4- 0.0639
hydrate
3 Zn ZnSO4.7H2O Zinc sulphate, 7-hydrate 0.1530
4 B H3BO3 Boric acid 18.2274
5 Cu CuSO4.5H2O Cupric sulphate, 5-hydrate 0.1562
6 Fe C10H12N2NaFeO8 FeNa-EDTA 35.8153

Pengamatan yang dilakukan meliputi skoring toleransi terhadap gejala


salinitas sesuai dengan standar evaluasi dari Egdane et al. (2003) (Tabel 5.4).
Evaluasi tersebut akan dilakukan pada saat varietas pembanding peka IR29 mati
atau 14 hari setelah perlakuan NaCl. Adapun, pengamatan karakter lainnya yang
akan dilakukan yaitu tinggi bibit, panjang akar terpanjang, jumlah anakan, jumlah
38

daun, bobot basah tajuk, bobot basah akar, bobot kering tajuk, dan bobot kering
akar

Tabel 5.3 Uraian kegiatan penapisan toleransi salinitas galur-galur padi dihaploid
pada kultur hidroponik
Umur bibit
Kegiatan perlakuan Keterangan
(hari)
0 Semai benih tahap 1 Dalam cawan petri
2 Semai benih tahap 2 Dalam bak pembibitan
Pemindahan bibit ke
Bibit ditanam menggunakan nampan
7 dalam media hidroponik
styrofoam pada instilasi hidroponik
(tanpa NaCl)
Pemberian NaCl dilakukan bertahap dari 0
Pemberian perlakuan
21 mM menjadi 60 mM setelah itu ditingkatkan
NaCl
menjadi 120 mM dengan selang dua hari
Skoring menurut SES IRRI, kemudian
dilanjutkan dengan pengamatan lainnya
Skoring dan evaluasi yaitu tinggi bibit, panjang akar terpanjang,
35
karakter morfologi bibit jumlah anakan, jumlah daun, bobot basah
tajuk, bobot basah akar, bobot kering tajuk,
dan bobot kering akar

Semai 1 Semai 2 7 HST

35 HST Pindah tanam ke bak kultur


Gambar 5.1 Alur pelaksanaan percobaan penapisan toleransi salinitas padi pada
fase bibit di rumah kaca

5.2.3 Analisis Data

Data yang dihasilkan secara umum dianalisis dengan sidik ragam


menggunakan software STAR versi 2.0.1 pada 𝛼 0.05. Apabila data tersebut
berpengaruh nyata dilanjutkan dengan uji Least Significant Difference (LSD)
terhadap rata-rata pada 𝛼 0.05 (Mattjik dan Sumertajaya 2013). Data skoring pada
39

setiap genotipe dianalisis berdasarkan analisis Friedman untuk menentukan median


dari sifat toleransinya. Kemudian median tersebut distandarisasi untuk
menghasilkan indeks toleran. Analisis Friedman dilakukan menggunakan software
Minitab versi 14. Respon genotipe pada setiap karakter dibandingkan terhadap
kedua lingkungan beserta penurunan relatifnya. Kemudian setiap genotipe
dikelompokkan berdasarkan skoring toleransinya dan diidentifikasi responnya pada
setiap karakter. Respon karakter pada kelompok toleran akan dibandingkan dengan
kelompok moderat dan peka untuk mengetahui pola perbedaannya. Setelah itu
setiap anggota kelompok juga dibandingkan dengan penurunan relatif yang dimiliki
oleh Pokkali sebagai varietas kontrol toleran. Analisis data diakhiri dengan analisis
clustergram yang dikombinasi dengan heatmap untuk mengetahui bagaimana
pengelompokan genotipe dan pola sifat dari pengelompokan berdasarkan seluruh
karakter pengamatan. Analisis ini menggunakan intensitas warna untuk
membedakan kekuatan atau derajat dari setiap genotipe terhadap suatu karakter
(Lee et al. 2016). Perhitungan dari analisis dijabarkan sebagai berikut:

A. Rumus standarisasi baku (Walpole 1982) sebagai nilai indeks seleksi (IS)
berdasarkan skor toleransi salinitas

(𝑥𝑖 − µ0 )
𝑧𝑛 =
√𝜎 2

Keterangan :
zn = nilai standarisasi
xi = nilai genotipe pada suatu karakter
µ0 = nilai rata-rata pada suatu karakter
𝜎 2 = ragam dari suatu karakter

Tabel 5.4 Kriteria evaluasi terhadap cekaman salinitas padi pada fase bibit
Skor Deskripsi Kategori toleransi
Pertumbuhan normal, beberapadaun tua
menunjukkan gejala berwarna putih pada
1 Sangat toleran
ujung daun. Tidak ada gejala yang terjadi
pada daun muda
Pertumbuhan agak normal, ujung daun tua
3 kering kecokelatan, ujung daun muda Toleran
berwarna putih
Pertumbuhan terhambat, beberapa daun
5 sudah mengering, titik tumbuh masih dapat Moderat
tumbuh dan berkembang
Pertumbuhan berhenti, sebagian besar daun
7 telah kering, titik tumbuh sudah mengering Peka
sehingga tidak dapat memanjang
Hampir semua bagian tanaman mengering
9 Sangat peka
dan mati
Sumber : Egdane et al. (2003)
40

A. Penurunan relatif pada setiap karakter

𝜒0 − 𝜒𝑠
𝑝𝑒𝑛𝑢𝑟𝑢𝑛𝑎𝑛 𝑟𝑒𝑙𝑎𝑡𝑖𝑓 (𝑃𝑅) =
𝜒0
Keterangan :
X0 = nilai genotipe pada keadaan normal
Xs = nilai genotipe pada keadaan salin

B. Selisih rata-rata dengan kelompok toleran (ST)

(𝑟𝑎𝑡𝑎 𝑟𝑎𝑡𝑎 𝑘𝑒𝑙𝑜𝑚𝑝𝑜𝑘 𝑡𝑜𝑙𝑒𝑟𝑎𝑛 − 𝑟𝑎𝑡𝑎 𝑟𝑎𝑡𝑎 𝑘𝑒𝑙𝑜𝑚𝑝𝑜𝑘 𝑙𝑎𝑖𝑛 ) × 100%


𝑆𝑇 =
𝑟𝑎𝑡𝑎 𝑟𝑎𝑡𝑎 𝑘𝑒𝑙𝑜𝑚𝑝𝑜𝑘 𝑡𝑜𝑙𝑒𝑟𝑎𝑛

5.3 Hasil dan Pembahasan

5.3.1 Penapisan dan Pengelompokan Toleransi Salinitas pada Galur-galur


Padi Dihaploid berdasarkan Analisis Skoring

Hasil skoring penapisan galur-galur padi dihaploid ditunjukkan pada Tabel


5.5 dan fenotipe skoringnya ditampilkan pada Gambar 5.2. Penentuan nilai skor
pada tabel tersebut dilakukan dengan analisis Friedman. Analisis ini menghasilkan
nilai median dari data skoring genotipe yang dikoreksi oleh ulangan percobaannya
(Pereira et al. 2015). Oleh sebab itu, analisis ini efektif untuk data non-parametrik
yang diamati pada suatu rancangan percobaan. Hasil analisis Friedman
menunjukkan 24 genotipe berada di interval 3-4, 20 genotipe di interval 4-5, dan
16 genotipe di bawah skor 5. Hasil analisis ini bersifat interval sehingga dilakukan
modifikasi dalam penentuan tingkat toleransi salinitas yang dilandasi oleh
pengelompokan Egdane et al. (2003). Galur yang difokuskan pada penelitian ini
ialah minimal galur moderat dengan skoring 5 sehingga genotipe di atas skor 5
dikategorikan sebagai peka. Perbedaan kategori toleran dan moderat didasarkan
pada titik tengah keduanya. Menurut Egdane et al. (2003) nilai skoring 4 merupakan
pertengahan antara sifat toleran dan moderat sehingga genotipe yang berada pada
interval 3-4 dapat dikategorikan toleran dan interval 4-5 dapat dikategorikan
moderat. Secara keseluruhan terdapat 43 galur yang memiliki sifat toleransi baik
dan 25 diantaranya memiliki toleransi lebih baik dibandingkan Inpari 29 sebagai
varietas pembanding terbaik.
Hasil pengelompokan dari median Friedman ditampilkan pada Tabel 5.6.
Pengelompokan ini menjadi dasar untuk melihat sebaran rata-rata pada setiap
karakter pertumbuhan terhadap setiap kelompok. Hal ini menjadi perbandingan
umum antar kelompok terhadap setiap karakter pertumbuhannya sehingga kisaran
atau batas setiap kelompok dapat diketahui. Indeks seleksi terhadap toleransi
salinitas yang didapatkan melalui standarisasi median Friedman juga ditampilkan
pada Tabel 5.6 . Indeks tersebut mengambarkan distribusi toleransi genotipe pada
sebaran normal yang dapat digunakan dalam penentuan genotipe yang adaptif.
Semakin positif nilai indeks menunjukkan semakin peka genotipe tersebut. Hal ini
41

berkaitan dengan sifat skor yang memiliki korelasi terbalik dengan sifat
toleransinya.

Tabel 5.5 Nilai skor toleransi salinitas galur-galur padi dihaploid


No Genotipe Median No Genotipe Median
1 HS1-28-1-5 6.33 32 HS4-15-1-28 3.40
2 HS1-35-1-4 6.97 33 HS4-15-1-29 5.00
3 HS1-35-1-5 5.00 34 HS4-15-1-43 5.43
4 HS1-35-1-6 5.00 35 HS4-15-1-47 6.57
5 HS1-35-1-7 4.87 36 HS4-15-1-62 3.00
6 HS1-35-1-8 6.63 37 HS4-15-1-63 3.33
7 HS1-35-1-9 6.63 38 HS4-15-1-64 3.37
8 HS1-35-1-10 3.37 39 HS4-15-1-70 3.33
9 HS1-35-1-13 5.60 40 HS4-15-2-4 3.43
10 HS1-35--14 3.27 41 HS4-15-2-6 3.33
11 HS1-35-1-15 3.40 42 HS4-15-2-9 5.00
12 HS4-11-1-1 4.40 43 HS4-15-3-4 3.27
13 HS4-11-1-2 3.40 44 HS4-15-3-5 6.77
14 HS4-11-1-30 3.40 45 HS4-15-3-6 5.00
15 HS4-11-1-36 7.40 46 HS4-15-3-8 3.33
16 HS4-11-1-70 5.40 47 HS4-15-3-17 3.00
17 HS4-11-1-71 6.33 48 HS4-15-3-26 3.33
18 HS4-11-1-72 4.87 49 HS4-15-3-29 5.00
19 HS4-11-1-73 4.87 50 HS4-15-3-30 3.00
20 HS4-11-1-74 4.40 51 HS4-15-3-32 5.00
21 HS4-11-1-75 5.00 52 HS4-45-1-66 4.33
22 HS4-15-1-6 3.40 53 HS14-15-1-1 5.00
23 HS4-15-1-9 3.00 54 HS 17-3-1-1 4.40
24 HS4-15-1-15 3.33 55 HS17-21-1-7 9.00
25 HS4-15-1-16 4.40 56 HS17-33-1-8 8.40
26 HS4-15-1-22 3.27 57 Ciherang 8.33
27 HS4-15-1-23 5.00 58 Inpara 5 8.23
28 HS4-15-1-24 3.00 59 Inpari 29 4.40
29 HS4-15-1-25 3.33 60 Inpari 34 Salin Agritan 5.40
30 HS4-15-1-26 3.33 61 Pokkali 3.00
31 HS4-15-1-27 5.00 62 IR 29 9.00
42

Tabel 5.6 Pengelompokan toleransi salinitas dan indeks seleksi salinitas pada padi
Prk Genotipe M IS K Prk Genotipe M IS K
1 Pokkali 3.00 -1.09 Toleran 32 HS1-35-1-7 4.87 0.06 moderat
2 HS4-15-1-9 3.00 -1.09 Toleran 33 HS4-11-1-72 4.87 0.06 moderat
3 HS4-15-1-24 3.00 -1.09 Toleran 34 HS4-11-1-73 4.87 0.06 moderat
4 HS4-15-1-62 3.00 -1.09 Toleran 35 HS1-35-1-5 5.00 0.14 moderat
5 HS4-15-3-17 3.00 -1.09 Toleran 36 HS1-35-1-6 5.00 0.14 moderat
6 HS4-15-3-30 3.00 -1.09 Toleran 37 HS4-11-1-75 5.00 0.14 moderat
7 HS1-35--14 3.27 -0.92 Toleran 38 HS4-15-1-23 5.00 0.14 moderat
8 HS4-15-1-22 3.27 -0.92 Toleran 39 HS4-15-1-27 5.00 0.14 moderat
9 HS4-15-3-4 3.27 -0.92 Toleran 40 HS4-15-1-29 5.00 0.14 moderat
10 HS4-15-1-15 3.33 -0.88 Toleran 41 HS4-15-2-9 5.00 0.14 moderat
11 HS4-15-1-25 3.33 -0.88 Toleran 42 HS4-15-3-6 5.00 0.14 moderat
12 HS4-15-1-26 3.33 -0.88 Toleran 43 HS4-15-3-29 5.00 0.14 moderat
13 HS4-15-1-63 3.33 -0.88 Toleran 44 HS4-15-3-32 5.00 0.14 moderat
14 HS4-15-1-70 3.33 -0.88 Toleran 45 HS14-15-1-1 5.00 0.14 moderat
15 HS4-15-2-6 3.33 -0.88 Toleran 46 HS4-11-1-70 5.40 0.38 peka
Inpari 34
16 HS4-15-3-8 3.33 -0.88 Toleran 47 5.40 0.38 peka
Salin Agritan
17 HS4-15-3-26 3.33 -0.88 Toleran 48 HS4-15-1-43 5.43 0.40 peka
18 HS1-35-1-10 3.37 -0.86 Toleran 49 HS1-35-1-13 5.60 0.51 peka
19 HS4-15-1-64 3.37 -0.86 Toleran 50 HS1-28-1-5 6.33 0.95 peka
20 HS1-35-1-15 3.40 -0.84 Toleran 51 HS4-11-1-71 6.33 0.95 peka
21 HS4-11-1-2 3.40 -0.84 Toleran 52 HS4-15-1-47 6.57 1.10 peka
22 HS4-11-1-30 3.40 -0.84 Toleran 53 HS1-35-1-8 6.63 1.14 peka
23 HS4-15-1-6 3.40 -0.84 Toleran 54 HS1-35-1-9 6.63 1.14 peka
24 HS4-15-1-28 3.40 -0.84 Toleran 55 HS4-15-3-5 6.77 1.22 peka
25 HS4-15-2-4 3.43 -0.82 Toleran 56 HS1-35-1-4 6.97 1.35 peka
26 HS4-45-1-66 4.33 -0.27 moderat 57 HS4-11-1-36 7.40 1.61 peka
27 HS4-11-1-1 4.40 -0.23 moderat 58 Inpara 5 8.23 2.12 peka
28 HS4-11-1-74 4.40 -0.23 moderat 59 Ciherang 8.33 2.18 peka
29 HS4-15-1-16 4.40 -0.23 moderat 60 HS17-33-1-8 8.40 2.22 peka
30 HS 17-3-1-1 4.40 -0.23 moderat 61 HS17-21-1-7 9.00 2.59 peka
31 Inpari 29 4.40 -0.23 moderat 62 IR 29 9.00 2.59 peka
Keterangan : Prk = peringkat, M = median, IS = indeks seleksi, K = kelompok
43

a b

c d
Gambar 5.2 Fenotipe skor toleransi salinitas pada padi, a) toleran, b) moderat,
c) peka, d) sangat peka

5.3.2 Respon dan Analisis Karakter Galur-galur Padi Dihaploid pada


Penapisan Toleransi Salinitas Fase Bibit.

Rata-rata fenotipe tanaman pada kedua lingkungan ditampilkan pada Tabel


5.7. Tabel tersebut menunjukkan bahwa Pokkali memiliki pertumbuhan yang cepat
hampir pada semua karakter dibandingkan galur-galur dihaploid pada keadaan
normal. Hal ini disebabkan secara genetik Pokkali memiliki perawakan yang tinggi
(Senanayake et al. 2017). Pertumbuhan varietas pembanding dan IR 29 pada
keadaan normal juga menunjukkan pertumbuhan yang cukup baik dan berada pada
kisaran galur-galur dihaploid.
Perbedaan respon yang nyata terjadi ketika tanaman berada pada lingkungan
salin dengan konsentrasi 120 mM NaCl. Semua galur dihaploid, varietas
pembanding, dan varietas kontrol menunjukkan penurunan rata-rata nilai pada
seluruh karakter. Hal ini juga dilaporkan oleh Bhowmik et al. (2009) dan Ali et al.
(2014) yang menyatakan bahwa salinitas menyebabkan penurunan relatif pada
seluruh karakter bibit ketika diseleksi dengan metode hidroponik. Namun
penurunan relatif karakter varietas Pokkali, sebagai kontrol toleran, relatif lebih
rendah dibandingkan penurunan relatif karakter varietas IR 29, sebagai kontrol
peka. Perbedaan ini juga dilaporkan oleh Bhowmik et al. (2009) yang menggunakan
kedua varietas tersebut dalam penapisan salinitas pada fase bibit. Perbedaan
tersebut juga mengindikasikan bahwa secara umum varietas toleran memiliki
penurunan relatif karakter yang lebih rendah dibandingkan varietas peka. Induksi
salinitas pada galur padi dihaploid menyebabkan perbedaan pola keragaman antar
karakternya. Menurut Al-Amin et al. (2013) cekaman salinitas memberikan respon
dengan derajat yang beragam pada tanaman padi. Hal ini mengindikasikan terdapat
44

perbedaan respon penurunan relatif karakter antar galur dihaploid tersebut. Oleh
sebab itu, penentuan genotipe toleran, selain didasarkan pada skoring, juga dapat
diduga dengan membandingkan penurunan relatif karakter antara galur dihaploid
dengan varietas kontrol Pokkali.

Tabel 5.7 Respon umum percobaan penapisan galur-galur padi dihaploid pada
kultur hara
Galur Nilai tengah
Karakter
Rata-rata Kisaran Pembanding Pokkali IR29
0 mM NaCl
Jumlah daun 10.8 ± 1.67 7.6-14.8 12.1 12.5 10.8
Jumlah anakan 1.8 ± 0.4 1.0-2.8 2.1 2.8 2.2
Tinggi bibit (cm) 67.34 ± 4.87 51.62-76.01 54.44 97.14 69.80
Panjang akar (cm) 20.76 ± 1.98 16.87-25.70 23.66 28.34 19.93
Bobot basah tajuk (g) 3.56 ± 0.51 1.89-5.19 2.61 9.07 4.58
Bobot basah akar (g) 1.59 ± 0.28 0.85-2.33 1.34 2.99 2.54
Bobot biomassa (g) 5.17 ± 0.75 2.74-7.52 3.95 12.06 7.12
Bobot kering tajuk (g) 0.56 ± 0.08 0.27-0.70 0.40 1.24 0.70
Bobot kering akar (g) 0.16 ±0.03 0.07-0.22 0.13 0.30 0.24
Bobot kering biomassa (g) 0.72 ± 0.10 0.35-0.90 0.53 1.54 0.94

120 mM NaCl
Jumlah daun (JD) 9.4 ± 1.4 7-14.7 9.3 10.5 7.7
Jumlah anakan (JA) 1.6 ± 0.5 0.9-3.3 1.5 2.1 1.2
Tinggi bibit (TT) 41.36 ± 5.25 22.18-49.93 31.53 75.74 35.70
Panjang akar (PA) 17.53 ± 2.27 11.09-22.60 23.66 17.99 14.63
Bobot basah tajuk (BBT) 1.37 ± 0.37 0.60-2.15 0.75 4.38 0.91
Bobot basah akar (BBA) 0.85 ± 0.20 0.43-1.21 0.54 1.52 0.76
Bobot biomassa (BBB) 2.22 ± 0.56 1.04-3.29 1.29 5.90 1.67
Bobot kering tajuk (BKT) 0.27 ± 0.06 0.11-0.47 0.16 0.74 0.19
Bobot kering akar (BKA) 0.08 ± 0.02 0.05-0.17 0.07 0.16 0.07
Bobot kering biomassa (BKB) 0.35 ± 0.08 0.17-0.61 0.22 0.90 0.26
45

Tabel 5.8 Jumlah daun dan jumlah anakan galur-galur padi dihaploid yang diuji
dalam penapisan toleransi salinitas pada kultur hidroponik
Jumlah daun (JD) Jumlah anakan (JA) Penurunan relatif
Genotipe
0 mM 120 mM 0 mM 120 mM JD JA
HS1-28-1-5 13.6*+ 9.8 2.7 1.8 0.28 0.33
HS1-35-1-4 11.8 8.9 2.2 1.7 0.24 0.23
HS1-35-1-5 10.3 9.3 1.5 1.5 0.10 0.00
HS1-35-1-6 10.2 8.7 1.7 1.0 0.15 0.40
HS1-35-1-7 11.4 9.4 1.8 1.5 0.17 0.16
HS1-35-1-8 11.0 7.3 2.2 0.9 0.33 0.59
HS1-35-1-9 9.6 8.6 1.8 1.4 0.10 0.25
HS1-35-1-10 10.1 8.7 2.2 1.4 0.14 0.34
HS1-35-1-13 9.7 7.8 1.7 1.2 0.19 0.27
HS1-35-1-14 9.7 9.9 2.2 2.0 -0.02 0.10
HS1-35-1-15 12.2 9.9 2.0 2.1 0.18 -0.05
HS4-11-1-1 8.9 7.9 1.3 1.0 0.11 0.21
HS4-11-1-2 8.9 8.6 1.1 1.3 0.04 -0.14
HS4-11-1-30 9.1 8.6 1.7 1.5 0.06 0.07
HS4-11-1-36 7.7 7.0 1.2 1.2 0.09 0.01
HS4-11-1-70 9.7 8.0 1.6 1.2 0.17 0.22
HS4-11-1-71 9.7 7.8 1.8 1.3 0.20 0.29
HS4-11-1-72 10.8 8.4 1.8 1.4 0.22 0.22
HS4-11-1-73 11.2 8.9 1.7 1.4 0.21 0.14
HS4-11-1-74 11.1 9.7 1.8 1.7 0.13 0.04
HS4-11-1-75 10.1 9.1 1.4 1.8 0.09 -0.22
HS4-15-1-6 12.2 10.6 2.2 2.0 0.13 0.11
HS4-15-1-9 7.9 8.6 1.3 1.7 -0.09 -0.24
HS4-15-1-15 7.6 8.1 1.2 1.1 -0.06 0.10
HS4-15-1-16 9.7 7.3 1.7 1.0 0.24 0.41
HS4-15-1-22 12.2 14.7*+ 2.0 3.3 *+ -0.21 -0.63
HS4-15-1-23 8.9 7.9 1.6 1.1 0.11 0.29
HS4-15-1-24 9.2 10.3 1.1 *+ 1.7 -0.12 -0.49
HS4-15-1-25 8.5 8.2 1.3 1.2 0.04 0.13
HS4-15-1-26 8.9 8.8 1.2 1.3 0.02 -0.08
HS4-15-1-27 8.0 7.7 1.0 1.0 0.04 0.01
HS4-15-1-28 12.6 10.8 2.3 1.5 0.15 0.34
HS4-15-1-29 8.4 7.4 1.0 0.9 0.13 0.07
HS4-15-1-43 12.6 9.9 2.1 1.5 0.21 0.27
HS4-15-1-47 11.6 9.4 1.9 1.7 0.20 0.13
HS4-15-1-62 10.9 9.9 2.0 1.8 0.09 0.12
HS4-15-1-63 11.6 11.1 1.7 2.4 0.05 -0.43
HS4-15-1-64 10.5 9.6 1.7 1.9 0.08 -0.13
46

Tabel 5.8 Jumlah daun dan jumlah anakan galur-galur padi dihaploid yang diuji
dalam penapisan toleransi salinitas pada kultur hidroponik (Lanjutan)
Jumlah daun (JD) Jumlah anakan (JA) Penurunan relatif
Genotipe
0 mM 120 mM 0 mM 120 mM JD JA
HS4-15-1-70 12.0 9.7 1.9 1.9 0.19 0.01
HS4-15-2-4 13.0 10.1 2.4 1.8 0.22 0.25
HS4-15-2-6 12.6 11.8 2.0 2.0 0.06 0.01
HS4-15-2-9 11.6 9.2 1.9 1.4 0.21 0.27
HS4-15-3-4 12.3 11.3 2.2 2.2 0.08 0.00
HS4-15-3-5 12.2 8.7 1.8 1.5 0.29 0.13
HS4-15-3-6 12.4 9.8 2.1 1.7 0.21 0.21
HS4-15-3-8 13.0 10.7 2.1 2.0 0.18 0.06
HS4-15-3-17 11.8 12.3 *+ 2.1 2.4 *+ -0.04 -0.15
HS4-15-3-26 12.3 10.6 2.2 1.9 0.14 0.16
HS4-15-3-29 10.9 9.6 1.8 1.7 0.12 0.10
HS4-15-3-30 14.8 11.6 2.7 *+ 2.5 *+ 0.21 0.07
HS4-15-3-32 10.7 10.4 1.8 2.1 0.03 -0.18
HS4-45-1-66 8.7 8.6 1.4 1.3 0.00 0.12
HS14-15-1-1 12.5 10.9 2.7 *+ 1.4 0.13 0.48
HS 17-3-1-1 13.2 10.4 2.3 1.8 0.21 0.22
HS17-21-1-7 13.3 10.0 2.2 1.8 0.25 0.18
HS17-33-1-8 10.1 7.6 2.0 0.9 0.24 0.56
Ciherang 13.9 *+ 11.5 2.2 2.2 0.17 0.03
Inpara 5 11.1 7.1 2.2 1.0 0.36 0.53
Inpari 34 Salin
10.1 9.4 1.6 1.3 0.07 0.15
Agritan
Inpari 29 13.1 9.4 2.2 1.4 0.29 0.36
Pokkali 12.5 10.5 2.8 2.1 0.16 0.27
IR 29 10.8 7.7 2.2 1.2 0.29 0.46
Rata-rata 10.90 9.39 1.84 1.59 0.12 0.11
SD 1.71 1.43 0.41 0.45 0.11 0.23
Max 14.8 14.7 2.7 3.3 0.3 0.59
Min 7.6 7.0 1.0 0.9 -0.2 -0.63
KK 14.88 17.21 22.31 30.94
BNT 0.05 2.63 2.61 0.67 0.79
Keterangan : SD = standar deviasi, KK= kofisien keragaman, *+= menunjukkan bahwa nilai
genotipe tersebut nyata lebih besar dibanding rata-rata karakter dari populasi
tersebut berdasarkan uji BNT 5%.
47

Tabel 5.9 Tinggi tajuk dan panjang akar galur-galur padi dihaploid yang diuji
dalam penapisan toleransi salinitas pada kultur hidroponik
Tinggi tajuk (cm) Panjang akar (cm) Penurunan relatif
Genotipe
0 mM 120 mM 0 mM 120 mM TT PA
*+
HS1-28-1-5 60.06 34.47 27.61 20.33 0.43 0.26
HS1-35-1-4 70.58 40.33 21.88 16.08 0.43 0.26
HS1-35-1-5 70.91 44.51 20.23 17.43 0.37 0.14
HS1-35-1-6 72.31 39.81 19.60 15.15 0.45 0.23
HS1-35-1-7 71.30 42.39 19.83 15.16 0.41 0.24
HS1-35-1-8 69.22 37.19 17.63 14.70 0.46 0.17
HS1-35-1-9 71.50 39.62 18.77 15.23 0.45 0.19
HS1-35-1-10 72.76 44.14 19.30 16.07 0.39 0.17
HS1-35-1-13 70.51 39.65 19.67 14.35 0.44 0.27
HS1-35--14 68.44 46.04 22.07 17.97 0.33 0.19
HS1-35-1-15 66.06 49.93 *+ 20.92 18.46 0.24 0.12
*+
HS4-11-1-1 73.69 43.39 21.49 18.51 0.41 0.14
HS4-11-1-2 70.70 45.85 22.17 20.07 0.35 0.09
HS4-11-1-30 72.17 40.91 20.63 18.88 0.43 0.08
HS4-11-1-36 69.41 29.66 19.14 16.37 0.57 0.14
HS4-11-1-70 74.43 *+ 41.01 18.81 17.76 0.45 0.06
*+
HS4-11-1-71 75.91 33.14 18.71 17.02 0.56 0.09
*+
HS4-11-1-72 74.36 41.04 19.58 15.80 0.45 0.19
*+
HS4-11-1-73 73.20 40.59 21.17 18.05 0.45 0.15
HS4-11-1-74 73.14*+ 44.03 19.14 18.24 0.40 0.05
*+
HS4-11-1-75 76.01 39.70 17.96 16.16 0.48 0.10
HS4-15-1-6 67.69 45.02 23.19 19.06 0.33 0.18
HS4-15-1-9 65.91 44.90 18.77 18.20 0.32 0.03
HS4-15-1-15 65.68 42.81 18.15 16.62 0.35 0.08
HS4-15-1-16 65.40 44.07 20.24 16.47 0.33 0.19
HS4-15-1-22 68.44 47.89 22.37 22.60 0.30 -0.01
HS4-15-1-23 65.97 41.34 18.76 17.28 0.37 0.08
HS4-15-1-24 66.22 48.32 19.58 19.61 0.27 0.00
HS4-15-1-25 62.10 41.44 16.87 14.35 0.33 0.15
HS4-15-1-26 67.21 45.88 20.59 18.51 0.32 0.10
HS4-15-1-27 65.33 40.89 18.12 16.84 0.37 0.07
HS4-15-1-28 65.01 40.31 21.54 16.79 0.38 0.22
HS4-15-1-29 69.09 44.31 18.82 16.53 0.36 0.12
HS4-15-1-43 66.16 33.64 20.33 14.78 0.49 0.27
HS4-15-1-47 65.86 37.68 22.36 14.58 0.43 0.35
HS4-15-1-62 63.34 47.98 22.25 19.81 0.24 0.11
HS4-15-1-63 67.70 45.89 20.65 19.74 0.32 0.04
HS4-15-1-64 63.73 40.58 20.45 17.82 0.36 0.13
HS4-15-1-70 65.76 40.80 22.23 16.64 0.38 0.25
48

Tabel 5.9 Tinggi tajuk dan panjang akar galur-galur padi dihaploid yang diuji
dalam penapisan toleransi salinitas pada kultur hidroponik (Lanjutan)
Tinggi tajuk (cm) Panjang akar (cm) Penurunan relatif
Genotipe
0 mM 120 mM 0 mM 120 mM TT PA
HS4-15-2-4 66.70 41.40 20.84 18.37 0.38 0.12
HS4-15-2-6 66.49 46.66 21.42 21.25 0.30 0.01
HS4-15-2-9 65.47 41.86 22.36 17.55 0.36 0.22
HS4-15-3-4 62.55 42.90 21.74 18.31 0.31 0.16
HS4-15-3-5 68.50 33.90 21.53 15.92 0.51 0.26
HS4-15-3-6 64.05 42.36 22.98 17.10 0.34 0.26
HS4-15-3-8 63.28 45.60 23.53 20.99 0.28 0.11
HS4-15-3-17 63.93 46.08 22.79 22.34 *+ 0.28 0.02
HS4-15-3-26 64.97 44.09 22.41 19.53 0.32 0.13
HS4-15-3-29 68.82 43.76 22.28 20.38 0.36 0.09
HS4-15-3-30 65.88 43.19 24.51 20.24 0.34 0.17
HS4-15-3-32 68.02 37.80 21.41 15.01 0.44 0.30
HS4-45-1-66 63.16 40.89 17.98 16.36 0.35 0.09
HS14-15-1-1 56.93 35.61 22.91 15.66 0.37 0.32
*+
HS 17-3-1-1 73.37 49.45 *+ 23.76 22.03 0.33 0.07
HS17-21-1-7 51.62 22.18 18.80 11.09 0.57 0.41
HS17-33-1-8 54.00 27.42 19.86 15.78 0.49 0.21
Ciherang 52.78 24.56 18.91 13.26 0.53 0.30
*+
Inpara 5 51.73 28.00 25.7 13.67 *+ 0.46 0.47
Inpari 29 57.80 39.14 23.37 21.96 0.32 0.06
Inpari 4 Salin
55.43 34.41 26.65 *+ 21.99 0.38 0.17
Agritan
Pokkali 97.14 75.74 28.34 17.99 0.22 0.37
IR 29 69.80 35.70 19.93 14.63 0.49 0.27
Rata-rata 66.48 40.71 20.95 17.55 0.39 0.16
SD 5.73 5.82 2.19 2.45 0.08 0.10
Max 76.01 49.93 27.61 22.60 0.57 0.47
Min 51.62 22.18 16.87 11.09 0.24 -0.01
KK 5.22 12.35 13.74 16.08
BNT 5.66 8.22 4.68 4.55
Keterangan : SD = standar deviasi, KK= kofisien keragaman, TT = tinggi tajuk, PA =
panjang akar, *+= menunjukkan bahwa nilai genotipe tersebut nyata lebih
besar dibandingkan rata-rata karakter dari populasi tersebut berdasarkan uji
BNT 5%.
.
49

Tabel 5.10 Karakter bobot basah galur-galur padi dihaploid yang diuji dalam
penapisan toleransi salinitas pada kultur hidroponik
BBT (g) BBA (g) BBB (g) Penurunan relatif
Label
0 mM 120 mM 0 mM 120 mM 0 mM 120 mM BBT BBA BBB
F1 4.00 0.93 1.58 0.57 5.86 1.50 0.77 0.64 0.74
*+
F2 4.49 1.23 2.11 0.82 6.86 2.05 0.73 0.61 0.70
F3 3.91 1.48 1.38 0.98 5.47 2.46 0.62 0.29 0.55
F4 3.70 1.03 1.77 0.58 5.54 1.61 0.72 0.67 0.71
F5 4.15 1.34 1.80 0.83 6.19 2.18 0.68 0.54 0.65
F6 3.77 0.71 1.68 0.54 5.55 1.25 0.81 0.68 0.77
F7 3.49 1.08 1.40 0.52 4.93 1.60 0.69 0.63 0.68
F8 4.03 1.33 1.74 0.75 5.86 2.08 0.67 0.57 0.64
F9 3.41 1.06 1.49 0.65 4.90 1.71 0.69 0.57 0.65
F10 3.60 1.71 1.65 0.97 5.26 2.67 0.53 0.42 0.49
F11 3.52 1.95 1.55 1.08 5.07 3.03 0.45 0.30 0.40
F12 3.16 1.19 1.49 0.94 4.65 2.13 0.62 0.37 0.54
F13 3.47 1.57 1.25 1.11 4.73 2.69 0.55 0.11 0.43
F14 3.48 1.60 1.38 0.87 4.86 2.48 0.54 0.37 0.49
F15 2.93 0.92 1.34 0.70 4.28 1.63 0.69 0.48 0.62
F16 4.40 1.25 1.40 0.86 5.79 2.10 0.72 0.39 0.64
F17 4.15 0.72 1.52 0.65 5.67 1.37 0.83 0.57 0.76
F18 3.71 1.21 1.32 0.86 5.03 2.07 0.67 0.35 0.59
F19 3.63 1.28 1.29 0.85 4.92 2.12 0.65 0.34 0.57
F20 3.67 1.50 1.26 0.93 4.93 2.43 0.59 0.26 0.51
F21 3.41 1.30 1.33 0.84 4.74 2.14 0.62 0.37 0.55
F22 3.97 1.69 1.73 0.98 5.70 2.67 0.57 0.44 0.53
F23 3.19 2.01 1.26 1.21 4.45 3.22 0.37 0.04 0.28
F24 3.38 1.50 1.55 1.04 4.93 2.54 0.55 0.33 0.48
F25 3.37 1.43 1.35 0.87 4.72 2.31 0.58 0.35 0.51
*+ *+
F26 4.20 2.15 1.55 1.14 5.75 3.29 0.49 0.27 0.43
F27 3.21 1.33 1.41 0.96 4.62 2.29 0.59 0.32 0.50
*+ *+
F28 3.18 2.11 1.34 1.17 4.52 3.28 0.33 0.13 0.27
F29 2.93 1.15 1.11 0.81 4.04 1.96 0.61 0.27 0.51
F30 3.59 1.76 1.57 1.10 5.15 2.87 0.51 0.30 0.44
F31 2.96 1.38 1.52 1.00 4.48 2.38 0.53 0.34 0.47
F32 3.67 1.40 1.80 0.93 5.47 2.33 0.62 0.48 0.57
F33 3.33 1.42 1.72 0.98 5.05 2.40 0.57 0.43 0.52
F34 3.81 0.76 1.77 0.51 5.58 1.26 0.80 0.71 0.77
F35 3.40 1.00 1.64 0.71 5.05 1.71 0.71 0.57 0.66
F36 3.59 1.71 1.80 0.99 5.39 2.71 0.52 0.45 0.50
F37 3.57 1.66 1.47 1.13 5.04 2.80 0.54 0.23 0.45
F38 2.83 1.10 1.33 0.63 4.16 1.73 0.61 0.53 0.58
F39 3.29 1.34 1.45 0.86 4.74 2.20 0.59 0.40 0.54
50

Tabel 5.10 Karakter bobot basah galur-galur padi dihaploid yang diuji dalam
penapisan toleransi salinitas pada kultur hidroponik (Lanjutan)
BBT (g) BBA (g) BBBT (g) Penurunan relatif
Label
0 mM 120 mM 0 mM 120 mM 0 mM 120 mM BBT BBA BBBT
F40 4.03 1.42 1.95 0.90 5.98 2.32 0.65 0.54 0.61
F41 3.67 1.87 1.72 1.05 5.39 2.92 0.49 0.39 0.46
F42 3.18 1.10 1.49 0.61 4.67 1.70 0.66 0.59 0.64
F43 3.32 1.32 2.14 0.87 5.46 2.19 0.60 0.59 0.60
F44 3.38 1.12 1.38 0.76 4.76 1.88 0.67 0.45 0.60
F45 3.61 1.14 1.88 0.75 5.49 1.88 0.69 0.60 0.66
F46 3.58 1.64 1.93 0.99 5.51 2.62 0.54 0.49 0.52
F47 3.73 1.85 1.93 1.11 5.67 2.96 0.50 0.43 0.48
F48 4.23 1.74 2.33 *+ 1.01 6.57 2.75 0.59 0.57 0.58
F49 3.35 1.38 1.72 0.86 5.06 2.24 0.59 0.50 0.56
*+
F50 4.43 1.61 1.92 0.92 6.35 2.53 0.64 0.52 0.60
F51 3.27 1.13 1.62 0.55 4.89 1.68 0.65 0.66 0.66
F52 2.96 1.51 1.62 0.82 4.58 2.32 0.49 0.50 0.49
F53 3.38 1.00 1.66 0.68 5.04 1.67 0.71 0.59 0.67
*+ *+ *+ *+ *+
F54 5.19 2.14 2.33 1.13 7.52 3.27 0.59 0.51 0.56
F55 1.89 0.60 0.85 0.43 2.74 1.04 0.68 0.49 0.62
F56 2.60 0.64 1.48 0.46 4.08 1.09 0.75 0.69 0.73
F57 2.47 0.52 1.32 0.39 3.79 0.90 0.79 0.71 0.76
F58 2.32 0.52 1.02 0.45 3.34 0.97 0.77 0.56 0.71
F59 2.64 1.17 1.36 0.64 4.00 1.82 0.56 0.53 0.54
F60 3.01 0.81 1.65 0.68 4.65 1.48 0.73 0.59 0.68
F61 9.07 4.38 2.99 1.52 12.06 5.90 0.52 0.49 0.51
F62 4.58 0.91 2.54 0.76 7.12 1.67 0.80 0.70 0.77
rata 3.50 1.33 1.57 0.83 5.09 2.16 0.62 0.46 0.57
SD 0.55 0.40 0.29 0.21 0.79 0.60 0.10 0.15 0.11
max 5.19 2.15 2.33 1.21 7.52 3.29 0.83 0.71 0.77
min 1.89 0.52 0.85 0.39 2.74 0.90 0.33 0.04 0.27
KK 15.60 32.10 26.84 29.52 17.60 30.05
BNT 0.91 0.71 0.7 0.40 1.48 1.07
Keterangan : SD = standar deviasi, KK= kofisien keragaman, BBT= bobot basah tajuk,
BBA = bobot basah akar, BBBT = bobot basah biomassa total, F57 = Ciherang, F58
= Inpara 5, F59 = Inpari 29, F60 = Inpari 34 Salin Agritan. *+= menunjukkan bahwa
nilai genotipe tersebut nyata lebih besar dibandingkan rata-rata karakter dari populasi
tersebut berdasarkan uji BNT 5%.
51

Tabel 5.11 Karakter bobot kering galur-galur padi dihaploid yang diuji dalam
penapisan toleransi salinitas pada kultur hidroponik
BKT (g) BKA (g) BKBT (g) Penurunan relatif
G
0 mM 120 mM 0 mM 120 mM 0 mM 120 mM BKT BKA BKBT
F1 0.51 0.21 0.17 0.06 0.68 0.27 0.60 0.63 0.60
F2 0.56 0.25 0.15 0.07 0.71 0.32 0.54 0.56 0.54
F3 0.54 0.29 0.14 0.08 0.68 0.37 0.47 0.40 0.46
F4 0.69 0.28 0.20 0.07 0.89 0.35 0.59 0.64 0.60
F5 0.61 0.28 0.16 0.07 0.77 0.35 0.54 0.55 0.54
F6 0.57 0.21 0.16 0.06 0.73 0.27 0.63 0.65 0.63
F7 0.51 0.22 0.14 0.07 0.64 0.29 0.56 0.51 0.54
F8 0.58 0.29 0.16 0.09 0.74 0.38 0.51 0.43 0.48
F9 0.64 0.20 0.19 0.06 0.83 0.26 0.69 0.71 0.69
F10 0.61 0.32 0.17 0.09 0.78 0.41 0.47 0.48 0.47
F11 0.56 0.36 0.15 0.10 0.71 0.45 0.36 0.33 0.36
F12 0.50 0.22 0.16 0.06 0.66 0.29 0.56 0.62 0.57
F13 0.53 0.28 0.15 0.09 0.68 0.36 0.48 0.39 0.47
F14 0.52 0.29 0.16 0.08 0.67 0.37 0.45 0.47 0.45
F15 0.66 0.20 0.21 0.07 0.87 0.27 0.70 0.68 0.69
F16 0.55 0.25 0.15 0.07 0.70 0.33 0.54 0.50 0.53
F17 0.59 0.19 0.17 0.08 0.75 0.27 0.68 0.52 0.64
F18 0.59 0.22 0.16 0.07 0.75 0.30 0.62 0.53 0.59
F19 0.59 0.25 0.16 0.08 0.75 0.33 0.57 0.50 0.56
F20 0.55 0.29 0.14 0.09 0.69 0.38 0.47 0.40 0.46
F21 0.57 0.22 0.15 0.07 0.71 0.29 0.61 0.55 0.59
F22 0.62 0.30 0.17 0.09 0.80 0.39 0.51 0.48 0.51
F23 0.51 0.36 0.13 0.09 0.64 0.45 0.29 0.32 0.30
F24 0.55 0.30 0.16 0.09 0.71 0.39 0.45 0.42 0.45
F25 0.53 0.26 0.14 0.09 0.67 0.35 0.51 0.37 0.48
F26 0.68 0.42 0.21 0.12 0.88 0.54 0.37 0.44 0.39
F27 0.54 0.26 0.15 0.08 0.68 0.33 0.52 0.48 0.51
F28 0.52 0.38 0.15 0.11 0.67 0.49 0.28 0.27 0.27
F29 0.47 0.24 0.12 0.06 0.59 0.30 0.50 0.46 0.48
F30 0.55 0.33 0.15 0.09 0.70 0.42 0.41 0.39 0.40
F31 0.50 0.31 0.14 0.09 0.65 0.40 0.39 0.35 0.39
F32 0.59 0.31 0.17 0.08 0.75 0.40 0.47 0.50 0.47
F33 0.48 0.27 0.14 0.08 0.62 0.35 0.44 0.40 0.44
F34 0.69 0.21 0.19 0.07 0.88 0.28 0.69 0.64 0.68
F35 0.54 0.21 0.15 0.07 0.69 0.28 0.60 0.57 0.59
F36 0.54 0.36 0.16 0.09 0.70 0.45 0.34 0.43 0.36
F37 0.55 0.33 0.13 0.11 0.68 0.44 0.39 0.18 0.34
F38 0.46 0.25 0.13 0.07 0.59 0.32 0.47 0.44 0.46
F39 0.49 0.26 0.13 0.09 0.62 0.35 0.47 0.33 0.44
52

Tabel 5.11 Karakter bobot kering galur-galur padi dihaploid yang diuji dalam
penapisan toleransi salinitas pada kultur hidroponik (Lanjutan)
BKT (g) BKA (g) BKBT (g) Penurunan relatif
G
0 mM 120 mM 0 mM 120 mM 0 mM 120 mM BKT BKA BKBT
F40 0.62 0.31 0.17 0.09 0.79 0.39 0.51 0.47 0.51
F41 0.56 0.28 0.14 0.17 0.69 0.45 0.50 -0.27 0.35
F42 0.45 0.22 0.13 0.07 0.58 0.28 0.52 0.47 0.51
F43 0.62 0.27 0.19 0.08 0.81 0.35 0.56 0.57 0.56
F44 0.61 0.23 0.16 0.08 0.77 0.31 0.62 0.51 0.60
F45 0.56 0.22 0.15 0.07 0.71 0.29 0.61 0.55 0.59
F46 0.62 0.30 0.19 0.09 0.81 0.39 0.51 0.54 0.52
F47 0.68 0.34 0.22 0.10 0.90 0.44 0.50 0.55 0.51
F48 0.68 0.32 0.20 0.09 0.88 0.41 0.53 0.54 0.53
F49 0.49 0.27 0.13 0.08 0.62 0.35 0.45 0.40 0.44
F50 0.70 0.33 0.17 0.09 0.88 0.42 0.53 0.46 0.52
F51 0.57 0.23 0.16 0.07 0.73 0.30 0.60 0.53 0.59
F52 0.44 0.27 0.11 0.07 0.55 0.34 0.38 0.35 0.39
F53 0.52 0.21 0.15 0.07 0.68 0.28 0.60 0.54 0.59
F54 0.68 0.47 0.19 0.14 0.87 0.61 0.31 0.28 0.30
F55 0.27 0.11 0.07 0.05 0.35 0.17 0.59 0.32 0.51
F56 0.46 0.16 0.15 0.05 0.61 0.22 0.64 0.65 0.64
F57 0.34 0.09 0.10 0.05 0.44 0.14 0.73 0.48 0.68
F58 0.40 0.13 0.12 0.06 0.52 0.18 0.68 0.50 0.65
F59 0.37 0.24 0.12 0.08 0.49 0.32 0.35 0.31 0.34
F60 0.49 0.17 0.17 0.07 0.67 0.24 0.65 0.58 0.64
F61 1.24 0.74 0.30 0.16 1.54 0.90 0.40 0.48 0.42
F62 0.70 0.19 0.24 0.07 0.94 0.26 0.72 0.70 0.72
rata 0.55 0.26 0.15 0.08 0.70 0.35 0.52 0.46 0.51
SD 0.09 0.07 0.03 0.02 0.11 0.08 0.11 0.14 0.10
max 0.70 0.47 0.22 0.17 0.90 0.61 0.73 0.71 0.69
min 0.27 0.09 0.07 0.05 0.35 0.14 0.28 -0.27 0.27
KK 22.84 31.22 26.93 31.08 23.37 28.37
BNT 0.21 0.14 0.07 0.04 0.27 0.60
Keterangan : SD = standar deviasi, KK= kofisien keragaman, BKT= bobot kering tajuk, BKA
= bobot kering akar, BKBT = bobot kering biomassa total, F57 = Ciherang, F58
= Inpara 5, F59 = Inpari 29, F60 = Inpari 34 Salin Agritan.

Respon genotipe terhadap jumlah daun dan jumlah anakan ditampilkan pada
Tabel 5.8. Tabel tersebut menunjukkan bahwa pemberian cekaman salinitas
meningkatkan koefisien keragaman pada kedua karakter. Hal ini menjelaskan
terjadinya peningkatan pengaruh lingkungan salinitas terhadap kedua karakter
tersebut. Rata-rata penurunan relatif jumlah daun dan jumlah anakan pada genotipe
uji lebih rendah dibandingkan penurunan varietas Pokkali, sebagai varietas toleran.
Hal ini menunjukkan galur yang digunakan relatif stabil terhadap karakter jumlah
daun dan jumlah anakan ketika terpapar salinitas, bahkan terdapat beberapa galur
memiliki nilai penurunan yang negatif. Penurunan negatif menunjukkan bahwa
53

salinitas menginduksi peningkatan jumlah daun atau jumlah anakan yang


dihasilkan. Hasil ini berbeda dengan Safitri (2016) yang menunjukkan penurunan
yang konsisten terhadap jumlah daun dan akar. Perbedaan ini dipengaruhi oleh
perbedaan genotipe dan interaksinya terhadap salinitas.
Tabel 5.9 menunjukkan respon karakter tinggi tajuk dan panjang akar.
Berdasarkan tabel tersebut, Pokkali memiliki nilai tengah penurunan tinggi tajuk
yang lebih rendah dibandingkan rata-rata dari genotipe yang diujikan. Namun
penurunan relatif pada 60 genotipe yang diuji masih lebih rendah dibandingkan
varietas IR29 sebagai varietas peka. Hal ini juga dapat menjelaskan banyaknya
genotipe yang memiliki sifat toleransi baik pada populasi tersebut terhadap dua
karakter tersebut. Penurunan relatif rata-rata tinggi tajuk lebih besar dibandingkan
dengan panjang akar. Hal tersebut juga dilaporkan oleh beberapa peneliti (Masud
et al. 2014; De Leon et al. 2015; Mohamadi et al. 2017). Hal ini menunjukkan
pengaruh salinitas sangat berdampak pada tinggi tajuk dibandingkan panjang akar.
Kedua karakter juga memiliki peningkatan KK ketika diberikan perlakuan salinitas.
Peningkatan KK terbesar dimiliki oleh tinggi tanaman, tetapi peningkatan KK
kedua karakter tidak melebihi 20 % atau masih dalam batas kenormalan galat
(Gomez dan Gomez 1995) sehingga kedua karakter masih dalam kisaran kewajaran
data.
Karakter bobot basah tajuk, akar, dan biomas total ditampilkan pada Tabel
5.10. Tabel tersebut menunjukkan terjadinya perubahan bobot basah pada semua
genotipe termasuk Pokkali. Penurunan yang terjadi kurang lebih mencapai 50 %
dari keadaan normalnya. Penurunan serupa juga dilaporkan oleh beberapa peneliti
(Kashenge-Killenga et al. 2013; Mohamadi et al. 2017). Penurunan yang besar
disebabkan tanaman mengalami gejala kekeringan secara fisiologi ketika tercekam
salinitas (Yamamoto et al. 2011) sehingga air yang masuk ke dalam tanaman akan
berkurang. Hal tersebut berdampak pada KK yang sangat tinggi. Karakter bobot
basah tajuk dan bobot basah biomassa total yang awalnya memiliki KK di bawah
20 % naik menjadi lebih dari 30 %, sedangkan bobot basah akar mengalami
perubahan yang kecil dibandingkan kontrol. Hal ini menunjukkan pengaruh
lingkungan salin juga sangat mempengaruhi karakter bobot basah tajuk dan
biomasa total.
Respon karakter bobot kering tajuk, akar, dan biomasa ditampilkan pada
Tabel 5.11. Tabel tersebut menunjukkan bahwa semua genotipe juga mengalami
penurunan bobot kering yang besar seperti pada bobot basahnya. Hal tersebut juga
disampaikan oleh beberapa peneliti (Bhowmik et al. 2009; Kashenge-Killenga et
al. 2013; Masud et al. 2014; Mohamadi et al. 2017). Namun, Pokkali memiliki
penurunan yang lebih rendah dibandingkan galur padi dihaploid dan IR 29.
Penurunan terbesar terjadi pada IR 29 sebagai varietas peka. Hal tersebut juga
disampaikan oleh Bhowmik et al. (2009) yang juga menyatakan penurunan
tanaman toleran seperti Pokkali memiliki penurunan bobot kering lebih rendah
dibandingkan genotipe peka seperti IR29. Penurunan bobot kering hampir sama
dengan penurunan bobot basahnya. Hal ini menunjukkan adanya kaitan antara
pengaruh kekurangan air dengan pembentukan bahan keringnya. Namun apabila
melihat dari perubahan KK yang terjadi, perbedaan lingkungan tidak terlalu besar
mempengaruhi karakter bobot kering akar dibandingkan karakter bobot basah tajuk
dan biomassanya.
54

Tabel 5.12 Rangkuman koefisien keragaman dan penurunan relatif karakter padi
Variabel JD JA TT PA BBT BBA BBBT BKT BKA BKBT
0 mM 14.88 22.31 5.22 13.74 15.6 26.84 17.6 22.84 26.93 23.37
KK
120 mM 17.21 30.94 12.35 16.08 32.1 29.52 30.05 31.22 31.08 28.37
X 0.13 0.03 0.39 0.16 0.62 0.46 0.57 0.52 0.46 0.51
PR Max 0.36 0.18 0.57 0.47 0.83 0.71 0.77 0.73 0.71 0.69
Min -0.21 -0.09 0.24 -0.01 0.33 0.04 0.27 0.28 -0.27 0.27

Keterangan : KK = kofisien keragaman, PR = penurunan relatif, X = nilai rata-rata, JD = jumlah daun, JA =


jumlah anakan, TT = tinggi tajuk, PA = panjang akar, BBT = bobot basah tajuk, BBA
= bobot basah akar, BBBT = bobot basah biomassa total, BKT = bobot kering tajuk, BKA = bobot
kering akar, BKBT = bobot kering biomassa total.

Keseluruhan informasi dari Tabel 5.8, 5.9, 5.10 dan 5.11 terangkum pada
Tabel 5.12. Tabel ini mengambarkan bahwa cekaman salinitas menyebabkan
peningkatan KK yang besar pada semua karakter pertumbuhan. Peningkatan
tersebut disebabkan adanya pengaruh lingkungan atau kuadrat tengah galat yang
besar ketika tanaman diinduksi cekaman salinitas. Peningkatan KK terbesar terjadi
pada karakter bobot basah tajuk dan biomassa total. Peningkatan tersebut selaras
dengan penurunan rata-rata dari kedua karakter yang sangat tinggi dibandingkan
karakter lainnya. Safitri (2016) juga melaporkan terjadi peningkatan KK pada
semua karakter pertumbuhaan bibit, kecuali panjang akar. Hal ini mengindikasikan
bahwa perubahan lingkungan sangat mempengaruhi keduanya, terutama pada
karakter bobot basah tajuk. Karakter bobot basah sangat terkait dengan penyerapan
air ke dalam tanaman yang berpengaruh terhadap karakter pertumbuhan lainnya.
Salinitas menginduksi penurunan potensial osmotik lingkungan yang menyebabkan
potensial osmotik tanaman lebih tinggi dibandingkan potensial osmotik lingkungan
sehingga tanaman sulit untuk menyerap air dan menimbulkan efek bagi
pertumbuhannya (Mohamadi et al. 2017). Suplai air yang kurang menyebabkan
tanaman berusaha untuk tetap menjaga air di dalam selnya agar tidak terjadi
plasmolisis. Oleh sebab itu, tanaman berusaha meminimalkan proses metabolisme
dan pembelahan selnya (Munns dan Tester 2008) sehingga pertumbuhannya
menjadi lebih lambat dibandingkan pada keadaan normal.
Hal menarik juga terjadi pada bobot basah akar. Karakter ini termasuk
karakter yang dipengaruhi oleh air. Namun pengaruh perubahan lingkungan dan
penurunan relatifnya tidak sebesar bobot tajuk. Hal ini juga selaras dengan
penurunan rata-rata panjang akar yang tidak terlalu besar dibandingkan dengan
penurunan tinggi tajuknya. Menurut De Leon et al. (2015) penurunan panjang akar
tidak memiliki interaksi nyata dengan salinitas dibandingkan tinggi tajuk. Hal ini
mengindikasikan bahwa cekaman salinitas tidak terlalu berdampak pada akar.
Ketika tanaman terpapar salinitas maka akar berusaha untuk memaksimalkan
luasan penyerapan air sehingga akar akan berkembang lebih cepat dibandingkan
tajuk untuk menyeimbangkan neraca air tanaman. Hal ini menyebabkan
pertumbuhan tajuk memiliki perubahan yang signifikan dibandingkan pertumbuhan
akar. Mohamadi et al. (2017) juga menyatakan bahwa tinggi bibit menjadi indikator
penting dalam seleksi salinitas pada fase bibit.
Tabel 5.13 menunjukkan respon pada setiap tingkatan kelompok toleransi
terhadap karakter pertumbuhan. Berdasarkan tabel tersebut, tingkatan toleransi
mempengaruhi penurunan relatif dan rata-rata pada seluruh karakter. Kelompok
55

toleran memiliki penurunan relatif yang lebih rendah dibandingkan kelompok


lainnya. Penurunan relatif yang rendah berkorelasi dengan rata-rata karakter yang
semakin tinggi ketika tanaman mengalami cekaman salinitas. Hal ini menjadi bukti
bahwa galur toleran akan meminimalkan efek dari salinitas (Suplick-Ploense et al.
2002) sehingga dapat tetap tumbuh dengan baik. Adapun kelompok peka memiliki
penurunan relatif terbesar terhadap semua karakter. Namun pada karakter panjang
akar, penurunan relatifnya memiliki nilai yang sama dengan kelompok moderat dan
rasio tersebut juga tergolong rendah. Hal ini mengindikasikan bahwa baik genotipe
toleran maupun peka berusaha meminimalkan pengaruh negatif salinitas terhadap
pertumbuhan akar sehingga tanaman dapat memaksimalkan penyerapan air ketika
terpapar cekaman salinitas. Pernyataan tersebut juga selaras dengan pernyataan
sebelumnya sehingga dapat disimpulkan bahwa karakter panjang akar tidak layak
dijadikan sebagai karakter seleksi.

Tabel 5.13 Nilai tengah kelompok galur-galur padi dihaploid padi terhadap
penapisan toleransi salinitas pada kultur hidroponik
Toleran Moderat Peka
Vr
120 mM PR 120 mM PR % ST 120 mM PR %ST
JD 10.2 ± 1.5 0.10 9 ± 1.0 0.10 11.76 8.7 ± 1.3 0.20 14.71
JA 1.9 ± 0.5 0.00 1.4 ± 0.33 0.20 26.32 1.4 ± 0.4 0.30 26.32
TT 45.73 ± 2.72 0.33 41.8 ± 2.93 0.40 8.59 33.6 ± 6.6 0.50 26.53
PA 18.84 ± 1.96 0.11 17.4 ± 2.05 0.20 7.64 15.8 ± 2.89 0.20 16.14
BBT 1.63 ±0.28 0.54 1.32 ± 0.25 0.62 19.02 0.87 ± 0.24 0.74 46.63
BBA 0.98 ± 0.14 0.38 0.83 ± 0.16 0.46 15.31 0.60 ± 0.14 0.58 38.78
BBB 2.62 ± 0.41 0.50 2.16 ± 0.38 0.57 17.56 1.47 ± 0.37 0.69 43.89
BKT 0.33 ± 0.1 0.45 0.26 ± 0.06 0.51 21.21 0.19 ± 0.05 0.63 42.42
BKA 0.10 ± 0.02 0.40 0.08 ± 0.02 0.46 20.00 0.06 ± 0.01 0.56 40.00
BKB 0.43 ± 0.11 0.44 0.34 ± 0.07 0.50 20.93 0.26 ± 0.05 0.62 39.53
N 24 20 16
Keterangan : Vr = variabel, PR = penurunan relatif, ST = selisih rata-rata dengan kelompok
toleran, N = jumlah genotipe, JD = jumlah daun, JA = jumlah anakan, TT = tinggi
tajuk, PA = panjang akar, BBT = bobot basah tajuk, BBA = bobot basah akar,
BBBT = bobot basah biomassa total, BKT = bobot kering tajuk, BKA = bobot
kering akar, BKBT = bobot kering biomassa total.

Perbedaan rata-rata karakter yang diamati menunjukkan selisih yang tidak


terlalu besar antara kelompok toleran dan moderat (Tabel 5.13). Perbedaan rata-rata
terbesar antar keduanya terdapat pada karakter jumlah anakan sebesar 26.32 %,
tetapi perbedaan tersebut sama dengan perbedaan antara toleran dan peka.
Perbedaan yang rendah antara kedua kelompok terdapat pada karakter panjang akar
dan tinggi tajuk. Hal ini mengindikasikan bahwa kedua kelompok, ketika
mengalami salinitas, tetap menjaga pertumbuhan tinggi tajuk dan panjang akarnya.
Hal serupa juga dilaporkan oleh De Leon et al. (2015) yang menyatakan bahwa
least square means (LSM) antar kedua kelompok terhadap penurunan panjang akar
tidak terlalu besar. Perbedaan yang tidak terlalu besar antara kelompok toleran dan
moderat dikarenakan keduanya memiliki mekanisme dalam mempertahankan
pertumbuhannya. Namun kelompok toleran memiliki mekanisme yang lebih efisien
dibandingkan kelompok moderat sehingga pertumbuhannya lebih baik
dibandingkan kelompok moderat.
Perbedaan antara kelompok toleran dan peka secara umum memiliki selisih
yang besar (Tabel 5.13). Karakter dengan perbedaan terbesar antar kedua kelompok
56

ialah karakter bobot basah tajuk, sedangkan perbedaan selisih terkecil dimiliki oleh
jumlah daun. Hal ini membuktikan bahwa galur peka tidak memiliki atau tidak
efisien dalam menjaga neraca airnya sehingga tanaman peka memiliki pertumbuhan
yang rendah dalam keadaan salin. Karakter bobot basah menjadi karakter penting
ketika tanaman terpapar salinitas sesuai dengan penjelasan sebelumnya sehingga
karakter bobot basah dapat digunakan sebagai salah satu kriteria seleksi, terutama
karakter bobot basah tajuk. Berdasarkan pola yang terdapat pada Tabel 5.13, bahwa
karakter yang berkaitan dengan tajuk memiliki efek penurunan yang sangat besar
dibandingkan dengan karakter yang berkaitan dengan akar (Mohamadi et al. 2017).
Hal ini menjadi bukti bahwa salinitas lebih mempengaruhi pertumbuhan tajuk
dibandingkan akar tanaman. Oleh sebab itu, penilaian penapisan lebih diarahkan
terhadap pertumbuhan tajuk dibandingkan pertumbuhan akar.

Tabel 5.14 Jumlah galur dihaploid padi yang memiliki nilai penurunan karakter
lebih rendah dibandingkan varietas kontrol Pokkali
Kelompok N JD JA TT PA BBT BBA BBB BKT BKA BKB
Toleran 24 19 22 0 24 7 18 13 6 19 16
Moderat 19 12 15 0 19 1 10 4 3 10 8
Peka 13 2 7 0 11 0 4 0 0 1 0
Keterangan : N = jumlah galur, JD = jumlah daun, JA = jumlah anakan, TT = tinggi tajuk,
PA = panjang akar, BBT = bobot basah tajuk, BBA = bobot basah akar, BBBT
= bobot basah biomassa total, BKT = bobot kering tajuk, BKA = bobot kering
akar, BKBT = bobot kering biomassa total.

Pokkali sebagai tanaman yang toleran mudah untuk menyesuaikan tekanan


osmotiknya sehingga penurunan pertumbuhannya tidak terlalu drastis (Kashenge-
Killenga et al. 2013). Penyusuaian osmotik inilah salah satu pembeda antara
tanaman toleran dan peka sehingga tanaman toleran dapat meminimalkan efek
salinitas. Namun mekanisme ini bukan satu satunya yang harus dimiliki oleh
tanaman toleran salinitas. Hal ini dikarenakan salinitas tidak hanya menimbulkan
gejala kekeringan fisiologis. Terdapat beberapa dampak lain yang disebabkan oleh
salinitas yaitu cekaman keracunan ion (Sakina et al, 2016) dan homeostasis ionik
(Horie et al. 2012). Menurut Safitri et al. (2016) Pokkali memiliki mekanisme
toleransi yang bersifat ekslusi. Hal ini dinilai kurang efektif karena sifat
toleransinya dapat menurunkan produksi tanaman. Walaupun demikian
penggunaan varietas ini sebagai pembanding toleransi pada fase bibit masih dinilai
efektif, sehingga menjadi salah satu rekomendasi internasional dalam penapisan
salinitas (Edgane et al. 2003).
Perbandingan penurunan relatif karakter antara varietas Pokkali dan galur
dihaploid ditunjukkan pada Tabel 5.14. Perbandingan tersebut dapat menjadi
indikator tingkatan toleransi pada suatu genotipe dan validasi karakter seleksi.
Safitri (2016) juga melakukan pembandingan penurunan karakter genotipe
dihaploid terhadap varietas Pokkali. Berdasarkan tabel tersebut, karakter panjang
akar tidak layak untuk dijadikan sebagai karakter seleksi. Hal ini disebabkan
terdapat banyak genotipe kelompok peka yang memiliki penurunan akar yang lebih
rendah dibandingkan varietas Pokkali sehingga menjadi bias jika karakter panjang
akar digunakan dalam proses seleksi. Hal tersebut juga dibuktikan dari pembahasan
Tabel 5.13. Karakter tinggi tajuk menunjukkan tidak adanya genotipe yang
57

memiliki tingkat penurunan tajuk lebih rendah dibandingkan varietas Pokkali. Hal
ini mengindikasikan bahwa tinggi tajuk menjadi salah satu karakter yang sangat
ketat dalam menilai toleransi genotipe berdasarkan pertumbuhan varietas kontrol
toleran. Karakter lain yang dapat dijadikan pertimbangan dalam proses seleksi
toleran salinitas ialah bobot basah tajuk, bobot basah biomassa, bobot kering tajuk
dan bobot kering biomassa. Hal ini disebabkan tidak adanya kelompok peka yang
memiliki penurunan yang lebih rendah dibandingkan varietas Pokkali. Keragaman
biomassa pada penelitian ini lebih didominasi oleh tajuk sehingga karakter bobot
basah dan bobot kering tajuk menjadi pilihan dalam pertimbangan karakter.

5.3.3 Pengelompokan Galur-galur Padi Dihaploid berdasarkan Analisis


Clustergram Kombinasi Heatmap

Pengelompokan melalui dendrogram merupakan salah satu cara untuk


mengelompokkan genotipe berdasarkan kedekatan galur terhadap varietas kontrol
(Widyastuti et al. 2016). Pengelompokan dapat lebih bermanfaat bila sifat penentu
kelompok juga diketahui. Hal ini dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi
dalam seleksi genotipe toleran. Salah satu metode yang dapat digunakan ialah
analisis clustergram dengan kombinasi heatmap. Analisis ini dapat mengabungkan
dua dendrogram ke dalam satu bidang yang sama dan dikombinasikan dengan
heatmap (Schonlau 2002). Kombinasi tersebut menghasilkan suatu pola keeratan
antara genotipe dan karakter dalam bentuk intensitas warna sehingga mudah untuk
dipahami (Bowers 2010). Semakin tinggi intensitas warna mengindikasikan bahwa
genotipe tersebut memiliki respon yang tinggi pada karakter tersebut (Lee et al.
2016).
Analisis clustergram terhadap penurunan relatif karakter ditampilkan pada
Gambar 5.4. Analisis tersebut mengelompokkan genotipe ke dalam dua kelompok
besar. Kelompok pertama (I), yang terdiri atas 22 genotipe, memiliki penurunan
relatif yang tinggi dan konsisten pada seluruh karakter, sedangkan pada kelompok
kedua memiliki pola yang tidak konsisten antar penurunan relatif karakternya. Hal
ini menunjukkan bahwa analisis clustergram pada penurunan relatif karakter hanya
dapat mengelompokkan genotipe peka dengan penurunan relatif karakter yang
tinggi ketika terpapar cekaman salinitas. Karakter terkait tajuk dan biomassa total
mengelompok menjadi satu (1) yang mirip dengan pengelompokan pada Gambar
5.3. Namun karakter terkait akar (2) memiliki pola pengelompokan yang berbeda
dengan pengelompokan pada Gambar 5.3. Hal ini kembali menunjukkan bahwa
karakter terkait tajuk dan biomassa total lebih stabil untuk mengambarkan sifat
toleransi suatu genotipe dibandingkan karakter terkait akar pada keadaan tercekam
salinitas. Informasi lain yang ditampilkan pada Gambar 5.4 ialah keeratan antara
nilai median skoring dengan penurunan relatif tinggi tajuk. Hal ini mengindikasikan
bahwa penurunan relatif tinggi tajuk dapat mengambarkan tingkatan salinitas
seperti analisis skoring. Karakter tinggi tajuk juga memberikan respon yang positif
terhadap berbagai analisis sebelumnya sehingga karakter ini dapat
direkomendasikan sebagai salah satu kriteria seleksi penting pada penapisan
salinitas fase bibit.
58
58
3
1 2 3.1

II

SKR SJA SJD SPA SBKA SBBA SBBT SBBBT SBKBT SBKT STT

Gambar 5.3 Clustergram galur-galur padi dihaploid terhadap karakter pengamatan pada keadaan salin (SKR = nilai skor, SJA = jumlah anakan, SJD
= jumlah daun, SPA = panjang akar, SBKA = bobot kering akar, SBBA = bobot basah akar, SBBT= bobot basah tajuk, SBBBT = bobot
basah biomassa total, SBKBT = bobot basah biomassa total, SBKT = bobot kering tajuk, STT = tinggi tajuk)
59
2
1

II

III

PBKT PBKBT PBBT PBBBT SKR PTT PBKA PJD PJA PPA PBBA

Gambar 5.4 Clustergram galur padi dihaploid (baris) terhadap penurunan relatif karakternya (kolom) (SKR = nilai skor, PJA = jumlah anakan, PJD
= jumlah daun, PPA = panjang akar, PBKA = bobot kering akar, PBBA = bobot basah akar, PBBT= bobot basah tajuk, PBBBT = bobot
basah biomassa total, PBKBT = bobot basah biomassa total, PBKT = bobot kering tajuk, PTT = tinggi tajuk)

59
60
60

1 2

II

P P P P S P P P P P P S S S S S S S S S S
K 1 1
1 2 3 4 5 6 7 8 9 8 7 9 6 3 4 2 1 5
R 0 0

Gambar 5.5 Clustergram galur padi dihaploid (baris) terhadap karakter ketika salin (S) dan penurunan relatifnya (P) (kolom) (1= bobot kering tajuk, 2 =
bobot basah biomassa total, 3= bobot basah tajuk, 4 = bobot basah biomassa total, 5 = tinggi tajuk, 6 = bobot kering akar, 7 = jumlah daun,
8= jumlah anakan, 9 = panjang akar, 10 = bobot basah akar, SKR = nilai skor
61

Analisis clustergram berdasarkan gabungan dari analisis clustergram (1)


dan (2) ditunjukkan pada Gambar 5.5. Gambar tersebut menunjukkan terdapat dua
kelompok besar yang memiliki karakterisitik terbalik terhadap kelompok umum
karakter. Kelompok satu (I), yang terdiri atas 22 genotipe, tergolong sebagai
kelompok peka karena memiliki penurunan relatif yang besar dan fenotipe karakter
yang rendah pada keadaan salin. Adapun kelompok (II) , terdiri atas 40 genotipe,
tergolong sebagai genotipe toleran dan moderat yang dibedakan melalui gradasi
warna teratur. Hasil ini menjadi penyatu dari clustergram 1 dan 2 yang memiliki
karakteristik tersendiri dalam mengelompokkan genotipe yang diuji. Analisis
clustergram gabungan memiliki hasil yang sama dengan analisi clustergam 2
terhadap genotipe pekanya. Namun analisis gabungan ini mampu membedakan
gradasi warna antara kelompok toleran dan moderat sehingga dinilai sebagai
penyatu dari dua analisis clustergram sebelumnya. Apabila hasil analisis ini
dibandingkan dengan skoring median, terdapat 5 genotipe moderat yang tergolong
dalam kelompok peka. Hal ini menunjukkan bahwa analisis clustergram dinilai
efektif karena dapat membedakan kelompok genotipe dan menyeleksi karakter
seleksi secara efektif dan selektif.

5.4 Simpulan

Karakter terkait tajuk menerima dampak yang lebih besar dibandingkan


dengan karakter terkait akar ketika mengalami cekaman salinitas. Tanaman toleran
memiliki pola penurunan yang lebih rendah dibandingkan tanaman moderat dan
peka, terutama karakter terkait tajuk. Karakter terkait tajuk, terutama karakter bobot
basah tajuk dan tinggi tajuk, dapat dijadikan sebagai karakter seleksi pada
penapisan salinitas fase bibit melalui kultur hidroponik. Terdapat 25 galur padi
dihaploid yang memiliki sifat toleransi lebih baik dibandingkan Inpari 29 sebagai
pembanding terbaik pada keadaan salin. Analisis clustergram, yang
dikombinasikan dengan heatmap, efektif dan selektif dalam menyeleksi genotipe
dengan sifat toleransi baik dan mampu menentukan karakter seleksi penting pada
penapisan salinitas fase bibit.
62

6 PEMBAHASAN UMUM

Ketergantungan masyarakat Indonesia terhadap beras dan peningkatan


penduduk Indonesia menjadi suatu tantangan dalam mencapai kedaulatan pangan
Indonesia. Tantangan ini dapat diatasi dengan peningkatan produksi padi di
Indonesia. Namun peningkatan tersebut sangat dipengaruhi oleh efek perubahan
iklim yang terjadi, salah satunya ialah salinitas. Indonesia sebagai negara kepulauan
sangat dipengaruhi oleh peningkatan permukaan air laut. Terjadinya pemanasan
global menyebabkan pelelehan es di kutub yang dapat menginduksi peningkatan
permukaan air laut (Hadad 2010). Menurut ADB (2009) kenaikan permukaan air
laut di Indonesia mencapai 1-8 mm per tahunnya. Peningkatan ini akan
menginduksi terjadinya intrusi air laut dan abrasi sehingga dapat memacu
peningkatan salinitas di daerah pesisir pantai. Hal ini menjadi suatu masalah karena
banyak sawah di Indonesia berada di pesisir pantai.
Salinitas memberikan dampak yang berat bagi tanaman melalui dua
cekaman, yaitu osmotik dan ionik (Ghosh et al. 2016). Kedua cekaman ini dapat
menurunkan pertumbuhan tanaman dan dapat menyebabkan kematian, apabila
berlangsung dalam jangka waktu yang lama atau terpapar pada konsentrasi yang
tinggi. Oleh sebab itu, solusi dalam menjaga produksi di daerah pesisir pantai
menjadi salah satu prioritas di Indonesia. Perakitan varietas padi unggul adaptif
terhadap cekaman salinitas melalui teknologi dihaploid menjadi suatu solusi yang
efektif. Hal ini dikarenakan teknologi ini hanya memerlukan satu generasi untuk
proses penggaluran sehingga dapat mempersingkat waktu dalam perakitan varietas
(Purwoko et al. 2010). Selain itu, tanaman padi memiliki keistimewaan dalam
proses pembentukan tanaman dihaploid. Tanaman padi dapat secara spontan
melakukan penggandaan kromosom ketika dilakukan kultur antera sehingga
teknologi ini efektif dan efisien untuk dilakukan pada tanaman padi (Dewi dan
Purwoko 2012). Safitri (2016) telah menghasilkan 56 galur dihaploid yang
memiliki potensi adaptif terhadap cekaman salinitas sehingga pengujian
adaptibilitas galur tersebut terhadap cekaman salinitas perlu untuk dilakukan.
Penentuan adaptibilitas dilakukan melalui dua rangkaian penelitian, yaitu
karakterisasi dan seleksi galur-galur dihaploid dengan sifat agronomi baik dan
penapisan galur-galur padi dihaploid terhadap cekaman salinitas.
Penentuan galur-galur dihaploid dengan sifat agronomi baik dilakukan
melalui tiga tahapan, yaitu karakterisasi galur-galur dihaploid, penentuan karakter
seleksi terbaik, dan seleksi sesuai dengan karakter seleksi. Tahapan tersebut
dijelaskan dalam bab 3 dan 4. Bab 3 menjelaskan karakterisasi pada galur-galur
padi dihaploid yang menunjukkan keragaman yang tinggi pada semua karakter. Hal
ini mempengaruhi heritabilitas yang dihasilkan, dimana seluruh karakter memiliki
nilai heritabilitas di atas 60%. Menurut (Johnson et al. 1955) heritabilitas di atas 60
% dinyatakan sebagai heritabilitas yang tinggi sehingga keragaman fenotipe yang
tampak sangat dipengaruhi oleh keragaman genetiknya. Hal ini juga menjelaskan
bahwa seluruh karakter dapat dijadikan sebagai karakter seleksi. Namun karakter
produktivitas merupakan prioritas utama untuk dijadikan sebagai karakter seleksi
dibandingkan karakter lainnya.
Seleksi langsung pada karakter produktivitas dinilai tidak efektif dalam
penelitian ini. Hal ini dikarenakan produktivitas sangat bersifat poligenik (Singh et
al. 2000) dan heritabilitasnya pada penelitian ini tidak mencapai 80 %. Oleh sebab
63

itu, seleksi simultan, dengan mengikutkan karakter penunjang produksi, diperlukan


untuk meningkatkan efektivitas seleksi. Penentuan karakter seleksi penunjang
dilakukan dengan berbagai analisis. Menurut Ojulong et al. (2010) dan Dallastra et
al. (2014) penggunaan beberapa analisis dalam menentukan karakter seleksi
menjadi lebih efesien dan efektif sehingga penentuan tidak bersifat overestimate.
Analisis pertama yang dilakukan, yang masih dijelaskan pada bab 3, melalui
konsep pengelompokan clustergram hirarki yang dikombinasikan dengan heatmap
(Schonlau, 2002). Analisis ini memberikan keuntungan dalam mengetahui sifat
penting dalam membentuk suatu kelompok secara visual dan sederhana sehingga
analisis ini dapat membantu dan memberi rekomendasi dalam proses seleksi (Yuan
et al. 2016). Hasilnya menunjukkan bahwa karakter anakan produktif, dan jumlah
gabah isi, dapat disandingkan dengan produktivitas dalam menyeleksi galur terbaik
yang dapat dilanjutkan pada generasi atau pengujian berikutnya.
Analisis lain yang digunakan dijelaskan pada Bab 4. Analisis tersebut ialah
kombinasi sidik lintas dan regresi multivariat. Kombinasi ini dapat menentukan
karakter seleksi yang memiliki pengaruh langsung (Seyoum et al. 2012; Vaisi dan
Golpavar 2013) dan dapat memprediksi karakter utama (Golpavar 2011).
Kombinasi ini menunjukkan bahwa karakter anakan produktif dan jumlah gabah isi
merupakan karakter agronomi yang berpengaruh langsung dan dapat memprediksi
produktivitas. Hal tersebut juga sesuai dengan analisis clustergram pada Bab 3.
Selain itu, kedua karakter juga divalidasi berdasarkan diferensial seleksi. Hasilnya
menunjukkan bahwa kedua karakter memiliki persentase diferensial seleksi yang
tinggi terhadap diferensial seleksi produktivitas. Oleh sebab itu, kedua karakter ini
layak diikutkan dalam seleksi simultan yang juga dijelaskan pada Bab 4.
Seleksi simultan yang digunakan ialah metode seleksi indeks. Metode ini
dinilai efektif dalam melakukan seleksi simultan (Rajamani 2016). Hal ini
dikarenakan seleksi dilakukan berdasarkan peringkat yang didapat dari suatu model
indeks yang terstandarisasi (Akter et al. 2010). Pada indeks seleksi, penentuan
pembobot penting untuk menunjukkan skala prioritas atau nilai ekonominya (Singh
dan Chaudhary 2007). Pembobot indeks dapat diperoleh melalui analisis komponen
utama. Analisis ini dapat mencegah sifat multikolinear yang mempengaruhi nilai
determinasi sehingga dapat mencegah terjadinya overestimate (Edeboye et al.
2014). Menurut Godshalk dan Timothy (1988) penggunaan analisis komponen
utama dapat mencerminkan terkait prioritas dari setiap karakter berdasarkan nilai
keragaman atau vektor yang dimiliki oleh karakter tersebut dalam suatu komponen
utama. Oleh sebab itu, penentuan pembobot melalui analisis komponen utama
digunakan dalam penelitian ini. Hasilnya menunjukkan terdapat 24 galur dihaploid
yang memiliki sifat agronomi baik lebih tinggi dibandingkan Inpari 34 Salin
Agritan sebagai pembanding terbaik. Selain itu, penggunaan indeks seleksi ini
dapat meningkatkan diferensial seleksi pada karakter sekunder dan penurunan
deferesial seleksinya pada karakter produktivitas tidak terlalu besar terhadap seleksi
langsung sehingga penggunaan indeks seleksi ini dinilai efektif.
Penapisan galur-galur padi dihaploid terhadap cekaman salinitas dijelaskan
pada Bab 5. Penapisan ini dilakukan dalam dua pendekatan yaitu skoring dan
karakter pertumbuhan. Skoring galur padi dihaploid terhadap toleransi salinitas
dilakukan dengan analisis Friedman. Analisis ini lebih efektif karena
memperhatikan respon dalam setiap ulangan (Pereira et al. 2015). Menurut
Gregorio (1997) terdapat interaksi yang tinggi antara lingkungan dan genotipe
64

ketika genotipe ditanam pada kondisi tercekam sehingga memungkinkan adanya


galur yang memiliki respon berbeda antar ulangan. Hal inilah yang dikendalikan
oleh analisis Friedman. Analisis clustergram juga dapat digunakan dalam
menentukan genotipe yang memiliki sifat toleransi baik terhadap salinitas pada
karakter pertumbuhan bibit. Analisis ini mampu membedakan secara selektif antara
genotipe dengan toleransi baik dan genotipe peka menggunakan data penurunan
relatif dan fenotipe karakter pada keadaan salin. Analisis ini juga dapat membantu
dalam menentukan karakter penting dalam seleksi toleransi salinitas melalui kultur
hidroponik yang juga telah dibuktikan dengan beberapa analisis lainnya, seperti:
perbandingan koefisien keragaman, analisis rata-rata penurunan relatif dan analisis
perbandingan rata-rata antar kelompok. Oleh sebab itu, analisis clustergram dapat
menjadi rekomendasi dalam penapisan toleransi cekaman.
Semua karakter menunjukkan penurunan pertumbuhan ketika terpapar
cekaman salinitas (Bhowmik et al. 2009; Ali et al. 2014). Namun pengurangan
yang drastis terjadi pada karakter yang terkait dengan tajuk (Mohamadi et al. 2017).
Tanaman akan berusaha menjaga pertumbuhan perakarannya untuk
memaksimalkan penyerapan air dan unsur hara sehingga penurunan karakter akar
tidak terlalu signifikan dan tidak memiliki interaksi yang nyata (De Leon et al.
2015). Oleh sebab itu, perbedaan tingkat toleransi antar genotipe lebih
dititikberatkan pada perkembangan tajuk tanaman. Tanaman yang toleran akan
meminimalkan dampak negatif salnitas (Suplick-Ploense et al. 2002) sehingga
pertumbuhan tajuk tetap berjalan mendekati pertumbuhan normalnya. Hal tersebut
kontras dengan tanaman peka yang tidak memiliki mekanisme yang efisien dalam
meminimalkan efek salinitas sehingga pertumbuhannya terhenti bahkan dapat
menyebabkan kematian pada tanaman.
Genotipe yang adaptif merupakan genotipe yang dapat mempertahankan
produktivitasnya di atas ambang batas ekonominya pada keadaan tercekam. Namun
pada penelitian ini penentuan adatabilitas tidak dilakukan pada daerah salin, tetapi
dilakukan secara terpisah dalam dua pendekatan yang independen. Kemudian
kedua pendekatan tersebut dikombinasikan dan menghasilkan indeks seleksi
gabungan. Indeks ini menjadi model dalam menentukan galur padi dihaploid yang
adaptif terhadap cekaman salinitas. Proses pembentukan indeks ini melalui
penggabungan indeks seleksi agronomi baik, yang terdapat pada Bab 4, dengan
indeks toleransi dari hasil standarisasi median skor salinitas yang terdapat pada Bab
5. Seleksi salinitas bersifat negatif terhadap indeks agronomi baik sehingga
pengabungan dilakukan dengan mengurangi indeks seleksi agronomi baik dengan
median salinitas yang terstandarisasi. Galur terseleksi adalah galur yang memiliki
nilai indeks gabungan ≥ 0. Hal ini disebabkan kedua indeks memiliki ragam yang
mendekati satu sehingga nilai ≥ 0 mencerminkan adaptibilitas dari suatu genotipe
terhadap cekaman salinitas. Nilai ini mengindikasikan bahwa terdapat arah yang
sama antara agronomi baik dan toleransi salinitas atau terdapatnya dominansi dari
salah satu indeks yang menyebabkan genotipe tersebut tetap bernilai positif. Hasil
dari indeks gabungan ditampilkan pada Tabel 6.1 yang menunjukkan terdapatnya
33 galur padi dihaploid yang memiliki sifat adaptibilitas ≥ 0 dan lebih baik
dibandingkan varietas pembanding terbaik, Inpari 29. Berdasarkan dari 33 galur
tersebut diketahui terdapat 13 galur toleran dengan agronomi baik, 7 galur moderat
dengan agronomi baik, 10 galur toleran dengan agronomi kurang baik, dan 3 galur
peka tetapi memiliki agronomi baik sehingga efektivitas seleksi indeks gabungan
65

untuk sifat toleransi sebesar 90.91% dan agronomi baik sebesar 95.83%. Hal ini
menunjukkan indeks gabungan efektif untuk menyeleksi kedua sifat secara
bersama-sama karena dapat menjaring genotipe adaptif yang memiliki sifat
agronomi baik dan atau sifat toleransi yang baik. Galur-galur terpilih dapat
langsung dilanjutkan ke tahapan uji daya hasil karena sifat homozigositas dari galur
dihaploid (Dewi dan Purwoko 2012).

Tabel 6.1 Indeks seleksi dan seleksi galur padi dihaploid adaptif cekaman salinitas
Pr Indeks Indeks Indeks
PG Label MT PAB StatusT
(ton ha-1) AB T G
1 HS4-15-2-6 5.97 1.72 3.33 -0.90 2.62 2 T
2 HS4-15-3-17 6.00 1.45 3.00 -1.12 2.57 4 T
3 HS4-15-2-4 5.52 1.56 3.43 -0.84 2.40 3 T
4 HS4-15-3-4 5.91 1.35 3.27 -0.95 2.30 6 T
5 HS4-15-3-8 5.59 1.35 3.33 -0.90 2.25 7 T
6 HS4-15-1-62 5.31 1.06 3.00 -1.12 2.18 15 T
7 HS4-15-1-64 5.37 1.27 3.37 -0.88 2.15 8 T
8 HS4-15-1-70 5.24 1.20 3.33 -0.90 2.10 11 T
9 HS4-15-1-6 5.49 1.23 3.40 -0.86 2.09 9 T
10 HS4-15-1-28 5.26 1.21 3.40 -0.86 2.07 10 T
11 HS4-15-1-63 5.35 1.09 3.33 -0.90 1.99 13 T
12 HS4-15-3-30 5.00 0.45 3.00 -1.12 1.57 18 T
13 HS4-15-3-32 6.00 1.73 5.00 0.17 1.56 1 M
14 HS4-15-3-29 5.65 1.20 5.00 0.17 1.03 12 M
15 HS4-15-3-26 4.63 0.13 3.33 -0.90 1.03 24 T
16 HS4-15-2-9 5.29 1.07 5.00 0.17 0.90 14 M
17 HS4-15-1-15 3.88 -0.44 3.33 -0.90 0.46 39 T
18 HS4-45-1-66 4.71 0.19 4.33 -0.26 0.45 21 M
19 HS1-35-1-14 4.30 -0.51 3.27 -0.95 0.44 41 T
20 HS4-11-1-30 4.59 -0.42 3.40 -0.86 0.44 38 T
21 HS4-15-3-6 4.88 0.59 5.00 0.17 0.42 17 M
22 HS4-15-1-16 4.50 0.17 4.40 -0.22 0.39 23 M
23 HS4-15-1-22 3.89 -0.59 3.27 -0.95 0.36 42 T
24 HS1-35-1-10 4.17 -0.63 3.37 -0.88 0.25 43 T
25 HS4-15-1-43 4.96 0.62 5.43 0.45 0.17 16 P
26 HS1-35-1-15 4.07 -0.73 3.40 -0.86 0.13 44 T
27 HS4-15-1-9 3.75 -1.01 3.00 -1.12 0.11 55 T
28 HS4-11-1-73 5.30 0.17 4.87 0.09 0.08 22 M
29 HS4-11-1-74 5.08 -0.14 4.40 -0.22 0.08 27 M
30 HS4-15-3-5 5.67 1.37 6.77 1.31 0.06 5 P
31 HS4-15-1-26 3.57 -0.86 3.33 -0.90 0.04 50 T
32 HS4-15-1-24 3.44 -1.11 3.00 -1.12 0.01 56 T
66

Tabel 6.1 Indeks seleksi dan seleksi galur padi dihaploid adaptif cekaman s
ssssssssssssalinitas (Lanjutan)
Pr Indeks Indeks Indeks
PG Label MT PAB StatusT
(ton ha-1) AB T G
33 HS4-11-1-70 5.14 0.43 5.40 0.43 0.00 19 P
34 Inpari 29 4.40 -0.23 4.40 -0.22 -0.01 33 M
Inpari 34 Salin
37 4.48 0.12 5.40 0.43 -0.31 25 P
Agritan
56 Inpara 5 3.72 -0.29 8.23 2.26 -2.55 36 P
58 Ciherang 4.26 -0.37 8.33 2.32 -2.69 37 P
Keterangan : PG = peringkat gabungan, Pr = produktivitas, AB = Agronomi baik, MT = median
toleran, PAB = peringkat agronomi baik T = toleran, G = gabungan, M = moderat, P
` = peka.

Keseluruhan analisis yang telah dilakukan menunjukkan bahwa galur padi


dihaploid hasil kultur antera memiliki keragaman yang cukup tinggi, baik pada sifat
agronomi baik maupun sifat toleransinya, walaupun genotipe yang diuji hanya
berjumlah 56 genotipe. Keragaman tersebut dapat tercermin pada galur hasil
persilangan HS4 yang terdiri atas 41 galur. Sifat agronomi baik dari galur-galur
tersebut sangat bervariasi dari seluruh karakter agronomi, terkhususnya
produktivitas. Persilangan tersebut menghasilkan 6 galur yang memiliki
produktivitas < 4 ton ha-1, 15 galur antara 4-5 ton ha-1, dan 20 galur > 5 ton ha-1.
Selain itu terdapat 10 galur yang memiliki penampilan sama dengan Inpari 29
sebagai salah satu tetuanya. Adapun berdasar sifat toleransinya terhadap cekaman
salinitas dapat dilihat pada Tabel 5.5. Tabel tersebut menunjukkan bahwa
persilangan HS4 menghasilkan 6 galur peka, 14 moderat, dan 21 toleran. Menurut
Safitri (2016) persilangan HS4 merupakan persilangan antar kedua tetua yang
dikategorikan toleran dan memiliki sifat agronomi baik. Hal ini mengambarkan
bahwa galur dihaploid mampu menghasilkan tingkatan keragaman sifat agronomi
baik dan sifat toleransinya, walaupun jumlah galur yang dihasilkan tidak terlalu
banyak. Menurut Gueye dan Ndir (2010) teknologi dihaploid mampu mendeteksi
dan memfiksasikan sifat-sifat resesif pada generasi awal. Hal ini dapat menjadi
pembuktian terkait efektivitas dan efisiensi dalam penggunaan teknologi dihaploid
dalam perakitan varietas tanaman padi.
67

7 SIMPULAN DAN SARAN

7.1 Simpulan

Semua karakter menunjukkan keragaman dan heritabilitas yang tinggi dan


dapat dijadikan sebagai karakter seleksi. Pengelompokan dengan clustergram
heatmap hirarki dapat menentukan sifat kelompok, karakter seleksi dan galur-galur
yang terseleksi. Karakter jumlah gabah isi dan anakan produktif dapat dijadikan
sebagai karakter seleksi bersama dengan karakter produktivitas.
Penggunaan seleksi indeks berdasarkan kombinasi analisis multivariat
dinilai efektif untuk menyeleksi genotipe padi dihaploid. Karakter anakan produktif
dan jumlah gabah isi merupakan karakter yang layak diikutkan dalam seleksi
simultan bersama produktivitas. Seleksi indeks melalui komponen utama dinilai
efektif dalam melakukan seleksi. Terdapat 24 galur padi dihaploid yang memiliki
sifat agronomi baik.
Penapisan galur-galur padi dihaploid menunjukkan 25 galur yang memiliki
toleransi salinitas yang lebih baik dibandingkan varietas pembanding terbaik, Inpari
29. Karakter pertumbuhan yang berkaitan dengan tajuk, terutama bobot basah tajuk
dan tinggi tajuk, dapat direkomendasikan sebagai karakter seleksi salinitas pada
penapisan kultur hidroponik fase bibit. Analisis clustergram dengan kombinasi
heatmap juga efektif dalam penentuan genotipe toleran terhadap cekaman salinitas.
Indeks gabungan antara sifat agronomi dan toleransi salinitas dinilai efektif
untuk mendapatkan galur-galur yang memiliki tingkat adaptasi yang baik.
Efektivitas seleksi indeks gabungan untuk sifat toleransi sebesar 90.9% dan
agronomi baik sebesar 95.83%. Terdapat 33 galur padi dihaploid yang dinilai
adaptif terhadap cekaman salinitas dan lebih baik dibandingkan varietas Inpari 29
sebagai pembanding terbaik pada indeks seleksi gabungan, diantaranya terdapat 13
galur toleran dengan agronomi baik, 7 galur moderat dengan agronomi baik, 10
galur toleran dengan agronomi kurang baik, dan 3 galur peka tetapi memiliki
agronomi baik.
Keseluruhan percobaan juga dapat menyimpulkan bahwa pengujian galur
padi dihaploid membentuk keragaman yang luas walaupun jumlah genotipe yang
diuji tidak terlalu besar. Hal ini menjadi pembuktian efektivitas dari teknologi
dihaploid.

7.2 Saran
Galur – galur dihaploid yang terseleksi sebagai galur yang adaptif terhadap
cekaman salinitas perlu untuk diuji pada dua kondisi yaitu daerah dengan kondisi
optimum dan daerah yang memiliki tingkat salinitas yang tinggi. Hal ini dapat
menilai tingkat efektifitas dari model indeks seleksi gabungan.
68

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah B, Tjokrowidjojo S, Sularjo. 2008. Perkembangan dan prospek perakitan


padi tipe baru di Indonesia. J Litbang Pert. 27(1):1-9.
Acquaah G. 2007. Principles of Plant Genetics and Breeding. Oxford (UK):
Blackwell Publishing.
Adebisi MA, Okelola FS, Ajala MO, Kehinde TO, Daniel IO, Ajani OO. 2013.
Evaluation of variations in seed vigour characters of West African rice (Oryza
sativa L.) genotypes using multivariate technique. Am J Plant Sci. 4: 356-
363.
Akhond MAY, Amiruzzaman M, Bhuiyan MSA, Uddin MN, Hoque MM. 1998.
Genetic parameters and character association in grain sorghum. Bangladesh
J Agri Res. 23, 247-254.
Akhtar N, Nazir MF, Rabnawaz A, Mahmood T, Safdal ME, Asif M, Rahman A.
2011. Estimation of heritability, correlation and path coefficient analysis in
fine grain rice (Oryza sativa L.). J Anim Plant Sci. 21(4): 660-664.
Akinwale MG, Gregorio G, Nwilene F, Akinyele BO, Ogunbayo SA, Odiyi AC.
2011. Heritability and correlation coefficient analysis for yield and its
components in rice (Oryza sativa L.). Am J Plant Sci. 5(3): 207 − 212.
Akter S, Biswas BK, Azad AK, Hasanuzzaman M, Arifuzzaman. 2010. Correlation
and discriminant function analysis of some selected characters in fine rice
(Oryza sativa L.) available in Bangladesh. Int J Sustain Crop Prod. 5(4): 30-
35.
Alam MZ, Bhuiya MAA, Muttaleb MA, Rashid MM. 2004. Effect of alternating
saline and non-saline condition on emergence and seeling growth of rice. Pak.
J. Biol. Sci. 7(6): 883-890.
Al-Amin M, Islam MM, Begum SN, Alam MS, Moniruzzaman M, Patwary MAK.
2013. Evaluation of rice germplasm under salt stress at the seedling stage
through SSR markers. Int J Agri Res Innov & Tech. 3 (1): 52-59.
Ali Y, Aslam Z, Awan AR, Hussain F, Cheema AA. 2004. Screening rice (Oryza
sativa L.) lines/cultivars against salinity in relation to morphological and
physiological traits and yield components. Int J Agri Biol. 6(3): 572-575.
Ali MdN, Yeasmin L, Gantait S, Goswami R, Chakraborty. 2014. Screening of rice
landraces for salinity tolerance at seedling stage through morphological and
molecular markers. Physiol Mol Biol Plants. 20(4): 411-423.
Arslan O.2012. Weighted LAD-LASSO method for robust parameter estimation
and variable selection in regression. Comput Stat Data Anal. 56(6), 1952–
1965.
Asian Development Bank. 2009. The Economics of Climate Change in Southeast
Asia: a Regional Review. Manila (PH) : Asian Develompment Bank.
Aydinalp C, Cresser MS. 2008. The effects of global climate change on agriculture.
American-Eurasian J Agric & Environ Sci. 3(5): 672-676.
Baloch AW, Bhatti SM, Baloch M, Jogi QD, Kandhro MN. 2016. Correlation
analysis of various metric traits with grain yield and heritability estimation in
rice genotypes. Pak J Agri, Agril Engg, Vet Sci. 32(2): 136-142.
69

[BB PADI] Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. 2018. Varietas [internet].
[diunduh 2018 Mar 7]. Tersedia pada: http://bbpadi.litbang.pertanian.go.id
/index.php/varietas.
Benton HP, Ivanisevic J, Rinehart D, Epstein A, Kurczy ME, Boska MD,
Gendelman HE, Siuzdak G. 2015. An interactive cluster heat map to visualize
and explore multidimensional metabolomic data. Metabolomics. 11(4):1029-
1034.
Bhowmik SK, Titov S, Islam MM, Siddika A, Sultana S, Haque MDS. 2009.
Phenotypic and genotypic screening of rice genotype at seedling stage for salt
tolerance. Afr. J. Biotechnol. 8(23): 6490-6494.
[BKKBN] Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional. 2016. Laju
pertumbuhan penduduk 4 juta per tahunnya [internet]. [diunduh 2018 Jan 8].
Tersedia pada: https://www.bkkbn.go.id/detailpost/lajupertumbuhan
penduduk-4-juta-per-tahun.
Boer R. 2010. Membangun sistem pertanian pangan. Prisma. 29(2):81-92.
Bowers AJ. 2010. Analyzing the longitudinal K-12 grading histories of entire
cohorts of students: grades, data driven decision making, dropping out and
hierarchical cluster analysis. PARE. 15(7): 1-18.
Carden DE, Walker DJ, Flowers TJ, Miller AJ , 2003. Measurements of the
contributions of cytosolic Na+ and K+ to salt tolerance. Plant Physiology. 131:
676–683.
Cegielska-Taras T, Szala L, Matuszczak M, Babula-Skowrońska, Mikolajczyk K,
Poplawska W, Sosnowska K, Hernacki B, Olejnik A, Bartkowiak-Broda I.
2015. Double haploids as a material for biotechnological manipulation and as
a modern tool for breeding oilseed rape (Brassica napus L.).
BioTecnologia. 96(1): 7-18.
Chawla HS. 2002. Introduction to Plant Biotechnology Second Edition. New
Hampshire (US):Science Publishers, Inc.
Cheng, J., T. Galili, Rstudio, M. Bostock, J. Palmer. 2016. Package ‘d3heatmap’
[internet]. [diunduh 2017 Sep 10]. Tersedia pada http://git.hub.com/
rstudio/d3heatmap
Dallastra A, Uneda-Trevisoli SH, Ferraudo AS, Mauro AOD. 2014. Multivariate
approach in the selection of superior soybean progeny which carry the RR
gene. Artigo Cientifico. 45(3): 588-597.
Das P, Nutan KK, Singla-Pareek SL, Pareek A. 2015. Understanding salinity
responses and adopting ‘omics-based’ approaches to generate salinity tolerant
cultivars of rice. Front Plant Sci. 6:712. doi: 10.3389/fpls.2015.00712
De Costa WAJM, Wijeratne MAD, De Costa DM, Zahra ARF. 2012.
Determination of the appropriate level of salinity for screening of
hydroponically grown rice for salt tolerance. J Natn Sci Foundation Sri
Lanka. 40(2):123-136.
De Datta SK. 1981. Principles and Pracices of Rice Production. Canada (CA) :
John Wiley & Sons, Inc.
De Leon TB, Linscombe S, Gregorio G, Subudhi PK. 2015. Genetic variation in
southern USA rice genotypes for seedling salinity tolerance. Front Plant Sci.
6:374. doi: 10.3389/ fpls.2015.00374.
De Mendiburu F. 2014. Agricolae. The Comprehensice R Archive Network
[internet]. [diunduh 2017 Sep 10].tersedia pada: https://cran.r-project.org.
70

Dewi IS, Purwoko BS. 2001. Kultur antera untuk mendukung program pemuliaan
tanaman padi. Bul Agron. 29 (2):59–63.
Dewi IS, Purwoko BS. 2012. Kultur antera untuk percepatan perakitan varietas padi
di Indonesia. Jurnal AgroBiogen. 8(2): 78-88.
Dewi IS, Purwoko BS, Aswidinnoor H. 2007. Regenerasi tanaman pada kultur
antera padi: pengaruh persilangan dan aplikasi putresin. Bul Agron. 35(2): 68-
74.
Dwivedi SL, Britt AB, Tripathi L, Sharma S, Upadhyaya HD, Ortiz R. 2015.
Haploids: constraints and opportunities in plant breeding. Biotechnol Adv.
2015: 1-18.
Egdane JA, Vispo NA, Mohammadi R, Amas J, Katimbang ML, Platten JD, Ismail
A, Gregorio GB. 2003. Phenotyping Protocols for Salinity and Other
Problem Soils. Los Banos (PH): IRRI.
Eynard A, Lal R, Wiebe K. 2005. Crop response in salt-affected soils. J Sustain.
Agric. 27: 5-50.
[FAO] Food and Agriculture Organization. 2016. Rice market monitor volume XIX
no 4[internet]. [diunduh 2017 Jun 19]. Tersedia pada:http://www.fao.org
/economic/RMM.
Fathelrahman SA, Alsadig AI, Dagash YI. 2015. Genetic variability in rice
genotypes (Oryza sativa L.) in yield and yield component under semi-arid
zone (Sudan). Journal of Forest Products & Industries. 4(2): 21-32.
Ferdous R, Khan F, Sadiq R, Amyotte P, Veitch B. 2013. Analyzing system safety
and risks under uncertainty using a bow-tie diagram: an innovative approach.
Process Saf Environ Prot. 91: 1-18.
Flury B, Riedwyl H. 1981. Graphical representation of multivariate data by means
of asymmetrical faces. J Amer Statist Assoc. 76: 757–765.
Fritsche-Neto R, DoVale JC. 2012. Breeding for stress-tolerance or resource-use
efficiency?. Di dalam: R. Fritsche-Neto, and A. Borém, editor. Plant
Breeding for Abiotic Stress Tolerance. London (GB): Springer-Verlag Berlin
Heidelberg. hlm 13-19.
Galih HM, Adji TB, Setiawan NA. 2012. Penggunaan metodologi analisa
komponen utama (PCA) untuk mereduksi faktor-faktor yang mempengaruhi
penyakit jantung koroner. Seminar Nasional “Science, Enginering and
Technology”; 2012 Feb 23-24; Malang Indonesia. Malang (ID): Universitas
Brawijaya. hlm TE47:1-5
Ghosh B, Ali Md N, Saikat G. 2016. Response of rice under salinity stress: a review
update. J Res Rice. 4(2):167. doi : 10.4172/2375-4338.1000167.
Godshalk EB, Timothy EB. 1988. Factor and principal component analyses as
alternatives to index selection. TAG. 76: 352-360.
Golpavar AR. 2011. Evaluation of genetic variation and indirect selection criteria
for improvement of oil yield in canola cultivars (Brassica napus L.). IPCBEE.
16: 17- 20.
Gueye T, Ndir KN. 2010. In vitro production of double haploid plants from two
rice species (Oryza sativa L. dan Oryza glaberrima Steudt.) for rapid
development of new breeding material. Sci Res Essays. 5(7) : 709-713.
Gupta B, Huang B. 2014. Mechanism of salinity tolerance in plants: physiological,
biochemical, and molecular characterizatioan. Int J Genomics. 2014: 1-18.
Doi: dx.doi.org/10.1155/2014/701596.
71

Habib SH, Iftekharuddaula KM, Bashar MK, Akter K, Hossain MK. 2007. Genetic
variation, correlation, and selection indices in advanced breeding lines rice
(Oryza sativa L.). Bangladesh J PI Breed Genet. 20(1): 25-32.
Hadad I. 2010. Perubahan iklim dan pembangunan berkelanjutan. Prisma. 29(2):3-
22.
Hakim MA, Juraimi AS, Hanafi MM, Ismail MR, Rafii MY, Islam MM, Selamat
A. 2014. The effect of salinity on growth, ion accumulation and yield of rice
varieties. J Anim Plant Sci 24(3);874-885.
Hairmansis A, Kustianto B, Supartopo S. 2010. Correlation analysis of agronomic
characters and grain yield of rice for tidal swamp areas. Indonesian J Agric
Sci. 11: 11-15.
Hariadi YC, Nurhayati AY, Soeparjono S, Arif I. 2014. Screening six varieties of
rice (Oryza sativa) for salinity tolerance. Procedia Environ Sci. 28:78-87.
Hasan R, Akand M, Alam N, Bashar A, Huque AKMM. 2016. Genetic association
analysis and selection indices for yield attributing traits in available chilli
(Capsicum annum L.) genotypes. Mol Plant Breed. 7(19): 1-9.
Hazel LN, Lush JL. 1942. The efficiency of three methods of selection. J Jered.
33:393-399.
Hazel LN. 1943. The genetic basis for constructing selection indices. Genetics. 28
(6):476-490.
Horie T, Karahara I, Katsuhara M. 2012. Salinity tolerance mechanisms in
glycophytes: An overview with the central focus on rice plants. Rice. 5:11.
Hossain H, Rahman M, Alam M, Singh R. 2015. Mapping of quantitative trait loci
associated with reproductive‐stage salt tolerance in rice. J Agron Crop Sci.
201:17–31.
Indhirawati R, Purwantoro A, Basunanda P. 2015. Karakterisasi morfologi dan
molekuler jagung berondong stroberi dan kuning (Zea mays L. kelompok
everta). Vegetalika. 4(1): 102 – 114.
Ilin A, Raiko T. 2010. Practical approaches to principal component analysis in the
presence of missing values. J Mach Learn Res. 11: 1957-2000.
Islam MA, Raffi SA, Hossain MA, Hasan AK. 2015. Analysis of genetic variability,
heritability, and genetic advance for yield and yield associated traits in some
promising advanced lines of rice. Progressive Agriculture. 26: 26-31.
Islam MR, Kayess MO, Hasanuzzaman M, Rahman MW, Uddin MJ, Zaman MR.
2017. Selection index for genetic improvement of wheat (Triticum aestivum
L.). JCBPS. 7(1): 1- 8.
Jacoby RP, Taylor NL, Millar AH. 2011. The role of mitochondrial respiration in
salinity tolerance. Trends Plant Sci. 16(11): 615-623.
Janmohammadi M, Movehedi Z, Sabaghnia N. 2014. Multivariate statistical
analysis of some traits of bread wheat for breeding under rainfed conditions.
J Agric Sci. 59(1): 1-13.
Johnson HW, Robinson HF, Comstock RE.1955. Estimates of genetic and
environmental variability in soybean. Agron J. 47: 314-318.
Jolliffe IT. 2002. Principal Component Analysis, Second Edition. New York (US):
Springer-Verlag New York, Inc.
Kashenge-Killenga S, Tongoona P, Derera J. 2013. Morphological and physiolocal
response of Tanzania rice genotypes under saline condition and evaluation of
traits associated with stress tolerance. ISDS. 2(2): 1457-1475.
72

Khodadadi M, Fotokian, MH, Miransari M. 2011. Genetic diversity of wheat


(Triticum aestivum L.) genotypes based on cluster and principal component
analyses for breeding strategies. AJCS. 5(1):17-24.
Kole PC, Chakraborty NR, Bhat JS. 2008. Analysis of variability, correlation and
path coefficients in induced mutants of aromatic non-basmati rice. Trop Agric
Res Ext. 11:60-64.
Kumar N, Paul S. 2016. Selection criteria of linseed genotypes for seed yield traits
through correlation, path coefficient and principal component analysis. The J
Anim Plant Sci. 26(6): 1688-1695.
Lee JE, Recker M, Bowers AJ, Yuan M. 2016. Hierarchical cluster analysis
heatmaps and pattern analysis: an approach for visualizing learning
management system interaction data. Di dalam: Barnes T, Chi M, Feng M,
editor. Proceeding of The 9th International Conference on Educational
Data Mining; 2016 29 June –2 July; North Corolina, United States. Raleigh
(US); North Carolina State University. hlm 603-604.
Linh LH, Linh TH, Xuan TD, Ham LH, Ismail AM, Khanh TD. 2012. Molecular
breeding to improve salt tolerance of rice (Oryza sativa L.) in the Red River
Delta of Vietnam. Intern J Plant Genom. ID 949038: 1-9.
doi:10.1155/2012/949038
Lorencetti C, Marchioro VS, Lorencetti C. Kurek AJ, Silva A, Cargnin GA, Simioni
D. 2006. Applicability of phenotypic and canonic correlations and path
coefficients in the selection of oat genotypes. Sci. Agric. (Piracicaba, Braz.).
3(1): 11-19.
Makarim AK,Suhartatik E. 2009. Morfologi dan Fisiologi Tanaman Padi. Jawa
Barat (ID): Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Sukabumi.
Mattjik AA, Sumertajaya IM. 2011. Sidik Peubah Ganda dengan Menggunakan
SAS. Bogor (ID): Statistika F-MIPA IPB.
Mattjik AAM, Sumertajaya IM. 2013. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi
SAS dan Minitab Jilid 1. Bogor (ID) : IPB Press.
Masud AJM, Mia MA, Islam MM, Begum SN, Prodhan SH. 2014. Morpho-
molecular screening of rice (Oryza sativa L.) genotypes at seedling stage for
salt tolerance. JMBFS. 4 (2):164-169. doi: 10.15414/jmbfs.2014.4.2.164-169.
Mohamadi SF, Bagheri N, Kiani G, Jelodar NB. 2017. Evaluation of different rice
genotypes in response to salinity stress. BFAIJ. 9(1): 174-182.
Mohsin T, N. Khan and F. N. Naqvi. 2009. Heritability, phenotypic correlation and
path coefficient studies for some agronomic characters in synthetic elite lines
of wheat. J Food Agri and Envi. 7: 278-282.
Mondal S, Borromeo TH. 2016. Screening of salinity tolerance of rice at early
seedling stage. J Biosci Agric Res.10(1): 843-847.
Munns R, Tester M. 2008. Mechanism of salinity tolerance. Annu Rev Plant Biol.
59:651–881.
Mustafa MA, Elsheikh MAY. 2007. Variability, correlation and path co-efficient
analysis for yield and its components in rice. Afr Crop Sci. J. 15: 183–189.
Nirmaladevi G, Padmavathi G, Kota S, Babu VR. 2015. Genetic variability,
heritability, and correlation coefficients of grain quality characters in rice
(Oryza sativa L.). Sabrao. 47(4): 424-433.
Ogunbayo SA, Sié M, Ojo DK, Sanni KA, Akinwale G, Toulou B, Shittu A, Idehen
EO, Popoola AR, Daniel IO, Gregorio GB. 2014. Genetic variation and
73

heritability of yield and related traits in promising rice genotypes (Oryza


sativa L.). J Plant Breed Crop Sci. 6(11): 153-159.
Ojulong HF, Labuschangne MT, Herselman L, Fregene M. 2010. Yield traits as
selection indices in seedling populations of cassava. Crop Breed Appl
Biotechnol. 10: 191-196.
Park SG, Ubaidillah M, Kim KM. 2013. Effect of maltosa concentration on plant
regeneration of anther culture with different genotypes in rice. Am J Plant
Sci. 4: 2265-2270.
Parida AK, Das AB. 2005. Salt tolerance and salinity effects on plants: a review.
Ecotoxicol Environ Safe. 60:324-349.
Pereira DG, Afonso A, Medeiros FM. 2015. Overview of Friedman’s test and post-
hoc analysis. Commun Stat Simul C. 44:2636-2653.
Pradheeban L, Nissanka NAASP, Suriyagoda LDB. 2014. Clustering of rice (Oryza
sativa L.) varieties cultivated in Jaffna District of Sri Lanka based on salt
tolerance during germination and seedling stages. Trop Agric Res. 25(3): 358-
375.
[PPVT] Pusat Perlindungan Varietas Tanaman. 2018. Sistem informasi database
varietas tanaman [internet]. [diunduh 2018 Mar 7]. Tersedia pada:
http://aplikasi.pertanian.go.id/varietas/tamu/utama.asp.
Prabowo H, Djoar DW, Parjanto P. 2014. Korelasi sifat-sifat agronomi dengan
hasil dan kandungan antosianin padi beras merah. Agrosains. 16(2): 49-54.
Purwoko BS, Dewi IS, Khumaida N. 2010. Rice anther culture to obtain doubled-
haploids with multiple tolerances. AsPacJ MoL Biol Biotechnol. 18(1): 55-
57.
Rabiei B, Valizadeh M, Ghareyazie B, Moghaddam M. 2004. Evaluation of
selection indices for improving rice grain shape. Field Crops Res. 89:359-
367.
Rad HE, Aref F, Rezaei M. 2012. Response of rice to different salinity levels during
different growth stage. RJASET. 4(17):3040-3047.
Rachman A, Subiksa IGM, Wahyunto. 2007. Perluasan areal tanaman kedelai ke
lahan suboptimal. Di dalam: Sumarno, Suyamto, A. Widjono, Hermanto, and
H. Kasim, editor. Kedelai Teknik Produksi dan Pengembangan. Jakarta (ID):
Badan Litbang Pertanian. hlm 185-204.
Rahmawati S, Slamet-Loedin IH. 2006. Introduksi gen cryIB-cryIAa ke dalam
genom padi (Oryza sativa) cv. Rojolele menggunakan transformasi
Agrobacterium. Hayati. 13(1): 19-25.
Rajamani S, Sreekanth M, Naik VS, Ratnam M. 2016. Selection indices for yield
attributing characters improvement in pigeon pea (Cajanus cajan L.
Millspugh). Int J Life Sci Scienti Res. 2(2): 127-129.
Reddy INBL, Kim BK, Yoon IS, Kim KH, Kwon TR. 2017. Salt tolerance in rice:
focus on mechanisms and approaches. Rice Sci. 24(3): 123-144.
Redwan M, Spinelli F, Mancuso S. 2016. Role of ion transporters in salinity
resistance in plants. Environ Control Biol. 54 (1) :1-6.
Sabouri H, Rabiei B, Fazlalipour M. 2008. Use of selection indices based on
multivariate analysis for improving grain yield in rice. Rice Sci. 15(4):303-
310.
74

Sadeghi SM. 2011. Heritability, phenotypic correlation, and path coefficient studies
for some agronomic characters in landrace rice varieties. World Appl Sci J.
13: 1229-1233.
Safitri H, Purwoko BS, Dewi IS, Ardie SW. 2016. Morpho-physiological response
of rice genotypes grown under saline conditions. J ISSAAS. 22(1):52-63.
Safitri H. 2016. Pengembangan padi toleran salinitas melalui kultur antera
[disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Sakina A, Ahmed I, Shahzad A, Iqbal M, Asif M. 2016. Genetic variation for
salinity tolerance in Pakistani rice (Oryza sativa L.) germplasm. J Agro Crop
Sci ISSN 0931-2250. 25-36.
Samant A, Jawali N. 2016. Early seedling stage salt tolerance evaluation of
genetically diverse rice genotypes. Ann Biol Res.7(5): 46-54.
Sanghera GS, Kashyap SC. 2012. Genetic parameters and selection indices in F3
progenies of hill rice genotypes. Nor Sci Biol. 4(4): 110-114.
Satoto, Suprihatno B. 2008. Pengembangan padi hibrida di Indonesia. Iptek
Tanaman Padi. 3(1): 27-40.
Schonlau M. 2002. The clustergram : A graph for visualizing hierarchical
andnonhierarchical cluster analyses. Stata J. 2(4):391-402.
Senanayake RMNH, Udawela UAKS, Sandaruwan LMU, Wijerathna DGKP,
Amarasingha AAPG, Wijepala WG, Dharmasiri HGSB, Gunasena PGSD.
2017. Identification of salinity tolerant accessions of traditional rice variety
‘Pokkali’. Annals of Sri Lanka Department of Agriculture 19(2): 1-15.
Seymour DK, Filiault DL, Henry IM, Monson-Miller J, Ravi M, Pang A, Comai L,
Chan SWL, Maloof JN. 2011. Rapid creation of Arabidopsis double haploid
lines for quantitative trait locus mapping. PNAS. 109 (11) : 4227-4232.
Seyoum M, Alamerew S, Bantte K. 2012. Genetic variability, heritability,
coefficient and path analysis for yield and yield related traits in upland rice
(Oryza sativa L.). J Plant Sci. 7(1): 13-22.
Smith HF. 1936. A discriminant function of plant selection. Ann Eugen. 7: 240-
250.
Sinaga ME, Bayu ES, Nuriadi I. 2013. Adaptasi beberapa varietas bawang merah
(Allium ascalonicum L.) di dataran rendah medan. Jurnal Online
Agroekoteknologi. 1(3): 404-417.
Simamora B. 2005. Analisis Multivariat Pemasaran. Jakarta (ID): Gramedia
Pustaka Utama.
Singh RK, Gautam PL, Saxena S, Singh S. 2000. Scented rice germplasm:
conservation, evaluation, and utilization. Di dalam: Aromatic Rice. Singh RK,
Singh US, and Khuss GS, editor. New Delhi (IN): Oxford and IBH Publishing
Singh RK, Chaudhary BD.2007. Biometrical Methods in Quantitative Genetic
Analysis. New Delhi(IN): Kalyani Publisher.
Singh RK, Redoña ED, and Refuerzo L. 2010. Varietal improvement for abiotic
stress tolerance in crop plants: special reference to salinity in rice. Di dalam:
Pareek A, Sopory SK, Bohnert HJ, editor. Abiotic Stress Adaptation in
Plants: Physiological, Molecular and Genomic Foundation. New York (US):
Springer, pp. 387-415.
Sobrizal. 2016. Potensi pemuliaan mutasi untuk perbaikan varietas padi lokal
Indonesia. Jurnal Ilmiah Aplikasi Isotop dan Radiasi. 12(1): 23-35.
75

Sopandie D. 2014. Fisiologi Adaptasi Tanaman terhadap Cekaman Abiotik pada


Agroekositem Tropika. Bogor (ID): IPB press.
Subandriyo T. 2015. Membenahi data beras [internet]. [diunduh 2016 Feb 2].
Tersedia pada :http://www.tempo.co/read/kolom/2015/05/21/2119/
membenahi-databeras.
Subasinghe A, Nissanka NAASP, Weerakoon WMW. 2007. Identification of salt
tolerant rice varieties at the seed germination stage and its relationship to seed
husk thickness and iron absorption. Trop Agric Res. 19: 219-228.
Suplick-Ploense MR, Qian YL, Read JC. 2002. Salinity tolerance of Texas
bluegrass, Kentucky bluegrass and their hybrids. Crop Sci. 42: 2025-2030.
Surahman M, Santosa E, Nisya FN. 2009. Karakterisasi dan analisis gerombol
plasma nutfah jarak pagar Indonesia dan beberapa negara lain menggunakan
marka morfologi dan molekuler. J Agron Indonesia. 37(3):256-264.
Suwarno, Lubis E, Hairmansis A, Santoso. 2009. Development of a package of 20
varieties for blast management on upland rice. Di dalam : Wang GL, Valent
B, editor. Advances in Genetics, Genomics and Control of Rice Blast Disease.
Dordrecht (NL): Springer Netherlands. hlm 347-357.
Syukur M, Sujiprihati S, Yunianti R. 2015. Teknik Pemuliaan Tanaman: Edisi
Revisi. Depok (ID): Penebar Swadaya.
Turkan I, Demiral T. 2009. Recent develompments in understanding salinity
tolerance. Environ Exp Bot. 67: 2-9.
Ullah MZ, Bashar MK, Bhuiyan MSR, Khalequzzaman M, Hasan MJ. 2011.
Interrelationship and cause-effect analysis among morpho-physiological
traits in biron rice of Bangladeshi. Int J Plant Breed Genet. 5: 246-254.
Vaisi H, Golpavar AR. 2013. Determination of the best indirect selection criteria to
improve grain yield and seed weight in oat (Avena sativa L.) genotypes.
IJFAS. 2(19): 747-750.
Visscher PM, Hill WG, Wray NR. 2008. Heritability in genomics era-concepts and
misconceptions. Nat Rev Genet. 9: 255-266.
Walpole RE. 1982. Pengantar Statistika. Bambang S, penerjemah. Jakarta (ID):
Gramedia Pustaka Utama. Terjemahan dari: Introduction to Statistics 3rd
Edition.
Widyastuti Y, Purwoko BS, Yunus M. 2016. Identifikasi toleransi kekeringan tetua
padi hibrida pada fase perkecambahan menggunakan polietilen glikol (PEG)
6000. J Agron Indonesia. 44(3): 235-241.
Wilkinson L, Friendly M. 2009. The history of the cluster heat map. Am Stat. 63:
179–184.
Yamamoto A, Sawada H, Shim LS. Usui K, Fujihara S. 2011. Effect of salt on
physiological response and leaves polyamine content in NERICA rice
seedling. Plant Soil Eenviron. 57(12): 571-576.
Yoshida S. 1981. Fundamentals of Rice Crop Science. Los Banos (PH): The
Internastional Rice Research Institute.
Yuan J, Murphy A, Koeyer DD, Lague M, Bizimungu B. 2016. Effectiveness of
the field selection parameters on potato yield in Atlantic Canada. Can J Plant
Sci. 96: 701-710.
Yuniati R. 2004. Penapisan galur kedelai (Glycine max L.) Merril toleran terhadap
NaCl untuk penanaman di lahan salin. Makara Sains. 8(1) : 21-24.
76

Zimisuhara B, Valdiani A, Shaharuddin NA, Qamaruzzaman F, Maziah M. 2015.


Structure and principal component analyses reveal an intervarietal fusion in
Malaysia mistletoe fig (Ficus deltoidea Jack) population. Int J Mol Sci. 16:
14369-14394.
77

LAMPIRAN

Lampiran 1 Deskripsi padi varietas Ciherang


Nomor seleksi : S3383-1d-Pn-41-3-1
Asal seleksi : IR18349-53-1-3-1-3/3*IR19661-131-3-1-3//4*IR64
Umur tanaman : 116-125 hari
Bentuk tanaman : Tegak
Tinggi tanaman : 91-106 cm
Daun bendera : Tegak
Bentuk gabah : Ramping panjang
Warna gabah : Kuning bersih
Kerontokan : Sedang
Kerebahan : Sedang
Tekstur nasi : Pulen
Kadar amilosa : 23%
Indeks glikemik : 88
Bobot 1000 butir : 27-28 gram
Rata-rata hasil : 5-7 ton/ha
Hama : Tahan terhadap wereng coklat biotipe 2 dan agak tahan
terhadap wereng coklat biotipe 3
Penyakit : Tahan terhadap hawar daun bakteri strain III, rentan
terhadap strain IV dan VIII
Anjuran tanam : Lahan sawah irigasi dataran rendah sampai ketinggian 500
m dpl
Instansi pengusul : BB Padi
Pemulia : Tarjat T, Z. A. Simunallang, E. Sumadi, dan Aan A.
Daradjat
Dilepas tahun : 2000
SK Menteri Pertanian : 60/Kpts/TP.240/2/2000 Tanggal 25 Februari 2000
78

Lampiran 2 Deskripsi padi varietas Inpara 5


Nomor seleksi : IR07F102
Asal seleksi : Introduksi dari IRRI
Umur tanaman : 115 hari
Bentuk tanaman : Tegak
Tinggi tanaman : 92 cm
Daun bendera : Tegak
Bentuk gabah : Ramping
Warna gabah : Kuning
Kerontokan : Sedang
Kerebahan : Sedang
Tekstur nasi : Sedang
Kadar amilosa : 25.2%
Indeks glikemik : 59
Rata-rata hasil : 4.5 ton/ha
Potensi hasil : 7.2 ton/ha
Hama : Agak rentan terhadap wereng coklat biotipe 3
Penyakit : Tahan terhadap hawar daun patotipe IV dan VIII
Cekaman abiotik : Toleran terendam selama 14 hari fase vegetatif
Anjuran tanam : Baik ditanam di daerah rawa lebak dangkal dan sawah
rawan banjir
Instansi pengusul : BB Padi
Pemulia : D.J. Mackill, A.M. Pamplona (IRRI), Aris Hairmarisis,
Bambang Kustionto, Supartopo, dan Suwarno
Dilepas tahun : 2010
SK Menteri Pertanian : 472/Kpts/SR.120/1/2010
79

Lampiran 3 Deskripsi padi varietas Inpari 29


Nomor seleksi : B13138-7-MR-2-KA-1
Asal seleksi : IR69502-6-SKN-UBN-1-B-1-3/ KAL-9418F// Pokkali/
Angke
Golongan : Cere
Umur tanaman : ±110 hari setelah semai
Bentuk tanaman : Tegak
Tinggi tanaman : ±113 cm
Daun bendera : Tegak
Bentuk gabah : Panjang ramping
Warna gabah : Kuning bersih
Kerontokan : Sedang
Kerebahan : Sedang
Tekstur nasi : Pulen
Kadar amilosa : ± 21.1%
Berat 1000 butir : ± 25 gram
Rata-rata hasil : 6.5 ton/ha
Potensi hasil : 9.5 ton/ha
Hama : Agak rentan terhadap wereng batang coklat biotipe 1,
rentan terhadap wereng batang coklat biotipe 2 dan 3
Penyakit : Agak rentan terhadap hawar daun bakteri patotipe II,
rentan terhadap hawar daun bakteri patotipe IV dan VIII
Cekaman abiotik : Toleran terendam selama 14 hari fase vegetatif
Anjuran tanam : Baik ditanam di sawah irigasi dataran rendah sampai
ketinggian 400 m dpl terutama didaerah rawan banjir
Instansi pengusul : BB Padi
Pemulia : Yudhistira Nugraha, Supartopo, dan Suwarno
Dilepas tahun : 2012
SK Menteri Pertanian : 2291.1/Kpts/SR.120/6/2012
80

Lampiran 4 Deskripsi padi varietas Inpari 34 Salin Agritan


Nomor seleksi : IR78788-B-B-10-1-2-4-AJY1
Asal seleksi : BR41XIR61920-3B-22-2
Golongan : Cere
Umur tanaman : ±102 hari setelah semai
Bentuk tanaman : Tegak
Tinggi tanaman : ±107 cm
Daun bendera : Tegak
Bentuk gabah : Panjang ramping
Warna gabah : Kuning bersih
Kerontokan : Sedang
Kerebahan : Agak tahan
Tekstur nasi : Agak pera
Kadar amilosa : ± 22.8%
Berat 1000 butir : ± 24.9 gram
Rata-rata hasil : 5.1 ton/ha pada KA 14%
Potensi hasil : 8.1 ton/ha
Hama : Agak tahan terhadap wereng batang coklat biotipe 1,
agak rentan terhadap wereng batang coklat biotipe 2 dan 3
Penyakit : Agak tahan terhadap hawar daun bakteri patotipe III,
rentan terhadap hawar daun bakteri patotipe IV, agak
rentan terhadap hawar daun bakteri patotipe VIII, rentan
terhadap virus tungro ras subang, tahan terhadap penyakit
blas ras 033 dan 173, agak tahan terhadap blas ras 073,
rentan terhadap blas ras 133
Anjuran tanam : Toleran salin pada fase bibit pada cekaman 12 dSm-1 serta
cocok ditanam di lahan sawah dataran rendah sampai
sedang (0-500 mdpl)
Instansi pengusul : BB Padi
Pemulia : Priatna Sasmita, Nafisah, Cucu Gunarsih, Trias Sitaresmi,
Moch. Yamin Samaullah, Satoto, I Made Jana Mejaya
Dilepas tahun : 2014
SK Menteri Pertanian : 1252/Kpts/SR.120/12/2014
81

RIWAYAT HIDUP

Penulis dengan nama lengkap Muhammad Fuad


Anshori dilahirkan di Jakarta pada tanggal 15 Nopember
1992. Penulis merupakan anak pertama dari empat bersaudara
dari pasangan Bapak Abdul Latif Sodni (Alm) dan Ibu
Wahyuni Djamaluddin. Tahun 2010 penulis lulus dari SMA
Negeri 21 Makassar. Pada tahun yang sama, penulis juga lulus
seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui Seleksi
Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) jalur
tulis dan diterima di Departemen Agronomi dan Hortikultura,
Fakultas Pertanian. Penulis lulus dari program S1 IPB pada
tahun 2014 dan mendapatkan penghargaan sebagai
wisudawan terbaik pada Bulan April 2015. Kemudian penulis diterima di Pascasarjana
pada program studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman melalui program beasiswa
PMDSU pada tahun 2015.
Selama aktif sebagai mahasiswa, penulis juga aktif di berbagai organisasi
kemahasiswaan dan kepanitiaan di IPB. Organisasi yang aktif diikuti oleh penulis
adalah Ketua Ikatan Mahasiswa/Pelajar Indonesia Sulawesi Selatan Cabang Bogor
2013-2015, Pengurus Forum Mahasiswa Pascasarjana AGH (FORSCA) 2016/2017
dan Pengurus Pusat Ikatan Mahasiswa/Pelajar Indonesia Sulawesi Selatan (PB IKAMI
Sulsel) 2015- sekarang. Penulis juga aktif mengikuti beberapa kepanitiaan di berbagai
acara departemen, fakultas, institut, hingga tingkat nasional salah satunya panitia
Festival Bunga dan Buah Nusantara (FBBN) 2013 dan 2014 serta beberapa kepanitiaan
lainnya. Penulis berkesempatan untuk mengikuti beberapa seminar nasional maupun
internasional dan mendapatkan The Best Oral Presenter pada International Conference
on Biology and Enviromental Science (ICoBES) 2017 di Pekanbaru, Riau.

Anda mungkin juga menyukai